Anda di halaman 1dari 3

Kelas

:B

Kelompok

1.
2.
3.
4.
5.

Intan Mutiari S.
Hari Nugraheni
Fiska Agung Santoso
Amelia Renaz Rachmawati
Ivan Yusuf Faizal

(13340010)
(13340083)
(13340093)
(13340102)
(13340127)
Analisis Kasus 1

Dalam kasus 1 PT Ratatex dinyatakan Pailit atas gugatan Iwan Darmawan Soejadi akibat
utang-piutang sebesar Rp120 juta yang telah jatuh tempo. Hal ini dinyatakan
dalam putusan No. 59/Pailit/2009.
Kemudian yang menjadi sengketa disini adalah sebidang tanah di Surabaya milik PT Ratatex
yang oleh kurator dimasukkan kedalam Boedel Pailit, akan tetapi PT Grand Kota menyatakan
bahwa ada nota kesepahaman

jual-beli antara Ratatex dengan Grand Kota dengan harga

Rp92,780 sehingga ada hak PT Grand Kota disitu. Akan tetapi kenyataannya
realisasi pembayaran baru dilakukan sekali sebesar Rp15,604 miliar dan
rencananya akan dilunasi pada 29 Oktober 2004. Yang pada akhirnya Perjanjian
antara PT Ratatex dan PT Grand Kota tersebut diputus oleh Kurator, yang kami pandang karena
faktor harga jual tanah yang diperjanjikan hanya Rp670 ribu/m, sementara Nilai Jual
Objek tanah itu saat pailit Rp705 ribu/ m.
Menurut Analisis Kami keputusan Kurator dalam pemutusan Nota Kesepahaman antara
Ratatex dan Grand Kota adalah tepat secara hukum. Hal ini menimbang :
a. Tanah tersebut masih beratasnamakan PT Ratatex, dan perjanjian tidak dapat
ditindak lanjuti.
Dalam undang-undang kepailitan pasal 21 berbunyi bahwa

Kepailitan meliputi

seluruh kekayaan Debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala
sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Dilihat dari analogi dasar, jelas bahwa Tanah di
Surabaya tersebut masih merupakan kekayaan Debitor yaitu PT Ratatex karena masih
beratas namakan Ratatex sehingga tepat apabila dimasukkan kedalam Boedel Pailit.

Nota Kesepahaman antara PT Ratatex dengan PT Grandkota menjadi tidak lagi dapat
dilanjutkan disini akibat dari Pasal 34 UU Kepailitan yang dimana perjanjian yang
bermaksud memindahtangankan hak atas tanah, balik nama kapal, pembebanan hak
tanggungan, hipotek, atau jaminan fidusia yang telah diperjanjikan terlebih dahulu, tidak
dapat dilaksanakan setelah putusan pernyataan pailit diucapkan.
b. Nota Kesepahaman telah Lewat Tempo, sehingga perjanjian tersebut layak dibatalkan.
Tanah tersebut rencananya akan dilunasi pada 29 Oktober 2004, akan
tetapi tidak dilaksanakan sampai akhirnya lewat tempo 5 Tahun sampai
dikeluarkannya putusan No. 59/Pailit/2009. Tindakan ini kami kategorikan
sebagai tindakan wanprestasi oleh Grandkota karena tidak memenuhi
prestasi selama 5 tahun. Karenanya Grand Kota tidak lagi memiliki hak
dalam perjanjian tersebut dan perjanjian tersebut sangat bisa untuk
dibatalkan.
Juga menimbang Pasal 36 ayat 3 UU Kepailitan dimana apabila
Kurator tidak menghendaki perjanjian berlanjut maka perjanjian tersebut
berakhir, dan pihak yang berkaitan diperlakukan sebagai Kreditor
Konkuren. Grand Kota dapat meminta ganti rugi disini.
c. Dalam kasus ini Undang-Undang Kepailitan lebih diutamakan daripada KUHPerdata.
PT Grand Kota Mengajukan keberatan atas tindakan Kurator yang memutuskan nota
kesepahaman antara Ratatex dan Grandkota, serta menyegel Hak Guna Bangunan tanah
tersebut. PT Grand Kota mengusung Pasal 1266 KUH Perdata yaitu Pembatalan tidak dapat
dilakukan demi hukum tapi harus melalui putusan hakim.
Menimbang asas perundang-undangan Lex Specialis derogat legi generali, yaitu
undang-undang yang lebih khusus mengesampingkan undang-undang yang lebih umum.
Karenanya UU Kepailitan harus lebih diutamakan daripada KUHPerdata dalam kondisi ini,
karena kepailitan secara khusus telah diatur dalam UU No. 37 Tahun 2004. Diatur dalam
pasal 229 ayat 2 UU Kepailitan bahwa Pemutusan Hak suara dilakukan oleh hakim
pengawas.

Analisis Kasus 3
Dari kasus yang terjadi pada PT Telkomsel bisa di Tarik kesimpulan sebagai berikut:
Bahwa dalam hal ini PT Telkomsel memiliki asset sejumlah Rp 52,723 Trilliun, dan
memiliki hutang 5,3 Milliar, lolos dari gugatan karena dianggap tidak sesuai dengan pasal 8 ayat
(4) Undang-Undang Kepailitan. Kasus lain pada PT. Metro Batavia dimana majelis mengabulkan
gugatan ILFC karena tidak mempu membayar utang $4,6 Milliar dan Batavia mengakui dan hal
ini sesuai dengan Pasal 164 HIR dimana pengakuan adalah bukti sempurna.
Terkait dengan Perlindungan Konsumen dalam 2 kasus diatas, perlu sinkronisasi antara uu
kepailitan dengan uu perlindungan konsumen karena penumpang bukanlah kreditor dan dalam
pasal 4 H uu perlindungan konsumen dijelaskan adanya hak untuk mendapatkan ganti rugi /
penggantian dan dalam hal ini penggantian harusnya menjadi prioritas, begitu pula dalam pasal
10 permen hub 77 tahun 2011 dimana apabila ada keterlambatan lebih dari 4 jam diberikan ganti
rugi Rp 300.000 per penumpang.

Anda mungkin juga menyukai