I. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Sejak tahun 2004 Pemerintah DKI Jakarta telah berupaya membenahi sistem tranportasi
publik yang beroperasi di jalan. Strategi yang dilakukan adalah modernisasi moda tranportasi
publik dengan menghadirkan bus transjakarta, angkutan perbatasan terintegrasi busway
(APTB) dan bus kota terintegrasi Busway (BKTB). Namun, upaya pemerintah untuk
memodernisasi layanan transportasi publik dengan cara menghadirkan beberapa jenis moda
transportasi baru, tidak berjalan dengan mulus karena adanya penolakan dari pelaku usaha
moda transportasi lama, seperti pengusaha angkutan kota (angkot), Metromini dan lain
sebagainya. Alasan utama penolakan adalah bahwa keberadaan moda-moda transportasi baru
tersebut akan menggerus jumlah penumpang angkutan mereka. Sehingga pendapatan juga
menurun (Tempo.co,12 Februari 2014), Sepanjang tahun 2012 hingga awal tahun 2014 insiden
penolakan keberadaan moda transportasi APTB dan BKTB di Jakarta dan kota sekitarnya terus
terjadi. Tahun 2012 dan 2013, awak angkutan di kota Bekasi dan Bogor menolak keberadaan
APTB jurusan Bekasi Pulo gadung dan Bogor-Rawamangun. Pada awal tahun 2014, giliran
awak perusahaan angkutan Koperasi Wahana Kalpika (KWK) melakukan demo menolak
keberadaan BKTB jurusan Monas-Pantai Indah Kapuk yang masih beroperasi
(megapolitan.kompas.com, Selasa 11 Februari 2014).Selain itu, Kementerian Perhubungan
dalam dokumen arah kebijakan dan strategi pembangunan transportasi publik, menyatakan
bahwa mereka berkomitmen untuk menjaga keseimbangan antara transportasi yang
berorientasi nasional dengan transportasi yang berorientasi lokal dan kewilayahan. Selain itu,
dalam konteks Jakarta, Kementerian Perhubungan juga mendorong pengembangan sistem
angkutan umum massal yang modern dan maju dengan orientasi kepada bus maupun rel serta
dilengkapi dengan fasilitas alih moda terpadu. Berkaitan dengan hal ini, strategi yang diambil
adalah pembangunan angkutan publik berbasis rel antara lain MRT di wilayah Jabodetabek
dan jalur lingkar layang KA Jabodetabek.
Selain bus transjakarta, APTB, dan BKTB, kehadiran bisnis transportasi berbasis aplikasi juga
turut mewarnai moda transportasi di DKI Jakarta, meskipun bukan diinisiasi oleh Pemerintah
Daerah melainkan oleh pihak swasta Layanan aplikasi angkutan roda dua seperti GoJek,Grab
Bike, Blue-Jek, dan lain sebagainya. Telah banyak diminati Oleh masyarakat karena
menawarkan kemudahan akses dan biaya yang murah. Namun keberadaan transportasi berbasis
aplikasi ini juga telah menimbulkan konflik dan menemui berbagai penolakan, terutama dari
ojek konvensional (Harian Nasional, Selasa 27 Oktober 2015). Seiring dengan makin maraknya
jenis transportasi publik di DKI Jakarta, serta banyaknya konflik dan penolakan atas kehadiran
moda transportasi baru oleh moda tranportasi yang lama, muncul pertanyaan apakah
transportasi publik yakni angkutan-angkutan umum tersebut legal di mata hukum, baik itu
kendaraan bermotor roda dua, tiga, atau empat (ojek, bajaj, bemo, bus, dll) sampai
kendaraan bukan bermotor (becak, ojek sepeda, dll).
Proses panjang lahirnya permen perhubungan no 108 tahun 2017
Senin (14/03/16) ribuan pengendara angkutan darat yang terdiri dari sopir taksi,
metromini, bajaj, dan angkutan kota berunjuk rasa di dekat Istana Negara menuntut agar
transportasi berbasis aplikasi (transportasionline) segera ditutup (news.detik.com,
14/03/16).Sebelumnya pada Desember 2015 Menteri Perhubungan (Menhub) Ignatius Jonan
menerbitkan Surat Pemberitahuan Nomor UM.3012/1/21/Phb/2015 yang isinya melarang Go-
Jek dan GrabBike, dan angkutan berbasis aplikasi lain beroperasi. Akibatnya Go-Jek dan Grab
Taxi khususnya GrabBike melakukan aksi protes dan akhirnya Surat Edaran Menteri tersebut
dicabut sesaat setelah dikeluarkan (cnnindonesia.com, 18/12/15). Ada dua alasan penolakan
terhadap keberadaan transportasi online. Pertama, transportasi online dianggap ilegal karena
menurut ketentuan perundang-undangan yang mengatur hal-hal berkaitan dengan transportasi
tidak menyebutkan bahwa kendaraan bermotor roda dua termasuk ke dalam salah satu moda
transportasi publik. Kedua, keberadaan transportasi online berpotensi mematikan bisnis
transportasi konvensional yang sudah ada sebelumnya, seperti ojek pangkalan, taxi, bajaj,
angkutan kota, dan lain sebagainya. Ketua Paguyuban Pengemudi Angkutan Darat (PPAD),
Cecep Handoko,mengatakan para sopir angkutan darat terancam kehilangan mata pencaharian
lantaran masyarakat sebagian besar beralih ketransportasi online. Misalnya, supir taxi
mengeluh karena sejak hadirnya transportasi online, Uber dan GrabCar, penghasilannya
mengalami penurunan. Kali ini Kementerian Perhubungan (Kemenhub) merespon aksi tolak
transportasi online dengan mengeluarkan Surat bernomor AJ 206/1/1 PHB 2016 tertanggal 14
Maret 2016 ditujukan kepada Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) untuk
memblokiraplikasi pemesanan angkutan Uber Asia Limited (Uber Taxi) dan PT Solusi
Transportasi Jaya (GrabCar). Dalam surat tersebut tercantum 8 (delapan) alasan mengapa
Kemenhub menyatakan bahwa Uber dan GrabCar tidak memenuhi ketentuan perundang-
undangan.
Kedelapan alasan tersebut diantaranya: (1) Uber dan GrabCar bukanlah kendaraan
bermotor umum; (2) tidak memiliki badan hukum; (3) tidak memiliki izin penyelenggaraan
angkutan;(4) penanaman modal asing namun tidak berbentuk perseroan terbatas; (5)
pelanggaran terhadap Keputusan Presiden No. 90 Tahun 2000 tentang Kantor Perwakilan
Perusahaan Asing (Keppres No. 90/2000) dan Surat Keputusan Kepala Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM) No. 22 Tahun 2011 mengenai transaksi jual beli barang dan jasa
di Indonesia dengan perusahaan atau perorangan serta tidak akan ikut serta dalam bentuk
apapun dalam pengelolaan sesuatu perusahaan, anak perusahaan atau cabang perusahaan yang
ada di Indonesia; (6) tidak bekerjasama dengan perusahaan angkutan umum yang resmi akan
tetapi bekerjasama dengan perusahaan ilegal maupun perorangan; (7) menimbulkan keresahan
dan konflik dengan pengusaha angkutan dan pengemudi taxi resmi; dan (8) rawan adanya
praktik angkutan liar dan angkutan umum semakin tidak diminati (www.hukumonline.com,
14/03/16).
Langkah Kemenhub menghubungi Menkominfo untuk menutup aplikasi,
Menkominfo justru memandang bahwa menutup aplikasi adalah langkah yang gegabah sebab
dalam kenyataannya, aplikasi atau layanan yang diberikan terbukti lebih memudahkan dan
terjangkau (affordable) bagi masyarakat penerima manfaat layanan tersebut. Menkominfo
lebih memilih menunggu regulasi yang nantinya mengatur layanan transportasi online
(bisnis.news.viva. co.id, 15/03/16)
Atas gejolak yang begitu panjang tersebut, Setelah melalui beberapa proses mediasi dan
negosiasi, akhirnya ditetapkanlah suatu peraturan yang dikeluarkan oleh Menteri Perhubungan
untuk mengatur moda transportasi online di Indonesia. Peraturan Menteri Perhubungan
tersebut tertuang dalam PM no. 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang
Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Layak Trayek,yang di undangkan pada 1 April
2016. Berikutnya PM no 32 Tahun 2016 Maret 2017 direvisi ,terdapat 11 point penting yang
direvisi .Tanggal 1 april 2017 diundangkanlah dengan PM no 26 Tahun 2017.Berikutnya
Mahkamah Agung Republik Indonesia mengabulkan uji materi terhadap Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor 26 Tahun 2017 yang tertuang dalam salinan putusan perkara nomor 37
P/HUM/2017 ,yang sebelumnya Peraturan menteri tentang penyelenggaraan angkutan orang
dengan kendaraan bermotor umum tidak dalam trayek atau transportasi online ini digugat
oleh sedikitnya enam pengemudi angkutan sewa khusus.(bisnis.tempo.co, 22 /08/17)
Majelis menilai peraturan itu bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.MA mencabut 14
pasal dalam Permenhub tersebut. Putusan itu diketok oleh hakim agung Supandi, hakim agung
Is Sudaryono, dan hakim agung Hary Djatmiko. Berikut 4 pertimbangan majelis sebagaimana
dikutip dari website MA, Selasa (22/8/2017):
1. Angkutan sewa khusus berbasis aplikasi online merupakan konsekuensi logis dari
perkembangan teknologi informasi dalam moda transportasi yang menawarkan pelayanan yang
lebih baik, jaminan keamanan perjalanan dengan harga yang relatif murah dan tepat waktu.
2. Fakta menunjukkan kehadiran angkutan sewa khusus telah berhasil mengubah bentuk pasar
dari monopoli ke persaingan pasar yang kompetitif, dengan memanfaatkan keunggulan pada
sisi teknologi untuk bermitra dengan masyarakat pengusaha mikro dan kecil dengan konsep
sharing economy yang saling menguntungkan dengan mengedepankan asas kekeluargaan
sebagaimana amanat Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.
3. Penyusunan regulasi di bidang transportasi berbasis teknologi dan informasi seharusnya
didasarkan pada asas musyawarah mufakat yang melibatkan seluruh stakeholder di bidang jasa
transportasi sehingga secara bersama dapat menumbuh-kembangkan usaha ekonomi mikro,
kecil dan menengah, tanpa meninggalkan asas kekeluargaan.
4. Dalam permohonan keberatan hak uji materiil ini, Mahkamah Agung menilai objek
permohonan bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi, sebagai
berikut:
a. bertentangan dengan Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 7 UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Karena tidak menumbuhkan dan mengembangkan usaha
dalam rangka membangun perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi yang
berkeadilan dan prinsip pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah.
b. bertentangan dengan Pasal 183 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Jalan Raya, karena penentuan tarif dilakukan berdasarkan tarif batas atas dan batas bawah, atas
usulan dari Gubernur/Kepala Badan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri,
dan bukan didasarkan pada kesepakatan antara pengguna jasa (konsumen) dengan perusahaan
angkutan sewa khusus.
"Menyatakan pasal:
dalam Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 26 Tahun 2017 tentang
Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam Trayek,
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," putus majelis dalam sidang. (news.detik.com/
maka lahirlah peraturan pengganti tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan No
PM 108 tahun 2017 yang ditandatangani oleh Menhub tanggal 24 Oktober 2017 dan akan
berlaku efektif mulai 1 November 2017.
Peraturan Menteri ini didasari oleh beberapa pertimbangan, yaitu berdasarkan Putusan
Mahkamah Agung Nomor 37 /P.HUM/2017 tanggal 20 Juni 2017 tentang Permohonan Hak
Uji Materiil Terhadap Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 26 Tahun 2017, perlu
menyempurnakan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 26 Tahun 2017 tentang
Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek,serta untuk
menjalankan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014.dan mengingat Undang- Undang
Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5025), Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5587), Undang
Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4866) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib
Kecelakaan Penumpang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1964 Nomor 137,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2720), Undang-Undang Nomor 20
Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3687,
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3881), Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4279), Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843), Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009
tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia, Tahun 2009 Nomor 11,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966); serta beberapa Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri.[1]
Didalam melihat fenomena yang tejadi yang telah di uraikan pada pendahuluan , ada
beberapa peran dari para aktor non- pemerintah yang tergabung didalam kelompok
kepentingan, civil society maupun organisasi lainnya yang menarik untuk diulas. Beberapa dari
mereka memainkan peran didalam hadirnya Peraturan Kementerian Perhubungan no. 108
tahun 2017 serta dalam implementasinya. Pertama, para pengemudi transportasi konvensional
yang tergabung dalam beberapa paguyuban dan kelompok kepentingan lainnya. Mereka
memainkan peran sebagai aktor organisasi, meskipun langkah penolakan yang mereka lakukan
tidak mencerminkan standar operasional dari organisasi manapun. Tetapi, tujuan dari aksi
tersebutlah yang mencerminkan bahwa mereka adalah aktor organisasional. Mereka mendesak
pemerintah untuk menghapuskan transportasi online karena tidak resmi, tidak jelas, tidak
terikat dengan pemerintah dan tidak dilindungi oleh payung hukum apapun. Mereka melihat
justru dengan hadirnya transportasi online, membuat pasar mereka lebih sempit dan persaingan
menjadi lebih ketat. Mereka mengedepankan asas kepatutan karena mereka berada dibawah
organisasi bisnis yang dilindungi oleh undang- undang dan hukum yang berlaku. Atas dasar
inilah, transportasi online semisal taxi online dan kendaraan roda dua online dinilai tidak taat
aturan, dan organisasi bisnis yang memayungi mereka tidak tertib organisasi karena tidak
terikat pada peraturan apapun.
Kedua, aktor non- pemerintah selanjutnya adalah para pemodal dan pemilik perusahaan.
Dalam hal ini adalah pemilik Uber Taxi, Grab maupun GOJEK. Peran mereka tidaklah boleh
dilupakan karena posisi mereka sebagai top management dari hadirnya transportasi online
tersebut. Mereka dapat digolongkan sebagai aktor politik. Hal ini dikarenakan posisi mereka
yang mengedepankan proses tawar- menawar dan negosiasi. Masih eksisnya kendaraan
berbasis online sampai hari ini merupakan bukti bahwa mereka memiliki bargaining
position yang kuat, bahkan, kendaraan roda dua tidak termasuk didalam permenhub dan UU
tetapi hingga hari ini masih eksis dan beroperasi. Artinya, mereka mampu bernegosiasi dengan
pemerintah untuk selanjutnya mengamankan kepentingan mereka. Pada titik ini, para pemilik
modal tersebut dapat pula dikategorikan sebagai aktor elit dengan jumlah yang terbatas namun
mampu mengamankan kepentingan mereka sendiri. Kebijakan tersebut kemudian memberikan
gambaran bahwa sebelum diimplementasikan saja, sudah menunjukkan ada bagian yang
kurang dan harus dibenahi. Seharusnya fokus pemerintah adalah Undang- Undang no. 22
Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dimana implementasi kebijakan dari UU
tersebut masih menuai kontroversi.
Ketiga, para driver kendaraan online itu sendiri. Didalam hal ini, posisi para driver
tersebut lebih kepada interest group atau kelompok kepentingan. Sebagai masyarakat sipil,
merekapun menuntut adanya kejelasan aturan terkait profesi tersebut. Mereka pun turut serta
mendesak para pemangku kebijakan untuk segera mengeluarkan suatu peraturan agar mereka
dapat dinyatakan legal. Dalih mereka adalah bahwa perkembangan teknologi tidak dapat
dihentikan dan masyarakat harus siap dalam penyesuaian tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan
beberapa aksi demonstrasi para driver tersebut, tetapi aksi itu justru tidak ditujukan langsung
kepada pemerintah, melainkan kepada perusahaan tempat mereka bernaung. Mereka kemudian
meminta kepada perusahaan agar menjalin kerjasama dan komunikasi dengan pemerintah atas
nasib mereka selanjutnya. Mereka pun melakukan beberapa ancaman, yaitu dengan mogok
kerja serta tetap melakukan demonstrasi. Dari kejadian tersebut, mereka mencoba untuk
membuka ruang antara diri mereka sendiri dan pemerintah, agar aspirasi mereka dapat didengar
dan kebijakan dapat segera direalisasikan. Didalam menganalisis fenomena hadirnya
Permenhub tersebut, terdapat tiga aktor penting yang bermain sesuai dengan role
player mereka masing- masing. Tujuannya adalah untuk mencari kejelasan hukum atas nasib
mereka masing- masing. Dimana tentu saja kejelasan hukum ini hadir, tetapi tidak dapat
memuaskan semua pihak, terutama pihak pengemudi kendaraan konvensional yang meminta
agar transportasi online dihapuskan.
Dalam hal ini, pemerintah sebagai aktor penting memainkan perannya sebagai pengarah,
juga menyadari bahwa ada kekurangan pada diri mereka. Hal itu dipertegas oleh Mantan
Menkopolhukam Luhut Binsar Pandjaitan yang menyatakan bahwa pemerintah tidak
mengantisipasi berkembangnya teknologi yang membuat moda transportasi berbasis aplikasi
menjamur seperti saat ini. Dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan tidak diatur tentang adanya ojek online seperti GOJEK.[14] Hal ini menunjukkan bahwa
implementasi UU tersebut masih ada kecacatan dan tidak mengakomodasi seluruh pihak
terkait. Sehingga pemerintah segera mengambil langkah- langkah strategis, namun dinilai tidak
pas, yaitu mengeluarkan Peraturan Menteri tetapi tidak mengajukan perubahan terhadap
undang- undang sebagai payung hukum yang lebih tinggi daripada peraturan menteri. Hal ini
terkesan bahwa apa yang dilakukan pemerintah, bertujuan untuk memberikan kepuasan sesaat
dan tidak menyelesaikan masalah. Hadirnya Permenhub dinilai tidak akomodatif terhadap
semua pihak, timpang sebelah dan mementingkan golongan tertentu. Permenhub hanya
menjadi obat tetapi tidak menyehatkan atau hanya menjadi langkah- langkah alternatif, bukan
menyelesaikan akar permasalahan. Karena yang semestinya diperbaharui adalah Undang-
Undang no. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
2.2. Proses pembuatan kebijakan
Peraturan Menteri Perhubungan no. 108 Tahun 2017 , dalam Proses pembuatan
kebijakan publik itu bersifat politis, dimana dalam proses tersebut terlibat berbagai kelompok
kepentingan yang berbeda-beda, bahkan ada yang saling bertentangan. Dalam proses ini
terlibat berbagai macam policy stakeholders, yaitu mereka-mereka yang mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh suatu kebijakan publik. Policy Stakeholders bisa pejabat pemerintah, pejabat
negara, lembaga pemerintah, dan juga dari lingkungan masyarakat (bukan pemerintah), serta
aktor aktor non pemerintah dan kelompok-kelompok kepentingan, seperti yang telah diuraikan
diatas.
2.3. Pendekatan faktor strategis
Pemerintah dalam hal ini kementrian perhubungan ,penulis melihat pemerintah dalam
membuat kebijakan melakukan pendekatan faktor strategis yaitu faktor pertahanan dan
keamanan dan faktor sosial budaya seperti keselamatan dan keamanan ,keberlansungan usaha
,perlindungan konsumen dan kebutuhan masyarakat serta yg penting menjaga situasi dan
kondisi dalam keadan kondusif untuk kepentingan nasional.
2.4. Model pembuatan dan pendekatan kebijakan
Pemerintah dalam hal ini kementrian perhubungan ,penulis melihat pemerintah dalam
membuat kebijakan melakukan model pendekatan Model Kelompok (Group)
Yaitu kekompok kelompok aktor non pemerintahan sebagaina yang sudah diuraikan
sebelumnya.
Dalam pengambilan kebijakan pemerintah mengandaikan kebijakan sebagai titik
keseimbangan (equilibrium). Intinya adalah interaksi yang terjadi di dalam kelompok akan
menghasilkan keseimbangan dan keseimbangan tersebut adalah yang terbaik. Individu di
dalam kelompok kepentingan berinteraksi secara formal maupun informal, Sistem politik pada
model ini berperan untuk memanage konflik yang muncul akibat adanya perbedaan tuntutan,
melalui :
a. Merumuskan aturan main antar kelompok kepentingan.
b. Menata kompromi dan menyeimbangkan kepentingan.
c. Memungkinkan terbentuknya kompromi di dalam kebijakan publik (yang akan dibuat).
d. Memperkuat kompromi-kompromi tersebut.
Sampai sekarang , beberapa kelompok kepentingan berusaha mempengaruhi isi dan bentuk
kebijakan secara interaktif. Itu terlihat dari aktor aktor non pemerintah dan kelompok
kepentingan yang telah diuraikan sebelumnya.
III. Penutup
3.1. Kesimpulan
Peran pemerintah dan peran aktor non-pemerintah yang mendorong hadirnya suatu
kebijakan, Dalam hal ini, pemerintah sebagai aktor penting memainkan perannya sebagai
pengarah, dan terdapat tiga jenis aktor yang melatar belakangi lahirnya kebijakan pengaturan
kendaraan berbasis aplikasi online. Mereka terdiri sebagai aktor organisasi, yaitu
para driver kendaraan konvensional yang menuntut agar para perusahaan penyedia
transportasi online untuk tunduk pada kebijakan yang saat ini berlaku. Aktor kedua yaitu para
pemodal dan pemilik perusahaan. Mereka memainkan peran sebagai aktor politik dan aktor
elit. Setiap kebijakan yang hadir, termasuk Permenhub no. 108 Tahun 2017 tersebut merupakan
hasil negosiasi dan kompromi antara pasar dan pemerintah. Sebagai aktor elit, mereka lebih
berupaya untuk melindungi kepentingan mereka sendiri. Aktor yang ketiga adalah para
pengemudi online. Mereka berposisi sebagai interest group yang berupaya mendesak para
pemilik perusahaan untuk mendesak pemerintah agar mereka memperoleh aspek legal formal.
Meskipun telah hadir Permenhub no. 108 Tahun 2017 tersebut, rupanya masih ada ketidak
adilan bagi sebagian kalangan.
Pendekatan strategis yang dilakukan perintah dalam membuat kebijakan ini . yaitu faktor
pertahanan dan keamanan dan faktor sosial budaya seperti keselamatan dan keamanan
,keberlansungan usaha ,perlindungan konsumen dan kebutuhan masyarakat serta yg penting
menjaga situasi dan kondisi dalam keadan kondusif untuk kepentingan nasional.
Model pembuatan dan pendekatan dalam membuat kebijakan ini pemerintah dalam
melakukan model pendekatan Model Kelompok (Group).
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Jurnal
Darmawan Triwibowo. Gerakan Sosial Wahana Civil Society bagi Demokratisasi. Jakarta: LP3ES
Indonesia, 2006.
The indonesia institute respon kebijakan terhadapap transportasi berbasis aplikasi di jakarta 2015
Irfan Islamy, Prinsip- Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara, 1991
Thomas R. Dye, Understanding Public Policy, Fourteenth Edition. New Jersey: Pearson Education. 2013
Widya Wulandari, Analisis Efektivitas Transportasi Ojek Online Sebagai Pilihan Moda Transportasi di Jakarta
(Studi Kasus: GO-JEK Indonesia). Skripsi. Jakarta: Universitas Esa Unggul.
https://bisnis.tempo.co/read/902015/ma-kabulkan-gugatan-uji-materi-aturan-tentang-transportasi-online
https://news.detik.com/berita/3609348/4-alasan-ma-cabut-aturan-transportasi-online
Winarno, Budi, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Media Pressindo, Yogyakarta: 2002 dalam Skripsi Putri H,
Indriani, Implementasi Kebijakan Penataan Ruang Kota dalam Kerangka Pembangunan Perkotaan. Studi
Kasus: Penataan Penyelenggaraan Media Reklame Luar Ruang Kota Yogyakarta. Jurusan Administrasi
Negara, Universitas Gadjah mada: 2005. hal 36.
http://jdih.dephub.go.id/assets/uudocs/permen/2017/PM_108_TAHUN_2017.pdf.