Anda di halaman 1dari 8

ANALISIS PENDEFINISIAN PASAR BERSANGKUTAN DALAM PRAKTIK

DISKRIMINASI DALAM PENJUALAN KARGO ANGKUTAN UDARA:


PUTUSAN KPPU NOMOR 7/KPPU-1/2020
Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur 1 Hukum Persaingan Usaha

Ajmi Pajrul Amien 205010100111130


No Absen :9
Kelas : Hukum Persaingan Usaha (A)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2023
1. Kronologi Kasus Praktik Diskriminasi Kapasitas Kargo Oleh Lion Grup
Kasus diskriminasi kapasitas kargo ini bermula dari adanya laporan penumpukan
cargo yang terjadi di Bandara Hang Nadim Batam sejak bulan juli hingga September tahun
2018, adanya penumpukan kargo tersebut berimplikasi pada kerugian yang dialami konsumen
akibat adanya ketidak seimbangan angkutan yang tersedia, sehingga penumpukan kargo
tersebut mengakibatkan pengiriman barang menjadi terlampat sampai ke tangan konsumen.
Penumpukan kargo ini memunculkan indikasi adanya ketidaksehatan persaingan usaha oleh
KPPU, yang lebih lanjut menjadi inisiatif KPPU untuk meninvestigasi apakah telah terjadi
pelanggaran terhadap regulasi persaingan usaha. Berdasarkan perkembangan investigasi
KPPU dalam perkara nomor register 07/KPPU-I/2020 terdapat empat terlapor yang telah
1
diduga melakukaan pelanggaran diskriminasi persaingan usaha yaitu PT Lion Mentari
(terlapor I), PT Batik Air Indonesia (Terlapor II), PT Wings Abadi (Terlapor III), dan PT
Lion Express (Terlapor IV). Keempat terlapor tersebut diduga telah melakukan diskriminasi
persaingan usaha yang menyebabkan terjadinya penumpukan kargo di Bandara Hang Nadim
Batam sejak bulan juli hingga September tahun 2018.
Dalam laporan hasil penyelidikan pada Putusan Nomor 07/KPPU-I/2020 Investigator
KPPU menemukan fakta bahwa keempat terlapor telah melakukan perjanjian Kerjasama yang
disinyalir menimbulkan adanya diskriminasi dalam persaingan usaha, yakni antar terlapor
melakukan perjanjian Kerjasama Nomor 004/LE/PKS/VNDR/VII/2018 (Perjanjian Kerja
sama 004) yang ditandatangani oleh pihak PT Lion Mentari (terlapor I), PT Batik Air
Indonesia (Terlapor II), PT Wings Abadi (Terlapor III), dan PT Lion Express (Terlapor IV) di
tanggal 11 juni. Perjanjian yang disepakati tersebut berisikan Kerjasama antara terlapor I,
terlapor II dan terlapor III dibawah nama “lion air group” yang memberikan hak eksklusif
kepada terlapor IV yang pada pokoknya terlapor IV mendapatkan hak ekskusif sebagai
berikut:
a. Terlapor IV dapat menggunakan kapasitas kargo dari pesawat udara yang dioperasikan
oleh Terlapor I, Terlapor II, dan Terlapor III dengan rute penerbangan dari Bandar Udara
Hang Nadim (BTH) ke 4 (empat) bandar udara yaitu Bandar Udara Soekarno-Hatta,
Bandar Udara Halim Perdana Kusuma, Bandar Udara Juanda dan Bandar Udara
Kualanamu dengan kapasitas kargo sebesar 40 ton per hari.
b. Terlapor IV juga mendapatkan hak untuk menjual sisa kapasitas kargo kepada pihak lain
apabila Terlapor IV tidak dapat mengisi penuh kapasitas kargo yang tersedia.
c. Terlapor IV diberikan hak untuk menerbitkan Surat Muatan Udara (SMU) sendiri untuk
penerbangan dari Terlapor I, Terlapor II, dan Terlapor III ketika mengangkut barang-
barang miliknya sendiri atau milik pihak lain.

1
Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 07/KPPU-I/2020.

2
Perjanjian yang dapat memberikan dampak diskriminasi terhadap pasar yang bersangkutan
tersebut memiliki jangka waktu berlaku sejak 1 Juli 2018 sampai Juni 2019 dengan tambahan
waktu jika para pihak memperpanjang kembali perjanjian tersebut. Berdasarkan kesaksian
yang disampaikan oleh saksi Saudara Victor Ary Subekti menyatakan pada pokoknya bahwa
perjanjian kerja sama tersebut merupakan usulan yang dikemukakan oleh Victor Ary Subekti
sebagai Chief Commercial Terlapor IV untuk mendapatkan jaminan pemberian cargo milik
perusahaan terlapor IV dari Batam.
Pada akhirnya berdasarkan hasil dari Putusan KPPU Nomor Register 07/KPPU-
I/2020 Terlapor I, Terlapor II dan Terlapor IV terbukti melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan Pasal 19 huruf d UU No. 5 Tahun 1999, sehingga Majelis Komisi KPPU
menjatuhkan amar putusan sebagai berikut:
1) Menyatakan bahwa Terlapor I, Terlapor II, dan Terlapor IV terbukti secara sah dan
meyakinkan melanggar Pasal 19 huruf d UU No. 5 Tahun 1999;
2) Menyatakan bahwa Terlapor III tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar
Pasal 19 huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999;
3) Memerintahkan Terlapor I, Terlapor II, dan Terlapor IV tidak mengulangi perbuatan
sebagaimana pelanggaran Pasal 19 huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999;
4) Menghukum Terlapor I, Terlapor II dan Terlapor IV masing-masing membayar denda
sejumlah Rp.1.000.000.000 (satu miliar) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai
setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja KPPU
melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 425812 (pendapatan denda
pelanggaran di bidang persaingan usaha);
5) Menetapkan denda tersebut tidak perlu dilaksanakan, kecuali jika dalam jangka waktu 1
(satu) tahun semenjak Putusan ini berkekuatan hukum tetap Terlapor I, Terlapor II dan
Terlapor IV melakukan pelanggaran Pasal 19 huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999.

2. Analisis Pendefinisian Pasar Bersangkutan dalam Putusan KPPU Nomor 7/KPPU-


1/2020
Pasar bersangkutan berdasarkan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pasar bersangkutan adalah:

“Pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha
atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan atau jasa
tersebut.”

3
Lebih lanjut pada ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
juga mengkategorikan pasar bersangkutan menjadi 2 (dua) aspek, yakni aspek aspek produk
dan aspek geografis.

a. Pendefinisian Pasar Produk dalam Kasus Praktik Diskriminasi Kapasitas Kargo


Oleh Lion Grup
Para terlapor dalam perkara a quo diduga telah melakukan praktek diskriminasi
dengan melakukan Kerjasama pada pengankutan barang/kargo dengan media pesawat
udara, maka pasar produk dalam a quo berkaitan erat dengan pasar jasa angkutan barang
yang dilakukan dengan menggunakan penerbangan para Terlapor. Dengan demikian pasar
produk dalam perkara a quo adalah layanan jasa angkutan udara niaga berjadwal
untuk mengangkut barang (paket, kargo dan/atau pos) dengan menggunakan penerbangan
Terlapor I, Terlapor II, dan Terlapor III.
Pasar Produk dalam perkara a quo merupakan pasar yang berada pada yurisdiksi
layanan jasa angkutan udara niaga berjadwal untuk mengangkut barang, adanya
pendefinisian sebagaimana pasar produk diatas didasari oleh definisi dari berbagai
Undang-Undang terkait dengan pasar produk layanan jasa angkutan udara niaga
berjadwal untuk mengangkut barang (paket, kargo dan/atau pos) dengan
menggunakan penerbangan.
Angkutan Udara sendiri memiliki artian sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka
13 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 menyebutkan bahwa:

“Angkutan Udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk
mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu
bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara”

Pasar Produk a quo pun memiliki unsur pengiriman kargo dan barang pos, yang
mana hal tersebut diatur dalam Pasal 1 angka 12 Peraturan Menteri Perhubungan
Republik Indonesia Nomor PM 59 Tahun 2019 yang menyebutkan bahwa:

“Kargo adalah setiap barang yang diangkut oleh pesawat udara selain benda pos,
barang kebutuhan pesawat selama penerbangan yang habis pakai, dan bagasi yang tidak
ada pemiliknya atau bagasi yang salah penanganan.”

Penjelasan kegiatan angkutan udara menurut Pasal 83 ayat (1) UU Nomor 1


Tahun 2009 adalah:

4
(1) Kegiatan angkutan udara terdiri atas:
a. angkutan udara niaga; dan
b. angkutan udara bukan niaga.

Pengertian angkutan udara niaga menurut Pasal 1 angka 14 UU Nomor 1 Tahun


2009 adalah:

“Angkutan Udara Niaga adalah angkutan udara untuk umum dengan memungut
pembayaran.”

Selanjutnya, dasar hukum dari pasar barang yang dimaksud dengan kegiatan
angkutan udara niaga berjadwal terdapat dalam penjelasan ketentuan Pasal 83 ayat (3)
UU Nomor 1 Tahun 2009 menyatakan sebagai berikut:

“Yang dimaksud dengan kegiatan angkutan udara niaga berjadwal adalah pelayanan
angkutan udara niaga dalam rute penerbangan yang dilakukan secara tetap dan teratur.”

Selanjutnya berkaitan dengan perkara a quo bahwa praktek diskriminasi diduga


dilakukan oleh para Terlapor terkait dengan kerjasama pengangkutan barang/kargo
dengan pesawat udara, maka pasar produk dalam a quo berkaitan erat dengan pasar jasa
angkutan barang yang dilakukan dengan menggunakan penerbangan para Terlapor.
Dengan demikian pasar produk dalam perkara a quo adalah layanan jasa angkutan udara
niaga berjadwal untuk mengangkut barang (paket, kargo dan/atau pos) dengan
menggunakan penerbangan Terlapor I, Terlapor II, dan Terlapor III.
Pemberian definisi terhadap adanya pasar produk tersebut telah sesuai, hal ini
dapat dibuktikan dengan rasio yang sudah tepat pada Pasal 19 huruf d Undang-Undang
Persaingan Usaha menjelaskan bahwa pasar bersengkutan tidak dibatasi oleh hubungan
yang hanya bersifat horizontal dan atau vertikal2
Pendefinisian diatas terkait dengan pasar produk telah sesuai,sebab apabila
merujuk pada Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Penerbangan bahwa definisi angkutan
udara yaitu:

“setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang,


kargo, dan/atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu Bandara ke Bandara yang
lain atau beberapa Bandara”

2
Ibid.

5
Hal ini telah sesuai dengan bidang usaha yang dilakukan oleh para terlapor
tercakup dalam definisi tersebut yang mengkonstruksikan adanya keterkaitan erat baik
secara fungsi dan karakteristik secara vertical, kesesuaian pasar produk ini dapat terlihat
dari adanya fakta kesamaan produk/jasa yang ditawarkan dalam rentang market harga
yang sejenis, yang mana Terlapor I adalah PT Lion Mentari yang memiliki kegiatan usaha
angkutan udara dengan menjalankan perusahaan penerbangan berjadwal serta
menjalankan kegiatan di bidang angkutan kargo, Terlapor II PT Baik Air Indonesia yang
menjalankan perusahaan penerbangan berjadwal serta menjalankan kegiatan di bidang
angkutan kargo, dan Terlapor III PT Wings Abadi melakukan kegiatan jasa pengangkutan
udara niaga. Dalam praktiknya Terlapor III melakukan kegiatan usaha jasa penerbangan
komersial, barang dan kargo. Ketiga terlapor ini sama-sama menjalankan layanan jasa
angkutan udara niaga berjadwal untuk mengangkut barang (paket, kargo dan/atau pos)
dengan menggunakan penerbangan pada pasar relevan yang sama, sehingga pendefinisian
diatas sebagai pasar produk telah sesuai.

b. Pendefinisian Pasar Geografis dalam Kasus Praktik Diskriminasi Kapasitas Kargo


Oleh Lion Grup
Berdasarkan Kerjasama yang dilakukan oleh para terlapor sejak tanggal 1 Juli
2018, Kerjasama dilakukan dengan pemberian layanan angkutan udara niaga dengan rute-
rute tertentu, maka pendefinisian pasar geografis ini dilihat dari adanya rute penerbangan
yang diperjanjikan dalam perjanjian 004, yaitu mencakup rute:
1. Bandar Udara Hang Nadim (BTH) ke Bandar Udara Soekarno-Hatta (CGK)
2. Bandar Udara Hang Nadim (BTH) ke Bandar Udara Halim Perdana Kusuma (HLP)
3. Bandar Udara Hang Nadim (BTH) ke Bandar Udara Juanda (SUB), dan
4. Bandar Udara Hang Nadim (BTH) ke Bandar Udara Kualanamu (KNO)
Maka atas adanya fakta yang terdapat dalam laporan perjanjian terlapor tersebut,
dapat disimpulakan bahwa pasar geografis dalam perkara a quo adalah mencakup
keempat rute penerbangan cargo diatas.
Maka dapat ditarik secara pasar produk dan pasar geografis, pasar bersangkurtan
dalam perkara a quo adalah layanan jasa angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri
untuk mengangkut barang (paket dan kargo) dari Terlapor I, Terlapor II dan Terlapor III
Rute Bandar Udara Hang Nadim (BTH) ke Bandar Udara Soekarno-Hatta (CGK), Rute
Bandar Udara Hang Nadim (BTH) ke Bandar Udara Halim Perdana Kusuma (HLP), Rute
Bandar Udara Hang Nadim (BTH) ke Bandar Udara Juanda (SUB) dan Rute Bandar
Udara Hang Nadim (BTH) ke Bandar Udara Kualanamu (KNO).
Berdasarkan temuan dari hasil penyelidikan Investigator, pasar geografis yang
terjadi dalam pasar bersangkutan a quo tidaklah sempurna, karena tidak menyertakan

6
secara jelas keterlibatan dari Terlapor III dan Terlapor IV, sehingga pada kesimpulannya
majelis komisi menyatakan bahwa yang berada dalam pasar geografis yang sama
hanyalah Terlapor I dan Terlapor II, sedangkan Terlapor III dibuktikan dalam
persidangan tidak dalam pasar geografis yang sama, sebab PT Wings Abadi tidak
menjalankan layanan jasa angkutan udara (paket dan kargo) pada jadwal penerbangan
yang sama dengan Terlapor I dan II, sehingga penulis berpendapat bahwa keputusan
majelis komisi yang mengeluarkan Terlapor III dari pasar bersangkutan (geografis) yang
sama adalah keputusan yang tepat.
Pengeluaran Terlapor III dari pasar berangkutan geografis yang sama karena tidak
tidak menjalankan layanan jasa angkutan udara (paket dan kargo) pada jadwal
penerbangan yang sama dengan Terlapor I dan II berimplikasi pada putusan yang
menyatakan bahwa Terlapor III tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar
Pasal 19 huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999; karena berada pada lingkup
geografis/jadwal pengangkutan cargo yang berbeda.

3. Kesimpulan
Kasus diskriminasi kapasitas kargo ini bermula dari adanya laporan penumpukan
cargo yang terjadi di Bandara Hang Nadim Batam sejak bulan juli hingga September tahun
2018. KPPU dalam perkara nomor register 07/KPPU-I/2020 menetapkan terdapat empat
terlapor yang telah diduga melakukaan pelanggaran diskriminasi persaingan usaha yaitu 3 PT
Lion Mentari (terlapor I), PT Batik Air Indonesia (Terlapor II), PT Wings Abadi (Terlapor
III), dan PT Lion Express (Terlapor IV). Keempat terlapor tersebut diduga telah melakukan
diskriminasi persaingan usaha yang menyebabkan terjadinya penumpukan kargo di Bandara
Hang Nadim Batam sejak bulan juli hingga September tahun 2018.
Para terlapor dalam perkara a quo diduga telah melakukan praktek diskriminasi
dengan melakukan Kerjasama pada pengankutan barang/kargo dengan media pesawat udara,
maka pasar produk dalam a quo berkaitan erat dengan pasar jasa angkutan barang yang
dilakukan dengan menggunakan penerbangan para Terlapor. Dengan demikian pasar produk
dalam perkara a quo adalah layanan jasa angkutan udara niaga berjadwal untuk
mengangkut barang (paket, kargo dan/atau pos) dengan menggunakan penerbangan Terlapor
I, Terlapor II, dan Terlapor III.
Berdasarkan temuan dari hasil penyelidikan Investigator, pasar geografis yang
terjadi dalam pasar bersangkutan a quo tidaklah sempurna. Terlapor III dibuktikan dalam
persidangan tidak dalam pasar geografis yang sama, sebab PT Wings Abadi tidak
menjalankan layanan jasa angkutan udara (paket dan kargo) pada jadwal penerbangan yang

3
Ibid.

7
sama dengan Terlapor I dan II dan berimplikasi pada pada putusan yang menyatakan bahwa
Terlapor III tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 19 huruf d Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999;

4. Daftar Pustaka
Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Peraturan KPPU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Pedoman Penerapan Pasal 1 Angka 10 UU
No. 5 Tahun 1999.
Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 07/KPPU-I/2020.

Anda mungkin juga menyukai