Anda di halaman 1dari 28

Halaman Judul

PENGARUH STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI)


DALAM UPAYA PERLINDUNGAN TERHADAP KONSUMEN

DISUSUN OLEH

YARDEMA MULYAN
NADA FELICIA RAHMAN
MUHAMMAD HAIDAR HAKIM
DEVINA MARTHALINDA
FISKA AGUNG SANTOSO
RIZKA ARI KHOLIFATUR ROHMAN
NANDA RAHDA IZATY
ISNA NUR FAIZAH
AMELIA RENAZ RACHMAWATI
ELSA FINDA RAHMASTUTI

13340084
13340086
13340089
13340092
13340093
13340096
13340099
13340101
13340102
13340106

ILMU HUKUM KELAS B


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2016

Kata Pengantar

Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan
karunianya kami dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini tepat pada
waktunya. Makalah ini berjudul Pengaruh SNI dalam upaya perlindungan
terhadap konsumen .
Di dalam pembuatan makalah ini, kami berusaha menguraikan dan
memperjelas tentang perlindungan terhadap konsumen dan hubungannya dengan
Standar Nasional Indonesia. Makalah ini merupakan susunan materi yang disusun
demi memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perlindungan Konsumen yang diampu
oleh bapak Budi Ruhiatudin, S.H., M.Hum.
Dalam kesempatan ini dengan segala kerendahan hati kami menyampaikan
terima kasih kepada Bapak Budi Ruhiatudin, S.H., M.Hum. selaku dosen Hukum
Perlindungan Konsumen yang telah memberikan waktu dan kesempatan untuk
kami menyelesaikan makalah ini.
Akhir kata kami menyadari bahwa pembuatan makalah ini masih jauh dari
sempurna dan banyak kekurangannya, oleh karena itu kami mengharapkan saran,
kritik dan petunjuk dari berbagai pihak untuk pembuatan makalah ini menjadi
lebih baik dikemudian hari.
Semoga makalah yang telah kami buat ini dapat bermanfaat dan menjadi
bahan informasi pada masa yang akan datang, khususnya bagi Mahasiswa/i
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Kamis, 3 November 2016

Penyusun

Daftar Isi

Halaman Judul..........................................................................................................i
Kata Pengantar.........................................................................................................ii
Daftar Isi.................................................................................................................iii
BAB I Pendahuluan................................................................................................1
A.

Latar Belakang...........................................................................................1

B.

Rumusan Masalah......................................................................................2

C.

Tujuan........................................................................................................2

BAB II Pembahasan................................................................................................4
A.

Pengertian Standar Nasional Indonesia (SNI)...........................................4

B.

Tujuan dan Manfaat Penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI)..........6

C.

Penglasifikasian Standar Nasional Indonesia (SNI)..................................8

D.

Prosedur Pendaftaran Standar Nasional Indonesia (SNI)........................10

E.

Korelasi SNI Dengan Perlindungan Konsumen......................................12

F.

Pengawasan Terhadap Standar Nasional Indonesia (SNI).......................14

G.

Tindak Lanjut Terhadap Laporan Pelanggaran Perlindungan Konsumen


Dalam Pengawasan SNI...........................................................................16

H.

Analisis Kasus..........................................................................................18

BAB III Penutup...................................................................................................19


A.

Kesimpulan..............................................................................................19

B.

Saran........................................................................................................20

Daftar Pustaka........................................................................................................21

BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang

Pada dasarnya adanya regulasi mengenai perlindungan terhadap konsumen


merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh Bangsa Indonesia. Sebelum tahun
1999, yaitu sebelum undang-undang

mengenai

perlindungan konsumen

diberlakukan di Indonesia, banyak hak-hak para konsumen yang tidak menjadi


prioritas para pelaku usaha. Bahkan oleh pemerintah pun kerugian yang banyak
diderita konsumen tidak menjadi perhatian utama. Namun seiring dengan semakin
demokratisnya Negara Indonesia, pemerintah mulai memikirkan bahwa
kepentingan konsumen perlu untuk dilindungi karena hal ini sangat berkaitan erat
3

dengan perkembangan dan pembangunan ekonomi nasional. Mengapa demikian?


Karena kegiatan konsumsi yang dilakukan oleh para konsumen ini secara
langsung ataupun tidak langsung berpengaruh pada perputaran uang di dalam
ataupun luar negeri. Dan segala hal mengenai perputaran uang itulah yang
berpengaruh pada perkembangan dan pembangunan ekonomi suatu negara.
Disamping itu juga semakin banyaknya para pelaku usaha atau produsen yang
melakukan berbagai cara untuk menaikkan penjualan juga merupakan salah satu
aspek diperlukannya UU Perlindungan Konsumen. Dalam hal ini produsen adalah
pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang dan/atau jasa dari barangbarang dan/atau jasa lain.mereka dapat terdiri atas orang/badan usaha berkaitan
dengan pangan, orang/badan usaha yang memproduksi sandang, orang/badan
usaha berkaitan dengan pembuatan perumahan, orang/badan usaha berkaitan
dengan jasa angkutan, perasuransian, perbankan, orang/badan usaha berkaitan
dengan kesehatan, obat-obatan, narkotika, dan sebagainya.1
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen
dibuat dengan menimbang beberapa aspek seperti pembangunan nasional,
pembangunan ekonomi nasional, hingga adanya pasar terbuka. Ditambah lagi di
zaman sekarang ini jarak sudah tidak menjadi masalah untuk melakukan kegiatan
perekonomian. Hal ini membuktikan konsumen bukanlah hal yang bisa
disewenang-wenangkan. Kepentingan konsumen juga harus dilindungi, bukan
hanya kepentingan pelaku usaha. UU Nomor 8 tahun 1999 juga menegaskan
bahwa payung hukum atas hak-hak konsumen ini juga diperlukan adanya untuk
meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran,
pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap perilaku usaha yang
bertanggung jawab. Pada dasarnya banyak peraturan perundng-undangan yang
secara langsung ataupun tidak langsung berkaitan dengan upaya perlindungan
konsumen. Walaupun demikian, ketentuan-ketentuan di luar Undang-Undang
1 Andrain Sutedi, Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan
Konsumen, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2008), hlm. 11.

Perlindungan Konsumen tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dalam
Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan atau tidak bertentangan dengan
Undang-Undang Perlindungan Konsumen.2

2 Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya,


(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 26.

B. Rumusan Masalah

Berdasar pertimbangan tersebut, dalam makalah yang mengambil pokok


bahasan mengenai Pengaruh SNI dalam upaya perlindungan terhadap konsumen
ini penulis memiliki beberapa rumusan masalah, yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan Standar Nasional Indonesia?
2. Apa tujuan serta manfaat diterapkannya Standar Nasional Indonesia?
3. Bagaimana prosedur pendaftaran dan pengklasifikasian Standar Nasional
Indonesia?
4. Bagaimana pengawasan Standar Nasional Indonesia dalam rangka
perlindungan konsumen?
5. Seperti apa hubungan Standar Nasional Indonesia dengan perlindungan
konsumen?
6. Bagaimana tindak lanjut mengenai pengawasan Standar Nasional
Indonesia dalam hal terjadi pelanggaran hak konsumen?
7. Bagaimana keterlibatan Standar Nasional Indonesia dalam kasus
perlindungan konsumen?
C. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah yang kami ambil sebagai dasar pembahasan


makalah Pengaruh SNI dalam upaya perlindungan terhadap konsumen ini, kami
merumuskan beberapa tujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui tentang Standar Nasional Indonesia
2. Mengetahui manfaat diterapkannya Standar Nasional Indonesia
3. Mengetahui prosedur pendaftaran dan pengklasifikasian Standar Nasional
Indonesia
4. Mengetahui tentang pengawasan Standar Nasional Indonesia dalam rangka
perlindungan konsumen
5. Mengetahui hubungan Standar Nasional Indonesia dengan perlindungan
konsumen
6. Mengetahui tindak lanjut mengenai pengawasan Standar Nasional
Indonesia dalam hal terjadi pelanggaran hak konsumen
7. Mengetahui keterlibatan Standar Nasional Indonesia dalam kasus
perlindungan konsumen

BAB II
Pembahasan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen


dibuat dengan menimbang beberapa aspek seperti pembangunan nasional,
pembangunan ekonomi nasional, hingga adanya pasar terbuka. Ditambah lagi di
zaman sekarang ini jarak sudah tidak menjadi masalah untuk melakukan kegiatan
perekonomian. Hal ini membuktikan konsumen bukanlah hal yang bisa
disewenang-wenangkan. Kepentingan konsumen juga harus dilindungi, bukan
hanya kepentingan pelaku usaha. UU Nomor 8 tahun 1999 juga menegaskan
bahwa payung hukum atas hak-hak konsumen ini juga diperlukan adanya untuk
meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran,
pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap perilaku usaha yang
bertanggung jawab.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai beberapa aspek perlindungan
konsumen, secara khusus dalam bentuk adanya Standar Nasional Indonesia (SNI).

A Pengertian Standar Nasional Indonesia (SNI)

Setiap negara memiliki Badan standardisasi dan biasanya


memiliki

lebih

banyak

keragaman

standar

dan

umumnya

mengembangkan standar sukarela. Standar-standar ini dapat


menjadi suatu keharusan jika diadopsi oleh suatu pemerintahan,
kontrak bisnis, dll. Proses standardisasi dapat melalui suatu
pengumuman

resmi

atau

dapat

pula

melibatkan konsensus formal dari pakar teknis.3


3 Wikipedia, Standar, diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Standar pada
tanggal 3 November 2016 pukul 5.55 WIB.

Standar
standar

Nasional

yang

Indonesia

(SNI)

adalah

secara

nasional

di

berlaku

satu-satunya

Indonesia.

SNI

dirumuskan oleh Panitia Teknis dan ditetapkan oleh Badan


Standardisasi

Nasional

(BSN).4

Agar

SNI

memperoleh

keberterimaan yang luas antara para stakeholder, maka SNI


dirumuskan dengan memenuhi WTO Code of good practice,
yaitu:
a. Openess (keterbukaan)
Terbuka bagi agar semua stakeholder yang berkepentingan dapat
berpartisipasi dalam pengembangan SNI;
b. Transparency (transparansi)
Transparan agar semua stakeholder yang berkepentingan
dapat

mengikuti

pemrograman

perkembangan

dan

SNI

perumusan

mulai

sampai

dari

tahap

ke

tahap

penetapannya . Dan dapat dengan mudah memperoleh


semua informsi yang berkaitan dengan pengembangan SNI;
c. Consensus and impartiality (konsensus dan tidak memihak)
Tidak memihak dan konsensus agar semua stakeholder dapat
menyalurkan kepentingannya dan diperlakukan secara adil;
d. Effectiveness and relevance
Efektif dan relevan agar dapat memfasilitasi perdagangan
karena

memperhatikan

kebutuhan

pasar

dan

tidak

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang


berlaku;
e. Coherence
Koheren dengan pengembangan standar internasional agar
perkembangan

pasar

negara

kita

tidak

terisolasi

dari

perkembangan pasar global dan memperlancar perdagangan


internasional; dan
f. Development dimension (berdimensi pembangunan)
4 Wikipedia, Standar Nasional Indonesia, diakses dari
https://id.wikipedia.org/wiki/Standar_Nasional_Indonesia pada tanggal 3
November 2016 pukul 5.55 WIB.

Berdimensi pembangunan agar memperhatikan kepentingan


publik dan kepentingan nasional dalam meningkatkan daya
saing perekonomian nasional.5
Standar Nasional Indonesia (SNI). Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Peraturan
Pemerintah No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional ("PP 102/2000),
SNI adalah standar yang ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional dan berlaku
secara nasional terhadap barang dan atau jasa, proses, sistem dan personel yang
telah memenuhi ketentuan/spesifikasi teknis SNI dapat diberikan sertifikat dan
atau dibubuhi tanda SNI (Pasal 14 ayat [1] PP 102/2000). Sertifikat itu sendiri
adalah jaminan tertulis yang diberikan oleh lembaga/laboratorium yang telah
diakreditasi untuk menyatakan bahwa barang, jasa, proses, sistem atau personel
telah memenuhi standar yang dipersyaratkan (Pasal 1 angka 12 PP 102/2000).
Sedangkan, Tanda SNI adalah tanda sertifikasi yang dibubuhkan pada
barang kemasan atau label yang menyatakan telah terpenuhinya persyaratan
Standar Nasional Indonesia (Pasal 1 angka 13 PP 102/2000).
Lebih lanjut mengenai tanda SNI, sertifikat yang diberikan dapat berupa
sertifikat hasil uji, sertifikat kalibrasi, sertifikat sistem mutu, sertifikat sistem
manajemen

lingkungan,

sertifikat

produk,

sertifikat

personel,

sertifikat

pengelolaan hutan produksi lestari, sertifikat inspeksi, sertifikat keselamatan


(Penjelasan Pasal 14 ayat [1] PP 102/.2000).

D. Tujuan dan Manfaat Penerapan Standar Nasional Indonesia


(SNI)

Tujuan standar adalah memberi jaminan keamanan dan


mutu bagi konsumen, dan membangun persaingan yang sehat
pada pelaku usaha. Standar merupakan kualifikasi (minimal)
5 http://www.bsn.go.id/main/sni/isi_sni/5

10

tertentu yang harus dipenuhi oleh suatu produk atau jasa,


sebelum dilempar ke pasar, dan dimanfaatkan konsumen.
Bagi pemerintah, standar dibuat untuk menentukan kriteria
keamanan dan kualitas yang harus dipenuhi oleh suatu produk
tertentu. Pelaku usaha yang memproduksi jenis produk tersebut,
minimal harus memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam standar.
Oleh karena itu, standar juga dapat digunakan oleh pemerintah
sebagai alat kontrol, untuk memastikan produk yang beredar di
pasar memang layak dikonsumsi.
Dengan adanya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, Sasaran
utama dalam pelaksanaan standardisasi, adalah meningkatnya
ketersediaan Standar Nasional Indonesia

(SNI) yang mampu

memenuhi kebutuhan industri dan pekerjaan instalasi guna


mendorong daya saing produk dan jasa dalam negeri, secara
umum SNI mempunyai manfaat, sebagai berikut:
1) Dari sisi produsen
Terdapat kejelasan target kualitas produk yang harus dihasilkan
sehingga terjadi persaingan yang lebih adil;
2) Dari sisi konsumen
Dapat mengetahui kualitas produk yang ditawarkan sehingga
dapat melakukan evaluasi baik terhadap kualitas maupun
harga;
3) Dari sisi Pemerintah
Dapat melindungi produk dalam negeri dari produk-produk
luar

yang

murah

tapi

tidak

terjamin kualitas

maupun

11

keamanannya, dan meningkatkan keunggulan kompetitif


produk dalam negeri di pasaran internasional.6
Karena standar merupakan persyaratan minimal yang harus
dipenuhi, pelaku usaha dapat berkreasi mencari nilai tambah
produk dibandingkan produk sejenis lainnya. Di samping itu,
pelaku usaha dapat memperoleh sertifikat SNI, dikeluarkan oleh
LSPro, yang merupakan pengakuan terhadap kualitas hasil
produksinya. Dengan memiliki sertifikat, pelaku usaha berhak
mencantumkan

logo

SNI

pada

kemasan

produknya.

Bagi

konsumen sendiri, penandaan SNI pada suatu produk sebenarnya


dapat dijadikan dasar memilih produk. Penandaan ini merupakan
jaminan dan kepastian bahwa produk tersebut telah memenuhi
syarat yang ditetapkan serta aman dan layak untuk konsumen.7

E. Penglasifikasian Standar Nasional Indonesia (SNI)

SNI tidak diwajibkan pada semua barang. Berdasarkan Pasal 12 ayat (2) PP
102/2000, SNI bersifat sukarela untuk ditetapkan oleh pelaku usaha. Akan tetapi,
dalam hal SNI berkaitan dengan kepentingan keselamatan, keamanan, kesehatan
masyarakat atau pelestarian fungsi lingkungan hidup dan/atau pertimbangan
ekonomis, instansi teknis dapat memberlakukan secara wajib sebagian atau
seluruh spesifikasi teknis dan atau parameter dalam SNI (Pasal 12 ayat [3] PP
102/2000).

6 http://www.landasanteori.com/2015/10/pengertian-standarnasional-indonesia.html
7 http://ylki.or.id/2011/05/sni-efektifkah-melindungi-konsumen/

12

Jika untuk barang dan atau jasa, proses, sistem dan personel tersebut telah
ditetapkan SNI, maka pelaku usaha harus memiliki sertifikat atau tanda SNI
(Pasal 15 PP 102/2000).
Jika atas suatu barang atau jasa telah diberlakukan SNI wajib, maka pelaku
usaha yang barang atau jasanya tidak memenuhi dan/atau tidak sesuai dengan SNI
wajib, tidak boleh memproduksi dan/atau mengedarkan barang atau jasa tersebut
(Pasal 18 ayat (1) PP 102/2000).
Selain itu, jika pelaku usaha telah memperoleh sertifikat produk dan/atau
tanda SNI dari lembaga sertifikasi produk untuk barang atau jasanya, pelaku
usaha tersebut dilarang memproduksi dan mengedarkan barang dan/atau jasa yang
tidak memenuhi SNI (Pasal 18 ayat [2] PP 102/2000).
SNI yang telah diberlakukan secara wajib, tidak hanya dikenakan pada
barang dan/atau jasa yang produksi dalam negeri, tetapi juga berlaku untuk barang
dan/atau jasa impor (Pasal 19 ayat [1] PP 102/2000).
Jadi, pada dasarnya tidak semua barang atau jasa wajib SNI. Biasanya SNI
wajib diberlakukan pada hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan keselamatan,
keamanan, kesehatan masyarakat atau pelestarian fungsi lingkungan hidup dan
atau pertimbangan ekonomis.
Contoh beberapa barang yang wajib SNI antara lain:
1. Mainan anak-anak, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian
Republik Indonesia No. 24/M-IND/PER/4/2013 Tahun 2013 Tentang
Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) Mainan Secara Wajib
(Permen Perindustrian 24/2013). Mainan yang dimaksud adalah setiap
produk atau material yang dirancang atau dengan jelas diperuntukkan
penggunaannya oleh anak dengan usia 14 (empat belas) tahun ke bawah untuk
bermain dengan penggunaan yang normal maupun kemungkinan penggunaan

13

yang tidak wajar sesuai dengan kebiasaan seorang anak (Pasal 1 angka 1
Permen Perindustrian 24/2013).
2. Ban, yang diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia
No. 11/M-IND/PER/1/2012 Tahun 2012 Tentang Pemberlakuan Standar
Nasional Indonesia (SNI) Ban Secara Wajib sebagaimana terakhir diubah
dengan Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia No. 27/MIND/PER/5/2013 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Menteri Perindustrian Nomor 11/M-IND/PER/1/2012 Tentang Pemberlakuan
Standar Nasional Indonesia (SNI) Ban Secara Wajib;
3. Semen, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian Republik
Indonesia No. 18/M-IND/PER/2/2012 Tahun 2012 Tentang Pemberlakuan
Standar Nasional Indonesia (SNI) Semen Secara Wajib;
4. Pupuk anorganik tunggal, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
Perindustrian Republik Indonesia No. 16/M-IND/PER/2/2012 Tahun 2012
Tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) Pupuk Anorganik
Tunggal Secara Wajib;
5. Air minum dalam kemasan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
Perindustrian Republik Indonesia No. 49/M-IND/PER/3/2012 Tahun 2012
Tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) Air Minum Dalam
Kemasan (AMDK) Secara Wajib;
6. Helm, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian Republik
Indonesia Nomor 40/M-IND/PER/6/2008 Tahun 2008 Tentang Pemberlakuan
Standar Nasional Indonesia (SNI) Helm Pengendara Kendaraan Bermotor
Roda Dua Secara Wajib;
7.

dan lain-lain.

F. Prosedur Pendaftaran Standar Nasional Indonesia (SNI)

14

Tata cara permohonan Sertifikat Produk Penggunaan Tanda (SPPT) SNI kepada
Lembaga Sertifikasi Produk Pusat Standirisasi (LSPro-Pustan) Departemen
Perindustrian (Deperin).:
1. Mengisi Formulir Permohonan SPPT SNI
Daftar isian permohonan SPPT SNI dilampiri :
a. fotokopi srtifikasi Sistem Manajemen Mutu SNI 10-90001-2001 (ISO
9001:2000) yang dilegalisir. Sertifikasi tersebut diterbitkan lembaga
sertifikasi sistem mutu (LSSM) yang diakreditasi Komite Akreditasi Nasional
(KAN)
b. jika berupa produk impor perlu dilengkapi sertifikat dari LSSM negara asal
dan yang telah melakukan perjanjian saling pengakuan (Mutual Recognition
Arrangement/MRA) dengan KAN. (semua pada tahap ini biasanya
membutuhkan waktu selama satu hari).
2. Verifikasi Permohonan
LSPro-Pustam melakukan verifikasi meliputi : semua persyaratan untuk SPPT
SNI, jangkauan lokasi audit, kemampuan memahami bahasa setempat (jika ada
kesulitan, perlu penerjemah bahasa setempat untuk audit kesesuaian). Selanjutnya
akan terbit biaya (invoice) yang harus dibayar produsen. Proses verifikasi perlu
waktu satu hari.
3. Audit Sistem Manajemen Mutu Produsen
a. Audit Kecukupan (Tinjauan Dokumen) : memeriksa kelengkapan dan
kecukupan dokumen sistem manajemen mutu produsen terhadap persyaratan
SPPT SNI. Bila hasilnya ditemukan ketidaksesuaian kategori mayor maka
prmohonan harus melakukan koreksi dalam jangka waktu dua bulan. Jika
koreksi produsen tidak efektif, permohonan SPPT SNI akan ditolak.
b. Audit Kesesuaian : memeriksa kesesuain dan keefektifan penerapan sistem
manajemen

mutu

di

lokasi

produsen.

Bila

hasilnya

ditemukan

ketidaksesuaian, pemohon harus melakukan koreksi dalam jangka waktu dua

15

bulan. Jika tindakan koreksinya tidak efektif, maka LSPro-Pustan Deperin


akan melakukan audit ulang. Bila Audit ulang tidak memenuhi persyaratan
SNI , pemohon SPPT SNI produsen ditolak. Proses ini biasanya memerlukan
waktu 5 hari.
4. Pengujian Sampel Produk
Jika diperlukan pengambilan sampel untuk uji laboratorium, pemohon menjamin
akses tim Asesor dan Petugas Pengambil Contoh (PPC) untuk memperoleh catatan
dan dokumen yang berkaitan dengan Sistem Manajemen Mutu. Sebaliknya,
LSPro-Pustan Deperin menjamin para petugasnya ahli di bidang tersebut.
Pengujian dilakukan di laboraturium penguji atau lembaga inspeksi yang sudah
diakreditasi. Jika dilakukan di laboraturium milik produsen, diperlukan saksi saat
pengujian. Sampel produk diberi label contoh uji (LCU) dan disagel. Prosesini
membutuhkan waktu 20 hari.
5. Penilaian Sampel Produk
Laboraturium penguji menerbitkan Sertifikasi hasil uji. Bila hasil pengujian tidak
memenuhi persyaratan SNI, pemohon diminta segera melakukan pengujian ulang.
Jika hasil uji ulang tak sesuai persyaratan SNI, permohonan SPPT SNI ditolak.
6. Keputusan Sertifikasi
Seluruh dokumen audit dan hasil uji menjadi bahan rapat panel Tinjauan SPPT
SNI LSPro-Pustan Deperin. Proses penyiapan bahan biasanya perlu waktu 7 hari
kerja, sementara rapat panel sehari.
7. Pemberian SPPT-SNI
LSPro-Pustan melakukan klarifikasi terhadap perusahaan atau produsen yang
bersangkutan proses klarifikai ini perlu waktu 4 hari kerja. Keputusan pemberian
sertifikat oleh panel tinjauan SPPT SNI didasarkan pada hasil evaluasi produk
yang memenuhi : kelengkapam administrasi (aspek legalitas), ketentuan SNI, dan
16

proses produksi serta sistem manajemen mutu yang diterapkan dapat menjamin
konsistensi mutu produk. Jika semua syarat terpenuhi, esoknya LSPro-Pustam
Deperin menerbitkan SPPT SNI untuk produk pemohon.
G. Korelasi SNI Dengan Perlindungan Konsumen

Dalam konteks perlindungan konsumen, standar mempunyai peran sangat


penting. Setidaknya, kata-kata standar muncul dalam pasal-pasal UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 7, di antara
Kewajiban Pelaku Usaha adalah (d) menjamin mutu barang dan/atau jasa yang
diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang
dan/atau jasa yang berlaku. Demikian juga, Pasal 8 menyebutkan: Pelaku usaha
dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang (a)
tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Dari pasal-pasal ini jelas bahwa pelaku
usaha harus mengikuti standar yang berlaku.
Dari pasal-pasal ini jelas bahwa pelaku usaha harus mengikuti standar yang
berlaku. Melanggar Pasal 8, berarti siap dengan ancaman kurungan maksimal 5
tahun atau denda maksimal 2 milyar rupiah (Pasal 62). Meski kenyataannya, kita
tidak pernah tahu apakah pelanggar-pelanggar seperti diceritakan di awal tulisan
ini sempat dikenakan sanksi atau tidak.
Bagi konsumen sendiri, penandaan SNI pada suatu produk
sebenarnya dapat dijadikan dasar memilih produk. Penandaan ini
merupakan jaminan dan kepastian bahwa produk tersebut telah
memenuhi syarat yang ditetapkan serta aman dan layak
dikonsumsi.
Kewajiban pelaku usaha antara lain adalah memberikan informasi yang
benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta
memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan, memberi

17

kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,


pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan
Standar akan berperan dalam perlindungan konsumen
apabila pengawasan dilakukan dengan benar. Yang paling
bertanggung jawab dalam melakukan pengawasan tentu saja
pemerintah atau instansi yang terkait. Pemerintah melakukan
pengawasan baik sebelum produk dipasarkan, maupun setelah
produk beredar di pasar, termasuk untuk produk-produk impor.
Sesungguhnya, peran pengawasan juga menjadi kewajiban
pelaku usaha, dengan memastikan quality control dan quality
assurance berjalan sebagaimana mestinya. Serta memastikan
menerapkan standar yang berlaku mulai dari hulu hingga hilir.
Konsumen pun dapat berperan dengan berani bertindak apabila
menemukan produk yang dicurigai tidak memenuhi standar dan
peraturan.

H. Pengawasan Terhadap Standar Nasional Indonesia (SNI)

Pengawasan, menurut Permendag No.20/M-DAG/ PER/5/2009 tentang


Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa adalah serangkaian
kegiatan yang diawali pengamatan, pengujian, penelitian dan survei terhadap
barang atau jasa, pencantuman label, klausula baku, cara menjual, pengiklanan,
serta pelayanan purna jual barang dan jasa beredar di pasar adalah barang atau
jasa yang ditawarkan, dipromosikan, diiklankan, diperdagangkan, dipergunakan,
atau dimanfaatkan konsumen di wilayah Indonesia baik produksi dalam negeri
maupun luar negeri. .
Pada dasarnya pengawasan barang beredar bukan untuk mematikan usaha
pelaku usaha. Sebaliknya, pengawasan dapat mendorong iklim berusaha yang
sehat dan melahirkan perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan
18

melalui penyediaan barang dan/atau jasa berkualitas. Upaya pengawasan penting


dioptimalkan karena tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha.
Pengawasan terhadap standar barang yang sudah beredar di pasar (pasca-pasar)
maupun terhadap barang yang belum dipasarkan (pra-pasar) diatur dalam
Permendag 14 Tahun 2007 Tentang Standardisasi Jasa Bidang Perdagangan dan
Pengawasan SNI Wajib Terhadap Barang dan jasa yang Diperdagangkan. Dalam
pasal 7 disebutkan bahwa pengawasan SNI wajib terhadap barang produksi dalam
negeri atau impor yang diperdagangkan di dalam negeri, dilakukan melalui
pengawasan pra pasar dan pengawasan di pasar. Pengawasan pra pasar dilakukan
terhadap barang yang telah diberlakukan SNI wajib dan telah dinotifikasi kepada
Organisasi Perdagangan Dunia. Pengawasan pra pasar dilakukan sebelum barang
beredar di pasar. Pengawasan pasca-pasar dilakukan pada saat barang beredar di
pasar.
Pengawasan pra pasar terhadap barang produksi dalam negeri yang
diperdagangkan dilakukan melalui NRP. Pengawasan pra pasar terhadap barang
impor dilakukan melalui SPB yang di dalamnya terdapat NPB. NRP dan SPB
diterbitkan oleh Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri c.q. Direktur
Pengawasan dan Pengendalian Mutu Barang. Pengawasan pra pasar dikecualikan
terhadap pangan olahan, obat, kosmetik, dan alat kesehatan.
Pengawasan mutu barang produksi dalam negeri yang akan diperdagangkan
yang telah diberlakukan SNI wajib, dilakukan oleh Direktorat Jenderal
Perdagangan Luar Negeri c.q. Direktorat Pengawasan dan Pengendalian Mutu
Barang melalui NRP. Pengawasan mutu barang impor yang telah diberlakukan
SNI wajib dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri c.q.
Direktorat Pengawasan dan Pengendalian Mutu Barang melalui SPB sebagai
dokumen impor yang di dalamnya terdapat NPB. Pelaksanaan pengawasan
terhadap barang beredar di pasar yang telah diberlakukan SNI wajib dilakukan
oleh Petugas Pengawas Barang dan Jasa (PPBJ) dan/atau Penyidik Pegawai
Negeri Sipil Perlindungan Konsumen (PPNS-PK).

19

Pengawasan dilakukan terhadap kewajiban pelaku usaha antara lain dalam


pemenuhan kesesuaian standar terhadap barang dan/atau jasa. Ketentuan dan tata
cara pengawasan dilakukan berdasarkan peraturan Menteri yang mengatur tentang
ketentuan dan tata cara pengawasan barang dan jasa yang beredar di pasar.
Pelaksanaan pengawasan terhadap barang beredar di pasar (pasca-pasar) yang
telah diberlakukan SNI wajib dilakukan oleh Petugas Pengawas Barang dan Jasa
(PPBJ) dan/atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perlindungan Konsumen (PPNSPK). Pengawasan dilakukan terhadap kewajiban pelaku usaha antara lain dalam
pemenuhan kesesuaian standar terhadap barang dan/atau jasa. Ketentuan dan tata
cara pengawasan dilakukan berdasarkan peraturan Menteri yang mengatur tentang
ketentuan dan tata cara pengawasan barang dan jasa yang beredar di pasar.
Dalam pengawasan pasca-pasar terdapat dua kegiatan yang biasanya
dilakukan, yaitu regular inspection dan mekanisme penarikan produk dari pasar
(recall mechanism). Regular inspection adalah pemeriksaan rutin/berkala oleh
instansi terkait, untuk memonitor apakah sebuah barang yang diproduksi dan
beredar di pasar, sesuai dengan spesifikasi produk dalam permohonan perijinan
dan untuk mengetahui apakah di pasar terdapat produk yang berbahaya atau dapat
membahayakan kepentingan konsumen.

I. Tindak Lanjut Terhadap Laporan Pelanggaran Perlindungan


Konsumen Dalam Pengawasan SNI

Berbicara mengenai pelanggaran, ada satu prinsip yang umum berlaku di


dalam hukum pidana dan perdata, yaitu prinsip kesalahan. Menurut prinsip ini,
seseorang baru dapat diminta pertanggungjawabanny secara hukum apabila
terbukti ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Prinsip ini juga diatur dalam
pasal 1365 KUHPerdata yang biasanya dikenal sebagai pasal tentang perbuatan
melawan hukum. Perbuatan melawan hukum ini mengharuskan adanya 4 unsur
pokok, yaitu:

20

1.
2.
3.
4.

Adanya perbuatan;
Adanya unsur kesalah;
Adanya kerugian yang diderita;
Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.8

Penanganan kasus dilaksanakan sebagai tindak lanjut dari hasil pengawasan


khusus yang diindikasikan terdapat pelanggaran atas ketentuan di bidang
perlindungan konsumen. Penanganan kasus dilaksanakan oleh Penyidik Pegawai
Negeri Sipil - Perlindungan Konsumen (PPNS-PK) melalui tahapan sebagai
berikut:

Pengambilan sampel ulang dipasar/lokasi yang menurut laporan


pengaduan atau hasil pengawasan khusus terdapat indikasi pelanggaran

ketentuan yang ada.


Pengujian sampel pada lembaga-lembaga uji yang terakreditasi bagi

barang yang ber-SNI.


Melakukan pengukuran terhadap isi/volume/berat atau pengujian barang
terhadap barang dalam keadaan terbungkus (BDKT) serta penilaian

kesesuaian informasi dengan kondisi riil barang yang bersangkutan.


Melakukan koordinasi dengan unit/instansi teknis terkait untuk malakukan

pengkajian peraturan yang ada dengan kasus yang sedang dihadapi.


Melakukan gelar perkara untuk mendapatakan rekomendasi dan

menentukan langkah-langkah berikut yang perlu diambil.


Melakukan penyidikan apabila telah cukup mendapat bukti adanya
pelanggaran ketentuan yang ada.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan, pengawasan

terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan


peraturan perundang-undangannya diselenggarakan pemerintah, masyarakat, dan
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. Pengawasan pemerintah
dilaksanakan menteri dan/atau menteri teknis terkait. Pengawasan masyarakat dan
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang
8 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: Penerbit
Grasindo, 2000), hlm. 59.

21

dan/atau jasa yang beredar di pasar. Tanggung jawab hukum yang dikenakan bagi
pelaku usaha yang berkaitan dengan pengenaan beberapa sanksi, yang meliputi
sanksi perdata, pidana, administrasi, ataupun sosial. Secara teoritis, sanksi pidana
merupakan ultimum remidium. Namun, bagi pelaku usaha yang membandel,
bahkan melakukan perlawanan, maka sanksi pidana lebih diprioritaskan.
Sedangkan recall mechanism adalah upaya paksa menarik sebuah produk
yang sudah beredar di pasar dengan alasan: (1) tidak sesuai dengan standar wajib
yang telah ditentukan pemerintah; (2) adanya temuan yang dapat membahayakan
keselamatan dan keamanan konsumen, atau (3) adanya kasus/kejadian/peristiwa
terhadap produk tersebut yang telah berakibat membahayakan keselamatan
konsumen.
Pejabat yang berwenang untuk memerintahkan penarikan barang dari
peredaran adalah Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri atas nama Menteri
Perdagangan. Penarikan barang dari peredaran oleh Pelaku Usaha dilakukan
dengan batasan waktu penarikan yang disesuaikan dengan kondisi dan geografis
masing-masing daerah. Sejak tanggal penerbitan surat perintah penarikan barang
dari peredaran, Pelaku Usaha dilarang untuk memperdagangkan barang. Kepala
Dinas yang mempunyai tugas dan tanggungjawab di bidang perdagangan
Propinsi/Kabupaten/Kota berkoordinasi dengan instansi teknis terkait melakukan
pemantauan terhadap pelaksanaan penarikan barang dari peredaran.
Sanksi administratif dapat berupa pencabutan sertifikat produk dan/atau
pencabutan hak penggunaan tanda SNI, pencabutan izin usaha, dan/atau penarikan
barang dari peredaran (Pasal 24 ayat [2] PP 102/2000). Sedangkan, sanksi pidana
berupa sanksi pidana sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal
24 ayat [5] PP 102/2000). Yang dimaksud peraturan perundang-undangan yang
berlaku antara lain peraturan perundang-undangan di bidang Perindustrian,
Ketenagalistrikan, Kesehatan, Perlindungan Konsumen dan peraturan perundangundangan yang terkait dengan kegiatan Standardisasi Nasional (Penjelasan Pasal
24 ayat [5] PP 102/2000).

22

Selain sanksi administratif, ada juga sanksi pidana pokok yang terdiri dari
dua macam yaitu sanksi kurungan dan sanksi pidana lain di luar ketentuan UU
Perlindungan Konsumen jika konsumen mengalami kematian, cacat berat, sakit
berat, atau luka berat (pasal 62 ayat 3).9
Pelaku Usaha yang tidak melaksanakan penarikan barang dari peredaran
dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan ijin usaha dan/atau tanda
pendaftaran yang diterbitkan oleh Pejabat yang berwenang di bidang
perdagangan. Pelaku usaha yang tidak melaksanakan re-ekspor atau pemusnahan
barang dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan ijin usaha dan/atau
tanda pendaftaran yang diterbitkan oleh Pejabat yang berwenang di bidang
perdagangan. Pencabutan ijin usaha dilakukan oleh pejabat yang berwenang
menerbitkan ijin. Pelaku usaha yang memproduksi atau memperdagangkan barang
yang tidak memenuhi kesesuaian standar dapat dikenakan sanksi pidana sesuai
dengan Undang - Undang yang berlaku.
Jika atas barang atau jasa tersebut telah ditetapkan SNI wajib, dan pelaku
usaha melanggar ketentuan tersebut, maka berdasarkan Pasal 24 ayat [1] PP
102/2000, pelaku usaha dapat dikenakan sanksi administratif dan/atau sanksi
pidana.
Untuk

mencegah

terjadinya

pelanggaran

tersebut

dibentuk

Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), yang tugasnya selain menyelesaikan


sengketa, juga melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku.
Dalam hal BPSK sebagai lembaga penyelesaian sengketa, ketika BPSK
sudah mengeluarkan putusan arbitrasenya, pihak yang masih merasa dirugikan
dapat mengajukan keberatan dalam tenggang waktu 14 hari terhitung sejak pelaku
usaha atau konsumen menerima putusannya. Dan keberatan tersebut dapat
diajukan ke Pengadilan Negeri. Namun demikian, hal ini justru bertentangan dari
9 Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, (Jakarta: Visimedia),
2008, hlm. 41-42.

23

ketetntuan umum mengenai putusan arbitrase yang menurut Undang-Undang


Nomor 30 Thun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
adalah final dan mengikat. Karena kedua belah pihak telah terikat dengan putusan
arbitrase, maka tidak dimungkinkan untuk dinilai oleh pengadilan negeri.10

J. Analisis Kasus SNI Terkait Perlindungan Konsumen

BPOM masih sering menemukan peredaran kosmetik yang mengandung


bahan yang membahayakan kulit. Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM)
Mataram, Nusa Tenggara Barat, mengamankan ratusan produk kosmetik
berbahaya di pasar tradisional Cakranegara, Kamis (2/10). Kosmetik tersebut
diamankan karena mengandung bahan berbahaya, seperti merkuri dan bahan
kimia lainnya. Ratusan kosmetik berbahaya dari berbagai jenis dan merek itu
diamankan dalam razia rencana aksi penertiban produk dalam negeri yang tidak
memenuhi syarat, oleh tim gabungan dari BPOM, Satpol Pamong Praja dan Dinas
Koperasi Perindustrian dan Perdagangan Kota Mataram. Di Pasar Cakranegara,
petugas menemukan beberapa pedagang yang menjual kosmetik tanpa izin edar
dan mengandung bahan-bahan berbahaya yang kemudian langsung diamankan
oleh BPOM.
Berdasarkan uraian kasus diatas, pelaku usaha seharusnya mengikuti
standar dalam memproduksi produknya. Seharusnya sebelum produk diedarkan di
pasaran harus dilakukan pengujian terlebih dahulu, sehingga produk tersebut
dapat mencantumkan logo SNI dalam produk atau kemasannya agar dapat
dijadikan panduan oleh konsumen dalam memilih produk yang telah memenuhi
standar supaya dapat menjamin kepastian bahwa produk tersebut telah memenuhi
syarat yang ditetapkan sehingga aman dan layak dikonsumsi.

10 Susansi Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari


Hukum Acara serta Kendala Implementasinya, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2008), hlm. 262.

24

Dalam konteks perlindungan konsumen, standar memang seharusnya


punya peran penting. Setidaknya, kata-kata standar muncul dalam pasal-pasal
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, UUPK Nomor 8 Tahun 1999. Dalam
Pasal 7 UUPK, di antara Kewajiban Pelaku Usaha adalah menjamin mutu barang
dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan
standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku. Demikian juga, Pasal 8
menyebutkan

bahwa

Pelaku

usaha

dilarang

memproduksi

dan/atau

memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai
dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundangundangan. Dari pasal-pasal ini jelas bahwa pelaku usaha harus mengikuti standar
yang berlaku.
Standar akan berperan dalam perlindungan konsumen apabila pengawasan
dilakukan dengan benar. Yang paling bertanggung jawab dalam melakukan
pengawasan tentu saja pemerintah atau instansi yang terkait. Pemerintah harus
melakukan pengawasan baik sebelum produk dipasarkan, maupun setelah produk
beredar di pasar. Peran pengawasan juga menjadi kewajiban pelaku usaha, dengan
memastikan quality control dan quality assurance berjalan sebagaimana mestinya.
Serta memastikan menerapkan standar yang berlaku. Konsumen pun dapat
berperan dengan berani bertindak apabila menemukan produk yang dicurigai tidak
memenuhi standar dan peraturan.

25

BAB III
Penutup
A

Kesimpulan

Kewajiban pelaku usaha antara lain adalah memberikan informasi yang


benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta
memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan, memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Lebih
dari itu, pelaku usaha harus memberikan barang dan/atau jasa dengan standar
yang baik kepada konsumen.
Standar akan berperan dalam perlindungan konsumen
apabila pengawasan dilakukan dengan benar. Yang paling
bertanggung jawab dalam melakukan pengawasan tentu saja
pemerintah atau instansi yang terkait. Pemerintah melakukan
pengawasan baik sebelum produk dipasarkan, maupun setelah
produk beredar di pasar, termasuk untuk produk-produk impor.
Sesungguhnya, peran pengawasan juga menjadi kewajiban
pelaku usaha, dengan memastikan quality control dan quality
assurance berjalan sebagaimana mestinya. Serta memastikan
menerapkan standar yang berlaku mulai dari hulu hingga hilir.
Konsumen pun dapat berperan dengan berani bertindak apabila
menemukan produk yang dicurigai tidak memenuhi standar dan
peraturan.
Bagi

pelaku

usaha

yang

melanggar

peraturan

UU

Perlindungan konsumen, seperti memberikan standar yang


buruk, adadua sanksi yang dapat diberikan. Diantaranya adalah
sanksi administratif dapat berupa pencabutan sertifikat produk dan/atau
pencabutan hak penggunaan tanda SNI, pencabutan izin usaha, dan/atau penarikan

26

barang dari peredaran (Pasal 24 ayat [2] PP 102/2000). Sedangkan, sanksi pidana
berupa sanksi pidana sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal
24 ayat [5] PP 102/2000). Yang dimaksud peraturan perundang-undangan yang
berlaku antara lain peraturan perundang-undangan di bidang Perindustrian,
Ketenagalistrikan, Kesehatan, Perlindungan Konsumen dan peraturan perundangundangan yang terkait dengan kegiatan Standardisasi Nasional (Penjelasan Pasal
24 ayat [5] PP 102/2000).
Selain sanksi administratif, ada juga sanksi pidana pokok yang terdiri dari
dua macam yaitu sanksi kurungan dan sanksi pidana lain di luar ketentuan UU
Perlindungan Konsumen jika konsumen mengalami kematian, cacat berat, sakit
berat, atau luka berat (pasal 62 ayat 3).

K. Saran

Dalam hal adanya standarisasi nasional untuk mewujudkan perlindungan kepada


konsumen, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, diantaranya:
1. Pemerintah perlu untuk meningkatkan pengawasan barang dan/atau jasa
baik yang telah memiliki sertifikat SNI atau yang belum ber SNI
2. Pemerintah perlu memberikan kepastian hukum mengenai perlindungan
hak konsumen, baik dalam hal pemberian sanksi kepada pelaku usaha atau
mekanisme ketika terjadi sengketa.
3. Konsumen perlu kritis untuk memperjuangkan hak nya. Karena
perlindunga konsumen seperti hal yang bersifst dua arah. Artinya
perlindungan tidak hanya dilakukan oleh lembaga pemerintah atau non
pemerintah, atau pun dengan kesadaran pelaku usaha sendiri. Tetapi juga
harus dengan sikap sadar hukum yang dimiliki oleh konsumen dalam
mempertahankan haknya dan melaksanakan kewajibannya.

27

Daftar Pustaka
Nugroho, Susansi Adi, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari
Hukum Acara serta Kendala Implementasinya, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2008.
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: Penerbit Grasindo,
2000.
Shofie, Yusuf, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya,
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.
Sutedi, Andrain, Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan
Konsumen, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2008.
Susanto, Happy, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Jakarta: Visimedia, 2008.
Wikipedia, Standar, diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Standar pada
tanggal 3 November 2016 pukul 5.55 WIB.
Wikipedia,
Standar
Nasional
Indonesia,
diakses
dari
https://id.wikipedia.org/wiki/Standar_Nasional_Indonesia pada tanggal 3
November 2016 pukul 5.55 WIB.
http://www.bsn.go.id/main/sni/isi_sni/5
http://www.landasanteori.com/2015/10/pengertian-standarnasional-indonesia.html
http://ylki.or.id/2011/05/sni-efektifkah-melindungi-konsumen/

28

Anda mungkin juga menyukai