0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
61 tayangan6 halaman
Perjanjian penetapan harga diantara anggota APBI diduga dilakukan melalui pertemuan-pertemuan yang difasilitasi oleh APBI, dimana anggota APBI mencapai kesepakatan menyetujui substansi dalam Risalah Rapat Presidium yang berisi larangan "banting membanting harga" antar merek. Hasil pengujian menunjukkan adanya ketergantungan penentuan harga antar perusahaan ban untuk Ring 13-16, mengindikasikan dugaan koordinasi penentuan h
Perjanjian penetapan harga diantara anggota APBI diduga dilakukan melalui pertemuan-pertemuan yang difasilitasi oleh APBI, dimana anggota APBI mencapai kesepakatan menyetujui substansi dalam Risalah Rapat Presidium yang berisi larangan "banting membanting harga" antar merek. Hasil pengujian menunjukkan adanya ketergantungan penentuan harga antar perusahaan ban untuk Ring 13-16, mengindikasikan dugaan koordinasi penentuan h
Perjanjian penetapan harga diantara anggota APBI diduga dilakukan melalui pertemuan-pertemuan yang difasilitasi oleh APBI, dimana anggota APBI mencapai kesepakatan menyetujui substansi dalam Risalah Rapat Presidium yang berisi larangan "banting membanting harga" antar merek. Hasil pengujian menunjukkan adanya ketergantungan penentuan harga antar perusahaan ban untuk Ring 13-16, mengindikasikan dugaan koordinasi penentuan h
Dalam Perkara Nomor 08/KPPU-I/2014 dengan dugaan pelanggaran Pasal 5
ayat (1) dan Pasal 11 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 dalam industri otomotif terkait dengan Kartel Ban Kendaraan Bermotor Roda Empat yang dilakukan oleh Terlapor I (PT. Bridgestone Tire Indonesia), Terlapor II ( PT. SUmi Rubber Indonesia), Terlapor III (PT. Gajah Tunggal, Tbk), Terlapor IV (PT.Goodyear Indonesia.Tbk), Terlapor V (PT. Elang Perdana Tyre Industri), dan Terlapor IV (PT. Industri Karet Deli). Dalam laporannya, Tim Investigator menyampaikan bukti pelanggaran terhadap Undang-undang No. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang telah dilakukan oleh para terlapor terkait dengan produksi pemasaran ban kendaraan bermotor roda empat kelas Passanger Car (penumpang) untuk ukuran ban Ring 13, 14,15, dan 16 Periode 2009 sampai dengan 2012 di Wilayah Indonesia, yang di produksi dan dipasarkan oleh APBI atau Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia. Keberadaan APBI bertujuan untuk mendukung pemerintah dalam menciptakan iklim usaha yang sehat dalam industri ban dengan tetap berada dalam pengawasan Pemerintah dan bukan untuk memfasilitasi atau mendukung terjadinya penetapan harga atau kartel. Terkait tentang pasar bersangkutan yang mencakup dimensi dan produk dan geogradis dimana apabila dihubungkan dengan perkara ini maka Pasar produknya adalah ban untuk kendaraan roda 4 yang digunakan sebagai ban mobil penumpang untuk ban Ring 13,14,15,15,dan 16. Sedangkan pasar geografis mencakup seluruh wilayan Indonesia yang di produksi dan dipasarkan oleh perusahan ban yang tergabung dalam APBI. Berdasarkan laporan tahunan APBI, terdapat 6 perusahaan ban Anggota APBI dan satu perusahaan diluar anggota APBI yang memproduksi ban dalam periode tahun 2009 sampai dengan tahun 2012. Terlapor IV atau produsen ban roda empat merupakan salah satu anggota APBI yang memiliki pangsa pasar paling kecil diantara keenam terlapor tersebut. Namun, berdasarkan tabel penjualan yang tertera dalam Putusan Perkara Nomor 08/KPPU-I/2014, nilai produksi Terlapor IV pada pasar replacement dalam negeri Ring 13-16 memiliki tren kenaikan dengan Produksi anggota APBI pada pasar Replacement dalam negeri Ring 13-16. Perbedaan tersebut terjadi pada tahun 2012 dimana terlapor IV mengalami tren penurunan, sedangkan produsen APBI mengalami tren kenaikan penjualan. Hal tersebut menunjukan bahwa terlapor IV mengikuti kesepakatan mengatur produksi atau penjualan APBI. Sebagaimana fakta yang ditemukan oleh Investigator bahwa terlapor IV secara aktif mengikuti kartel tersebut. Tanggapan dari Terlapor I menyatakan bahwa Tim Investigator KPPU telah elakukan kesalahan dalam mempertimbangkan pasar bersangkutan dari segi produk karena tidak mengikutsertakan seluruh pelaku usaha yang memproduksi dan memasarkan ban kendaraan bermotor roda 4 jenis Passanger car dengan Ring 13,14,15,dan 16 dan tidak mempertimbangkan keberadaan produk ban impor dalam klasifikasis yang sama. Sedangka Pelapor II dalam hal ini menyatakan bahwa investigator telah salah mendefinisikan pasar geografis yang hanya mencakup wilauah Indonesia. Karena pasar geografus suatu produk ban tidak hanya terbatas pada wilayah Indonesia namun wilayah Negara lain di luar Indonesia yang menjadi tujuan ekspor produk ban. Hal ini berarti, total produksi dan total penjualan produk ban Terlapor II dan Para Terlapor lainnya didominasi untuk pasar ekspor sehingga negara tujuan ekspor seharusnya diikutsertakan dalam menentukan pasar geografis dalam perkara ini. Dengan demikian, pasar geografis yang tepat dalam perkara ini adalah wilayah Indonesia dan negara tujuan ekspor .kesalahan dari Tim Investigator dalam menentukan pasar bersangkutan juga terbukti dari data produksi yang dijadikan dasar oleh Tim Investigator sebagaimana tercantum dalam tabel pada butir 13.17 dari LDP serta membandingkannya dengan data yang tercantum dalam Laporan Tahunan APBI tahun 2007, 2008, 2009, 2010 dan 2011. Terkait dengan pasar produk, Investigator memasukkan Ring 13, Ring 14, Ring 15 dan Ring 16 tires ke dalam suatu pasar bersangkutan yang sama. Padahal, ukuran ring yang berbeda tersebut tidaklah dapat saing bersubstitusi dengan yang lain karena ban dengan ukuran berbeda tidak dapat digunakan untuk mobil yang sama.
Metode deteksi kartel Harrington Metode Harrington adalah penggabungan
dari berbagai metode dan jika dilihat seperti kartel checklist (seperti competition checklist yang dimiliki KPPU) karena dia melihat kartel dari berbagai sisi. Model dari Harrington menggunakan metode analisis hubungan error atau residual regresi antar perusahaan dari hasil estimasi data panel tersebut. Dalam ekonometrika, error atau residual regresi ini selalu dijadikan dasar untuk melihat perilaku dari suatu kartel. Bahwa ahli ekonometrika menggunakan analisis perilaku menggunakan pola residual baik antar waktu maupun antar individu. mereka menyimpulkan bahwa jika tingkat efisiensi rendah tetapi pricecostmargin tetap tinggi maka kemungkinan terjadinya persaingan usaha tidak sehat termasuk kolusi dan kartel semakin tinggi. Lebih jauh, Setiawan dkk. (2012c) juga melihat kemungkinan adanya kekakuan harga pada industri yang berstruktur oligopoli Majelis Komisi juga sependapat dengan keterangan Ahli Maman Setiawan dalam Sidang Majelis Komisi yang menyatakan bahwa Model Harrington ini teruji karena menggunakan model-model yang sudah diaplikasikan pada kasus kartel yang sudah diputus bersalah dan terbukti valid. Sebagai contoh dalam model melihat dependensi harga yang digunakan Harrington itu sudah diaplikasikan oleh Bajari and Ye (2003) dalam bid (tender) dan sudah diputus bersalah. Hasil dari model ini mengkonfirmasi bahwa terjadi kartel dan dapat dikatakan model tersebut sudah baik untuk menguji kartel. Model Harrington dapat dikatakan sebagai kartel check list karena dalam model ini dapat dipandang dari berbagai aspek.
Mengenai Perjanjian Investigator menyimpulkan bahwa telah sesuai dengan
definisi perjanjian yang berdasarkan penafsiran sistematis yaitu yang ada dalam kitab undang-undang hukum perdata dan penafsiran historis dalam memorie van toelichting. Selain itu, dalam menyusun LDP, Tim Investigator KPPU telah merujuk kepada Pasal 1234, Pasal 1313, Pasal 1320, Pasal 1329, dan Pasal 1337 KUHPerdata serta ketentuan dalam Pasal 1 angka (7) UU No. 5/1999. Dengan demikian, Tim Investigator KPPU sendiri mengakui bahwa ketentuan KUH Perdata adalah peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk penafsiran atas perjanjian, kesepakatan, dan perikatan. Terlapor IV menyatakan bahwa Bahwa risalah ini bukan merupakan perjanjian bagi pihak Terlapor IV untuk menetapkan harga atau mengendalikan produksi, atau melakukan hal lain, dan bukan pula merupakan bukti perjanjian tersebut oleh pihak Terlapor IV. dengan demikian Majelis Komisi berpendapat perjanjian dalam konteks ini harus dilihat pada pengujian apakah terdapat rangkaian perilaku pelaku usaha (concertedaction) untuk saling mengikatkan diri satu pelaku usaha dengan pelaku usaha lain.
Perjanjian penetapan harga diantara anggota APBI dalam hal ini
Terlapor I sampai dengan Terlapor VI diduga dilakukan melalui sarana pertemuan-pertemuan yang difasilitasi oleh APBI. Dalam pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan tersebut, akhirnya anggota APBI, dalam hal ini Terlapor I sampai dengan Terlapor VI mencapai suatu kesepakatan dengan menyetujui substansi yang dituangkan dalam bentuk Risalah Rapat Presidium dengan memberikan Oligopoli sebagai salah satu perjanjian yang dilarang sesuai dengan ketentuan Pasal 4 UU No. 5/1999, Ningrum mencontohkan jika bentuk perjanjian yang dilarang dalam UU No. 5/1999 banyak dilakukan tanpa kontrak formal dapat terjadi melalui implicitverbalnegotiation,dapat dilakukan dengan cara mengadakan konferensi pers. mengumumkan hal yang berkaitan dengan kebijakan usahanya misalnya mengenai harga produknya ataupun melalui implicit verbalagreementdimana setiap pelaku usaha mengadakan pertemuan dengan media massa secara berurutan dan akhirnya membawa mereka pada harga yang identik. Dalam Rapat Presidium tanggal 21 Januari 2009, dibacakan kesimpulan pertemuan rutin salesdirector, yaitu AnggotaAPBIjangan melakukanbantingmembantingharga. maksud dari frase tersebut adalah agar tidak terjadi perang harga baik untuk harga intra maupun harga antar merek dengan tujuan harga ban di pasar tidak turun. isi Risalah Rapat Presidium yang memperkuat adanya indikasi penetapan harga selain Risalah Rapat Presidium tanggal 21 Januari 2009 juga risalah rapat yang membahas dan menyepakati pengaturan warrantyclaimban yang disepakati dirubah dari 3 (tiga) tahun menjadi 5 (lima) tahun dapat disimpulkan jika warrantyclaimtermasuk dalam komponen pembentuk harga, sehingga kesepakatan mengenai warrantyclaimtermasuk bagian dari perjanjian penetapan harga yang dilakukan oleh para Terlapor. Majelis Komisi menilai perlu menunjukkan hasil analisis ekonomi untuk mengetahui efektifitas dan/atau dampak adanya perjanjian penetapan harga dan pengaturan produksi dan/atau pemasaran terhadap ban roda 4 Ring 13, 14, 15, 16 yang dilakukan oleh para Terlapor dalam perkara aquo. hasil pengujian pada seluruh ukuran ban PCR pada pada ring 13, 14, 15 dan 16 menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan di dalam penentuan harga antar perusahaan dalam industri ban, karena seluruh pengujian menunjukkan adanya ketergantungan antar perusahaan, hal ini tercermin dalam hubungan signifikan antar masing-masing residual/error dari setiap persamaan perusahaan dari tingkat signifikansi 1% (satu persen). Atau dengan kata lain hasil tersebut mengindikasikan adanya dugaan koordinasi penentuan harga antar perusahaan pada industri ban. Kesimpulan ini ditunjukkan dari nilai statistik Pesaran yang signifikan atau menolak hipotesis nol yang menyatakan tidak adanya hubungan residual antar perusahaan. Majelis Komisi sependapat dengan Investigator yang juga sesuai dengan hasil analisis Ahli Maman Setiawan, tentang pengaruh biaya terhadap harga dan koordinasi harga antar perusahaan dimana hasil pengujian pada seluruh ukuran ban PCR Replacementpada Ring 13, 14, 15 dan 16 menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan di dalam penentuan harga antar perusahaan dalam industri ban, karena seluruh pengujian menunjukkan adanya ketergantungan antar perusahaan, hal ini tercermin dalam hubungan signifikan antar masing-masing residual/error dari setiap persamaan perusahaan. Atau dengan kata lain hasil tersebut mengindikasikan adanya dugaan koordinasi penentuan harga antar perusahaan pada industri ban.