Anda di halaman 1dari 18

Jurnal Hukum & Pembangunan 49 No.

1 (2019): 73-90
ISSN: 0125-9687 (Cetak)
E-ISSN: 2503-1465 (Online)

URGENSI AMANDEMEN UU TENTANG PERSAINGAN USAHA DI


INDONESIA: PROBLEM DAN TANTANGAN

Kurnia Toha *

* Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia


Korespondensi: k-toha@ui.ac.id; tohakurnia61@gmail.com
Naskah dikirim: 18 Januari 2019
Naskah diterima untuk diterbitkan: 15 Maret 2019

Abstract
This article discusses about how urgent for the holding of an amendment to the
Act No. 5 of 1999 concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair
Business Competition, known as Competition Law. Since the effective force in
2000, the Business Competition Act has given many benefits to the economic
development of Indonesia. However, there are also a lot of criticism both from
academics, practitioners and commissioners of the Business Competition
Supervisory Commission. This research conducted based on normative or
library research using secondary data. In addition, this research was also
based on a field research through interviews and focus group discussions with
stakeholders. The results of the research found that there was an urgent interest
for the amendment of Law No. 5 of 1999.

Keynote: Competition Law, amandement, Business Competition Supervisory


Commission

Abstrak
Artikel ini membahas mengenai seberapa besar kepentingan untuk diadakannya
amandemen terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat atau yang dikenal dengan
UU Persaingan Usaha. Sejak berlaku effektif tahun 2000, Undang-Undang
Persaingan Usaha telah banyak member manfaat pada perkembangan
perekonomian Indonesia. Namun demikian, terdapat juga banyak kritikan baik
dari akademisi, praktisi maupun dari komisioner Komisi Pengawas Persaingan
Usaha akan berbagai kekurangan yang ada dalam UU tersebut. Penelitian ini
termasuk penelitian normative atau kepustakaan dengan menggunakan data
sekunder. Disamping itu merupakan penelitian lapangan melalui wawancara
dan diskusi terfokus dengan pemangku kepentingan. Hasil penelitian
menemukan adanya kepentingan yang sangat mendesak bagi amandemen UU
No. 5 tahun 1999.

Kata Kunci: Hukum Persaingan Usaha, Amandemen, Komisi Pengawas


Persingan Usaha.

Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id


DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol49.no1.1911
74 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019

I. PENDAHULUAN

Sejak berlakunya UU Nomor 5 Tahun 1999 pada tahun 2000 sampai


dengan September 2016 Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah
mengeluarkan 331 putusan. 1 KPPU juga telah menyampaikan 92 saran
pertimbangan kepada pemerintah selama periode 2000-2011. Pada tahun 2012
Komisi Pengawas Persaingan Usaha juga telah memberikan sebanyak 9 saran
kepada pemerintah.2 Penegakan hukum persaingan usaha ini telah menunjukkan
perubahan positip dalam kegiatan bisnis di Indonesia dan telah menguntungkan
bagi konsumen. Beberapa contoh putusan KPPU yang telah membawa
perbaikan dalam perekonomian kita dan menyebabkan harga yang lebih murah
serta pelayanan yang lebih baik kepada konsumen diantaranya pada sektor
penerbangan atau transportasi udara dan telekomunikasi.

II. RUMUSAN MASALAH

Belajar dari pengalaman penegakkan hukum persaingan usaha di


Indonesia selama lebih dari satu decade ini, dan bertolak belakang dengan
berbagai keberhasilan yang telah dilakukan oleh KPPU tersebut, terdapat
beberapa hambatan dalam penegakkan hukum persaingan usaha di Indonesia.
Hambatan-hambatan ini pada dasarnya disebabkan kelemahan yang terdapat
dalam UU No. 5 Tahun 1999 itu sendiri. Hambatan-hambatan ini tentu perlu
segera dicarikan jalan keluarnya. Apalagi dengan telah berlakunya Masyarakat
Ekonomi Asean pada tahun 2016, maka kepentingan untuk merevisi dan
melakukan harmonisasi peraturan dalam bidang persaingan usaha di Indonesia
dengan peraturan yang sejenis dari negara-negara anggota Asean lainnya.
Adapun kelemahan-kelemahan utama yang perlu segera dirubah tersebut
diantaranya meliputi, pertama apakah ketentuan Hukum Persaingan Usaha
Indonesia dapat diberlakukan terhadap pelaku usaha yang berada diluar wilayah
Indonesia khususnya di negara-negara Asean? Kedua, apakah ketentuan
mengenai pelaporan merger dalam Hukum Persaingan Usaha Indonesia sudah
tepat? Ketiga, apakah bukti tidak langsung dapat dipakai dalam sistem hukum
pembuktian Persaingan Usaha di Indoneisa? Keempat, apakah Kedudukan
KPPU dalam sistem hukum negara kita?

III. METODE PENELITIAN


Penelitian yang dilakukan adalah jenis penelitian hukum normatif atau
penelitian kepustakaan 3 yaitu dengan meneliti bahan pustaka berupa buku-
buku, artikel dan putusan pengadilan. Disamping itu dilakukan juga penelitian
sosiologis atau penelitian empiris yaitu dengan melakukan wawancara dengan
para pemangku kepentingan Hukum Persaingan Usaha seperti komisioner,
penasehat hukum, dan akademisi.
Penelitian ini bertujuan, pertama-tama untuk menemukan fakta (fact finding)
bagaimana pelaksanaan UU No. 5 tahun 1999 selama lebih dari 10 tahun ini.
Kemudian, ditujukan untuk menemukan masalah-masalah dalam penegakkan
1
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, www.kppu.go.id .
2
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Laporan Kinerja KPPU, 2012, hlm. 26.
3
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, 2006, hlm. 13.
Urgensi Amandemen UU Tentang Persaingan Usaha, Kurnia Toha 75

hukum persaingan usaha selama ini (problem finding) dan pada akhirnya
dilakukan penelitian untuk menemukan solusi untuk mengatasi permasalahan
tersebut.4

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Sejak berlakunya UU No. 5 tahun 1999, terjadi perubahan sistem
perekonomian di Indonesia yang semula banyak kegiatan ekonomi didasarkan
pada kolusi korupsi dan nepotisme, sehingga banyak kegiatan ekonomi yang
dimonopoli oleh kelompok tertentu, berubah menjadi sistem ekonomi yang
didasarkan pada prinsip-prinsip persaingan yang sehat.
Sejak diterapkannya sistem persaingan usaha yang sehat pada tahun 2000, maka
telah banyak kemajuan yang dicapai, sehingga konsumen banyak mendapatkan
keuntungan, diantaranya dapat dilihat dalam industri telekomunikasi dan
penerbangan. Hal ini sesuai data dari Direktorat Jenderal Perhubungan Udara,
Kementerian Perhubungan, bahwa pada tahun 1999 terdapat 5 (lima) maskapai
penerbangan, sedangkan pada tahun 2008 terdapat 15 (lima belas) maskapai
penerbangan di Indonesia. Pada tahun 1999 jumlah penumpang pesawat udara
adalah 6,365,481 penumpang, sedangkan pada tahun 2008 jumlah penumpang
adalah 34,015,98134,015,981 penumpang. Jumlah ini terus meningkat,
sehingga perlu adanya peningkatan dan perbaikan airport hampir di seluruh
Indonesia. Begitu pula dengan tarif penerbangan dimana terjadi penurunan
lebih dari 50% (lima puluh persen). Di sektor telekomunikasi, putusan KPPU
atas perkara TEMASEK dan Kartel SMS telah berdampak pada turunnya tarif
jasa layanan telekomunikasi yang berdasarkan hasil kajian bersama antara
KPPU, LPEM FEUI dan Japan International Copperation Agency (JICA), dari
rata-rata Rp.350 per sms pada tahun 2004, menjadi kurang dari Rp.100/sms
pada tahun 2010.5
Namun demikian, disamping kemajuan-kemajuan yang telah dicapai,
terdapat pula banyak hambatan dan kritikan dari berbagai kalangan baik
akademisi, praktisi maupun komisioner Komisi Persaingan Usaha sendiri akan
adanya kelemahan-kelemahan UU No. 5 tahun 1999 atau Hukum Persaingan
Usaha dan peraturan pelaksananya tersebut. Kelemahan-kelemahan tersebut
diantaranya mengenai siapakah yang merupakan subjek Hukum Persaingan
Usaha Indonesia dan apakah Hukum Persaingan Usaha Indonesia berlaku
terhadap pelaku usaha yang berada diluar negeri, akan tetapi mempunyai
pengaruhnya terhadap perekonomian Indonesia. Permasalahan kedua adalah
apakah ketentuan mengenai pemberitahuan merger telah sesuai dengan prinsip-
prinsip Hukum Persaingan Usaha yang baik. Ketiga, adalah mengenai hukum
acara dalam perkara persaingan usaha, antara lain mengenai hubungan antara
investigator dan komisioner dalam menetapkan diteruskan atau tidaknya suatu
perkara, apakah bukti tidak langsung dapat dipakai dalam hukum acara yang
berlaku dalam Hukum Persaingan Usaha Indonesia dan mengenai penerapan
prinsip rule of reason dalam putusan perkara persaingan usaha. Keempat,
adalah mengenai kedudukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam sistem

4
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta UI Press, Cet. 3, 2010,
hlm. 44 -45.
5
Diolah dari hasil kajian bersama antara KPPU, LPEM FEUI dan Japan International
Copperation Agency (JICA), 2010.
76 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019

Hukum Indonesia. Melalui penelitian ini dapat diketahui mengenai


permasalahan-permasalahan tersebut.

a. Subjek Hukum Persaingan Usaha Indonesia


Subjek hukum merupakan hal yang sangat penting karena menentukan
terhadap siapa suatu hukum berlaku. Subjek hukum dari Hukum Persaingan
Usaha adalah pelaku usaha. Menurut Pasal 1 angka 5, pelaku usaha adalah
setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum
atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri
maupun bersama-sama melalui perjanjian , menyelenggarakan berbagai
kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Dari rumusan tersebut, maka subjek dari
UU No. 5 tahun 1999 adalah siapa saja yang melakukan kegiatan usaha di
Indonesia. Dengan demikian ketentuan Hukum Persaingan Usaha Indonesia
tidak dapat berlaku terhadap pelaku usaha di luar negeri dan melakukan
aktivitasnya di luar negeri.
Hal ini berbeda dengan ketentuan Hukum Persaingan Usaha di berbagai
negara seperti Amerika, Uni Eropa dan Australia, maupun ketentuan hukum
persaingan usaha di negara-negara Asia, seperti ketentuan hukum persaingan
usaha di Jepang, Korea Selatan dan Singapura, dimana subjek Hukum
Persaingan Usaha bukan hanya pelaku usaha di dalam negeri, tetapi juga
berlaku bagi pelaku usaha di luar negeri yang berdampak terhadap
perekonomian dalam negeri. Bahkan Hukum Antitrust Amerika misalnya,
sebagaimana dinyatakan oleh Areeda, bahwa hukum Antitrust Amerika dapat
memeriksa seseorang tanpa melihat personal jurisdiksi dari pelaku tersebut. 6
Bahkan beberapa peraturan lain seperti; National Cooperative Research and
Poduction Act, Webb-Pomerene Act, Export Trading Company Act of 1982,
juga mengatur bahwa pelaku usaha diluar negeri dapat diadili di Amerika
apabila dianggap melanggar hukum antitrust atau mempunyai dampak bagi
perekonomian Amerika. 7 Ketentuan serupa juga berlaku di Australia dimana
apabila kegiatan pelaku usaha mempunyai dampak terhadap persaingan di
Australia, maka dapat diadili di Australia.8
Kondisi ini tentu saja sangat merugikan Indonesia, karena perusahaan Indonesia
dapat diadili di negara lain, sedangkan perusahaan di luar negeri secara prinsip
tidak dapat diadili di Indonesia. Sejak berlakunya UU No. 5 Tahun 1999
persoalan keberlakuan Hukum Persaingan Indonesia terhadap pelaku usaha
yang ada di luar negeri dan didirikan berdasarkan hukum negara yang
bersangkutan baru terdapat dua kasus yaitu dalam kasus Very Large Crude
Carrier (VLCC) dan kasus Temasek. Dalam kasus VLCC dimana Terlapornya
adalah Frontline Ltd sebuah badan hukum yang didirikan berdasarkan Hukum
negara Bermuda, berkedudukan di Norway dan dengan pusat manajemennya di
New York, Amerika Serikat. Dalam kasus ini Frontline dilaporkan telah
melakukan kolusi dalam tender penjualan VLCC milik Pertamina. Frontline

6
Phillip Areeda, Antitrust Analysis, third edition, 1981, hlm. 137-138.
7
Thomas D. Morgan, Cases and Materials on Modern Antitrust Law and Its Origins,
second ed. 2001, hal 831. Andi Fahmi Lubis et. al., Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan
Konteks, (Jakarta: Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH,
Oktober 2009), hal 19
8
S.G. Corones, Competition Law In Australia, fourth Edition, 2007, hal. 237.
Urgensi Amandemen UU Tentang Persaingan Usaha, Kurnia Toha 77

dipersalahkan telah melakukan kolusif tender melalui PT. Preusan Pelayaran


Equinos karena Equinos hanya sebagai perpanjangan tangan dari Frontline.
Putusan ini sempat menimbulkan kontraversi karena Frontline dipersalahkan
menurut teori single economic entity. Single economic entity ini dianggap tidak
dikenal di Indonesia. Menurut pendapat penulis, konsep single economic entity
ini telah lama dikenal di dalam hukum dagang Indonesia, yaitu sama dengan
konsep keagenan. Putusan KPPU ini kemudian dikuatkan oleh Putusan MA
tahun 2005. Kasus kedua adalah perkara No. 07/KPPU-L/2007 atau yang lebih
dikenal dengan Kasus Temasek. Dalam kasus ini yang menjadi terlapor adalah
delapan perusahaan yang berada di Singapore dan satu perusahaan yang berada
di Mauritius yaitu; Temasek Holding Pte.Ltd., Singapore, Singapore
Technologies Telemedia Pte.Ltd., Singapore, STT Communications Ltd,
Singapore, Asia Mobile Holding Pte.Ltd., Singapore, Asia Mobile Holding
Pte.Ltd., Singapore, Indonesian Communication Limited, Mauritius, Indonesian
Communication Pte.Ltd., Singapore, Singapore Telecommunication Ltd.,
Singapore, dan Singapore Telecom Mobile Pte.Ltd., Singapore. Kesemua
perusahaan ini dikenal dengan Temasek Group. Kelompok Temasek melalui
anak perusahaannya yaitu STT memiliki saham sebesar 41,94% saham pada
PT. Indosat, dan melalui Singtel memiliki saham sebesar 35% pada PT.
Teleksel. KPPU menyatakan bahwa Kelompok Temasek bersalah melanggar
Pasal 27 a, karena telah melakukan kepemilikan silang terhadap Telkomsel dan
Indosat sehingga melanggar Pasal 17 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999.
Hikmahanto Juwana menyatakan bahwa KPPU tidak dapat menggunakan
yurisdiksi teritorial karena hukum Indonesia tidak mengakui konsep ekonomi
tunggal. Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa KPPU juga tidak dapat
menggunakan yurisdiksi personal karena STT tidak didirikan berdasarkan
hukum Indonesia dan bukanlah statu entitas Indonesia. KPPU juga tidak dapat
menggunakan yurisdiksi universal oleh karena yurisdiksi tersebut hanya
terbatas pada kejahatan internasional.9
Namun KPPU berpendapat bahwa KPPU berwenang melakukan
pemeriksaan terhadap Kelompok Temasek berdasarkan pada prinsip “single
economic entity doctrine” dinyatakan bahwa hubungan induk perusahaan
dengan anak perusahaan dimana anak perusahaan tidak mempunyai
independensi untuk menentukan arah kebijakan perusahaan.10 Baik akademisi,
penasehat hukum maupun komisioner Komisi pengawas Persaingan Usaha,
pada umumnya sependapat bahwa subjek Hukum Persaingan Usaha Indonesia
seharusnya bukan hanya pelaku usaha dalam negeri, namun juga pelaku usaha
luar negeri yang mempunyai dampak terhadap perekonomian nacional.11

b. Merger Notifikasi
Istilah penggabungan, peleburan dan pengambilalihan dalam Hukum
Persaingan Usaha seringkali cukup disebut ‘merger’. Terdapat 3 (tiga) macam
bentuk, yaitu: 12
9
Putusan No. 07/KPPU-L/2007, hal. 270.
10
Putusan No. 07/KPPU-L/2007, hal 126.
11
Responden baik akademisi, penasehat hukum, dan komisioner sepakat agar subjek
Hukum Persaingan Usaha Indonesia meliputi juga pelaku usaha di luar negeri yang mempunyai
dampak terhadap perekonomian nasional. Hasil wawancara, 16 Mei 2016.
78 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019

1) Merger horizontal yaitu merger antara dua perusahaan bergerak dalam


bidang yang sama atau merger antara perusahaan-perusahaan yang
bersaing.
2) Merger vertical yaitu merger antara perusahaan yang terlibat dalam
tahapan operasional produksi yang berbeda yang saling terkait satu
sama lainnya, mulai dari hulu hingga ke hilir. Merger vertical ini
kemudian dapat terjadi dalam 2 (dua) jenis yaitu secara upstream dan
downstream.
3) Konglomerat Merger yaitu merger antara perusahaan yang tidak
memiliki lini usaha yang sama atau merger perusahaan-perusahaan yang
tidak bersaing dan tidak memiliki hubungan penjual-pembeli.

Merger sebenarnya merupakan tindakan korporasi yang wajar yang dapat


mensinergikan sumberdaya yang dipunyai masing-masing perusahaan yang
melakukan merger. Merger juga dilakukan untuk mencapai tujuan ekonomis
perusahaan yang bersangkutan (profit maximization). 13 Jadi melalui merger
dapat tercipta efisien, menciptakan produk baru atau teknologi baru yang
berguna untuk masyarakat. 14 Merger seperti ini akan berdampak positif dan
menguntungkan konsumen karena akan memperbanyak pilihan barang atau jasa
serta hadirnya teknologi yang lebih baru daripada sebelumnya yang akan
meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.15
Namun demikian, merger juga dapat berdampak negative, karena melalui
merger dapat menciptakan penguasaan pasar pada pasar tertentu atas suatu
barang atau jasa oleh perusahaan hasil merger.16 Dengan terjadinya penguasaan
pasar, maka pelaku usaha tersebut dapat mengatur produksi dan harga tanpa
perduli terhadap kualitas dari barang atau jasa. Dampak negative ini
kemungkinan besar akan timbul apabila merger antara perusahaan yang
produknya memiliki pembeda dengan produk lain (differentiated product) atau
tidak ada penggantinya yang dapat ditemukan dipasar.17 Selain itu merger juga
dapat menimbulkan inefisien dan tidak merangsang perusahaan untuk
melakukan innovasi. Oleh karena adanya dampak negative tersebut, maka
merger perlu diatur dalam hukum persaingan usaha karena kan merugikan
konsumen dimana konsumen harus membayar lebih tinggi atau dengan kualitas
yang tidak memadai.18
Dari ketiga jenis merger tersebut, maka merger horizontal adalah jenis
merger yang paling mendapatkan perhatian dari otoritas penegak Hukum
Persaingan Usaha di berbagai negara. Hal ini karena terjadinya gabungan dari
perusahaan yang seharusnya bersaing, sehingga menciptakan perusahaan yang
lebih besar dan menghilangkan persaingan antara perusahaan yang melakukkan
merger. Bukan berarti merger vertikal dan merger konglomerat tidak menjadi

13
T.M. Zakir, Derajat Urgensi Regulasi Merger: Mencegah Pengaturan yang
Berlebihan dalam Efektifitas Regulasi Meger dan Akuisisi, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
2010), hal. 39.
14
Perdana A. Saputro, Hukum Meger Indonesia dalam Konteks Hukum Persaingan
Usaha, (Tangerang: CR Publishing, 2012), hal. 11
15
Ibid.
16
Lawrence Anthoni Sullivan, Antitrust< West Publishing, 1977, 576.
17
Ibid., hal. 12.
18
Andrew Dunnet, Understanding Market : An Introduction to Microeconomics, 3 rd
Edition, (Indiana: Longman, 1998), hal. 51.
Urgensi Amandemen UU Tentang Persaingan Usaha, Kurnia Toha 79

perhatian lembaga penegak persaingan usaha, namun dampak terhadap pasar


dan persaingan secara relative tidak sebesar merger horizontal.
Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat mengatur mengenai merger ini dalam Pasal 28
dan 29. Kedua Pasal ini mengamanatkan adanya peraturan lebih lanjut dengan
Peraturan pemerintah.
Pasal 28 UU No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa:
(1) Pelaku usaha dilarang melakukan penggabungan atau peleburan badan
usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha dilarang melakukan pengambilalihan saham perusahaan lain
apabila tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Selanjutnya Pasal 29 ayat (1) UU No. 5 tahun 1999 menyatakan bahwa:


Penggabungan atau peleburan badan usaha, atau pengambilalihan saham
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 yang berakibat nilai aset dan atau nilai
penjualannya melebihi jumlah tertentu, wajib diberitahukan kepada Komisi,
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penggabungan, peleburan
atau pengambilalihan tersebut.
Dari ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 dapat kita ketahui
bahwa hukum persaingan usaha Indonesia menganut post merger notifikasi atau
pemberitahuan adanya merger setelah merger dilakukan. Ketentuan post merger
notifikasi ini berbeda dengan pengaturan untuk hal yang sama pada Negara-
negara maju yang telah mapan dalam bidang ini, seperti Amerika dan Uni
Eropa. Di Amerika Serikat menurut Clayton Act, Section 7. menyatakan bahwa
pelaku usaha wajib melakukan notifikasi pra-merger kepada otoritas persaingan
usaha Amerika Serikat, Federal Trade Commission (FTC) dan Divisi Hukum
Persaingan Usaha (Antitrust Division) yang merupakan bagian dari Departemen
Kehakiman (Departement of Justice) Amerika Serikat. 19 Begitu pula dengan
ketentuan Pasal 4 angka 1 European Community Merger Regulation No.
13/2004 (ECMR), yang mengatur notifikasi pra-merger terdiri dari dua jenis,
yaitu Notifikasi Wajib (Mandatory Notification) dan Notifikasi Sukarela
(Voluntary Notification). Notifikasi pra-merger wajib dilakukan terhadap
merger-merger yang akan berujung pada konsentrasi menurut ECMR yaitu
transaksi merger yang bernilai lebih dari 500 juta Euro di seluruh dunia dan
lebih dari 250 juta Euro untuk kedua belah pihak dalam wilayah Uni Eropa.20
Sedangkan Pasal 4 angka 1 ECMR mengatakan bahwa pelaku usaha yang
merger dapat melakukan notifikasi kepada EC dengan didasari itikad baik
(good faith) untuk menyusun perjanjian terkait merger atau, setelah
mengumumkan kepada masyarakat tentang rencana merger tersebut, menyadari
bahwa merger akan berujung pada konsentrasi pasar atau mempengaruhi pasar
secara signifikan dalam wilayah Uni Eropa. 21 Prinsip yang sama yaitu

19
John H. Shenefield dan Irwin M. Stelzer, The Antitrust Laws A Primer (Fourth
Edition), (Washington: The AEI Press, 2001), hal. 57.
20
Pasal 4 angka 1 jo. Pasal 1 angka 2 ECMR.
21
Kirsty Middleton, UK & EC Competition Documents 5th Edition, (New York : Oxford
University Press, 2007), hal. 241 dan 243.
80 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019

berlakunya pra merger notifikasi juga berlaku dalam hukum persaingan


Kanada,22 Jepang 23dan Korea Selatan.24
Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 29 ayat (2) UU No. 5 tahun 1999 menyatakan
bahwa ketentuan lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah. Namun
peraturan pemerintah ini tidak keluar sampai tahun 2010 yaitu dengan
berlakunya Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2010 tentang Penggabungan
atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang
Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat.
Sebelum berlakunya PP No. 57 Tahun 2010, KPPU pernah mencoba
menggunakan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang No.5/1999 dalam perkara
Carrefour (Perkara No. 09/KPPU-L/2009). Dalam perkara ini, akuisisi yang
dilakukan oleh PT Carrefour Indonesia (Carrefour) terhadap 75% (tujuh puluh
lima persen) saham PT Alfa Retailindo, Tbk. (Alfa) pada Januari 2008. KPPU
menilai, akuisisi yang dilakukan oleh Carrefour terhadap Alfa tersebut
mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat karena
market power Carrefour yang semakin meningkat pasca akuisisi Alfa dan
tingginya hambatan masuk pada pasar jasa pemasokan hypermarket dan
supermarket (upstream). Namun, karena pada saat dijatuhkannya putusan untuk
perkara Carrefour belum terdapat peraturan pemerintah yang mengatur lebih
spesifik mengenai merger sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28 ayat (3)
Undang-undang No.5/1999. Indonesia menganut rezim notifikasi pasca-merger
(post-merger notification) untuk Notifikasi Wajib-nya. Hal ini terlihat jelas
dalam redaksi Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dimana
pelaku usaha diwajibkan untuk melaporkan telah terjadinya merger selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal terjadinya merger tersebut.
Sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2010 tentang
Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham
Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, KPPU menerbitkan Peraturan KPPU No. 1
Tahun 2009 tentang Pra-Notifikasi, Penggabungan, Peleburan, dan
Pengambilalihan. Dalam peraturan KPPU ini, terdapat notifikasi pre-merger
yang sifatnya sukarela yang dilakukan pihak-pihak yang terlibat sebuah
transaksi merger sebelum berlangsungnya merger tersebut. Peraturan KPPU ini
banyak menuai kritik, karena berdasarkan UU No. 5 tahun 1999 peraturan
pelaksananya adalah Peraturan Pemerintah. Bagaimana bisa Peraturan
Pemerintahnya belum ada, tapi peraturan pelaksana dari peraturan pemerintah
tersebut yang berupa peraturan KPPU sudah ada. Baru pada tanggal 20 Juli
2010, dikeluarkanlah PP No. 57/2010 untuk menjalankan amanah Pasal 28 ayat
(3) dan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Hampir satu
tahun pasca dikeluarkannya PP No. 57/2010, KPPU mengeluarkan Peraturan
KPPU No. 1 Tahun 2011 yang menggantikan Peraturan KPPU No. 1 Tahun

22
Anthony J. Greco, “Premerger Notification In Canada : How Well Is It Working?”,
Commentaries on Law & Economics, Vol. 2 (2006), hal. 72.
23
Shigeyoshi Ezaki dan Vassili Moussis, “Japan : Merger Control”, The Asia-Pacific
Antitrust Review, (2010), hal. 48.
24
Yong Seok Ahn dan Youngjin Jung, “Merger Control in Korea”, The Asia Pacific
Antitrust Review, (2004), hal. 63.
Urgensi Amandemen UU Tentang Persaingan Usaha, Kurnia Toha 81

2009. PP No. 57/2010 dan Peraturan No. 1/2011 mengakomodasi proses


notifikasi pre-merger dengan terminologi ‘konsultasi’.
Keluarnya peraturan mengenai konsultasi ini adalah sebagai solusi karena
peraturan hukum persaingan usaha kita menganut post merger notifikasi.
Padahal seharusnya pengawasan merger sebaiknya merupakan pelaksanaan
hukum yang lebih menekankan pada pencegahan (preventif) dari pada
pengkoreksian. Penghentian dampak negatif yang potensial diciptakan merger
sebaiknya dilakukan pada tahapan sedini mungkin bahkan sebelum merger
tersebut berlaku efektif. 25 Sedangkan kalau post merger notifikasi, maka
sifatnya adalah korektif setelah merger dilakukan.
Selama ini, berdasarkan data yang ada di KPPU, dapat kita ketahui,
bahwa pelaku usaha yang melakukan notifikasi merger adalah sebagai
berikut:26
1) Sebelum keberlakuan PP No. 57/2010 dan Peraturan No. 1/2011,
terdapat 5 (lima) merger yang dilaporkan lewat Notifikasi Sukarela. Hal
ini berkenaan dengan ketentuan yang berlaku saat itu, Peraturan KPPU
No. 1/2009.
2) Setelah berlakunya PP No. 57/2010, terdapat 11 (sebelas) konsultasi
secara sukarela yang dilakukan oleh pelaku usaha sebelum merger yang
dilakukannya berlaku efektif secara yuridis.
3) Sejak berlakunya PP No. 57/2010 hingga 2016, telah terjadi 302 (tiga
ratus dua) pemberitahuan pasca-merger oleh pelaku usaha.27

Dari semua notifikasi tersebut belum ada yang dijatuhkan hukuman oleh
KPPU. Dari tahun 2010 sampai dengan 2016 terdapat 6 (enam) kasus
keterlambatan pemberitahuan merger.28 Dari 6 (enam) kasus tersebut 5 kasus
terbukti terjadi keterlambatan pemberitahuan merger, dan dijatuhi hukuman
denda sesuai dengan Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 04
tahun 2012, sebesar Rp. 1.000.000.000. (satu milyar rupiah) setiap hari
keterlambatan, dan akumulasi denda paling tinggi Rp.25.000.000.000. (dua
puluh lima milyar). Satu kasus dibebaskan karena tidak terjadi keterlambatan
pemberitahuan yang dikenakan hukuman denda oleh KPPU.29 Sejak berlakunya
Peraturan Pemerintah mengenai merger pada tahun 2010, sampai tahun 2016,
KPPU belum pernah menyatakan sebuah merger melanggar UU Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. KPPU juga belum
pernah membatalkan merger yang sudah terjadi dan diberitahukan pasca-
merger, namun agar tidak menimbulkan kerugian dimasa yang akan datang,
maka perubahan ketentuan mengenai merger notifikasi ini tetap perlu dilakukan.
Hal ini didukung pula oleh Kartte yang mengatakan bahwa dengan menyitir
komentar ringan seorang ahli dari Amerika Serikat, memberikan perumpamaan:
“Sangat sulit membuat telur utuh kembali dari telur dadar.”30 Pendapat serupa
juga diperoleh dari wawancara dengan akademisi, penasehat hukum dan

25
James W. Brock, Antitrust, The “Relevant Market,” and The Vietnamization of
American Merger Policy,” The Antitrust Buletin, Winter 2001, (2001), hal, 744.
26
Diolah dari data KPPU, www.kppu.go.id.
27
Diolah dari data KPPU, www.KPPU.go.id, dikases tanggal 3 Januari 2017.
28
Ibid
29
Ibid.
30
Ibid.
82 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019

komisioner yang semuanya sepakat bahwa seharusnya Hukum Persaingan


Usaha Indonesia menganut pra-notifikasi.31

c. Hukum Acara dalam Hukum Persaingan Usaha


Persoalan lain yang juga perlu dilakukan perubahan segera adalah
menyangkut hukum acara yang berlaku dalam perkara persaingan usaha UU
No. 5 tahun 1999 selain mengatur hukum materil, juga mengatur hukum acara.
Namun sayangnya hukum acara yang terdapat di dalam UU No. 5 tahun 1999
tidak jelas dan tidak lengkap.

Berdasarkan ketentuan Pasal 36 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999,


KPPU mempunyai kewenangan yang meliputi:
a. Menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang
adanya dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat, melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau
tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
b. Melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan/atau
tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
c. Melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan
oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha.
d. Menyimpulkan hasil penyelidikan dan/atau pemeriksaan tentang ada atau
tidak adanya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
e. Menghadirkan pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan dan pengaturan undang-undang nomor 5 tahun 1999.
f. Memanggil dan menghadirkan saksi, ahli, atau setiap orang yang dianggap
mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini.
g. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, ahli,
atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e, dan huruf f, yang tidak
bersedia memenuhi panggilan dari KPPU.
h. Meminta keterangan dari instansi pemerintah dalam kaitannya dengan
penyelidikan dan/atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar
ketentuan undang-undang ini.
i. Mendapatkan, meneliti, dan/atau menilai surat, dokumen atau alat bukti lain
guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan.
j. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak
pelaku usaha lain atau masyarakat.
k. Memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga
melakukan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
l. Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha
yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap ketentuan perundang-
undangan ini.

31
Hasil wawancara dengan responden akademisi, penasehat hukum dan komisioner
KPPU yang semuanya sepakat agar Hukum Persaingan Usaha menganut Pra-Notifikasi,
wawancara dilakukan, 16 Mei 2016.
Urgensi Amandemen UU Tentang Persaingan Usaha, Kurnia Toha 83

Selanjutnya menurut UU No. 5 tahun 1999, KPPU mempunyai tugas yang


meliputi:32
a. Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.33
b. Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan/atau tindakan pelaku
usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat.34
c. Melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan
posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan/atau persaingan usaha tidak sehat.35
d. Mengambil tindakan sesuai dengan kewenangan Komisi.36
e. Memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan pemerintah yang
berkaitan dengan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak
sehat.37
f. Menyusun pedoman dan/atau publikasi yang berkaitan dengan undang-
undang nomor 5 tahun 1999.
g. Memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja komisi kepada presiden
dan dewan perwakilan rakyat.38

Hukum Persaingan usaha adalah hukum publik, karenanya setiap orang


yang mengetahui telah terjadi atau patut diduga telah terjadi pelanggaran
terhadap UU No. 5 tahun 1999 atau pihak yang dirugikan sebagai akibat
pelanggaran terhadap UU ini, dapat melaporkan secara tertulis kepada Komisi
tentang hal tersebut. 39 Berdasarkan laporan tersebut Komisi melakukan
pemeriksaan pendahuluan dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari setelah
menerima laporan, Komisi wajib menetapkan perlu tidaknya dilakukan
pemeriksaan lanjutan dalam waktu 60 hari dan dapat diperpanjang paling lama
30 hari.40 Komisi wajib telah memutus ada atau tidaknya pelanggaran terhadap
hukum persaingan usaha selambat-lambatnya 30 hari sejak selesainya
pemeriksaan lanjutan. 41 Pelaku usaha harus melaksanakan putusan komisi
paling lama 30 hari setelah menerima pemberitahuan putusan dan
memberitahukan pelaksanaan putusan tersebut kepada KPPU. Apabila pelaku
usaha tidak menerima putusan KPPU, maka menurut Pasal 44 ayat (2) UU No.
5 tahun 1999, dalam waktu paling lama 14 hari setelah menerima
pemberitahuan putusan dapat mengajukan keberatan ke pengadilan negeri.
Pengadilan Negeri setelah menerima keberatan tersebut dalam waktu 14 hari
sejak menerima keberatan wajib memeriksa keberatan tersebut dan harus sudah
memberikan putusannya dalam waktu 30 hari sejak dimulainya pemeriksaan
keberatan. Apabila terdapat pihak yang tidak menerima putusan pengadilan

32
Lihat Pasal 35 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Lihat juga Pasal 4 Keputusan
Presiden Nomor 75 tahun 1999.
33
Lihat Pasal 4-16 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.
34
Lihat Pasal 17-24 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.
35
Lihat Pasal 25 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.
36
Lihat Pasal 25 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.
37
Lihat Pasal 35 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.
38
Lihat Pasal 35 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.
39
Lihat Pasal 38 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.
40
Lihat Pasal 39 dan Pasal 43 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.
41
Lihat Pasal 43 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.
84 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019

negeri, maka dalam waktu 14 hari dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah


Agung. Mahkamah Agung dalam waktu 30 hari sejak permohonan kasasi
diterima wajib telah memberikan putusan.
Belajar dari pengalaman selama 16 (enam belas) tahun penegakkan
hukum persaingan usaha di Indonesia, dirasakan terdapat beberapa hal yang
tidak tepat mengenai hukum acara yang berlaku sesuai dengan UU No. 5 tahun
1999, diantaranya:
1) KPPU merupakan lembaga superbody karena mempunyai kewenangan
menyelidiki, menuntut dan mengadili;
2) KPPU sangat sulit untuk mendapatkan bukti sebagaimana diamanatkan
dalam pasal 42 UU No. 5 tahun 1999, karena tidak adanya kewenangan
KPPU untuk dapat melakukan pemeriksaan terhadap tempat terkait dan
menyimpan dokumen terkait dengan pelanggaran Undang-Undang No.
5 Tahun 1999.
3) Tidak dikenalnya bukti tidak langsung dalam hukum acara yang berlaku
di Indonesia.
4) Pembayaran denda didasarkan pada kesukarelaan pelaku usaha, dan
tidak adanya kewenangan untuk menyita harta pelaku usaha sebagai
ganti dari denda.
5) Tidak jelasnya penerapan prinsip rule of reason dalam putusan perkara
persaingan usaha.
Hasil wawancara dengan penasehat hukum menyatakan bahwa kewenangan
KPPU perlu di reformasi. Sebaiknya kewenangan penyelidikan, penuntutan dan
peradilan dipisah karena berpotensi terjadi penyalahgunaan kekuasaan. 42
Penasehat hukum yang menjadi responden keberatan apabila KPPU mempunyai
kewenangan untuk mengeledah atau menyita alat bukti atai barang bukti karena
ini melanggar haknya pelaku usaha. Apalagi apabila hal tersebut tanpa ijin dari
pengadilan.43
Walaupun dalam hukum acara yang dikenal dan diatur dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia, tidak dikenal bukti tidak langsung, namun
dalam praktek KPPU dalam berbagai perkara mendasarkan putusannya pada
alat bukti tidak langsung, seperti Putusan KPPU No. 25/KPPU-I/2009 Tentang
Penerapan Harga Fuel Surcharge dalam Industri Jasa Penerbangan Domestik
Indonesia, Putusan KPPU Nomor 17/KPPU-I/2010 Terhadap Perseroan
Terbatas (PT.) Pfizer Indonesia dan Perseroan Terbatas (PT.) Dexa Medica atas
Dugaan Kartel Obat Anti Hipertensi dengan Kandungan Amlodipine Besylate44,
Pada Perkara Kartel SMS (Perkara No. 26/KPPU-L/2007), Putusan KPPU No.
24/KPPU-I/2009 Tentang Perkara Kartel Minyak Goreng dan Putusan No.
35/KPPU-I/2010 Tentang Perkara Donggi Senoro.
Pemakaian bukti tidak langsung ini telah menimbulkan perbedaan
pendapat yang tajam diantara ahli hukum persaingan usaha dengan KPPU.
Erman Rajagukguk dalam buku Butir-butir Hukum Ekonomi, menyatakan
bahwa bukti tidak langsung ini tidak dikenal di Indonesia. Oleh karena itu
untuk dapat digunakan sebagai alat bukti, perlu dimasukkan dalam perundang-

42
Wawancara dengan 5 (lima) penasehat hukum persaingan usaha, 16 Mei 2016.
43
Ibid.
44
Putusan KPPU, <www.kppu.goi.id>, diakses 21 Mei 2013.
Urgensi Amandemen UU Tentang Persaingan Usaha, Kurnia Toha 85

undangan di Indonesia terlebih dahulu.45 Sedangkan akademisi dalam penelitian


ini berpendapat kewenangan untuk menggeledah atau menyita dapat saja
diberikan asal atas persetujuan pengadilan terlebih dahulu. 46 Sebaliknya
Komisioner KPPU setuju agar KPPU diberi wewenang untuk menggeledah atau
menyita alat bukti/barang bukti untuk mempermudah menemukan bukti-bukti.47
Penggunaan Bukti tidak langsung apabila dikaji dalam peraturan hukum di
Indonesia, sesuai dalam Pasal 184 KUHAP yang dimaksud alat bukti adalah
keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan atau dokumen, petunjuk dan
keterangan terdakwa. Sedangkan KUH Acara Perdata (HIR) mengenal alat-alat
bukti yaitu: tulisan, bukti dengan saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah.
KPPU berpendapat bukti tidak langsung adalah sama dengan petunjuk. 48
Namun kalau kita pelajari Pasal 188 ayat 1 KUHAP, petunjuk adalah
perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang
satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan
bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Selanjutnya pasal
188 ayat 3 menyatakan penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk
dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh Hakim dengan arif lagi bijaksana.
Setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan
keseksamaan berdasarkan hati nuraninya. Dari rumusan Pasal 188 KUHAP ini,
maka jelas bahwa petunjuk adalah merupakan suatu kesimpulan Hakim yang
dilakukan dengan penuh ketelitian setelah mendengar keterangan saksi atau
keterangan terdakwa atau surat. Sedangkan menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Perdata (HIR). Penjelasan Pasal 173 Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Perdata (HIR) menjelaskan bahwa tidak ada rumusan apa yang
dimaksud dengan persangkaan. Berdasarkan uraian diatas, maka memasukkan
bukti tidak langsung sebagai sama dengan petunjuk kiranya tidak mempunyai
dasar hukum yang kuat. Hal ini didukung oleh pendapat responden dari
Akademisi, penasehat hukum dan pelaku usaha, yang menyatakan bahwa bukti
tidak langsung adalah tidak sama dengan petunjuk.49

d. Kedudukan KPPU dalam Sistem Hukum Indonesia


Setelah krisis ekonomi pada tahun 1998, banyak terjadi perubahan dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia, terjadi gelombang deregulasi, debirokratisasi.
Kekuasaan Negara yang tadinya terpusat mulai dilonggarkan dan ditangani oleh
lembaga independen yang di luar kendali pemerintah. 50 Lembaga-lembaga
tersebut ada yang bersifat utama, seperti Mahkamah Konstitusi dan Dewan
Perwakilan Daerah, dan ada juga yang bersifat penunjang seperti Komisi
Yudisial. Saat ini banyak sekali undang-undang baru yang juga mengatur
perlunya pembentukkan lembaga yang diberikan kewenangan untuk

45
Erman Rajagukguk, Butir-butir Hukum Ekonomi, (Jakarta: Lembaga Studi Hukum dan
Ekonomi, 2011), hal. 54-55.
46
Wawancara dengan 3 (tiga) akademis pengajar hukum persaingan usaha, 16 Mei
2016.
47
Wawancara dengan responden 3 (tiga) Komisioner, 16 Mei 2016.
48
Wawancara dengan pejabat KPPU, 16 Mei 2016.
49
Wawancara dengan responden, 16 Mei 2016.
50
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, Fungsi Campuran KPPU Sebagai Lembaga Quasi
Peradilan, makalah pada Seminar Penegakkan Ketentuan Hukum Persaingan Perihal Tender,
Jakarta, 2011,hal. 2.
86 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019

“menegakkan” undang-undang tersebut. Saat ini di Indonesia telah tercatat


lebih dari 80 lembaga negara bantu, beberapa lembaga tersebut dapat dilihat
dalam tabel.

Lembaga Non Struktural dan Dasar Hukum Pembentuknya51


No Nama Lembaga Non Dasar Hukum Pembentukan
Struktural
1 Komisi Hukum Nasional Keppres No. 15 Tahun 2000
tentang Komisi Hukum Nasional
2 Ombudsman Republik Undang-undang No. 37 Tahun
Indonesia 2008 tentang Ombudsman
Republik Indonesia
3 Komisi Nasional Hak Asasi • Undang-undang No. 39 Tahun
Manusia (Komnas HAM) 1999 tentang HAM
• Kepres No. 48 Tahun 2000
tentang Setjen Komisi HAM
4 Komisi Pemberantasan Undang-undang No. 30 Tahun
Tindak Pidana Korupsi 1999 jo No. 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Korupsi
5 Komisi Pengawas Persaingan • Undang-undang No. 5 Tahun
Usaha (KPPU) 1999 tentang Persaingan Usaha
• Keppres No.75 tahun 1999
tentang KPPU
6 Komisi Nasional Anti Perpres No. 65 tahun 2005
Kekerasan Terhadap tentang Komisi Nasional Anti
Perempuan Kekerasan Terhadap Perempuan
7 Komisi Banding Merek • PP 32 tahun 1995 tentang Komisi
Banding Merek
• PP No. 7 tahun 2005 tentang
OTK Komisi Banding Merek
8 Komisi Penanggulangan • Keprres No. 36 tahun 1994
AIDS Nasional tentang Komisi Penanggulangan
AIDS
• Perpres No. 75 tahun 2006
tentang Komisi Penanggulangan
AIDS Nasional
9 Komite Nasional Perpres No. 7 tahun 206 tentang
Pengendalian Flu Burung Komite Nasional Pengendalian
Flu Burung
10 Badan Rehabilitasi dan PERPU No. 2 tahun 2005
Rekonstruksi Wilayah dan
Kehidupan Masyarakat
Provinsi NAD dan Kep. Nias
Sumatera Utara

51
Diolah dari data Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, 2011.
Urgensi Amandemen UU Tentang Persaingan Usaha, Kurnia Toha 87

Lembaga-lembaga baru ini walaupun tugasnya membantu atau melayani


lembaga yang sudah ada, akan tetapi secara nasional, state auxiliary bodies
mempunyai kedudukan dan peranan penting dalam mewujudkan tujuan
nasional.
Salah satu lembaga negara bantu tersebut adalah Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU). KPPU dibentuk berdasarkan amanat Pasal 30 ayat
(1) Undang-undang No. 5 Tahun 1999 yang menyatakan "untuk mengawasi
pelaksanaan undang-undang ini dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha,
yang selanjutnya disebut Komisi". Kemudian dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-
undang No. 5 Tahun 1999 dinyatakan "pembentukan Komisi serta susunan
organisasi, tugas, dan fungsinya ditetapkan dengan Keputusan Presiden".
Dalam rangka mengawasi pelaksanaan UU No. 5 tahun 1999, Pemerintah telah
membentuk KPPU melalui Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999 tentang
Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
Selanjutnya Pasal 30 ayat (2) Undang-undang No. 5 Tahun 1999
menyatakan bahwa KPPU adalah suatu lembaga independen yang terlepas dari
pengaruh dan kekuasaan Pemerintah serta pihak lain. Independensi ini sangat
diperlukan mengingat KPPU juga bertugas untuk memutus perkara pelanggaran
terhadap UU No. 5 tahun 1999. Namun demikian bukan berarti KPPU dapat
melaksanakan tugas sesuai kehendaknya sendiri, karena KPPU mempunyai
kewajiban memberikan pertanggungjawabannya kepada Presiden.52
KPPU terdiri dari seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil
Ketua merangkap anggota, dan sekurang-kurangnya tujuh orang anggota, 53
sehingga total KPPU dipimpin sekurang-kurangnya oleh tujuh orang
Komisioner. Untuk pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi sendiri
dilakukan oleh Presiden dengan memperoleh persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR).54 Sebelum memberikan persetujuannya DPR dapat melakukan
fit and proper test terhadap calon anggota Komisi yang diajukan oleh
Presiden. 55 Sedangkan untuk pengangkatan ketua dilakukan oleh internal
anggota Komisi.56 KPPU mendapatkan biaya untuk pelaksanaan tugasnya yang
dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan atau sumber-
sumber lain yang diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan yang
berlaku.57 Pada awal pembentukannya pembiayaan kegiatan KPPU bergantung
pada jatah anggaran yang diberikan pada Departemen Perindustrian dan
Perdagangan.58
Dalam menjalankan tugasnya, KPPU di dukung oleh sebuah sekretariat
yang memiliki peranan yang juga tidak kalah penting dengan peran anggota
KPPU. 59 Hampir seluruh keputusan yang dibuat oleh Anggota KPPU dibuat
berdasarkan pertimbangan atas data-data yang diberikan oleh sekretariat KPPU.
Oleh Karena tugas KPPU bukanlah bersifat ad hoc, maka diperlukan sekretariat
yang bersifat tetap dan bukan ad hoc pula, sehingga dapat mendukung

52
Pasal 30 ayat (3) menyatakan bahwa “Komisi bertanggung jawab kepada Presiden.”
53
Ibid., Pasal 31 ayat (1).
54
Ibid., Pasal 31 ayat (2).
55
Prayoga, Ayudha D., et al. (b), op. cit., hal. 120.
56
Republik Indonesia (b), loc cit., Pasal 14 ayat (3).
57
Ibid., Pasal 37.
58
Johnny Ibrahim, Hukum Persaingan Usaha Filosofi, Teori dan Implikasi
Penerapannya di Indonesia, (Malang: Bayumedia, 2006), hal. 261.
59
Lubis, Andi Fahmi, et al., op. cit., hal. 313.
88 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019

manajemen dan teknis bagi Anggota Komisi, sehingga tugas dan fungsi dari
sekretariat merupakan elaborasi dari tugas, fungsi, dan kewenangan Anggota
Komisi.
Ketidak jelasan pengaturan KPPU sebagai lembaga negara dalam
Undang-Undang No.5 Tahun 1999, membawa implikasi terhadap status
kelembagaan KPPU yang belum terintegrasi dengan sistem kelembagaan dan
kepegawaian nasional, meskipun pembiayaan operasional KPPU bersumber
dari APBN. Sampai saat ini Anggota KPPU belum dianggap sebagai pejabat
negara dan bahkan tidak pernah disumpah atau dilantik oleh Presiden atau
Mahkamah Agung meskipun di dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1999
dikatakan dalam Pasal 31 ayat (2) bahwa: Anggota Komisi diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Bagaimana bisa terjadi Komisi yang mempunyai kewenangan untuk
menyatakan pelaku usaha bersalah melanggar suatu UU dan memberikan sanksi
kepada pelaku usaha yang dianggap bersalah melakukan praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat. Akibat ketidak jelasan kedudukan dari KPPU juga
membawa implikasi kepada sekretariat KPPU sebagai pendukung kelancaran
pelaksanaan tugas KPPU, dimana dalam Pasal 34 Undang-Undang No.5 tahun
1999 disebutkan bahwa susunan organisasi, tugas, dan fungsi sekretariat KPPU
diatur lebih lanjut dengan Keputusan Komisi. Akibatnya pengaturan tersebut
belum dapat terintegrasi dengan sistem kelembagaan dan kepegawaian
nasional. Sehingga sampai saat ini sekretariat KPPU tidak termasuk ke dalam
jabatan negeri, dan belum ada pengakuan/penyetaraan eselonering.
Pada saat ini keberadaan Sekretariat KPPU masih terdapat beberapa
permasalahan, diantaranya; Pertama, tidak jelasnya status pegawai KPPU.
Kedua, tiada jenjang karir yang pasti bagi para pegawai KPPU. Ketiga, beban
kerja yang semakin tinggi. Permasalahan-permasalahan tersebut kemudian
membawa beberapa implikasi yang sudah dan mungkin akan muncul,
diantaranya: Ketidak jelasan status dan level Sekretariat KPPU sangat
mempengaruhi status pegawai KPPU yang melaksanakan upaya penegakan
hukum. Sampai saat ini status pegawai Sekretariat KPPU bukan PNS. Kondisi
ini sangat tidak tepat, mengingat pegawai ini yang melakukan penyelidikan dan
memeriksa suatu laporan terhadap pelanggaran UU No. 5 tahun 1999. Di KPPU
hampir seluruh pegawai yang menjabat struktural adalah Pegawai yang
berstatus “honorer” di APBN. Status pegawai honorer ini tentu saja
menimbulkan keresahan dan sangat berpengaruh terhadap kinerja.
Permasalahan lainnya adalah berdasarkan Keppres No. 75 Tahun 1999
Komisi telah diberikan amanat untuk membentuk Kantor Perwakilan Daerah di
setiap propinsi. Sampai saat ini yang terbentuk baru 5 (lima) KPD. Penambahan
KPD berikutnya menjadi sulit terwujud karena masih menghadapi kendala
kelembagaan. Semua responden baik dari akademisi, penasehat hukum, pelaku
usaha dan komisioner KPPU setuju agar permasalahan kelembagaan dan status
kepegawaian karyawan KPPU jelas, sehingga dapat menjalankan tugas secara
lebih baik lagi.60

60
Hasil wawancara dengan para responden, 21 Juli 2016.
Urgensi Amandemen UU Tentang Persaingan Usaha, Kurnia Toha 89

V. PENUTUP
Pentingnya peranan Hukum Persaingan Usaha dalam perkembangan
perekonomian kita tidak diragukan lagi. UU No. 5 tahun 1999 juga semakin
dipahami baik oleh akademisi, pelaku usaha, parktisi maupun hakim. Namun
belajar dari penegakkan hukum persaingan usaha selama 13 (tiga belas) tahun
ini, semakin membuktikan bahwa terdapat permasalahan-permasalahan yang
disebabkan karena ketidak jelasan dan ketidak lengkapan dari UU No. 5 Tahun
1999 itu sendiri. Kekurangan ini disebabkan pembuatan UU ini dilakukan
secara cepat dan masih minimnya ahli hukum persaingan usaha di Indonesia
pada waktu itu. Apabila kita teliti secara mendalam, maka sebenarnya
diperlukan penggantian UU karena sejauh pengetahuan penulis, hanya Hukum
Persaingan Usaha Indonesia yang didasarkan pada UU No. 5 tahun 1999 yang
menyatakan semua perbuatan dan kegiatan yang menyebabkan terjadinya
praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat sebagai perbuatan yang
dapat dikenakan sanksi administrative sekaligus juga dapat diperiksa
berdasarkan tindak pidana oleh Kepolisian Republik Indonesia.
Namun demikian kalau melakukan penggantian UU No. 5 tahun 1999,
dengan UU yang baru mungkin akan memakan waktu yang lama, maka
mengingat pentingnya peran UU ini, apalagi kita pada tahun 2015 akan
melaksanakan pasar tunggal Asean, setidaknya kita dapat melakukan perubahan
beberapa pasal yang sangat penting dan perlu segera dilakukan perubahan,
diantaranya menyangkut subjek dari UU No. 5 tahun 1999, yaitu dengan
memasukkan pelaku usaha di luar negeri yang menimbulkan dampak pada
perekonomian Indonesia sebagai subjek hukum persaingan usaha Indonesia.
Persoalan lain yang juga perlu dilakukan perubahan adalah merubah post
merger notifikasi menjadi pre-merger notifikasi untuk mencegah terjadinya
kerugian bagi pelaku usaha, masyarakat maupun Negara. Perubahan juga perlu
dilakukan mengenai hukum acara, baik mengenai proses beracara maupun
menyangkut alat bukti dalam hukum acara persaingan usaha. Hal lain yang juga
tidak kalah pentingnya adalah mengenai status KPPU dalam sistim
ketatanegaraan kita, serta sekretariat sebagai pendukung pelaksanaan tugas-
tugas KPPU.

DAFTAR PUSTAKA

Ahn, Yong Seok dan Youngjin Jung, “Merger Control in Korea”, The Asia
Pacific Antitrust Review, (2004).
Andrew Dunnet, Understanding Market: An Introduction to Microeconomics,
3rd Edition, (Indiana: Longman, 1998).
Areeda, Phillip, Antitrust Analysis, third edition, 1981
Asshiddiqie, Prof. Dr. Jimly, Fungsi Campuran KPPU Sebagai Lembaga Quasi
Peradilan, makalah pada Seminar Penegakkan Ketentuan Hukum
Persaingan Perihal Tender, Jakarta, 2011.
Basri, Faisal, “Perekonomian Indonesia: Tantangan dan Harapan Bagi
Kebangkitan Ekonomi Indonesia,” (Jakarta: Erlangga,2002).
Brock, James W., Antitrust, The “Relevant Market,” and The Vietnamization of
American Merger Policy,” The Antitrust Buletin, Winter 2001, (2001).
90 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019

Corones , S.G., Competition Law In Australia, fourth Edition, 2007.


Ezaki, Shigeyoshi dan Vassili Moussis, “Japan : Merger Control”, The Asia-
Pacific Antitrust Review, (2010).
Greco, Anthony J., “Premerger Notification In Canada: How Well Is It
Working?”, Commentaries on Law & Economics, Vol. 2 (2006).
Ibrahim, Johnny Hukum Persaingan Usaha Filosofi, Teori dan Implikasi
Penerapannya di Indonesia, (Malang: Bayumedia, 2006).
Lubis, Andi Fahmi et. al., Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks,
(Jakarta: Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ)
GmbH, Oktober 2009).

Middleton, Kirsty, UK & EC Competition Documents 5th Edition, (New York:


Oxford University Press, 2007).
Morgan , Thomas D., Cases and Materials on Modern Antitrust Law and Its
Origins, second ed. 2001.
Rajagukguk, Erman, Butir-butir Hukum Ekonomi, (Jakarta: Lembaga Studi
Hukum dan Ekonomi, 2011).
Saputro, Perdana A., Hukum Meger Indonesia dalam Konteks Hukum
Persaingan Usaha, (Tangerang: CR Publishing, 2012).
Shenefield, John H. dan Irwin M. Stelzer, The Antitrust Laws A Primer (Fourth
Edition), (Washington: The AEI Press, 2001).
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu
Tinjauan Singkat, 2006.
Soekanto, Soerjono ,Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta UI Press, Cet. 3,
2010.
Sullivan, Lawrence Anthoni, Antitrust< West Publishing, 1977.
Thailand Competition Act, 1999.
Zakir, T.M., Derajat Urgensi Regulasi Merger: Mencegah Pengaturan yang
Berlebihan dalam Efektifitas Regulasi Meger dan Akuisisi, (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2010).

Anda mungkin juga menyukai