Anda di halaman 1dari 26

DUGAAN PRAKTIK KARTEL OLEH 7 MASKAPAI PENERBANGAN DI

INDONESIA SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN UNDANG-UNDANG


NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI
DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

Disusun untuk memenuhi nilai Ujian Akhir Semester mata kuliah Hukum Bisnis
Dosen Pengajar : DR. B. Hartono, SH., SE., SE.Ak., MH., CA.

Disusun oleh :
Fathiyah Nur Adilah

MNJ211/AKT 41
PROGRAM STUDI AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS BAKRIE
2021
KATA PENGANTAR

Puji Syukur senantiasa saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat,
Rahmat, Taufik, dan Hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah
mata kuliah Hukum Bisnis tepat pada waktunya dengan judul “Dugaan Praktik
Kartel Tiket Pesawat Oleh 7 Maskapai Penerbangan di Indonesia Sebagai
Bentuk Pelanggaran UU Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ”.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada dosen pengampu yaitu Dr.
B.Hartono, SH, SE, SE, Ak, MH, CA yang telah berkenan membantu dan
membimbing dalam penyusunan makalah ini. Penyusunan makalah ini bertujuan
untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Bisnis. Dengan adanya makalah ini
diharapkan mengedukasi pembaca mengenai praktek monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat di Indonesia

Akhir kata, saya menyadari bahwa penulisan dan penyusunan makalah ini jauh
dari sempurna. Harapan saya, semoga para pembaca bersedia memberikan kritik
dan saran demi perbaikan makalah ini kedepannya.

Jakarta, 6 Juni 2021

Fathiyah Nur Adilah


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Salah satu faktor penting dalam menjalankan roda perekonomian suatu
negara yaitu persaingan usaha. Diketahui, persaingan usaha dapat mempengaruhi
kebijakan yang berkaitan dengan perdagangan, industri, iklim usaha yang
kondusif, kepastian dan kesempatan berusaha, efisiensi, kepentingan umum,
kesejahteraan rakyat dan lain sebagainya.1
Monopoli merupakan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang
dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok
pelaku usaha.2 Praktik kegiatan monopoli yaitu memberlakukan harga lebih tinggi,
jumlah produksi lebih rendah, dan keuntungan lebih besar dari pada di dalam pasar
persaingan sempurna. Dapat disimpulkan bahwa praktek monopoli memberikan
dampak buruk terhadap kesejahteraan masyarakat dan distribusi pendapatan di
masyarakat menjadi tidak merata, karena keuntungan dari kegiatan monopoli
sendiri biasanya hanya akan dinikmati oleh pengusaha yang melakukan monopoli
atau yang berpendapatan tinggi atau menengah, dan untuk para pekerja yang
merupakan golongan yang relatif miskin tidak akan memperoleh apa pun dari
keuntungan praktek monopoli tersebut.
Menurut ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, adapun tujuan dari
pembentukan Undang-Undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah menjaga kepentingan umum dan
meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat.3
Kartel adalah suatu kegiatan dalam bentuk kerjasama antar beberapa
perusahaan demi menetapkan suatu harga menguasai produksi dan penjualan,

1
Hermansyah, Pokok-Pokok Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Kecana, 2008)
2
Salinan Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat oleh Presiden Republik Indonesia
3
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis,Menata Bisnis Modern di Era Global, Jakarta: PT Citra Aditia Bakti
Pers 2002. hlm.234
melakukan kegiatan monopoli atas suatu komoditas ataupun industri tertentu.4
Kartel sendiri merupakan bentuk kegiatan atas monopoli harga, dan dapat
menyebabkan kondisi perekonomian negara yang bersangkutan tidak kondusif dan
kurang kompetitif dibandingkan dengan negara-negara lain yang menerapkan
sistem persaingan usaha sehat. Salah satu kerugian yang ditimbulkan akibat kartel
adalah konsumen dipaksa membayar harga suatu barang atau jasa lebih mahal
daripada harga pada pasar yang kompetitif dengan kualitas yang sama, serta
barang/jasa yang diproduksi terbatas.
Kegiatan kartel seringkali terjadi di Indonesia dan dampaknya seringkali
merugikan konsumen. Salah satu kasus yang sedang mendapat sorotan publik
adalah kartel pada perusahaan penerbangan. Sebanyak 7 (tujuh) maskapai
penerbangan terbukti melakukan kartel harga tiket penerbangan. Hal ini
berdasarkan keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam
Perkara Nomor 15/KPPU-I/2019 tentang Dugaan Pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 11
UU Nomor 5 Tahun 1999 terkait Jasa Angkutan Udara Niaga Berjadwal
Penumpang Kelas Ekonomi Dalam Negeri. Pada sidang putusan tanggal 23 Juni
2020, KPPU memutuskan bahwa seluruh terlapor secara sah dan meyakinkan
melakukan pelanggaran atas Pasal 5 dalam jasa angkutan udara. Terlapor yaitu PT
Garuda Indonesia (Terlapor I); PT Citilink Indonesia (Terlapor II); PT Sriwijaya
Air (Terlapor III); PT NAM Air (Terlapor IV); PT Batik Air (Terlapor V); PT Lion
Mentari (Terlapor VI); dan PT Wings Abadi (Terlapor VII).
Akibat adanya dugaan kegiatan kartel tersebut Badan Pusat Statistik (BPS)
mencatat terjadinya inflasi sebesar 0,11 persen pada Maret 2019.5 Menurut Kepala
BPS Suhariyanto, harga tiket pesawat menjadi salah satu kontribusi inflasi.6 Meski
bukan yang utama, faktor tersebut terbilang dominan dengan andil sebesar 0,03
persen. Pada Januari, andil tarif angkutan udara menurun menjadi 0,02 persen.

4
Ibnu Ismail, Kartel adalah: diakses melalui https://accurate.id/bisnis-ukm/kartel-adalah/ pada tanggal 13
Juni 2021
5
Sumber Badan Pusat Statistik (BPS), finance.detik.com, Mahalnya Tiket Pesawat Sumbang Inflasi Maret
2019,
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d4493434/mahalnya-tiket-pesawat-sumbang-inflasi-maret-201
9 , diakses pada tanggal 13 Juni 2021.
6
Tirto.id Harga Tiket Pesawat Biang Inflasi: karena Inefisiensi atau Kartel?,
https://tirto.id/harga-tiket-pesawat-biang-inflasi-karena-inefisiensi-atau-kartel-dkTp , diakses pada tanggal 13
Juni 2021.
Pada Februari dan Maret, sumbangannya meningkat menjadi masing-masing 0,03
persen.7 Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat adanya Dugaan Praktik Kartel
Tiket Pesawat Oleh 7 Maskapai Penerbangan di Indonesia Sebagai Bentuk
Pelanggaran UU Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas maka dapat
dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah penetapan harga tiket yang dilakukan oleh 7 maskapai


penerbangan tersebut dapat dikategorikan sebagai kegiatan dari praktik
kartel menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat?
2. Bagaimana akibat hukum atas diberlakukannya kegiatan kartel dalam
menetapkan kenaikan harga tiket pesawat dihubungkan sebagai bentuk
pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yaitu tentang Larangan
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat?
3. Upaya apa yang dapat dilakukan agar penetapan harga penjualan tiket
pesawat berbasis efisiensi?

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan maka penulisan makalah ini
mempunyai tujuan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan mengkaji penetapan harga tiket yang diterapkan


maskapai penerbangan dihubungkan dengan ketentuan kartel sebagaimana
diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

7
Republika.co.id, Ekonom Indef: Kartel Tiket Pesawat Sumbang Inflasi Nasional,
https://republika.co.id/berita/ekonomi/korporasi/ppa428382/ekonom-indef-kartel-tiketpesawat-sumbang-inflasi
-nasional,diakses pada tanggal 13 Juni 2021.
2. Untuk mengkaji dan menganalisis akibat hukum atas diberlakukannya
praktek kartel dalam menetapkan kenaikan harga tiket pesawat
dihubungkan sebagai pelanggaran Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
3. Untuk mencari dan menemukan solusi serta penyelesaian tentang
penetapan harga tiket pesawat berbasis pada efisiensi.

1.4 Manfaat Penulisan


Selain ada tujuan yang hendak dicapai diharapkan juga dapat memberikan
manfaat atau kegunaan penelitian, antara lain sebagai berikut:
a. Bagi penulis, sebagai sarana pembelajaran yang bersifat aplikatif atas
pemahaman secara teoritis yang diterima selama mengikuti perkuliahan.
b. Bagi pembaca, menyajikan informasi terkait kegiatan kartel untuk
memberikan solusi yang timbul dari penelitian ini, sehingga dapat
memberikan manfaat bagi setiap orang yang ingin memperdalam ilmu
pengetahuan khususnya di bidang praktek monopoli, kartel, dan persaingan
usaha.
BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Pengertian Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat


Istilah monopoli berasal dari bahasa Inggris, yaitu monopoly dan istilah
tersebut menurut sejarahnya berasal dari bahasa Yunani, yakni “monos polein”
yang berarti sendirian menjual.8 Kebiasaan masyarakat di Amerika menyebut
monopoli sebagai antitrust untuk antimonopoli atau istilah “dominasi” yang
banyak digunakan oleh orang Eropa untuk menyebut istilah monopoli. Istilah
monopoli harus dibedakan dengan istilah monopolis yang berarti orang yang
menjual produknya secara sendirian (monopolist).
Pengertian monopoli secara umum adalah jika ada satu pelaku usaha
(penjual) ternyata merupakan satu-satunya penjual bagi produk barang dan jasa
tertentu, dan pada pasar tersebut tidak terdapat produk substitusi terdekat
(pengganti). Berdasarkan kamus Ekonomi Collins yang dimaksud dengan
monopoli adalah: 9
“Salah satu jenis struktur pasar yang mempunyai sifat-sifat, bahwa satu
perusahaan dengan banyak pembeli, kurangnya produk substitusi atau
pengganti serta adanya pemblokiran pasar (barrier to entry) yang tidak
dapat dimasuki oleh pelaku usaha lainnya”.

Demikian pula Black’s Law Dictionary memberikan definisi tentang


monopoli dari segi yuridis sebagai berikut:10
“Monopoly is a privilege or peculiar advantage vested in one or more
persons or companies, consisting in the exclusive right (or power) to carry
out on a particular business or trade, manufacture a particular article, or
control the sale of the whole supply of a particular commodity.“

8
H. Kusnadi, Ekonomi Mikro, FE Unbraw, Malang, 1977, hal. 370. Ada pula yang menyebutnya sebagai
Trust, yakni sebagai suatu cara (method of combination) untuk menggabungkan beberapa perusahaan besar
yang mempunyai kekuatan monopolis. Akan tetapi kartel dan trust di sini lain pengertiannya dengan merger.
L. Budi Kagramanto, 1999, Aspek Yuridis Pelaksanaan Merger Pada Bank Umum, Tesis S-2/Magister Hukum
Pada Program Pasca Sarjana, Program Studi Ilmu Hukum – UNAIR, Surabaya, hal. 38 - 39.
9
Christopher Pass dan Bryan Lowes, dalam Elyta Ras Ginting: Hukum Antimonopoli Indonesia: Analisis dan
Perbandingan UU No. 5 Tahun 1999, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 19..
10
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, 6th. ed. West Publishing Co. St. Paul – Minn, USA, 1990,
hal. 52
Sedangkan berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 5 Tahun 1999 yang
dimaksud dengan monopoli adalah:
“Penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas
penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pela
ku usaha“

Istilah praktik monopoli berbeda dengan istilah monopoli. Jika diamati


sebetulnya kegiatan yang merupakan pokok dari berbagai larangan yang terdapat
dalam UU No. 5 Tahun 1999 adalah praktik monopoli. Pada dasarnya menurut UU
No. 5 Tahun 1999 disebutkan bahwa praktik monopoli merupakan pemusatan
kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan
dikuasainya produksi dan/atau pemasaran barang atau jasa tertentu sehingga dapat
menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan
umum. Berdasarkan uraian di atas dapat kita ambil unsur-unsur dari praktik
monopoli yaitu:
1. terjadinya pemusatan kekuatan ekonomi pada satu atau lebih pelaku usaha,
2. terdapat penguasaan atas produksi atau pemasaran barang atau jasa
tertentu,
3. terjadi persaingan usaha tidak sehat, dan
4. tindakan tersebut merugikan kepentingan umum.

Pemusatan kekuatan ekonomi adalah penguasaan yang nyata atas suatu


pasar barang atau jasa tertentu oleh satu atau lebih pelaku usaha yang dengan
penguasaan itu pelaku usaha tersebut dapat menentukan harga barang atau jasa
(hal ini dikenal pula dengan istilah price fixing). Sedangkan, persaingan usaha
tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan
produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara
tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.11
Monopoli sendiri tidak dilarang oleh pemerintah yang dituangkan dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat dan selama suatu pemusatan kekuatan ekonomi

11
Peraturan KPPU No. 11 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 17 (Praktik Monopoli) UU No. 5 Tahun 1999.
tidak menyebabkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan posisi dominan.
Untuk menentukan apakah pelaku usaha melakukan persaingan usaha tidak sehat
atau tidak, secara prosedural, dikenal 2 (dua) pendekatan/prinsip dalam hukum
persaingan usaha, yaitu:12
1. Prinsip Per Se
Prinsip yang melarang monopoli an sich, tanpa melihat apakah ada ekses
negatifnya. Beberapa bentuk kartel, monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat harus dianggap dengan sendirinya bertentangan dengan hukum. Titik
beratnya adalah unsur formal dari perbuatan tersebut;
2. Prinsip Rule of Reason
Prinsip ini melarang kartel dan monopoli jika dapat dibuktikan ada efek
negatifnya.13 Perlu adanya pembuktian telah merugikan yang dapat
dianalisis dari aspek hukum dan aspek ekonomi. Efek negatif yang
dimaksud yaitu berpengaruh pada berkurangnya kesejahteraan konsumen
atau masyarakat, dan persaingan itu sendiri, imbasnya bermuara pada
kesejahteraan dan perekonomian negara

Prinsip Per Se diartikan bahwa, ada kategori tindakan yang boleh dianggap
nyata bersifat anti persaingan, sehingga analisis terhadap fakta-fakta di sekitar
tindakan tersebut tidak lagi terlalu penting untuk menentukan bahwa melanggar
hukum. Dengan kata lain, tindakan-tindakan tertentu yang jelas melanggar hukum
persaingan usaha dengan serta merta dapat ditentukan sebagai tindakan yang
ilegal.
Prinsip Rule Of Reason dapat diartikan bahwa, pendekatannya tidak dapat
secara mudah dilihat legalitasnya tanpa menganalisis akibat-akibat dari tindakan
tersebut terhadap kondisi persaingan, pendekatannya dipergunakan untuk
mengakomodasi tindakan yang berada dalam wilayah abu atau “grey area” antara
legal atau ilegal. Pendekatan semacam ini pun masih dilihat seberapa jauh suatu

12
Munir Fuady, Hukum Antimonopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
1999, hlm. 24-25.
13
Ibid, hlm. 28.
pelaku usaha akan melakukan suatu monopoli dan penguasaan pada pasar. Dengan
menggunakan pendekatan Rule Of Reason tindakan tersebut tidak otomatis
dilarang, walaupun perbuatan yang dituduhkan tersebut dalam kenyataannya
terbukti telah dilakukan.14

2.2 Pengertian Praktik Kartel


Kartel adalah kerjasama sejumlah perusahaan yang bersaing untuk
mengkoordinasi kegiatannya sehingga dapat mengendalikan jumlah produksi dan
harga suatu barang dan atau jasa untuk memperoleh keuntungan diatas tingkat
keuntungan yang wajar. Kartel akan memaksa konsumen membayar lebih mahal
suatu produk, baik itu barang mewah maupun barang-barang yang biasa
diperlukan masyarakat seperti obat-obatan dan vitamin. Kartel akan merugikan
perekonomian, karena para pelaku usaha anggota kartel akan setuju untuk
melakukan kegiatan yang berdampak pada pengendalian harga, seperti pembatasan
jumlah produksi, yang akan menyebabkan inefisiensi alokasi. Kartel juga dapat
menyebabkan inefisiensi dalam produksi ketika mereka melindungi pabrik yang
tidak efisien, sehingga menaikkan biaya rata-rata produksi suatu barang atau jasa
dalam suatu industri.15
Salah satu syarat terjadinya kartel adalah harus ada perjanjian atau kolusi
antara pelaku usaha. Ada dua bentuk kolusi dalam kartel, yaitu:16
a. Kolusi eksplisit, dimana para anggota mengkomunikasikan kesepakatan
mereka secara langsung yang dapat dibuktikan dengan adanya dokumen
perjanjian, data mengenai audit bersama, kepengurusan kartel,
kebijakan-kebijakan tertulis, data penjualan dan data-data lainnya.
b. Kolusi diam-diam, dimana pelaku usaha anggota kartel tidak
berkomunikasi secara langsung, pertemuan-pertemuan juga diadakan
secara rahasia. Biasanya yang dipakai sebagai media adalah asosiasi
industri, sehingga pertemuan-pertemuan anggota kartel dikamuflasekan

14
M.Tri Anggraini, 2005, Jurnal Hukum Bisnis, Vol.24, No.1, hlm. 5.
15
Herbert Hovenkamp, Federal Antitrust Policy: The Law of Competition and It’s Practice, Second ed., 1995,
hal.
16
Draft Pedoman Kartel, diakses melalui https://www.kppu.go.id/docs/Pedoman/draft_pedoman_kartel.pdf,
pada tanggal 14 Juni 2021
dengan pertemuan-pertemuan yang legal seperti pertemuan asosiasi.
Bentuk kolusi yang kedua ini sangat sulit untuk dideteksi oleh penegak
hukum. Namun pengalaman dari berbagai negara membuktikan bahwa
setidaknya 30% kartel adalah melibatkan asosiasi.

2.3 Hukum yang Mengatur Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan


Usaha Tidak Sehat
Sebagaimana kita ketahui tentang larangan untuk melakukan praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat diatur dalam Hukum Persaingan Usaha
yaitu Undang-Undang No. 5 tahun 1999. Pada pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 alinea keempat, dalam menyelenggarakan kesejahteraan umum dan keadilan
sosial khususnya kepada pelaku usaha dan konsumen, peran serta campur tangan
negara sangat penting di bidang perekonomian yang lebih lanjut dijelaskan dalam
Pasal 33 15 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa,
“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional”.
Pasal tersebut merupakan representatif dari Pancasila sila ke-5 dan
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat yang pada dasarnya
menyatakan bahwa Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib untuk
mensejahterakan serta memberikan keadilan bagi rakyatnya demi terciptanya
pembangunan di bidang ekonomi yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945.
Tidak dapat dipungkiri bahwa selama beberapa dekade belakangan ini
Indonesia telah banyak kemajuan dalam pembangunan ekonomi, semua itu tidak
terlepas dari dorongan dan pengaruh berbagai kebijakan ekonomi dan hukum yang
dikeluarkan.17 Namun demikian, sistem ekonomi kapitalisme dan liberalisme
dengan adanya instrumen kebebasan pasar, kebebasan keluar masuk tanpa
restriksi, serta informasi dan bentuk pasarnya yang atomistik monopolistik telah

17
Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Op.Cit, hlm. 7.
melahirkan monopoli sebagai anak kandungnya.18 Adanya persaingan tersebut
mengakibatkan lahirnya perusahaan-perusahaan yang secara nyata ingin
mengalahkan pesaing-pesaingnya agar menjadi yang paling sukses dan hebat,
sehingga menciptakan iklim usaha yang tidak sehat. Teori hukum yang dipakai
untuk menganalisis objek penelitian yaitu, kartel penetapan kenaikan harga tiket
pesawat antara lain teori ekonomi dan teori monopoli.
Untuk mengantisipasi terhadap persaingan usaha yang tidak sehat yang
dilakukan oleh pelaku usaha, Pemerintah telah membuat suatu payung hukum
yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Peran hukum dapat
dimunculkan untuk menghindari pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan
atau kelompok tertentu, serta menghilangkan distorsi ekonomi dan untuk
memberikan jaminan kepastian hukum bagi setiap pelaku usaha. Tujuan
pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah terciptanya iklim usaha yang
sehat, efektif, dan efisien yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, serta
menumbuhkan ekonomi pasar yang wajar.

2.4 Maskapai Penerbangan di Indonesia


Republik Indonesia merupakan salah satu Negara Kepulauan terbesar di
Dunia yang terdiri dari 17.058 pulau. Salah satu alat transportasi utama untuk
menjangkau dari pulau satu ke pulau lainnya adalah menggunakan Transportasi
Udara. Transportasi udara yang paling umum digunakan adalah dengan
menggunakan.19
Pesawat Terbang. Perusahaan atau organisasi yang menyediakan jasa bagi
penumpang maupun barang disebut dengan Maskapai Penerbangan. Terdapat
berbagai jenis Maskapai Penerbangan yang beroperasi di Indonesia, diantaranya
adalah Maskapai Penerbangan Niaga Berjadwal, Niaga Kargo Berjadwal, Niaga
Kargo Tidak Berjadwal dan juga Maskapai Penerbangan Non Niaga. Maskapai

18
Ibid, hlm. 2.
19
Wikipedia Indonesia, diakses melalui https://id.wikipedia.org/wiki/Penerbangan_di_Indonesia pada tanggal
14 Juni 2021.
Penerbangan paling Populer di Indonesia antara lain Wings Air, Lion Air,
Sriwijaya Air, Garuda Indonesia, NAM Air, Citilink, Batik Air dan PT Trigana
Air.20

20
Wikipedia Indonesia, diakses melalui https://id.wikipedia.org/wiki/Maskapai_penerbangan pada tanggal 14
Juni 2021.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Dugaan Praktik Kartel Tiket Pesawat Oleh 7 Maskapai di


Indonesia ( PT Garuda Indonesia, PT Citilink Indonesia, PT Sriwijaya Air,
PT NAM Air, PT Batik Air, PT Lion Mentari dan PT Wings Abadi ) Ditinjau
dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan
bahwa: “Negara Indonesia adalah negara Hukum”.21 Artinya, segala tindakan yang
dilakukan oleh masyarakat Indonesia harus berdasarkan hukum positif yang
berlaku di negara Indonesia. Cita-cita hukum tertinggi bagi Bangsa Indonesia
adalah Pancasila. Oleh karena itu, Bangsa Indonesia dalam berperilaku dan
bertindak harus dapat menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Implementasi nilai-nilai Pancasila merupakan suatu upaya untuk meningkatkan
kualitas manusia dan masyarakat Indonesia. Dengan semakin bertambah pesatnya
perkembangan globalisasi ekonomi dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan
teknologi, nilai-nilai Pancasila tetap menjadi landasan hidup (way of life) bagi
seluruh komponen bangsa tak terkecuali pelaku usaha sebagai subjek hukum.
Dalam kaitannya dengan perilaku pelaku usaha dalam menjalankan
kegiatan usahanya, nilai-nilai Pancasila harus diimplementasikan dalam
menjalankan kegiatannya. Sila Pancasila yang bersinggungan dengan perilaku
pelaku usaha antara lain; sila ke-5 (lima), yaitu: “Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia”. Ini menunjukan bahwa, masyarakat Indonesia menyadari akan
hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh
masyarakat Indonesia, serta menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban
dengan menghormati hak-hak orang lain dan menjalankan kewajibannya.
Pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat, dalam
menyelenggarakan kesejahteraan umum dan keadilan sosial khususnya kepada
pelaku usaha dan konsumen, maka peran serta campur tangan negara sangat

21
Tim Redaksi Fokusmedia, UUD’45 dan Amandemennya, Fokusmedia, Bandung, 2004, hlm. 2.
penting di bidang perekonomian yang lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 33 ayat
(4) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa, “Perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.
Pasal tersebut merupakan representatif dari Pancasila sila ke-5 dan
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat yang pada dasarnya
menyatakan bahwa Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib untuk
mensejahterakan serta memberikan keadilan bagi rakyatnya demi terciptanya
pembangunan di bidang ekonomi yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945.
Tidak dapat dipungkiri bahwa selama beberapa dekade belakangan ini
Indonesia telah banyak kemajuan dalam pembangunan ekonomi, semua itu tidak
terlepas dari dorongan dan pengaruh berbagai kebijakan ekonomi dan hukum yang
dikeluarkan.22 Namun demikian, sistem ekonomi kapitalisme dan liberalisme
dengan adanya instrumen kebebasan pasar, kebebasan keluar masuk tanpa
restriksi, serta informasi dan bentuk pasarnya yang atomistik monopolistik telah
melahirkan monopoli sebagai anak kandungnya.23 Adanya persaingan tersebut
mengakibatkan lahirnya perusahaan-perusahaan yang secara nyata ingin
mengalahkan pesaing-pesaingnya agar menjadi yang paling sukses dan hebat,
sehingga menciptakan iklim usaha yang tidak sehat. Teori hukum yang dipakai
untuk menganalisis objek penelitian yaitu, kartel penetapan kenaikan harga tiket
pesawat antara lain teori ekonomi dan teori monopoli
Untuk mengantisipasi terhadap persaingan usaha yang tidak sehat yang
dilakukan oleh pelaku usaha, Pemerintah telah membuat suatu payung hukum
yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Peran hukum dapat
dimunculkan untuk menghindari pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan
atau kelompok tertentu, serta menghilangkan distorsi ekonomi dan untuk
memberikan jaminan kepastian hukum bagi setiap pelaku usaha. Tujuan
22
Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Op.Cit, hlm. 7
23
Ibid, hlm. 2.
pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah terciptanya iklim usaha yang
sehat, efektif, dan efisien yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, serta
menumbuhkan ekonomi pasar yang wajar.
Kegiatan kartel seringkali terjadi di Indonesia dan dampaknya seringkali
merugikan konsumen. Terkini, salah satu kasus yang sedang mendapat sorotan
publik adalah kartel pada perusahaan penerbangan. Sebanyak 7 maskapai
penerbangan terbukti melakukan kartel harga tiket penerbangan. Hal ini
berdasarkan keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam
Perkara Nomor 15/KPPU-I/2019 tentang Dugaan Pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 11
UU Nomor 5 Tahun 1999 terkait Jasa Angkutan Udara Niaga Berjadwal
penumpang kelas ekonomi dalam negeri.24
Kasus ini berawal dari masyarakat yang belakangan ini mengeluhkan harga
tiket pesawat, khususnya untuk rute domestik. Mahalnya harga tiket pesawat ini
dapat dilihat dari masyarakat Aceh yang ingin berpergian ke Jakarta namun lebih
memilih transit terlebih dahulu ke Kuala Lumpur, daripada terbang langsung ke
ibu kota. Faktanya, terbang ke Jakarta lewat Malaysia lebih murah jika
dibandingkan terbang langsung dari Aceh.
Ketua Umum Indonesia National Air Carrier Association (INACA)
Akshara Danadiputra mengatakan mahalnya harga tiket pesawat disebabkan
banyak hal. Salah satunya, pelemahan rupiah terhadap dolar AS. Menurut dia,
pelemahan rupiah yang berdampak pada kenaikan operasional pesawat tak
sebanding dengan harga tiket pesawat domestik. Selain pelemahan rupiah,
mahalnya tiket pesawat juga dipicu oleh Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang
harus ditanggung penerbangan domestik.
Meskipun terdesak oleh faktor tersebut, maskapai harus mengalah. INACA
beberapa akhirnya mengoreksi kenaikan harga yang sempat melonjak. INACA
segera menurunkan tarif tiket pesawat antara 20% sampai dengan 60%. Penurunan

24
Safir Makki. CNN Indonesia "KPPU Putuskan 7 Maskapai Bersalah Kasus Kartel Tiket Pesawat"
selengkapnya di sini:
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200623215457-92-516690/kppu-putuskan-7-maskapai-bersalah-ka
sus-kartel-tiket-pesawa, diakses pada tanggal 14 Juni 2021
dilakukan untuk merespons tuntutan yang disuarakan masyarakat lewat
serangkaian petisi di situs change.org. Meski berencana menurunkan harga tiket
pesawat, masalah ini belum berhenti begitu saja.
Masalah harga tiket pesawat kemudian memasuki babak baru. Masalah ini
diduga berkaitan dengan praktik kartel atau persekongkolan antar maskapai dalam
penetapan tarif pesawat. Ekonom Institute For Development of Economics and
Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan dugaan kartel
menguat tersebut bisa tercium dari beberapa indikasi.
Pertama, kebijakan kenaikan dan penurunan tarif pesawat yang dilakukan
secara bersama-sama oleh para maskapai. Kedua, penurunan harga yang dilakukan
segera. Saat masyarakat ramai-ramai mempermasalahkan harga tiket, maskapai
kompak menurunkan tarif harga tiket sekitar 20% - 60%. "Ini seolah-olah menjaga
daya beli bersama, tapi ada persekongkolan harga yang tidak sehat," ujarnya
kepada CNNIndonesia.com, Senin (14/1).
Ketiga, struktur industri yang tidak sehat. Indikasi ini tercium dari
kebijakan kenaikan harga tiket pesawat kemarin. Menurutnya, jika struktur industri
kuat, seharusnya ketika satu maskapai menaikkan tarif, kebijakan tersebut tidak
diikuti yang lain. Maskapai lain justru seharusnya memanfaatkan kenaikan tersebut
untuk sebisa mungkin memenangkan kompetisi dengan tetap menjaga tarif
penerbangan tetap rendah.25 Apalagi, struktur beban operasional tiap-tiap maskapai
sejatinya berbeda-beda.
Mereka memiliki beban biaya bahan bakar avtur, suku cadang, perawatan,
hingga sumber daya manusia yang berbeda. Berkaitan dengan beban biaya avtur,
Bhima mengakui persoalan mendasar yang dihadapi maskapai secara umum sama,
yaitu pelemahan nilai tukar rupiah dan kenaikan harga minyak dunia. Tapi, kondisi
tersebut sudah terjadi sejak lama. Seharusnya, jika maskapai berdalih menaikan
harga tiket karena masalah tersebut, langkah menaikkan sudah ditempuh sejak
lama, bukan setelah harga minyak dan rupiah tengah stabil. Bahkan ketika kondisi
tersebut berlangsung Pertamina tengah menurunkan harga bahan bakar nonsubsidi,
25
Yuli Yanna Fauzie, CNN Indonesia "Ada Aroma Kartel Dalam Kenaikan Harga Tiket Pesawat" diakses
melalui :
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190115125211-92-360952/ada-aroma-kartel-dalam-kenaikan-harga
-tiket-pesawat pada tanggal 14 Juni 2021
alasan ini juga kemudian memunculkan pertanyaan tentang kebenaran tingginya
harga avtur sehingga perlu diperiksa lebih lanjut.
Keempat, jumlah pemain di industri penerbangan yang hanya dikuasai oleh
dua grup besar, yaitu Garuda Indonesia Group dan Lion Air Group. Keberadaan
dua grup besar tersebut telah menenggelamkan pemain mandiri di dunia
penerbangan. Satu per satu, maskapai penerbangan yang berada di luar kelompok
tersebut gugur. Sriwijaya Air yang sebelumnya memiliki grup sendiri dengan
NAM Air, belakangan memilih merapat ke Garuda Indonesia Group demi
mengurangi masalah keuangan mereka.Bhima menduga tenggelamnya maskapai
tersebut tak terlepas dari persaingan bisnis tak sehat di industri ini. "Jadi perlu
diselidiki, jangan-jangan memang ada strategi price fixing, sehingga pemain di
industri ini kian dikit bertambahnya," imbuhnya.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad
Faisal menilai dugaan persaingan yang tak sehat juga terlihat dari waktu maskapai
memutuskan mengerek tarif. Kemarin, kenaikan tarif justru dilakukan pada musim
rendah permintaan (low season). Padahal, hukum pasar biasanya momen kenaikan
harga tiket dilakukan pada saat permintaan tinggi (peak season), misalnya
beberapa waktu sebelum liburan akhir tahun atau jelang libur lebaran.
"Artinya, memang ada indikasi kompetisi di industri yang tidak berjalan
sempurna dan tidak sehat karena tidak elastis terhadap perubahan biaya produksi
dan siklus permintaan pasar," jelasnya. Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU) Kurnia Toha pun mengamini dugaan ini. Kesepakatan naik turun tarif
pesawat oleh beberapa maskapai sekaligus, dianggapnya cukup memberikan
indikasi kartel.
Meskipun, kenaikan tarif pesawat sebenarnya tidak melanggar Peraturan
Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 126 Tahun 2015 tentang Mekanisme
Formulasi Perhitungan dan Penetapan Tarif Batas Atas dan Batas Bawah
Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam
Negeri.Namun, bila naik turun ini benar mengarah ke kartel, maka perlu
ditindaklanjuti. Sebab, kartel tidak dibenarkan oleh Undang-undang (UU) Nomor 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat.
Kurnia menjelaskan bahwa dugaan ini akan segera ditindaklanjuti dengan
berdiskusi bersama Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Khususnya, untuk
mengetahui struktur dan perkembangan tarif pesawat dari waktu ke waktu. Diskusi
juga dilakukan untuk mempelajari aturan tarif batas atas dan bawah.. Selain itu,
pendalaman bukti-bukti juga akan digali dengan memanggil para maskapai.
Karena KPPU sudah melakukan pemantauan sejak lama dengan melihat
penawaran harga tiket yang mereka tawarkan sehingga KPPU akhirnya bisa
memulai penyelidikan dengan inisiatif, tanpa laporan, tentang dugaan praktik
kartel oleh tujuh Maskapai tersebut.26

3.2 Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Majelis


Komisi atas Dugaan Praktik Kartel oleh 7 (Tujuh) Maskapai Penerbangan
Pada sidang putusan tanggal 23 Juni 2020, KPPU memutuskan bahwa
seluruh terlapor secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran atas Pasal 5
dalam jasa angkutan udara. Terlapor yaitu PT Garuda Indonesia (Terlapor I); PT
Citilink Indonesia (Terlapor II); PT Sriwijaya Air (Terlapor III); PT NAM Air
(Terlapor IV); PT Batik Air (Terlapor V); PT Lion Mentari (Terlapor VI); dan PT
Wings Abadi (Terlapor VII). Hal ini ditulis juga oleh KPPU dalam keterangan
resminya yaitu, “KPPU memutuskan bahwa seluruh terlapor secara sah dan
meyakinkan melakukan pelanggaran atas pasal 5 dalam jasa angkutan udara
tersebut”.27
Sesuai dengan kajian teori pada Bab sebelumnya, pelanggaran atas Pasal 5
UU Nomor 5 Tahun 1999 yang dilakukan tujuh maskapai tersebut berbunyi: "(1)
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk
menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh
konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama." Seperti diketahui,
26
Selfie Miftahul Jannah "Garuda, Lion & 5 Maskapai Lain Divonis Bersalah soal Harga Tiket", diakses
melalui : https://tirto.id/fK5u pada tanggal 14 Juni 2021
27
Safir Makki. CNN Indonesia "Ada Aroma Kartel dalam Kenaikan Harga Tiket Pesawat. Kartel Tiket
Pesawat" selengkapnya di sini:
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190115125211-92-360952/ada-aroma-kartel-dalam-kenaikan-harga
-tiket-pesawatdiakses pada tanggal 14 Juni 2021
perkara ini bermula dari penelitian inisiatif yang dilakukan KPPU atas layanan jasa
angkutan udara niaga berjadwal penumpang kelas ekonomi penerbangan dalam
negeri di wilayah Indonesia.
Dalam proses penegakan hukum yang dilaksanakan, KPPU menilai bahwa
struktur pasar dalam industri angkutan udara niaga berjadwal adalah oligopoli
ketat (tight oligopoly). Hal ini mengingat usaha angkutan udara niaga berjadwal di
Indonesia terbagi dalam 3 (tiga) grup, yaitu grup Garuda, grup Sriwijaya, dan grup
Lion yang menguasai lebih dari 95 persen pangsa pasar. Selain itu, juga terdapat
hambatan masuk yang tinggi dari sisi modal dan regulasi yang mengakibatkan
jumlah pelaku usaha sedikit dalam industri penerbangan.
KPPU juga menyatakan bahwa persaingan harga di industri tersebut diatur
melalui peraturan pemerintah melalui batasan tertinggi dan terendah dari
penetapan tarif atau harga penumpang pelayanan angkutan udara niaga berjadwal
dalam negeri, sehingga masih terdapat ruang persaingan harga di antara rentang
batasan tersebut.
Berdasarkan persidangan, Majelis Komisi menilai bahwa telah terdapat
concerted action atau parallelism oleh tujuh maskapai, sehingga telah terjadi
kesepakatan antara para pelaku usaha (meeting of minds) dalam bentuk
kesepakatan untuk meniadakan diskon atau membuat keseragaman diskon, dan
kesepakatan meniadakan produk yang ditawarkan dengan harga murah di pasar.
Hal ini mengakibatkan terbatasnya pasokan dan harga tinggi pada layanan jasa
angkutan udara niaga berjadwal penumpang kelas ekonomi di wilayah Indonesia.
KPPU menjelaskan bahwa concerted action atau parallelism tersebut
dilakukan melalui pengurangan subclass dengan harga murah oleh para Terlapor
melalui kesepakatan tidak tertulis antar para pelaku usaha (meeting of minds) dan
telah menyebabkan kenaikan harga serta mahalnya harga tiket yang dibayarkan
konsumen.
Namun demikian, Majelis Komisi menilai bahwa concerted action sebagai
bentuk meeting of minds di antara para Terlapor tersebut, tidak memenuhi unsur
perjanjian di Pasal 11. Hal ini mengingat bahwa berdasarkan Peraturan Komisi
Nomor 04 Tahun 2010, unsur perjanjian di pasal tersebut membutuhkan berbagai
hal seperti konspirasi di antara beberapa pelaku usaha, keterlibatan para senior
eksekutif perusahaan yang menghadiri pertemuan-pertemuan dan membuat
keputusan, hingga penggunaan asosiasi untuk menutupi kegiatan. Selain itu, untuk
memenuhi unsur tersebut, dibutuhkan pula price fixing dengan cara alokasi
konsumen atau pembagian wilayah atau alokasi produksi, ancaman atau sanksi
bagi anggota yang melanggar perjanjian, distribusi informasi kepada seluruh
pelaku usaha terlibat.
Terakhir, unsur tersebut terpenuhi jika ditemukan ada mekanisme
kompensasi dari pelaku usaha yang produksinya lebih besar atau melebihi kuota
terhadap mereka yang produksinya kecil atau mereka yang diminta untuk
menghentikan kegiatan usahanya. "Hal ini mengakibatkan, unsur Pasal 11 menjadi
tidak terpenuhi," tegas KPPU. Adapun pasal tersebut berbunyi: "Pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud
untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu
barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat."
Dalam membuat Putusan, Majelis Komisi turut mempertimbangkan sikap
kooperatif para terlapor dalam proses persidangan dan adanya implikasi pandemi
Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang telah berdampak besar pada
perekonomian nasional dan upaya pemulihannya, termasuk atas pelaku usaha
industri penerbangan yang telah mengalami banyak kesulitan bahkan sebelum
terjadinya Pandemi. Memperhatikan berbagai fakta-fakta pada persidangan, maka
Majelis Komisi memutuskan para terlapor terbukti secara sah dan meyakinkan
melanggar Pasal 5 yaitu tentang perjanjian antar pelaku usaha yang dianggap
sebagai persaingan usaha tidak sehat, namun tidak tidak terbukti melanggar Pasal
11 yaitu tentang dugaan praktik kartel sebagaimana diatur oleh Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999.
Untuk itu dalam perkara tersebut, Majelis Komisi menjatuhkan sanksi
berupa perintah kepada para Terlapor untuk memberitahukan secara tertulis kepada
KPPU setiap kebijakan yang akan berpengaruh terhadap peta persaingan usaha,
harga tiket yang dibayar oleh konsumen, dan masyarakat, sebelum kebijakan
tersebut diambil. Lebih lanjut, Majelis Komisi juga merekomendasikan kepada
KPPU untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Kementerian
Perhubungan untuk melakukan evaluasi terkait kebijakan tarif batas atas dan batas
bawah.
Hal ini penting agar formulasi yang digunakan dapat melindungi konsumen
dan pelaku usaha dalam industri, serta efisiensi nasional; dimana batas bawah
adalah di atas sedikit dari marginal cost pelaku usaha dan batas atas adalah batas
keuntungan yang wajar dan dalam batas keterjangkauan kemampuan membayar
konsumen. "Saran dan pertimbangan turut direkomendasikan Majelis Komisi
kepada Pemerintah untuk segera merumuskan kebijakan-kebijakan
langkah-langkah dalam membantu maskapai mengatasi Covid-19 berupa regulasi
dan paket-paket ekonomi diantaranya mempermudah masuknya pelaku usaha baru
dalam industri penerbangan," pungkas KPPU.28

28
Safir Makki. CNN Indonesia "KPPU Putuskan 7 Maskapai Bersalah Kasus Kartel Tiket Pesawat"
selengkapnya di sini:
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200623215457-92-516690/kppu-putuskan-7-maskapai-bersalah-ka
sus-kartel-tiket-pesawa, diakses pada tanggal 14 Juni 2021
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
Setelah membaca isi beserta pembahasan dari kasus ini dapat disimpulkan
bahwa 7 ( Tujuh ) Maskapai di Indonesia yaitu PT Garuda Indonesia (Terlapor I);
PT Citilink Indonesia (Terlapor II); PT Sriwijaya Air (Terlapor III); PT NAM Air
(Terlapor IV); PT Batik Air (Terlapor V); PT Lion Mentari (Terlapor VI); dan PT
Wings Abadi (Terlapor VII) yang diduga melakukan pelanggaran atas Pasal 5 UU
Nomor 5 Tahun 1999 benar adanya.
Dapat dibuktikan dalam persidangan, ketika Majelis Komisi menilai bahwa
telah terdapat concerted action atau parallelism oleh tujuh maskapai, sehingga
telah terjadi kesepakatan antara para pelaku usaha (meeting of minds). Berikut
KPPU juga menjelaskan bahwa concerted action atau parallelism tersebut
dilakukan melalui pengurangan subclass dengan harga murah oleh para Terlapor
melalui kesepakatan tidak tertulis antara para pelaku usaha (meeting of minds) dan
telah menyebabkan kenaikan harga serta mahalnya harga tiket yang dibayarkan
konsumen.
Namun demikian, Majelis Komisi menilai bahwa concerted action sebagai
bentuk meeting of minds di antara para Terlapor tersebut, tidak memenuhi unsur
perjanjian di Pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang dugaan praktik kartel
antara 7 maskapai tersebut. Maka dengan segala pertimbangan yang ada seperti
sifat kooperatif para terlapor dalam proses persidangan dan adanya implikasi
pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang telah berdampak besar pada
perekonomian nasional, Majelis Komisi kemudian memutuskan para terlapor
terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5 yaitu tentang perjanjian
antar pelaku usaha yang dianggap sebagai persaingan usaha tidak sehat, namun
tidak tidak terbukti melanggar Pasal 11 yaitu tentang dugaan praktik kartel
sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Untuk itu dalam perkara tersebut, Majelis Komisi menjatuhkan sanksi
berupa perintah kepada para Terlapor untuk memberitahukan secara tertulis kepada
KPPU setiap kebijakan yang akan berpengaruh terhadap peta persaingan usaha,
harga tiket yang dibayar oleh konsumen, dan masyarakat, sebelum kebijakan
tersebut diambil. Lebih lanjut, Majelis Komisi juga merekomendasikan kepada
KPPU untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Kementerian
Perhubungan untuk melakukan evaluasi terkait kebijakan tarif batas atas dan batas
bawah.

4.2 Saran
Adapun saran yang penulis sampaikan untuk kasus dugaan praktik kartel
oleh 7 maskapai penerbangan sebagai berikut:
1. Sebaiknya Kementerian Perhubungan (Kemenhub) segera melakukan
evaluasi terkait kebijakan tarif batas atas dan bawah terkait masalah tiket
pesawat dengan memperhatikan perlindungan terhadap konsumen dan juga
keberlangsungan industri penerbangan. Saran ini merupakan upaya untuk
memberikan perlindungan kepada konsumen dan pelaku usaha dalam
industri serta efisiensi nasional.
2. Meskipun penerbangan dilakukan dengan keharusan untuk menerapkan
protokol kesehatan dan jaga jarak, yang tentu berdampak kepada okupansi,
seharusnya pelayanan penerbangan tetap dilakukan dengan tarif yang sama
seperti sebelumnya sesuai dengan Keputusan Menteri Nomor 106 Tahun
2019.
3. Terakhir, sebaiknya pemerintah juga merumuskan kebijakan-kebijakan
serta langkah-langkah dalam membantu maskapai mengatasi Covid-19. Hal
tersebut berupa regulasi dan paket-paket ekonomi diantaranya
mempermudah masuknya pelaku usaha baru dalam industri penerbangan.
DAFTAR PUSTAKA

Hermansyah, Pokok-Pokok Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Kecana,


2008)

Salinan Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli


dan Persaingan Usaha Tidak Sehat oleh Presiden Republik Indonesia

Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis,Menata Bisnis Modern di Era Global,


Jakarta: PT Citra Aditia Bakti Pers 2002. hlm.234

Ibnu Ismail, Kartel adalah: diakses melalui


https://accurate.id/bisnis-ukm/kartel-adalah/ pada tanggal 13 Juni 2021

Sumber Badan Pusat Statistik (BPS), finance.detik.com, Mahalnya Tiket Pesawat


Sumbang Inflasi Maret 2019,
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d4493434/mahalnya-tiket-pe
sawat-sumbang-inflasi-maret-201 9 , diakses pada tanggal 13 Juni 2021.

Tirto.id Harga Tiket Pesawat Biang Inflasi: karena Inefisiensi atau Kartel?,
https://tirto.id/harga-tiket-pesawat-biang-inflasi-karena-inefisiensi-atau-kartel
-dkTp , diakses pada tanggal 13 Juni 2021.

Republika.co.id, Ekonom Indef: Kartel Tiket Pesawat Sumbang Inflasi Nasional,


https://republika.co.id/berita/ekonomi/korporasi/ppa428382/ekonom-indef-ka
rtel-tiketpesawat-sumbang-inflasi-nasional,diakses pada tanggal 13 Juni
2021.

H. Kusnadi, Ekonomi Mikro, FE Unbraw, Malang, 1977, hal. 370. Ada pula yang
menyebutnya sebagai Trust, yakni sebagai suatu cara (method of
combination) untuk menggabungkan beberapa perusahaan besar yang
mempunyai kekuatan monopolis. Akan tetapi kartel dan trust di sini lain
pengertiannya dengan merger.

L. Budi Kagramanto, 1999, Aspek Yuridis Pelaksanaan Merger Pada Bank Umum,
Tesis S-2/Magister Hukum Pada Program Pasca Sarjana, Program Studi Ilmu
Hukum – UNAIR, Surabaya, hal. 38 - 39
Christopher Pass dan Bryan Lowes, dalam Elyta Ras Ginting: Hukum
Antimonopoli Indonesia: Analisis dan Perbandingan UU No. 5 Tahun 1999,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 19.

Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, 6th. ed. West Publishing Co. St.
Paul – Minn, USA, 1990,

hal. 52

Anda mungkin juga menyukai