Anda di halaman 1dari 95

Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan

Usaha di Indonesia

Pengarusutamaan
Kebijakan Persaingan
Usaha di Indonesia
Laporan Akhir

Dionisius Narjoko
Titik Anas

Daftar Isi
Ringkasan Eksekutif2
1. Pendahuluhan..12
2. Kebijakan Persaingan dan Daya Saing..14
3. Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan : Kerangka Pikir..17
3.1 Faktor Institusi dalam Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan21
3.2 Strategi Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan: Pembelajaran dari
Pengalaman Negara Lain...23
4. Kebijakan dan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan di Indonesia.28
4.1 Perkembangan Kebijakan Persaingan di Indonesia.28
4.2 Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan di Indonesia: Situasi Saat Ini..30
5. Rekomendasi untuk Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan di Indonesia37
Daftar Pustaka..44
Lampiran 1: Beberapa Studi Kasus Persaingan di Indonesia..48
Lampiran 2: Rekomendsi OECD untuk Keterkaitan Antara KPPU dengan Kementrian
Koordinator Bidang Perekonomian58
Lampiran 3: Analisis Sektoral..60

Ringkasan Eksekutif
Pengarusutamaan kebijakan persaingan menjadi penting untuk menjamin bahwa suatu
kebijakan ekonomi telah mempertimbangkan dan mengintegrasikan prinsip-prinsip
persaingan ke dalam kebijakan ekonomi tersebut. Diterapkannya prinsip-prinsip
persaingan akan mengarah pada penciptaan daya saing perekonomian yang kuat,
melalui terjadinya efisiensi secara maksimal dan adanya contestability pada mekanisme
persaingan. Pengintegrasian ini hendaknya dilakukan secara sistematis dan
menerapkan suatu strategi kebijakan yang jelas dan terarah serta mencakup berbagai
topik persaingan dan sektor perekonomian secara menyeluruh (coherent).
Pengarusutamaan menjadi penting karena prinsip-prinsip utama kebijakan persaingan
sering tidak diperhatikan dalam penyusunan undang-undang atau peraturan
pemerintah. Pada kenyataannya, seperti yang masih banyak terjadi di Indonesia,
substansi berbagai undang-undang atau peraturan pemerintah justru menghambat
terjadinya persaingan yang kemudian menghambat peningkatan daya saing.
Pengarusutamaan kebijakan persaingan selayaknya terjadi pada setiap tingkatan
pemerintahan dan disetiap institusi/lembaga yang terlibat dalam penyusunan
kebijakan pembangunan. Semua ini tentunya memerlukan koordinasi yang efisien dan
efektif dari semua unsur lembaga dan kelembagaan yang terkait, sehingga diperlukan
adanya koordinasi yang tertata dengan rapi (concerted actions) yang menghasilkan aksi
kebijakan yang harmonis. Terdapat beberapa kebijakan utama yang sangat berkaitan
dengan kebijakan persaingan. Secara umum, kebijakan-kebijakan tersebut mencakup
kebijakan di bidang perdagangan, investasi, badan usaha milik pemerintah (BUMN dan
BUMD), dan usaha kecil dan menengah (UKM).
Merupakan satu bagian penting dari pengarusutamaan kebijakan persaingan adalah
advokasi dan pendidikan publik/masyarakat, mengenai pentingnya penerapan
persaingan bagi kesejahteraan masyarakat. Kegiatan advokasi menjadi penting
mengingat pengarusutamaan adalah suatu proses dan masyarakat adalah salah satu
kelompok pemangku kepentingan utama dalam proses ini.
Sukses atau tidaknya pengarusutamaan kebijakan persaingan sangat tergantung pada
kelembagaan (institution). Beberapa faktor yang terkait adalah (i) Struktur
kelembagaan, (ii) komitmen ekonomi politik, dan (iii) partisipasi pemangku
kepentingan. Struktur kelembagaan, hubungan antara lembaga yang berwenang atas
persaingan dengan lembaga lainnya, dan penetapan institusi publik mana yang terlibat
dan berwenang mengatur persaingan merupakan bagian dari struktur kelembagaan.
Hal ini akan menentukan pusat kewenangan dalam implementasi kebijakan persaingan.
Kinerja institusi-institusi kebijkan persaingan dalam pengarusutamaan juga ditentukan
oleh kekuatan politik dalam kepemimpinannya.

Pengalaman negara lain menunjukkan bahwa penetapan agenda dalam strategi


pengarusutamaan kebijakan persaingan menjadi penting. Selain itu, adanya proses
peninjauan regulasi (regulatory review) dan mengintegrasikan proses ini ke dalam
tahapan pembuatan kebijakan terbukti mampu meningkatkan penerapan prinsipprinsip kebijakan persaingan dalam kebijakan pembangunan. Pengarusutamaan
menjadi lebih efisien melalui proses tinjauan regulasi karena berbagai aspek regulasi
ditinjau secara mendalam. Proses ini mengurangi ruang kesalahan implementasi dari
suatu regulasi karena proses ini dilakukan sebelum regulasi tersebut diterapkan.
Pengarusutamaan kebijakan persaingan di Indonesia sangat terkait dengan tugas
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Dalam hal ini, KPPU yang diberikan
wewenang oleh UU No. 5/1999 untuk memberikan saran terkait kemungkinan
terjadinya pelanggaran hukum persaingan. Namun, karena hukum persaingan
merupakan salah satu elemen dari kebijakan persaingan, maka pengarusutamaan
kebijakan persaingan yang efektif perlu melibatkan institusi lainnya. Pada
kenyataannya, koordinasi kelembagaan untuk pengarusutamaan ini belum berjalan
secara efektif. Pertama, penerapan prinsip persaingan belum diintegrasikan secara
meluas di dalam rencana pembangunan nasional, terutama di dalam rencana
pembangunan jangka menengah. Kedua, seperti yang sering terjadi sampai saat ini,
masih banyak terdapat undang-undang dan peraturan pemerintah yang menjadi
sumber hambatan persaingan yang sehat.
Efektifitas pengarusutamaan kebijakan persaingan di Indonesia dengan demikian perlu
ditingkatkan. Studi ini mengedepankan beberapa rekomendasi kebijakan yang dapat
dilakukan untuk mencapai tujuan ini, yaitu:
(1) Menciptakan mekanisme kelembagaan untuk meningkatkan derajat kewenangan
institusi yang berperan dalam implementasi kebijakan persaingan
Rekomendasi ini didekati dengan tiga rekomendasi yang lebih rinci menurut jangka
waktu penerapannya, yaitu:
(i) Amandemen UU No. 5/1999;
(ii) Mengintegrasikan kebijakan persaingan dengan rencana pembangunan nasional;
(iii) Mengenalkan dan menerapkan proses tinjauan regulasi (regulatory review).
(2) Memprioritaskan agenda pengarusutamaan kebijakan persaingan
(3) Menindaklanjuti implementasi kebijakan persaingan dengan baik
(4) Meningkatkan jangkauan dan partisipasi KPPU dalam proses kebijakan di daerah
(5) Meningkatkan kapasitas KPPU untuk meningkatkan kredibilitasnya dalam
menangani kasus-kasus persaingan
(6) Memperluas cakupan sektor dan/atau isu persaingan dalam pengarusutamaan
kebijakan persaingan

(7) Mendorong partisipasi konsumen dalam proses pengarusutamaan kebijakan


persaingan
Laporan ini menggarisbawahi pentingnya pengarusutamaan kebijakan persaingan
dengan memberikan ilustrasi tentang isu persaingan yang masih ataupun dapat terjadi
di beberapa sektor jasa (jasa telekomunikasi, jasa pelabuhan dan pelayaran, jasa
keuangan, dan jasa kesehatan).
Terdapat dua alasan mengapa studi ini memfokuskan pada sektor jasa. Pertama, sektor
jasa sangat berperan sebagai penyedia input produksi, baik dalam produksi barang
ataupun jasa lainnya. Kedua, pencapaian kinerja industri yang efisien pada sektor jasa
sangat tergantung pada apakah regulasi yang ada telah menjamin terjadinya efisiensi
ini. Ini kerap dikaitkan dengan apa yang dinamakan isu-isu dalam negeri (behind
border issues).
Jasa Telekomunikasi
Industri jasa telekomunikasi berkembang pesat dalam satu dekade terakhir. Hal ini
dapat dilihat terutama pada pertumbuhan yang sangat tinggi di segmen pasar seluler,
yang menghasilkan tingkat penetrasi lebih dari 100 persen di awal tahun 2000an.
Investasi yang terjadi di sektor ini pun juga tumbuh dengan pesat walaupun trennya
mengalami penurunan semenjak tahun 2008/09.
Terdapat paling tidak dua isu persaingan di sektor jasa telekomunikasi. Pertama, terkait
dengan keberadaan BRTI, terdapat isu independensi. Ini terjadi karena BRTI berada
dalam struktur organisasi pemerintah. Idealnya, badan regulasi yang indepeden
termasuk di dalamnya adalah terbebasnya badan regulator tesebut dari berbagai
kepentingan, termasuk kepentingan pemerintah.
Kedua, pasar jasa telekomunikasi di Indonesia masih didominasi oleh PT Telkom yang
sebelumnya merupakan salah satu BUMN pemegang hak monopoli penyelenggaraan
jasa telekomunikasi. PT Telkom memiliki pangsa pasar sambungan telepon tidak
bergerak (fixed-line) sebesar 60 persen dan pangsa pasar sambungan seluler (mobile)
lebih dari 45 persen. Demikian pula yang terjadi dalam hal penyediaan jasa internet dan
sambungan broadband. Kenyataan bahwa kepemilikan jaringan fixed-line didominasi
oleh incumbent (PT Telkom) membuka kesempatan untuk terjadinya dominasi
penyelenggara jasa broadband di masa depan oleh incumbent tersebut.
Jasa Pelabuhan dan Pelayaran
Transportasi laut menjadi tumpuan logistik sekitar 90 persen dari total perdagangan
Indonesia baik dalam ataupun luar negeri. Namun demikian, kinerja transportasi laut
Indonesia masih belum efisien yang ditunjukan oleh harga relatif lebih tinggi dan waktu
lebih lama dibandingkan di negara lain. Efisiensi transportasi laut ditentukan oleh
efisiensi pengelolaan pelabuhan dan usaha penunjangnya serta efisiensi usaha
pelayaran. Di Indonesia, pengelolaan pelabuhan masih belum efisien, yang dicerminkan
dari masih tingginya Terminal Handling Charge (THC) dan lamanya dwelling time.
Selama ini, kinerja pelabuhan di Indonesia tidak terlepas dari peranan PT Pelabuhan
Indonesia (PT Pelindo) yang selama ini merupakan satu-satunya pemegang konsesi
pengelolaan pelabuhan di Indonesia.
4

Pada tahun 2008, Pemerintah melakukan reformasi bidang pelayaran dengan


mengeluarkan Undang-Undang No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran. Dengan adanya
Undang-Undang yang baru ini, swasta dimungkinkan untuk mengelola pelabuhan.
Disamping itu, secara institusi, terjadi perubahan paradigma, dimana Undang-Undang
mensyaratkan adanya pemisahan kewenangan antara pemilik pelabuhan dan operator
pelabuhan. Disamping itu, penetapan tarif tidak dapat dilakukan sepihak oleh operator
tanpa konsultasi dengan stakeholers. Namun demikian, implementasi Undang Undang
ini masih belum tuntas. Perhitungan konsesi yang dimiliki oleh Pelindo belum selesai
yang berdampak pada keterbatasan ruang gerak untuk perluasan pelabuhan di sekitar
lahan yang saat ini dikelola oleh Pelindo.
Dalam bidang usaha pelayaran, Undang- Undang 17 2008 tidak memberikan
perubahaan yang mendasar. Indonesia masih menerapkan asas cabotage, sehingga
hanya perusahaan pelayaran berbendera nasional yang dapat melayani transportasi
dalam negeri. Aturan batasan tentang kepemilikan asing dalam perusahaan pelayaran
berbendera Indonesia juga tidak ada perubahan. Kapal-kapal berbendera Indonesia
masih mendapatkan proteksi maksimal. Disamping itu, dalam beberapa tahun terakhir
ini, ada beberapa kasus persaingan usaha terkait penetapan tarif oleh perusahaan
pelayaran.
Jasa Keuangan
Sektor perbankan memainkan peranan yang sangat penting dalam perekonomian suatu
negara, termasuk di Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Sektor Keuangan,
Real Estat dan Jasa Perusahaan secara bersama-sama menyumbang sekitar 7,5 persen
terhadap PDB Indonesia di tahun 2013.
Mengingat peran sektor perbankan yang sangat penting maka diperlukan upaya untuk
membuat fungsi intermediasi sektor bersangkutan berjalan sebaik dan seefisien
mungkin tetapi pada saat yang sama tetap menjaga stabilitasnya. Namun demikian,
regulasi sektor perbankan yang terjadi setelah Krisis Finansial Asia telah membuat
bank sangat berhati-hati tetapi tidak efisien dan mendorong terciptanya oligopoli di
sektor bersangkutan.
Hal ini tercermin salah satunya dari keberadaan net interest margin (NIM) di sektor
perbankan Indonesia relatif lebih tinggi daripada di negara-negara Asia lainnya. Selain
itu, struktur pasar oligopoli juga tercermin dari besar rasio konsentrasi (CR4) dari
empat bank utama, yaitu Bank Mandiri, BNI, BRI dan BCA. Rasio konsentrasi yang
dihitung berdasarkan jumlah kredit yang dikucurkan oleh bank-bank tersebut pada
tahun 2012 berkisar sekitar 42,2 persen dari semua kredit yang dikucurkan oleh sektor
perbankan.
Sektor jasa asuransi di Indonesia masih terbilang kecil bila dibandingkan dengan
negara-negara yang lebih maju. Namun demikian, sektor ini merupakan sektor yang
potensi pertumbuhannya tinggi di masa datang, baik asuransi jiwa maupun asuransi
umum. Potensi permintaan yang besar terhadap asuransi jiwa dapat dilihat dari jumlah
penduduk Indonesia yang besar dengan proporsi penduduk usia muda yang relatif
tinggi serta makin meningkatnya kelompok menengah di negeri ini. Sedangkan potensi
5

asuransi umum dapat dilihat dari masih besarnya defisit transaksi neraca pembayaran
Indonesia untuk sektor asuransi sementara transaksi bisnis terus meningkat.
Di Indonesia, industri asuransi cenderung didominasi oleh beberapa perusahaan besar.
Pada tahun 2011, empat perusahaan asuransi jiwa dengan pangsa pasar terbesar adalah
Prudential (25 persen), AXA Mandiri (14,1 persen), Sinarmas life (6,2 persen) dan
Allianz Life (6,1 persen). Keempat perusahaan terbesar tersebut secara bersama-sama
menguasai 51,4 persen dari total penjualan di pasar asuransi jiwa Indonesia. Masih
berdasarkan laporan Towers and Watson, 10 perusahaan asuransi jiwa terbesar
menguasai 76.4 persen pangsa pasar asuransi jiwa di Indonesia. Selain pasar yang
cenderung terkonsentrasi, KPPU juga telah menangani beberapa kasus persaingan yang
terjadi dalam sektor ini, dua diantaranya adalah kasus exclusive dealing.
Jasa Kesehatan
Sektor kesehatan Indonesia diperkirakan akan tumbuh pesat dalam beberapa tahun
mendatang. Ini antara lain karena sektor ini masih kecil bila dibandingkan dengan
sektor-sektor jasa lainnya. Selain itu, pertumbuhan penduduk Indonesia yang saat ini
didominasi oleh penduduk usia muda dan juga pertumbuhan pendapatan per kapita
memberikan potensi pertumbuhan yang besar bagi penyedia jasa kesehatan di masa
mendatang.
Jasa kesehatan yang diberikan oleh rumah sakit bersifat credence good, yang artinya
terdapat kesulitan untuk mengetahui atau menilai kualitasnya baik sebelum maupun
sesudah barang atau jasa tersebut dikonsumsi. Oleh karena itu, persaingan jasa rumah
sakit perlu memperhatikan hal-hal berikut.
Pertama, kompetisi di sektor ini diarahkan pada persaingan mutu layanan dan bukan
pada persaingan harga. Di satu sisi, persaingan mutu layanan rumah sakit bisa
mendorong peningkatan mutu layanan jasa rumah sakit. Di sisi lain, persaingan harga
belum tentu membawa keuntungan yang dinginkan, yang disebabkan oleh fenomena
race-to-the bottom, dimana rumah sakit-rumah sakit berlomba-lomba untuk
menurunkan harga dengan mengorbankan mutu layanan.
Kedua, peranan aktif pemerintah untuk memastikan layanan jasa rumah sakit yang
berkualitas dan dengan harga yang wajar tetap dibutuhkan, bahkan jika persaingan
mutu layanan jasa rumah sakit telah berlangsung.
Sementara itu, industri farmasi, walaupun tidak digolongkan sebagai industri jasa,
memiliki keterkaitan yang tinggi dengan industri jasa layanan kesehatan. Isu penting
menyangkut persaingan di sektor farmasi adalah integrasi vertikal, yang biasanya
terjadi antara perusahaan farmasi dan distributor. Dalam hal ini terdapat dua jenis
integrasi vertikal. Pertama, perusahaan farmasi membuat kontrak jangka panjang
dengan distributor. Kedua, perusahaan membentuk anak perusahaan yang menjalankan
bisnis distribusi barang untuk mengurangi kompetisi antar distributor.

1. Pendahuluan
Implementasi kebijakan persaingan yang efektif berperan positif dalam pembangunan
ekonomi suatu negara. Persaingan yang terjadi tanpa kendala akan menghasilkan
alokasi sumberdaya yang efisien dan menguntungkan bagi produsen maupun
konsumen. Namun, dalam kenyataannya, kebijakan persaingan tidak selalu secara
efektif dapat diterapkan dengan baik. Keberadaan regulasi seringkali menghambat
terjadinya persaingan. Tujuan regulasi tidak selalu sesuai dengan tujuan akhir dari
kebijakan persaingan.
Studi ini membahas pengarusutamaan kebijakan persaingan ke dalam kerangka tujuan
kebijakan pembangunan ekonomi di Indonesia.
Pengarusutamaan menjadi penting untuk menjamin bahwa suatu kebijakan ekonomi
telah mempertimbangkan dan mengintegrasikan prinsip-prinsip persaingan yang
berorientasi pada penciptaan efisiensi ke dalam berbagai kebijakan ekonomi yang ada.
Diterapkannya prinsip-prinsip tersebut akan mengarah pada penciptaan daya saing
yang kuat. Pengarusutamaan tersebut hendaknya dilakukan secara sistematis dan
menerapkan suatu strategi kebijakan yang jelas dan terarah, serta mencakup berbagai
topik persaingan dan sektor perekonomian secara menyeluruh (coherent).
Studi ini menawarkan beberapa rekomendasi yang dapat digunakan untuk
meningkatkan pengarusutamaan kebijakan persaingan di Indonesia, yaitu
1. Menciptakan mekanisme kelembagaan untuk meningkatkan derajat kewenangan
institusi yang berperan dalam implementasi kebijakan persaingan
Rekomendasi ini didekati dengan tiga rekomendasi yang lebih rinci menurut jangka
waktu penerapannya, yang disesuaikan dengan situasi dan kerangka kebijakan yang
ada saat ini, yaitu:
(i) Amandemen UU No. 5/1999;
(ii) Mengintegrasikan kebijakan persaingan dengan rencana pembangunan
nasional;

(iii)

Mengenalkan dan menerapkan proses tinjauan regulasi (regulatory


review).

2. Memprioritaskan agenda pengarusutamaan kebijakan persaingan.


3. Menindaklanjuti implementasi kebijakan persaingan dengan baik.
4. Meningkatkan jangkauan dan partisipasi KPPU dalam proses kebijakan di
daerah.
5. Meningkatkan kapasitas KPPU untuk meningkatkan kredibilitasnya dalam
menangani kasus-kasus persaingan.
6. Memperluas cakupan sektor dan/atau isu persaingan dalam pengarusutamaan
kebijakan persaingan.
7. Mendorong partisipasi konsumen dalam proses pengarusutamaan kebijakan
persaingan.
Rekomendasi-rekomendasi diatas dijabarkan dengan lebih rinci di dalam Bab 5, yang
didasari pada pengertian konseptual tentang manfaat penerapan prinsip-prinsip
persaingan, pembelajaran pengalaman negara-negara lain, serta berbagai tantangan
dan kesempatan menurut situasi saat ini, yang kesemuanya ini dipaparkan dalam babbab lain dalam studi ini.

2. Kebijakan
Saing

Persaingan

dan

Daya

Mengintegrasikan kebijakan persaingan ke dalam semua kebijakan pemerintah diyakini


mampu memberikan dampak positif dalam upaya peningkatan daya saing
perekonomian suatu negara. Pernyataan ini didasarkan pada prediksi teori tentang
dampak persaingan terhadap kinerja pasar.
Kekuatan pasar dalam persaingan tanpa kendala akan mendorong produsen untuk
mencari cara yang paling murah dan berinovasi dalam memenuhi kebutuhan
konsumen. Produsen akan terdorong untuk mencari kombinasi pemakaian input
produksi yang menghasilkan biaya yang paling rendah. Sementara itu, konsumen akan
diuntungkan dari proses ini dalam bentuk harga barang yang mendekati biaya produksi
yang paling rendah. Persaingan tanpa kendala akan menghasilkan output yang efisien,
yang menguntungkan perekonomian pada dua level: makro dan mikro. Pada level
makro, kekuatan persaingan akan memberikan alokasi penggunaan sumber daya
produksi yang efisien (allocative efficiency) dan pada level mikro, kekuatan persaingan
akan menghasilkan sistem produksi yang menghasilkan keluaran (output) maksimal
dengan biaya terendah (productive efficiency).
Efisiensi yang terjadi dalam proses diatas bersifat statis (static efficiency). Dalam
teorinya, efisiensi dapat juga bersifat dinamis (dynamic efficiency), yang menekankan
proses interaksi antar pelaku. Penekanan terletak pada terdapat atau tidaknya kendala
bagi produsen untuk masuk dan keluar pasar. Dengan demikian, persaingan dalam
pengertian yang dinamis mengedepankan esensi contestability, yaitu keadaan yang
mengijinkan terjadinya proses dimana produsen yang lebih efisien tidak terkendala
untuk masuk dan produsen yang tidak efisien dapat juga keluar dari pasar secara alami.
Manfaat dari persaingan yang bebas kendala adalah daya saing. Efisiensi sebagai hasil
akhir mencerminkan situasi dimana produsen akan mampu bersaing dengan produsen
lainnya, baik di pasar domestik maupun internasional (pasar ekspor). Dalam kerangka
dinamis, daya saing meningkat karena esensi contestability yang mengijinkan keluar9

masuknya produsen akan mendorong penggunaan teknologi yang lebih maju (termasuk
peningkatan kemampuan manajerial) oleh para pelaku usaha. Inovasi akan terjamin
dalam persaingan dinamis yang bebas kendala ini.
Gambaran diatas adalah kondisi ideal. Daya saing akan maksimal jika persaingan terjadi
tanpa kendala. Namun demikian, kondisi ideal sering tidak terjadi dalam praktiknya.
Terdapat dua hal utama yang menurut teorinya menyebabkan hal ini, yaitu kegagalan
pasar (market failure) dan tujuan yang bukan efisiensi (Dee 2010). Kegagalan pasar
adalah salah satu keadaan yang mengakibatkan tidak maksimalnya efisiensi jika
persaingan diijinkan untuk terjadi sebagaimana mestinya (tanpa kendala). Kegagalan
pasar sering terjadi di sektor infrastruktur yang memiliki karakteristik pasar yang
berbentuk monopoli alami, yang menurut teorinya hanya akan ada satu produsen yang
mampu menawarkan barang/jasa dengan harga yang paling murah. Dalam struktur
pasar ini, mengijinkan lebih dari satu produsen atau dengan kata lain, memunculkan
pesaing justru akan menghasilkan harga dan output yang tidak efisien. Namun, jika
hanya satu produsen saja yang diijinkan beroperasi tanpa pesaing, maka produsen
tersebut dapat mendapat insentif untuk mengeksploitasi posisi dominan/monopolinya.
Situasi lain yang juga berujung pada tidak tercapainya efisiensi adalah ketika tujuan
ekonomi bukan satu-satunya tujuan yang hendak dicapai pemerintah. Tujuan yang ingin
dicapai biasanya adalah tujuan yang bersifat pemerataan atau perlindungan konsumen.
Pemerintah dapat melakukan intervensi dengan, misalnya, menetapkan harga tertentu
yang terjangkau bagi masyarakat luas dalam sektor jasa kesehatan.
Kemungkinan tidak tercapainya tujuan efisiensi persaingan memberikan alasan akan
adanya kebijakan persaingan, untuk menjamin tercapainya tujuan efisiensi.
Kebijakan persaingan dapat didefinisikan sebagai suatu proses dimana pemerintah
mendorong terjadinya persaingan dan menciptakan lingkungan yang sesuai untuk
persaingan dengan cara menerapkan larangan atas praktik-praktik bisnis yang
menghambat persaingan (OECD 2011). Kebijakan persaingan ditujukan untuk
peningkatan daya saing dan terjadinya inovasi dengan implikasi pada harga,
kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi.

10

Kebijakan persaingan adalah konsep yang lebih luas daripada hukum persaingan
(competition law). Hukum persaingan merupakan elemen utama dalam implementasi
kebijakan. Mengingat keragaman kegiatan ekonomi yang pengaturannya melibatkan
berbagai regulasi (undang-undang dan peraturan pemerintah), implementasi hukum
persaingan juga akan terkait dengan implementasi berbagai regulasi tersebut.
Layak untuk dikemukakan disini satu alasan lain terkait dengan pentingnya kebijakan
persaingan, yaitu untuk menjamin terwujudnya manfaat dari reformasi kebijakan
ekonomi yang banyak dilakukan oleh banyak negara dalam dua atau tiga dekade
terakhir ini. Banyak negara, terutama negara-negara berkembang, melaksanakan
program reformasi kebijakan ekonomi mikro dengan menyederhanakan intervensi
pemerintah. Ini termasuk kebijakan mengurangi hambatan perdagangan internasional
(penurunan tarif dan non-tarif) dan hambatan arus investasi asing, pengurangan
subsidi yang diberikan kepada produsen domestik, dan privatisasi badan usaha milik
pemerintah/negara (BUMN). Mendasari reformasi kebijakan adalah pengertian bahwa
mekanisme pasar memberikan manfaat yang lebih maksimal untuk pembangunan
ekonomi. Namun semua manfaat tersebut akan sulit direalisasikan jika terdapat
kendala yang menghambat persaingan (UNCTAD 2004).
Ulasan diatas secara singkat mengatakan bahwa kebijakan persaingan merupakan
suatu konsekuensi langsung dari reformasi kebijakan yang mengarah pada peningkatan
daya saing (peningkatan efisiensi dan terjadinya contestability). Dalam literatur
akademis, terdapat bukti dari pengalaman berbagai negara bahwa implementasi
kebijakan persaingan berdampak positif pada pembangunan, termasuk di dalamnya
mendorong inovasi.1

Dutz dan Hayri (2002) misalnya menemukan korelasi (kaitan) yang sangat kuat antara pertumbuhan
ekonomi dalam jangka panjang dengan pelaksanaan hukum dan kebijakan persaingan yang efektif.

11

3. Pengarusutamaan Kebijakan
Persaingan : Kerangka Pikir
Pengarusutamaan kebijakan persaingan, dalam pengertiannya yang paling umum, dapat
didefinisikan sebagai suatu usaha agar proses pengambilan kebijakan ekonomi selalu
mempertimbangkan prinsip-prinsip utama persaingan. Diterapkannya prinsip-prinsip
ini pada suatu kebijakan ekonomi akan mengarah pada penciptaan daya saing yang
kuat.
Pengarusutamaan membentuk keadaan dimana kebijakan yang diambil mengadopsi
prinsip-prinsip persaingan tanpa kendala yang menjamin terjadinya efisiensi secara
maksimal dan adanya contestability pada mekanisme persaingan. Pengintegrasian ini
hendaknya dilakukan secara sistematis dan menerapkan suatu strategi kebijakan yang
jelas dan terarah serta mencakup berbagai topik persaingan dan sektor perekonomian
secara menyeluruh (coherent).
Pengarusutamaan penting karena prinsip-prinsip utama kebijakan persaingan sering
tidak diperhatikan dalam penyusunan undang-undang atau peraturan pemerintah. Pada
kenyataannya, substansi dari berbagai undang-undang atau peraturan pemerintah
justru menghambat terjadinya persaingan yang dapat meningkatkan daya saing.
Berbagai undang-undang atau peraturan pemerintah yang menghambat persaingan
dapat dikelompokkan dalam beberapa bentuk (OECD 2011), yaitu:

pembatasan jumlah dan aliran pelaku usaha yang dapat beroperasi di suatu
pasar;

mendorong terjadinya koordinasi penetapan harga dan produksi antar para


pelaku usaha;

menciptakan biaya transaksi lebih tinggi terhadap pelaku usaha baru, termasuk
di dalamnya pelaku usaha kecil dan menengah, terhadap pelaku usaha yang telah
terlebih dahulu beroperasi (incumbents);

memberikan perlindungan usaha kepada kelompok usaha tertentu.


12

Pengembangan

dan

implementasi

kebijakan

pembangunan

pada

umumnya

memerlukan strategi yang sifatnya lintas-kebijakan (OECD 2004). Kebijakan-kebijakan


yang ditujukan untuk pengembangan suatu sektor cenderung berada dalam suatu
klaster kebijakan saling berkaitan satu dengan lainnya. Pengarusutamaan kebijakan
persaingan adalah mengintegrasikan semua kebijakan yang saling berkaitan ke dalam
strategi perencanaan pembangunan nasional. Dengan demikian penerapan berbagai
kaidah persaingan yang menjamin terjadinya daya saing mendapatkan perhatian serius
di setiap tingkatan pemerintahan dan disetiap institusi/lembaga yang terlibat dalam
penyusunan kebijakan pembangunan, baik pada tingkat pusat maupun tingkat daerah.
Semua ini tentunya memerlukan koordinasi yang efisien dan efektif dari semua unsur
lembaga dan unsur kelembagaan yang terkait. Dalam hal ini, yang perlu ditekankan
adalah perlu adanya koordinasi yang tertata dengan rapi (concerted actions) yang
menghasilkan aksi kebijakan yang harmonis.
Bagian penting dari pengarusutamaan kebijakan persaingan adalah advokasi dan
pendidikan publik/masyarakat mengenai pentingnya penerapan persaingan bagi
kesejahteraan

masyarakat.

Kegiatan

advokasi

menjadi

penting

mengingat

pengarusutamaan adalah suatu proses dan masyarakat adalah salah satu kelompok
pemangku kepentingan utama dalam proses ini. Dalam proses pengarusutamaan,
masyarakat dapat berperan sebagai kelompok yang memonitor/mengawasi kinerja
pasar dan memastikan apakah kaidah-kaidah persaingan telah diterapkan. Dalam
praktiknya, kegiatan ini biasanya selalu dimotori oleh lembaga yang memiliki
kewenangan untuk mengatur persaingan, seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
Walapun cakupan topik dan sektor dalam pengarusutamaan cukup luas, terdapat
beberapa kebijakan utama yang sangat berkaitan dengan kebijakan persaingan. Secara
umum, kebijakan-kebijakan tersebut mencakup kebijakan di bidang perdagangan,
investasi, BUMN, dan UKM.
Kebijakan Perdagangan
Kebijakan perdagangan pada umumnya mengatur tentang akses pasar dan distribusi
barang. Mengarusutamakan kebijakan persaingan dalam kebijakan perdagangan, baik
perdagangan internasional maupun domestik akan mengurangi kendala untuk
mengakses pasar dan membawa konsekuensi/akibat positif bagi pembangunan
13

ekonomi. Pengarusutamaan kebijakan persaingan dalam kebijakan perdagangan


mencakup dua hal; pertama, kebijakan persaingan memastikan bahwa kendala untuk
memasuki pasar rendah. Kedua, kebijakan persaingan harus mampu meminimalkan
kemungkinan terjadinya praktik persaingan yang tidak sehat oleh pelaku pasar, seperti
praktik menghambat masuknya perusahaan baru, dan kemungkinan praktik kolusi.
Kebijakan Investasi
Pengarusutamaan kebijakan persaingan dalam kebijakan investasi ditujukan untuk
menjaga konsistensi antara undang-undang dan peraturan pemerintah dengan
kebijakan untuk menarik investasi. Pengarusutamaan menjadi penting mengingat rejim
investasi di banyak negara saat ini cenderung menjadi lebih terbuka dan, dengan
demikian, penerapan kebijakan investasi yang menerapkan prinsip-prinsip utama
persaingan akan menjamin terealisasi dan maksimalnya manfaat dari investasi yang
lebih besar.2 Walaupun lebih terbuka, kendala untuk melakukan investasi masih sering
ditemukan di dalam berbagai undang-undang dan peraturan pemerintah, termasuk
berbagai aturan di dalam daftar negatif investasi (negative investment list).
Selain menjamin adanya konsistensi diatas, pengarusutamaan kebijakan persaingan
dalam kebijakan investasi dapat juga diarahkan pada usaha untuk memastikan bahwa
penggabungan kepemilikan usaha (merger) tidak memberikan ruang pada entitas
pelaku usaha yang tergabung kepemilikannya untuk menyalahgunakan kekuatan dari
skala ekonominya yang lebih besar.
Kebijakan tentang BUMN
Salah satu bagian dari pengarusutamaan kebijakan persaingan dalam kebijakan tentang
dan yang mengatur BUMN adalah menerapkan prinsip contestability (kontestibilitas)
pada sektor yang didominasi oleh BUMN. Pada umumnya sektor dimana banyak BUMN
beroperasi adalah sektor yang memiliki karakter monopoli alami (natural monopoly)
dan sektor jasa layanan infrastruktur publik (public utilities) seperti jasa
telekomunikasi atau transportasi. Untuk menjaga efisiensi serta kualitas layanan perlu
diberlakukan prinsip kontestibilitas atau persaingan untuk pasar (Dee, 2010), yaitu
2

Banyak studi empiris menunjukkan bahwa beroperasinya perusahaan asing terbukti memberikan dampak
positif terhadap perkembangan industri domestik, termasuk transfer teknologi maju dan menjadi semakin
terbukanya akses pasar bagi perusahaan domestik di pasar internasional.

14

persaingan untuk mendapatkan hak untuk menjadi pelaku usaha tunggal. Dalam
praktiknya, prinsip kontestibiltas ini dapat dilakukan dengan proses bidding yang akan
memberikan hak pengoperasian pasar kepada pelaku usaha yang mampu memberikan
jasa layanan dengan efisien.
Di industri yang terintegrasi secara vertical, dengan elemen yang memiliki karakter
monopoli alami, persaingan dapat diterapkan secara berbeda di sektor hulu dan hilir. Di
sektor hulu diciptakan persaingan untuk pasar, yaitu persaingan untuk mendapatkan
hak beroperasi, Sedangkan di hilir diciptakan persaingan antar pelaku usaha. Praktik
penerapan kaidah ini banyak diterapkan pada reformasi pasar layanan jasa publik di
negara lain. Perlu dicermati bahwa efektifitas penerapan model ini biasanya terjadi dari
suatu proses dalam model yang kompleks karena terdapat tujuan yang sangat beragam
yang harus dipenuhi pada saat yang bersamaan (Valletti dan Estache, 1998), Tujuan
tersebut adalah pencapaian efisiensi untuk pengenaan harga eceran di sektor hilir dan
harga jasa yang terjadi dari sektor hulu, kemampuan pelaku usaha tunggal di sektor
hulu untuk memenuhi biaya tetap (fixed costs) dari operasinya, dan menjamin
tersedianya akses layanan publik (universal service obligation).
Kebijakan untuk UKM
Kebijakan yang mendorong kinerja UKM merupakan kebijakan lain yang penting dalam
pengarusutamaan kebijakan persaingan. Ini disebabkan adanya kecendurangan
keberpihakan (affirmative action) sebagai suatu pendekatan kebijakan di sektor UKM.
UKM dipandang tidak mampu bersaing dengan pelaku usaha besar karena keterbatasan
mereka untuk dapat menyaingi tingkat efisiensi yang dapat dicapai pelaku usaha besar.
Namun, esensi keberpihakan pada kebijakan UKM justru dapat memberikan dampak
yang tidak menguntungkan bagi sektor UKM itu sendiri; dengan kata lain, terdapat
eksternalitas negatif yang berasal dari adanya keberpihakan dalam kebijakan untuk
UKM. Eksternalitas negatif terjadi karena kebijakan yang berpihak dapat juga
melindungi UKM yang memang pada dasarnya tidak efisien; kebijakan tersebut pada
saat yang bersamaan tidak memberikan insentif bagi UKM untuk meningkatkan
efisiensinya.
Penerapan

prinsip-prinsip

persaingan

dalam

kebijakan

untuk

UKM

dapat

menghilangkan eksternalitas yang tidak menguntungkan tersebut, sehingga efisiensi


15

produksi usaha kecil dan efisiensi alokasi penggunaan sumber daya dapat tercapai. Hal
ini dapat dicapai dengan pendekatan bahwa kebijakan untuk UKM bertujuan menjamin
adanya kesempatan berusaha yang sama antar pelaku usaha, baik kecil maupun besar.
Termasuk dalam kebijakan ini adalah menjamin tidak adanya halangan bagi semua
pelaku usaha untuk mendapatkan akses yang sama ke informasi dan berbagai sumber
daya produksi.

3.1

Faktor Institusi dalam Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan

Seperti yang diilustrasikan oleh pengalaman negara-negara lain (Hoekman 1998),


sukses atau tidaknya pengarusutamaan kebijakan persaingan sangat tergantung pada
kelembagaan (institution). Di dalamnya terdapat beberapa faktor yang terkait peranan
kelembagaan dalam pengarusutamaan, yang satu dengan lainnya saling terkait dalam
menentukkan keberhasilan pengarusutamaan.
Struktur kelembagaan
Struktur kelembagaan merupakan satu faktor yang berperan dalam pengarusutamaan
kebijakan persaingan. Bagaimana hubungan antara lembaga yang berwenang atas
persaingan dengan lembaga lainnya, dan penetapan institusi publik mana yang terlibat
dan berwenang mengatur persaingan merupakan bagian dari struktur kelembagaan.
Hal ini akan menentukan pusat kewenangan dalam implementasi kebijakan persaingan.
Di banyak negara, komisi persaingan biasanya adalah institusi publik yang memiliki
kewenangan ini. Namun dari pengalaman berbagai negara pelimpahan kewenangan
hanya pada komisi persaingan terbukti tidak memadai untuk menjamin suksesnya
pengarusutamaan kebijakan persaingan. Ini disebabkan oleh karakter kebijakan
persaingan yang pada umumnya adalah lintas-kebijakan (cross-cutting) dan wewenang
komisi persaingan biasanya tidak dapat mencakup kewenangan yang diperlukan untuk
memastikan bahwa prinsip persaingan terintegrasikan dengan baik di berbagai
kebijakan insitusi lainnya.
Pengarusutamaan kebijakan persaingan juga terkait dengan cakupan wewenang dari
institusi yang bertanggung jawab atas persaingan. Di banyak negara cakupan wewnang
ini tidak berhenti pada lintas-kebijakan dan lintas institusi, namun juga lintas-otoritas
antara pusat dan daerah. Keberhasilan pengarusutamaan tergantung dari sistem politik
16

yang ada di setiap negara, namun biasanya keberhasilan pengarusutamaan menjadi


lebih berat jika pemerintah daerah memiliki kewenangan yang sangat besar. Dalam hal
ini, perlu adanya suatu prinsip kesepakatan politik yang jelas yang memungkinkan
otoritas persaingan untuk juga berwenang pada kebijakan di tingkat daerah.
Komitmen Ekonomi Politik
Kinerja institusi-institusi yang berwenang dalam persaingan dalam pengarusutamaan
juga ditentukan oleh kekuatan politik dalam kepemimpinannya. Tanpa kekuatan
ekonomi politik yang kuat, institusi-institusi tersebut tidak akan mudah mengenalkan
dan mengintegrasikan kaidah-kaidah persaingan ke dalam kebijakan berbagai sektor.
Karena itu komitmen politik menjadi sangat penting.
Pengalaman di beberapa negara lain menunjukan bahwa tingkat komitmen yang tinggi
dapat dicapai melalui beberapa cara, diantaranya dengan:

menjaga dan terus meningkatkan kredibilitas institusi, termasuk di dalamnya


memformalkan secara hukum proses analisis regulasi (regulatory review
process);

memilih dan menetapkan secara de facto institusi yang secara struktural telah
memiliki kekuatan politik besar (seperti kantor Perdana Menteri, Kementerian
Keuangan, Badan Perencana Pembangunan Nasional) sebagai rekan kerja dari
institusi pengawas persaingan; dan

mengalokasikan

dana

publik

yang

besar

untuk

membiayai

kegiatan

pengarusutamaan kebijakan persaingan.


Partisipasi Para Pemangku Kepentingan
Salah satu pembelajaran dari negara-negara yang tergabung dalam OECD mendapatkan
bahwa dialog dan kerja sama antara pemangku kepentingan berperan dalam
meningkatkan keberhasilan peran kelembagaan untuk peningkatan daya saing.
Intensitas dialog akan menumbuhkan rasa memiliki dari seluruh elemen pemangku
kepentingan (pemerintah, pelaku usaha, dan konsumen) atas suatu kebijakan. Selain
itu, partisipasi aktif dari para pemangku kepentingan, melalui konsultasi dan/atau
kolaborasi, akan memberikan peluang untuk tersalurkannya umpan balik (feedback)
dari

implementasi

suatu

kebijakan.

Mekanisme
17

ini

terbukti

efektif

dalam

menyempurnakan suatu kebijakan (OECD, 2004). Proses interaksi antar pemangku


kepentingan juga akan meningkatkan perhatian akan pentingnya mengadopsi prinsipprinsip persaingan pada kebijakan sektoral. Ini tentunya akan berdampak positif
terhadap kesinambungan pengarusutamaan.

3.2

Strategi Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan: Pembelajaran


dari Pengalaman Negara Lain

Bagian ini memaparkan beberapa temuan dan pesan utama dari pengalaman negara
lain yang berkaitan dengan proses yang terjadi dalam pengarusutamaan kebijakan
persaingan.
Fokus dan Agenda Utama Kebijakan
Pembelajaran pertama adalah pentingnya fokus implementasi kebijakan persaingan
dan, dalam beberapa kasus tertentu, keberadaan satu atau beberapa agenda khusus
dalam implementasi kebijakan tersebut. Implementasi kebijakan persaingan di Korea
Selatan misalnya didasarkan tiga tujuan utama kebijakan persaingan, yaitu: inovasi dan
efisiensi dinamis, perlindungan konsumen, dan pembangunan ekonomi yang
berimbang. Fokus kebijakan diarahkan pada upaya untuk mencegah terjadinya
penyalahgunaan posisi dominan dan konsentrasi kekuatan ekonomi (OECD 2000).
Alasan yang mendasari pemilihan fokus kebijakan ini adalah agenda untuk mengurangi
peranan para chaebols (kelompok usaha/konglomerasi ala Korea Selatan) yang dirasa
terlalu kuat. Kemampuan para chaebols ini mengatur harga dan keseimbangan pasar
secara umum dirasa tidak sesuai lagi dengan arah pembangunan ekonomi Korea
Selatan yang berubah ke arah perekonomian yang berorientasi pasar sejak tahun
1980an. Berbagai upaya yang kemudian dilakukan oleh Korean Fair Trade Commission
(KFTC), salah satu otoritas yang berwenang dalam persaingan di Korea Selatan, didasari
oleh agenda ini. Upaya tersebut sangat terkonsentrasi untuk mengatur dan memonitor,
bahkan mengurangi, kemampuan para chaebols untuk mengatur harga dan kinerja
pasar. Termasuk di dalamnya adalah memonitor perilaku para chaebols dalam
perjanjian kemitraan dengan pelaku usaha lain, terutama UKM. Dalam hal ini, KFTC
memastikan tidak terjadi penyalahgunaan posisi dominan yang dimiliki para chaebols
dalam perjanjian kemitraan tersebut.
18

Implementasi pengarus utamaan kebijakan persaingan di Korea Selatan terjadi pada


dan bermula dari upaya untuk mengatur serta memonitor perilaku dominan para
chaebols. Seiring berjalannya waktu topik yang menjadi fokus berkembang ke topik
atau isu persaingan lainnya. Namun yang jelas, pengalaman dalam merespon isu
chaebols telah mampu meletakkan suatu sistem dan memberikan pengalaman untuk
memasukkan prinsip persaingan dalam proses pembuatan kebijakan.
Implementasi kebijakan persaingan di Australia konsisten untuk selalu menimbang
dampak dari persaingan dalam konteks surplus/kesejahteraan ekonomi (consumer and
producer welfare, total welfare) dan dampak efisiensi yang dihasilkan. Prinsip ini
konsisten diterapkan dalam menyikapi berbagai kasus atau isu persaingan. Dalam
kaitannya dengan pengarusutamaan kebijakan persaingan konsistensi pendekatan
kesejahteraan dan efisiensi ini, walaupun belum tentu sesuai dengan konteks di negara
lain, setidak-tidaknya menjadi acuan yang sangat jelas bagi para pemangku kepentingan
dalam melihat aspek persaingan dalam suatu kebijakan.
Struktur dan Komitmen Kelembagaan
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya perlu ditentukan lembaga-lembaga yang
berwenang memberikan arahan kebijakan persaingan, dan komitmen yang besar untuk
menjamin diimplementasikannya kaidah persaingan dalam berbagai kebijakan ekonomi
yang ada.
Pengalaman Korea Selatan mungkin dengan jelas menggarisbawahi pentingnya
karakteristik struktur kelembagaan dan komitmen ini. Terdapat hanya dua lembaga
yang berwenang akan kebijakan persaingan di Korea Selatan, yaitu KFTC dan Kantor
Perdana Menteri (Prime Minister Office, PMO). KFTC diberikan wewenang untuk
menjalankan mandat hukum persaingan di Korea Selatan dan merupakan suatu
lembaga yang independen. KFTC bertanggung jawab kepada PMO dan ketua (chairman)
KFTC diberikan kedudukan sejajar menteri, dan dengan demikian ketua KFTC
diperkenankan untuk berpartisipasi dalam semua rapat kabinet. Menurut hukum yang
ada, para menteri diwajibkan untuk melakukan konsultasi dengan KFTC tentang aturan
yang kemungkinan dapat menghambat tujuan dari persaingan.

19

Dengan kedudukan yang sejajar dengan kementerian lain ini, ketua KFTC mampu
melakukan kontak langsung dengan semua menteri dan kepala lembaga pemerintahaan
(OECD 2000). Hal ini terbukti mampu meningkatkan pengadopsian dan advokasi
prinsip-prinsip persaingan ke dalam berbagai aturan yang akan dikeluarkan oleh
kementerian dan lembaga. Di tahun 1995 misalnya, sekitar 75 persen dari total
pandangan yang diberikan oleh KFTC terhadap proposal perubahan aturan atau
kebijakan diterima oleh kementerian dan lembaga yang mengajukan proposal tersebut
(OECD 2000).
Dengan demikian peningkatan status lembaga KFTC ketingkat menteri serta mandat
undang-undang (agar proposal perubahan aturan atau kebijakan dikonsultasikan
terlebih dahulu dengan KFTC) mampu meningkatkan nilai pengadopsian prinsipprinsip persaingan. Pengarusutamaan dengan demikian menjadi lebih efektif. Selain itu,
keberadaan rekan kerja dari institusi lembaga persaingan di pemerintahaan yang
memiliki kekuatan eksekutif untuk menerapkan kebijakan pada level kementerian dan
lembaga merupakan faktor penentu yang sangat penting.
Ketiadaan faktor-faktor ini yang membuat pengadopsian prinsip persaingan di Jepang
tidak terlalu efektif. Advokasi dan usaha penerapan prinsip persaingan di Jepang
sebenarnya telah diatur oleh undang-undang yang menyatakan bahwa lembaga
persaingan dapat memberikan usulan atau pendapat yang berhubungan dengan aspek
persaingan dalam kebijakan yang diambil oleh kementerian dan lembaga di negara
tersebut. Namun demikian, berbeda dengan sistem yang ada di Korea Selatan, lembaga
persaingan di Jepang (Fair Trade Commission, FTC) yang juga merupakan suatu
lembaga yang independen tidak memiliki memiliki akses langsung terhadap proses
pengambilan keputusan di kabinet; FTC tidak memiliki otoritas untuk berpartisipasi
dalam proses tersebut (OECD 1999). Secara formal, pandangan yang dikeluarkan oleh
FTC hanya dapat diserahkan ke kantor sekretaris kabinet untuk bahan pertimbangan
kementerian terkait. Proses penyampaian pandangan yang tidak langsung dan tidak
adanya hubungan yang sejajar antara FTC dengan kabinet atau kementerian pada
kenyataannya berujung pada tidak efektifnya pengadopsian prinsip persaingan pada
banyak kebijakan yang ada.

20

Ketidakefektifan ini menjadi lebih buruk karena proses review terhadap suatu isu
persaingan didekati dengan membentuk kelompok kerja untuk membahasan isu
tersebut. Menurut sistem yang ada, anggota kelompok kerja biasanya diambil dari
berbagai pihak yang mewakili pemangku kepentingan yang terkait. Namun, pada
praktiknya porsi keanggotaan biasanya lebih banyak diberikan kepada kelompok
pelaku usaha (OECD 1999). Hal ini menyebabkan proses diskusi dan analisis terhadap
suatu isu persaingan berlangsung dalam waktu yang terlalu lama dan cenderung
memberikan status quo terhadap status isu tersebut.
Mengintegrasikan Proses Tinjauan Regulasi (Regulatory Review) ke dalam Proses
Kebijakan
Satu alasan yang mendasari pentingnya pengarusutamaan kebijakan persaingan adalah
masih sering terjadinya ketidaksesuaian antara prinsip efisiensi dan contestability
dengan isi dari berbagai regulasi yang ada. Implementasi kebijakan kemudian dapat
menjadi tidak efektif dan juga tidak tercapai tujuannya karena adanya ketidaksesuaian
ini. Proses tinjauan regulasi (regulatory review) adalah suatu mekanisme yang dapat
digunakan untuk mengidentifikasi adanya ketidaksesuaian tersebut, yang hasilnya
kemudian dapat digunakan untuk menyempurnakan atau memastikan bawah regulasi
tersebut telah mengadopsi prinsip-prinsip persaingan. Adanya kesesuaian antara
prinsip persaingan dengan tujuan suatu regulasi akan menjamin tercapainya tujuan
suatu kebijakan. Dengan demikian, proses tinjauan regulasi adalah satu tahapan yang
penting dalam pengarusutamaan kebijakan.
Di Australia lembaga yang bertugas meninjau berbagai regulasi adalah Productivity
Commission. Lembaga ini terbukti efektif dalam upaya pengadopsian dan penerapan
prinsip-prinsip persaingan yang berorientasi pada efisiensi dan contestability.
Walaupun Productivity Commission adalah lembaga independen tinjauan regulasi dan
usulan perubahan regulasi yang di usulkannya ditanggapi secara serius oleh lembaga
yang membuat regulasi tersebut (OECD 2010). Fakta ini menunjukkan bahwa
Productivity Commission memiliki kredibilitas yang kuat. Disamping kemampuan
lembaga ini membuat analisis yang tajam dan berkualitas tinggi, adanya hukum yang
mewajibkan setiap lembaga pemerintahan di Australia menjalani proses tinjauan

21

regulasi sebelum penerapan suatu regulasi juga menunjang terciptanya kredibilitas


yang kuat tersebut.
Peninjauan regulasi sebagai suatu tahapan dalam pengembangan regulasi dan
kebijakan menjamin terjadinya pengarusutamaan kebijakan persaingan yang lebih
efisien dan efektif. Pengarusutamaan menjadi lebih efisien karena marjin kesalahan dari
suatu regulasi dapat diminimalisir sebelum regulasi tersebut diterapkan dan menjadi
lebih efektif karena dalam peninjauan regulasi, berbagai aspek regulasi ditinjau secara
mendalam (lihat Kotak 3.1). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tinjauan regulasi
layak dijadikan sebagai bagian dari strategi pengarusutamaan kebijakan persaingan.

Kotak 3.1
Elemen dari Tinjauan Regulasi
Sebuah tinjauan regulasi dapat mencakup:

Masalah atau latarbelakang yang mendasari kebutuhan suatu aksi kebijakan;

Tujuan yang hendak dicapai;

Alternatif kebijakan yang diperkirakan mampu mengatasi masalah yang ada;

Analisis biaya dan manfaat;

Pernyataan yang akan diajukan dalam proses konsultasi dengan para


pemangku kepentingan;

Beberapa alternatif rekomendasi;

Strategi kebijakan yang dapat diterapkan dan tinjauan atas beberapa strategi
yang dikedepankan.

Sumber: Coghlan (2000) seperti yang dikutip oleh Dee (2010).

22

4. Kebijakan dan Pengarusutamaan


Kebijakan Persaingan di Indonesia
Bab ini membahas kebijakan dan pengarusutamaan kebijakan persaingan di Indonesia.

4.1

Perkembangan Kebijakan persaingan di Indonesia

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 (UU No. 5/1999) mengenai larangan praktik
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat merupakan salah satu output dari proses
reformasi ekonomi yang terjadi akibat krisis keuangan pada tahun 1998. Didorong oleh
Dana Moneter Internasional (IMF), Indonesia diharapkan dapat mengembalikan
stabilitas ekonomi dengan cara memperbaiki iklim usaha dan persaingan yang sehat.
Dalam sejarahnya, fenomena oil boom pada tahun 1970 sampai 1980-an di Indonesia,
ditambah lagi dengan kebijakan subsitusi impor dan pajak impor yang tinggi
mengakibatkan

pemerintah

memiliki

peranan

sentral

dalam

mengendalikan

perekonomian pada saai itu. Persaingan menjadi terbatas akibat dari intervensi
pemerintah yang besar serta monopoli yang dilakukan oleh perorangan maupun
negara. Setelah harga minyak turun drastis pada tahun 1986, kebijakan deregulasi
diberlakukan untuk memfasilitasi mobilitas dana asing ke dalam perekonomian
Indonesia khusunya pada sektor perbankan.
Perbaikan iklim usaha dan persaingan di Indonesia juga didorong oleh faktor eksternal
seperti bergabungnya Indonesia ke dalam organisasi internasional seperti WTO, ASEAN
dan APEC pada tahun 1990-an. Pengaruh liberalisasi ekonomi tersebut semakin
membuka pintu reformasi kebijakan ekonomi walaupun pada sektor-sektor seperti
pertanian dan infrastruktur masih sangat tertutup sebagai bentuk perlindungan
pemerintah terhadap kepentingan-kepentingan pribadi. Berakhirnya masa orde baru
menandakan awal reformasi baik di bidang politik maupun ekonomi, salah satu
bentuknya adalah diberlakukannya UU No. 5/1999.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah lembaga independen yang dibentuk
guna menjalankan mandat UU No. 5/1999 dan bertanggung jawab langsung kepada
23

presiden (Pasal 30 & 31). Menurut Pasal 3 UU No. 5, tujuan undang-undang ini adalah
menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, mewujudkan iklim usaha yang kondusif
yang menjamin kepastian usaha baik pelaku usaha besar, menengah maupun kecil,
mencegah praktik monopoli dan meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelaku usaha.
Sehubungan dengan pengarusutamaan kebijakan persaingan, Pasal 35 UU No. 5/1999
memberikan wewenang kepada KPPU untuk memberikan saran dan pertimbangan
terhadap kebijakan pemerintah yang terkait dengan prakter monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat (Pasal 35.e).
Menurut Aswicahyono dan Kartika (2010) UU No. 5/1999 mempunyai beberapa
kelemahan. Diantaranya adalah undang-undang ini masih terkesan lebih melindungi
perusahaan kecil atau lebih menekankan kepada struktur pasar dibandingan dengan
membentuk pasar yang kompetitif. Selanjutnya adalah generalisasi kegiatan integrasi
vertikal. Hal ini karena integrasi vertikal tidak selalu menyebabkan rusaknya kompetisi
di pasar, bisa jadi hal ini meningkatkan efisiensi baik dalam produksi maupun
distribusi. Sehingga penelitian terhadap dampak integrasi vertikal ini harus dilakukan
secara seksama, kasus per kasus untuk dapat benar-benar melihat efeknya ke pasar.
Ketiga, undang-undang belum mencangkup peraturan-peraturan terkait hak kekayaan
intelektual, standard teknis barang dan jas, usaha kecil dan BUMN.
Kekurangan lainnya adalah, dan ini terkait dengan pengarusutamaan kebijakan
persaingan, undang-undang ini belum sepenuhnya mengatur kebijakan-kebijakan
pemerintah yang menghambat persaingan. Selama ini, masih banyak terdapat undangundang dan peraturan pemerintah yang menjadi sumber hambatan persaingan yang
sehat. Sebagai contoh, undang-undang perdagangan yang baru (UU No. 7/2014)
memberikan ruang bagi pemerintah untuk memberikan perlindungan/proteksi
terhadap produsen domestik dari persaingan barang impor. Selain itu, undang-undang
ini juga mengijinkan dikenakannya hambatan non-tarif dan diterapkannya pembatasan
ekspor jika terjadi kekurangan pasokan di pasar domestik. Sementara itu, undangundang perindustrian yang baru (UU No. 3/2014) memberikan perlindungan kepada
industri strategis dan dapat mengenakan pembatasan ekspor bahan mentah untuk

24

memenuhi kebutuhan dalam negeri.3 Beberapa contoh ini menunjukkan bahwa


pengarusutamaan kebijakan persaingan di Indonesia belum terjadi dengan baik dan
semestinya.

4.2

Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan di Indonesia: Situasi


Saat Ini

Seperti yang telah disebutkan, Pasal 35 UU No. 5/1999 memberikan kewenangan


kepada KPPU untuk memberikan saran yang berkaitan dengan persaingan kepada
pemerintah. Namun, dalam praktiknya, mandat yang diberikan oleh Undang-Undang ini
masih lemah. Implementasi mandat UU No. 5/1999 masih terfokus pada pengawasan
perilaku bisnis seperti kasus-kasus merger, hubungan integrasi vertikal, dan potensi
penyalahgunaan kekuatan pasar.4 Lemahnya kekuatan KPPU untuk mengarusutamakan
prinsip persaingan antara lain disebabkan karena tidak terdapatnya landasan hukum
lain yang kuat selain UU No. 5/1999 seperti Peraturan Pemerintah atau Keputusan
Presiden yang dapat mengoperasionalisasikan Pasal 35 UU No. 5/1999.
Peran Persaingan dalam Agenda Nasional
Sejauh ini, pengarusutamaan persaingan dalam kebijakan tidak intensif dan
menyeluruh, sehingga menjadi penting untuk memasukkan agenda pengarusutamaan
ini ke dalam rencana pembangunan nasional.
Sebagai turunan dari UUD 1945 serta Pasal 33 yang mengusung Demokrasi Ekonomi
dan Efisiensi Berkeadilan, tujuan dari UU No. 5 Tahun 1999 secara jelas diarahkan
untuk meningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia. Dalam UU No. 17 Tahun 2007
Tentang RPJP 2005-2025, disebutkan beberapa arahan terkait penciptaan iklim usaha
dan persaingan sehat, yang secara tidak langsung menjadi domain kerja KPPU, seperti:

Kelembagaan ekonomi dan persaingan sehat

Struktur Industri yang sehat dan berkeadilan

Sistem distribusi yang efisien dan efektif

Lihat Studi Kasus 3 di Lampiran 1 yang memberi komentar atas undang-undang perdagangan dan
perindustrian yang baru ini.
4 Contoh potensi penyalahgunaan kekuatan pasar adalah kewenangan KPPU untuk menangani potensi
penyalahgunaan kekuatan pasar pelaku pasar terhadap usaha kecil dalam hubungan bisnis antar kedua
pelaku usaha ini, seperti yang diatur dalam PP No. 17/2013.

25

Sektor pos dan telekomunikasi yang kompetitif

Adapun penjelasan konseptualnya adalah: dimulai dari persaingan yang sehat akan
tercipta harga yang lebih murah/wajar serta peningkatan jumlah dan mutu produksi
barang dan jasa. Setelah itu, diharapkan inflasi stabil sehingga peningkatan daya saing
dan dapat berkontribusi dalam pengurangan kemiskinan, peningkatan lapangan kerja
(mengurangi pengangguran) dan juga pertumbuhan ekonomi. Pada akhirnya
persaingan yang sehat akan menghasilkan peningkatan kesejahteraan rakyat dengan
mutu pelayanan yang lebih baik.
Sebagai rancangan pembangunan jangka menengah, RPJMN 2010-2014 juga memuat
beberapa aspek peningkatan iklim usaha dan persaingan yang sehat diantaranya:

Sebagai strategi perdagangan dalam negeri


a) meningkatkan iklim usaha perdagangan melalui persaingan yang sehat
b) memperkuat kelembagaan perdagangan dalam negeri yang mendorong
terwujudnya persaingan yang sehat

Sebagai fokus dan kegiatan prioritas perdagangan


Fokus Prioritas Peningkatan Efektivitas Pengawasan dan Iklim Usaha
Perdagangan, yang didukung oleh kegiatan prioritas sebagai berikut: a).
Penegakan Hukum Persaingan; b). Pengembangan dan Harmonisasi
Kebijakan Persaingan;

Seperti paparan diatas, pentingnya menjaga iklim usaha yang baik serta persaingan
yang sehat kerap muncul sebagai salah satu strategi dan arahan dalam kebijakan
perekonomian di Indonesia. Namun, pada praktiknya, terdapat beberapa kendala yang
menghambat pengarusutamaan persaingan untuk menciptakan iklim usaha yang
kondusif dan konsisten dengan usaha untuk meningkatkan daya saing. Pertama,
tumpang tindih antar satu peraturan dengan peraturan-peraturan lainnya. UNCTAD
(2009) menggambarkan bahwa Indonesia masih banyak memiliki regulasi yang
bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Contohnya regulasi-regulasi yang
bertujuan untuk mengembangkan UKM tetapi dilakukan cara dengan memberikan
perlindungan pada UKM. Pendekatan ini menghambat tumbuhnya persaingan yang
menjamin terjadinya efisiensi. Kebijakan alternatif yang cenderung mendukung adanya
persaingan yang sehat justru sering diabaikan dan tidak diterapkan.
26

Kedua, terlihat belum adanya penetapan prioritas terhadap isu yang perlu
dikedepankan dalam penerapan prinsip-prinsip persaingan. Prioritas hendaknya
diberikan pada isu-isu yang dapat menjamin terjadinya persaingan menurut prinsip
contestability. Isu-isu ini sangat berkaitan dengan, misalnya kendala untuk memasuki
pasar, mekanisme persaingan di sektor-sektor yang didominasi oleh perusahaan besar
atau BUMN, dan lain sebagainya. Walaupun tidak semuanya, banyak respon dari KPPU
terkesan masih terlihat reaktif dan terbatas pada isu-isu persaingan yang dibawa oleh
kasus-kasus yang diadukan ke KPPU ataupun isu-isu perekonomian nasional. Hal ini
terlihat, misalnya, dalam dugaan adanya kartel distribusi beberapa bahan makanan
pokok seperti bawang putih dan daging sapi, dimana investigasi dilakukan setelah
adanya lonjakan harga yang tidak wajar dan sulitnya menurunkan harga tersebut
walaupun respon kebijakan yang bertujuan untuk menurunkan harga langsung
dikenakan. Merujuk pada beberapa pengalaman negara lain (lihat Bab 3), selayaknya
pemerintah dan KPPU menetapkan prioritas pengarusutamaan pada beberapa isu yang
dianggap penting untuk segera ditangani.
Ketiga, belum terjadinya partisipasi aktif dari seluruh pemangku kepentingan dalam
proses pembuatan kebijakan. Dalam implementasinya, KPPU masih sering tidak
diikutsertakan dalam proses pembuatan kebijakan, demikian pula dengan kelompok
yang mewakili konsumen.5
Keempat, adanya tujuan hukum persaingan yang lebih dari satu (multiple objectives)
dapat menyulitkan KPPU dalam menentukan prioritas pencapaian tujuan. Seperti yang
dikemukakan oleh Pasal 3 UU. No. 5/1999, kebijakan persaingan di Indonesia ditujukan
untuk menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi perekonomian nasional,
menciptakan iklim usaha kondusif yang dapat menjamin kesempatan berusaha bagi
usaha kecil, menengah, dan besar, mencegah praktik monopoli dan persaingan usaha
yang tidak sehat, dan menciptakan efektifitas dan efisiensi usaha (Maarif 2004; OECD
2010).6 Tujuan ganda (multiple objectives) menyebabkan adanya satu atau dua tujuan

Sebagai contoh, KPPU tidak diundang dalam berbagai proses konsultasi terkait perubahan daftar negatif
investasi.
6 Multiple objectives sebenarnya juga didapati pada kebijakan persaingan di beberapa negara lainnya.
Seperti misalnya yang diterapkan oleh hukum persaingan di negara Afrika Selatan, dimana (i) penciptaan
lapangan kerja dan (ii) penjaminan usaha skala kecil dan menengah untuk mendapatkan kesempatan
berusaha yang sama (dengan usaha skala besar) adalah bagian dari cakupan tujuan hukum persaingan di
negara ini (Roberts 2004).

27

yang harus dikesampingkan/dikorbankan demi pencapaian tujuan lainnya. Dengan kata


lain, terdapat trade off dari adanya tujuan yang lebih dari satu ini. Adanya trade off ini
juga dapat mengirimkan signal ketidakpastian kepada para pelaku usaha.
Trade off yang paling jelas dapat terjadi ketika pencapaian efisiensi harus disesuaikan
dengan jaminan pemberian kesempatan usaha bagi kelompok usaha kecil, menengah,
dan besar. Situasi ini terjadi misalnya pada kasus Indomaret, dimana pedagang retail
tradisional yang pada umumnya berskala kecil mengadukan Indomaret ke KPPU
karena keberlangsungan usahanya terancam kemudian dimenangkan tuntutannya oleh
KPPU. Menurut investigasi yang dilakukan oleh KPPU, keberadaan retail moderen
seperti Indomaret terbukti meningkatkan efisiensi kinerja perekonomian secara umum,
yang ditunjukkan salah satunya dengan lebih murahnya harga barang yang diterima
konsumen dengan adanya retail moderen.7 Namun demikian, menurut putusan KPPU,
pihak Indomaret kurang memperhatikan prinsip keseimbangan dalam pengertian asas
demokrasi ekonomi yang dianut oleh UU No. 5/1999 (Pasal 2). Walapun putusan KPPU
secara eksplisit tidak mengatakan bahwa pihak Indomaret melanggar Pasal 3 (pasal
tentang tujuan), bagian lain dari putusan tersebut konsisten dengan penjaminan
kesempatan berusaha dalam kasus ini adalah pengusaha kecil yang merupakan
kondisi yang dikaitkan dengan tujuan penciptaan iklim usaha yang kondusif (Pasal 3
huruf (b)).
Keberadaan multiple objectives merupakan wujud dari semangat perlindungan sosial.
Dalam konteks ini, yang penting untuk dikedepankan oleh KPPU adalah prinsip dimana
pencapaian tujuan sosial dapat dilakukan tetapi tanpa harus mengorbankan prinsipprinsip dasar persaingan. Pada dasarnya, penerapan prinsip-prinsip tersebut konsisten
dengan tujuan sosial yang hendak dicapai oleh suatu kebijakan. Ini seperti yang
dijelaskan pada Bab 2 dimana persaingan yang sehat pada akhirnya akan menghasilkan
efisiensi alokasi yang optimal.
Peran KPPU dalam Memberikan Saran Kebijakan
Di dalam pasal 35 UU No.5/1999 tertera bahwa KPPU bertugas untuk memberikan
saran dan pertimbangan kepada pemerintah terkait indikasi praktik monopoli dan
persaingan tidak sehat. Namun UU No. 5 tidak mengatur mekanisme penyampaian
7

Lihat Putusan KPPU No. 03/KPPU-L-I/2000.

28

saran dan pertimbangan ini ke Pemerintah/DPR maupun tangggung jawab


Pemerintah/DPR untuk menanggapi saran tersebut. Dalam praktiknya, ada beberapa
mekanisme terkait peran KPPU dalam memberikan saran kepada pemerintah maupun
legislatif. Pertama, KPPU dapat berinisiatif memberikan saran kepada pemerintah,
dalam hal ini kementerian atau lembaga, terkait rancangan UU. Selain itu, Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian juga dapat mengundang KPPU untuk memberikan
pertimbangan. Legislatif pun juga dapat meminta saran dari KPPU dalam hal
rekomendasi dalam rancangan UU. Grafik di bawah menerangkan tentang jumlah
rekomendasi KPPU kepada pemerintah (Gambar 4.1).
Gambar 4.1 Jumlah Rekomendasi KPPU kepada Pemerintah (2001-2012)

Sumber: Laporan Tahunan KPPU 2012.

Namun, saran-saran yang diberikan KPPU tidak mengikat sehingga mudah sekali untuk
tidak diikuti oleh lembaga atau kementerian yang diberikan saran. Saran yang diberikan
biasanya akan diikuti oleh lembaga atau kementerian jika saran yang diberikan
konsisten atau mendukung tujuan yang hendak dicapai oleh kebijakan yang dibuat oleh
lembaga atau kementerian tersebut.
Beberapa kalangan menganggap bahwa tidak mengikatnya saran KPPU ini disebabkan
karena kurang kuatnya kewenangan yang dimiliki KPPU dibandingkan dengan
kewenangan institusi lainnya yang kurang lebih setingkat, seperti KPK (Komis

29

Pemberantasan Korupsi) ataupun BPK (Badan Pemeriksa Keuangan).8 Mengacu pada


UU No. 5/1999, dapat dikatakan bahwa sebenarnya kewenangan yang dimiliki KPPU
sudah cukup kuat, karena Pasal 35 dari undang-undang tersebut menugaskan KPPU
untuk memberikan saran dan pertimbangan. Dengan demikian anggapan diatas muncul
lebih karena adanya beberapa kekurangan atau ketidaksempurnaan yang terkait
dengan kerangka institusi KPPU itu sendiri, seperti misalnya kedudukan ketua
komisioner KPPU yang belum setara dengan posisi menteri di kabinet. Adanya
ketidaksempurnaan

dalam

kerangka

institusi

inilah

yang

kemudian

dapat

menyebabkan kurang mengikatnya saran-saran yang diberikan oleh KPPU.


Kurang mengikatnya saran KPPU juga dapat disebabkan karena masih kurangnya
pemahaman aplikasi berbagai teori ekonomi dalam undang-undang persaingan di
kalangan praktisi dan penegak hukum. Hal ini utamanya terkait dengan pendekatan rule
of reason yang diterapkan dalam beberapa pasal di undang-undang persaingan untuk
mengevaluasi perilaku yang bertentangan dengan prinsip-prinsip persaingan.
Kurangnya pemahaman ini menyebabkan terciptanya ruang yang terlalu besar bagi
multi interpretasi hasil investigasi yang pada akhirnya justru dapat menghasilkan
keluaran yang bertentangan dengan putusan KPPU.
Walaupun terdapat kekurangan dalam efektifitas mekanisme pemberian saran yang
dilakukan oleh KPPU, tingkat pengadopsian saran tergolong tinggi. Seperti yang
disebutkan pada Laporan Tahun KPPU Tahun 2012 (KPPU 2012, halaman 30), 78% dari
saran KPPU ditanggapi secara positif oleh pemerintah dengan, (i) Membuat kebijakan
sesuai dengan saran KPPU, (ii) menunda diberlakukannya kebijakan, dan (iii) mencabut
kebijakan karena tidak sesuai dengan prinsip persaingan yang sehat menurut KPPU.
Dalam laporan UNCTAD (2009) disebutkan bahwa mayoritas permasalahan persaingan
di Indonesia diakibatkan oleh kebijakan pemerintah. Hal ini merupakan warisan dari
era orde baru yang melahirkan perusahaan-perusahaan yang memonopoli sektorsektor penting di Indonesia seperti BPPC dan Bogasari pada waktu itu. Selain itu,
banyak peraturan pemerintah daerah sebagai akibat dari desentralisasi juga
menimbulkan masalah dari sisi persaingan.
8

Lemahnya posisi KPPU secara struktural dicerminkan, misalnya, dengan tidak didefinisikannya ketua dan
wakil ketua KPPU sebagai pejabat negara menurut Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) (UU No.
5/2014, Pasal 122). Ini berbeda halnya dengan KPK dan BPK, dimana ketua dan wakil ketua KPK serta ketua,
wakil ketua dan anggota BPK didefinisikan oleh undang-undang ASN sebagai pejabat negara.

30

Sebagai contoh adalah adanya dugaan monopoli taksi di beberapa bandara di Indonesia.
Sebagai kewenangan pemerintah daerah setempat, taksi selain operator taksi bandara
yang ditunjuk tidak diperkenankan untuk mengambil penumpang di bandara.
Khususnya di Bandara Ngurah Rai Bali, misalnya, pengelola taksi bandara tidak
memperbolehkan operator taksi lain beroperasi disana untuk alasan efisiensi. Hal ini
bertentangan dengan surat keputusan yang dikeluarkan oleh PT Angkasa Pura pada
tahun 2008 yang tidak memperbolehkan monopoli pada jasa taksi di bandara
(www.kppod.org). Contoh lainnya adalah penciptaan biaya-biaya baru berupa
pungutan, retribusi, atau biaya ijin yang berkaitan dengan transportasi barang antar
daerah dan pergudangan. Thbault-Weiser (2008) misalnya mendapatkan bahwa dalam
ijin untuk melakukan kegiatan bongkar-dan-muat barang di beberapa daerah ternyata
tidak fleksibel dan berlaku hanya dalam waktu singkat.
Dua contoh diatas menunjukkan bahwa pemerintah daerah kurang memahami prinsip
persaingan yang berdampak pada tidak efisiennya kinerja perekonomian daerah. Hal ini
menunjukkan bahwa pengarusutamaan kebijakan persaingan di daerah belum terjadi
dengan baik.

31

5. Rekomendasi untuk
Pengarusutamaan Kebijakan
Persaingan di Indonesia
Bab ini menjabarkan beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
pengarusutamaan kebijakan persaingan di Indonesia, mengacu pada berbagai
tantangan dan kesempatan yang ada seperti yang telah dipaparkan sebelumnya.9
1. Menciptakan
kewenangan

mekanisme
institusi

kelembagaan

yang

berperan

untuk
dalam

meningkatkan
implementasi

derajat

kebijakan

persaingan
(i)

Amandemen UU No. 5/1999

Dalam jangka menengah dan panjang, amandemen UU No. 5/1999 perlu dilakukan
untuk meningkatkan kewenangan KPPU dalam proses pengarusutamaan kebijakan
persaingan. Dua hal terkait perlu dicantumkan dengan jelas, yaitu, pertama, pentingnya
memasukan prinsip-prinsip persaingan dalam kebijakan pemerintah dan peran serta
mekanisme yang melibatkan KPPU dalam proses pembuatan kebijakan.
Kedua hal ini juga berarti bahwa amandemen UU No. 5/1999 harus mampu
meningkatkan kewenangan KPPU dalam menjalankan amanat undang-undang
persaingan usaha. Peningkatan kewenangan KPPU akan sangat berguna untuk
meningkatkan efektifitas implementasi dari saran-saran yang diberikan KPPU terhadap
lembaga dan kementerian. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, saran-saran yang
diberikan oleh KPPU tidak mengikat sehingga proses pengarusutamaan prinsip
persaingan kemudian menjadi tidak efektif.
Walaupun saat ini amandemen UU No. 5/1999 telah masuk dalam prolegnas 2014,
namun mengingat amandemen undang-undang dapat memakan waktu yang lama, maka

Rekomendasi-rekomendasi tersebut akan terus dikembangkan dan/atau direvisi berdasarkan komentar


dan informasi lain yang akan didapat. Rekomendasi akhir/final akan dipaparkan di dalam laporan akhir
studi ini.

32

dalam jangka pendek, ada beberapa hal yang dapat dilakukan pemerintah dan KPPU
terkait pengarusutamaan kebijakan persaingan, yaitu:
(ii)

Mengintegrasikan

kebijakan

persaingan

dengan

rencana

pembangunan nasional
Kebijakan persaingan sebenarnya telah diintegrasikan ke dalam rencana nasional, baik
RPJP maupun RPJM. Namun, cakupannya masih terbatas pada sektor perdagangan,
terutama perdagangan dalam negeri. Seperti yang diulas sebelumnya, cakupan ini
dirasa masih terlalu sempit, mengingat kebijakan persaingan mendasari segala kegiatan
ekonomi yang ada. Selain itu, kebijakan persaingan didalam RPJPN dan RPJMN masih
dinyatakan dengan sangat umum, tanpa adanya penjabaran yang lebih rinci tentang
prinsip-prinsip persaingan.
Dengan demikian, adalah penting untuk memperluas dan memperdalam integrasi
prinsip-prinsip persaingan ke dalam perencanaan pembangunan nasional. Strategi ini
diharapkan mampu mengunci pengintegrasian prinsip-prinsip persaingan ke dalam
kebijakan kementerian dan lembaga dengan baik dan efisien.
Pengintegrasian kebijakan persaingan dapat dilakukan secara bertahap dalam
mekanisme RPJMN. Dalam tahapan ini, pengintegrasian pada awalnya dapat difokuskan
pada bidang perdagangan dan investasi, pemberdayaan UKM, dan kebijakan yang
terkait dengan BUMN. Fokus pada bidang-bidang ini dapat diletakkan secara
konsisten dalam draft RPJMN 2015-2019, dimana penerapan prinsip-prinsip
persaingan secara tidak langsung juga diarahkan untuk mendukung industrialisasi yang
berkelanjutan (lihat Gambar 5.1).
Pengintegrasian kebijakan persaingan tidak dapat diatur secara mendetail dalam
RPJMN. Oleh karena itu, sebagai langkah selanjutnya, perlu dikeluarkan landasan
hukum lain, seperti peraturan pemerintah atau keputusan presiden, yang dapat
mengoperasionalisasikan pengintegrasion ini. Adanya landasan hukum lainnya ini juga
berarti mengoperasionalisasikan mandat yang diberikan oleh Pasal 35 UU No. 35/1999.
Dengan demikian, prinsip persaingan dapat diterapkan oleh lembaga dan kementerian
dalam membuat kebijakan. Dalam implementasinya, pedoman untuk pengarusutamaan
juga perlu diadakan, untuk menjamin kesamaan persepsi tentang prinsip-prinsip
33

pengarusutamaan yang selayaknya diterapkan pada seluruh lembaga dan kementerian


yang ada.

Gambar 5.1. Kebijakan Persaingan dalam Kerangka Pertumbuhan Ekonomi


Nasional, draft RPJMN 2015-2019

(iii)

2. Mengenalkan dan menerapkan proses tinjauan regulasi (regulatory review)


Pada praktiknya di Indonesia saat ini masih sering terjadi ketidaksesuaian antara
regulasi yang ada dengan prinsip persaingan yang berorientasi pada efisiensi dan
contestability. Implementasi kebijakan kemudian dapat menjadi tidak efektif atau tidak
tercapai tujuannya karena adanya ketidaksesuaian ini. Mekanisme untuk mengurangi
atau menghilangkan ketidaksesuaian tersebut dapat dilakukan melalui proses tinjauan
regulasi yang hasilnya kemudian dapat digunakan untuk menyempurnakan regulasi
tersebut. Hasil yang ingin dicapai adalah regulasi yang pada akhirnya konsisten dengan,
dan mengacu pada, penerapan prinsip-prinsip persaingan.
34

Dengan demikian, rekomendasi studi ini adalah membentuk unit tinjau kebijakan
(policy review unit) melalui Peraturan Presiden. Unit ini bertugas melakukan evaluasi
terhadap rancangan kebijakan pemerintah, baik yang sudah diimplementasikan
maupun yang sedang dalam proses perencanaan. Sementara itu, KPPU sebagai institusi
yang memiliki kewenangan untuk mengawasi persaingan dan memberikan saran
kepada pemerintah, menjalankan perannya sebagai mitra pemerintah dengan
memberikan input kepada unit tersebut. Studi ini menyarankan agar unit ini sebaiknya
berada di bawah Kementerian PPN/Bappenas, dengan kepala unit setidaknya
setingkat eselon satu.
Rekomendasi ini sebenarnya tidak begitu berbeda dengan rekomendasi OECD yang
menempatkan

Kantor

Menteri

Koordinator

bidang

Perekonomian

(Menko

Perekonomian) sebagai koordinator dalam tinjauan kebijakan (lihat Lampiran 2).


Persamaan usulan studi ini terletak pada diposisikannya KPPU sebagai mitra dari unit
yang melakukan proses tinjauan regulasi. Perbedaannya terletak pada mitra institusi;
dalam rekomendasi OECD, yang diusulkan untuk menjadi mitra adalah Kantor Menko
Perekonomian sedangkan dalam rekomendasi studi ini, yang diusulkan menjadi mitra
adalah Kementerian PPN/Bappenas.
Usulan Kementerian PPN/Bappenas sebagai mitra KPPU didasari dengan pertimbangan
bahwa Kementerian ini adalah kementerian yang bertanggung jawab untuk menyusun
rencana pembangunan nasional; dengan demikian, kementerian ini diyakini memiliki
kapasitas pengkajian kebijakan yang kuat dan memadai, sehingga kinerja unit ini
diharapkan akan lebih efektif bila ditempatkan di Kementerian PPN/Bappenas.
3. Memprioritaskan agenda pengarusutamaan kebijakan persaingan
Salah satu strategi yang efektif dalam rangka pengarusutamaan prinsip persaingan
adalah dengan menentukan prioritas untuk tema atau agenda persaingan yang hendak
dikedepankan. Belajar dari pengalaman negara lain, strategi ini akan memberikan
komitmen politik kelembagaan yang lebih besar termasuk di dalamnya komitmen untuk
mengalokasikan sumberdaya.
Agenda pengarusutamaan di Indonesia dapat difokuskan pada peningkatan daya saing
sektor jasa. Penerapan prinsip-prinsip persaingan di sektor jasa banyak berhubungan
35

dengan reformasi berbagai undang-undang dan peraturan pemerintah. Selain itu,


menghasilkan kinerja sektor jasa yang efisien sangat diperlukan mengingat output
sektor jasa sangat berperan sebagai input dalam kegiatan produksi lainnya.
Prioritas kedua mungkin dapat diberikan kepada agenda untuk menghilangkan
hambatan-hambatan yang terjadi akibat regulasi, termasuk hambatan-hambatan nontarif perdagangan. Ini diperlukan untuk menurunkan transaction costs yang terjadi dari
tidak konsistennya berbagai regulasi yang ada dengan prinsip persaingan. Dengan kata
lain, penghilangan hambatan-hambatan yang bersumber dari regulasi ini akan
meningkatkan efisiensi kegiatan perekonomian dan kesejahteraan (welfare gain),
termasuk peningkatan kesejahteraan konsumen. Penting untuk dicatat bahwa
penurunan transaction costs akan sangat berarti bagi peningkatan daya saing Indonesia
dalam konteks perdagangan bebas; dalam era perdagangan bebas, barang-barang yang
diproduksi di Indonesia akan bersaing dengan barang-barang dari negara lain yang
efisiensi perekonomiannya mungkin sudah lebih tinggi daripada yang terjadi di
Indonesia.
4. Menindaklanjuti implementasi kebijakan persaingan dengan baik
Dikala prinsip kebijakan persaingan sudah diadopsi dengan sebagaimana semestinya
dalam suatu kebijakan, implementasi dari kebijakan tersebut seringkali masih belum
benar-benar efektif. Kendala yang sifatnya struktural masih sering menjadi
penghambat. Studi kasus reformasi kebijakan disektor penyedia jasa pelabuhan (lihat
Lampiran 1) mengilustrasikan masalah ini. Setelah undang-undang pelayaran yang baru
(UU No. 17/2008) disahkan oleh DPR enam tahun yang, implementasi beberapa klausa
undang-undang tersebut belum berjalan dengan baik, seperti yang terjadi dalam hal
pemisahan fungsi pengatur dan pengelola pelabuhan.
Seperti halnya rekomendasi sebelumnya yang mengedepankan penetapan prioritas isu
dalam

pengarusutamaan,

menindaklanjuti

implementasi

kebijakan

juga

akan

tergantung pada kerja sama antara KPPU dengan lembaga lain yang terkait termasuk
pemerintah daerah.

36

5. Meningkatkan jangkauan dan partisipasi KPPU dalam proses kebijakan di


daerah
Indonesia menerapkan sistem desentralisasi pemerintahan dan kewenangan yang besar
diberikan kepada pemerintah lokal untuk membuat regulasi pada tingkat daerah.
Mengingat kewenangan yang sangat besar tetapi kurangnya pengalaman birokrasi,
sering sekali terjadi permasalahan persaingan di tingkat daerah. Pengarusutamaan
dengan demikian kurang efektif pada kebijakan-kebijakan di tingkat daerah. UNCTAD
(2009) menyebutkan kurangnya kapasitas pemerintah daerah dalam memfasilitasi
persaingan yang sehat. Laporan dari OECD Investment Policy Review juga menyebutkan
bahwa banyak pemerintah daerah yang membentuk perusahaan monopoli dan masih
beroperasi hingga saat ini
6. Meningkatkan kapasitas KPPU untuk meningkatkan kredibilitasnya dalam
menangani kasus-kasus persaingan
KPPU sebagai lembaga utama yang dapat berperan dalam pengarusutamaan, masih
terbatas dalam kapasitasnya untuk mencakup semua sektor dan isu dari persaingan.
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, kurangnya dukungan sumber daya manusia
menyebabkan kurang kuatnya dukungan dari kesekretariatan KPPU yang seharusnya
memberikan banyak dukungan pada implementasi kebijakan persaingan. KPPU dengan
demikian sulit untuk, misalnya, melakukan kegiatan advokasi dan terlibat langsung
pada proses pembuatan kebijakan mengingat sektor yang dicakup sangat luas.
Dalam konteks peningkatan kapasitas kelembagaan ini, masih perlu untuk terus
diadakannya berbagai studi untuk meningkatkan pemahaman akan isu-isu persaingan
yang terjadi di Indonesia. Saat ini masih banyak yang belum diketahui tentang isu-isu
tersebut. Beberapa isu persaingan cenderung bersifat umum artinya, banyak dan
keragaman isu sama dengan yang terjadi di negara lain. Namun demikian, banyak pula
aspek dari berbagai isu tersebut yang sifatnya khusus terjadi pada suatu negara saja,
tergantung dari karakteristik negara tersebut (atau country-specific dalam jargon
literatur pada umumnya). Misalnya, isu-isu persaingan yang berkaitan dengan
kebijakan untuk UMKM di Indonesia masih belum banyak diketahui secara pasti sampai
saat ini.

37

7. Memperluas

cakupan

sektor

dan/atau

isu

persaingan

dalam

pengarusutamaan kebijakan persaingan


Walaupun KPPU sampai saat ini telah menangani berbagai kasus penyalahgunaan
prakter persaingan, terdapat masih banyak regulasi dan kebijakan sektoral yang layak
untuk ditinjau dalam konteks penyempurnaan kebijakan. Misalnya, KPPU dapat
melakukan ini di sektor-sektor yang didominasi oleh BUMN dan/atau yang memberikan
layanan publik. Fokus juga dapat diarahkan ke kebijakan untuk UKM mengingat
peranan UKM yang penting dalam penyerapan tenaga kerja di Indonesia.
8. Mendorong partisipasi konsumen dalam proses pengarusutamaan kebijakan
persaingan
Dukungan kelompok konsumen yang mampu menjalankan fungsi monitoring publik
terhadap praktik persaingan masih sangat kurang di Indonesia. Belajar dari
pengalaman negara lain, terutama Australia, peningkatan awareness dan pengetahuan
masyarakat terbukti mampu untuk diperhatikannya aspek persaingan dalam kinerja
sebuah pasar atau sektor. Dalam implementasinya, partisipasi konsumen yang lebih
aktif ini didukung oleh analisis yang komprehensif mengenai dampak suatu kebijakan
terhadap kesejahteraan yang diterima konsumen (consumer welfare).

38

Daftar Pustaka
Airline Leader, Indonesian growth skyrockets amids a highly fragmented market,
Issue 20, http://www.airlineleader.com/regional-focus/indonesian-growth
skyrockets-amidst-a-highly-fragmented-market
Aswicahyono, H. and P. Kartika (2009), Competition Policy in Indonesia: A Stock Take of
Recent Development, Report for Asian Development Bank
Arnold, J., A. Matto, and G. Narciso (2008), Services Input and Firm Productivity in SubSaharan Africa: Evidence from Firm-level Data, Journal of International Economics, 17(4),
pp. 578-99.
Aswicahyono, Haryo dan Pratiwi Kartika (2009). Kebijakan Persaingan Usaha di Indonesia.
Analisis CSIS Vol. 41 No. 2, 2012: 248-264.
CSIS (2013), Towards Informed Regulatory Conversations And Improved
Regulatory Regime In Indonesia: Logistics Sector And Trade Facilitation, ERIA
Research Project 2012 Working Group AEC Scorecard Phase III Project (mimeo)
CUTS (2000), Competition Regimes Around the World. Monographs on Investment and
Competition Policy No. 3. Jaipur: Consumer Unity and Trust Society.
Damuri, Y.R. and T. Anas, Strategic Directions for ASEAN Airlines in A Globalizing
World: The Emergence of Low Cost Carriers in South East Asia, REPSF
Project No. 04/008
Deardorff, A. (2001), International Provision of Trade Services, Trade, and Fragmentation,
Review of International Economics, 9(2), pp. 233-48.
Dee, P. (2010), Institutions for Economic Reform in Asia. New York: Routledge.
Dee, P(2012), Services Liberalization: Impact and Way Forward, ERIA Discussion Paper
Series, Jakarta: ERIA.
Duggan, V., S. Rahardja and G. Varela (2013), Service Sector Reform and Manufacturing:
Evidence from Indonesia, Policy Research Working Paper, No. 6349, Washington, DC:
World Bank.
Dutz, M. and M. Vagliasindi (2002), Competition Policy Implementation in Transition
Economies: An Empirical Assessment, OECD CCNM/GF/COMP/WD(2002/13), Paris:
Organization for Economic Cooperation and Development.
Fernandes, A.M., and C. Paunov (2012), Foreign Direct Investment in Services and
Manufacturing Productivity, Journal of Development Economics, 97(2), pp. 305-21.

39

Gross, A. (2014), Indonesian Pharmaceutical Market 2014 Update, diunduh dari


:/Health/Indonesian%20Pharmaceuticals%202014%20Update.htm
Hoekman, B. (1998), Competition Policy in the Context of Economy-wide Reform. paper
prepared for TIPS Annual Forum, Johannesberg, September.
Iqbal, T. and O.W. Purbo (2008), Geektivism, in R. Samarajiva and A. Zainudeen (eds.),
ICT Infrastructure in Emerging Asia: Policy and Regulatory Roadblocks. Sage Publication,
pp.103-115.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (2012). Laporan Tahun 2009-2012.
Laffont, J. (1998), Competition, Information, and Development. Annual World Bank
Conference on Development Economics. Washington, DC: World Bank, 237-69.
Lin, J. R., H. Chung, M. Hsieh, and S. Wu (2012), The Determinants of Interest Margin and
Their Effect on Bank Diversification: Evidence from Asian Banks, Journal of Financial
Stability, 8, pp. 96-106.
Maarif, S. (2004), Competition Law in Indonesia: Experience to Be Taken for the
Development of Competition Law in China, Washington University Global Studies Law
Review, 3(2), pp. 333-46.
Matto, A., R. Rathindran, and A. Subramanian (2006), Measuring Services Trade
Liberalization and Its Impact of Economic Growth: An Illustration, Journal of Economic
Integration, 21(1), pp. 64-69.
Mulyaningsih, T. dan A. Daly (2011), Competitive Conditions in Banking Industry: An
Empirical Analysis of the Consolidation, Competition and Concentration in the Indonesia
Banking Industry between 2001 and 2009, Buletin Ekonomi, Moneter, dan Perbankan
Indonesia, Oktober, pp. 151-85.
OECD (1999), The Role of Competition Policy in Regulatory Reform: Japan. Paris:
Organization for Economic Cooperation and Development.
OECD (2000), The Role of Competition Policy in Regulatory Reform: Korea. Paris:
Organization for Economic Cooperation and Development.
OECD (2004), Promoting SMEs for Development, paper prepared for Promoting
Entrepreneurship and Innovative SMEs in a Global Economy: Towards a more Responsible
and Inclusive Globalization, Istanbul, 3-5 Juni 2004.
OECD (2010), OECD Reviews of Regulatory Reform: Australia. Paris: Organization for
Economic Cooperation and Development.
OECD (2011), Competition Policy Toolkit, Volume II: Guidance. Paris: Organization for
Economic Cooperation and Development.
OECD (2012). OECD Reviews of Regulatory Reform Indonesia Competition Law and Policy.
Paris: Organization for Economic Cooperation and Development.
40

OECD (2012), Competition in Hospital Services: The Policy Dimension. Paris: Organization
for Economic Cooperation and Development.
OECD (2013) OECD Health Data: How Does Indonesia Compare with OECD Countries.
Paris: Organization for Economic Cooperation and Development.
Otoritas Jasa Keuangan. (2013). PERASURANSIAN INDONESIA 2012. Jakarta: Otoritas
Jasa Keuangan.
Patunru, A., Nurridzki, dan Rivayani (2008). Port Competitiveness: A case study of
Semarang and Surabaya, Indonesia, in Infrastructures Role in Lowering Asians Trade
Costs. Mimeo.
Ray, D. (2009), Indonesian Port Sector Reform and the 2008 Shipping Law, in Cribb
Robert and Ford Michele (eds), Indonesia Beyond the Water's Edge: Managing an
Archipelagic State, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore.
Roberts, S. (2004), The Role for Competition Policy in Economic Development: The South
African Experience, Working Paper 8-2004, TIPS.
Rodriguez, A.E. and M. Williams (1998), Recent Decisions by the Venezuelan and Peruvian
Agencies: Lessons for the Export of Antitrust, The Antitrust Bulletin, 43, pp.147-78.
Rosengard, Jay K. dan A. Prasentyantoko (2011), If the Banks are Doing So Well, Why
Cant I Get a Loan?: Regulatory Constraints to Financial Inclusion in Indonesia, Asian
Economic Policy Review, 6, pp. 273-96.
Saraswati, B. and S. Hanaoka (2013), Aviation Policy in Indonesia and its Relation to
ASEAN Single Aviataion Market, Proceedings of the Eastern Asia Society for
Transportation Studies, Vol.9, 2013, http://easts.info/on-line/proceedings/vol9/PDF/P422.pdf
Stevens, D. (1995), Framing Competition Law within An Emerging Economy: the Case of
Brazil, The Antitrust Bulletin, 40(4), pp.929-71.
Thbault-Weiser, E. (2008), A Review of Select Policies of the Indonesia Ministry of
Industry, report submitted for SENADA, Indonesia Competitiveness Program (USAID).
Thabrany, H. (2012) Current Health Care System and the Future of HTA in Indonesia,
paper presented at ISPOR 5th Asia-Pacific Conference, Taipei, September 4th , 2012.
Towers and Watson (2013). Indonesia: The Future is Bright?, www.towerswatson.com
Trinugroho, Agus, Agusman Agusman, dan A. Tarazi (2014), Why have bank interest
margins been so high in Indonesia since the 1997/1998 financial crisis?, Research in
International Business and Finance, 32, pp. 139-58.
UNCTAD (2004), Competition, Competitiveness and Development: Lessons from
Developing Countries. Geneva: United Nations Conference on Trade and Investment.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
41

United Nation Committee on Trade and Development (UNCTAD) (2009). Voluntary Peer
Review on Competition Policy: Indonesia
Valetti, T. and A. Estache (1998), The Theory of Access Pricing: An Overview for
Infrastructure Regulators. Washington, DC: World Bank.
World Bank, 2013, Logistic Performance Index. Washington, DC: World Bank.

42

Lampiran 1: Beberapa Studi Kasus


Persaingan di Indonesia
Lampiran ini memaparkan beberapa studi kasus yang dapat mencerminkan isu ataupun
dampak dari keberhasilan pengarusutamaan kebijakan persaingan, melalui paparan
tentang apa yang terjadi di kasus-kasus tersebut.

Studi Kasus 1: Industri jasa penerbangan, kasus suksesnya


pengarusutamaan
Sebelum disahkannya UU No. 5/1999, industri penerbangan dikuasai oleh kartel
penerbangan. Harga tiket pesawat terbang berjadwal diatur oleh perusahaan
penerbangan melalui asosiasi penerbangan (Indonesian National Aviation Association,
INACA) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perhubungan no 25 tahun 1997. Masamasa sebelum diberlakukan UU No. 5/1999 ditandai dengan harga tiket pesawat yang
tinggi.
Pasca pemberlakuan UU No. 5/1999, pemerintah mempermudah perizinan usaha
penerbangan, dengan terbitnya peraturan Menteri Perhubungan nomor 11/2011 yang
mengijinkan perusahaan penerbangan mendapatkan ijin usaha penerbangan berjadwal
dengan mengoperasikan hanya dua pesawat terbang. Pasca terbitnya peraturan ini,
jumlah perusahaan penerbangan berjadwal meningkat dari hanya 7 menjadi 27 pada
tahun 2004 (Saraswati and Hanaoka 2015).
Dua tahun setelah diberlakukannya UU No. 5/1999, seperti dilaporkan oleh Damuri dan
Anas (2004), KPPU memutuskan dalam Surat Keputusan No, 206/K/VII/2001,
tertanggal 30 Juli 2001 bahwa penetapan tarif besama melalui INACA adalah praktik
yang melanggar UU No. 5/1999, yaitu pasal 5 ayat 11. KPPU meminta Menteri
Perhubungan untuk mencabut peraturan yang memberikan kewenangan pada INACA
untuk menetap tarif bersama. Menteri Perhubungan mencabut Surat Keputusan
Menteri Perhubungan no 25 tahun 1997 dan mengeluarkan Surat Keputusan Menteri
Perhubungan Nomor 9 Tahun 2002 mengenai penentuan tarif angkutan niaga
berjadwal dalam negeri kelas ekonomi dimana pemerintah menetapkan tarif batas atas
43

(ceilling price) dengan besaran rupiah sedang batasan bawah diserahkan kepada
masing-masing perusahaan penerbangan. Setelah pencabutan peraturan tersebut, harga
tiket pesawat terbang mengikuti mekanisme pasar dengan pemerintah menentukan
batas atas tarif.

Strategic Directions for ASEAN Airlines in a Globalizing World: LCCs

Seperti dilaporkan oleh Damuri dan Anas (2004), harga tiket pesawat untuk rute yang

For example, airfares on the JakartaSurabaya route, a 1000 kilometre trip, fell to as
sama
mengalami
penurunan
dan tobervariasi
penetapan
low as US$20,
compared
to as high
as US$90 prior
deregulation.pasca
With the
entry of newKPPU tersebut.
airlines in domestic markets over recent years, price setting has become relatively
Perusahaan penerbangan yang melayani rute yang sama menerapkan harga tiket yang
competitive. Different airlines serving the same route frequently applied different prices, with
new entrantsberbeda.
usually offering
substantially
lower fares thanperbedaan
incumbents harga
(Figure tiket
3). beberapa penerbangan
Gambar
L1.1 memperlihatkan
It is interesting to note, however, that lately the full-service airlines have taken to
baru terhadap
tiketDespite
pesawat
perusahaan
incumbent
releasing discount
airfares onharga
occasion.
this,terbang
trade analysts
are convinced
that saat itu, pasca
conventionalpenghapusan
carriers cannotperaturan
win the fare
war, as
fares cannot
be reorganized
without
first
Menteri
tentang
penetapan
tarif bersama
tersebut.
reorganizing operations (Asiatime, 2004). As we previously suggested, the low-cost carriers
model in ASEAN may differ according to local conditions, but these carriers still impose a
significant competitive threat to the full-service carriers.

Gambar L1.1. Perbedaan Harga Tiket Beberapa Perusahaan Penerbangan Baru


dengan Harga Tiket Perusahaan Lama

Figure 3: Indonesia, New Entrants vs. Incumbents, Price Differences (in Rp 000)
(100.00)
(200.00)
(300.00)
Lion Air

(400.00)
(500.00)

JT

7P

(600.00)

Adam Air
AWAIR

(700.00)

Source: Travel agents quotation

Sumber: Damuri dan Anas (2004).

The most aggressive low-cost ASEAN airlines also began to serve the Indonesian
market, with Dampak
AirAsia in the
vanguard
followed
by several others.
Recently, Valuair
entered theyang melayani
ikutan
dari
bertambahnya
perusahaan
penerbangan
Indonesian market, offering a low-fare promotional rate of US$104 for the JakartaSingapore
return tripsubstantially
lower
than the already
low faretiket
offered
by the Indonesian
domestic
penerbangan
berjadwal
serta harga
pesawat
terbang yang
makin murah dan
carrier, Lion Air, who offered one way trips on the same route for US$114. Air Asia also made
bersaing
jumlah
penumpang
pesat.a Seperti
ditampilkan dalam
flying to Kuala
Lumpur adalah
from Jakarta
and
other cities yang
much meningkat
cheaper, offering
direct return
trip for less than US$100, compared to US$250 with a full-service airline.

Gambar L1.2, jumlah penumpang pesawat terbang meningkat pesat sejak tahun 2000.

The entry of new players increased competition in the domestic market. In an attempt
Krisis ekonomi
global
memang
berdampak
negatif
industri penerbangan,
to protect domestic
airlines, the
government
recently
closed four
large terhadap
and high-potential
citiesMedan, Jakarta, Surabaya and Denpasarto non-Indonesian budget airlines, having
namun
dampak
tersebut
bersifat
terlihat dengan
jumlah
already closed
Yogyakarta
and
Semarang.
The sementara
Minister for yang
Communication
arguedpeningkatan
that
protection was necessary because domestic airlines were not yet competitive with other
penumpang pasca 2008. Indonesia merupakan salah satu negara dengan pertumbuhan
budget airlines in ASEAN but gave no indication about how long the protection would be
retained (Kompas
daily, 23jasa
March
2005).
permintaan
penerbangan
yang tinggi di dunia (Airline Leader 2014).

2. More people travel


A consequence of the lower fares is that more people are travelling. Figure 4
44the acceleration of this growth
illustrates the growth of passenger numbers in Indonesia, and
in 2004, but further work is required to isolate the effects of low-cost carriers entry from other
economics variables affecting traffic growth.

Gambar L1.2 Penumpang Pesawat Terbang: jumlah (juta orang) dan tingkat
pertumbuhan (%)

Sumber: CEIC.

Studi Kasus 2: Industri jasa pelabuhan, kasus sulitnya implementasi


pengarusutamaan
Bila deregulasi industri penerbangan berhasil menghapus monopoli dan kartel
penetapan harga dalam industri tersebut dalam waktu yang relatif singkat, tidak
demikian halnya dengan sektor pelabuhan. Pemerintah, dengan disahkannya UndangUndang Pelayaran yang baru pada tahun 2008 (UU No. 17/2008), berusaha untuk
memasukan aspek persaingan dalam usaha penyediaan jasa kepelabuhan; namun
sampai saat ini belum terlihat perubahan yang signifikan dalam pengelolaan pelabuhan
di Indonesia.
Pada masa lalu, sebelum diberlakukannya UU No. 17/2008, pelabuhan dikelola oleh
Pemerintah yang sesuai dengan UU No. 21/1992 tentang pelayaran. Berdasarkan UU
No. 21/1992, pemerintah bertindak sebagai regulator dan sekaligus sebagai operator
pelabuhan. Pemerintah membentuk beberapa perusahaan negara (BUMN) untuk
mengelola pelabuhan-pelabuhan komersial, yaitu Pelindo I, II, III dan IV, dengan
pembagian wilayah kerja seperti ditunjukan dalam Tabel L1.1.

45

Tabel L1.1. Pengelola Pelabuhan Komersial di Indonesia


Perusahaan

Cakupan Wilayah Kerja

Pelabuhan

(Provinsi)

Pelabuhan yang Dikelola


Belawan, Pekanbaru, Dumai,

Pelindo I

Aceh, Sumatera Utara, Riau

Tanjung Pinang, Lhokseumawe


Tanjung Priok, Panjang,
Palembang, Teluk Bayur,

Pelindo II

Pelindo III

Pelindo IV

Sumatera Barat, Jambi,

Pontianak, Cirebon, Jambi,

Sumatera Selatan, Bengkulu,

Bengkulu, Banten, Pangkal

Lampung, DKI Jakarta

Balam, Tanjung Pandan

Kalimantan Tengah, Kalimantan

Tanjung Perak, Tanjung Emas,

Selatan, Nusa Tenggara Barat,

Barjarmasin, Benoa,

Nusa Tenggara Timur

Tenau/Kupang

Sulawesi (Bagian Selatan,

Makassar, Balikpapan,

Tenggara, Tengah dan Utara),

Samarinda, Bitung, Ambon,

Maluku, Irian Jaya

Sorong, Biak, Jayapura

Sumber: Ray (2009)

Dengan diberlakukannya UU No. 17/2008, maka Indonesia secara hukum melakukan


perubahan rejim pengelolaan pelabuhan. Tabel 4.2 memberikan gambaran singkat
mengenai perbedaan UU 21 No. /1992 dan UU No. 17/2008, yang mencakup kontrol
terhadap pelabuhan dan pelayaran, pengelolaan pelabuhan, usaha penunjang
pelabuhan, tarif dan rencana induk.
Kontrol atas usaha pelayaran dan pengelolaan pelabuhan
UU No. 21/1992 menyatakan bahwa, pelayaran, termasuk pengelolaan pelabuhan di
dalamnya, dikuasai oleh negara; dan untuk pengelolaan pelabuhan komersial,
pemerintah membentuk BUMN. Dengan demikian, Pelindo adalah satu-satunya
pengelola pelabuhan di Indonesia. Dalam praktiknya, Pelindo melakukan kerja sama
dan usaha patungan dengan swasta asing, seperti dalam pengelolaan sebagian
pelabuhan Tanjung Priok, pengeloaan sebagian pelabuhan Belawan dan Tanjung Perak.
Berdasarkan UU No. 17/2008, peran pemerintah hanya sebagai pengatur (regulator)
yang menetapkan kebijakan terkait pelayaran termasuk pelabuhan dan pemilik
46

pelabuhan, sementara pengelolaan pelabuhan dapat dilakukan oleh pelaku usaha


swasta atau BUMN, termasuk di dalamnya usaha patungan dengan perusahaan asing
(lihat Tabel L1.2).10

10

Swasta domestik maupun asing yang berpatungan dengan BUMN atau swasta domestik dengan komposisi
kepemilikan asing tidak lebih dari 49 persen.

47

Tabel L1.2. Perubahan Aturan Pengelolaan Pelabuhan


UU No. 21/1992
Pengendalian

Pelayaran dikendalikan oleh


pemerintah

UU No. 17 /2008
Pemerintah bertindak sebagai
regulator, pihak swasta diijinkan
menjadi operator pelabuhan

Pengelolaan

Pengelolaan pelabuhan merupakan

Keselamatan: pengelola

Pelabuhan

pelayanan bersama antara instansi

pelabuhan

pemerintah terkait.

Fungsi regulasi pengelolaan


pelabuhan: Otoritas pelabuhan

Pemerintah bertugas sebagai

untuk pelabuhan komersil atau

operator pelabuhan umum. Untuk

unit pengelola pelabuhan non-

melaksanakan tugasnya sebagai

komersil (pemerintah pusat atau

operator, pemerintah dapat

pemerintah daerah)

menunjuk badan usaha milik negara

Fungsi Bisnis: BUMN atau

yang didirikan untuk tujuan bisnis

perusahaan swasta dalam negeri

Aktivitas penunjang

Penyedia: Badan hukum atau warga

bisnis pelabuhan

negara Indonesia
Pemerintah menentukan jenis,

Tarif

struktur dan klasifikasi tarif layanan


pelabuhan

Swasta dan asing diijinkan


Pemerintah tetap menentukan
tarif namun memberikan
kebebasan dalam hal tertentu
kepada operator
Kementerian menyusun Master

Master Plan

Plan Pelabuhan untuk jangka

Tidak tersedia

waktu 20 tahun dan dievaluasi


setiap 5 tahun.

UU 17/2008 mensyaratkan pembentukan otoritas pelabuhan pada pelabuhanpelabuhan komersial dan unit penyelenggaraan pelabuhan di pelabuhan-pelabuhan
kecil. Otoritas pelabuhan dan unit penyelenggaraan pelabuhan ini merupakan
perpanjangan tangan pemerintah untuk memberikan (melelang) konsesi pengelolaan
pelabuhan kepada operator. Pada prinsipnya, otoritas pelabuhan dan unit
penyelenggara pelabuhan adalah wakil pemerintah yang bertindak sebagai pemilik
pelabuhan.

Usaha Penunjang Pelabuhan


48

Berdasarkan UU No. 21/1992, usaha penunjang pelabuhan hanya dapat dilakukan oleh
badan usaha Indonesia atau orang perseorangan, sedangkan UU No. 17/2008
membolehkan swasta dan asing untuk memberikan jasa penunjang pelabuhan.
Penetapan Harga
Berdasarkan UU No. 21/1992, pemerintah menetapkan harga, struktur biaya dan
klasifikasi harga jasa pelabuhan. Sedangkan dalam UU No. 17/2008, harga jasa
pelayanan pelabuhan ditentukan oleh pemberi jasa berdasarkan formula yang
ditetapkan oleh pemerintah, setelah mengkomunikasikannya kepada pengguna jasa
dengan difasilitasi oleh Otoritas Pelabuhan. Kenaikan harga tidak dapat dilakukan bila
pengguna jasa berkeberatan dan Menteri Perhubungan tidak mengesahkan kenaikan
harga tersebut.
Kendala Implementasi UU No. 17/2008
Enam tahun setelah UU17/2008 disahkan oleh DPR, implementasi dari klausa-klausa
penting dari UU tersebut tidak berjalan dengan baik. Misalkan untuk kasus pemisahan
fungsi pengatur dan pengelola belum berjalan lancar. Walaupun pemerintah telah
membentuk otoritas pelabuhan di pelabuhan-pelabuhan komersial besar, namun
Otoritas Pelabuhan belum sepenuhnya menjadi menjadi pemilik pelabuhan (landlord)
dan pemberi konsesi dikarenakan secara de facto pada saat UU No. 17/2008 disahkan,
seluruh pelabuhan komersial sudah berada di bawah kendali Pelindo selama puluhan
tahun, sehingga dalam pelaksanaannya pemisahan fungsi ini tidak berjalan lancar.
Diperlukan penghitungan aset Pelindo untuk menentukan besarnya aset dan investasi
yang dimiliki oleh Pelindo yang harus dikeluarkan dari nilai konsesi yang diserahkan
Otoritas Pelabuhan kepada Pelindo dengan berlakunya Undang Undang yang baru.
Namun, tahapan ini sulit dilakukan karena Otoritas Pelabuhan belum dilengkapi dengan
sumber daya manusia dan sumber daya finansial yang memungkinkan Otoritas
melakukan penghitungan tersebut.
Dalam penetapan harga pelayanan pelabuhan yang disebut dengan Terminal Handling
Charge (THC), persyaratan yang ditentukan oleh UU No. 17/2008 belum sepenuhnya di
implementasikan. Hasil penelitian CSIS (2013) menunjukan bahwa penetapan tarif
masih mengikuti prosedur lama. Namun demikian, pihak Kementerian Perhubungan
49

menyatakan bahwa aturan mengenai penetapan harga sedang direvisi mengikuti


persyaratan UU No. 17/2008. Lambatnya revisi aturan pelaksana menunjukan bahwa
dalam tataran pelaksanaan kesulitan untuk mendobrak monopoli adalah nyata.
Akselerasi pelaksanaan aturan, dalam hal ini undang-undang pelayaran yang baru
memerlukan partisipasi aktif pemangku kepentingan.

50

Studi Kasus 3:

Undang-undang perdagangan dan investasi yang


baru,
kasus
tantangan
bagi
process
pengarusutamaan

Awal tahun 2014 ditandai dengan keluarnya dua undang-undang baru yang mengatur
perindustrian dan perdagangan, yaitu UU No. 3/2014 tentang Perindustrian dan UU No.
7/2014

tentang

Perdagangan.

Pelaksanaan

kedua

undang-undang

tersebut

memerlukan beberapa peraturan pelaksana yaitu Peraturan Pemerintah, Peraturan


Presiden dan Keputusan Menteri. UU No. 7/2014 memerlukan 9 Peraturan Pemerintah,
14 Peraturan Presiden dan 20 Keputusan Menteri (Setkab, 17/2/2014).11
Kedua Undang Undang baru ini memberikan ruang bagi perlindungan dan bantuan
untuk pelaku usaha dalam negeri. Undang-Undang Perdagangan memberikan ruang
kepada pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada produsen domestik
terhadap persaingan impor. Disamping itu, pemerintah juga dapat membatasi ekspor
bilamana pasar domestik mengalami kekurangan. Terkait kebutuhan pokok,
pemerintah, baik pusat maupun daerah akan mengontrol ketersediaan barang di dalam
negeri. Undang Undang Perindustrian juga memberikan ruang bagi perlindungan dan
bantuan untuk pelaku usaha dalam negeri. Undang_Undang Perindustrian memberikan
perlindungan kepada industri strategis dan perlindungan serta dukungan terhadap
pelaku usaha dalam rangka membangun industri dengan nilai tambah. Pemerintah juga
dapat membatasi ekspor bahan mentah untuk keperluan dalam negeri.
Kekhawatiran atas terbitnya kedua Undang- Undang ini adalah pemberian
perlindungan kepada pelaku usaha tertentu, yang mana bertentangan dengan prinsip
persaingan yang sehat dalam UU No. 5/1999. Mengingat rentannya aturan pelaksana
kedua Undang Undang tersebut terhadap pemberiaan perlindungan pada pelaku usaha
tertentu, maka KPPU perlu memberikan masukan dan arahan dalam pembuatan aturan
pelaksana kedua Undang-Undang tersebut, sesuai tugas KPPU seperti tercantum dalam
pasal 35 (e). Idealnya, kebijakan yang baik memastikan adanya persaingan. Bilamana
persaingan tidak dapat terjadi, maka diperlukan kebijakan yang baik yang dapat
memastikan tidak ada posisi dominan ataupun abuse of market power.

11

http://setkab.go.id/berita-12123-pemerintah-siapkan-9-pp-14-perpres-dan-20-permen-untuk-laksanakan-uuperdagangan.html

51

Undang Undang Perdagangan misalnya memberikan kekuasaan yang besar kepada


Menteri

Perdagangan

untuk

membuat

peraturan

yang

membatasi

kegiatan

perdagangan, baik dalam negeri maupun perdagangan internasional. Idealnya, KPPU


memberikan saran agar peraturan-peraturan pembatasan tersebut dibuat secara
transparan dan akuntabel. Transparansi sangat diperlukan mengingat pembatasan
perdagangan dengan menggunakan perizinan dan kuota adalah metode yang paling
tidak efisien. Kalaupun diterapkan, kuota dan perizinan seharusnya diterapkan melalui
tender (competitive bidding) bukan berdasarkan keputusan diskresioner.
Demikian juga dengan undang-undang perindustrian, idealnya KPPU memberikan saran
dan acuan pembuatan peraturan pelaksana Undang-Undang tersebut dengan
memasukan prinsip-prinsip persaingan sehingga industri yang efisien dapat terwujud.

52

Lampiran 2: Rekomendasi OECD untuk


Keterkaitan antara KPPU dengan
Kementerian
Koordinator
Bidang
Perekonomian
Dalam OECD Reviews of Regulatory Reform (OECD 2012, halaman 12-13), OECD
mengajukan beberapa pilihan keterkaitan antara KPPU dengan Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko).
Pada pilihan pertama, Kemenko akan diikutsertakan sebagai institusi yang memberikan
pemberitahuan kepada KPPU untuk setiap rancangan undang-undang. Hal ini akan
memberikan KPPU kesempatan untuk menilai isu-isu signifikan terkait persaingan yang
perlu didiskusikan, kemungkinan dapat berupa konsultasi dengan Kementerian terkait.
Pemberitahuan tersebut secara ideal dilakukan pada saat naskah akademis mulai
dibuat sehingga KPPU dapat memberikan saran dalam perumusan rancangan undangundang sejak awal.
Adapun variasi dari pilihan ini adalah pemberitahuan oleh Kemenko kepada KPPU
hanya dilakukan pada rancangan peraturan yang langsung terkait dengan bisnis dan
konsumen. Hal ini berarti peraturan yang terkait dengan kebijakan sosial atau
pertahanan negara tidak memerlukan saran/rekomendasi dari KPPU. Mekanisme yang
lebih spesifik ini akan memudahkan KPPU dan Kemenko dalam mengalokasikan sumber
daya dan meningkatkan efisiensi penggunaan waktu. Oleh karena itu, opsi ini
kemungkinan akan lebih didukung oleh pihak Kementerian.
Pilihan kedua akan menjadikan Kemenko atau Kementerian Koordinator lainnya,
sebagai institusi yang melaksanakan penilaian awal terhadap rancangan undangundang untuk kemudian memutuskan apakah konsultasi dengan KPPU benar-benar
dibutuhkan. Penilaian awal dapat didasarkan pada OECDs Competition Assessment
Toolkit.

53

Apabila terdapat dugaan pembatasan persaingan, penilaian yang lebih seksama dan
konsultasi dengan KPPU dapat dilakukan. OECD berpendapat bahwa pilihan pertama
lebih mungkin dilakukan karena para tenaga ahli di bidang persaingan tersentralisasi di
KPPU sehingga sebaiknya semua rancangan peraturan harus dikonsultasikan dengan
KPPU.
Dalam skenario terakhir ketika kedua pilihan tidak dipilih (atau dibutuhkan waktu yang
lama dalam pengimplementasiannya), inisiatif yang sifatnya lebih terbatas dapat
dilakukan oleh KPPU, yaitu dengan meningkatkan kontribusi KPPU dalam pembuatan
peraturan yang lebih bersahabat dengan persiangan usaha pada sektor-sektor yang
menjadi prioritas, khususnya infrastruktur. Semua rancangan peraturan terkait
investasi proyek infratrsuktur besar, seperti peraturan terkait persaingan dalam sektor
pelabuhan, dapat dianalisis oleh KPPU. Pendekatan ini dapat diimplementasikan
dengan beberapa cara, sebagai contoh dengan membuat Keputusan Presiden atau
Instruksi Presiden yang menyebutkan kementerian yang bertanggung jawab dalam
proyek infratsruktur terkait diwajibkan untuk berkonsultasi dengan KPPU pada tahap
awal pengembangan peraturan. Kemenko dapat menjadi institusi yang bertanggung
jawab dalam memastikan bahwa konsultasi ini dilakukan.

54

Lampiran 3 : Analisis Sektoral


1. Perkembangan dan Isu Persaingan di Sektor Jasa
1.1 Pendahuluan
Analisis pada bab-bab sebelumnya dalam laporan ini telah memberikan paparan tentang
pentingnya pengarusutamaan kebijakan persaingan dan juga telah memberikan beberapa
rekomendasi untuk peningkatan efektifitas pengarusutamaan ini secara umum. Bab ini ingin
lebih jauh lagi menggarisbawahi pentingnya pengarusutamaan kebijakan persaingan dengan
memberikan ilustrasi tentang beberapa isu persaingan yang masih ataupun dapat terjadi
dalam kinerja di beberapa sektor perekonomian. Potensi pengarusutamaan kebijakan
persaingan tentunya dapat terjadi di banyak sektor; namun, mengingat keterbatasan sumber
daya, laporan ini memfokuskan pembahasan hanya pada sektor jasa dan memberikan
paparan/analisis dalam studi kasus beberapa sektor jasa tertentu, yaitu: jasa telekomunikasi,
jasa pelabuhan dan pelayaran, jasa keuangan, dan jasa kesehatan. 12 Paparan ini adalah
analisis dasar (baseline analysis) atas permasalahan persaingan yang dihadapi oleh sektorsektor ini. Studi ini perlu diikuti oleh studi yang lebih mendalam untuk mengidentifikasi
peraturan serta kebijakan yang mendistorsi persaingan di sektor tersebut.
1.2 Kerangka Pikir
Terdapat paling tidak dua alasan mengapa studi ini memfokuskan pada sektor jasa. Pertama,
seperti yang mungkin tidak banyak disadari, sektor jasa sangat berperan sebagai input
produksi, baik dalam produksi barang ataupun jasa lainnya. Seperti yang dikemukakan oleh
Duggan, Rahardja, dan Varela (2013), sektor jasa menyumbang sebanyak 35 persen dari total
input antara yang digunakan dalam sektor produksi di Indonesia. Kedua, pencapaian kinerja
industri yang efisien pada sektor jasa sangat tergantung pada apakah regulasi yang ada telah
menjamin terjadinya efisiensi ini. Dalam literatur ekonomi, hal ini kerap dikaitkan dengan
apa yang dinamakan isu-isu dalam negeri (behind border issues). Seperti yang telah
dikemukakan sebelumnya (lihat Bab 3), banyak atau sebagian besar dari upaya
12

Dalam pembahasan sektor jasa kesehatan, studi ini juga mencakup pembahasan subsektor farmasi. Sektor
farmasi dapat dikategorikan sebagai sektor barang/industri pengolahan namun, mengingat relevansi sektor ini
terhadap sektor jasa kesehatan dan sektor kesehatan secara umum, studi ini mengikutsertakan pembahasan
sektor farmasi.

55

pengarusutamaan kebijakan persaingan terkait dengan upaya untuk mengadopsi prinsipprinsip persaingan secara menyeluruh dalam setiap kebijakan ekonomi serta regulasi.
Pada prinsipnya, tidak efisiennya kinerja suatu sektor jasa akan menghasilkan biaya
tambahan yang seharusnya tidak diperlukan. Hal ini sebenarnya dapat dianalogikan dengan
dampak dari adanya tarif perdagangan pada sektor barang (Deardorff 2001). Pada sektor
barang, adanya tarif perdagangan akan membuat harga barang tersebut lebih mahal (sebesar
tarifnya) daripada harga barang di pasar internasional. Menerapkan logika ini pada sektor
jasa, besarnya tarif dapat dianalogikan sebagai besarnya biaya jasa (atau sering dikenal
sebagai service cost) yang diperlukan untuk memproduksi suatu barang ataupun jasa lainnya.
Semakin tidak efisien kinerja suatu sektor jasa, semakin besar/mahal pula service cost yang
harus dikeluarkan untuk menggunakan jasa dari sektor tersebut. Dalam kondisi ideal besaran
service cost ini sepatutnya berada pada nilai keekonomiannya, yaitu nilai yang menjamin
keberlangsungan usaha di sektor jasa tersebut.
Penting untuk dicermati disini bahwa tarif yang dikenakan pada sektor barang akan menjadi
pemasukan bagi pemerintah; sementara service cost tidak menjadi penerimaan pemerintah
tetapi menjadi real cost yang ditanggung oleh perekonomian (oleh sektor lain ataupun oleh
konsumen) (Deardorff 2001, hal. 236).
Dampak kinerja sektor jasa terhadap kegiatan sektor lain dapat bervariasi tergantung dari
karakter industri yang menggunakan jasa tersebut sebagai input produksi. Deardorff (2001,
hal. 237) menjelaskan bahwa jasa perdagangan (trade services), yang didefinisikan sebagai
jasa yang muncul sebagai permintaan dari adanya kegiatan perdagangan, secara umum
memberikan dampak yang lebih besar dibandingkan jasa lainnya.13 Perbedaan ini dapat
terjadi, salah satunya, karena adanya penghematan dalam komponen biaya tetap (fixed cost)
pada jasa yang dijual. Selain jasa perdagangan ini sektor-sektor jasa tertentu menentukan
kinerja sektor-sektor yang berada dalam suatu jejaring produksi.
Seperti yang telah disebutkan regulasi memainkan peranan dalam menentukan kinerja sektor
jasa karena pemerintah pada umumnya ingin mengatur sektor jasa guna mencegah kegagalan

Bentuk yang lebih spesifik dari jasa perdagangan dalam pengertian ini adalah jasa
transportasi, dan sebagian dari jasa asuransi, jasa keuangan, dan jasa komunikasi.
56

13

pasar (market failures) dan/atau dalam rangka pemenuhan tujuan sosial tertentu (Dee 2012).14
Oleh karena itu, peningkatan efisiensi di sektor jasa sangat terkait dengan reformasi regulasi.
Seperti yang juga diutarakan oleh Dee (2012), tahapan perencanaan reformasi regulasi perlu
diperhatikan dengan seksama; karena jika tidak reformasi regulasi justru berpotensi menjadi
kendala terealisasinya ataupun tercapainya tujuan regulasi tersebut. Perlu juga diperhatikan
bahwa kendala akibat regulasi sangat tergantung pada karakter industri yang di regulasi
(Deardorff 2001). Namun demikian, terdapat satu kendala yang cenderung terjadi di banyak
sektor jasa, yaitu adanya badan regulasi yang tidak independen ataupun tidak bebas dari
berbagai kepentingan yang ada, terutama kepentingan-kepentingan dalam pemerintah. Oleh
karena itu, salah satu kondisi awal yang dapat menjamin terjadinya persaingan yang
mengarah pada efisiensi adalah adanya badan regulasi yang benar-benar independen.
Secara umum, berbagai studi menunjukan bahwa peranan sektor jasa sangat penting dalam
perekonomian, tidak saja sebagai barang konsumsi tetapi juga sebagai input produksi. Matto,
Rathindran, dan Subramanian (2006) menunjukkan bahwa dampak positif dari liberalisasi
sektor keuangan dan telekomunikasi terhadap pertumbuhan ekonomi lebih besar daripada
dampak positif liberalisasi sektor barang. Lebih jauh lagi, hasil empiris studi mereka
menunjukkan bahwa negara-negara yang memiliki sektor keuangan dan telekomunikasi yang
lebih terbuka memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat daripada negara-negara
lainnya. Sementara itu, beberapa studi lainnya menunjukkan bahwa meningkatnya derajat
kompetisi di sektor jasa domestik akibat partisipasi investasi atau penyelenggara jasa asing
terbukti dapat meningkatkan produktivitas di sektor industri pengolahan; seperti yang
dikemukakan oleh Arnold, Matto, dan Narciso (2008) untuk negara-negara di Afrika,
Fernandes dan Paunov (2008) untuk Chile, dan Duggan, Rahardja, dan Varela (2013) untuk
Indonesia.
Berikutnya akan dipaparkan analisis beberapa sektor jasa di Indonesia, yang meliputi paparan
pentingnya sektor tersebut terhadap perekonomian dan isu-isu persaingan apa saja yang ada
dalam sektor tersebut.
1.3 Jasa Telekomunikasi
14

Contoh pemenuhan tujuan sosial adalah pemenuhan layanan kesehatan atau pendidikan bagi seluruh lapisan
masyarakat.

57

Dengan populasi yang besar serta wilayah yang luas, sektor telekomunikasi Indonesia
merupakan sektor yang memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi dan
berpotensi mendorong pertumbuhan ekonomi. Sektor ini merupakan salah satu sektor
ekonomi yang paling dinamis karena sejarahnya dalam perekonomian Indonesia; dan
menjadi salah satu kontributor utama dalam pertumbuhan ekonomi pasca deregulasi dan
privatisasi yang terjadi setelah krisis tahun 1998. Grafik di bawah ini menggambarkan
pertumbuhan sektor komunikasi di Indonesia serta kontribusinya terhadap Produk Domestik
Bruto (PDB) Indonesia.
Gambar L3.1. Proporsi Sektor Komunikasi terhadap PDB dan Tingkat Pertumbuhan
(dalam persen), 2001-2013

Sumber: CEIC
Sektor telekomunikasi menjadi primadona dalam investasi asing baik melalui privatisasi dan
peningkatan kepemilikan asing. Pada tahun 1995 PT Indosat diprivatisasi melalui penjualan
saham baik di Jakarta dan New York dan menghasilkan sekitar 1,4 miliar USD. PT Telkom
juga mengalami privatisasi dengan penjualan 19% kepemilikan saham di New York, London
dan Jakarta. Empat tahun kemudian pemerintah menjual 9,6% dan 14% sehingga pemerintah
memegang 51% kepemilikan saham. Grafik L3.2 menggambarkan besarnya investasi yang
terjadi di sektor transportasi dan komunikasi dari tahun 1990an dan besarnya investasi ini
terhadap output perekonomian nasional.
Gambar L3.2. Investasi Sektor Transportasi dan Komunikasi, 1995-2013
58

Sumber: Badan Kordinasi Penanaman Modal (BKPM)


Menurut studi internal PT Telkom, penetrasi sambungan telepon tidak bergerak (fixed-line) di
Indonesia (termasuk telepon tidak bergerak nirkabel) hanya sebesar 14,9% sedangkan
penetrasi seluler mencapai 71,9% pada tahun 2009. Peningkatan terbesar terjadi pada tahun
2005 (sekitar 12,5 juta) hingga tahun 2012 mencapai 41 juta pengguna. Pemain sektor ini
meliputi PT Telkom, PT Indosat dan PT Bakrie Telecom. Gambar L3.3 memberikan sebaran
pengguna sambungan fixed-line di Indonesia berdasarkan data dari Kementerian Komunikasi
dan Informasi.

59

Gambar L3.3. Persebaran Pengguna sambungan fixed-line di Indonesia, 2009

Sumber: CEIC
Gambar L3.4 menggambarkan pangsa pasar segmen sambungan fixed-line di antara ketiga
penyelenggara jasa sambungan ini. PT Telkom mengungguli operator lainnya dengan
menguasai 70 persen dari total sambungan (27 juta sambungan) sementara 30 persen dari
total sambungan dimiliki oleh PT Indosat.
Gambar L3.4. Pangsa Pasar Segmen Sambungan Fixed-line, 2010-2013

Sumber: Kementerian Komunikasi dan Informatika


*Data 2013 sampai Maret 2013
Sementara itu, untuk segmen pasar seluler (mobile), tingkat pertumbuhannya adalah yang
tertinggi dibandingkan segmen-segmen pasar jasa telekomunikasi lainnya (lihat Gambar
L3.5). Segmen pasar ini juga kerap menjadi sasaran investor asing yang masih melihat
Indonesia sebagai pasar potensial. Pemain besar dalam sektor ini adalah Telkomsel, Indosat,
XL Axiata, 3 Indonesia dan SmartFren, dengan penetrasi mencapai 117 persen atau 286,5
juta sambungan pada tahun 2013.
60

Gambar L3.5. Sambungan Seluler, 2007-2017

Sumber: EIU
*2014-2017 merupakan proyeksi
Sementara itu, Gambar L3.6 memperlihatkan distribusi pangsa pasar di antara penyelenggara
jasa sambungan seluler. Seperti pada segmen pasar fixed line, PT Telkom (melalui
Telkomsel) masih mendominasi segmen pasar ini. Pangsa pasar yang besar juga dimiliki oleh
PT Indosat yang kemudian diikuti oleh PT XL Axiata.
Gambar L3.6. Pangsa Pasar Segmen Seluler, 2012-2013

Sumber: CEIC
*Data 2013 sampai Maret 2013
Perkembangan sektor broadband dan internet dapat dilihat di Gambar L3.7. Terlihat bahwa
perkembangan segmen pasar sambungan internet dan broadband masih berada pada tingkat
perkembangan yang dini dengan penetrasi sambungan yang masih relatif rendah
dibandingkan dengan beberapa negara-negara lainnya. Pada tahun 2013, fixed broadband
subscriber terhitung sekitar 3,6 juta pengguna. Di masa depan, potensi Indonesia dalam
pengembangan sektor ini, khususnya melalui sambungan mobile broadband.
61

Gambar L3.7. Pangsa Pasar Segmen Seluler, 2012-2013

Sumber: World Development Indicators, Bank Dunia


Undang-undang Telekomunikasi Nomor 36 Tahun 1999
Undang-undang ini menggantikan undang-undang telekomunikasi sebelumnya, yaitu
Undang-undang Telekomunikasi Tahun 1989. Dalam undang-undang tahun 1989 ini,
pemerintah mengijinkan partisipasi investasi asing dalam bentuk joint-venture dengan
kepemilikan asing maksimum 35 persen. Kebijakan ini sebagian besar mengijinkan
terjadinya privatisasi PT Telkom dan PT Indosat sebagai penyelenggara utama jasa
telekomunikasi di Indonesia pada saat itu. Undang-undang tahun 1989 ini juga yang
memberikan hak ekslusif penyediaan jasa telekomunikasi di Indonesia, yaitu kepada PT
Telkom untuk layanan telekomunikasi lokal dan kepada PT Indosat (dan juga ke anak
perusahaannya, PT Satelindo) untuk layanan sambungan jarak-jauh internasional. Pemberian
hak ekslusif ini diberikan kepada PT Telkom minimal selama 15 tahun dan kepada PT
Indosat sampai tahun 2004. Dalam undang-undang ini disebutkan juga bahwa bahwa PT
Telkom dapat bekerja sama dengan perusahaan lain yang menyelenggarakan jasa
telekomunikasi untuk dan atas nama PT Telkom dalam kerangka Kerja Sama Operasi (KSO).
Undang-undang telekomunikasi yang baru tahun 1999 (UU No. 36/1999), bersama juga
dengan peraturan pemerintah No. 52/2000, mengenalkan beberapa perubahan mendasar yang
bertujuan untuk meningkatkan kinerja dan memperluas cakupan penyelenggaraan jasa
62

telekomunikasi. Terkait dengan tujuan ini adalah upaya peningkatan penetrasi jasa
telekomunikasi secara nasional yang ketika itu masih sangat rendah. Pada intinya, UU No.
36/1999 dan PP. No. 52/2000, dan juga Cetak Biru Reformasi Telekomunikasi Indonesia
(Kepmen Perhubungan No. 72/1999), memberikan penekanan pada upaya untuk
meningkatkan

iklim

yang

kondusif

bagi

investasi

untuk

penyelenggaraan

jasa

telekomunikasi.
Elemen dari kebijakan reformasi sektor telekomunikasi yang terjadi di tahun 1999 dapat
disarikan sebagai berikut, menurut level fungsionalnya:
Elemen pembuatan kebijakan:

Perluasan peraturan-peraturan terkait sektor telekomunikasi;

Pengembangan strategi terkait penghapusan monopoli;

Pemisahan fungsi operasi dan fungsi regulator serta mempersiapkan badan regulator yang
independen.

Elemen regulator:

Mempromosikan kompetisi pada basis multi-operator;

Melindungi kepentingan konsumen;

Membentuk universal access regime yang transparan, kompetitif, netral dan adil; serta

Membentuk proses perizinan yang transparan, adil dan tidak diskriminatif.

Elemen operasional:

Penghapusan diskriminasi terkait status operator;

Menghapus perbedaan antara basic dan non-basic services;

Membedakan antara jaringan telekomunikasi dan provider jasa telekomunikasi;

Mempromosikan kompetisi dan secara progresif membuka pasar untuk investasi luar
negeri.

Implementasi dari kebijakan reformasi ini kemudian mengakhiri hak ekslusif, atau hak
monopoli, yang dimiliki PT Telkom dan PT Indosat. Ini merupakan satu elemen kebijakan
yang sangat penting bagi perkembangan sektor telekomunikasi secara umum, dan telah
mengikuti best practice yang ada dari pengalaman beberapa negara lain. Selanjutnya, dan
63

melalui beberapa proses hukum yang pada dasarnya meniadakan kepemilikan silang antara
PT Telkom dan PT Indosat, di awal tahun 2000 hak ekslusif yang dimiliki kedua perusahaan
negara ini benar-benar diakhiri dan pasar penyelenggaraan jasa telekomunikasi menjadi
terbuka.
Selain penghapusan monopoli, elemen kebijakan penting lainnya adalah upaya pembentukan
badan regulator sektor telekomunikasi. Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI)
kemudian dibentuk dengan landasan hukum Keputusan Kementerian Perhubungan Nomor 31
Tahun 2003. Secara umum BRTI memiliki tujuan untuk menjaga transparansi, independensi
dan keadilan (fairness) pada sektor jaringan telekomunikasi dan jasa operator, dan berfungsi
sebagai lembaga yang mengatur dan sekaligus mengawasi persaingan dan kinerja para
penyelenggara jasa telekomunikasi ataupun subsektor pendukungya. Mengenai struktur
organisasinya, BRTI saat ini masih menjadi bagian dari Kementerian Komunikasi dan
Informatika.
Isu persaingan di jasa telekomunikasi
Sektor telekomunikasi Indonesia telah mengalami satu fase perubahan yang mendasar di
tahun 1999. Dengan berjalan waktu telah terjadi banyak perubahan yang dampaknya
terefleksikan dalam peningkatan kinerja sektor ini secara umum; namun implementasi
kebijakan reformasi yang dimulai tahun 1999 tersebut dirasa belum maksimal. Bagian di
bawah ini memaparkan beberapa isu persaingan yang dapat dan masih terjadi di dalam sektor
telekomunikasi.
Isu persaingan dapat terjadi dalam kaitannya dengan kinerja BRTI. Secara khusus terdapat
isu independensi BRTI karena lembaga tersebut berada dalam struktur organisasi pemerintah,
atau paling tidak organisasi yang dipengaruhi oleh pemerintah. Seperti yang digambarkan
dalam Gambar L3.8, Direktur Jenderal Pos dan Telematika (Dirjen Postel) secara langsung
menjadi Kepala BRTI, dan demikian memberikan dukungan terkait regulasi-regulasi yang
dikeluarkan BRTI. Selain itu, sumber pendanaan BRTI masih berasal dari Ditjen Postel.
Seperti yang dikemukakan sebelumnya, pengertian badan regulasi yang indepeden termasuk
di dalamnya adalah terbebasnya badan regulator tesebut dari berbagai kepentingan, termasuk
kepentingan pemerintah. Dalam hal ini, BRTI belum benar-benar dapat dikatakan sebagai
badan regulator yang independen mengingat masih besarnya pengaruh pemerintah lewat
64

struktur organisasi dan sumber pendanaan. Sebagai ilustrasi, BRTI dianggap belum atau
tidak, mengambil pendekatan yang sifatnya technology-neutral dalam kebijakan penerapan
teknologi broadband. Pandangan ini dikemukakan oleh pemerhati sektor telekomunikasi di
Indonesia termasuk MASTEL (Masyarakat Telekomunikasi).15 Sebagai lembaga yang
independen dan menurut prinsip technology-neutral BRTI selayaknya membebaskan pilihan
teknologi yang dipakai oleh operator apakah itu WiMAX 16d (fixed broadband), WiMAX
16e (mobile broadband), ataupuN LTE (Long Term Evolution)/4G. Tetapi pada praktiknya
BRTI justru mendukung kebijakan Kementerian Komunikasi dan Informatika yang mengatur
bagaimana dan kapan teknologi broadband tertentu dapat diterapkan walaupun tidak ada
eksternalitas yang diciptakan apabila pilihan teknologi tersebut diserahkan pada operator.

15

Pandangan ini tertuang, misalnya, dalam artikel berjudul Regulasi WiMAX, Perlukah? yang ditulis oleh Mas
Wigrantoro R. Setiyadi yang merupakan salah satu anggota Dewan Pengurus Harian MASTEL.

65

Gambar L3.8. Struktur Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia

Sumber: BRTI
Posisi dominan penyelenggara telekomunikasi
Walaupun sektor telekomunikasi telah dibuka untuk mendukung lebih banyaknya
penyelenggara jasa telekomunikasi, pasar jasa telekomunikasi di Indonesia masih didominasi
oleh PT Telkom yang sebelumnya merupakan salah satu BUMN pemegang hak monopoli
penyelenggaraan jasa telekomunikasi. PT Telkom memiliki pangsa pasar sambungan telepon
tidak bergerak (fixed-line) sebesar 60 persen dan pangsa pasar sambungan seluler (mobile)
lebih dari 45 persen (lihat Gambar L3.4 dan L3.6). Demikian pula yang terjadi untuk
66

penyediaan jasa internet dan sambungan broadband. PT Indosat sementara itu juga memiliki
pasar yang besar walaupun tidak sebesar yang dimiliki PT Telkom.
Dominasi PT Telkom di pasar sambungan fixed-line dapat dikatakan terjadi karena
komplikasi dari percepatan pencabutan status monopoli yang dimilikinya sebagai penyedia
jasa sambungan ini. Pada era sebelum reformasi telekomunikasi tahun 1999 mekanisme
utama penyediaan jasa sambungan fixed-line oleh PT Telkom dilakukan dengan
cara/mekanisme Kerja Sama Operasi (KSO), dimana PT Telkom bekerja sama dengan
perusahaan swasta atas dasar kontrak (dengan jangka waktu 15 tahun) yang dikeluarkan oleh
pemerintah untuk menyediakan dan menjalankan pelayanan jasa telekomunkiasi untuk, dan
atas nama, PT Telkom. Indonesia sebelumnya dibagi menjadi tujuh wilayah dan mekanisme
KSO diterapkan untuk penyelenggaraan sambungan fixed-line di lima dari tujuh wilayah ini.
Terjadi komplikasi ketika hak monopoli PT Telkom dicabut sebelum kontrak KSO berakhir.
Solusi yang terjadi pada saat itu adalah PT Telkom mengakhiri, atau melepaskan diri, dari
mekanisme KSO dengan cara membeli kepemilikan jaringan dan infrastruktur penyelenggara
KSO.16
Implikasi dari penguasaan jaringan yang tadinya dimiliki KSO menyebabkan PT Telkom
masih menguasai sebagian besar jaringan sambungan fixed-line. Dalam hal ini, tidak begitu
jelas apakah terdapat akses yang terbuka dan dengan harga yang kompetitif bagi semua
penyelenggara jasa fixed-line lainnya yang memiliki keinginan untuk masuk ke sektor ini.
Namun, yang kemudian terjadi adalah hanya PT Telkom sendiri yang menggunakan jaringan
ini. Dua penyelenggara lainnya yang kemudian diberi ijin untuk menyediakan jasa
sambungan fixed-line, yaitu PT Indosat dan PT Bakrie Telecom, memilih untuk
menggunakan teknologi sambungan nirkabel (wireless) daripada menggunakan jaringan yang
dimiliki PT Telkom. Namun demikian tidak jelas apakah penggunaan wireless fixed-line
terjadi karena akses ke jaringan PT Telkom terkendala atau karena penggunaan teknologi ini
memang lebih murah daripada membeli akses ke jaringan yang dimiliki PT Telkom.

16

Sebagai bagian dari strategi restrukturisasi internalnya, PT Telkom kemudian menjual kepemilikan ini kepada
penyelenggara telekomunikasi lainnya, utamanya kepada PT Indosat.

67

Menurunnya peranan investasi asing


Isu persaingan lainnya terkait dengan kontribusi investasi asing pada perkembangan sektor
telekomunikasi.
Penyelenggaraan jasa telekomunikasi membutuhkan investasi yang sangat besar untuk
pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan. Dengan demikian, salah satu faktor pendukung
perkembangan sektor telekomunikasi adalah adanya rejim investasi yang terbuka, terutama
untuk masuknya investasi asing. Pendekatan ini yang kemudian diambil oleh pemerintah
pasca reformasi sektor telekomunikasi tahun 1999, dimana pada tahun 2000 pemerintah
mengijinkan investasi asing dengan kepemilikan saham sampai dengan maksimum 95 persen.
Kebijakan ini kemudian memacu pertumbuhan di sektor telekomunikasi, paling tidak pada
segmen pasar sambungan seluler (mobile). Sebagai ilustrasi, PT XL Axiata meningkatkan
investasi pembangunan jaringan dan jasa selulernya tidak lama setelah diakuisisi oleh
Telekom Malaysia pada tahun 2004, yaitu sebesar kira-kira Rp 50 trilyun selama 15 tahun
terakhir. Investasi ini memberikan kontribusi yang besar bagi perkembangan sektor seluler
secara nasional, termasuk di dalamnya untuk perkembangan segmen pasar internet seluler.
PT XL Axiata saat ini memiliki kemampuan untuk mencakup penyediaan jasa seluler sebesar
90 persen dari total populasi secara nasional.
Namun pada akhir tahun 2000an pemerintah mengurangi keterbukaannya pada investasi
asing. Pada tahun 2007, pemerintah mengurangi batas kepemilikan saham asing menjadi
maksimum 65 persen bagi penyelenggara jasa seluler dan 49 persen bagi penyelenggara jasa
fixed-line. Pada tahun 2008 pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan serupa dengan
mencanangkan bahwa hanya perusahaan lokal (100 persen kepemilikan lokal) yang
diperbolehkan untuk memiliki dan mengelola menara telekomunikasi.17
Kebijakan pengurangan keterbukaan terhadap investasi asing ini tentunya tidak mendukung
perkembangan sektor telekomunikasi. Pertama, karena karakteristik investasi besar yang
dibutuhkan industri ini, pertumbuhan investasi diperkirakan akan berkurang. Sejak
17

PT. Hutchison Indonesia yang merupakan usaha patungan dengan Huthison CP International bahkan menjual
seluruh menara telekomunikasi yang dimilikinya sehari setelah kebijakan ini dikeluarkan (Wattegama,
Soehardjo dan Kapugama 2008).

68

diberlakukan pembatasan kepemilikan asing ini terjadi penurunan investasi dan pertumbuhan
output yang sangat signifikan di sektor telekomunikasi (lihat Gambar L3.1 dan L3.2). Kedua,
klausa grandfathering, yaitu klausa yang mengatakan bahwa investasi asing yang terjadi
sebelumnya tidak terpengaruh dengan kebijakan investasi yang baru ditetapkan, berpotensi
membentuk dominasi penyelenggaraan jasa telekomunikasi hanya pada beberapa perusahaan
tertentu yang kemudian menciptakan kendala bagi investor asing untuk memasuki pasar.
Kekuatan kompetisi dari perusahaan yang berpotensi masuk (entrants) untuk beroperasi di
suatu segmen pasar tentunya akan berkurang dan, sebagai akibatnya, derajat contestability
dari persaingan yang terjadi tentunya akan berkurang pula. Derajat persaingan dengan kata
lain akan berkurang dan hal ini berpotensi membentuk kolusi harga ataupun keluaran (output)
dari perusahaan yang sudah beroperasi.
Internet dan broadband
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, penetrasi sambungan internet di Indonesia
masih rendah relatif terhadap negara-negara berkembang lainnya. Sambungan internet di
Indonesia masih sangat tergantung dengan sambungan fixed-line, dan untuk jenis sambungan
ini, tercatat hanya ada sekitar 5,5 juta sambungan sampai akhir tahun. Namun demikian,
gambaran ini berbeda untuk pengguna internet; menurut catatan ITU (International
Telecommunication Union), pengguna internet tumbuh dari hanya sekitar 500 ribu pengguna
di tahun 1998 menjadi sekitar 18 juta pengguna di tahun 2008. Faktor yang menyebabkan
pertumbuhan pesat di beberapa tahun terakhir ini adalah pertumbuhan akses mobile internet
yang didukung oleh pesatnya penetrasi sambungan telpon seluler.
Dengan demikian, salah satu faktor yang dapat menunjang pertumbuhan sambungan internet
adalah penciptaan lingkungan yang kondusif untuk peningkatan penggunaan teknologi yang
lebih maju untuk sambungan internet, dalam hal ini teknologi yang memungkinkan
sambungan mobile internet dan sambungan broadband.
Berkenaan dengan sambungan broadband, salah satu isu yang ada terkait dengan keberadaan
dan kepemilikan jaringan fixed-line. Penyelenggaraan jasa broadband di Indonesia masih
bergantung pada teknologi fixed broadband (Iqbal dan Purbo 2008) sehingga dominasi
jaringan fixed-line yang dimiliki PT Telkom dapat mengarah pada dominasi penyelenggara
jasa broadband oleh PT Telkom, jika perihal pembukaan aksesnya tidak dicermati. Indikasi
69

ke arah ini sebenarnya sudah terlihat; seperti yang dipaparkan sebelumnya, sebesar 64 persen
dari total pengguna jasa sambungan broadband adalah pengguna jasa broadband yang
diselenggarakan oleh PT Telkom.
Dengan demikian, iklim investasi yang kondusif menjadi penting bagi perkembangan
sambungan broadband. Mengingat investasi yang diperlukan adalah sangat besar, maka
wajar jika diperlukan adanya peranan investasi asing. Seperti yang telah dikemukakan
sebelumnya, sayangnya yang terjadi adalah sebaliknya. Rejim investasi asing di Indonesia
saat ini kembali menjadi lebih tertutup.
Adanya iklim investasi yang terbuka sebenarnya tidak hanya menjanjikan perkembangan
infrastruktur yang lebih cepat, tetapi juga mengurangi kemungkinan terjadinya dominasi
penyelenggaraan jasa yang dilakukan oleh perusahaan yang telah beroperasi (incumbent).
Sebagai ilustrasi, mega investasi yang akan dilakukan oleh PT Telkom untuk membangun
broadband backbone nasional dengan nilai investasi sebesar Rp 21,2 trilyun memberikan
kesempatan di masa depan untuk dominasi PT Telkom dalam penyelenggaraan sambungan
broadband dengan teknologi yang maju (high-speed broadband).
1.4 Jasa Pelabuhan dan Pelayaran

1.4.1 Jasa Pelabuhan


Kinerja sektor logistik di suatu negara mencerminkan efisiensi perdagangan di negara
tersebut. Hal ini menyebabkan sektor tersebut menjadi sangat penting karena memiliki
keterkaitan yang kuat terhadap sektor-sektor lainnya. Menurut Bank Dunia (2013), Indonesia
memiliki tingkat biaya logistik yang tinggi, mencapai 27% dari total PDB Indonesia. Sebagai
perbandingan, biaya ini melebihi negara-negara ASEAN lainnya seperti Malaysia (13%),
Thailand (20%) dan Vietnam (25%). Oleh karena itu, dapat disimpulkan sektor logistik
Indonesia masih jauh dari efisien.
Kawasan perairan menjadi tumpuan logistik sekitar 90 persen dari total perdagangan
Indonesia baik dalam ataupun luar negeri (Patunru et al. 2005). Saat ini Indonesia memiliki
sekitar 1.230 pelabuhan yang terdiri dari 758 pelabuhan umum dan 472 pelabuhan khusus.
Pelabuhan umum dapat dibagi menjadi pelabuhan komersial yang berjumlah sekitar 112 serta
pelabuhan non komersial sebanyak 646 pelabuhan. Adapun Pelabuhan Tanjung Priok,
70

Pelabuhan Tanjung Perak, Pelabuhan Belawan dan Pelabuhan Ujung Pandang adalah empat
pelabuhan terbesar di Indonesia. Gambar L3.9 memaparkan lalu lintas kargo (dalam ton)
keempat pelabuhan tersebut pada 8 tahun terakhir.
Gambar L3.9. Lalu Lintas Kargo di 4 Pelabuhan Utama Indonesia

Sumber: CEIC
Dari Gambar L3.9 dapat dilihat bahwa Tanjung Priok masih merupakan pelabuhan dengan
lalu lintas kargo terpadat. Pelabuhan ini juga menjadi tumpuan perdagangan internasional
yang terlihat dari lalu lintas kargo internasional yang paling tinggi di antara pelabuhan besar
lainnya. Perlu diketahui bahwa bongkar muat di keempat pelabuhan ini mencakup lebih dari

71

50 persen total perdagangan seluruh Indonesia. Kesimpulannya adalah pelabuhan di


Indonesia masih sangat tersentralisasi pada pelabuhan-pelabuhan besar.
Dengan fungsinya yang sangat penting, pelabuhan Indonesia dinilai belum memiliki kinerja
yang memuaskan. Hal ini tercermin dari kinerja Indonesia dalam Logistic Performance Index
(LPI) yang merupakan indeks yang mengukur efisiensi logistik di suatu negara. LPI
mengukur beberapa variabel seperti kinerja bea cukai, kualitas infrastruktur, harga, jasa
logistik, waktu dan kemudahan dalam pelacakan. Walaupun mengalami perbaikan pada
beberapa tahun terakhir, kinerja sektor logistik Indonesia yang tercermin pada LPI masih
tertinggal apabila dibandingkan dengan Singapura, Malaysia, Thailand dan Vietnam serta
sedikit lebih baik dari Filipina (Gambar L3.10).
Gambar L3.10. Kinerja Indonesia dalam LPI Bank Dunia

Sumber: Bank Dunia


Beberapa kendala yang menjadi sorotan antara lain kurang efisiennya kinerja pelabuhan,
rendahnya infrastruktur pelabuhan serta sulitnya akses dari dan ke pelabuhan. Kendala
tersebut kerap membuat dwelling time dalam pelabuhan di Indonesia menjadi tinggi yang
artinya pengusaha harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk membayar biaya logistik dan
mengakibatkan tidak efisiennya perekonomian secara keseluruhan. Selain itu, Terminal
Handling Cost (THC) di pelabuhan Indonesia yang sebesar 95 USD termasuk yang tertinggi
dibandingkan dengan pelabuhan-pelabuhan di negara-negara ASEAN lainnya. Sebagai

72

perbandingan; Pelabuhan Chitagong (49 USD) , Manila (82 USD), Ho Chi Minh (46 USD),
Port Klang (76 USD), Laem Cha Bang (53 USD) dan Bangkok (60 USD).18
Kinerja pelabuhan di Indonesia tidak terlepas dari kinerja PT Pelabuhan Indonesia (PT
Pelindo) yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bertugas dalam
mengelola pelabuhan di Indonesia. Sebelumnya, berdasarkan UU No. 21/1992, PT Pelindo
merupakan pemegang hak eksklusif dalam penyelenggaraan jasa pelabuhan sehingga seluruh
infrastruktur yang terkait dengan kepelabuhan adalah milik PT Pelindo. Pada tahun 2008,
pemerintah melakukan reformasi di bidang pelayaran yaitu UU No. 17/2008. Tabel L3.1
memaparkan beberapa perubahan penting terkait penyelenggaraan jasa pelabuhan di
Indonesia antara lain:
Tabel L3.1. Jasa Pelabuhan: Perbandingan antara UU No. 21/1992 dan UU No 17/2008
UU No. 21/1992
Pengendalian
Pengelolaan
Pelabuhan

Aktivitas
penunjang
bisnis
pelabuhan

Tarif

Pemerintah bertugas sebagai


operator pelabuhan umum.
Untuk melaksanakan
tugasnya sebagai operator,
pemerintah dapat menunjuk
badan usaha milik negara
yang didirikan untuk tujuan
bisnis

UU No. 17 /2008
Pemerintah bertindak
sebagai regulator, pihak
swasta diijinkan menjadi
operator pelabuhan
Keselamatan: pengelola
pelabuhan
Fungsi regulasi
pengelolaan pelabuhan:
Otoritas pelabuhan untuk
pelabuhan komersil atau
unit pengelola pelabuhan
non-komersil (pemerintah
pusat atau pemerintah
daerah)
Fungsi Bisnis: BUMN
atau perusahaan swasta
dalam negeri

Penyedia: Badan hukum atau


warga negara Indonesia

Swasta dan asing


diijinkan

Pemerintah menentukan
jenis, struktur dan klasifikasi
tarif layanan pelabuhan.
Operator menetapkan tarif
dengan persetujuan
Pemerintah.

Pemerintah tetap
menentukan struktur dan
klasifikasi tarif. Operator
harus melibatkan
pengguna jasa dalam
penentuan usulan tarif

Pelayaran dikendalikan oleh


pemerintah
Pengelolaan pelabuhan
merupakan pelayanan
bersama antara instansi
pemerintah terkait.

18

http://bandung.bisnis.com/read/20140714/34231/512897/menhub-penyesuaian-chc-priokdiputuskan-setelah-lebaran

73

Master Plan

sebelum diajukan kepada


Menteri
Kementerian menyusun
Master Plan Pelabuhan
untuk jangka waktu 20
tahun dan dievaluasi
setiap 5 tahun (status:
belum selesai).

Tidak tersedia

Selain itu, reformasi sektor pelabuhan juga ditandai dengan liberalisasi sektor ini seperti yang
disebutkan dalam Daftar Negatif Investasi (DNI) yang dikeluarkan oleh pemerintah. Apabila
dibandingkan dari tahun 2010 dan 2014 maka dapat dilihat bahwa jasa pelabuhan sudah
mengalami liberalisasi. Beberapa perubahan diantaranya adalah pengakomodasian skema
kerja sama pemerintah dan swasta (KPS) atau Public Private Partnership dalam bidang
usaha penyediaan fasilitas pelabuhan seperti dermaga, gedung, penundaan kapal terminal peti
kemas, terminal curah cair, terminal curah kering dan terminal Ro-Ro. Selama masa konsesi,
modal asing dapat mencapai 95%. Selanjutnya, jasa bongkar muat barang juga sudah
mengakomodasi pengusaha ASEAN dengan memperbolehkan foreign equity partnership
hingga 60%.
Dengan tidak adanya lagi monopoli dari PT Pelindo dan dimungkinkannya pihak swasta dan
asing melalui liberalisasi jasa pelabuhan, diharapkan investor baik dari dalam maupun luar
negeri dapat masuk ke dalam sektor ini. Dengan adanya persaingan, maka secara natural akan
menuntut para penyelenggara jasa pelabuhan untuk lebih efisien yang akhirnya akan
menguntungkan perekonomian secara umum.
Tarif Jasa Pelabuhan
Berdasarkan UU No. 21/1992, pemerintah menetapkan harga, struktur biaya dan klasifikasi
harga jasa pelabuhan. Sedangkan dalam UU No. 17/2008, harga jasa pelayanan pelabuhan
ditentukan oleh pemberi jasa berdasarkan formula yang ditetapkan oleh pemerintah, setelah
mengkomunikasikannya kepada pengguna jasa dengan difasilitasi oleh Otoritas Pelabuhan
(OP). Kenaikan harga tidak dapat dilakukan bila pengguna jasa berkeberatan dan Menteri
Perhubungan tidak mengesahkan kenaikan harga tersebut.

74

Dalam penetapan harga pelayanan pelabuhan yang disebut dengan Terminal Handling
Charge (THC), persyaratan yang ditentukan oleh UU No. 17/2008 belum sepenuhnya di
implementasikan. Hasil penelitian CSIS (2013) menunjukan bahwa penetapan tarif masih
mengikuti prosedur lama. Namun demikian, pihak Kementerian Perhubungan menyatakan
bahwa aturan mengenai penetapan harga sedang direvisi mengikuti persyaratan UU No.
17/2008. Lambatnya revisi aturan pelaksana menunjukan bahwa dalam tataran pelaksanaan
kesulitan untuk mendobrak monopoli adalah nyata. Akselerasi pelaksanaan aturan, dalam hal
ini undang-undang pelayaran yang baru memerlukan partisipasi aktif pemangku kepentingan.
Masih dari penelitian CSIS (2013), para pelaku usaha berpendapat bahwa THC yang
ditetapkan masih terlalu tinggi apabila dibandingkan dengan kualitas layanan yang diberikan.
PT Pelindo diharapkan dapat menepati level of service (LoS) yang telah disepakati.
Peraturan mengenai Jenis, Struktur dan Golongan Tarif Jasa Pelabuhan terbaru yaitu PM 15
Tahun 2014 telah diberlakukan dan menggantikan PM Nomor 6 Tahun 2013. Beberapa
perubahan antara lain keharusan untuk mengikutsertakan stakeholder dalam penetapan tarif.
PM 6 tahun 2013 mewajibkan operator untuk membahas usulan perubahan tarif dengan
stakeholders sebelum mengajukan kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan. Peraturan
baru ini juga mewajibkan adanya sosialisasi atas tarif baru kepada pengguna jasa sekurangkurangnya 3 bulan sebelum pemberlakuan tarif, pelarangan pemungutan tarif jasa pelabuhan
yang tidak ada pelayanannya serta meringkas 34 jenis tarif layanan menjadi 19 jenis.
Peraturan terbaru ini direspon secara positif oleh pelaku usaha namun kembali lagi
implementasi peraturan tersebutlah yang selalu menjadi permasalahan. Peranan Kementerian
Perhubungan sebagai pengawas dalam proses penetapan ini sangat krusial sehingga
keputusan penetapan tarif rasional dan transparan berdasarkan keuntungan normal sehingga
benar-benar dapat diterima pelaku usaha.

75

Permasalahan Infrastruktur dan Jasa Pelabuhan


Seperti yang diketahui, PT Pelindo merupakan pemilik infrastruktur pelabuhan sebelumnya
adanya UU No. 17/2008 yang mengharuskan adanya periode transisi untuk mengakomodasi
investasi baru. UU No. 17/2008 akhirnya mensyaratkan pembentukan otoritas pelabuhan
pada pelabuhan-pelabuhan komersial dan unit penyelenggaraan pelabuhan di pelabuhanpelabuhan kecil. Otoritas pelabuhan dan unit penyelenggaraan pelabuhan ini merupakan
perpanjangan tangan pemerintah untuk memberikan (melelang) konsesi pengelolaan
pelabuhan kepada operator. Pada prinsipnya, otoritas pelabuhan dan unit penyelenggara
pelabuhan adalah wakil pemerintah yang bertindak sebagai pemilik pelabuhan. Tabel L3.2
memberikan cakupan wilayah operasional PT Pelindo dan pembagiannya.
Tabel L3.2. PT Pelindo dan Pelabuhan yang Dikelola
Perusahaan
Pelabuhan
Pelindo I

Pelindo II

Pelindo III
Pelindo IV
Sumber: Ray (2009)

Cakupan Wilayah Kerja


(Provinsi)
Aceh, Sumatera Utara, Riau
Sumatera Barat, Jambi,
Sumatera Selatan, Bengkulu,
Lampung, DKI Jakarta
Kalimantan Tengah,
Kalimantan Selatan, Nusa
Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur
Sulawesi (Bagian Selatan,
Tenggara, Tengah dan Utara),
Maluku, Irian Jaya

Pelabuhan yang Dikelola


Belawan, Pekanbaru, Dumai,
Tanjung Pinang,
Lhokseumawe
Tanjung Priok, Panjang,
Palembang, Teluk Bayur,
Pontianak, Cirebon, Jambi,
Bengkulu, Banten, Pangkal
Balam, Tanjung Pandan
Tanjung Perak, Tanjung Emas,
Barjarmasin, Benoa,
Tenau/Kupang
Makassar, Balikpapan,
Samarinda, Bitung, Ambon,
Sorong, Biak, Jayapura

Enam tahun setelah UU 17/2008 disahkan oleh DPR, implementasi dari klausa-klausa
penting dari undang-undang tersebut tidak berjalan dengan baik. Misalkan, pemisahan fungsi
pengatur dan pengelola yang belum berjalan lancar. Walaupun pemerintah telah membentuk
otoritas pelabuhan di pelabuhan-pelabuhan komersial besar, namun Otoritas Pelabuhan
belum sepenuhnya menjadi menjadi pemilik pelabuhan (landlord) dan pemberi konsesi
dikarenakan secara de facto pada saat UU No. 17/2008 disahkan, seluruh pelabuhan
komersial sudah berada di bawah kendali Pelindo selama puluhan tahun, sehingga dalam
76

pelaksanaannya pemisahan fungsi ini tidak berjalan lancar. Diperlukan penghitungan aset
Pelindo untuk menentukan besarnya aset dan investasi yang dimiliki oleh Pelindo yang harus
dikeluarkan dari nilai konsesi yang diserahkan Otoritas Pelabuhan kepada Pelindo dengan
berlakunya undang-undang yang baru. Namun, tahapan ini sulit dilakukan karena Otoritas
Pelabuhan belum dilengkapi dengan sumber daya manusia dan sumber daya finansial yang
memungkinkan Otoritas melakukan penghitungan tersebut.
Akibat proses pengalihan yang belum sempurna ini, PT Pelindo memiliki keuntungan sebagai
incumbent dalam penyediaan infrastruktur dan jasa pelabuhan. Hal ini secara tidak langsung
menjadi penghalang bagi perusahaan-perusahaan lainnya untuk dapat masuk ke dalam sektor
jasa pelabuhan. Bisa dikatakan monopoli PT Pelindo dalam implementasinya belum benarbenar usai.
Independensi Kementerian Perhubungan
Berakhirnya era monopoli PT Pelindo mengakibatkan pemerintah harus mengambil posisi
netral sebagai landlord. Ketika pemerintah sebagai regulator terlibat dalam struktur
organisasi operator akan ada potensi konflik kepentingan. Idealnya, wakil pemerintah sebagai
pemilik saham pada PT Pelindo tidak berasal dari jajaran Kementerian Perhubungan.
1.4.2 Jasa Pelayaran
Indonesia mulai menerapkan kembali asas cabotage dalam bisnis pelayaran sejak tahun 2005
dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden nomor 5 tahun 2005 tentang Pemberdayaan
Industri Pelayaran Nasional. Dalam UU No. 17/2008 tentang pelayaran kembali ditegaskan
asas cabotage dalam pelayaran Indonesia, dimana pelayaran dalam negeri hanya dapat
dilayani oleh kapal berbendera Indonesia dan mempekerjakan awak berkebangsaan
Indonesia. Dengan demikian, kapal-kapal berbendera asing hanya dapat melayani pelayaran
hingga salah satu pelabuhan internasional di Indonesia. Selanjutnya, muatan harus
dipindahkan ke kapal berbendera Indonesia untuk ditransportasikan ke seluruh pelosok
Indonesia. Kapal-kapal berbendera asing harus bekerja sama dengan agen kapal berbendera
Indonesia untuk membawa muatan ke tempat tujuan akhir di luar pelabuhan internasional.
Dengan adanya cabotage perusahaan pelayaran domestik mendapatkan proteksi terhadap
kehadiran perusahaan pelayaran asing. Dengan kapasitas modal yang terbatas untuk
berekspansi yang terjadi adalah keterbatasan armada laut yang modern dan cepat. Akibatnya,
pengguna jasa menanggung dampak dari kinerja pelayaran yang lambat dan mahal.
77

Walaupun Indonesia menerapkan asas cabotage, penanaman modal asing dalam industri
pelayaran, pelayaran laut domestik maupun internasional dimungkinkan sesuai dengan DNI
2014 sesuai Peraturan Presiden No 39/2014, dimana maksimum kepemilikan asing adalah 49
persen dan 60 persen untuk layanan yang asas cabotage tidak berlaku.
Perizinan Usaha Pelayaran
Sesuai UU No. 17/2008, untuk melakukan kegiatan angkutan di perairan, orang perseorangan
warga negara Indonesia atau Badan Usaha wajib memiliki izin usaha. Izin usaha angkutan
laut diberikan oleh bupati/walikota bagi badan usaha yang berdomisili dalam wilayah
kabupaten/kota dan beroperasi pada lintas pelabuhan dalam wilayah kabupaten/kota;
gubernur provinsi yang bersangkutan bagi badan usaha yang berdomisili dalam wilayah
provinsi dan beroperasi pada lintas pelabuhan antarkabupaten/kota dalam wilayah provinsi;
atau Menteri bagi badan usaha yang melakukan kegiatan pada lintas pelabuhan antar provinsi
dan internasional. Untuk mendapatkan izin usaha angkutan laut sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (1), badan usaha wajib memiliki kapal berbendera Indonesia dengan
ukuran sekurang- kurangnya GT (Gross Tonnage) 175, sedangkan perusahaan patungan
diharuskan memiliki kapal berbendera Indonesia sekurang-kurangnya 1 (satu) unit kapal
dengan ukuran GT 5.000 dan diawaki oleh awak berkewarganegaraan Indonesia.
Pada tahun 2012, jumlah kapal yang terdaftar berbendera Indonesia adalah sebanyak 8.738
unit, mengalami peningkatan sebesar yang relatif sedikit untuk dapat melayani negara
kepulauan sebesar Indonesia. Lima perusahaan terbesar adalah Meratus Line yang berbasis di
Surabaya dengan 54 kapal yang mampu membawa kargo seberat 31.060 TEUs, PT Samudra
Indonesia dengan 37 kapal yang dapat mengangkut 29.805 TEUs, PT Salam Pacific
Indonesia Lines, dengan 61 kapal yang mampu membawa 28.327 TEUS, PT Tanto Inti Line
yang mampu membawa 24.012 TEUS dan PT Pelayaran Tempuran Emas (PT Temas Lines)
dengan 27 kapal yang mampu membawa kargo 14.660 TEUs.
Isu persaingan yang paling utama dalam industri pelayaran adalah penetapan tarif yang tidak
sejalan dengan prinsip persaingan. Dominasi beberapa perusahaan pelayaran dan/atau status
monopoli secara de facto salah satu perusahaan pelayaran dalam satu rute tertentu berpotensi
pada abuse of market power yang berakibat pada penerapan harga monopoli. Peran otoritas
pelabuhan juga menjadi sangat penting sebagai pengawas persaingan usaha di lapangan.
78

KPPU hendaknya dapat bekerja sama dengan Otoritas Pelabuhan, sebagaimana dalam hal
jasa pelabuhan untuk memastikan prinsip-prinsip persaingan juga diterapkan dalam jasa
pelayaran.
Gambar L3.11. Jumlah Kapal yang Beroperasi di Indonesia, 2008-2012

Beberapa Kasus Persaingan di Industri Pelayaran

Terminal JITC
Pada tahun 2003, KPPU menangani kasus JITC yang merupakan badan usaha joint-venture
operasi antara Pelindo dan Hutchinson. Dalam salah satu klausa perjanjian, disebutkan secara
eksplisit bahwa tidak akan ada izin baru untuk pengembangan dan konstruksi terminal baru
karena turnover terminal yang ada masih di bawah kapasitas yang tersedia saat ini. Hal ini
merupakan salah satu tindakan untuk melimitasi kompetisi sehingga KPPU berpendapat
bahwa klausa tersebut telah menciderai pasar dan juga menuju penyalahgunaan posisi
dominan.

79

Kasus Jasa Stevedoring Pelabuhan Belawan


Kasus selanjutnya terjadi pada tahun 2004 di Pelabuhan Belawan, Medan, khususnya pada
dry-bulk terminal. Dalam terminal tersebut, PT Pelindo mengaplikasikan teknologi terbaru
menggunakan conveyor belt yang hanya dioperasikan oleh anak perusahaan jasa stevedoring
Pelindo. Pelindo mengirimkan surat kepada pengguna jasa (eksportir sawit) bahwa bongkar
muat hanya boleh dilakukan di terminal dry bulk di dermaga 109 dan 111 dan melarang
beroperasinya manual conveyor. Eksportir berkeberatan atas kebijakan Pelindo karena harga
yang diberlakukan di terminal Dry Bulk menjadi sangat tinggi. Namun eksportir minyak
kelapa sawit tidak memiliki opsi lain selain menggunakan jasa anak perusahaan Pelindo.
Praktik ini dianggap menyalahi peraturan kompetisi oleh KPPU.
Kasus Perusahaan Bongkar Muat di Teluk Bayur
Tahun 2013 KPPU memutus PT Pelindo II Cabang Teluk Bayur terbukti melakukan
perjanjian tertutup yang melanggar UU antimonopoli. Perjanjian tersebut mensyaratkan
penyerahan semua pekerjaan bongkar muat kepada Pelindo II terhadap sekitar 20 pihak
ketiga termasuk Antam dan Semen Padang. Terdapat 43 perusahaan bongkar muat yang
dirugikan oleh Pelindo II sehingga KPPU mengenakan denda sebesar 4,7 miliar Rupiah.
Pihak Pelindo II akhirnya mengajukan banding ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan
dikabulkan oleh Majelis Hakim. Pertimbangan hakim adalah Pelindo II merupakan satusatunya yang memiliki keunggulan seperti dalam hal teknologi dan sumber daya manusia
dibandingkan dengan perusahaan bongkar muat lainnya.
Kasus Kargo Surabaya-Makassar
Kasus ini melibatkan beberapa perusahaan pelayaran untuk rute Surabaya-Makasar yaitu, PT
Pelayaran Meratus, PT Tempuran Emas Tbk, PT Djakarta Llyod (Persero), PT Jayakusuma
Perdana Lines, PT Samudera Indonesia Tbk, PT Tanto Intim Line, dan PT Lumintu Sinar
Perkasa. Diduga, perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam kasus ini membuat kesepakatan
tarif dan kuota untuk pelayanan Surabaya-Makassar-Surabaya dan Makassar-JakartaMakassar dengan alasan kepentingan pemeliharaan pasar akibat adanya banting-bantingan
harga yang dilakukan perusahaan pelayaran dan keinginan Pelindo IV untuk menaikkan tarif
layanan pelabuhan.

80

Perusahan-perusahaan yang terlibat dalam kasus ini pun terdata telah melakukan pertemuanpertemuan untuk menyepakati besaran kuota bongkar muat untuk mempengaruhi harga agar
tarif tercapai sesuai dengan kesepakatan tarif yang ditetapkan. Maka berdasarkan hal-hal
tersebut, maka KPPU dalam putusannya menduga adanya pelanggaran Pasal 5 ayat (1), Pasal
11, Pasal 19 a dan c, dan Pasal 25 ayat (1) a dan c UU No. 5/1999, yang artinya perusahan
terlapor diduga melakukan praktik monopoli dengan penetapan harga, perjanjian, mengatur
produksi dan/atau pemasaran yang bertujuan mempengaruhi harga, menghalangi pelaku
usaha lain untuk melakukan kegiatan yang sama, membatasi pelayaran pada pasar, dan
menimbulkan persaingan yang tidak sehat.
Dalam putusan No. 03/KPPU-I/2003, KPPU memutuskan atas dugaan kasus persaingan
usaha yang tidak sehat pada kargo Surabaya-Makassar, bahwa terlapor telah sah melanggar
undang-undang persaingan usaha. KPPU memerintahkan kepada perusahaan terlapor (PT
Pelayaran Meratus, PT Tempuran Emas Tbk, PT Djakarta Llyod (Persero), PT Jayakusuma
Perdana Lines, PT Samudera Indonesia, Tbk, PT Tanto Intim Line, dan PT Lumintu Sinar
Perkasa) untuk:
1. Menyampaikan surat pemberitahuan kepada pelanggan masing-masing mengenai
pembatalan kesepakatan
2. Menyampaikan pembatalan kesepakatan untuk dimuat di dalam surat kabar harian
nasional
3. Membayar denda admininstratif sebesar Rp 1 M bagi yang tidak melakukan putusan
KPPU di atas dalam jangka waktu tiga bulan.
Kasus Jasa Kargo Jakarta-Pontianak
Kasus lainnya mengenai persaingan usaha yang tidak sehat terjadi pada jasa kargo rute
Jakarta-Pontianak. Kasus ini melibatkan PT Perusahaan Pelayaran Nusantara Panurjwan, PT
Pelayaran Tempuran Emas, Tbk, PT Tanto Intim Line, dan PT Perusahaan Pelayaran Wahana
Barunakhatulistiwa. Hasil dari monitoring KPPU terhadap sektor pelayaran menunjukkan
adanya dugaan kartel harga yang dilakukan perusahaan pelayaran (kargo).
Telah terjadi kesepakatan penetapan tarif uang tambang untuk rute Jakarta-Pontianak-Jakarta
yang ditandatangani oleh perusahaan pelayaran yang terlapor. Kesepakatan diprakarsai oleh
INSA (Asosiasi Perusahaan Pelayaran Indonesia) yang melihat adanya perang tarif antar
81

perusahaan yang bersangkutan. Sebenarnya kesepakatan harga uang tambang untuk trayek
Jakarta-Pontianak-Jakarta ini tidak melanggar undang-undang pelayaran pada saat itu. UU
No. 21/1992 dan PP No. 82/1999 serta Keputusan Menteri Perhubungan (Kemenhub)
No.33/2001 yang menyatakan bahwa kesepakatan harga diperbolehkan melalui penyusunan
oleh instansi terkait, asosiasi perusahaan angkutan laut nasional dan asosiasi pengguna jasa
laut. Namun demikian, meskipun telah dilakukan kesepakatan harga yang ditandatangani
oleh keempat perusahaan tersebut, ternyata dalam praktiknya tarif yang dikenakan oleh tiap
perusahaan masih di atas harga kesepakatan. Dalam kasus ini, KPPU memberikan sanksi
agar para pihak membatalkan perjanjian yang dituangkan dalam kesepakatan bersama tarif
uang tambang peti kemas Jakarta-Pontianak tersebut.
1.5 Jasa Keuangan

1.5.1 Jasa Perbankan


Sama seperti di banyak negara Asia lainnya, fungsi intermediasi yang paling penting dalam
perekonomian Indonesia ada di sektor perbankan (bank-centered economy). Menurut Badan
Pusat Statistik pada tahun 2013 Sektor Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan secara
bersama-sama menyumbang sekitar 7,52 persen terhadap PDB Indonesia. Di sisi
pertumbuhan, pada tahun yang sama PDB tumbuh sekitar 5,72 persen dan Sektor Keuangan,
Real Estat dan Jasa Perusahaan menyumbang sekitar 0,67 persen pada angka tersebut. Perlu
dicatat bahwa sektor perbankan masuk dalam sektor yang baru disebut ini. Tabel L3.3
menunjukkan besarnya kredit bank, kapitalisasi pasar modal dan pasar obligasi dari tahun
1990 2011. Pada tahun 2011 kredit bank mencapai 38.6 persen dari PDB. Sementara itu
kapitalisasi pasar modal dan pasar obligasi secara berturut-turut mencapai 46 persen dan 13
persen dari PDB.
Mengingat peran sektor perbankan yang penting bagi perekonomian, maka diperlukan upaya
untuk membuat fungsi intermediasi sektor bersangkutan berjalan sebaik dan seefisien
mungkin tetapi pada saat yang sama tetap menjaga stabilitasnya. Terkait dengan stabilitas,
otoritas perbankan Indonesia (bank sentral/Bank Indonesia) mengimplementasikan kebijakan
konsolidasi sektor yang dimulai ketika terjadi krisis ekonomi 1997/98 dan dalam dua
gelombang. Konsolidasi terjadi ketika bank sentral menggabungkan/melakukan merger dari
empat bank besar pemerintah menjadi Bank Mandiri di tahun 1997. Disertai dengan
kebijakan penutupan 23 bank pada saat itu, kebijakan ini mengurangi jumlah bank pada saat
82

itu dalam rangka peningkatan kinerja perbankan sebagai respon terhadap krisis ekonomi yang
terjadi. Proses konsolidasi tidak berhenti, berlanjut dengan diimplementasikannya Arsitektur
Perbankan Indonesia (API) yang dikenalkan pada tahun 2004. API memberikan arah
pengembangan sektor perbankan Indonesia kedepannya, dalam jangka waktu sepuluh tahun,
yang bertujuan untuk menciptakan sektor perbankan yang kuat dan efisien.
Terdapat dua kebijakan utama API yang memberikan dampak langsung pada struktur sektor
perbankan Indonesia. Pertama, jumlah modal minimum (Peraturan Bank Indonesia No.
10/15/PBI/2005) yang mensyaratkan bahwa semua bank, termasuk bank milik pemerintah
daerah, wajib memiliki modal minimum sebesar IDR 100 milyar sebelum 31 Desember 2010.
Kedua, kepemilikan tunggal (single presence policy) (Peraturan Bank Indonesia No.
8/16/PBI/2006) yang merujuk pada situasi dimana hanya diperbolehkan satu pihak yang
merupakan pemilik saham terbesar dalam suatu bank. Kedua kebijakan ini mendorong
terjadinya konsolidasi di antara bank-bank yang ada melalui merger dan akuisisi. Namun
demikian, seperti yang dilaporkan oleh Mulyanigsih dan Daly (2011), konsolidasi hanya
banyak terjadi pada bank dengan skala menengah dan kecil, tidak pada bank-bank dengan
skala besar.19
Dampak langsung dari proses konsolidasi yang terjadi ini adalah menurunnya konsentrasi
pasar di sektor perbankan. Sebaran atau distribusi pangsa pasar menjadi lebih merata dan
konsentrasi pasar, yang diukur dengan concentration ratio tiga perusahaan terbesar (CR3)
dan Herfindahl-Hirschman Index (HHI), terlihat menurun dari awal tahun 2000 seperti yang
ditunjukkan oleh Tabel L3.4. Walaupun distribusi pangsa pasar menjadi lebih baik seiring
berjalan waktu, terlihat bahwa masih terdapat tiga kelompok bank berdasarkan skala (besar,
menengah, dan kecil) yang memiliki tingkat konsentrasi pasar yang berbeda. Kelompok bank
berskala besar didapati memiliki konsentrasi pasar yang relatif jauh lebih tinggi daripada
konsentrasi pasar yang dimiliki kelompok bank berskala menengah dan kecil.

19

Kecuali yang terjadi pada merger Bank Niaga dan Bank Lippo yang keduanya merupakan bank berskala
besar.

83

Tabel L3.4. Konsentrasi Pasar Sektor Perbankan Indonesia: 2001-2009


Tahun
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Rata-rata

Bank Skala Besar


CR3
HHI
0.74
0.74
0.73
0.71
0.67
0.65
0.64
0.64
0.66
0.69

0.24
0.23
0.22
0.21
0.20
0.17
0.18
0.18
0.18
0.20

Bank Skala Menengah


CR3
HHI
0.30
0.30
0.27
0.26
0.25
0.23
0.23
0.23
0.24
0.26

0.06
0.06
0.05
0.05
0.05
0.05
0.04
0.04
0.05
0.05

Bank Skala Kecil


CR3
HHI
0.35
0.30
0.30
0.29
0.33
0.29
0.30
0.32
0.28
0.31

0.05
0.04
0.04
0.05
0.05
0.05
0.05
0.06
0.05
0.05

Sumber: Diadopsi dari Mulyaningsih dan Daly (2011).

Informasi ini menunjukkan terdapatnya potensi isu persaingan di sektor perbankan yang
bersumber dari terkonsentrasinya pangsa pasar bagi bank-bank berskala besar. Paling tidak
terdapat dua kemungkinan terjadinya isu persaingan, pertama, bank-bank berskala besar
dapat menggunakan kekuatan dari dominasi pasar yang dimilikinya untuk menentukan
besarnya harga (bunga pinjaman) atau kuantitas output (jumlah pinjaman). Kedua, sebagai
pemain dominan di pasar, bank-bank besar dapat berperan sebagai market leader dalam hal
penetapan bunga dan jumlah pinjaman dan bank-bank berskala menengah dan kecil akan
mengikuti/mengambil posisi sebagai market follower. Dalam skenario ini, sebenarnya tidak
terdapat isu persaingan selama bank-bank berskala besar saling bersaing dalam konteks
contestable market karena harga dan output yang terjadi mencerminkan kinerja pasar yang
efisien. Namun, skenario market leader-follower ini akan memberikan masalah pada
perekonomian dalam bentuk transaction/deadweight lost jika tidak terdapat persaingan di
antara bank-bank berskala besar yang menyebabkan tidak efisiennya harga dan output yang
dihasilkan.
Dalam hal ini perlu digarisbawahi bahwa kedua isu persaingan tersebut sifatnya masih
potensi atau kemungkinan; dengan demikian, terdapat juga kemungkinan bahwa tidak
terdapat isu persaingan walaupun terdapat tingkat konsentrasi pangsa pasar yang tinggi (pada
kelompok bank berskala besar). Selama masih terdapat kekuatan pasar ataupun regulasi yang

84

menjamin terjadinya contestability dalam persaingan di sektor perbankan maka tingkat


persaingan yang terjadi cenderung efisien.
Walaupun demikian, persepsi yang sering muncul adalah terdapatnya isu persaingan di sektor
perbankan. Selain diindikasikan oleh tingkat konsentrasi pasar, ukuran lain yang sering
digunakan untuk mendukung anggapan ini adalah tinggi dan sulit turunnya net interest
margin (NIM) yang sederhananya adalah selisih antara pendapatan dan biaya bunga. Banyak
studi (misalnya Rosengard dan Prasetyantoko 2011; Lin et al. 2012) telah menunjukkan
bahwa NIM bank-bank di Indonesia relatif tinggi dibandingkan dengan bank-bank di negara
lain termasuk negara-negara berkembang lainnya.
Terkait dengan hal ini, studi yang dilakukan oleh Trinugroho et al. (2014) membuktikan
adanya terdapat hubungan sebab-akibat yang positif antara kekuatan pasar dengan NIM, yang
artinya, semakin besar kekuatan pasar yang dimiliki oleh suatu bank maka akan semakin
besar pula NIM yang akan dikenakannya. Temuan ini memberi dukungan terhadap anggapan
adanya isu persaingan di sektor perbankan.
Trinugroho et al. juga menemukan bukti akan adanya hubungan sebab-akibat yang positif
antara status kepemilikan pemerintah (BUMN atau BUMD) dengan NIM. Dengan demikian,
bank milik pemerintah mengenakan NIM yang lebih tinggi dibandingkan dengan bank lain
dengan status kepemilikan yang berbeda (bank milik asing/joint-venture atau swasta
domestik). Temuan ini konsisten dengan argumen adanya potensi isu persaingan di antara
bank-bank berskala besar telah ditunjukkan sebelumnya dengan tingginya konsentrasi pasar
kelompok bank ini. Bahkan, dalam analisis deskriptifnya, Trinugroho et al. (hal. 149)
mengungkapkan bahwa terdapat kesenjangan yang besar sekali antara NIM yang dikenakan
oleh bank milik pemerintah (yaitu rata-rata sebesar 9.2%) dengan NIM yang dikenakan oleh
bank asing (yaitu rata-rata sebesar 4.4%) dan bank swasta domestik (yaitu rata-rata sebesar
5.6%).
Walaupun tidak langsung berkaitan dengan isu persaingan, penting untuk dicermati bahwa
terdapat faktor-faktor penting lainnya yang menentukan tingginya NIM selain tingkat
persaingan antar bank. Beberapa faktor yang penting adalah overhead cost kegiatan
perbankan, premi resiko perekonomian Indonesia secara keseluruhan, dan kedalaman pasar
modal (capital market financial deepening) di Indonesia.
85

Overhead cost di sektor perbankan Indonesia tergolong relatif tinggi dibandingkan dengan
beberapa negara Asia Tenggara lainnya. Terdapat perbedaan pandangan untuk menyikapi
besarnya overhead cost ini; yaitu, kalangan akademisi dan otoritas perbankan menganggap
bahwa banyak bank belum meningkatkan efisiensi operasional perbankan mereka
(Trinugroho et al. 2011), sedangkan kalangan perbankan menyatakan bahwa tingginya
overhead cost terjadi karena sebagian besar bank dalam fase pengembangan jaringan cabang
yang membutuhkan biaya operasional dan investasi (seperti biaya investasi IT) yang besar.20
Sementera itu, premi resiko perekonomian Indonesia tergolong tinggi karena berbagai faktor
yang sifatnya dapat menurunkan laju pertumbuhan, seperti misalnya masalah pada sisi
penawaran termasuk masalah infrastruktur dan ruang fiskal yang sempit karena tingginya
subsidi untuk energi. Kesemuanya ini menyebabkan inflasi yang tinggi relatif dibandingkan
negara-negara berkembang lainnya yang kemudian mendorong naiknya cost of fund agar
bank tidak kehilangan para deposannya.
Sedangkan untuk perkembangan pasar modal, belum terlalu dalamnya dan luasnya
perkembangan pasar modal di Indonesia menyebabkan sektor perbankan tidak memiliki
pesaing. Ini dicerminkan dengan masih dominannya kredit perbankan untuk membiayai
kegiatan operasional dan investasi berbagai perusahaan.
Dengan demikian, terkait dengan isu tinggi dan sulit turunnya NIM di Indonesia, persaingan
di dalam sektor perbankan memang dapat mempengaruhi terjadinya hal ini, namun demikian,
terdapat beberapa penyebab lain di luar ranah persaingan sektor perbankan yang juga
memberikan kontribusi besar terhadap isu NIM di Indonesia.
1.5.2 Jasa Asuransi
Sektor jasa asuransi di Indonesia masih terbilang kecil bila dibandingkan dengan negaranegara yang lebih maju. Pada tahun 2012, premi bruto asuransi di Indonesia hanya sekitar 16
milyar USD, jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan premi bruto asuransi di Amerika
Serikat, Inggris, Jepang, Korea, Australia maupun Hong Kong. Namun demikian, sektor ini

20

Hal ini seperti yang diungkapkan oleh David Sumual dalam artikelnya yang berjudul High Cost Economy
Picu Suku Bunga Tinggi, yang dapat diakses melalui:
http://davidsumual.blog.kontan.co.id/category/perbankan-dan-pasar-modal/

86

merupakan sektor yang potensi pertumbuhannya tinggi di masa datang, baik asuransi jiwa
maupun asuransi umum.
Potensi permintaan yang besar terhadap asuransi jiwa dapat dilihat dari jumlah penduduk
Indonesia yang besar dengan proporsi penduduk usia muda yang relatif tinggi serta makin
meningkatkan kelompok menengah di negeri ini. Sedangkan untuk asuransi umum,
potensinya dapat dilihat dari masih besarnya defisit transaksi neraca pembayaran Indonesia
untuk sektor asuransi sementara transaksi bisnis terus meningkat. Grafik L3.12
memperlihatkan peningkatan yang signifikan terjadi dalam bisnis asuransi, terutama asuransi
jiwa.
Gambar L3.12. Premi Bruto Asuransi di Indonesia, 1994-2012

Sumber: CEIC
Industri jasa asuransi di Indonesia didominasi oleh beberapa perusahaan besar. Berdasarkan
laporan yang diliris Towers and Watson (2013), empat perusahaan asuransi jiwa dengan
pangsa pasar terbesar adalah Prudential (25 persen), AXA Mandiri (14,1 persen), Sinarmas
life (6,2 persen) dan Allianz Life (6,1 persen). Keempat perusahaan terbesar tersebut secara
bersama-sama menguasai 51,4 persen dari total penjualan di pasar asuransi jiwa Indonesia.
Masih berdasarkan laporan Towers and Watson, 10 perusahaan asuransi jiwa terbesar
menguasai 76.4 persen pangsa pasar asuransi jiwa di Indonesia. Situasi ini memungkinkan
terjadinya praktik-praktik persaingan yang berpotensi melanggar undang-undang persaingan
usaha.

87

Gambar L3.13. Jumlah Perusahaan Asuransi di Indonesia

Sumber: Towers dan Watson (2013)


Pada kenyataannya, beberapa kasus persaingan usaha memang pernah terjadi (lihat Tabel
L3.13). Pada awal tahun 2013, Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) pernah dipanggil
oleh Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) karena mengedarkan surat penetapan
tarif asuransi banjir yang dianggap dapat memicu pembentukan kartel asuransi.21 AAUI
mengeluarkan surat keputusan No 02/AAUI/2013 mengenai pedoman baru penentuan tarif
premi resiko banjir yang menentukan premi berdasarkan zona bahaya banjir. Tarif premi
berkisar antara 0,045 0,5% lebih tinggi dibandingkan ketentuan sebelumnya sebesar 0,0170,07. AAUI juga menetapkan adanya loading rate untuk bangunan kelas 1 yang memiliki
basement dengan besaran ditentukan oleh tim penilai. Pada April 2013, AAUI membatalkan
surat edaran. Namun pada akhir 2013, Otoritas Jasa Keuangan mengeluarkan Surat Edaran
OJK No. SE.06/D.05/2013 (SE 06) mengenai Penetapan Tarif Premi serta Ketentuan Biaya
Akuisisi pada Lini Usaha Asuransi Kendaraan Bermotor dan Harta Benda serta jenis Resiko
Khusus meliputi Banjir, Gempa Bumi, Letusan Gunung Berapi, dan Tsunami yang antara lain
mengatur premi banjir yang lebih kurang sama dengan SE AAUI. Surat Edaran ini dihimbau
KPPU agar dicabut22. Hal ini disebabkan sebagian besar perusahaan asuransi menentukan
tarif preminya pada batas bawah tersebut, sehingga tidak tercipta persaingan usaha dan
merugikan konsumen.
Beberapa kasus perjanjian ekslusif dan diskriminasi juga terjadi di masa lalu. Pada tahun
2001 misalnya, PT Bank BNI melalukan perjanjian ekslusif dengan beberapa perusahaan
21
22

http://www.tempo.co/read/news/2013/04/01/090470422/KPPU-Temukan-Praktik-Kartel-di-Asuransi
http://www.infobanknews.com/2014/08/kppu-sk-ojk-soal-tarif-premi-rugikan-konsumen/

88

asuransi. KPPU meminta PT Bank BNI untuk membatakan perjanjian tersebut. Pada tahun
2009, Badan Pengusaha Batam dan PT Jasa Raharja, PT Asuransi Jasaraharja Putera Batam,
PT Jasa Asuransi Indonesia (Persero) Batam, PT Indodharma Corpora, PT Synergy Tharada,
dan PT Senimba Bay Resort terlibat praktik persaingan usaha tidak sehat. KPPU memutuskan
para pihak terbukti melanggar Pasal 17 ayat 1 tentang penguasaan atas produksi dan/atau
pemasaran barang dan atas jasa dan melanggar Pasal 19 huruf d tentang praktik diskriminasi.
Baru-baru ini, PT Bank BRI diduga melakukan exclusive dealing dengan PT Asuransi Jiwa
BRIngin Life dan Heksa Eka Life Insurance (Heksalife) dimana perusahaan asuransi yang
terkait mengikatkan produk asuransinya denga kredit pemilikan rumah yang dikeluarkan oleh
BRI. Saat ini, kasus ini masih dalam proses penyelidikan OJK dan KPPU.
1.6 Jasa Kesehatan
Sektor kesehatan Indonesia diperkirakan akan tumbuh pesat dalam beberapa tahun
mendatang. Ini antara lain karena sektor ini masih kecil bila dibandingkan dengan sektorsektor jasa lainnya. Hal ini tampak antara lain dari pengeluaran pemerintah untuk kesehatan.
Pada tahun 2011 realisasi pengeluaran pemerintah pusat untuk kesehatan hanya sekitar 0.6%
dari pendapatan bruto (PDB) nasional, jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan pengeluaran
pemerintah untuk pendidikan yang mencapai 3.6% dari PDB.23 Sementara itu laporan OECD
(2013) yang lain menyebutkan pengeluaran untuk kesehatan oleh pemerintah dan swasta
bersama-sama hanya mencapai 2.7% dari PDB, jauh di bawah pengeluaran rata-rata negaranegara industri maju (OECD) yang mencapai 9.3 percent dari PDB mereka.
Di samping itu pengeluaran per kepala untuk kesehatan di Indonesia juga masih sangat
rendah, bahkan jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Menurut Bank Dunia,
pada tahun 2012, pengeluaran per kepala untuk kesehatan di Indonesia hanya sekitar 108
USD.24 Pada tahun yang sama pengeluaran per kepala di Filipina, Malaysia, Singapura dan
Thailand secara berturut sebesar 119 USD, 410 USD, 2.426 USD dan 215 USD untuk tujuan
yang sama.
Berdasarkan data-data di atas, perkiraan perusahaan konsultan Frost and Sullivan bahwa
pertumbuhan pengeluaran untuk kesehatan di Indonesia akan tumbuh rata-rata sebesar 14,9%
23

Sumber data: Bank Dunia (Health expenditure per capita (current US$),
http://data.worldbank.org/indicator/SH.XPD.PCAP).
24 Sumber data: Bank Dunia (Health expenditure per capita (current US$),
http://data.worldbank.org/indicator/SH.XPD.PCAP).

89

antara tahun 2012 dan 2018 mungkin tidak terlalu meleset. Perusahaan tersebut
memperkirakan bahwa pada tahun 2018 pengeluaran untuk kesehatan akan mencapai sekitar
60,6 miliar USD.25 Ada beberapa alasan yang mendorong pengeluaran tersebut tumbuh
dengan pesat. Pertama, laju pertumbuhan yang tinggi disebabkan oleh proses urbanisasi serta
perubahan struktur demografis dimana usia rata-rata dan median usia penduduk Indonesia
yang meningkat. Meningkatnya jumlah penduduk perkotaan dan usia penduduk yang
semakin menua cenderung meningkatkan permintaan jasa kesehatan. Di sisi lain perubahan
gaya hidup yang terjadi seiring dengan meningkatnya penghasilan masyarakat juga
cenderung meningkatkan insiden penyakit kronis dan penyakit-penyakit tidak menular (noncommunicable diseases) seperti diabetes, jantung dan kanker. Selain daripada itu, kedokteran
moderen juga selain menuntut tersedianya tenaga-tenaga yang benar-benar ahli dalam suatu
bidang tertentu, juga membutuhkan teknologi kesehatan yang semakin canggih. Keduanya ini
cenderung menghasilkan adanya, dan meningkatkan, biaya pelayanan rumah sakit.
Sektor kesehatan memiliki lingkup yang luas dan mencakup berbagai sub-sektor. Ada dua
subsektor yang paling penting dan merupakan inti (core) dari layanan kesehatan, yaitu jasa
rumah sakit dan ketersediaan obat-obatan (farmasi). Uraian singkat ini akan difokuskan pada
persaingan di kedua subsektor jasa rumah sakit dan sektor farmasi.
1.6.1 Jasa Kesehatan Rumah Sakit
Layanan kesehatan di Indonesia masih sangat terbatas. Sebagai gambaran, setiap 1.000 orang
penduduk hanya dilayani oleh sekitar 0.2 dokter dan 0.9 perawat. Sebagai pembanding setiap
1.000 orang di negara-negara OECD dilayani oleh 3,2 dokter dan 8,7 perawat. Disamping
itu, jumlah rumah sakit juga masih sangat rendah; untuk setiap 1.000 orang hanya ada 0,7
tempat tidur rumah sakit sementara setiap 1.000 orang di negara-negara OECD tersedia
sekitar 4,8 tempat tidur rumah sakit.
Struktur kepemilikan rumah sakit di Indonesia cukup kompleks. Ada rumah sakit dimiliki
dan dikelola oleh pemerintah yakni oleh kementerian kesehatan, pemerintah propinsi,
pemerintah kabupaten, pemerintah kota, militer dan polisi; ada rumah sakit swasta yang
terdiri dari rumah sakit yang betujuan komersial dan yang bersifat nirlaba; dan ada rumah
sakit milik BUMN untuk tujuan komersial. Tabel L3.5 memperinci struktur ini.

25

The Jakarta Post, 30 Maret 2013.

90

Tabel L3.5. Struktur dan Kepemilikan Rumah Sakit, Agustus 2012

Salah satu pertanyaan yang mungkin muncul adalah: apakah Indonesia membutuhkan
persaingan jasa rumah sakit? Untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu melihat manfaat yang
bisa dipetik dari adanya persaingan layanan jasa kesehatan rumah sakit. Pertama, persaingan
akan mendorong munculnya berbagai jenis pilihan yang terjangkau bagi pengguna jasa
tersebut. Dengan demikian, pasien dapat memilih di rumah sakit mana pasien tersebut hendak
menjalani perawatannya, karena terdapat jumlah rumah sakit dengan kualitas yang dapat
dipertanggungjawabkan juga. Adanya persaingan juga menyebabkan tersedianya layanan
kesehatan dengan harga yang terjangkau. Ini sangat diperlukan dan sebenarnya sangat
menguntungkan pemerintah, karena dapat membantu mengurangi investasi publik yang harus
dikeluarkan oleh pemerintah dalam rangka menjamin adanya layanan kesehatan publik.
Kedua, persaingan juga akan mendorong penyedia jasa untuk memberikan informasi tentang
jenis-jenis jasa yang mereka tawarkan sehingga para pengguna jasa bisa melakukan pilihan
dengan baik (well-informed decision). Hal ini karena rumah sakit sebagai pihak penyedia jasa
memiliki kepentingan untuk menarik pasien.

91

Ketiga, jika mutu layanan jasa rumah sakit menjadi lebih baik, maka milyaran rupiah yang
dikeluarkan oleh mereka yang berobat ke luar negeri setiap tahun dapat dibelanjakan dalam
negeri yang pada gilirannya akan mendorong perbaikan mutu lebih lanjut (virtuous cycle).
Jika ini terjadi maka bukan mustahil bahwa Indonesia bisa menjadi tujuan berobat bagi
pasien asing.
Pertanyaan lain yang berhubungan adalah bagaimana mendorong terjadinya persaingan di
sektor jasa rumah sakit. Pertanyaan ini penting mengingat jumlah rumah sakit yang masih
terbatas. Salah satu langkah konkrit yang telah diambil oleh pemerintah adalah membuka
sektor ini bagi penanaman modal asing. DNI yang terbaru (2014) telah membuka pelayanan
rumah sakit, rumah sakit spesialistik dan subspesialistik (KBLI 86103) bagi PMA dengan
kepemilikan asing sampai 67% dan berlaku di seluruh Indonesia. Masuknya modal asing di
sektor jasa rumah sakit diharapkan bisa meningkatkan persaingan di sektor ini.
Tentu saja disain upaya memajukan persaingan di sektor jasa rumah sakit perlu
memperhatikan sisi pembiayaan. Dengan perkataan lain, peran perusahaan asuransi dalam
memajukan persaingan di sektor ini perlu diperjelas. Metode pembiayaan merupakan salah
satu kunci bagi keberhasilan kompetisi dalam pelayanan rumah sakit (OECD 2012).
1.6.2 Sektor Farmasi
Pasar farmasi Indonesia diperkirakan akan tumbuh pesat di tahun-tahun mendatang. Pada
awal tahun 2014 pasar farmasi di Indonesia diperkirakan sebesar 6,5 miliar USD dengan
pertumbuhan rata-rata sebesar 12.5 persen per tahun. Perusahaan farmasi domestik
menguasai sekitar 70 persen dari pasar tersebut dan 30 persen sisanya dikuasai oleh
perusahaan farmasi asing. Ada sekitar 250 perusahaan farmasi di Indonesia, 60 di antaranya
adalah perusahaan asing.
Salah satu tantangan yang dihadapi oleh industri farmasi di Indonesia adalah
ketergantungannya pada bahan baku impor. Sekitar 96 persen dari bahan baku produksi
industri farmasi berasal dari impor. Sebagai akibatnya, industri ini rentan terhadap perubahan
nilai tukar dan inflasi. Sementara itu, terdapat peraturan yang mengharuskan semua obatobatan yang terdaftar di Indonesia diproduksi di dalam negeri.
92

Salah satu isu yang sering disebutkan tetapi sulit dibuktikan adalah adanya kerja sama antara
dokter dan perusaan farmasi dimana dokter akan mengeluarkan resep obat yang diproduksi
oleh perusahaan tertentu dengan imbalan dokter tersebut akan mendapat bonus dari
perusahaan bersangkutan. Di sisi lain, terdapat peraturan yang melarang apoteker untuk
mengganti obat yang tertera di resep tanpa persetujuan dokter yang bersangkutan. Sebagai
akibatnya meskipun ada peraturan yang menganjurkan dokter untuk sebisa mungkin
memakai obat generik, tetapi dalam kenyataannya pemakaian obat-obat generik bermerek
(off-patent drugs) lebih banyak daripada pemakaian obat generik. Kerja sama antara dokter
dan perusahaan farmasi ini bisa menjadi hambatan masuk (barrier to entry) bagi obat-obat
baru. Ini karena pembuat obat baru harus bisa meyakinkan dokter-dokter untuk
menganjurkan obat tersebut jika mengeluarkan resep. Ada kemungkinan bahwa ada obat-obat
generik bermerek yang mendominasi pasar meskipun obat-obat generik juga ada di pasar.
Salah satu masalah terpenting menyangkut persaingan di sektor farmasi adalah integrasi
vertikal antara perusahaan farmasi dan distributor. Dalam hal ini terdapat dua jenis integrasi
vertikal. Pertama, perusahaan farmasi membuat kontrak jangka panjang dengan distributor.
Kedua, perusahaan membentuk anak perusahaan yang menjalankan bisnis distribusi barang
untuk mengurangi kompetisi antar distributor. Kedua jenis integrasi vertikal yang umum
terjadi di industri farmasi ini sepertinya belum terlalu banyak dikaji oleh KPPU.
**

93

Anda mungkin juga menyukai