Anda di halaman 1dari 10

ANALISIS PUTUSAN KPPU PERKARA NOMOR 20/KPPU-I/2016

I. Pendahuluan
Persaingan sangat dibutuhkan dalam peningkatan kualitas hidup

manusia. Dunia yang kita kenal sekarang ini adlaah hasil dari persaingan

manusia dalam berbagai aspek. Persaingan yang dilakukan secara terus-

menerus untuk saling mengungguli membawa manusia berhasil menciptakan

hal-hal baru dalam kehidupan yang sedikit demi sedikit menuju arah yang

semakin maju dari sebelumnya. Untuk terciptanya keadilan dan kesejahteraan

bagi semua aspek masyarakat, persaingan yang harus dilakukan adalah

perseaingan yang sehat. Kegiatan ekonomi dan bisnis pun tidak luput dari

sebuah persaingan, mengingat kegiatan ini dilakukan banyak pihak untuk

menunjang kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu, hukum yang mengatur

persaingan usaha dalam kegiatan ekonomi dan bisnis sangat diperlukan semua

pihak supaya tidak ada pihak-pihak yang merasa dirugikan.

Seiring dengan Era Reformasi, telah terjadi perubahan yang mendasar

dalam bidang hukum ekonomi dan bisnis, yang ditandai antara lain dengan

lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang di banyak negara disebut

sebagai Undang-Undang Antimonopoli. Undang-undang seperti ini sudah

sejak lama dinantikan oleh pelaku usaha dalam rangka menciptakan iklim

usaha yang sehat dan bebas dari praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme. Dalam

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 telah diatur sejumlah larangan praktik


monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat lainnya, dengan harapan

dapat memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan yang sama

kepada setiap pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha dalam berusaha.

Dengan adanya larangan ini, pelaku xusaha atau sekelompok pelaku usaha

dapat bersaing secara wajar dan sehat, serta tidak merugikan masyarakat

banyak dalam berusaha, sehingga pada gilirannya penguasaan pasar yang

terjadi timbul secara kompetitif. Di samping itu dalam rangka menyongsong

era perdagangan bebas, kita juga dituntut untuk menyiapkan dan

mengharmonisasikan rambu-eambu hukum yang mengatur hubungan ekonomi

dan bisnis antar bangsa. Dengan demikian dunia internasional juga

mempunyai andil dalam mewujudkan lahirnya Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999.

Persaingan usaha yang sehat akan memberi akibat positif bagi pelaku

usaha, sebab dapat menimbulkan motivasi atau rangsangan untuk

meningkatkan efisiensi, produktivitas, inovasi, dan kualitas produkyang

dihasilkannya. Dengan demikian tentu saja konsumen memperoleh manfaat

dari persaingan yang sehat itu, yaitu adanya penurunan harga, banyak pilihan,

dan peningkatan kualitas produk. Walaupun persaingan akan berdampak

terhadap pelaku usaha yang kalah di pasar tetapi persaingan tetap dianggap

sebagai mekanisme yang tepat untuk mencapai kesejahteraan.1 Tanpa ada

1
Andi Fahmi Lubis II dkk, Hukum Persaingan Usaha Buku Teks Edisi Kedua,
(Jakarta: Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), 2017), hal. 25
persaingan, tidak akan dapat diketahui apakah kinerja yang dijalankan sudah

mencapai tingkat yang optimal.2

Dalam dunia usaha searang ini sesungguhnya banyak ditemukan

perjanjian-perjanjian dan kegiatan usaha yang mengandung unsur-unsur yang

kurang adil terhadap pihak yang ekonomi atau sosialnya lebih lemah dengan

dalih pemeliharaan persaingan yang sehat.3 Hal yang umum bahwa pelaku

usaha melakukan kesepakatan diantara kedua belah pihak atau lebih.

Perjanjian diantara mereka tidak semuanya berakibat negative bagi persaingan

dan mungkin saja menghasilkan keuntungan. Perjanjian dapat mengurangi

resiko usaha, menciptakan efisiensi dan mendorong inovasi, efisiensi biaya

ketika melakukan riset penelitian bersama sampai pada pengembangan

jaringan distribusi.

Perjanjian yang bersifat horizontal diantara para pelaku usaha yang

bersaing dapat mengakibatkan berkurangnya tingkat persaingan. Perjanjian

tersebut mengurangi inovasi, terjadinya dominasi pasar ataupun berupaya

mebatasi masuknya para pelaku usaha yang baru. Pelaku usaha dan pesaing

dapat juga berjanji untuk membatasi produk sehingga menyebabkan harga

naik, menetapkan harga yang sama dan merugikan kepentingan konsumen dan

perekonomian.

2
Ningrum Natasya Sirait II, Persaingan Usaha dan Hukum Yang Mengaturnya
di Indonesia, (Jakarta: Partnership for Business Competition, 2001), hal.7

3
Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Marger dalam Perspektif Monopoli,
(Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 23
Untuk mencegah terjadinya persaingan usaha tidak sehat, dalam

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ditentukan secara jelas dan terstruktur

mengenai perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang, dan psisi dominan.

Pelaku usaha yang mengadakan perjanjian dengan pelaku usaha lainnya guna

menetapkan suatu harga tertentu atas suatu barang dan/atau jasa yang akan

diperdagangkan pada pasar bersangkutan merupakan perbuatan anti

persaingan, karena perjanjian seperti itu akan menghilangkan persaingan

usaha diantara pelaku usaha yang mengadakan perjanjian tersebut. Pasal 5

Ayat (1) melarang pelaku usaha membuat perjanjian dengan pesaing-

pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dana tau jasa bagi

konsumen atau jasa bagi konsumen atau pelanggannya.

II. Pembahasan

A. Kasus Posisi Putusan

Pada bulan Desember 2016, Komisi Pengawas Persaingan Usaha


Republik Indonesia menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap Pasal 5
ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terkait Penetapan Tarif
Handling di Kawasan Penimbunan Pabean (TPP) KPP Bea Cukai Belawan
yang dilakukan oleh:
- Terlapor I: PT. Artha Samudra Kontindo berkedudukan di Jalan Pulau
Nias Selatan Nomor 5-6, KIM Tahap II, Kecamatan Percut Sei Tuan,
Kabupaten Deli Serang, Sumatera Utara. Beroperasi sejak bulan Juli 2013.

- Terlapor II: PT. Saran Gemilang berkedudukan di Gudang BGR Jalan Titi
Pahlawan Simpang Kantor Medan Marelan, Sumatera Utara, Indonesia
dan Komplek Vila Gading, Jalan Sungai Kampar I Nomor 2 Semper,
Cilincing, Jakarta Utara. Beroperasi sejak bulan Mei 2015.

Tindakan penetapan tarif handling ditempat penimbunan terkait


dengan barang yang tidak dikuasai (BTD) berupa Kontainer 20 FT, 40 FT, dan
Over Height/ Over Width/ Over Length di KPP Bea Cukai Belawan yang
dilakukan oleh PT. Artha Samudra Kontindo dan PT. Sarana Gemilang
menyebabkan tidak adanya persaingan harga atau tarif yang kompetitif di
antara pelaku usaha yang mengelola tempat penimbunan pabean di KPP Bea
Cukai Belawan.
Hal ini juga mengakibatkan konsumen dalam pengguna jasa Ekspedisi
Menggunakan Kapal Laut (EMKL) pemilik barang yang masuk dalam
pengelolaan tempat penimbunan pabean di KPP Bea Cukai Belawan harus
menerima tarif yang telah ditentukan. Maka kesimpulan dan rekomendasi
berdasarkan verifikasi, klarifikasi, penelitian, analisis, dan penilaian Tim
Investigator menyimpulkan terdapat dugaan Pelanggaran Ketetuan Pasal 5
Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang dilakukan oleh PT.
Artha Samudra Kontindo dan PT. Sarana Gemilang.

B. Analisis Hukum Putusan


Dalam pemenuhan unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 5
Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999, unsur pelaku terpenuhi dan sesuai
dengan yang dimaksud dalam Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 5
pelaku usaha adalah PT. Artha Samudra Kontindo/Terlapor I dan PT. Sarana
Gemilang/Terlapor II yang pada faktanya bahwa kedua pihak tersebut
merupakan pelaku usaha yang bersaing.
Dalam pemenuhan Unsur Perjanjian, bila mengacu pada Pasal 1 angka
7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang berbunyi “Perjanjian adalah
suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap
satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun
tidak tertulis”. Dalam hal ini Tim Investrigator menemukan perjanjian
penetapan harga, namun Majelis Komisi menilai esensi dari pasal tersebut
adalah apakah terdapat perbuatan mengikatkan diri satu pelaku usaha atau
lebih kepada pelaku usaha lain. Maka harus dilakukan pembuktian bahwa
apakah para pihak terlapor terbukti mengikatkan diri atau tidak.
KPPU mengeluarkan kebijakan Peraturan KPPU Nomor 4 Tahun 2011
tentang Pedoman Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 (Penetapan
Harga) yang menjelaskan mengenai bukti langsung (hard evidence) dan bukti
tidak langsung (indirectevidence/circumstantial evidence). Apabila melihat
dari defenisi bukti petunjuk sebagaimana diatur dalam peraturan KPPU, bukti
petunjuk merupakan pengetahuan majelis Komisi yang diketahui dan diyakini
kebenarannya. Indirect Evidence merupakan suatu bukti petunjuk dalam
menangani perkara persaingan usaha. Bukti tidak langsung merupakan suatu
bukti yang tidak secara langsung menyatakan adanya kesepakatan penetapan
harga melalui bukti komunikasi yang secara tidak langsung menyatakan
kesepakatan dan bukti ekonomi.
Bukti komunikasi yang terdapat dalam persidangan bahwa
kesepakatan yang dilakukan oleh PT. Artha Samudra Kontindo dengan DPW
ALFI/ILFA Sumatera Utara dan PT. Sarana Gemilang dengan DPW
ALFI/ILFA Sumatera Utara dilakukan secara terpisah dan pada waktu yang
berbedaserta tidak terdapat bukti telah terjadi atau dilakukannya pertemuan
dan/atau pembahasan komunikasi terkait tarif handling yang dilakukan oleh
para terlapor baik secara efektif dan/atau tidak langsung. Hal ini membuktikan
bahwa tidak ada komunikasi yang dilakukan oleh para pihak terlapor.
Penekanan oleh pihak Tim Invertigator bukan pada kesepakatan
bersama tentang tarif handling TPP antara PT. Artha Samudra Kontindo
dengan DWP ALFA/ILFA Sumatera Utara dan PT. Sarana Gemilang
denganDWP ALFA/ILFA Sumatera Utara tetapi komponen tarif dan besaran
yang sama antara kedua pihak terlapor tersebut. Pada pelaksanaannya PT.
Artha Samudra Kontindo/Terlapor I menetapkan tarif handling TPP
sepenuhnya sesuai dengan tarif dalam kesepakatan. Sedangkan PT. Sarana
Gemilang/Terlapor II menetapkan tarif handling TPP untuk komponon
trucking dan storage/penyimpanan saja. Meskipun begitu PT. Sarana
Gemilang/Terlapor II tetap menggunakan kompononen yang sama dengan PT.
Artha Samudra Kontindo/Terlapor I.
Pada dasarnya, Direktori Jenderal Bea Cukai tidak ada menetapkan
aturan terkait tarif di TPP, maka penetapan tarif diserahkan kepada pengelola
TPP. Oleh karena itu, terdapat persamaan penetapan harga antara pihak
Terlapor I dan Terlapor I karena melakukan kerja sama dengan pengguna jasa
yang sama yaitu PT. ALFI/ILFA Sumatera Utara.Bukti ekonomi yang terdapat
dalam fakta persidangan bahwa pihak Terlapor II tidak sepenuhnya
menerapkan tarif yang telah ditetapkan. Dengan adanya perbedaan besaran
tarif pada komponen tarif handling yang diterapkan dan/atau digunakan oleh
PT. Sarana Gemilang/Terlapor II menunjukkan bahwa isi kesepakatan
dimaksud tidak secara efektif sepenuhnya dilaksanakan oleh seluruh pihak
yang membuat kesepakatan.
Bahwa dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
terdapat kata “mengikatkan diri”, artinya saling mengikatkan diri sehingga
jika ada perjanjian yang telah dilakukan kemudian diikuti oleh orang/pihak
lain, maka hal tersebut dapat dikatakan sebagai tindakan aktif saling
mengikatkan diri. Pada faktanya, besaran tarif pada komponen tarif handling
yang diterapkan dan/atau digunakan oleh PT. Sarana Gemilang/Terlapor II
menunjukkan bahwa isi kesepakatan dimaksud tidak secara efektif
sepenuhnya dilaksanakan, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa kedua pihak
terlapor saling mengikatkan diri.
Dalam pemenuhan unsur pasar bersangkutan berdasarkan Pasal 1

angka 10 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menekankan pada konteks


horizontal yang menjelaskan posisi pelaku usaha beserta pesaingnya. Menurut
pasal ini cakupan pengertian pasar bersangkutan meliputi 2 (dua) perspektif,
Dalam dunia persaingan usaha, sangat sulit untuk menemukan
perjanjian tertulis yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam pasar
bersangkutan. Maka untuk membuktikanya, Komisi harus lebih bekerja keras
dalam memutus sebuah perkara persaingan usaha. Peraturan Komisi Nomor 1
Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara, menyatakan bahwa
indirect evidence merupakan suatu bukti petunjuk dalam membuktikan
perkara persaingan usaha. Pada prakteknya, indirect evidence ini dijadikan
cara utama untuk membuktikan terjadinya perjanjian yang tidak tertulis. Hal
ini dapat dilihat dalam putusam KPPU yang sering sekali menggunakan
metode indirect evidence.
Pembuktian secara indirect evidence tentu menjadi perdebatan hakim
dalam hal pembuktian, dikarenakan metode ini digunakan untuk membuktikan
perjanjian yang tidak tertulis. Sementara hakim hanya berpatokan pada alat
bukti yang ditentukan oleh hukum acara perdata, dimana dalam perdata
dikatakan perjanjian yang mempunyai kekuatan yang mengikat adalah
perjanjian yang tertulis. Namun untuk membuktikan bahwa telah terjadinya
kolusi dalam persaingan usaha, penggunaan metode pembuktian ini sangatlah
tepat. Hal ini dikarena Komisi dapat membuktikan perjanjian yang tidak
tertulis melalui bukti komunikasi yangmungkin dilakukan diam-diam oleh
para pelaku usaha.
Di indonesia juga dikenal asas unus testis nullus testis (satu bukti
bukanlah bukti). Berdasarkan asas ini, diperlukan tambahan bukti lain yang
akan menjadi pendukung bagi bukti yang lain. Penulis sepakat dengan putusan
Majelis Komisi yang menyatakan bahwa, Pihak Terlapor I dan Terlapor II
tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kesepakatan terkait
penetapan Tarif Handling di TPP. Karena pembuktian dalam pemenuhan
unsur-unsur Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 merupakan syarat
yang bersifat kumulatif. Apabila satu saja unsur tidak terpenuhi maka tidak
dapat dikatakan bahwa suatu perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang
melanggar ketentuan dalam Pasal 5 tersebut.

III. Penutup

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan diatas makan terdapat
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Perjanjian yang dilarang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
adalah perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli
dan persaingan usaha tidak sehat sehingga dapat menghambat pelaku
usaha lain memasuki pasar bersangkutan termasuk perjanjian Penetapan
Harga. Perjanjian ini dilarang karena dapat mengakibatkan iklim usaha
menjadi tidak kondusif dan tidak ada lagi jaminan adanya kepastian
kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha
menengah, dan pelaku usaha kecil.Pelaku usaha dikatakan melakukan
sebuah perjanjian baik tertulis maupun tidak tertulis, harus dibuktikan
bahwa perbuatan satu pelaku usaha dengan pelaku usaha lain saling
mengikatkan diri. Maka penggunaan Indirect Evidence dan sebagai bukti
petunjuk untuk membuktikan hal ini merupakan cara yang sangat tepat,
karena metode ini digunakan menyatakan adanya kesepakatan penetapan
harga melalui analisis komunikasi yang secara tidak langsung menyatakan
kesepakatan dan analisis ekonomi yang akan menjelaskan adanya dampak
kerugian yang signifikan dari perbuatan para pelaku usaha.

2. Penetapan harga yang dilarang dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5


Tahun 1999 memiliki unsur-unsur yang bersifat kumulatif. Untuk
menyatakan suatu perbuatan merupakan sebuah penetapan harga yang
dilarang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 harus dibuktikan
apakah suatu perbuatan memenuhi unsur-unsur tersebut. PT. Artha
Samudra Kontindo dan PT. Sarana Gemilang dinyatakan tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan melanggar ketentuan dalam pasal 5 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 berdasarkan Putusan KPPU Nomor
20/KPPU-I/2016 terkait Penetapan Tarif Handling yang dilakukan oleh
PT. Artha Samudra Kontindo dan PT. Sarana Gemilang pada Kawasan
Tempat Penimbunan Pabean (TPP) KPP Bea Cukai Belawan. Karena
berdasarkan pembuktian yang dilakukan dalam pemenuhan unsur-unsur
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tidak terpenuhi.

B. Saran
1 Akan lebih baik KPPU melakukan penyempurnaan mengenai penggunaan
pembuktian Indirect evidence terhadap perjanjian penetapan harga. Karena
pada dasarnya, pembuktian perjanjian tidak diatur oleh Undang-Undang
Nomor 5 Tahun1999. Oleh karena itu KPPU mengeluarkan kebijakan
yaitu Peraturan KPPU Nomor 4 Tahun 2011tentang Pedoman Pasal 5
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, namun peraturan pedoman
tersebut hanya mengatur mengenai cara membuktikan perjanjian secara
tidak langsung saja.

2 Hendaknya KPPU memberikan saran dan merekomendasikan kepada


Direktori Jendral Bea dan Cukai untuk melakukan penghitungan tarif
handling pada Kawasan Tempat Penimbunan (TPP) Kantor Pengawasan
dan Pelayanan Bea Cukai Belawan (KPPBC Belawan)

Anda mungkin juga menyukai