Anda di halaman 1dari 4

Nama

: Ibnu Aulia Hertantyo S

NIM

: 11010113130639

Kelas

: Hukum Transportasi (A)

Kasus Posisi
Hilangkan Koper Penumpang, Lion Air Dihukum Ganti Rugi Rp 38 Juta
Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan peninjauan kembali (PK) maskapai
penerbangan Lion Air. Alhasil, Lion Air harus memberikan ganti rugi Rp 38 juta kepada
penumpang Robert Mangatas Silitonga, warga Semarang yang kehilangan kopernya. Kasus
bermula saat Robert dengan istrinya, Ruth Elin Pujiati terbang dari Polonia Medan pada 12
Juli 2011 pukul 14.00 WIB dengan transit terlebih dahulu di Jakarta.
Sesampainya di Semarang, dari 3 kopor yang dititipkan di bagasi, hanya ada 2 kopor yang
didapat. Satu kopor lainnya tidak ditemukan. Robert melaporkan hal itu ke manager Lion Air
setempat. Setelah satu bulan tidak ada kabar berita, Robert mengajukan langkah hukum atas
raibnya koper Polo warna hitam beserta isinya senilai Rp 19,1 juta.
PN Semarang mengabulkan hukuman dengan menghukum kerugian materil Rp 19,1 juta dan
immateril Rp 19,1 juta atau total Rp 38 juta. Putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi
Semarang pada 24 Oktober 2012. Vonis ini tidak berubah meski Lion Air mengajukan kasasi.
Langkah terakhir ditempuh Lion Air dengan mengajukan peninjauan kembali (PK). Tapi MA
bergeming. "Menolak permohonan PK pemohon PT Maskapai Lion Air Jakarta cq PT
Maskapai Lion Air Cabang Semarang," demikian putus MA yang dikutip dari buku Laporan
Tahunan MA, Kamis (3/3/2016).
Putusan itu diketok pada 13 April 2015 oleh ketua majelis hakim agung M Saleh dengan
anggota hakim agung Syamsul Maarif dan Zahrul Rabain. Putusan ini menjadi landmark
decission 2015 dengan kaidah hukum yaitu perbedaan penyebutan nama Tergugat (Lion Air)
tidak mengakibatkan Tergugat (Lion Air) terlepas dari tanggung jawab secara hukum. Sebab
masyarakat lebih mengenal Lion Air, dibandingkan PT Lion Mentari yang sesuai akta
pendirian. Atas vonis ini, Lion Air mematuhi putusan tersebut dan siap melaksanakannya.
"Kalau sudah putusan MA seperti itu, kita pasti taati dan laksanakan," kata Corporate Lawyer
Lion Air Group, Dr Harris Arthur Hedar.

Analisa hukum
"Menolak permohonan PK pemohon PT Maskapai Lion Air Jakarta cq PT Maskapai Lion Air
Cabang Semarang," demikian putusan MA yang dikutip dari buku Laporan Tahunan MA,
Kamis (3/3/2016).1 Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan peninjauan kembali (PK)
maskapai penerbangan Lion Air. Alhasil, Lion Air harus memberikan ganti rugi Rp 38 juta
kepada penumpang Robert Mangatas Silitonga, warga Semarang yang kehilangan kopernya.
Kasus diatas adalah salah satu kasus yang termasuk dalam ruang lingkup Hukum Transportasi
Udara dan Perlindungan Konsumen. Hal yang dipermasalahkan bukanlah Jasa penerbangan
yang diberikan oleh maskapai Lion Air, namun Jasa Penitipan Barang dalam Bagasi Pesawat.
Hal ini bermula pada maraknya keluhan para konsumen Penumpang pesawat yang
kehilangan bagasinya, kasus diatas adalah salah satu kasus yang sudah diproses secara hukum
hingga PK.
Pada kasus diatas Robert penumpang Maskapai Lion Air, kehilangan salah satu Kopernya
dalam Bagasi Pesawat yang ditumpanginya, setelah melapor kepada pihak Lion Air namun
tidak ditanggapi lebih lanjut, maka dibawalah kasus ini ke Pengadilan. Awalnya Pihak Lion
Air dituntut rugi atas kerugian koper tersebut senilai Rp. 19,1 juta, namun PN Semarang
mengabulkan permohonan tersebut dengan menambahkan kerugian Inmateril juga sebesar
Rp. 19,1 juta hingga total Rp. 38 juta.
Hingga hari ini sampai ke Peninjauan Kembali yang ditolak kembali, Lion Air dituntut untuk
membayar ganti kerugian sebesar Rp. 38 juta. Jika kita melihat dari Pasal 19 Ayat (1)
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan
Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa
yang dihasilkan atau diperdagangkan
Lalu jika kita lebih spesifik lagi, maka merujuk kepada Pasal 144 Undang-Undang No. 1
Tahun 2009 tentang Penerbangan yang menyatakan Pengangkut bertanggung jawab atas
kerugian yang diderita oleh penumpang karena bagasi tercatat hilang, musnah, atau
rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama bagasi tercatat berada
dalam pengawasan pengangkut.
1

Amborsius Ambarita, Hilangkan Koper Penumpang, Lion Air Dihukum Ganti Rugi Rp 38
Juta, Berita Kepo, diakses dari http://www.beritakepo.com/2016/03/hilangkan-koperpenumpang-lion-air.html, pada tanggal 03 Maret 2016 pukul 23.00 WIB

Dalam hal diatas sudah jelas pihak Maskapai Lion Air wajib mengganti kerugian yang
dialami oleh Robert sebagaimana bentuk tanggung jawab pelaku pengusaha dalam UndangUndang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Penerbangan. Dalam hal Ganti Rugi
sendiri terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a pada Peraturan Menteri Perhubungan No. 77
Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara yaitu kehilangan bagasi
tercatat atau isi bagasi tercatat atau bagasi tercatat musnah diberikan ganti kerugian
sebesar Rp. 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) per kg dan paling banyak Rp.
4.000.000,00 (empat juta rupiah) per penumpang
Namun dalam putusannya Hakim memutus lain, dikabulkannya permohonan biaya ganti rugi
sebesar Rp. 19,1 Juta yang ditambah dengan Biaya Ganti Rugi Inmateril sebesar Rp. 19,1
Juta. Total yang harus diganti oleh Pihak Maskapai Lion Air sebesar Rp. 38 Juta. Tentu bukan
jumlah yang sedikit maupun jumlah yang banyak bagi Maskapai sebesar Lion Air, namun
perlu diperhatikan lagi, pada pasal 5 ayat (1) huruf a peraturan sebelumnya, sudah jelas juga
bahwa pengangkut hanya mengganti paling banyak Rp. 4.000.000,00 (empat juta rupiah)
per penumpang.
Memang di dalam Hukum Transportasi dikenal dengan asas limitation liability/pembatasan
tanggung jawab pengangkut dimana pengangkut pengangkut bertanggung jawab terbatas
dalam limit tertentu atas ganti rugi terhadap penumpang. Pembatasan tersebut terlihat dalam
Pasal 5 ayat (1) huruf a pada Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 tentang
Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara. Pembatasan tersebut dilakukan juga untuk
melindungi sebesar apa tanggung jawab pengangkut terhadap penumpang maupun
sebaliknya.
Hal ini tentu telah menjadi Yurisprudensi baru bagi Hakim. Memang dalam hukum di
Indonesia terdapat asas Ultra Petita yaitu penjatuhan putusan oleh hakim atas perkara yang
tidak dituntut atau memutus melebihi dari pada yang diminta. Pengaturan asas Ultra Petita
dalam Hukum Perdata terdapat dalam Pasal 178 ayat (3) Het Herziene Indonesisch
Reglement (HIR) dan Pasal 189 ayat (3) Rbg yang melarang seseorang hakim memutus
melebihi apa yang dituntut (petitum). Hal ini tentu akan menjadi persoalan ketika Hakim
selanjutnya memutus terpantau jauh pada kerugian Inmateril dikarenakan telah ada
Yuriprudensi oleh hakim sebelumnya dalam kasus yang serupa. Pihak yang dituntut untuk
mengganti rugi akan mengalami kerugian yang besar ketika Hakim Memutus Kerugian
Inmateril yang cukup besar.

Memang dalam perkembangan hukumnya Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat
sesuai dengan pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman. Namun apakah kepastian hukum yang diberikan oleh Undang-Undang tidak
menjamin hukum dalam Transportasi Udara karena bagaimanapun juga kerugian inmateril
memang senyatanya dikenal dalam hukum di Indonesia namun tidak ada pengaturan yang
jelas kerugian inmateril dalam Hukum Transportasi Udara. Kerugian inmateril sejauh ini
dalam KUHPerdata hanya diatur dalam pasal 1370, 1371 dan 1372 KUHPerdata.
Memang sudah jelas ada Peraturan yang mengatur mengenai ganti kerugian, namun memang
adanya asas ultra petita ini sejatinya untuk melindungi Independensi Hakim itu sendiri.
Tetapi perlu dilihat lagi apakah sudah tepat Peraturan yang dibuat oleh pemerintah untuk
mengatasi ganti kerugian, dan apakah sudah tepat pula Putusan-putusan yang akan Hakim
jatuhkan dengan mempertimbangkan pula Asas Ultra Petita yang dalam hal ini dimana
keadilan bagi para pihak dalam Hukum Transportasi dapat terpenuhi seutuhnya. Karena
pengangkut dalam tanggung jawabnya juga mempunyai Asas-Asas tersendiri, termasuk Asas
Limitation liability.

REFERENSI :
1. Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
2. Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut
Angkutan Udara
3. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindunga Konsumen
4. Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) dan Rbg
5. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
6. KUHPerdata

Anda mungkin juga menyukai