Anda di halaman 1dari 17

Analisis Kebijakan Pemerintah dalam

Kebijakan Penyelenggaraan Jasa Transportasi Online


Studi Kasus: Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia
Nomor PM 108 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor
Umum Tidak Dalam Trayek sebagai Implementasi Undang- Undang no. 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan
Oleh: Nopolion Eka putra (KK Transportasi Magister Teknik Sipil Unand )

I. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Sejak tahun 2004 Pemerintah DKI Jakarta telah berupaya membenahi sistem tranportasi
publik yang beroperasi di jalan. Strategi yang dilakukan adalah modernisasi moda tranportasi
publik dengan menghadirkan bus transjakarta, angkutan perbatasan terintegrasi busway
(APTB) dan bus kota terintegrasi Busway (BKTB). Namun, upaya pemerintah untuk
memodernisasi layanan transportasi publik dengan cara menghadirkan beberapa jenis moda
transportasi baru, tidak berjalan dengan mulus karena adanya penolakan dari pelaku usaha
moda transportasi lama, seperti pengusaha angkutan kota (angkot), Metromini dan lain
sebagainya. Alasan utama penolakan adalah bahwa keberadaan moda-moda transportasi baru
tersebut akan menggerus jumlah penumpang angkutan mereka. Sehingga pendapatan juga
menurun (Tempo.co,12 Februari 2014), Sepanjang tahun 2012 hingga awal tahun 2014 insiden
penolakan keberadaan moda transportasi APTB dan BKTB di Jakarta dan kota sekitarnya terus
terjadi. Tahun 2012 dan 2013, awak angkutan di kota Bekasi dan Bogor menolak keberadaan
APTB jurusan Bekasi Pulo gadung dan Bogor-Rawamangun. Pada awal tahun 2014, giliran
awak perusahaan angkutan Koperasi Wahana Kalpika (KWK) melakukan demo menolak
keberadaan BKTB jurusan Monas-Pantai Indah Kapuk yang masih beroperasi
(megapolitan.kompas.com, Selasa 11 Februari 2014).Selain itu, Kementerian Perhubungan
dalam dokumen arah kebijakan dan strategi pembangunan transportasi publik, menyatakan
bahwa mereka berkomitmen untuk menjaga keseimbangan antara transportasi yang
berorientasi nasional dengan transportasi yang berorientasi lokal dan kewilayahan. Selain itu,
dalam konteks Jakarta, Kementerian Perhubungan juga mendorong pengembangan sistem
angkutan umum massal yang modern dan maju dengan orientasi kepada bus maupun rel serta
dilengkapi dengan fasilitas alih moda terpadu. Berkaitan dengan hal ini, strategi yang diambil
adalah pembangunan angkutan publik berbasis rel antara lain MRT di wilayah Jabodetabek
dan jalur lingkar layang KA Jabodetabek.
Selain bus transjakarta, APTB, dan BKTB, kehadiran bisnis transportasi berbasis aplikasi juga
turut mewarnai moda transportasi di DKI Jakarta, meskipun bukan diinisiasi oleh Pemerintah
Daerah melainkan oleh pihak swasta Layanan aplikasi angkutan roda dua seperti GoJek,Grab
Bike, Blue-Jek, dan lain sebagainya. Telah banyak diminati Oleh masyarakat karena
menawarkan kemudahan akses dan biaya yang murah. Namun keberadaan transportasi berbasis
aplikasi ini juga telah menimbulkan konflik dan menemui berbagai penolakan, terutama dari
ojek konvensional (Harian Nasional, Selasa 27 Oktober 2015). Seiring dengan makin maraknya
jenis transportasi publik di DKI Jakarta, serta banyaknya konflik dan penolakan atas kehadiran
moda transportasi baru oleh moda tranportasi yang lama, muncul pertanyaan apakah
transportasi publik yakni angkutan-angkutan umum tersebut legal di mata hukum, baik itu
kendaraan bermotor roda dua, tiga, atau empat (ojek, bajaj, bemo, bus, dll) sampai
kendaraan bukan bermotor (becak, ojek sepeda, dll).
Proses panjang lahirnya permen perhubungan no 108 tahun 2017

Senin (14/03/16) ribuan pengendara angkutan darat yang terdiri dari sopir taksi,
metromini, bajaj, dan angkutan kota berunjuk rasa di dekat Istana Negara menuntut agar
transportasi berbasis aplikasi (transportasionline) segera ditutup (news.detik.com,
14/03/16).Sebelumnya pada Desember 2015 Menteri Perhubungan (Menhub) Ignatius Jonan
menerbitkan Surat Pemberitahuan Nomor UM.3012/1/21/Phb/2015 yang isinya melarang Go-
Jek dan GrabBike, dan angkutan berbasis aplikasi lain beroperasi. Akibatnya Go-Jek dan Grab
Taxi khususnya GrabBike melakukan aksi protes dan akhirnya Surat Edaran Menteri tersebut
dicabut sesaat setelah dikeluarkan (cnnindonesia.com, 18/12/15). Ada dua alasan penolakan
terhadap keberadaan transportasi online. Pertama, transportasi online dianggap ilegal karena
menurut ketentuan perundang-undangan yang mengatur hal-hal berkaitan dengan transportasi
tidak menyebutkan bahwa kendaraan bermotor roda dua termasuk ke dalam salah satu moda
transportasi publik. Kedua, keberadaan transportasi online berpotensi mematikan bisnis
transportasi konvensional yang sudah ada sebelumnya, seperti ojek pangkalan, taxi, bajaj,
angkutan kota, dan lain sebagainya. Ketua Paguyuban Pengemudi Angkutan Darat (PPAD),
Cecep Handoko,mengatakan para sopir angkutan darat terancam kehilangan mata pencaharian
lantaran masyarakat sebagian besar beralih ketransportasi online. Misalnya, supir taxi
mengeluh karena sejak hadirnya transportasi online, Uber dan GrabCar, penghasilannya
mengalami penurunan. Kali ini Kementerian Perhubungan (Kemenhub) merespon aksi tolak
transportasi online dengan mengeluarkan Surat bernomor AJ 206/1/1 PHB 2016 tertanggal 14
Maret 2016 ditujukan kepada Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) untuk
memblokiraplikasi pemesanan angkutan Uber Asia Limited (Uber Taxi) dan PT Solusi
Transportasi Jaya (GrabCar). Dalam surat tersebut tercantum 8 (delapan) alasan mengapa
Kemenhub menyatakan bahwa Uber dan GrabCar tidak memenuhi ketentuan perundang-
undangan.
Kedelapan alasan tersebut diantaranya: (1) Uber dan GrabCar bukanlah kendaraan
bermotor umum; (2) tidak memiliki badan hukum; (3) tidak memiliki izin penyelenggaraan
angkutan;(4) penanaman modal asing namun tidak berbentuk perseroan terbatas; (5)
pelanggaran terhadap Keputusan Presiden No. 90 Tahun 2000 tentang Kantor Perwakilan
Perusahaan Asing (Keppres No. 90/2000) dan Surat Keputusan Kepala Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM) No. 22 Tahun 2011 mengenai transaksi jual beli barang dan jasa
di Indonesia dengan perusahaan atau perorangan serta tidak akan ikut serta dalam bentuk
apapun dalam pengelolaan sesuatu perusahaan, anak perusahaan atau cabang perusahaan yang
ada di Indonesia; (6) tidak bekerjasama dengan perusahaan angkutan umum yang resmi akan
tetapi bekerjasama dengan perusahaan ilegal maupun perorangan; (7) menimbulkan keresahan
dan konflik dengan pengusaha angkutan dan pengemudi taxi resmi; dan (8) rawan adanya
praktik angkutan liar dan angkutan umum semakin tidak diminati (www.hukumonline.com,
14/03/16).
Langkah Kemenhub menghubungi Menkominfo untuk menutup aplikasi,
Menkominfo justru memandang bahwa menutup aplikasi adalah langkah yang gegabah sebab
dalam kenyataannya, aplikasi atau layanan yang diberikan terbukti lebih memudahkan dan
terjangkau (affordable) bagi masyarakat penerima manfaat layanan tersebut. Menkominfo
lebih memilih menunggu regulasi yang nantinya mengatur layanan transportasi online
(bisnis.news.viva. co.id, 15/03/16)
Atas gejolak yang begitu panjang tersebut, Setelah melalui beberapa proses mediasi dan
negosiasi, akhirnya ditetapkanlah suatu peraturan yang dikeluarkan oleh Menteri Perhubungan
untuk mengatur moda transportasi online di Indonesia. Peraturan Menteri Perhubungan
tersebut tertuang dalam PM no. 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang
Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Layak Trayek,yang di undangkan pada 1 April
2016. Berikutnya PM no 32 Tahun 2016 Maret 2017 direvisi ,terdapat 11 point penting yang
direvisi .Tanggal 1 april 2017 diundangkanlah dengan PM no 26 Tahun 2017.Berikutnya
Mahkamah Agung Republik Indonesia mengabulkan uji materi terhadap Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor 26 Tahun 2017 yang tertuang dalam salinan putusan perkara nomor 37
P/HUM/2017 ,yang sebelumnya Peraturan menteri tentang penyelenggaraan angkutan orang
dengan kendaraan bermotor umum tidak dalam trayek atau transportasi online ini digugat
oleh sedikitnya enam pengemudi angkutan sewa khusus.(bisnis.tempo.co, 22 /08/17)
Majelis menilai peraturan itu bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.MA mencabut 14
pasal dalam Permenhub tersebut. Putusan itu diketok oleh hakim agung Supandi, hakim agung
Is Sudaryono, dan hakim agung Hary Djatmiko. Berikut 4 pertimbangan majelis sebagaimana
dikutip dari website MA, Selasa (22/8/2017):

1. Angkutan sewa khusus berbasis aplikasi online merupakan konsekuensi logis dari
perkembangan teknologi informasi dalam moda transportasi yang menawarkan pelayanan yang
lebih baik, jaminan keamanan perjalanan dengan harga yang relatif murah dan tepat waktu.
2. Fakta menunjukkan kehadiran angkutan sewa khusus telah berhasil mengubah bentuk pasar
dari monopoli ke persaingan pasar yang kompetitif, dengan memanfaatkan keunggulan pada
sisi teknologi untuk bermitra dengan masyarakat pengusaha mikro dan kecil dengan konsep
sharing economy yang saling menguntungkan dengan mengedepankan asas kekeluargaan
sebagaimana amanat Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.
3. Penyusunan regulasi di bidang transportasi berbasis teknologi dan informasi seharusnya
didasarkan pada asas musyawarah mufakat yang melibatkan seluruh stakeholder di bidang jasa
transportasi sehingga secara bersama dapat menumbuh-kembangkan usaha ekonomi mikro,
kecil dan menengah, tanpa meninggalkan asas kekeluargaan.
4. Dalam permohonan keberatan hak uji materiil ini, Mahkamah Agung menilai objek
permohonan bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi, sebagai
berikut:
a. bertentangan dengan Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 7 UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Karena tidak menumbuhkan dan mengembangkan usaha
dalam rangka membangun perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi yang
berkeadilan dan prinsip pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah.
b. bertentangan dengan Pasal 183 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Jalan Raya, karena penentuan tarif dilakukan berdasarkan tarif batas atas dan batas bawah, atas
usulan dari Gubernur/Kepala Badan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri,
dan bukan didasarkan pada kesepakatan antara pengguna jasa (konsumen) dengan perusahaan
angkutan sewa khusus.

"Menyatakan pasal:

1. Pasal 5 ayat (1) huruf e.


2. Pasal 19 ayat (2) huruf f dan ayat (3) huruf e.
3. Pasal 20.
4. Pasal 21.
5. Pasal 27 huruf a.
6. Pasal 30 huruf b.
7. Pasal 35 ayat (9) huruf a angka 2 dan ayat (10) huruf a angka 3.
8. Pasal 36 ayat (4) (10) huruf a angka 3.
9.Pasal 43 ayat (3) huruf b angka 1 sub huruf b.
10. Pasal 44 ayat (10) huruf a angka 2 dan ayat (11) huruf a angka 2.
11. Pasal 51 ayat (3), huruf c.
12. Pasal 37 ayat (4) huruf c.
13. Pasal 38 ayat (9) huruf a angka 2
14. Pasal 66 ayat (4)

dalam Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 26 Tahun 2017 tentang
Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam Trayek,
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," putus majelis dalam sidang. (news.detik.com/
maka lahirlah peraturan pengganti tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan No
PM 108 tahun 2017 yang ditandatangani oleh Menhub tanggal 24 Oktober 2017 dan akan
berlaku efektif mulai 1 November 2017.

Peraturan Menteri ini didasari oleh beberapa pertimbangan, yaitu berdasarkan Putusan
Mahkamah Agung Nomor 37 /P.HUM/2017 tanggal 20 Juni 2017 tentang Permohonan Hak
Uji Materiil Terhadap Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 26 Tahun 2017, perlu
menyempurnakan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 26 Tahun 2017 tentang
Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek,serta untuk
menjalankan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014.dan mengingat Undang- Undang
Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5025), Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5587), Undang
Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4866) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib
Kecelakaan Penumpang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1964 Nomor 137,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2720), Undang-Undang Nomor 20
Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3687,
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3881), Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4279), Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843), Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009
tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia, Tahun 2009 Nomor 11,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966); serta beberapa Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri.[1]

1.2. Rumusan Masalah


Hadirnya Peraturan Menteri Perhubungan no. 108 Tahun 2017 tersebut, merupakan
angin segar bagi beberapa stakeholder dan pemilik bisnis moda transportasi online. Dengan
adanya Peraturan Menteri tersebut, akhirnya mereka memiliki payung hukum untuk
menjalankan bisnisnya tanpa harus merasa was- was atas beberapa resistensi yang pernah
terjadi. Namun demikian, ada beberapa catatan didalam formulasi kebijakan ini. Catatan ini
nampaknya menjadi sebuah hal yang patut untuk dibicarakan lebih mendalam, terkait izin
moda transportasi online serta payung hukum yang berada diatas mereka. Pertama, hadirnya
Peraturan Menteri ini terkesan hadir tergesa gesa secara.Kondisi ini tentunya kemudian
menimbulkan tanda tanya, terkait posisi yang diambil oleh pemerintah sebagai aktor pembuat
kebijakan yang terlihat tergesa- gesa. Entah pemerintah mungkin menyadari jika kondisi ini
dibiarkan berlarut- larut, ditakutkan akan menimbulkan polemik yang lebih jauh. Sehingga
pemerintah mengambil langkah pragmatis dengan cara mengeluarkan Peraturan Menteri
(Permen) tanpa mempertimbangkan Undang- Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan, dimana menurut pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio, dalam
sebuah FGD yang membahas terkait moda transportasi online menyebutkan bahwa,
" Pilihannya cuma dua, benahi undang-undangnya (UU No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
Angkutan Jalan) atau larang."[2] Dari sini, nampak bahwa pemerintah justru tidak melihat
Undang- Undang sebagai suatu instrumen penting yang harusnya lebih dahulu diperhatikan,
kemudian mendesak Lembaga Perwakilan atau DPR untuk merevisi undang- undang tersebut.
Pemerintah, sebagai aktor politik, menyadari jika harus merevisi undang- undang, nampaknya
akan memakan waktu yang cukup lama.
Kedua, aspek selanjutnya yang menjadi permasalahan adalah tidak diikutsertakannya
jenis kendaraan bermotor roda dua didalam Peraturan Menteri Perhubungan no. 108 Tahun
2017. Hal ini dikarenakan, menurut Direktur Jenderal Perhubungan Budi setyadi, moda roda
dua tidak dianggap sebagai kendaraan umum dalam UU.[6] Padahal menurut pasal 1 UU no.
22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyebutkan pada poin 7, 8, 9 dan 10:
7. Kendaraan adalah suatu sarana angkut di jalan yang terdiri atas Kendaraan Bermotor dan
Kendaraan Tidak Bermotor.
8. Kendaraan Bermotor adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh peralatan mekanik
berupa mesin selain Kendaraan yang berjalan di atas rel.
9. Kendaraan Tidak Bermotor adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga manusia
dan/atau hewan.
10. Kendaraan Bermotor Umum adalah setiap Kendaraan yang digunakan untuk angkutan
barang dan/atau orang dengan dipungut bayaran."
Dari pengertian diatas, pada poin 7, undang- undang tersebut tidak secara jelas
menyebutkan jenis kendaraan apa saja yang termasuk kendaraan bermotor, dan jenis- jenis
kendaraan apa saja yang boleh dijadikan sebagai sarana transportasi umum. Karena seperti
yang kita ketahui, moda roda dua adalah jenis kendaraan bermotor dan hingga saat ini
umumnya digunakan oleh 2 orang dan mulai digunakan sebagai alat transportasi umum, dan
undang- undang ini tidak mengaturnya.
Adanya kesimpangsiuran didalam undang- undang tersebut, rupanya menuai kejelasan
dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan
Jalan. Didalam pasal 3, pada poin 1 dan 2 PP tersebut, disebutkan bahwa:
(1) Angkutan orang dan/atau barang dapat menggunakan:
a. Kendaraan Bermotor; dan b. Kendaraan Tidak Bermotor.
(2) Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikelompokkan dalam:
a. Sepeda motor; b. Mobil Penumpang; c. Mobil Bus; dan d. Mobil Barang.
Dari penjelasan diatas, maka sepeda motor sebagai moda transportasi roda dua, masuk dalam
kategori kendaraan bermotor, tetapi tidak juga disebutkan secara eksplisit apakah sepeda motor
masuk sebagai kategori kendaraan bermotor umum atau tidak, karena kedua peraturan tersebut
tidak menjelaskan hal tersebut. Padahal, pada poin 1 di PP tersebut, disebutkan bahwa
kendaraan bermotor masuk dalam kategori angkutan orang, tetapi mengapa tidak dijelaskan
sepeda motor yang sebagai angkutan orang, dapat pula dijadikan sebagai angkutan umum.
Karena tak adanya kejelasan, maka Permenhub no. 108 tahun 2017 kemudian mengadopsi
bahwa kendaraan bermotor, yaitu sepeda motor tidak termasuk didalam keputusan permenhub
tersebut. Padahal, saat ini justru kendaraan bermotor roda dua menjadi salah satu solusi dari
beberapa masalah transportasi, diantaranya adalah kemacetan.
Karena adanya ketimpangan hukum dan selisih pendapatan, membuat pihak pengelola
transportasi online mendesak untuk adanya peraturan yang mengatur hajat hidup mereka. Di
sisi lain, ada pula pihak dari transportasi konvensional yang meminta agar transportasi online
dihapuskan saja. Setelah melalui kisruh, hingga demonstrasi, yang panjang, tanpa suara atau
secara diam- diam, muncul suatu Peraturan Menteri yang melegalkan adanya
transportasi online,dengan mengecualikan kendaraan roda dua. Tentu saja peraturan ini
kembali menimbulkan sengketa, karena driver roda dua masih dalam posisi ilegal. Kondisi ini
kemudian menghadirkan beberapa asumsi terkait Permenhub yang tidak mengakomodasi
kepentingan orang banyak dan proses pengambilan keputusan untuk menjadi suatu kebijakan
yang terlihat tergesa- gesa, karena desakan dari beberapa pihak.
Hadirnya beberapa pihak, seperti halnya kelompok paguyuban transportasi darat,
kelompok atau komunitas Grabike, Komunitas GOJEK dan sebagainya, memberikan tekanan
yang cukup serius sehingga dapat mendorong hadirnya suatu kebijakan publik, meskipun tidak
menyelesaikan seluruh masalah. Berdasarkan uraian diatas, maka penulis menyusun 4
pertanyaan untuk menguraikan fenomena tersebut:
1. Bagaimana peran pemerintah dan aktor- aktor non pemerintah serta masyarakat sipil
serta kelompok kepentingan ikut berpengaruh didalam pembentukan permenhub no.
108 tahun 2017 tersebut?
2. Bagaimana proses pembuatan kebijakan tersebut ?
3. Pendekatan Faktor stategis apa yang digunakan pemerintah membuat kebijakan
tersebut ?
4. Model pembuatan dan pendekatan kebijakan tersebut ?

1.3. Kerangka Teoritis


1.3.1 Teori Kebijakan Publik
Thomas R. Dye menyebutkan bahwa analisis kebijakan adalah mencari tahu apa yang
dilakukan pemerintah, mengapa mereka melakukannya, dan apa bedanya. Analisis kebijakan
sering dibatasi oleh perselisihan sifat masalah sosial, oleh subjektivitas dalam interpretasi hasil,
dengan keterbatasan desain penelitian kebijakan, dan dengan kompleksitas perilaku
manusia.[3]Membuat atau merumuskan suatu kebijaksanaan, apalagi kebijaksanaan negara,
bukanlah suatu proses yang sederhana dan mudah. Hal ini disebabkan karena terdapat banyak
faktor atau kekuatan- kekuatan yang berpengaruh terhadap proses pembuatan kebijaksanaan
negara tersebut. Suatu kebijaksanaan negara dibuat bukan untuk kepentingan politis (misalnya
guna mempertahan kan status quo pembuat keputusan) tetapi justru untuk meningkatkan
kesejahteraan hidup anggota masyarakat secara keseluruhan.[4]
Meskipun tidak harus berkaitan dengan kepentingan politik, tetapi justru kebijakan
publik selalu bersinggungan dengan proses- proses politik. Hal ini dikarenakan 2 hal yang
menjadi alasan mengapa kedua hal tersebut saling berkaitan. Pertama, karena ada barang dan
jasa publik, dimana sifat barang dan jasa membutuhkan tata kelola bersama. Karena ada tata
kelola bersama itulah, dibutuhkannya lembaga politik yang memiliki otoritas untuk mengatur
arus barang dan jasa, yang dalam hal ini adalah pemerintah, DPR dan lembaga negara lainnya
Kedua, dengan memperhatikan lahir dan hadirnya negara. Hal ini dapat ditinjau dari hadirnya
kontrak sosial yang disampaikan oleh John Locke dan J.J Rousseau, dimana hadirnya negara
ialah sebagai pelindung dan penjamin isu krusial umat manusia, yaitu ketentraman dan
kenyamanan.
Menurut Carl Friedrich, kebijakan publik adalah suatu arah tindakan yang diusulkan oleh
seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang memberikan
hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk
menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu
sasaran atau maksud tertentu.
John Erik Lane (1995) dalam Lele (1999) membagi wacana kebijakan publik ke dalam
beberapa model pendekatan, yaitu (1) pendekatan demografik yang melihat adanya pengaruh
lingkungan terhadap proses kebijakan. (2) model inkremental yang melihat formulasi
kebijakan sebagai kombinasi variabel internal dan eksternal dengan tekanan pada perubahan
gradual dari kondisi status quo. (3) model rasional. (4) model garbage can dan (5) model
collective choice aksentuasinya lebih diberikan pada proses atau mekanisme perumusan
kebijakan. (mencakup 2 dan 3).
Model model pembuatan kebijakan publik.
1. Model Kelembagaan (Institusional)
Pada model ini secara sederhana bermakna bahwa “tugas membuat kebijakan publik adalah
tugas pemerintah”. Jadi semua yang dibuat oleh pemerintah dengan cara apa pun merupakan
kebijakan publik. Model ini pada dasarnya lebih mengutamakan fungsi-fungsi setiap
kelembagaan dari pemerintah, di setiap sektor dan tingkat dalam memformulasikan kebijakan.
Menurut Thomas R. Dye, ada tiga hal yang membenarkan tentang pendekatan teori ini, yaitu ;
pemerintah memang sah dalam membuat kebijakan publik, formulasi kebijakan publik yang
dibuat oleh pemeritah bersifat universal (umum), pemerintah memonopoli/menguasai fungsi
pemaksaan (koersi) dalam kehidupan bersama.
Model ini sebenarnya merupakan derivasi/turunan dari ilmu politik tradisional dimana dalam
ilmu tersebut lebih menekankan pada strukturnya daripada proses atau perilaku politik. Proses
yang dilakukan dalam model ini menunjukan tugas lembaga-lembaga pemerintah dalam
melakukan formulasi kebijakan tetapi dalam memformulasi kebijakan tersebut dilakukan
secara otonom tanpa berinteraksi/berkomunikasi dengan lingkungan sekitar. Hal tersebut
menjadi salah satu kelemahan dari model ini yaitu terabaikannya masalah-masalah lingkungan
di mana kebijakan itu diterapkan. (Wibawa, 1994 : 6).
2. Model Proses (Process)
Pada model ini politik diasumsikan sebagai sebuah aktivitas sehingga mempunyai proses. Oleh
karena itu, kebijakan publik juga merupakan suatu proses politik yang menyertakan rangkaian
kegiatan:
Identifikasi Permasalahan :Mengemukakan tuntutan agar pemerintah mengambil tindakan.
Menata Agenda Formulasi Kebijakan : Memutuskan isu apa yang dipilih dan permasalahan
apa yang hendak dikemukakan.
Perumusan Proposal Kebijakan: Mengembangkan proposal kebijakan untuk menangani
masalah tersebut.
Legitimasi Kebijakan : Memimilih satu buah proposal yang dinilai terbaik untuk kemudian
mencari dukungan politik agar dapat diterima sebagai sebuah hukum.
Implementasi Kebijakan : Mengorganisasikan birokrasi, menyediakan pelayanan dan
pembayaran dan pengumpulan pajak.
Evaluasi Kebijakan : Melakukan studi program, melaporkan outpputnya, mengevaluasi
pengaruh (impact) kelompok sasaran dan non-sasaran, dan memberikan rekomendasi
penyempurnaan kebijakan.
Model ini menunjukan tentang bagaimana kebijakan dibuat atau seharusnya dibuat, akan tetapi
kurang memberikan tekanan pada substansi seperti apa yang harus ada dalam kebijakan
tersebut. Jadi lebih mengutamakan step by step pembuatan kebijakan tetapi kurang fokus
terhadap isi/hal-hal penting yang harus ada dalam kebijakan itu.
3. Model Teori Kelompok (Group)
Dalam pengambilan kebijakan penganut teori ini mengandaikan kebijakan sebagai titik
keseimbangan (equilibrium). Intinya adalah interaksi yang terjadi di dalam kelompok akan
menghasilkan keseimbangan dan keseimbangan tersebut adalah yang terbaik. Individu di
dalam kelompok kepentingan berinteraksi secara formal maupun informal, secara langsung
atau melalui media massa menyampaikan tuntutan/gagasan kepada pemerintah untuk
mengeluarkan kebijakan publik yang diperlukan. Sistem politik pada model ini berperan untuk
memanage konflik yang muncul akibat adanya perbedaan tuntutan, melalui :
a. Merumuskan aturan main antarkelompok kepentingan.
b. Menata kompromi dan menyeimbangkan kepentingan.
c. Memungkinkan terbentuknya kompromi di dalam kebijakan publik (yang akan dibuat).
d. Memperkuat kompromi-kompromi tersebut.
Menurut model ini dalam melakukan formulasi kebijakan, beberapa kelompok kepentingan
berusaha mempengaruhi isi dan bentuk kebijakan secara interaktif. (Wibawa, 1994 : 9).
4. Model Teori Elit (Elite)
Model teori ini mengasumsikan bahwa dalam setiap masyarakat terdapat 2 kelompok, yaitu
pemegang kekusaan (elit) dan yang tidak berkuasa (massa). Di dalam formulasi kebijakan,
sedemokratis apa pun selalu ada bias karena pada akhirnya kebijakan tersebut merupakan
preferensi politik dari para elit-politik. Sisi negatifnya adalah dalam sistem politik, para elit-
politiklah yang akan menyelengarakan kekuasaan sesuai kehendaknya. Sisi positifnya adalah
seorang elit-politik yang berhasil memenangkan gagasan membawa negara-bangsa ke kondisi
yang lebih baik dibanding dengan pesaingnya. Secara top down, elit-politiklah yang membuat
kebijakan, sedang implementasi kepada rakyat dilakukan oleh administrator publik. Jadi model
elit merupakan abstraksi dari proses formulasi kebijakan dimana kebijakan publik merupakan
perspeksi elit-politik. Prinsip dasarnya kebijakan yang dibuat bersifat konservatif karena para
elit-politik ingin mempertahankan status quo. Kelemahannya yaitu kebijakan yang dibuat elit-
politik tidak selalu mementingkan kesejahteraan rakyat.
5. Model Teori Rasionalisme (Rational)
“Kebijakan publik sebagai maximum social gain”, maksudnya pemerintah sebagai pembuat
kebijakan harus memilih kebijakan yang memberikan manfaat optimum bagi masyarakat,
dalam formulasinya harus berdasar keputusan yang sudah diperhitungkan rasionalitasnya yaitu
perbandingan antara pengorbanan dan hasil yang akan dicapai sehingga model ini lebih
menekankan pada aspek efisiensi atau ekonomis. Cara-cara formulasi kebijakan disusun dalam
urutan : (1) Mengetahui preferensi publik dan kecenderungannya, (2) Menemukan pilihan-
pilihan, (3) Menilai konsekuensi masing-masing pilihan, (4) Menilai rasio nilai sosial yang
dikorbankan, (5) Memilih alternatif kebijakan yang paling efisien. (Wibawa, 1994 : 10,
Winarno, 2002 : 75, Wahab, 2002 : 19). Model ini termasuk yang ideal dalam formulasi
kebijakan dalam arti untuk mencapai tingkat efisiensi dan efektivitas kebijakan. Beberapa
kelemahan pokonya antara lain konsep maximum social gain berbeda di antara kelompok
kepentingan sehingga dikhawatikan menimbulkan perbedaan/perselisihan, kebijakan
maximum social gain sulit dicapai mengingat birokrasi yang cenderung melayani diri sendiri
daripada melayani publik. Namun idealisme dari model ini perlu ditingkatkan dan diperkuat
karena di setiap negara pasti ada birokrat-birokrat yang cakap, cerdas dan handal demi
memajukan bangsa dan negaranya. Untuk itu model ini perlu menjadi kajian dalam proses
formulasi kebijakan.
6. Model Inkrementalis (Incremental)
Pada dasarnya merupakan kritik terhadap model rasional, diamana para pembuat kebijakan
tidak pernah melakukan proses seperti yang diisyaratkan oleh pendekatan rasional karena
mereka tidak memiliki cukup waktu, intelektual, maupun biaya, ada kekhawatiran muncul
dampak yang tidak diinginkan akibat kebijakan yang belum pernah dibuat sebelumnya, adanya
hasil-hasil dari kebijakan sebelumnya yang harus dipertahankan dan menghindari konflik.
(Wibawa, 1994 : 11, Winarno, 2002 : 77-78, Wahab, 2002 : 21). Jadi kebijakan publik
merupakan variasi/kelanjutan dari kebijakan di masa lalu. Karena pengambilan kebijakan
dihadapkan kepada ketidakpastian yang muncul di sekelilingnya maka pilihannya adalah
melanjutkan kebijakan di masa lalu dengan melakukan modifikasi seperlunya, pemerintah
dengan kebijakan inkrementalis berusaha mempertahankan komitmen kebijakan di masa lalu
untuk mempertahankan kinerja yang telah dicapai.
7. Model Teori Permainan (Game Theory)
Model ini di-cap sebagai model konspiratif, dimana mulai muncul sejak berbagai pendekatan
yang sangat rasional tidak mampu menyelesaikan pertanyaan yang muncul yang sulit
diterangkan dengan fakta-fakta yang tersedia. Gagasan pokok dari teori ini : (1) formulasi
kebijakan berada pada situasi kompetisi yang intensif, (2) para aktor berada dalam situasi
pilihan yang tidak independent ke dependent melainkan situasi pilihan yang sama-sama
bebas/independent. Konsep kunci teori ini adalah strategi, dimana kuncinya bukanlah yang
paling aman tetapi yang paling aman dari serangan lawan. Jadi teori ini memiliki tingkat
konservativitas yang tinggi karena pada intinya merupakan strategi defensif, tetapi bisa juga
dikembangkan menjadi strategi ofensif asal yang bersangkutan memiliki posisi superior dan
dukungan sumber daya yang memadai.
8. Model Pilihan Publik (Public Choice)
Dalam model ini kebijakan sebagai proses formulasi keputusan kolektif dari setiap individu
yang berkepentingan atas keputusan tersebut. Akar dari kebijakan ini adalah dari teori ekonomi
pilihan publik (economic of public choice) yang mengatakan bahwa manusia itu homo
economicus yang memiliki kepentingan yang harus dipuaskan dan pada prinsipnya adalah
buyer meet seller; supply meet demand. Intinya setiap kebijakan yang dibuat pemerintah harus
merupakan pilihan dari publik yang menjadi pengguna (beneficiaries/customer). Dalam
menyusun kebijakan, pemerintah melibatkan publik melalui kelompok-kelompok kepentingan
dan ini secara umum merupakan konsep formulasi kebijakan yang paling demokratis karena
memberi ruang yang luas kepada publik untuk mengkontribusikan pilihan-pilihannya kepada
pemerintah sebelum diambil keputusan. Meskipun ideal dalam konteks demokrasi dan kontrak
sosial, namun memiliki kelemahan pokok dalam realitas interaksi itu sendiri karena interaksi
akan terbatas pada publik yang mempunyai akses dan di sisi lain terdapat kecenderungan dari
pemerintah untuk memuaskan pemilihnya daripada masyarakat luas.
9. Model Sistem (System)
Menurut David Easton pendekatan dalam model ini terdiri dari 3 komponen : input, proses dan
output. Salah satu kelemahan dari pendekatan ini adalah terpusatnya perhatian pada tindakan-
tindakan yang dilakukan pemerintah dan pada akhirnya kita kehilangan perhatian pada apa
yang tidak pernah dilakukan pemerintah. (Wibawa, 1994 : 7, Winarno, 2002 : 70). Jadi
formulasi kebijakan dengan model sistem mengibaratkan bahwa kebijakan merupakan hasil
(output) dari sistem politik. Seperti dalam ilmu politik, maka sistem politik terdiri dari input,
throughput dan output. Sehingga dapat dipahami, proses formulasi kebijakan publik dalam
sistem politik mengandalkan masukan (input) yang terdiri dari tuntutan dan dukungan.
10. Model Pengamatan Terpadu (Mixed-Scaning)
Model ini berupaya menggabungkan antara model rasional dengan model inkremental.
Tokohnya adalah Amitai Etzioni, pada 1967 yang memperkenalkan model ini sebagai suatu
pendekatan terhadap formulasi keputusan-keputusan pokok dan inkremental, menetapkan
proses-proses formulasi kebijakan pokok dan urusan tinggi yang menentukan petunjuk-
petunjuk dasar, proses-proses yang mempersiapkan keputusan-keputusan pokok dan
menjalankannya setelah keputusan itu terapai. Jika diibaratkan seperti dua kamera; kamera
wide angle untuk melihat keseluruhan, kamera dengan zoom untuk melihat detailnya.
(Winarno, 2002 : 78, Wahab, 2002 : 23-24).
11. Model Demokratis
“Pengambilan keputusan harus sebanyak mungkin mengelaborasi suara dari stakeholders”.
Pernyataan tersebut dapat dikatakan sebagai “Model Demokrasi” karena menghendaki agar
setiap “pemilik hak demokrasi” diikut sertakan sebanyak-banyaknya. Model ini
implementasinya pada good governance bagi pemerintahan yang mengamanatkan agar dalam
membuat kebijakan, para konstituten, dan pemanfaat (beneficiaries) diakomodasi keberadaan.
Model ini sebenarnya sudah baik akan tetapi kurang efektif dalam mengatasi masalah-masalah
yang bersifat kritis, darurat dan dalam kelangkaan sumber daya. Namun apabila model ini
mampu dijalankan maka sangat efektif karena setiap pihak mempunyai kewajiban untuk ikut
serta mencapai keberhasilan kebijakan karena masing-masing pihak bertanggung jawab atas
kebijakan yang dirumuskan.
12. Model Strategis
Inti dari teori ini adalah bahwa pendekatan menggunakan rumusan runtutan perumusan strategi
sebagai basis perumusan kebijakan. Tokohnya adalah John D. Bryson. Perencanaan strategis
yaitu upaya yang didisiplinkan untuk membuat keputusan dan tindakan penting yang
membentuk dan memandu bagaimana menjadi organisasi (atau etnis lainnya), apa yang
dikerjakan organisasi (atau etnis lainnya), dan mengapa organisasi (atau etnis lainnya)
mengerjakan hal seperti itu (Bryson, 2002 : 4-5). Perencanaan strstegis mensyaratkan
pengumpulan informasi secara luas, eksploratif alternatif dan menekankan implikasi masa
depan dengan keputusan sekarang (Bryson, 2002 : 5). Fokusnya lebih kepada
pengidentifikasian dan pemecahan isu-isu, lebih menekankan kepada penilaian terhadap
lingkungan di luar dan di dalam organisasi dan berorientasi kepada tindakan (Bryson, 2002 :
7-8). Perencanaan strategis dapat membantu organisasi untuk; berpikir secara strategis dan
mengembangkan strategi-strategi yang efektif, memperjelas arah masa depan, menciptakan
prioritas, membuat keputusan sekarang dengan memperhatikan konsekuensi masa depan,
kontrol organisasi, memecahkan masalah utama organisasi, menangani keadaan yang berubah
dengan cepat secara efektif. Proses perumusannya adalah; mengusulkan dan menyepakati
perencanaan strategi (memahami manfaat perencanaan strategi dan mengembangkannya),
merumuskan panduan proses, memperjelas wewenang dan misi organisasi, melakukan analisa
SWOT ( menilai kekuatan dan kelemahan, peluang dan ancaman). Mengidentifikasi isu strategi
yang dihadapi, merumuskan strategi untuk mengelola isu. Jadi dapat disimpulkan bahwa model
ini fokusnya lebih kepada rincian-rincian langkah manajemen strategis.
Sistem Kebijakan Publik.
Yang dimaksud dengan sistem kebijakan publik,menurut MustopadidjajaAR
(BintoroTjokroamidjqjo dan Mustopadidjaja AR, 1988), adalah keseluruhan pola kelembagaan
dalam pembuatan kebijakan publik yang melibatkan hubungan di antara 4 elemen (unsur), yaitu
masalah kebijakan publik, pembuatan kebijakan publik, kebijakan publik dan dampaknya
terhadap kelompok sasaran (target groups).
Sebagai suatu sistem, maka dalam sistem kebijakan publik dikenal adanya unsur-unsur: Input
→ Process → Output → Impact . Kebijakan publik adalah merupakan produk (output) dari
suatu input, yang diproses secara politis.

Adapun elemen-elemen (unsur-unsur) sistem kebijakan publik adalah:


a. Input: Masalah Kebijakan Publik.
Masalah kebijakan publik ini timbul karena adanya factor lingkungan kebijakan publik yaitu
suatu keadaan yang melatar belakangi atau peristiwa yang menyebabkan timbulnya"masalah
kebijakan publik" tersebut, yang berupa tuntutan-tuntutan, keinginan- keinginan masyarakat
atau tantangan dan peluang, yang diharapkan segera diatasi melalui suatukebi jakan publik.
Masalah itu dapat juga timbul justru karena dikeluarkannya suatu kebijakan publik baru.
b. Process (proses): Pembuatan Kebijakan Publik.
Proses pembuatan kebijakan publik itu bersifat politis, dimana dalam proses tersebut terlibat
berbagai kelompok kepentingan yang berbeda-beda, bahkan ada yang saling bertentangan.
Dalam proses ini terlibat berbagai macam policy stakeholders, yaitu mereka-mereka yang
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh suatu kebijakan publik. Policy Stakeholders bisa pejabat
pemerintah, pejabat negara, lembaga pemerintah, dan juga dari lingkungan masyarakat (bukan
pemerintah), misalnya partai politik, kelompok-kelompok kepentingan, pengusaha dan
sebagainya.
c. Output: Kebijakan Publik, yang berupa serangkaian tindakanyang dimaksudkan untuk untuk
memecahkan masalah atau mencapai tujuan tertentu seperti yang diinginkan oleh kebijakan
publik.
d. Impacts (dampak), yaitu dampaknya terhadap kelompok sasaran (target groups).
Kelompok sasaran (target groups) adalah orang-orang, kelompok-kelompok orang, atau
organisasi-organisasi, yang perilaku atau keadaannya ingin dipengaruhi atau diubah oleh
kebijakan publik tersebut.
Proses Kebijakan Publik.
Proses kebijakan publik ini meliputi tahap-tahap:
a. Perumusan kebijakan publik. '
Tahap ini mulai dari perumusan masaiah sampai dengan dipilihnya alternatif untuk
direkomendasikan dan disahkan oleh pejabat yang berwenang.
b. Implementasi kebijakan publik. -
Setelah kebijakan publik disahkan oleh pejabat yang berwenang, maka kemudian kebijakan-
publik tersebut diimplementasikan (dilaksanakan):
Mengenai implementasi kebijakan publik, Mustopadidjaja AR(BintoroTjokroamidjojo
dan Mustopadidjaja AR, 1988), mengemukakan bahwa dilihat dari implementasinya, ada tiga
bentuk kebijakan publik, yaitu:
1) Kebijakan langsung, yaitu kebijakan yang pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah
sendiri.
2) Kebijakan tidak langsung, yaitu kebijakan yang pelaksanaannya tidak dilakukan oleh
pemerintah.Dengan demikian, dalam hal ini pemerintah hanya mengatur saja.
3) Kebijakan campuran, yaitu kebijakan yang pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah
dan bukan pemerintah (swasta).
.
Peranan kebijakan publik di bagi 3
sebagai pendorong ,sebagai penghambat ,sebagai pengarah.
Faktor strategis kebijakan publik
a. Faktor pertahanan dan keamanan apakah Apakah kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh
Pemerintah tidak akan mengganggu stabilitas keamanan negara kebijakan publik menggagu
stabilitas keamanan negara.
b. Faktor Sosial budaya Apakah kebijakan tersebut tidak menimbulkan benturan sosial,
budaya dan agama atau yang sering disebut masalah SARA
c. Faktor Ekonomi Faktor ini perlu dipertimbangkan, terutama apabila kebijakan tersebut akan
menggunakan dana yang cukup besar atau akan berpengaruh pada situasi ekonomi dalam
negara/daerah
d. Faktor Admisnistrasi Apakah dalam pelaksanaan kebijakan itu benar-benar akan didukung
oleh kemampuan administrative yang memadai, atau apakah sudah ada organisasi yang akan
melaksanakan kebijakan itu.
e. Faktor Teknologi Apakah teknologi yang ada dapat mendukung penyelenggaraan
pemerintahan, apabila kebijakan tersebut kemudian diimplementasikan. Secara kenyataan
teknologi yang ada pada prinsipnya dapat mendukung kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah
Jenis kebijakan publik
Regulatory adalah kebijakan yang mengatur pembatasan pelarangan terhadap
tindakan/perbuatan.
Distributive adalah kebijakan yang mengatur pemberian pelayanan/keuntungan kepada
individu,kelompok ,perusahaan (keringan pajak/BLT ,KUR,BOS,JPS )
ReDistributive kebijakan yang mengatur pemindahan alokasi kekayaan ,pemilikan,hak hak (
pembebasan tanah untuk kepentingan umum )
Public goods kebijakan yang mengatur penyedian barang oleh pemerintah untuk kepentingan
orang banyak ( jalan,keamanan, kesehatan)
Private goods kebijakan yang mengatur penyedian barang /jasa oleh pihak swsata untuk
kepentingan individu dipasar bebas ( hotel, tempat hiburan )
Tingkatan Kebijakan Publik
Mengenai tingkatan kebijakan publik secara teknis, Lembaga Administrasi Negara (1997)
dalam Sahya Anggara (2014:14) menyampaikan sebagai berikut :
1. Lingkup Nasional
a) Kebijakan Nasional
Kebijakan Nasional merupakan kebijakan negara yang bersifat fundamental dan strategis
dalam pencapaian tujuan nasional ataupun negara sebagaimana tertera dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945. Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
dan Presiden adalah aktor-aktor yang paling berwenang menetapkan sebuah kebijakan
nasional. Kebijakan nasional yang dimasukkan kedalam peraturan perundang-undangan dapat
berbentuk Undang-Undang Dasar (UUD), ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP
MPR), Undang – Undang (UU), Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (PERPU).
b) Kebijakan Umum
Kebijakan Umum adalah kebijakan Presiden sebagai pelaksanaan UUD, TAP MPR, UU untuk
mencapai tujuan nasional. Presiden dalam hal ini berwenang menetapkan kebijakan umum.
Kebijakan umum yang tertulis dapat berbentuk Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden
(Keppres), dan Instruksi Presiden (Inpres).
c) Kebijakan Pelaksanaan
Kebijaksanaan pelaksanaan adalah penjelasan dari kebijakan umum sebagai strategi
pelaksanaan tugas di bidang-bidang tertentu. Dalam menetapkan kebijakan pelaksanaan yang
berwenang adalah menteri atau pejabat setingkat menteri dan pimpinan LPND. Kebijakan
pelaksanaan yang tertulis dapat berbentuk peraturan, keputusan, atau instruksi pejabat.
2. Lingkup Wilayah Daerah
a) Kebijakan Umum
Kebijakan umum di lingkup daerah adalah kebijakan pemerintah daerah sebagai pelaksanaan
asas desentralisasi dalam mengatur urusan rumah tangga daerah nya sendiri. Dalam
menetapkan kebijakan umum di daerah Provinsi, yang berwenang adalah Gubernur dan DPRD
Provinsi. Di daerah Kabupaten/Kota. Kebijakan umum di tingkat daerah dapat berbentuk
Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
b) Kebijakan Pelaksanaan
Kebijakan pelaksanaa di lingkup wilayah/daerah ada 3 (tiga) macam, yaitu:
1. Kebijakan pelaksanaan dalam rangka desentraslisasi merupakan realisasi pelaksanaan
peraturan daerah.
2. Kebijakan pelaksanaan dalam rangka dekonsentrasi merupakan realisasi pelaksanaan
kebijakan nasional di daerah.
3. Kebijakan pelaksanaan dalam rangka tugas pembantuan merupakan pelaksanaan tugas
pemerintah pusat di daerah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah.
1.3.2. Teori Aktor
Aktor atau figur memainkan peran yang krusial didalam proses kebijakan publik. Aktor
didalam formulasi kebijakan terdiri atas 2 tipe. Pertama, tipe outside. Mereka berada diluar
pemerintahan tetapi memiliki peran yang cukup dominan untuk mengawal pemerintahan dan
mendesak pemerintahan. Didalam tipe ini adalah kelompok kepentingan, Non- Government
Organization (NGO), Media Massa, Kelompok Profesional dan Lembaga
Internasional. Kedua,tipe inside. Mereka yang termasuk didalam kelompok ini adalah aktor
penting didalam formulasi kebijakan dan pelaksana dari implementasi kebijakan. Mereka yang
termasuk didalam kelompok ini adalah Eksekutif/ Birokrasi, Lembaga Perwakilan dan
Lembaga Yudikatif.
Didalam menganalisis peran aktor non pemerintah tersebut, tentu saja akan hadir
beberapa kelompok masyarakat yang memposisikan dirinya kedalam bentuk para aktor- aktor
tersebut. Sehingga nantinya akan dapat diidentifikasi peran apa yang mereka lakukan didalam
proses hadirnya kebijakan publik tersebut.
1.3.3. Teori Civil Society/ Masyarakat Sipil
Chazan dalam Triwibowo menyebutkan bahwa civil society adalah kelompok-
kelompok asosiasi yang bisa berfungsi sebagai pengerem kekuasaan negara (sehingga dengan
sendirinya selalu berseberangan dengan negara), sebagai perantara yang budiman antara
kepentingan negara dan aspirasi lokal, atau sebagai rangkaian kelembagaan sosial yang saling
berinteraksi antarsesamanya dalam suatu struktur formal yang bisa memfasilitasi atau
menghambat tata kelola negara.[11]
Berbicara mengenai civil society, maka kitapun harus memahami yang dimaksud
dengan gerakan sosial. Gerakan sosial merupakan bentuk aktivisme civil society yang khas.
Gerakan sosial menjadi khas karena aktor- aktor yang terlibat diikat oleh identitas kolektif yang
dibangun diatas dasar kebutuhan dan kesadaran akan keterhubungan (connections).
II. PEMBAHASAN
2.1. Peran Pemerintah dan peran Aktor Non- Pemerintah serta Masyarakat Sipil dalam
Implementasi Kebijakan Publik

Didalam melihat fenomena yang tejadi yang telah di uraikan pada pendahuluan , ada
beberapa peran dari para aktor non- pemerintah yang tergabung didalam kelompok
kepentingan, civil society maupun organisasi lainnya yang menarik untuk diulas. Beberapa dari
mereka memainkan peran didalam hadirnya Peraturan Kementerian Perhubungan no. 108
tahun 2017 serta dalam implementasinya. Pertama, para pengemudi transportasi konvensional
yang tergabung dalam beberapa paguyuban dan kelompok kepentingan lainnya. Mereka
memainkan peran sebagai aktor organisasi, meskipun langkah penolakan yang mereka lakukan
tidak mencerminkan standar operasional dari organisasi manapun. Tetapi, tujuan dari aksi
tersebutlah yang mencerminkan bahwa mereka adalah aktor organisasional. Mereka mendesak
pemerintah untuk menghapuskan transportasi online karena tidak resmi, tidak jelas, tidak
terikat dengan pemerintah dan tidak dilindungi oleh payung hukum apapun. Mereka melihat
justru dengan hadirnya transportasi online, membuat pasar mereka lebih sempit dan persaingan
menjadi lebih ketat. Mereka mengedepankan asas kepatutan karena mereka berada dibawah
organisasi bisnis yang dilindungi oleh undang- undang dan hukum yang berlaku. Atas dasar
inilah, transportasi online semisal taxi online dan kendaraan roda dua online dinilai tidak taat
aturan, dan organisasi bisnis yang memayungi mereka tidak tertib organisasi karena tidak
terikat pada peraturan apapun.
Kedua, aktor non- pemerintah selanjutnya adalah para pemodal dan pemilik perusahaan.
Dalam hal ini adalah pemilik Uber Taxi, Grab maupun GOJEK. Peran mereka tidaklah boleh
dilupakan karena posisi mereka sebagai top management dari hadirnya transportasi online
tersebut. Mereka dapat digolongkan sebagai aktor politik. Hal ini dikarenakan posisi mereka
yang mengedepankan proses tawar- menawar dan negosiasi. Masih eksisnya kendaraan
berbasis online sampai hari ini merupakan bukti bahwa mereka memiliki bargaining
position yang kuat, bahkan, kendaraan roda dua tidak termasuk didalam permenhub dan UU
tetapi hingga hari ini masih eksis dan beroperasi. Artinya, mereka mampu bernegosiasi dengan
pemerintah untuk selanjutnya mengamankan kepentingan mereka. Pada titik ini, para pemilik
modal tersebut dapat pula dikategorikan sebagai aktor elit dengan jumlah yang terbatas namun
mampu mengamankan kepentingan mereka sendiri. Kebijakan tersebut kemudian memberikan
gambaran bahwa sebelum diimplementasikan saja, sudah menunjukkan ada bagian yang
kurang dan harus dibenahi. Seharusnya fokus pemerintah adalah Undang- Undang no. 22
Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dimana implementasi kebijakan dari UU
tersebut masih menuai kontroversi.
Ketiga, para driver kendaraan online itu sendiri. Didalam hal ini, posisi para driver
tersebut lebih kepada interest group atau kelompok kepentingan. Sebagai masyarakat sipil,
merekapun menuntut adanya kejelasan aturan terkait profesi tersebut. Mereka pun turut serta
mendesak para pemangku kebijakan untuk segera mengeluarkan suatu peraturan agar mereka
dapat dinyatakan legal. Dalih mereka adalah bahwa perkembangan teknologi tidak dapat
dihentikan dan masyarakat harus siap dalam penyesuaian tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan
beberapa aksi demonstrasi para driver tersebut, tetapi aksi itu justru tidak ditujukan langsung
kepada pemerintah, melainkan kepada perusahaan tempat mereka bernaung. Mereka kemudian
meminta kepada perusahaan agar menjalin kerjasama dan komunikasi dengan pemerintah atas
nasib mereka selanjutnya. Mereka pun melakukan beberapa ancaman, yaitu dengan mogok
kerja serta tetap melakukan demonstrasi. Dari kejadian tersebut, mereka mencoba untuk
membuka ruang antara diri mereka sendiri dan pemerintah, agar aspirasi mereka dapat didengar
dan kebijakan dapat segera direalisasikan. Didalam menganalisis fenomena hadirnya
Permenhub tersebut, terdapat tiga aktor penting yang bermain sesuai dengan role
player mereka masing- masing. Tujuannya adalah untuk mencari kejelasan hukum atas nasib
mereka masing- masing. Dimana tentu saja kejelasan hukum ini hadir, tetapi tidak dapat
memuaskan semua pihak, terutama pihak pengemudi kendaraan konvensional yang meminta
agar transportasi online dihapuskan.
Dalam hal ini, pemerintah sebagai aktor penting memainkan perannya sebagai pengarah,
juga menyadari bahwa ada kekurangan pada diri mereka. Hal itu dipertegas oleh Mantan
Menkopolhukam Luhut Binsar Pandjaitan yang menyatakan bahwa pemerintah tidak
mengantisipasi berkembangnya teknologi yang membuat moda transportasi berbasis aplikasi
menjamur seperti saat ini. Dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan tidak diatur tentang adanya ojek online seperti GOJEK.[14] Hal ini menunjukkan bahwa
implementasi UU tersebut masih ada kecacatan dan tidak mengakomodasi seluruh pihak
terkait. Sehingga pemerintah segera mengambil langkah- langkah strategis, namun dinilai tidak
pas, yaitu mengeluarkan Peraturan Menteri tetapi tidak mengajukan perubahan terhadap
undang- undang sebagai payung hukum yang lebih tinggi daripada peraturan menteri. Hal ini
terkesan bahwa apa yang dilakukan pemerintah, bertujuan untuk memberikan kepuasan sesaat
dan tidak menyelesaikan masalah. Hadirnya Permenhub dinilai tidak akomodatif terhadap
semua pihak, timpang sebelah dan mementingkan golongan tertentu. Permenhub hanya
menjadi obat tetapi tidak menyehatkan atau hanya menjadi langkah- langkah alternatif, bukan
menyelesaikan akar permasalahan. Karena yang semestinya diperbaharui adalah Undang-
Undang no. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
2.2. Proses pembuatan kebijakan
Peraturan Menteri Perhubungan no. 108 Tahun 2017 , dalam Proses pembuatan
kebijakan publik itu bersifat politis, dimana dalam proses tersebut terlibat berbagai kelompok
kepentingan yang berbeda-beda, bahkan ada yang saling bertentangan. Dalam proses ini
terlibat berbagai macam policy stakeholders, yaitu mereka-mereka yang mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh suatu kebijakan publik. Policy Stakeholders bisa pejabat pemerintah, pejabat
negara, lembaga pemerintah, dan juga dari lingkungan masyarakat (bukan pemerintah), serta
aktor aktor non pemerintah dan kelompok-kelompok kepentingan, seperti yang telah diuraikan
diatas.
2.3. Pendekatan faktor strategis
Pemerintah dalam hal ini kementrian perhubungan ,penulis melihat pemerintah dalam
membuat kebijakan melakukan pendekatan faktor strategis yaitu faktor pertahanan dan
keamanan dan faktor sosial budaya seperti keselamatan dan keamanan ,keberlansungan usaha
,perlindungan konsumen dan kebutuhan masyarakat serta yg penting menjaga situasi dan
kondisi dalam keadan kondusif untuk kepentingan nasional.
2.4. Model pembuatan dan pendekatan kebijakan
Pemerintah dalam hal ini kementrian perhubungan ,penulis melihat pemerintah dalam
membuat kebijakan melakukan model pendekatan Model Kelompok (Group)
Yaitu kekompok kelompok aktor non pemerintahan sebagaina yang sudah diuraikan
sebelumnya.
Dalam pengambilan kebijakan pemerintah mengandaikan kebijakan sebagai titik
keseimbangan (equilibrium). Intinya adalah interaksi yang terjadi di dalam kelompok akan
menghasilkan keseimbangan dan keseimbangan tersebut adalah yang terbaik. Individu di
dalam kelompok kepentingan berinteraksi secara formal maupun informal, Sistem politik pada
model ini berperan untuk memanage konflik yang muncul akibat adanya perbedaan tuntutan,
melalui :
a. Merumuskan aturan main antar kelompok kepentingan.
b. Menata kompromi dan menyeimbangkan kepentingan.
c. Memungkinkan terbentuknya kompromi di dalam kebijakan publik (yang akan dibuat).
d. Memperkuat kompromi-kompromi tersebut.
Sampai sekarang , beberapa kelompok kepentingan berusaha mempengaruhi isi dan bentuk
kebijakan secara interaktif. Itu terlihat dari aktor aktor non pemerintah dan kelompok
kepentingan yang telah diuraikan sebelumnya.

III. Penutup
3.1. Kesimpulan
Peran pemerintah dan peran aktor non-pemerintah yang mendorong hadirnya suatu
kebijakan, Dalam hal ini, pemerintah sebagai aktor penting memainkan perannya sebagai
pengarah, dan terdapat tiga jenis aktor yang melatar belakangi lahirnya kebijakan pengaturan
kendaraan berbasis aplikasi online. Mereka terdiri sebagai aktor organisasi, yaitu
para driver kendaraan konvensional yang menuntut agar para perusahaan penyedia
transportasi online untuk tunduk pada kebijakan yang saat ini berlaku. Aktor kedua yaitu para
pemodal dan pemilik perusahaan. Mereka memainkan peran sebagai aktor politik dan aktor
elit. Setiap kebijakan yang hadir, termasuk Permenhub no. 108 Tahun 2017 tersebut merupakan
hasil negosiasi dan kompromi antara pasar dan pemerintah. Sebagai aktor elit, mereka lebih
berupaya untuk melindungi kepentingan mereka sendiri. Aktor yang ketiga adalah para
pengemudi online. Mereka berposisi sebagai interest group yang berupaya mendesak para
pemilik perusahaan untuk mendesak pemerintah agar mereka memperoleh aspek legal formal.
Meskipun telah hadir Permenhub no. 108 Tahun 2017 tersebut, rupanya masih ada ketidak
adilan bagi sebagian kalangan.
Pendekatan strategis yang dilakukan perintah dalam membuat kebijakan ini . yaitu faktor
pertahanan dan keamanan dan faktor sosial budaya seperti keselamatan dan keamanan
,keberlansungan usaha ,perlindungan konsumen dan kebutuhan masyarakat serta yg penting
menjaga situasi dan kondisi dalam keadan kondusif untuk kepentingan nasional.
Model pembuatan dan pendekatan dalam membuat kebijakan ini pemerintah dalam
melakukan model pendekatan Model Kelompok (Group).

3.2. Saran dan Rekomendasi


Ada beberapa rekomendasi dan saran yang dapat diberikan kepada para pemangku
kebijakan, maupun para aktor non pemerintah agar kebijakan- kebijakan selanjutnya dapat pro
terhadap kepentingan semua golongan, yaitu:
1. Pemerintah bersama DPR harus kembali meninjau Undang- Undang no. 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dengan memperbaiki UU tersebut, maka pemerintah
dapat mempersiapkan suatu kebijakan yang tepat bagi permasalahan moda
transportasi online tersebut.
2. Permenhub no. 108 Tahun 2017 ini seyogyanya harus diperbaiki dan direvisi kembali.
Kementerian Perhubungan harus mempertimbangkan nasig pengemudi roda dua dan nasib para
pengemudi kendaraan konvensional. Memberikan izin, bukan berarti menyelesaikan masalah.
Sehingga, hadirnya Permenhub no. 108 Tahun 2017 ini sama sekali tidak menyelesaikan
masalah, karena akar masalah tidak tersentuh sama sekali.
3. Para interest group, masyarakat sipil, paguyuban dan aktor non pemerintah lainnya untuk
tetap mengawal perkembangan kebijakan ini. Harapannya dengan dikawalnya kebijakan ini,
akan dapat menghadirkan kebaikan dan manfaat yang dapat dinikmati bersama, tanpa harus
merasa ada pihak yang tidak diuntungkan.

DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Jurnal
Darmawan Triwibowo. Gerakan Sosial Wahana Civil Society bagi Demokratisasi. Jakarta: LP3ES
Indonesia, 2006.
The indonesia institute respon kebijakan terhadapap transportasi berbasis aplikasi di jakarta 2015
Irfan Islamy, Prinsip- Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara, 1991

Thomas R. Dye, Understanding Public Policy, Fourteenth Edition. New Jersey: Pearson Education. 2013
Widya Wulandari, Analisis Efektivitas Transportasi Ojek Online Sebagai Pilihan Moda Transportasi di Jakarta
(Studi Kasus: GO-JEK Indonesia). Skripsi. Jakarta: Universitas Esa Unggul.

Internet dan Lainnya

Kuliah analis kebijakan bersama yossafra. Fakultas teknik Unand,


http://nasional.sindonews.com/read/1035305/149/aplikasi-online-angkutan-perlu-aturan-1440118213
http://www.indotelko.com/kanal?c=bid&it=indonesia-aturan-transportasi-online
http://inet.detik.com/read/2016/03/23/064214/3171165/398/menebak-cara-pemerintah-atasi-kisruh-transportasi-
online

[1] Lihat:Diunduhhttp://jdih.dephub.go.id/assets/uudocs/permen/2017/PM_108_TAHUN_2017.pdf.pada Hari


selasa, 25 September 2018, pukul 09.25WIB

[2] Lihat: http://setkab.go.id/soal-ojektaksi-online-pemerintah-punya-pilihan-perbaiki-undang-undang-atau-


dilarang/
[3] Thomas R. Dye, Understanding Public Policy, Fourteenth Edition. New Jersey: Pearson Education. 2013.
Hlm. 11
[4] Irfan Islamy, Prinsip- Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara, 1991. Hlm. 77
[5] Darmawan Triwibowo. Gerakan Sosial Wahana Civil Society bagi Demokratisasi. Jakarta: LP3ES
Indonesia, 2006. Hlm. 2
http://dephub.go.id/post/read/11-pokok-materi-dalam-revisi-pm-32tahun2016

https://bisnis.tempo.co/read/902015/ma-kabulkan-gugatan-uji-materi-aturan-tentang-transportasi-online

https://news.detik.com/berita/3609348/4-alasan-ma-cabut-aturan-transportasi-online

Winarno, Budi, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Media Pressindo, Yogyakarta: 2002 dalam Skripsi Putri H,
Indriani, Implementasi Kebijakan Penataan Ruang Kota dalam Kerangka Pembangunan Perkotaan. Studi
Kasus: Penataan Penyelenggaraan Media Reklame Luar Ruang Kota Yogyakarta. Jurusan Administrasi
Negara, Universitas Gadjah mada: 2005. hal 36.

http://jdih.dephub.go.id/assets/uudocs/permen/2017/PM_108_TAHUN_2017.pdf.

Anda mungkin juga menyukai