Anda di halaman 1dari 4

HUKUM ANTITRUST

Kasus Yamaha-Honda langar UU larangan praktik monopoli

A. Kasus
Pada tahun 2016, Komisi Pengawas dan Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan
bahwa terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh PT. Yamaha Indonesia Motor Manufacturing
(YAMAHA) dan PT. Astra Honda Motor (HONDA) terkait praktik kartel dalam industri
sepeda motor jenis skuter matik 110-125 cc di Indonesia. Hal ini berawal saat KPPU mulai
curiga terhadap penguasaan pasar oleh kedua pabrik asal Jepang tersebut terhadap motor
skuter matik 110-125 cc di Indonesia yang menguasai 97% pasar dalam beberapa tahun
terakhir.
Pada akhirnya ditemukannya 3 bukti yang memberatkan kedua belah pihak yaitu :
1. Pertemuan kedua terlapor (T1 = YAMAHA; T2 = HONDA) di lapangan Golf
2. Adanya Surel atau Email pada tanggal 28 April 2014
3. Adanya Email pada tanggal 10 Januari 2015
Seperti dikutip dari situs KPPU, Majelis Komisi perkara ini terdiri dari Tresna Priyana
Soemardi, sebagai Ketua Majelis Komisi, Munrokhim Misanam dan R. Kurnia Sya’ranie,
masing-masing sebagai Anggota Majelis Komisi. Serta, dibantu oleh Jafar Ali Barsyan,
R.Arif Yulianto, dan Detica Pakasih, masing-masing sebagai Panitera.
Dan KPPU melalui putusan perkara No. 04/KPPU-I/2016 memutuskan bahwa kedua
perusahaan ini terbukti telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 5 ayat (1) UU No. 5
Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Dalam putusan perkara tersebut, Majelis menghukum denda dengan total Rp47,5 miliar.
Rinciannya, Yamaha selaku Pihak Terlapor I diberikan sanksi sebesar Rp25 miliar,
sedangkan Honda selaku Pihak Terlapor II dikenakan sanksi senilai Rp22,5 miliar. Majelis
Komisi menyatakan bahwa Terlapor I dan Terlapor II terbukti secara sah dan meyakinkan
melanggar Pasal 5 Ayat 1 UU Nomor 5/1999.
Berdasarkan fakta persidangan, kiriman email pada 10 Januari 2015 merupakan surat
yang dikirimkan Saksi Saudara Yutaka Terada yang pada saat itu menjabat sebagai Direktur
Marketing Terlapor I dengan menggunakan alamat email teradayu@yamaha-motor.co.id dan
dikirimkan kepada Dyonisius Beti selaku Vice President Direktur Terlapor I. Sehingga, fakta
email tersebut merupakan komunikasi resmi yang dilakukan antar pejabat tinggi Terlapor I
(top level management Terlapor I).
Dikatakan bawha email tertanggal 28 April 2014 dan 10 Januari 2015 menjadi bukti
adanya dugaan kesepakatan antar kedua terlapor melakukan kesepakatan harga. Sebab,
Berdasarkan UU Nomor 5/1999, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku
usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar
oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
Selain menghukum denda Yamaha dan Honda, KPPU juga akan memberikan
rekomendasi ke pemerintah berdasarkan hasil temuan selama persidangan. Yakni,
merekomendasikan kepada Kementerian Perindustrian Republik Indonesia agar lebih kuat
lagi mendorong peningkatan industri komponen lokal termasuk sektor industri kecil
menengah (IKM).
Dengan begitu, diharapkan komponen utama sepeda motor berupa engine, transmisi,
rangka, dan elektrikal dapat dihasilkan oleh industri domestik yang nantinya dapat
mempengaruhi penurunan harga motor di hilir. Selanjutnya, para Terlapor diharapkan dapat
segera menjalankan amar putusan berupa pembayaran denda ke kas negara.

B. Analisis Hukum / UU
Definisi kartel dapat diadopsi dari Black’s Law Dictionary, yakni “A combination of
producers or sellers that join together to control a product’s production or price. An
association of firms with common interest, seeking to prevent extreme on unfair competition,
allocate markets, or share knowledge"
Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat tidak menjelaskan definisi kartel secara rinci. Namun,
dalam Pasal 11 undang-undang tersebut, tepatnya Bagian Kartel menegaskan “Pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk
mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan atau
jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat”.
Kartel dapat dikatakan sebagai salah satu perjanjian bisnis terlarang, meskipun dalam
praktek perjanjian ini sulit dibuktikan karena cenderung tidak akan pernah dilakukan secara
terang-terangan. Praktek ini ditimbul ketika kondisi pasar oligopoli yakni jumlah penjual
sedikit dan jenis produk homogen. Jadi, eksistensi kartel berguna untuk mengatur harga
produk dan membatasi ketersediaan barang yang beredar di pasaran.
Pasal 5 ayat (1) UU No. 5 tahun 1999 menjelaskan bahwa Pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas mutu
suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar
bersangkutan yang sama.
Adapun kemudian jika dikaitkan dengan kasus HONDA dan YAMAHA tersebut, dengan
adanya email tertanggal 28 April 2014 dan 10 Januari 2015 menjadi bukti adanya dugaan
kesepakatan antar kedua terlapor melakukan kesepakatan harga. Sebab, Berdasarkan UU
Nomor 5/1999, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen
atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
Adapun akhirnya berdasarkan fakta dan bukti yang telah terkumpulkan, maka Majelis
menghukum kedua perusahaan dengan denda dengan total Rp47,5 Miliar yang mana secara
rinci maka pihak Yamaha dikenakan denda sebesar Rp25 Miliar, dan Honda dikenakan denda
sebesar Rp22,5 Miliar.
Hal ini kemudian secara jelas diatur dalam Pasal 47 UU No.5 tahun 1999 yang mana
menjelaskan bahwa Komisi dapat memberikan sanksi administratif terhadap pihak yang
melanggar ketentuan terhadap UU 5/1999 yang mana ketentuan terhadap besarnya sanksi
administratif yang dapat diberikan diatur dalam ayat (2) Pasal tersebut.

C. Analisis Ilmu Komunikasi


Bukti tidak langsung (indirect evidence) merupakan salah satu alat bukti dalam proses
investigasi kartel. Dalam konteks ini, bukti tidak langsung merupakan bukti yang tidak dapat
menjelaskan secara terang dan spesifik mengenai materi kesepakatan antara pelaku usaha,
yang mana terdiri dari bukti komunikasi dan bukti ekonomi. Dalam bukti tidak langsung,
peran bukti komunikasi dan bukti ekonomi tidak berdiri sendiri, keduanya saling memiliki
keterkaitan. Dengan adanya bukti ekonomi harus didukung oleh bukti komunikasi, jika bukti
ekonomi tidak didukung oleh bukti komunikasi maka pembuktian bukti tidak langsung
(indirect evidence) menjadi tidak valid.
Penerapan indirect evidence masih kurang pemahamannya di Indonesia karena belum
diaturnya di dalam peraturan perundang-undangan Hukum Indonesia. Namun, pembuktian
perkara kartel dalam hal ini dimungkinkan digunakan sebagai alat bukti petunjuk
sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 42 Undang-Undang Persaingan Usaha. Kemudian
berdasarkan contoh yang sudah diterapkan pada negara lain seperti Jepang, indirect evidence
mungkin digunakan karena sangat minimnya terdapat bukti langsung (hard evidence) dalam
suatu perkara kartel. Penerapan indirect evidence ini juga didukung melalui putusan
Mahkamah Agung Perkara Nomor 221 K/Pdt.Sus- KPPU/2016 tentang kartel ban mobil
dimana Mahkamah Agung memenangkan KPPU dalam kasasi ini dan mengakui bukti tidak
langsung yang diusung oleh KPPU.
Dalam hukum usaha bukti-bukti yang bersifat tidak langsung (indirect evidence), diterima
sebagai bukti sah sepanjang bukti-bukti tersebut adalah bukti yang cukup dan logis, serta
tidak ada bukti lain yang lebih kuat yang dapat melemahkan bukti-bukti yang bersifat tidak
langsung tersebut. Maka masih dibutuhkan aturan yang memberikan ruang dan penerimaan
pada kemungkinan digunakannya indirect evidence pada pembuktian pekara penetapan harga
maupun kartel dalam hukum persaingan usaha di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai