Anda di halaman 1dari 10

KASUS KARTEL BAN KENDARAAN BERMOTOR RODA EMPAT

PUTUSAN KPPU NOMOR 08/KPPU-I/2014

Tugas Mata Kuliah Perbandingan Hukum Persaingan Usaha


Dr. A. M. Tri Anggraini, S.H., M.H.
Program Studi Magister Ilmu Hukum UGM Kampus Jakarta

Oleh
KELOMPOK 1
1. Alita Dewi Kemalasari 17/422112/PHK/10063
2. Endhika Dollar Sanggragiri 17/422121/PHK/10072
3. L.S. Manohara 17/422131/PHK/10082
4. Luthfi Kurniawan 17/422133/PHK/10084
5. M. Zaki Mubarak 17/422135/PHK/10086

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM


UNIVERSITAS GADJAH MADA

JAKARTA
2018

Hal 0 dari 10
TUGAS KASUS KARTEL BAN KENDARAAN BERMOTOR RODA EMPAT

1. Apakah para terlapor memenuhi kriteria sebagai pelaku usaha menurut UU

5/1999? 


Jawaban :
Memenuhi. Berdasarkan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 5 tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No. 5 tahun
1999), definisi Pelaku Usaha adalah: “setiap orang perorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun

bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai 
 kegiatan usaha

dalam bidang ekonomi”.


Sedangkan terlapor terdiri dari PT Bridgestone Tire Indonesia, PT Sumi Rubber
Indonesia, PT Gadjah Tunggal, Tbk, PT Goodyear Indonesia, Tbk, PT Elang Perdana
Tyre Industry, PT Industri Karet Deli, yang kesemuanya merupakan badan hukum
berbentuk Perseroan Terbatas yang melaksanakan kegiatan usaha di bidang ekonomi,
yaitu produksi dan/atau pemasaran ban kendaraan bermotor roda empat kelas passenger
car (penumpang). Oleh karena itu, para terlapor memenuhi unsur pelaku usaha sesuai
Pasal 1 angka 5 UU No. 5 tahun 1999.

2. Apakah APBI dapat menjadi terlapor?


Jawaban :
Tidak. Pihak yang dapat menjadi terlapor sesuai UU No. 5 tahun 1999 adalah
pelaku usaha, dimana sesuai ketentuan Pasal 1 angka 5 UU No. 5 tahun 1999 definisi
pelaku usaha adalah : “Setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk
badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah
hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui

perjanjian, menyelenggarakan berbagai
 kegiatan usaha dalam bidang ekonomi”.

Sesuai definisi pelaku usaha tersebut di atas, maka Asosiasi dapat dikategorikan
sebagai pelaku usaha sepanjang memenuhi unsur-unsur pelaku usaha tersebut.
Sedangkan, APBI hanya sebagai fasilitator/perkumpulan pelaku-pelaku usaha ban
kendaraan bermotor roda empat kelas passenger car (penumpang) dan tidak

Hal 1 dari 10
menjalankan kegiatan usaha dalam bidang ekonomi secara langsung, khususnya terkait
dengan produksi dan/atau pemasaran ban kendaraan bermotor roda empat kelas
passenger car (penumpang). Pihak yang melaksanakan kegiatan usaha di bidang
ekonomi secara langsung (baik produksi maupun pemasarannya) dalam perkara aquo
adalah PT Bridgestone Tire Indonesia, PT Sumi Rubber Indonesia, PT Gadjah Tunggal,
Tbk, PT Goodyear Indonesia, Tbk, PT Elang Perdana Tyre Industry, PT Industri Karet
Deli.
Disamping itu, apabila Asosiasi dikategorikan sebagai pelaku usaha, maka akan
terjadi kesulitan untuk memberlakukan sanksi administrasi tertentu (misalnya berupa
denda), terutama pihak mana yang akan dikenakan sanksi, mengingat tidak semua
anggota Asosiasi tersebut menyetujui kesepakatan yang diambil oleh Asosiasi.

3. Apakah definisi pasar bersangkutan dalam perkara ini?


Jawaban :
Berdasarkan Pasal 1 angka 10 UU No. 5 tahun 1999, definisi pasar bersangkutan
adalah: “pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh
pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari
barang dan atau jasa tersebut“.
Defini ini diperjelas dalam Peraturan KPPU No. 3 tahun 2009, dimana cakupan
pengertian pasar bersangkutan dapat dikategorikan dalam dua perspektif yaitu pasar
berdasarkan geografis dan pasar berdasarkan produk. Pasar berdasarkan cakupan
geografis terkait dengan jangkauan dan/atau daerah permasaran. Sementara, pasar
berdasarkan produk terkait dengan kesamaan, atau kesejenisan dan/atau tingkat
substitusinya.
Dalam perkara ini, dilihat dari perspektif pasar berdasarkan produk, maka pasar
bersangkutan adalah ban dengan spesifikasi Passenger Car Radial (PCR) Ring 13, Ring
14, Ring 15 dan Ring 16. Berdasarkan pada data bahwa populasi jenis ban ini yang paling
besar di Indonesia, dimana sesuai dengan jenis mobil yang banyak beredar di pasaran
adalah MPV. Kira-kira 70-80% (tujuh puluh sampai dengan delapan puluh persen) MPV
untuk pangsa pasar Nasional. Innova menggunakan Ring 15 atau 16, Avanza
menggunakan Ring 13, 14, dan 15, sedangkan untuk Ertiga menggunakan Ring 14 dan
15. Dalam hal ini para terlapor yang merupakan pelaku usaha dan pelaku usaha
pesaingnya adalah para produsen yang semuanya memproduksi ban dengan spesifikasi
yang dapat saling mensubstitusi. Bahwa ada ban impor yang juga dapat mensubstitusi

Hal 2 dari 10
produk tersebut, namun data menunjukkan bahwa ban impor yang beredar di Indonesia
hanya sekitar 10%.
Terkait jenis replacement atau original equipment (OE), menurut penulis bahwa
kedua jenis ban ini dapat masuk dalam pasar produk bersangkutan, karena keduanya
adalah konsumen dari para terlapor dan ban produksi dari para terlapor selain dapat
menjadi substitusi untuk setiap ban jenis replacement, juga dapat menjadi substitusi dari
ban OE pada masing-masing pabrikan mobil.
Sedangkan perspektif pasar berdasarkan geografis, penjualan ban ini meliputi
seluruh wilayah Indonesia, sehingga yang menjadi pasar bersangkutan secara geografis
adalah wilayah Indonesia.
Kesimpulannya, definisi pasar bersangkutan dalam perkara ini adalah
Passanger Car Radial (PCR) Ring 13, Ring 14, Ring 15 dan Ring 16 di wilayah
Indonesia.

4. Apakah risalah rapat-rapat APBI termasuk sebagai perjanjian?


Jawaban :
Ya. Berdasarkan Pasal 1 angka 7 UU No. 5 tahun 1999 definisi Perjanjian adalah
“suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu
atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun, baik tertulis maupun tidak tertulis”


 Dengan demikian, untuk melihat apakah unsur perjanjian dalam perkara aquo

terpenuhi, maka perlu dilihat terlebih dahulu unsur-unsur perjanjian sesuai Pasal 1 angka
7 UU No. 5 tahun 1999 tersebut.
Unsur penting yang harus dipenuhi yaitu perlu dibuktikan adanya perbuatan
mengikatkan diri antara pelaku usaha yang satu dengan pelaku usaha lain. Adapun syarat
formal dari suatu perjanjian tidaklah menjadi pertimbangan utama sepanjang sudah
terbukti adanya perbuatan mengikatkan diri tersebut. Hal tersebut sesuai dengan
Peraturan KPPU No. 4 tahun 2011 pada Lampiran Bab IV angka 4.4 yang menyatakan
bahwa bentuk perjanjian tertulis tidak menjadi keharusan dalam membuktikan adanya
suatu perjanjian perilaku penetapan harga, namun yang diperlukan adalah bukti bahwa
penetapan harga secara bersama-sama disepakati dan para pelaku usaha mematuhi
(conformed) kesepakatan tersebut.
Dengan adanya ketentuan-ketentuan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa
definisi perjanjian dalam UU No. 5 tahun 1999 dimaknai secara luas, sehingga yang

Hal 3 dari 10
menjadi pertimbangan utama dalam pembuktian adalah bukan menitikberatkan pada
ada/tidaknya suatu perjanjian dalam bentuk formal tertentu, namun pengujian atas
adanya perbuatan mengikatkan diri antar sesama pelaku usaha yang terlihat dari
perilaku/tindakan secara bersama-sama (concerted action). Dengan demikian, risalah
rapat-rapat APBI tersebut dapat dikategorikan sebagai perjanjian sepanjang diikuti
dengan perilaku/tindakan secara bersama-sama (concerted action) dari para pelaku
usaha untuk memenuhi substansi dari risalah rapat-rapat APBI tersebut.

5. KPPU menduga para terlapor melanggar 2 pasal dalam UU 5/1999. Apakah


terlapor melanggar seluruh, sebagian, atau tidak melanggar dugaan tersebut?
Jelaskan jawaban saudara dengan memasukkan fakta-fakta dalam perkara
tersebut diatas dalam unsur-unsur pasal.
Jawaban :
Berdasarkan Putusan Perkara No. 08/KPPU-I/2014 para terlapor diduga
melakukan pelanggaran terhadap Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 11 UU No. 5 tahun 1999.
Atas hal tersebut, dilakukan analisa sebagai berikut:

a. Dugaan pelanggaran Pasal 5 ayat (1)


Pasal 5 ayat (1) UU No. 5 tahun 1999 menyebutkan: “Pelaku Usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas
suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada
pasar bersangkutan yang sama”.
Berdasarkan hal tersebut, maka harus dibuktikan terlebih dahulu pemenuhan
unsur-unsur dalam Pasal 5 ayat (1), sebagai berikut:
i. Unsur pelaku usaha
Bahwa para terlapor adalah termasuk kategori pelaku usaha sebagaimana
dimaksud pada Pasal 1 angka 5 UU No. 5 tahun 1999, karena para terlapor
merupakan badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas yang
melaksanakan kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Dengan demikian
unsur ini terbukti
ii. Unsur pelaku usaha pesaing
Bahwa para terlapor merupakan pesaing satu sama lain, yaitu dalam
kegiatan usaha produksi dan/atau pemasaran ban kendaraan bermotor roda
empat kelas passenger car (penumpang). Unsur ini terbukti karena para

Hal 4 dari 10
terlapor merupakan produsen atas produk yang sama yaitu ban kendaraan
bermotor roda empat kelas passenger car (penumpang).
iii. Unsur perjanjian
Bahwa risalah rapat-rapat APBI yang diikuti dengan perilaku para terlapor
sesuai fakta persidangan dan sesuai dengan analisis menggunakan metode
deteksi kartel harrington, dimana perilaku tersebut mencerminkan
pemenuhan dari para terlapor atas hal-hal yang tercantum dalam risalah
rapat-rapat APBI, maka dapat dikatakan bahwa telah terjadi perbuatan
mengikatkan diri antara pelaku usaha yang satu dengan pelaku usaha lain
yang ditunjukkan dengan perilaku secara bersama-sama (concerted action),
meskipun tidak secara jelas/spesifik menunjukkan adanya kesepakatan dan
tidak memenuhi syarat formal suatu perjanjian. Hal ini mengingat Pasal 1
angka 7 UU No. 5 tahun 1999 memberikan definisi yang luas terkait
perjanjian, yaitu dengan nama apapun dan dalam bentuk apapun (tertulis
maupun tidak tertulis).
Namun demikian, berdasarkan fakta yang terungkap melalui keterangan
saksi di persidangan yang merupakan Ketua dan Sekjen APBI bahwa Rapat
Presidium bukan merupakan rapat yang bersifat social gathering. Hal
tersebut dapat dilihat dari mekanisme pengambilan keputusan yang
menghasilkan keputusan untuk melaksanakan kegiatan dan kesepakatan
APBI, contohnya adalah kegiatan safety campaign dan kesepakatan untuk
memperpanjang masa warranty claim.
Berdasarkan Peraturan KPPU No. 4 tahun 2011, dalam hukum persaingan
usaha dikenal suatu bukti tidak langsung (circumstansial evidence), oleh
karena itu definisi perjanjian dalam UU No. 5 tahun 1999 dapat diartikan
secara luas yaitu perjanjian itu dapat terjadi sepanjang terdapat perbuatan
mengikatkan diri antar sesama pelaku usaha. Dengan adanya perbuatan
mengikatkan diri ini, maka unsur perjanjian terbukti.
iv. Unsur penetapan harga
Bahwa berdasarkan Peraturan KPPU No. 4 tahun 2011, pembuktian adanya
perjanjian di antara pelaku usaha menetapkan harga atas barang atau jasa,
dapat dilihat dari perilaku penetapan harga para pelaku usaha di pasar
tersebut yang dilakukan secara bersama-sama (concerted). Dan pelaku
usaha mematuhi (conformed) atas kesepakatan tersebut. Bukti yang

Hal 5 dari 10
diperlukan dapat berupa bukti langsung dan bukti tidak langsung. Namun
demikian, apabila tindakan salah satu pelaku usaha bersifat independen dari
perilaku perusahaan lain, maka hal tersebut bukan merupakan pelanggaran
terhadap hukum persaingan.
Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, dalam beberapa
Risalah Rapat, terdapat pokok pembahasan dan kesimpulan yang
menyatakan bahwa kesepakatan untuk tidak melakukan banting
membanting harga ban Passenger Car Radial (PCR) Replacement Ring 13,
Ring 14, Ring 15 dan Ring 16 di wilayah Republik Indonesia dalam rentang
waktu tahun 2009 sampai dengan 2012
Pada Risalah Rapat APBI tanggal 21 Januari 2009, terdapat pernyataan
“Anggota APBI jangan melakukan banting membanting harga”. Risalah
rapat tersebut kemudian disepakati dalam Rapat Presidium tanggal 17
Februari 2009 dan para anggota APBI menyetujui isi risalah dan tidak ada
penolakan. Risalah Rapat tersebut dikirimkan kepada para anggota APBI,
namun tidak ada penolakan dari para anggota APBI. Perilaku mematuhi
(conformed) atas kesepakatan tersebut merupakan suatu bentuk concerted
action dari para Terlapor.
Berdasarkan fakta yang terungkap, indikasi penetapan harga selain pada
Risalah Rapat Presidium tanggal 21 Januari 2009 juga terdapat pada risalah
rapat yang membahas dan menyepakati pengaturan warranty claimbazn
yang disepakatit dirubah dari 3 tahun menjadi 5 tahun. Warranty claim
tersebut termasuk dalam komponen Operating Expenses yang akan
mempengaruhi dalam perhitungan Laporan Rugi-Laba, sehingga
kesepakatan mengenai warranty claim termasuk bagian dari perjanjian
penetapan harga yang dilakukan oleh para Terlapor.
v. Unsur pasar bersangkutan yang sama
Bahwa berdasarkan Peraturan KPPU No. 3 tahun 2009, pasar bersangkutan
dapat dikategorikan dalam dua perspektif yaitu pasar berdasarkan geografis
dan pasar berdasarkan produk. Dilihat dari perspektif pasar berdasarkan
produk dalam perkara aquo adalah ban dengan spesifikasi Passenger Car
Radial (PCR) Ring 13, Ring 14, Ring 15 dan Ring 16, sedangkan dari
perspektif pasar berdasarkan geografis adalah di wilayah Indonesia, karena
penjualan ban tersebut dilakukan di wilayah Indonesia. Para terlapor

Hal 6 dari 10
merupakan perusahaan yang melakukan kegiatan usaha produksi dan/atau
pemasaran ban kendaraan bermotor roda empat kelas passenger car
(penumpang), yaitu dengan spesifikasi Passenger Car Radial (PCR) Ring
13, Ring 14, Ring 15 dan Ring 16 dengan wilayah penjualan di wilayah
Indonesia. Dengan demikian, maka unsur pasar bersangkutan yang sama
terpenuhi.

b. Dugaan pelanggaran Pasal 11


Pasal 11 UU No. 5 tahun 1999 menyebutkan: “Pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi
harga dengan mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa, yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak
sehat”
Berdasarkan hal tersebut, maka harus dibuktikan terlebih dahulu pemenuhan
unsur-unsur dalam Pasal 11, sebagai berikut:
i. Unsur pelaku usaha
Bahwa para terlapor adalah termasuk kategori pelaku usaha sebagaimana
dimaksud pada Pasal 1 angka 5 UU No. 5 tahun 1999, karena para terlapor
merupakan badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas yang
melaksanakan kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Dengan demikian
unsur ini terbukti
ii. Unsur pelaku usaha pesaing
Bahwa para terlapor merupakan pesaing satu sama lain, yaitu dalam
kegiatan usaha produksi dan/atau pemasaran ban kendaraan bermotor roda
empat kelas passenger car (penumpang). Unsur ini terbukti karena para
terlapor merupakan produsen atas produk yang sama yaitu ban kendaraan
bermotor roda empat kelas passenger car (penumpang).
iii. Unsur perjanjian
Bahwa risalah rapat-rapat APBI yang diikuti dengan perilaku para terlapor
sesuai fakta persidangan dan sesuai dengan analisis menggunakan metode
deteksi kartel harrington, dimana perilaku tersebut mencerminkan
pemenuhan dari para terlapor atas hal-hal yang tercantum dalam risalah
rapat-rapat APBI, maka dapat dikatakan bahwa telah terjadi perbuatan
mengikatkan diri antara pelaku usaha yang satu dengan pelaku usaha lain

Hal 7 dari 10
yang ditunjukkan dengan perilaku secara bersama-sama (concerted action),
meskipun tidak secara jelas/spesifik menunjukkan adanya kesepakatan dan
tidak memenuhi syarat formal suatu perjanjian. Hal ini mengingat Pasal 1
angka 7 UU No. 5 tahun 1999 memberikan definisi yang luas terkait
perjanjian, yaitu dengan nama apapun dan dalam bentuk apapun (tertulis
maupun tidak tertulis). Disamping itu, berdasarkan Peraturan KPPU No. 4
tahun 2011, dalam hukum persaingan usaha dikenal suatu bukti tidak
langsung (circumstansial evidence), oleh karena itu definisi perjanjian
dalam UU No. 5 tahun 1999 dapat diartikan secara luas yaitu perjanjian itu
dapat terjadi sepanjang terdapat perbuatan mengikatkan diri antar sesama
pelaku usaha. Dengan adanya perbuatan mengikatkan diri ini, maka unsur
perjanjian terbukti.
iv. Unsur mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan/atau pemasaran
suatu barang dan/atau jasa
Yang dimaksud barang dalam perkara tersebyt adalah ban Passenger Car
Radial (PCR) Replacement Ring 13, Ring 14, Ring 15 dan Ring 16 yang
diproduksi dan dipasarkan di wilayah Republik Indonesia dalam rentang
waktu tahun 2009 sampai dengan 2012.
Berdasarkan fakta yang terungkap, tindakan mempengaruhi harga barang
dengan mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa
dilakukan oleh para terlapor berdasarkan kesepakatan secara bersama untuk
dapat menahan diri dan terus mengontrol distribusi ban Passenger Car
Radial (PCR) Replacement Ring 13, Ring 14, Ring 15 dan Ring 16 di
wilayah Republik Indonesia dalam rentang waktu tahun 2009 sampai
dengan 2012 yang kemudian disepakati dan/atau disetujui oleh para
terlapor sebagaimana dalam Risalah Rapat Presidium APBI. Selain itu,
kesepakatan terhadap jangka waktu warranty claim juga berimbas pada
komponen dalam menentukan harga jual barang tersebut.
v. Unsur mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan
usaha tidak sehat
Berdasarkan pasal 1 angka 2 UU No. 5 tahun 1999, praktek monopoli
adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang
mengakibatkan dikuasainya produksi dan/atau pemasaran atas barang

Hal 8 dari 10
dan/atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat
dan dapat merugikan kepentingan umum.
Berdasarkan fakta yang terungkap, kesepakatan para terlapor mengikuti
risalah rapat seperti tidak melakukan banting membanting harga, menahan
diri dan mengontrol distribusi serta menahan diri dan terus mengontrol
distribusinya masing-masing adalah bentuk pengontrolan harga dan
merupakan perilaku monopoli. Hal ini didukung dengan perhitungan
analisis konsentrasi industri (baik CR4 maupun HHI), dimana berdasarkan
analisis tersebut konsentrasi industri ban tersebut termasuk kategori yang
tinggi dan berpengaruh negatif terhadap efisiensi teknis. Hal ini
menyebabkan inefisiensi yang berakibat kerugian pada sisi konsumen,
selain itu hal tersebut juga mengakibatkan kurangnya persaingan diantara
para terlapor sehingga terjadi inefisiensi. Bahwa inefisiensi sebagaimana
yang telah diuraikan di atas diperkuat dengan price cost margin yang
mengalami peningkatan pasca terjadinya kesepakatan dalam APBI, hal ini
menunjukkan bahwa para terlapor mendapatkan profit berlebih pada ban
PCR Replacement Ring 13, 14, 15 dan 16. Bahwa dengan demikian praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat terpenuhi.

6. Bila para terlapor melanggar UU 5/1999, apakah sajakah sanksi yang akan saudara
berikan kepada mereka?
Jawaban :
1. Sanksi Administratif sesuai Pasal 47 (1) UU No. 5 tahun 1999 berupa perintah untuk
menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan kegiatan yang terbukti
meninbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat
dan atau merugikan masyarakat.
2. Pengenaan denda sesuai ketentuan Peraturan KPPU No. 4 tahun 2009 pada Lampiran
Bab II Pedoman Tindakan Administratif, yaitu dalam hal 10% nilai turn over atau
nilai penjualan dari para terlapor melebihi Rp 25.000.000.000,-, maka dikenakan
denda akhir sebesar Rp 25.000.000.000,-. Dalam perkara aquo 10% nilai turn over
atau nilai penjualan dari masing-masing terlapor berdasarkan fakta di persidangan
adalah lebih dari Rp 25.000.000.000,-, sehingga denda yang dapat dikenakan kepada
masing-masing terlapor adalah sebesar Rp 25.000.000.000,-

Hal 9 dari 10

Anda mungkin juga menyukai