Anda di halaman 1dari 7

A.

MANFAAT DAN FAKTOR PENERAPAN GCG

Seberapa jauh perusahaan memperhatikan prinsip-prinsip dasar GCG telah semakin


menjadi faktor penting dalam pengambilan keputusan investasi. Terutama sekali hubungan
antara praktik corporate governance dengan karakter investasi internasional saat ini.
Karakter investasi ini ditandai dengan terbukanya peluang bagi perusahaan mengakses dana
melalui pool of investors di seluruh dunia. Suatu perusahaan dan atau negara yang ingin
menuai manfaat dari pasar modal global, dan jika kita ingin menarik modal jangka panjang
yang, maka penerapan GCG secara konsisten dan efektif akan mendukung ke arah itu.
Bahkan jikapun perusahaan tidak bergantung pada sumber daya dan modal asing, penerapan
prinsip dan praktik GCG akan dapat meningkatkan keyakinan investor domestik terhadap
perusahaan.

Di samping hal-hal tersebut di atas, GCG juga dapat:

Mengurangi agency cost, yaitu suatu biaya yang harus ditanggung pemegang saham
sebagai akibat pendelegasian wewenang kepada pihak manajemen. Biaya-biaya ini
dapat berupa kerugian yang diderita perusahaan sebagai akibat penyalahgunaan
wewenang (wrong-doing), ataupun berupa biaya pengawasan yang timbul untuk
mencegah terjadinya hal tersebut.
Mengurangi biaya modal (cost of capital), yaitu sebagai dampak dari pengelolaan
perusahaan yang baik tadi menyebabkan tingkat bunga atas dana atau sumber daya
yang dipinjam oleh perusahaan semakin kecil seiring dengan turunnya tingkat resiko
perusahaan.
Meningkatkan nilai saham perusahaan sekaligus dapat meningkatkan citra perusahaan
tersebut kepada publik luas dalam jangka panjang.

Menciptakan dukungan para stakeholder (para pihak yang berkepentingan) dalam


lingkungan perusahaan tersebut terhadap keberadaan dan berbagai strategi dan kebijakan
yang ditempuh perusahaan, karena umumnya mereka mendapat jaminan bahwa mereka juga
mendapat manfaat maksimal dari segala tindakan dan operasi perusahaan dalam menciptakan
kemakmuran dan kesejahteraan.

Faktor Eksternal

Yang dimakud faktor eksternal adalah beberapa faktor yang berasal dari luar perusahaan yang
sangat mempengaruhi keberhasilan penerapan GCG. Di antaranya:

Terdapatnya sistem hukum yang baik sehingga mampu menjamin berlakunya


supremasi hukum yang konsisten dan efektif.
Dukungan pelaksanaan GCG dari sektor publik/ lembaga pemerintahaan yang
diharapkan dapat pula melaksanakan Good Governance dan Clean Government
menuju Good Government Governance yang sebenarnya.
Terdapatnya contoh pelaksanaan GCG yang tepat (best practices) yang dapat menjadi
standard pelaksanaan GCG yang efektif dan profesional. Dengan kata lain, semacam
benchmark (acuan).

Terbangunnya sistem tata nilai sosial yang mendukung penerapan GCG di masyarakat.
Ini penting karena lewat sistem ini diharapkan timbul partisipasi aktif berbagai kalangan
masyarakat untuk mendukung aplikasi serta sosialisasi GCG secara sukarela.

Hal lain yang tidak kalah pentingnya sebagai prasyarat keberhasilan implementasi GCG
terutama di Indonesia adalah adanya semangat anti korupsi yang berkembang di lingkungan
publik di mana perusahaan beroperasi disertai perbaikan masalah kualitas pendidikan dan
perluasan peluang kerja. Bahkan dapat dikatakan bahwa perbaikan lingkungan publik sangat
mempengaruhi kualitas dan skor perusahaan dalam implementasi GCG.

Faktor Internal

Maksud faktor internal adalah pendorong keberhasilan pelaksanaan praktek GCG yang
berasal dari dalam perusahaan. Beberapa faktor dimaksud antara lain:

Terdapatnya budaya perusahaan (corporate culture) yang mendukung penerapan GCG


dalam mekanisme serta sistem kerja manajemen di perusahaan.
Berbagai peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan perusahaan mengacu pada
penerapan nilai-nilai GCG.
Manajemen pengendalian risiko perusahaan juga didasarkan pada kaidah-kaidah
standar GCG.
Terdapatnya sistem audit (pemeriksaan) yang efektif dalam perusahaan untuk
menghindari setiap penyimpangan yang mungkin akan terjadi.
Adanya keterbukaan informasi bagi publik untuk mampu memahami setiap gerak dan
langkah manajemen dalam perusahaan sehingga kalangan publik dapat memahami
dan mengikuti setiap derap langkah perkembangan dan dinamika perusahaan dari
waktu ke waktu.

B. PENERAPAN GCG DI INDONESIA


Krisis ekonomi yang menghantam Asia telah berlalu lebih dari delapan tahun. Krisis ini
ternyata berdampak luas teutama dalam merontokkan rezimrezim politik yang berkuasa di Korea
Selatan, Thailand, dan Indonesia. Ketiga Negara yang diawal tahun 1990-an dipandang sebagai
the Asian tiger, harus mengakui bahwa pondasi ekonomi mereka rapuh, yang pada akhirnya
merambah pada krisis politik. Setelah delapan tahun, sejak krisis tersebut melanda, kita sekarang
dapat melihat pertumbuhan kembali Negara-negara yang amat terpukul oleh krisis tersebut.
Korea Selatan yang pernah terjangkit kejahatan financial yang melibatkan para eksekutif puncak
perusahaan-perusahaan blue-chip, kini telah pulih. Perkembangan yang sama juga terlihat
dengan Thailand maupun Negara-negara ASEAN lainnya.

Era pascakrisis ditandai dengan goncangan ekonomi berkelanjutan. Mulai dari


restrukturisasi sektor perbankan, pelelangan asset para konglomerat, yang berakibat pada
penurunan iklim berusaha (Bakrie,2003). Kajian yang dilakukan oleh Asian Development Bank
(ADB) menunjukkan beberapa faktor yang memberi kontribusi pada krisis di Indonesia.
Pertama, konsentrasi kepemilikan perusahaan yang tinggi; kedua, tidak efektifnya fungsi
pengawasan dewan komisaris, ketiga; inefisiensi dan rendahnya transparansi mengenai prosedur
pengendalian merger dan akuisisi perusahaan; keempat, terlalu tingginya ketergantungan pada
pendanaan eksternal; dan kelima, ketidak memadainya pengawasan oleh para kreditor. Tantangan
terkini yang dihadapi masih belum dipahaminya secara luas prinsip-prinsip dan praktek good
corporate governance oleh kumunitas bisnis dan publik pada umumnya (Daniri, 2005). Akhirnya
komunitas internasional masih menempatkan Indonesia pada urutan bawah rating implementasi
GCG sebagaimana dilakukan oleh Standard & Poor, CLSA, Pricewaterhouse Coopers, Moody`s
Morgan, and Calper`s. Kajian Pricewaterhouse Coopers yang dimuat di dalam Report on
Institutional investor Survey (2002) menempatkan Indonesia di urutan paling bawah bersama
China dan India dengan nilai 1,96 untuk transparansi dan keterbukaan. Jika dilihat dari
ketersediaan investor untuk memberi premium terhadap harga saham perusahaan publik di
Indonesia, hasil survey tahun 2002 menunjukkan kemajuan dibandingkan hasil survey tahun
2000. Pada tahun 2000 investor bersedia membayar premium 27%, sedang di tahun 2002 hanya
bersedia membayar 25% saja. Hal ini menunjukkan persepsi investor terhadap resiko tidak
dijalankannya GCG, menjadi lebih baik. Secara keseluruhan urutan teratas masih ditempati oleh
Singapura dengan skor 3,62, Malaysia dan Thailand mendapat skor 2,62 dan 2,19.
Laporan tentang GCG oleh CLSA (2003), menempatkan Indonesia di urutan terbawah
dengan skor 1,5 untuk masalah penegakan hukum, 2,5 untuk mekanisme institusional dan
budaya corporate governance, dan dengan total 3,2. Meskipun skor Indonesia di tahun 2004 lebih
baik dibandingkan dengan 2003, kenyataannya, Indonesia masih tetap berada di urutan terbawah
di antara Negara-negara Asia. Faktor-faktor penyebab rendahnya kinerja Indonesia adalah
penegakan hukum dan budaya corporate governance yang masih berada di titik paling rendah di
antara Negara-negara lain yang sedang tumbuh di Asia. Penilaian yang dilakukan oleh CLSA
didasarkan pada faktor eksternal dengan bobot 60% dibandingkan faktor internal yang hanya
diberi bobot 40% saja. Fakta ini menunjukkan bahwa implementasi GCG di Indonesia
membutuhkan pendekatan yang komprehensif dan penegakan yang lebih nyata lagi.

C. GCG DALAM BUMN


Pada awalnya tujuan dibentuknya BUMN adalah merupakan penjabaran dan
implementasi pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi Bumi dan air kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Berdasarkan peraturan yang ada, dapat dibedakan tiga jenis bentuk hukum BUMN yaitu
Persero, Perusahaan Umum (Perum), dan perusahaan jawatan (Perjan). Tjager dkk (2003)
selanjutnya mengungkapkan bahwa rendahnya kinerja BUMN ini ada kaitannya dengan belum
efektifnya penerapan tata kelola perusahaan yang baik di BUMN tersebut. Contohnya pemberian
remunerasi yang berlebihan kepada direksi.
Tujuan GCG diatur dalam pasal 4 adalah :
Memaksimalkan nilai BUMN dengan cara meningkatkan prinsip keterbukaan,
akuntabilitas, dapat dipercaya, bertanggung jawab, dan adil agar perusahaan memiliki
daya saing yang kuat, baik secara nasional maupun internasional.
Mendorong pengelolaan BUMN secara professional, transparan, dan efesien, serta
memberdayakan fungsi dan meningkatkan kemendirian organ.
Mendorong agar organ dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakan dilandasi
nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang
berlaku, serta kesadaran akan adanya tanggung jawab social BUMN terhadap para
pemangku kepentingan maupun kelestarian lingkungan di sekitar BUMN.
Meningkatkan kontribusi BUMN dalam perekonomian nasional.
Menyukseskan program privatisasi.

D. DAMPAK PENERAPAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP


KEPATUHAN PAJAK PERUSAHAAN

Penerapan tatakelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG) sudah


merupakan hal penting yang perlu diterapkan di Indonesia, terutama bagi perusahaan-perusahaan
yang mengelola dana publik seperti perusahaan yang terdaftar di bursa efek, perusahaan
perbankan, dan perusahaan BUMN. Penerapan GCG pada perusahaan-perusahaan tersebut
diharapkan dapat menciptakan iklim usaha yang baik sehingga dapat membantu perekonomian
secara makro.

Di sisi lain, pajak merupakan hal penting lain dalam perekonomian suatu negara.
Penerimaan pajak yang tinggi dapat membantu menyediakan barang-barang dan jasa publik yang
tidak dapat disediakan oleh sektor swasta. Sarana dan prasarana umum seperti jalan, jembatan,
rumah sakit, sekolah memiliki peranan besar dalam kemajuan perekonomian suatu negara,
termasuk Indonesia. Sarana dan prasarana seperti ini harus disediakan oleh negara yang dananya
berasal dari masyarakat, baik individu maupun perusahaan, dalam bentuk pajak. Dengan
demikian, kepatuhan masyarakat untuk membayar pajak menjadi hal yang penting untuk
diwujudkan.

Kepatuhan Pajak

Sistem perpajakan di Indonesia menerapkan Self Assesment System.[4] Dengan sistem


ini Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung sendiri pajak yang terutang, membayar
sendiri pajak terutang di bank atau kantor pos yang telah ditentukan, dan melaporkan
penghitungan dan pembayaran pajak terutang dengan cara menyampaikan Surat Pemberitahuan
(SPT) ke Kantor Pelayanan Pajak. Pajak yang terutang dihitung oleh Wajib Pajak berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Direktorat Jenderal Pajak bertugas untuk memastikan bahwa Wajib Pajak patuh kepada
ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemeriksaan pajak adalah salah satu sarana yang bisa
dilakukan untuk melakukan pengawasan tersebut. Dalam kenyataannya, kepatuhan Wajib Pajak
ini masih jauh dari yang diharapkan. Keterbatasan Direktorat Jenderal Pajak serta kesadaran
Wajib Pajak nampaknya menjadi penyebab masih rendahnya kepatuhan pajak ini. Wajib Pajak
yang patuh secara formal belum tentu patuh secara material.

Good Corporate Governance dan Kepatuhan Pajak

Salah satu asas penting dalam penerapan GCG adalah asas transparansi. Apabila
perusahaan menerapkan asas ini, maka perusahaan akan menyediakan informasi bukan hanya
yang diwajibkan oleh ketentuan, tetapi juga informasi-informasi relevan lain yang dibutuhkan
oleh pemegang saham dan pemangku kepentinga. Dengan transparansi dan keterbukaan maka
pihak luar perusahaan dapat mengakses informasi penting persusahaan, termasuk informasi
perpajakan. Keputusan perusahaan terkait dengan kewajiban perpajakan perusahaan sebenarnya
memiliki dua dimensi. Keputusan untuk tidak patuh kepada ketentuan perpajakan memang
memberikan kesempatan kepada perusahaan untuk melakukan penghematan dan juga
memperbaiki kinerja perusahaan. Tapi di sisi lain, ketidakpatuhan terhadap ketentuan perpajakan
juga memunculkan risiko bagi perusahaan, dan juga pemegang saham. Bentuk risiko adalah
adanya kemungkinan perusahaan dikenakan sanksi, baik sanksi administrasi ataupun sanksi
pidana sesuai dengan jenis pelanggarannya. Belum lagi adanya risiko menurunkan reputasi
perusahaan yang mungkin saja mengancam keberlangsungan (sustainability) perusahaan.

Keputusan manajemen perusahaan untuk tidak patuh ini bisa terjadi karena manajemen
dikompensasi berdasarkan kinerja laba. Manajemen juga mungkin saja memiliki pandangan
jangka pendek sehingga melakukan keputusan ini. Pemegang saham di pihak lain, tentu saja
lebih memandang dalam jangka panjang. Keputusan manajemen yang penuh risiko ini tidak akan
dikehendaki oleh pemegang saham. Prinsip keterbukaan dan transparansi memungkinkan
pemegang saham dapat mengetahui keputusan manajemen dengan segera. Melalui mekanisme
RUPS misalnya, pemegang saham dapat mengendalikan perilaku manajemen yang lebih
mementingkan self interest. Dengan demikian, prinsip transparansi dalam penerapan GCG akan
membuat perusahaan lebih patuh terhadap ketentuan pajak.

Asas akuntabilitas mensyaratkan perusahaan untuk dapat mempertanggungjawabkan


kinerja secara wajar dan transaparan sehingga perusahaan harus dikelola secara benar, terukur
sesuai kepentingan perusahaan, pemegang saham, dan pemangku kepentingan. Dengan asas ini
manajemen perusahaan akan terdorong untuk melalu menjalankan perusahaan sesuai dengan
kepentingan pemegang saham dan pemangku pepentingan karena tindakan manajemen akan
selalu terawasi dan termonitor. Di sisi lain, asas responsibilitas mengharuskan perusahaan
mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap
masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha jangka panjang.
Dengan prinsip ini perusahaan akan menjadi warga masyarakat yang baik.

Dengan demikian, penerapan asas akuntabilitas dan responsibilitas juga akan mendorong
manajemen perusahaan untuk lebih mematuhi peraturan pajak. Dengan akuntabilitas, keputusan
manajemen akan dipertanggungjawabkan, termasuk keputusan untuk mematuhi atau tidak
peraturan pajak. Jika manajemen menerapkan asas responsibiltas, maka manajemen akan
mematuhi peraturan perundang-undangan, termasuk peraturan perundang-undangan perpajakan.

Perusahaan harus dikelola secara independen di mana masing-masing organ perusahaan


tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. Dengan menerapkan
prinsip independensi ini, pengambilan keputusan dilakukan secara objektif, bebas dari benturan
kepentingan dan pengaruh atau tekanan dari pihak lain. Organ persuahaan mencakup Rapat
Umum Pemegang Saham (RUPS), Dewan Komisaris, dan Direksi.

Penerapan asas independensi manajemen akan mengambil keputusan secara objektif dan
bebas dari konflik kepentingan. Manajemen akan mengambil keputusan sesuai dengan
kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan, bukan kepentingan manajemen.
Mengingat bahwa keputusan untuk mematuhi atau tidak ketentuan pajak lebih merupakan
kepentingan sendiri manajemen, bukan pemegang saham, maka prinsip independensi akan
mendorong perusahaan untuk patuh pada ketentuan pajak.
Asas terakhir dalam penerapan GCG adalah asas kewajaran dan kesetaraan. Dalam
melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus memperhatikan kepentingan pemegang saham dan
pemangku kepentingan berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan (fairness). Dalam
melaksanakan asas ini perusahaan harus memberikan kesempatan yang sama kepada pemangku
kepentingan dan pemegang saham untuk memberikan masukan-masukan kepada perusahaan
demi kepentingan keberlangsungan perusahaan. Pemegang saham dan pemangku kepentingan
seperti karyawan, mitra bisnis dan masyarakat tentu menginginkan perusahaan memiliki
keberlangsungan, bukan hanya kinerja keuangan jangka pendek. Aktivitas untuk mengelak atau
menghindari pajak adalah aktivitas berisiko yang engancam keberlangsungan perusahaan.
Dengan demikian, penerapan asas kewajaran dan kesetaraan juga pada hakikatnya dapat
mendorong perusahaan untuk mematuhi pajak.

Daftar Pustaka

Kaihatu, Thomas S. 2006. Good Corporate Governance dan Penerapannya di Indonesia.


JURNAL MANAJEMEN DAN KEWIRAUSAHAAN, VOL.8, NO. 1, MARET 2006: 1-9

Wahyudi, Dudi. Dampak Penerapan Good Corporate Governance Terhadap Kepatuhan Pajak
Perusahaan. [online] http://www.bppk.kemenkeu.go.id Diakses tanggal 25 Mei 2017

Anda mungkin juga menyukai