Anda di halaman 1dari 4

ANALISIS KASUS PRAKTEK MONOPOLI

TUGAS KAPITA SELEKTA DAGANG

KELAS (G)

DISUSUN OLEH:

MUHAMMAD RIZALDHI ARIWIBOWO

11010115130376

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2018
Setelah menelaah hasil putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha mengenai kasus dugaan
praktek monopoli yang dilakukan oleh enam tergugat diatas, saya akan mencoba
menganalisis kasus tersebut.

Perjanjian penetapan harga merupakan salah satu bentuk “Perjanjian yang Dilarang” (Bab III)
dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat. Jenis perjanjian ini sering terjadi dalam praktek kegiatan
usaha, yang ditentukan oleh pelaku usaha di bidang tertentu, dengan maksud mencari
keuntungan secara mudah, sehingga mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat. Sebagai
contoh perjanjian penetapan harga (tarif) terjadi beberapa waktu lalu adalah tarif taksi.
Usulan kenaikan harga tersebut berasal dari pihak pengurus asosiasi, yakni Dewan Pimpinan
Daerah (DPD) Organisasi Pengusaha Nasional Angkutan Bermotor di Jalan (Organda) DKI
Jakarta, yang mengusulkan kenaikan tarif flag fall dari Rp. 3.000,- menjadi Rp. 5.700,-, tarif
per-Km dari Rp. 1.300,- menjadi Rp. 2.200,-, sedangkan tarif tunggu dari Rp. 13.000,-/jam
menjadi Rp. 22.000,-/jam. Gubernur Pemerintah DKI Jakarta akhirnya menetapkan kenaikan
tarif taksi sebesar minimal 33%, dengan rincian tarif flag fall dari Rp. 3.000,- menjadi Rp.
4.000,- (33%), tarif per-Km dari Rp.1.300,- menjadi Rp. 1.800,- (38%), dan tarif per-jam
tunggu dari Rp. 13.000,- menjadi Rp. 18.000,- (38%)

Dalam kasus ini , ditemukan indikasi kuat adanya pelanggaran Pasal 5 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
yang dilakukan oleh pengusaha bus kota Patas AC di DKI Jakarta. Pelanggaran yang
dilakukan oleh para pelaku usaha bus kota Patas AC DKI Jakarta dalam bentuk adanya
kesepakatan untuk menetapkan tarif bus kota Patas AC sebesar Rp 3.300,00 per penumpang.
KPPU melakukan pemeriksaan pendahuluan terhadap 6 (enam) pengusaha bus kota Patas AC
yaitu: PT Steady Safe (Terlapor I), PT Mayasari Bhakti (Terlapor II), Perum PPD (Terlapor
III), PT Bianglala Metropolitan (Terlapor IV), PT Pahala Kencana (Terlapor V) dan PT AJA
Putra (Terlapor VI). Selama pemeriksaan tersebut, hampir semua terlapor mengakui adanya
kesepakatan untuk menaikkan tarif menjadi Rp. 3.300,00 per penumpang. Permasalahan yang
timbul adalah apakah kesepakatan penyesuaian tarif bus kota Patas AC telah melanggar Pasal
5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dan apakah putusan KPPU terhadap kasus dugaan
penetapan harga yang dilakukan oleh pengusaha angkutan Patas AC di DKI Jakarta telah
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Alasan yang digunakan oleh para pengusaha angkutan tersebut antara lain adalah
meningkatnya harga bahan bakar dan spare parts, sehingga mereka menganggap bahwa tarif
yang berlaku saat ini terlalu rendah atau di bawah biaya pokok angkutan. Oleh karena itu,
mereka sepakat untuk menaikkan tarif secara seragam, meskipun terdapat beberapa
pengusaha angkutan yang hanya memiliki sedikit armada bus, mengaku tidak memiliki
kekuatan untuk menentukan besarnya tarif angkutan tersebut, sehingga hanya mengikuti saja
kesepakatan di antara pihak penentu. Kesepakatan mengenai penyeragaman tarif ini diakui
beberapa penyelenggara angkutan sebagai bertentangan dengan jiwa persaingan, karena
seharusnya yang berhak menentukan besarnya tarif angkutan adalah para penyelenggara,
disesuaikan dengan biaya produksi masing-masing operator bus kota.

 Digunakannya Pasal 5 sebagai dasar Putusan KPPU, disebabkan karena kasus-kasus yang
seringkali muncul di lapangan adalah penetapan harga yang difasilitasi oleh asosiasi.
Asosiasi yang merupakan gabungan dari pelaku usaha ini merupakan unsur yang penting,
mengingat perjanjian ini lebih cenderung pada unsur perilaku (behaviour) dari pada struktur
pasar itu sendiri.

Adapun unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 5 adalah sebagai berikut:

1. Pelaku usaha;
2. Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya;
3. Menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen
atau pelanggan;

Ditinjau dari jenisnya, maka putusan KPPU tersebut di atas merupakan merupakan perjanjian
penetapan harga secara horisontal, yakni perjanjian di antara para pelaku usaha di tingkat
perdagangan yang sama. Perjanjian semacam ini akan semakin menunjukkan hasil yang
maksimal, jika didukung dengan fasilitas dan sarana untuk melakukan tindakan bersama yang
bersifat kolusif. Sarana dan fasilitas tersebut biasanya terdapat dalam bentuk asosiasi dagang
yang bergerak di bidang usaha sejenis, seperti terlihat dalam perkara tersebut di atas, baik
yang terjadi di Amerika Serikat maupun di Indonesia. Seringkali asosiasi dianggap sebagai
fasilitator bagi berkumpulnya para pesaing guna bersekongkol untuk melakukan tindakan
yang bertentangan dengan hukum persaingan. Oleh karena itu, asosiasi pelaku usaha harus
mampu mengontrol tindakan anggotanya dengan menghindarkan adanya perjanjian yang
sifatnya eksplisit maupun diam-diam yang membatasi pelaku usaha untuk melakukan
keputusan bisnis yang independen.
Namur demikian, dari semua kasus tersebut tak satupun dari putusan KPPU tentang
pelanggaran Pasal 5 UU No.5 Tahun 1999 yang dikenakan sanksi denda. Semua putusan
Majelis menyatakan bahwa para pelaku usaha dikenakan sanksi administratif. Sebagai satu
pasal yang tegas-tegas menyatakan dirinya sebagai pasal per se, setiap pelanggaran atas pasal
ini seharusnya dikenakan denda yang sangat berat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 47
huruf g UU No.5 Tahun 1999 yaitu serendah-rendahnya Rp 1 miliar dan maksimal Rp 25
miliar. Putusan KPPU yang hanya memberikan sanksi administratif, dengan memerintahkan
pelaku usaha membatalkan kesepakatan penetapan harga tidak memberikan dampak apapun
yang membuat jera pelaku usaha untuk mengulanginya lagi mengingat perjanjian penetapan
harga termasuk dari hard core cartel.

Hasil dari putusan tersebut terdapat 2 poin yang diantara-nya:

1. Menyatakan Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, dan

Terlapor VI telah terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5 UU Nomor

5 Tahun 1999

2. Menetapkan pembatalan kesepakatan penyesuaian tarif bus kota Patas AC dari Rp.

2.500,- menjadi Rp. 3.300,- per penumpang yang dilakukan oleh Terlapor I, Terlapor

II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, dan Terlapor VI pada tanggal 15 Agustus

2001

Kesimpulan yang dapat ditarik setelah dilakukan analisis dari kasus diatas, yaitu pelaku usaha
yang melakukan kesepakatan penyesuaian tarif bus kota Patas AC dalam kaitannya dengan
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 telah terbukti melakukan praktek monopoli.
Hal ini karena semua unsur yang ditetapkan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 telah terpenuhi seperti pelaku usaha, perjanjian, pelaku usaha pesaing penetapan harga,
barang dan atau jasa, pasar bersangkutan yang sama. Untuk putusan yang dibuat oleh KPPU
mengenai dugaan penetapan harga yang dilakukan oleh pengusaha angkutan bus kota Patas
AC di DKI Jakarta telah sesuai dengan Undang-Undag Nomor 5 Tahun 1999.

Advertisements

Anda mungkin juga menyukai