Anda di halaman 1dari 13

1

BAB III

PRAKTIK PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT BERDASARKAN

PUTUSAN KPPU NOMOR 13/KPPU-I/2019

3.1. Para Pihak

3.1.1. Organisasi Angkutan Sewa Sumatera Utara

Oragnisasi Angkutan Sewa atau ORASKI yang berlokasi di Sumatera Utara

merupakan salah satu organsisasi persatuan koperasi dan perusahaan operator

taksi online yang berdiri berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan

(PERMENHUB) Nomor 118 Tahun 2018. Dalam kasus Persaingan Usaha Tidak

Sehat Yang Dilakukan Grab Indonesia, Organisasi Angkutan Sewa ditetapkan

sebagai Pelapor

3.1.2. PT Grab Teknologi Indonesia

PT Solusi Transportasi Indonesia yang selama proses penanganan perkara

berlangsung, kemudian telah berganti nama menjadi PT Grab Teknologi

Indonesia yang beralamat di Jalan H.R. Rasuna Said Kav. B12, Setiabudi, Jakarta

Selatan, DKI Jakarta, Indonesia. PT Solusi Transportasi Indonesia merupakan

badan usaha yang berbentuk badan hukum yang didirikan sesuai Akta Nomor 19

tanggal 11 Agustus 2015. Edward Suharjo Wiryomartani, S.H., M.Kn., adalah

Notaris yang membuat PT Solusi Transportasi Indonesia tersebut, Edward

Suharjo Wiryomartani, S.H.,M.Kn., berkedudukan di Jakarta Barat dan telah

mendapatkan pengesahan dari materi Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik

Indonesia pada Tanggal 12 Agustus 2015. Dalam kasus persaingan usaha tidak

sehat kali ini, PT Grab Teknologi Indonesia ditetapkan sebagai Terlapor I.


2

3.1.3. PT Teknologi Pengangkutan Indonesia

PT Teknologi Pengankutan Indonesia yang beralamat di The Garden Center

Building Lantai 6, Jalan Cilandak KKO - Jakarta Selatan 12560. Merupakan

badan usaha yang berbentuk badan hukum yang berdiri berdasarkan Akta Nomor

36 Tanggal 16 Desember 2015 yang dibuat oleh Notaris Mala Mukti,S.H.,LL.M.,

yang berkedudukan di Jakarta Selatan. Dalam kasus persaingan usaha tidak sehat

kali ini PT Teknologi Pengangkutan Indonesia, Ditetapkan sebagai Terlapor II

3.2. Duduk Perkara

Kasus ini bermula dari inisiatif Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)

yang kemudian ditindaklanjuti ke tahap penyelidikan mengenai dugaan

pelanggaran persaingan usaha melalui order prioritas yang diberikan Grab sebagai

Terlapor I kepada mintra pengemudi di bawah PT Transportasi Pengangkutan

Indonesia (TPI) sebagai Terlapor II yang diduga terkait rangkap jabatan antar

kedua perusahaan tersebut. Dugaan monopoli ini dilontarkan Komisi Pengawas

Persaingan Usaha (KPPU) sebagai alasan menyeret Grab dengan PT Transportasi

Pengangkutan Indonesia (TPI) ke dalam perkara nomor 13/KPPU-I/2019 atas

dugaan pelanggaran Pasal 14, Pasal 15 ayat (2), dan Pasal 19 huruf d Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999 terkait Jasa Angkutan Sewa Khusus.

Pada peraturan ini mengatur tata cara berusaha angkutan sewa khusus

yaitu taksi yang berbasis online, yang mana sistemnya diciptakan oleh perusahaan

aplikasi online yang saat ini resmi beroperasi di Indonesia yakin Grab, Gojek atau

Gocar, Maxim, InDriver dan platform angkutan berbasis online lainnya.


3

Penentuan tarif yang diselenggarakan terhadap angkutan sewa berbasis

online yang terstandarisasi dengan adanya tarif batas atas dan batas bawah.

Sehingga tidak ada yang dirugikan antara pengemudi yang dimana sebagai

penyedia jasa, dan pelanggan yang dimana sebagai pengguna jasa.

Organisasi Angkutan Sewa (ORASKI) Sumatera Utara dalam kasus

persaingan usaha tidak sehat ini sebagai Pelapor, yang dimana memuat laporan

kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tentang adanya pelanggaran

berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak sehat yang dilakukan oleh PT Grab

Teknologi Indonesia dengan PT Transportasi Pengangkutan Indonesia (TPI).

Awal mula perkara ini dimulai pada Tahun 2019 lalu. Suatu Organisasi

Angkutan Sewa Khusus Indonesia (ORASKI) Sumatera Utara (SUMUT) memuat

laporan kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Organisasi

Angkutan Sewa Khusus Indonesia Sumatera Utara tersebut membuat laporan

dikarenakan ada dugaan sistem yang dibuat oleh PT Grab Indonesia untuk

menguntungkan kelompok mitra tertentu yakni pihak PT Transportasi

Pengangkutan Indonesia (TPI).

PT Transportasi Pengangkutan Indonesia (TPI) adalah penyedia jasa

angkutan sewa khusus, dalam menjalankan aktifitas usaha nya, PT Transportasi

Pengangkutan Indonesia (TPI) melakukan kerjasama dengan pengemudi yang

merupakan pihak independen, kerja sama tersebut dilakukan untuk dapat

mengoperasikan kendaraan beroda empat yang dapat disewa dari PT Transportasi

Pengangkutan Indonesia.
4

Sesuai yang tercantum pada Laporan Dugaan Pelanggaran (LDP) yang di

ajukan Oraski Sumatera Utara kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha

(KPPU), terdapat 3 ( Tiga) pasal yang diduga dilanggar oleh PT Grab Indonesia

dan PT Transportasi Pengangkutan Indonesia (TPI). Pasal pasal tersebut diantara

nya, Pasal 14 tentang Integrasi Vertikal, Pasal 15 ayat ( 2 ) tentang Perjanjian

Eksklusif dan Pasal 19 huruf (d) tentang Perlakuan Diskriminatif sesuai dengan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Mengetahui adanya laporan tersebut, PT Grab Indonesia dan PT

Transportasi Pengangkutan Indonesia (TPI) memilih pengacara Dr. Hotman Paris

Hutapea S.H.M.Hum sebagai pengacara mereka dalam menangani perkara dugaan

pelanggaran persaingan usaha tidak sehat ini.

Kasus Pelanggaran Persaingan Usaha Tidak Sehat ini berlanjut ke ranah

Persidangan, hingga pada akhirnya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)

memustukan untuk memberikan hukuman berupa denda kepada PT Grab

Indonesia dan PT Transportasi Pengangkutan Indonesia (TPI).

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memutuskan bahwa PT Grab

Indonesia telah melakukan pelanggaran atas Pasal 14 tentang Integrasi Vertikal

dan Pasal 19 Huruf (d) tentang Perlakuan Diskriminatif yang tercantum pada

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat. PT Grab Indonesia dikenakan denda sebesar

Rp.7.500.000.000.00 (Tujuh Milyar Lima Ratus Juta Rupiah) atas pelanggaran

Pasal 14 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dan dikenakan denda sebesar Rp.
5

22.500.000.000.00 (Dua Puluh Dua Milyar Lima Ratus Juta Rupiah) atas

pelanggaran pasal 19 Huruf (d) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Sementara itu Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga

memutuskan bahwa PT Transportasi Pengangkutan Indonesia (TPI) Telah

melakukan Pelanggaran yang sama yaitu pasal 14 dan pasal 19 Huruf (d) Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat, Dan dijatuhkan sanksi denda sebesar Rp.

4.000.000.000.00 (Empat Milyar Rupiah) serta Rp. 15.000.000.000.00 (Lima

Belas Milyar Rupiah) atas pelanggaran kedua pasal tersebut.

3.4. Pertimbangan Hukum Majelis Komisi

Adapun yang menjadi pertimbangan Majelis Komisi dalam menilai,

menganalisis, menyimpulkan, dan memutuskan perkara berdasarkan alat bukti

yang cukup tentang telah terjadi atau tidak terjadinya pelanggaran Pasal 14, Pasal

15 ayat (2) dan Pasal 19 huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang

diduga dilakukan oleh para Terlapor dalam Perkara Nomor 13/KPPU-I/2019,

yaitu:

1. Pemenuhan Unsur Pasal 14 (Integrasi Vertikal)

Unsur pertama adalah mengenai Pelaku Usaha, pelaku usaha dalam

perkara ini adalah PT Solusi Transportasi Indonesia atau Grab Teknologi

Indonesia. Unsur kedua mengenai Perjanjian yakni perjanjian kerjasama yang

telah ditandatangani oleh orang yang sama yaitu Bapak Stephanus Ardianto, hal

ini karena Bapak Stephanus merupakan pemegang saham mayoritas sekaligus


6

Direktur Utama di Grab Indonesia dan menjadi pemegang saham serta Direktur di

PT Transportasi Pengangkutan Indonesia (TPI).

Unsur ketiga mengenai Pelaku Usaha Lain, dimana pihak yang dimaksud

adalah PT Transportasi Pengangkutan Indonesia (TPI) yang melakukan perjanjian

seperti yang telah diuraikan diatas. Unsur keempat adalah mengenai Menguasai

Produksi, yakni menguasai pasar produk yaitu penyediaan aplikasi mobile dan

penyediaan kendaraan (roda empat) dengan mengintegrasikan kedua produk

menjadi satu komponen utama. Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha

(KPPU) juga menemukan fakta bahwa pangsa pasar Grab sebesar 70% sehingga

pasar jasa angkutan sewa khusus di Indonesia ini dapat dikatakan telah

terkonsentrasi pada layanan aplikasi yang diberikan oleh Grab.

Selanjutnya unsur yang kelima mengenai Barang/Jasa, yaitu seperti unsur

keempat tadi dimana penyediaan jasa memiliki dua produk piranti lunak dan

penyediaan kendaraan. Unsur keenam mengenai Persaingan Usaha Tidak Sehat,

dalam penjabaran unsur ini Tim Investigator Komisi Pengawas Persaingan Usaha

menduga perjanjian integrasi vertikal yang dilakukan kedua pihak ini

mengakibatkan hambatan dalam urusan persaingan usaha.

2. Pemenuhan Unsur Pasal 15 ayat (2) (Tying in)

Majelis Komisi tidak sependapat dengan dugaan pelanggaran terkait unsur

barang dan atau jasa tertentu (tying product) dan unsur barang dan atau jasa lain

(tied product) sebagaimana diuraikan dalam Laporan Dugaan Pelanggaran dan

Kesimpulan Investigator. Bahwa dengan demikian, seluruh unsur Pasal 15 Ayat

(2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tidak terpenuhi.


7

3. Pemenuhan Unsur Pasal 19 huruf d (Praktik Diskriminasi)

Unsur pertama adalah mengenai Pelaku Usaha, pelaku usaha dalam

perkara ini adalah PT Solusi Transportasi Indonesia atau Grab. Unsur kedua

mengenai Pelaku Usaha Lain, dimana pihak yang dimaksud adalah Transportasi

Pengangkutan Indonesia (TPI) yang melakukan perjanjian seperti yang telah

diuraikan diatas.

Unsur ketiga adalah melakukan Praktik Diskriminasi, bahwa Grab

bersama PT Transportasi Pengangkutan Indonesia (TPI) melakukan upaya

menghambat persaingan dalam penyediaan jasa angkutan sewa khusus. Grab

memberikan perlakuan istimewa kepada PT Transportasi Pengangkutan Indonesia

(TPI) sebagai perusahaan afiliasi, seperti memberikan skrema perhitungan insentif

yang berbeda antara mitra Transportasi Pengangkutan Indonesia (TPI) dengan non

mitra Transportasi Pengangkutan Indonesia (TPI), membuat perjanjian yang

memuat program loyalitas, membuat program order prioritas, dan Grab

memberikan perlakuan yang berbeda kepada PT Transportasi Pengangkutan

Indonesia (TPI) untuk open suspend terhadap kendaraan mitra Transportasi

Pengangkutan Indoneisa (TPI) yang dikenakan sanksi suspend.

Unsur keempat yaitu akibat adanya tindakan diskriminasi yang dilakukan

oleh Para Terlapor dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli atau

persaingan usaha tidak sehat.

3.5. Konsep dan Definisi Integrasi Vertikal

Integrasi vertikal adalah perjanjian yang bertujuan untuk menguasai

beberapa unit usaha yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa
8

tertentu. Integrasi vertikal bisa dilakukan dengan strategi penguasaan unit usaha

produksi ke hulu dimana perusahaan memiliki usaha hingga kepenyediaan bahan

baku maupun ke hilir ke konsumen akhir. Pasal 14 Undang-Undang Antimonopoli

yang mengatur perjanjian integrasi vertikal, memuat aturan Bahwa : “Pelaku

usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk menguasai

sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi merupakan hasil

pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun

tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat

dan/atau merugikan masyarakat.”

Integrasi vertikal adalah bagian dari hambatan vertikal (vertical restaint).

Hambatan vertikal adalah segala praktik yang bertujuan untuk mencapai suatu

kondisi yang membatasi persaingan dalam dimensi vertikal atau dalam perbedaan

jenjang produksi (stage of production) ayau dalam usaha yang memiliki

keterkaitan sebagai rangkaian produksi yang berbeda namun masih dalam satu

rangkaian yang terkait. Misalnya, antara produsen dan distributor atau penjual

produknya

Perjanjian integrasi vertikal yang dilarang oleh hukum adalah perjanjian

yang bertujuan untuk menguasai sejumlah produk yang termasuk ke dalam

rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu dimana setiap rangkaian

produksi tersebut merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam

rangkaian langsung maupun tidak langsung.

Integrasi vertikal memiliki efek pre-competitive dan anti-competitive

sehingga hanya integrasi vertikal yang mengakibatkan persaingan usaha tidak

sehat dan merugikan masyarakat yang akan dilarang. Strategi integrasi vertikal
9

(vertical integration strategies) merupakan strategi yang menghendaki perusahaan

melakukan penguasaan yang lebih atas distributor, pemasok dan/atau para pesaing

baik melalui merger, akuisisi, atau membuat perusahaan sendiri. Strategi

dibedakan menjadi tidak, yaitu :

1. Integrasi ke depan merupakan strategi untuk memperoleh

kepemilikan atau meningkatkan kendali atas distributor atau

pengecer.

2. Integrasi ke belakang merupakan strategi untuk mencari

kepemilikan atau meningkatkan kendali perusahaan pemasok.

3. Integrasi horizontal merupakan strategi untuk mengendalikan para

pesaing.

Hubungan antara perusahaan dalam suatu pasar merupakan hubungan

yang kompleks.Di satu pihak, suatu perusahaan tergantung pada perusahaan lain

untuk memasok bahan baku. Dilain pihak, perusahaan tersebut juga tergantung

pada perusahaan distribusi yang menjual produk-produknya di pasar. Harus

dipertegas pada pasal 14 Undang-Undang Antimonopoli adalah penguasaan

perjanjian produksi bukan distribusi. Pasal 14 Undang-Undang Antimonopoli

melarang terjadinya hambatan persaingan usaha yang diakibatkan oleh perjanjian

usaha serta yang diakibatkan oleh perjanjian-perjanjian yang bertujuan untuk

menguasai produksi.

Praktik integrasi vertikal memiliki sejumlah manfaat, walaupun sering kali

hubungan antara perusahaan melalui pasar ini bukanlah cara yang palimh efisien

dalam melakukan kegiatan usaha. Beberapa manfaat tambahan yang dapat

diperoleh suatu perusahaan tersebut melakukan integrasi vertikal ke huku dan/atau


10

ke hilir, untuk itu pendekatan yang digunakan dalam pasal ini adalah dengan

menggunakan rule of reason approach, ada beberapa manfaat integrasi vertikal

diantara nya adalah :

1. Manfaat ekonomi karena karakter teknologi

Penghematan biaya karena eksternalitas antara jalur produksi. Misalnya,

dalam industri baja, lebih menguntungkan untuk menempa baja selagi masih

panas. Jadi lebih menguntungkan untuk memiliki pabrik lembar baja dan pabrik

penampian baja di bawah satu atap daripada memproduksi lembar baja di satu

pabrik, kemudian menempa baja yang telah dingin di pabrik lain.

2. Manfaat ekonomi karena adanya kepastian kontrak

Integrasi vertikal seringkali menjadi strategi yang dipilih perusahaan untuk

menghindari perilaku perusahaan pemasok yang tidak menaati kontrak. Misalnya,

perusahaan yang memasok botol bagi perusahaan minuman dapat menekan biaya

produksi dengan tidak menaati prosedur produksi botol yang tercantum dalam

kontrak antara prusahaan minuman dengan perusahaan pembuat dalam kontrak

antara perusahaan minuman dengan perusahaan pembuat botol minuman.

Akibatnya, mutu botol dapat berkurang, yang pada gilirannya dapat merusak citra

perusahaan minuman tersebut.

3. Manfaat ekonomi karena pengurangan biaya transaksi

Banyak kemungkinan yang terjadi di pasar namun tidak mungkin

memperkirakan semua kemungkinan yang akan terjadi dan mencantumkannya

dalam kontrak. Demi mengurangi biaya transaksi yang mungkin timbul dalam
11

situasi tak pasti, seringkali transaki-transaksi tersebut perlu dilakukan di bawah

satu atap.

Integrasi vertikal karna alasan-alasan di atas pada dasarnya adalah

integrasi vertikal yang wajar karena didorong oleh keinginan untuk menekan

biaya produksi. Integrasi vertikal jenis ini akan menguntungkan konsumen dan

tidak menghambat persaingan. Namun, terdapat integrasi vertikal yang tidak

memiliki manfaat seperti terjadinya :

A. Diskriminasi Harga

Perusahaan dapat meningkatkan laba dengan melakukan diskriminasi

harga, yaitu menjual suatu produk dengan harga berbeda tergantung elastisitas

harga produk tersebut. Strategi ini akan gagal jika terdapat kemungkinan akan

resale (pembeli yang memperoleh harga yang lebih tinggi). Menghindari resale ini

perusahaan melakukan integrasi vertikal.

B. Integrasi vertikal untuk monopoli industri

Dalam hal ini ada dua yang perlu diperhatikan, yaitu :

(1) Suatu perusahaan memonopoli input, penting bagi perusahaan-perusahaan di

hilir dan produk tersebut tidak terdapat penggantinya. Perusahaan yang

memonopoli input tersebut, tidak perlu melakukan integrasi vertikal karena

perusahaan tersebut dapat menerapkan kekuatan monopolinya secara penuh.

(2) Bila produk penting di industri hilir dapat disubtitusi maka terdapat bagi

perusahaan yang memonopoli industri hilir untuk melakukan integrasi

vertikal. Perusahaan tersebut dapat memiliki keungglan disbanding

perusahaan lain karena, perusahaan tersebut dapat memilih kombinasi input

yang diproduksi sendiri dan input subtitusi yang paling efisien.


12

(3) Integrasi vertikal untuk menghindari monopoli ganda, kondisi ini terjadi

misalnya perusahaan memonopoli industri hilir, dan perusahaan lain monopoli

industri hulu. Monopoli ganda ini akan sangat merugikan ekonomi karena

jumlah yang diproduksi akan jauh lebih sedikit baik di hilir maupun di hulu.

Hal ini lebih baik jika industri hilir dan hulu tersebut dikuasai oleh satu

perusahaan. Dibuktikan secara teoritas bahwa penghilangan monopoli ganda

ini akan mengakibatkan output yang diproduksi industri hilir akan lebih besar,

sehingga harga jualnya akan turun.

(4) Integrasi vertikal untuk menutup pasar, penutupan pasar ini dapat di

definisikan sebagai perilaku bisnis (termasuk strategi integrasi vertikal) yang

membatasi akses pembeli ke penjual atau membatasi akses penjual ke

pembeli. Dampang integrasi vertikal bagi persaingan dan efisiensi tidak terlalu

jelas. Di satu pihak, terdapat alasan-alasan penghematan biaya yang dapat

diperoleh dari integrasi vertikal. Di lain pihak, integrasi vertikal dapat

digunakan oleh perusahaan untuk menghambat persaingan atau meningkatkan

laba monopoli.

Praktik integrasi vertikal dilarang sepanjang menimbulkan persaingan usaha

yang tidak sehat dan/atau merugikan masyarakat. Pada penjelasan Pasal 14

tersebut sebenarnya yang menjadi titik tekannya adalah kata “rangkaian produksi”

yang dilakukan melalui sejumlah perjanjian-perjanjian. Integrasi vertikal

merupakan perjanjian yang terjadi antara beberapa pelaku usaha namun saling

terkait. Bentuk perjanjian yang terjadi berupa penggabungan beberapa atau

seluruh kegiatan operasi yang berurutan dalam sebuah rangkaian usaha lainnya

yang bersifat integrasi vertikal dalam perspektik hukum atau operasi yang
13

merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam suatu rangkaian

langsung maupun tidak langsung (termasuk juga rangkaian produksi barang dan

atau jasa substitusi dan atau komplementer).

3.6. Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha

Berdasarkan bahwa fakta-fakta, penilaian, analisis, dan kesimpulan

terhadap perkara ini, Majelis KPPU menimbang dan menjatukan Putusan KPPU

Nomor 13/KPPU-I/2019, dibacakan di muka persidangan yang dinyatakan

terbuka untuk umum pada hari Kamis, 2 Juli 2020, yang mana dalam amar

putusan ini menyatakan bahwa :

1. Menyatakan Terlapor I dan Terlapor II terbukti secara sah dan meyakinkan

melanggar Pasal 14 dan Pasal 19 huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999;

2. Menyatakan Terlapor I dan Terlapor II tidak terbukti melanggar pasal 15 ayat

(2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999;

3. Menghukum Terlapor I membayar denda sebesar Rp. 7.500.000.000.00

(Tujuh Milyar Lima Ratus Juta Rupiah) atas pelanggaran Pasal 14 Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999 dan membayar denda sebesar Rp.

22.500.000.000.00 (Dua Puluh Dua Milyar Lima Ratus Juta Rupiah) atas

pelanggaran Pasal 19 huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999;

4. Menghukum Terlapor II membayar denda sebesar Rp. 4.000.000.000.00

(Empat Milyar Rupiah) atas pelanggaran Pasal 14 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999 dan membayar denda sebesar Rp. 15.000.000.000.00 (Lima Belas

Milyar Rupiah) atas pelanggaran Pasal 19 huruf d Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999.

Anda mungkin juga menyukai