Anda di halaman 1dari 10

IMPLIKASI PERAN KARTEL DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

TERHADAP KELANGKAAN MINYAK GORENG DI INDONESIA


PADA AWAL TAHUN 2022

Haykal Afdhol Bagaskara


haykalbagas903@gmail.com
Fakultas Hukum Universitas Jember

ABSTRAK

Kelangkaan minyak goreng masih sering terjadi di Indonesia yang faktor terjadinya
banyak yang disebabkan oleh praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Salah satu
praktek persaingan usaha tidak sehat adalah adanya peran kartel di dalam pasar. Praktek kartel
sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia yaitu UU No. 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Di pasal 11 UU No.5
Tahun 1999 menyebutkan bahwa bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan
pelaku usaha saingannya, yang bermaksud memengaruhi harga dengan mengatur produksi
dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Adanya indikasi peran kartel dalam
kelangkaan ketersediaan minyak goreng di Indonesia menjadi hal yang merugikan masyarakat
Indonesia, dan hal ini menjadi persoalan KPPU dalam menangani praktek persaingan usaha
tidak sehat ini. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif yang terfokus pada
penelitian hukum kepustakaan (library research) dengan pendekatan bahan-bahan hukum
primer dan sekunder. UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat masih belum terlaksana dan ditegakkan dengan baik mengingat
kelangkaan minyak goreng di Indonesia masih belum dapat dituntaskan dengan baik.

Kata Kunci: Kelangkaan Minyak Goreng, Kartel, KPPU

ABSTRACT

Scarcity of cooking oil is still common in Indonesia, many of which are caused by
monopolistic practices and unfair business competition. One practice of unfair business
competition is the role of cartels in the market. The practice of cartels is regulated in
Indonesian laws and regulations, namely Law no. 5 of 1999 concerning the Prohibition of

1
Monopolistic Practices and Unfair Business Competition. Article 11 of Law No. 5 of 1999
states that business actors are prohibited from entering into agreements, with rival business
actors, which intend to influence prices by regulating the production and or marketing of
goods and or services, which may result in monopolistic practices and or unfair business
competition. healthy. There is an indication of the role of cartels in the scarcity of cooking oil
availability in Indonesia, which is detrimental to the Indonesian people, and this is a problem
for KPPU in dealing with this unfair business competition practice. This study uses a
normative research method that focuses on library research with primary and secondary
legal materials approach. UU no. 5 of 1999 concerning the Prohibition of Monopolistic
Practices and Unfair Business Competition has not yet been implemented and enforced
properly considering the scarcity of cooking oil in Indonesia has not yet been resolved
properly.

Keywords: Cooking Oil Scarcity, Cartel, KPPU

PENDAHULUAN

Sistem ekonomi yang dianut oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi. Hal ini tertuang dalam Pasal 33 UUD NRI
1945 yang mana menyebutkan pondasi perekonomian Indonesia. Sistem ini memiliki tujuan
untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial seluruh rakyat Indonesia sebagai cita-
cita pembangunan ekonominya. Untuk menyusun dan mewujudkan hal tersebut, tentunya
seluruh sektor perekonomian harus pro terhadap rakyat tanpa terkecuali dalam hal ekonomi
perdagangan. Indonesia tidak membenarkan adanya pemusatan ekonomi pada salah satu
kelompok yang bersifat monopoli yang merugikan masyarakat dalam seluruh kegiatan
ekonominya. 1Banyak kebijakan ataupun kegiatan perekonomian yang mungkin tidak sejalan
dan bertentangan dengan cita-cita ekonomi kerakyatan. Salah satunya adalah proses
perdagangan yang tidak jujur, perjanjian-perjanjian yang merugikan rakyat atau konsumen,
dan praktik monopoli yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan tujuan tidak lain yaitu
memperoleh profit sebesar-besarnya dari apa yang mereka lakukan dalam proses usahanya.
Kondisi demikian diantaranya disebabkan oleh minimnya pemahaman pelaku usaha terhadap
UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak

1
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri hukum Bisnis Anti Monopoli, (Jakarta: Rajawali Pers), 1999, hlm. 4.
2
Sehat yang sudah jelas mengatur kegiatan perekonomian yang anti monopoli dan kegiatan
curang lainnya.2

Hukum Persaingan Usaha melindungi persaingan dan proses persaingan yang sehat
sesuai dengan koridor hukum, dengan mencegah dan memberikan sanksi terhadap tindakan-
tindakan yang anti persaingan. Persaingan ini juga bermakna positif bagi perkembangan
perekonomian suatu bangsa dan masyarakat itu sendiri. Salah satu contoh akibat adanya
persaingan yang sehat adalah turunnya harga suatu barang atau jasa sehingga menguntungkan
pihak konsumen. Selain itu proses persaingan juga mendorong efisiensi produksi dan alokasi,
serta mendorong para pelaku usaha atau produsen dalam mengembangkan kreativitas dan
inovasinya dalam proses produksi dan pemasaran. Tetapi juga berdampak negatif terhadap
produsen yang mana dengan adanya proses persaingan tersebut mau tidak mau produsen akan
berlomba-lomba menurunkan harga untuk meningkatkan pangsa pasarnya. Hal ini akan
berdampak buruk jika semua produsen menurunkan harganya sehingga para produsen atau
pelaku usaha mengalami penurunan income secara menyeluruh. Agar para pelaku usaha tetap
dapat mempertahankan keuantunga, maka salah satu cara yang bisa diambil adalah
mengadakan kesepakatan dengan cara membentuk suatu kartel.3

Adanya kartel tidak hanya berpengaruh positif terhadap produsen, tetapi di sisi lain
dampak negatif dirasakan oleh konsumen. Konsumen menjadi subjek yang dirugikan dalam
praktik monopoli, sehingga secara makro mengakibatkan inefisiensi alokasi sumber daya
yang dicerminkan dengan timbulnya deadweight loss atau bobot hilang yang umumnya
disebabkan oleh kebijakan pembatasan produksi yang biasa diakibatkan oleh para produsen
monopoli untuk menjaga agar harga tetap tinggi. Dari segi konsumen juga akan kehilangan
pilihan harga, kualitas, dan pelayanan yang kurang maksimal. Dalam dunia usaha akhir-akhir
ini sesungguhnya masih banyak ditemukan perjanjian-perjanjian dan kegiatan-kegiatan usaha
yang mengandung unsur-unsur yang kurang adil terhadap pihak yang ekonomi atau sosialnya
lebih lemah dengan dalih pemeliharaan persaingan usaha yang sehat. Perilaku persaingan
usaha tidak sehat tersebut dapat kita rasakan pada awal tahun 2022 ini yang mengalami
gejolak kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng yang tidak wajar dan berkepanjangan.

2
Fitria Hikmatiar Al Qindy, Kajian Hukum Terhadap Kasus Kartel Minyak Goreng di Indonesia (Studi Putusan
KPPU No. 24/KPPU-1/2009), Jurnal Hukum Bisnis Bonum Commune, Vol. 1, No. 1, Agustus, 2008, hlm. 40.
3
Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2010 tentang Kartel, hlm. 8.
3
Kondisi demikian mengakibatkan konsumen atau rakyat mengalami penderitaan atas kenaikan
salah satu bahan pokok tersebut.

Indikasi adanya peran kartel dalam kenaikan harga minyak goreng ini semakin
menguat karena pemerintah sulit mengakhiri krisis ini. Padahal Indonesia adalah negara yang
berpenghasilan minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil) terbesar di dunia. Hal ini sungguh
kontradiktif dengan apa yang terjadi saat ini dan membuktikan ketidakmampuan pemerintah
dalam menjaga kondusifitas pasar. Padahal, menurut data dari Gabungan Pengusaha Kelapa
Sawit Indonesia (GAPKI), produksi CPO Indoneisa terus meningkat dari tahun 2017 hingga
2019. Dari peningkatan data produksi tersebut seharusnya produk minyak goreng dalam pasar
tidak ada problematika yang serius, tetapi kenyataannya berbanding terbalik. Adanya indikasi
peran kartel dalam tata kelola sawit di Indonesia yang mengakibatkan kenaikan harga minyak
goreng pada awal tahun 2022 ini dapat dibuktikan dalam catatan KPPU yaitu terdapat
konsentrasi pasar sebesar 46,5% di pasar minyak goreng. Artinya hampir setengah pasar
dikendalikan oleh sedikit produsen minyak goreng. Inilah yang menyebabkan struktur
perkebunan sawit cenderung oligopolistik dan didominasi oleh kelompok pelaku usaha
tertentu. Dengan kondisi seperti ini, adanya indikasi terjadinya praktek kartel yang mampu
mengontrol harga minyak goreng di pasar semakin besar.

Berdasarkan uraian latar belakang yang sudah penulis paparkan sebelumnya, maka
rumusan masalah yang hendak dibahas dalam artikel ilmiah ini adalah tentang Implikasi
Peran Kartel Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Terhadap Kelangkaan Minyak Goreng Di
Indonesia Pada Awal Tahun 2022.

METODE PENELITIAN

Metode Penelitian yang digunakan dalam penyusunan artikel ilmiah ini adalah metode
penelitian hukum normatif yang terfokus pada penelitian hukum kepustakaan. Sesuai dengan
tipe penelitian hukum normatif, maka tahap penelitian yang sesuai dengan penelitian ini adaah
penelitian kepustakaan (library research). Data hukum normatif dan pengolahan data pada
hakikatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan
tertulis yang mengacu kepada sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer tidak lain
adalah peraturan perundang-undangan dan peratura KPPU, sedangkan sumber sekunder yang
berupa buku, jurnal, maupun karya ilmiah lainnya yang berkaitan dengan pokok permasalahan
yang dibahas dalam penelitian ini yang kredibel.

4
PEMBAHASAN

Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat menyebutkan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan
pelaku usaha saingannya, yang bermaksud memengaruhi harga dengan mengatur produksi
dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Poin yang menjadi perhatian dalam Pasal 11
UU No. 5 Tahun 1999 tersebut adalah larangan dalam membuat perjanjian diantara para
pesaing yang berisi pengaturan terhadap produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau
jasa yang ditujukan untuk memengaruhi harga yang dapat mengakibatkan praktek monopoli
dan persaingan usaha tidak sehat.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat sudah menjadi regulasi atau wadah yang mengatur mengenai proses berjalannya
persaingan usaha yang tidak sehat, khususnya kartel. Dalam Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999
ini menjelaskan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya, yang dimaksud untuk memengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau
pemasaran suatu barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat. Meskipun tidak ada definisi secara lugas dan tegas
tentang kartel di UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat, dari Pasal 11 dapat dikonstruksikan bahwa kartel adalah perjanjian
horizontal untuk memengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu
barang dan atau jasa yang mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha
tidak sehat.4

Kartel terjadi apabila suatu kelompok perusahaan atau pelaku usaha dalam suatu
industri tertentu yang pada idealnya adalah bersaing dengan sehat satu sama lain, tetapi
mereka justru setuju untuk melakukan kompromi dan koordinasi kegiatannya dengan
mengatur produksi, pembagian wilayah, kolusi tender dan kegiatan-kegiatan anti persaingan
usaha yang sehat lainnya. Kondisi demikian menciptakan kontrol pelaku usaha dalam
menaikkan harga dan memeroleh keuntungan di atas harga yang kompetitif. Kartel adalah
perjanjian antara pelaku usaha untuk menghilangkan proses persaingan dagang diantara
keduanya. Dengan kata lain, kartel bisa dikatakan sebagai persekongkolan antara produsen-

4
Arief Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta: Ghalia Indonesia), 2002, hlm. 85.
5
produsen yang bertujuan untuk mengawasi produksi, penjualan dan harga, serta untuk
melakukan monopoli terhadap komoditas atau industri tertentu.5 Kartel juga biasa disebut
dengan syndicate yang berarti sebuah kesepakatan tertulis antara beberapa produsen untuk
mengatur dan mengendalikan berbagai hal seperti harga, wilayah pemasaran dengan tujuan
menekan persaingan dan meraih keuntungan sebesar-besarnya.6

Dalam Pasal 1 angka 6 UU No. 5 Tahun 1999 menjelaskan bahwa persaingan usaha
tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan
atau pemasaran barang atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum
atau menghambat persaingan usaha. Jadi, dapat disimpulkan bahwa persaingan usaha tidak
sehat merupakan upaya-upaya pelaku usaha dalam menjalankan roda bisnisnya menggunakan
cara-cara yang tidak semestinya untuk dilakukan dan menciderai nilai-nilai kejujuran dan
mengesampingkan konsumen yang bertujuan untuk mendapatkan untung yang sebesar-
besarnya.Adanya indikasi peran kartel dalam kenaikan harga minyak goreng semakin
menguat. Berdasarkan catatan Ombudsman bahwa krisis minyak goreng di Indonesia
tercermin dalam tiga fenomena yaitu penimbunan stok minyak goreng, pengalihan barang dari
pasar moderen ke pasar tradisional, dan munculnya panic buying di tengah masyarakat.

Berdasarkan data Consentration Ratio (CR) yang dihimpun oleh KPPU pada tahun
2019, terlihat bahwa sekitar 40% pangsa pasar minyak goreng dikuasai oleh empat
perusahaan besar yang juga memiliki usaha perkebunan, pengolahan CPO, hingga beberapa
produk turunan CPO seperti biodiesel, margarin dan minyak goreng. Indikasi adanya
permainan kartel (hubungan antara beberapa pengusaha atau produsen dalam hal produksi
hingga pemasaran dengan tujuan menetapkan harga untuk membatasi pasokan dan kompetisi)
berdampak buruk bagi perekonomian di Indonesia secara makro, dan berdampak kepada
kerugian konsumen secara mikro.7 Kerugian bagi masyarakat akibat mahalnya dan
kelangkaan minyak goreng antara lain adalah konsumen membayar harga minyak goreng
yang lebih mahal daripada harga pada pasar yang kompetitif, peredaran dan stok minyak
goreng yang terbatas dari segi jumlah dan mutu yang berdampak kepada kesulitan pemenuhan
bahan pokok tersebut, dan adanya keterbatasan pilihan produk yang ada di pasaran. Hal ini

5
Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), 2010, hlm. 105.
6
Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dalam Teori dan Praktik Serta Penerapan
Hukumnya, (Jakarta: PT. Fajar Interpratama Mandiri), 2012, hlm. 178.
7
Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Kencana Persada Media Group),
2008, hlm. 9-10.
6
jelas-jelas merugikan pihak konsumen atau masyarakat yang kesehariannya membutuhkan
bahan baku minyak goreng.

Tidak heran jika pelaku usaha atau perusahaan ternama dalam bidang minyak goreng
melakukan praktek kartel ini tidak lain adalah untuk mendapatkan untung. Beberapa
perusahaan mungkin saja melakukan penguasaan pasar minyak goreng menjelang bulan
Ramadhan dan Idul Fitri dengan menerapkan struktur pasar oligopolistik dimana
dilakukannya koordinasi antar pelaku usaha untuk melakukan pengontrolan pasokan dan
pemasaran minyak goreng di Indonesia. Konidisi masyarakat yang sedang membutuhkan
ketersediaan minyak goreng, sementara ketersediaan yang tidak mendukung diindikasikan
bahwa perusahaan atau pelaku usaha minyak goreng sedang mengontrol pasar. Hal ini
terbukti dari penemuan KPPU di Deli Serdang bahwa adanya penimbunan minyak goreng
sebanyak 1,1 juta kilogram atau setara dengan 80.000 ton karton yang dilakukan oleh PT.
Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP). Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan secara
akuntabel dan transparan wajib memastikan bahwa pelaku usaha yang memang benar
melakukan praktek kartel harus benar-benar ditertibkan agar kegiatan usaha dan perputaran
ekonomi dapat berjalan dengan baik. Dalam kondisi demikian, peran pemerintah dalam hal ini
diwakili oleh Kementerian Perdagangan wajib melakukan kontrol terhadap peredaran minyak
goreng di pasaran. Pemerintah harus menindak tegas upaya-upaya yang dapat merugikan
konsumen dan masyarakat luas.

Peran KPPU dalam menuntaskan isu kartel ini juga harus ditingkatkan. KPPU harus
menyampaikan progres dari upaya membawa kasus kelangkaan minyak goreng pada ranah
hukum agar publik mengetahui hal apa yang sebenarnya terjadi. KPPU menyebut bahwa
kelangkaan minyak goreng terjadi sejak keluarnya Peraturan Menteri Perdagangan terkait
kebijakan satu harga dengan mekanisme subsidi. Harga subsidi yang sebagian besar
didistribusikan melalui ritel moderen, namun barang yang tersedia tidak ada atau sering
kosong, sedangkan harga non subsidi yang merupakan stok lama yang masih dijual di toko
atau ritel tradisional. Pasca kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic
Price Obligation (DPO) pada tanggal 26 Januari 2022 dan berlaku mulai tanggal 1 Februari
2022, kondisi kelangkaan minyak goreng juga masih belum teratasi. Dalam kondisi langka ini
terdapat indikasi adanya penimbunan dan praktek kartel ketika produsen sama-sama
mengurangi pasokan hingga terjadinya kelangkaan. Terkait dengan penimbunan barang pokok

7
penting yang merupakan konsumsi masyarakat banyak hal ini menjadi kasus pidana yang
kewenangan penyelidikannya di ranah kepolisian.

Menurut UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat terdapat berbagai macam sanksi yang dapat dikenakan terhadap
pelanggaran Hukum Persaingan Usaha yaitu dapat berupa tindakan administratif, pidana
pokok dan pidana tambahan. Berdasarkan ketentuan dalam undang-undang ini maka
pelanggaran dalam Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat dapat berupa:

1. Tindakan administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 47 UU No. 5 Tahun 1999


tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat:

a. Penetapan pembatalan perjanjian;

b. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti


menimbulkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang merugikan
masyarakat;

c. Penetapan pembayaran ganti rugi;

d. Pengenaan denda serendah-rendahnya 1 Miliyar Rupiah dan setinggi-tingginya 25


Miliyar Rupiah.

2. Tindakan Pidana Pokok sebagaimana diatir dalam Pasal 48 UU No. 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat:

a. Pidana denda serendah-rendahnya 25 Miliyar Rupiah dan setinggi-tingginya 100


Miliyar Rupiah;

b. Pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 bulan.

3. Pidana Tambahan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 49 UU No. 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat:

a. Pencabutan izin usaha; atau

b. Larangan kepada pelaku usaha yag telah tebukti melakukan pelanggaran terhadap
UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat untuk menduduki jabatan Direksi atau Komisaris sekurang-kurangnya
2 tahun dan selama-lamanya 5 tahun;

8
c. Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya
kerugian kepada pihak lain.

Apabila indikasi praktik kartel dalam kenaikan harga minyak goreng di Indonesia
memang benar-benar terjadi, maka selayaknya sanksi yang dijatuhkan juga harus bersifat
tegas tanpa kompromi karena akibat dari peran kartel tersebut merugikan rakyat Indonesia.
Rakyat Indonesia yang menjadikan minyak goreng sebagai kebutuhan pokok dapur
mengalami kerugian atas kenaikan harga dan kekurangan ketersediaan produk
tersebut.Kondisi perekonomian Indonesia juga turut berpengaruh apabila problematika
kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng ini tidak segera diatasi dengan tuntas.

PENUTUPAN

Kartel dalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat merupakan salah satu perjanjian yang dilarang. Dalam Pasal 11
UU ini menjelaskan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya, yang dimaksud untuk memengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau
pemasaran suatu barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat. Indikasi adanya peran kartel dalam kelangkaan dan
mahalnya harga minyak goreng di Indonesia sudah banyak bukti yang ditemukan oleh KPPU
maupun Kepolisian. Proses penanganan kelangkaan minyak goreng ini harus dikoordinasikan
dengan baik oleh berbagai elemen yaitu Pemerintah, KPPU, Kepolisian dan Pelaku Usaha itu
sendiri. Apabila praktek kartel memang terbukti maka sanksi yang diterapkan adalah sanksi
administratif, pidana tambahan, dan pidana pokok, karena telah merugikan masyarakat
Indonesia akibat kelangkaan salah satu bahan pokok rumah tangga yaitu minyak goreng.

Pemerintah, KPPU, Kepolisian, pelaku usaha, dan masyarakat luas wajib bekerja sama
dalam menuntaskan permasalahan kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng yang
sering kali terjadi di Indonesia. Aparat penegak hukum harus tegas dalam memberikan sanksi
kepada pelaku usaha yang memainkan praktek kotor dalam persiangan usahanya yang telah
merugikan masyarakat Indoensia secara luas. Produksi dan kualitas CPO sebagai bahan baku
minyak goreng juga perlu ditingkatkan dan wajib dilakukan pengawasan yang ketat agar
peredaran produk minyak goreng di masyarakat lancar. Peran para pelaku usaha, khususnya
pengusaha sawit juga harus diperhatikan karena kelapa sawitlah yang menjadi bahan baku

9
utama minyak goreng. Masyarakat juga jangan melakukan panic buying agar ketersediaan
stok yang ada bisa terjaga di pasar.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja. 1999. Seri hukum Bisnis Anti Monopoli. (Jakarta:
Rajawali Pers). hlm. 4.

Arief Siswanto. 2002. Hukum Persaingan Usaha. (Jakarta: Ghalia Indonesia). hlm. 85.

Hermansyah. 2008. Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. (Jakarta: Kencana


Persada Media Group). hlm. 9-10.

Mustafa Kamal Rokan. 2010. Hukum Persaingan Usaha. (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada). hlm. 105.

Penerapan Hukumnya. 2012. (Jakarta: PT. Fajar Interpratama Mandiri). hlm. 178.

Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2010 tentang Kartel. hlm. 8.

Susanti Adi Nugroho. 2012. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dalam Teori dan Praktik
Serta Penerapan Hukumnya. (Jakarta: PT. Fajar Interpratama Mandiri). hlm. 178.

Jurnal

Fitria Hikmatiar Al Qindy. 2008. Kajian Hukum Terhadap Kasus Kartel Minyak Goreng di
Indonesia (Studi Putusan KPPU No. 24/KPPU-1/2009). Jurnal Hukum Bisnis Bonum
Commune. Vol. 1. No. 1. Agustus. hlm. 40.

10

Anda mungkin juga menyukai