Anda di halaman 1dari 113

LAPORAN

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan


di Era Otonomi Daerah

PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI


BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN
KEMENTERIAN PERDAGANGAN
2013
RINGKASAN EKSEKUTIF

Latar Belakang

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar


Perusahaan (WDP) mewajibkan kepada seluruh perusahaan di wilayah Republik
Indonesia untuk mendaftarkan perusahaannya. Dengan adanya kebijakan tersebut
setiap perusahaan yang ada di Indonesia diwajibkan untuk mendaftarkan
perusahaannya ke instansi pemerintah, dalam hal ini melalui Kantor Pendaftaran
Perusahaan yang ada di Kabupaten/Kota/Kotamadya dan seluruh Kantor
Dinas/Suku Dinas yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang Perdagangan atau
Pejabat yang bertugas dan bertanggungjawab dalam pelaksanaan Pelayanan
Terpadu Satu Pintu di daerah.
Bagi pemerintah, WDP dapat dijadikan sumber informasi dalam membina
dunia usaha di dalam negeri. Kemudian bagi swasta, informasi tersebut dapat
digunakan dalam menemukan mitra bisnis di seluruh Indonesia sehingga
diharapkan dapat pendorong peningkatan investasi di dalam negeri.
Setelah berjalannya UU RI No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, perkembangan WDP dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Pada
tahun 2006, perusahaan yang melakukan wajib daftar perusahaan berjumlah
104.380 perusahaan, kemudian pada tahun 2012 menurun menjadi 898
perusahaan.
Kondisi ini menjadi permasalahan dalam program pemerintah yang ingin
mengembangkan dan meningkatkan investasi di dalam negeri dan transparansi
publik. Beberapa dugaan yang menyebabkan penurunan tingkat pelaksanaan WDP
adalah karena kurang tegasnya sanksi yang dikenakan kepada perusahaan yang
tidak melakukan WDP, mahalnya biaya pengurusan dan lamanya waktu
pengurusan WDP.
Berpijak pada konteks di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian
yang akan diangkat dalam analisis ini, yaitu:
a. Bagaimana hubungan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan dengan peraturan perundang-
undangan terkait lainnya.
b. Bagaimana efektifitas implementasi UU WDP di era otonomi daerah.
c. Kebijakan yang dapat mendukung terciptanya tertib wajib daftar perusahaan.

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah i


Tujuan Penelitian

a. Mengetahui hubungan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun


1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan dengan peraturan perundang-undangan
terkait lainnya.
b. Mengetahui efektifitas implementasi UU WDP di era otonomi daerah.
c. Merekomendasikan kebijakan yang dapat mendukung terciptanya tertib wajib
daftar perusahaan

Metodologi Penelitian

Analisis yang digunakan dalam melihat hubungan Undang-Undang Republik


Indonesia Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan dengan peraturan
perundang-undangan terkait lainnya bersifat descriptive evaluative dengan
menggunakan dasar analisis ketentuan hukum normatif. Dalam melakukan analisis
efektifitas implementasi UU WDP di era otonomi daerah digunakan metode analisis
Regulatory Impact Assessment (RIA). RIA ini merupakan suatu alat evaluasi
kebijakan dan sebuah metode yang bertujuan menilai secara sistematis pengaruh
negatif dan positif regulasi yang sedang diusulkan ataupun yang sedang berjalan.
RIA juga berfungsi sebagai alat pengambilan keputusan, karena didalam RIA itu
sendiri terdapat suatu metode: a) yang secara sistematis dan konsisten mengkaji
pengaruh yang ditimbulkan oleh tindakan pemerintah, dan b) mengkomunikasikan
informasi kepada para pengambil keputusan.

Hubungan WDP Dengan Perundangan Lainnya serta Permasalahannya

Antara undang-undang WDP dengan UU PT ternyata salah satu pasalnya


memiliki kontradiktif normatif sehingga menimbulkan masalah. Salah satu
contohnya kedua undang-undang tersebut memiliki pengaturan yang tidak sama
dimana dalam UU WDP diatur mengenai sanksi dengan ancaman melakukan suatu
tindak pidana kejahatan atau pelanggaran apabila tidak mengikuti ketentuan UU
WDP, sedangkan dalam UU PT baru tidak diatur tentang adanya sanksi.
Selain itu, dalam UU PT baru disebutkan pengajuan permohonan pendirian
PT dan penyampaian perubahan anggaran dasar telah dilakukan secara online
melalui sistem yang dikenal Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH). SABH
berada di bawah kewenangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia melalui
Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum. Berkaitan dengan hal tersebut,

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah ii


maka apakah perusahaan perlu mendaftarkan perusahaannya dalam rangka WDP
apabila telah didaftaran di Kementerian Hukum dan HAM, hal ini perlu persamaan
persepti semua pihak.
Disisi lain, implementasi WDP juga masih memiliki berbagai permasalahan,
dan dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) pokok permasalahan yaitu :
1) Implementasi sistem jaringan komputerisasi dan Program aplikasi WDP yang
disediakan oleh Kementerian Perdagangan saat ini belum optimal karena :
a. Tidak mampu mengelola nomor penerbitan TDP secara otomatis,
b. Tidak terintegrasi antar level organisasi pengelola data WDP,
c. Tidak memiliki kemampuan untuk memvalidasi keakuratan data secara
otomatis dan
d. Tidak memiliki kemampuan untuk mengintegrasi dengan sistem yang
dibangun oleh PTSP.
2) UU WDP secara hukum telah mengalami distorsi dari peraturan perundang-
undangan lainnya sehingga mengubah pemahaman hukum terutama tentang
kewajiban untuk melakukan WDP khususnya PT. Dasar hukum mengenai
Lembaga/institusi tempat mendaftar dan tanggung jawab dari lembaga pengelola
data WDP (pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah Kota/kabupaten
dan Kantor Pendaftaran Perusahaan) juga telah mengalami distorsi sehingga
tidak tegas menunjukkan tanggung jawabnya.
3) Kurangnya kemampuan dan jumlah Sumber Daya Manusia pengelola WDP
terutama di bidang pendaftaran, pengelola data base, pengolah data,
penganalisa data dan PPNS-WDP.
Pada tahap berikutnya tim memutuskan untuk menyelesaikan permasalahan
difokuskan pada implementasi sistem jaringan komputerisasi dan program aplikasi
WDP yang disediakan oleh Kementerian Perdagangan saat ini belum optimal
karena permasalahan tersebut dianggap paling dominan dibandingkan masalah
lainnya. Oleh karena itu kebijakan untuk pembenahan data perusahaan terkait WDP
dilakukan melalui membangun jaringan komputerisasi dan program aplikasi WDP
yang mampu menghasilkan data valid, akurat dan mudah pengoperasiannya di
semua tingkat organisasi pengelola WDP (pemerintah pusat, pemerintah provinsi,
pemerintah kota/kabupaten, KPP/Dinas/PTSP).
Langkah selanjutnya dilakukan identifikasi beberapa opsi untuk
menyelesaikan masalah tersebut dan screening untuk mendapatkan opsi-opsi yang
paling super. Melalui analisis biaya manfaat terhadap opsi-opsi yang dianggap

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah iii


paling super, diperoleh opsi yang dianggap paling tepat dalam menyelesaikan
permasalahan terkait implementasi jaringan adalah dengan menggunakan opsi
memaksimalkan penggunaan jaringan komputerisasi dan program aplikasi WDP
yang ada (perbaikan dari yang ada). Pemilihan menggunakan opsi tersebut karena
memiliki keunggulannya dibandingkan opsi lainnya antara lain biayanya relatif tidak
terlalu besar dibandingkan dengan opsi-opsi lainnya namun manfaatnya relatif sama
dengan opsi unggulan lainnya.
Manfaat dari memaksimalkan penggunaan jaringan komputerisasi dan
program aplikasi WDP yang ada antara lain : a) data TDP dari daerah disampaikan
secara rinci, b) Pemerintah memiliki peta lembaga usaha sehingga pengambilan
kebijakan menjadi lebih tepat, c) Pelaku usaha mendapatkan gambaran pesaing
maupun peluang untuk berinvestasi, d) SDM di daerah menjdi lebih trampil karena
adanya pelatihan. Biaya-biayanya antara lain : a) Pembelian sofware, b) Pelatihan
SDM pengelolan Sofware di daerah dan Pusat, c) Biaya input di pusat dan daerah
per tahun serta tim evaluasi.

Rekomendasi

Guna menyatukan pemahaman terhadap kewajiban pendaftaran perusahaan


terkait dengan adanya materi yang kontradiktif antara UU WDP dengan UU PT,
maka perlu dilakukan antara lain :
1. Sosialisasi terhadap pelaku usaha tentang pentingnya pendaftaran perusahaan
perlu terus dilakukan. Hal ini perlu dilakukan untuk menyadarkan pelaku usaha
yang belum patuh terhadap UU WDP.
2. Koordinasi antar kementerian yang terkait dengan pendaftaran perusahaan
(Kementerian Perdagangan, Kementerian Hukum dan HAM, Pemda) perlu
diintensifkan.
3. Implementasi sistem jaringan komputerisasi dan program aplikasi WDP dapat
dilakukan pemerintah dengan cara antara lain :
a) Pemerintah pusat mendata kembali daerah-daerah yang mengirimkan
maupun yang tidak mengirimkan data TDP terbaru baik dalam bentuk
softcopy maupun hardcopy. Pendataan tersebut untuk mengatur strategi
solusi bagi daerah yang mengirim maupun tidak, setelah itu diidentifikasi
penyebabnya.
b) Mengadakan pelatihan serta pendampingan petugas pengelola WDP di
daerah. Dengan memodifikasi aplikasi WDP yang ada sehingga

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah iv


mempermudah petugas daerah dalam menginput data, maka diperlukan
pelatihan bagi petugas di daerah.
c) Melakukan pendekatan kepada para pimpinan daerah dalam mengefektifan
pengelolaan WDP di daerah. Pendekatan kepada pemimpin di daerah
sangat diperlukan karena komitmen pimpinan daerah terhadap pendataan
akan berdampak pada kelancaran program WDP.
d) Melakukan koordinasi dan sosialisasi secara kontinyu dengan pengguna dan
pengelola WDP di daerah. Kegiatan ini perlu dilakukan karena sering terjadi
perpindahan petugas di daerah.
e) Mengadakan evaluasi secara berkala kepada lembaga yang
bertanggungjawab dalam mengelola WDP. Evaluasi sangat diperlukan untuk
melakukan perbaikan terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul.

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah v


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat serta hidayahNya, laporan
“ANALISIS PELAKSANAAN WAJIB DAFTAR PERUSAHAAN DI ERA OTONOMI
DAERAH” dapat diselesaikan. Kegiatan ini dilatarbelakangi perkembangan WDP
dari tahun ketahun mengalami penurunan. Perusahaan yang melakukan wajib
daftar perusahaan dari tahun 2006 sampai dengan 2010 masing-masing sebesar
104.380, 91.753, 16.342, 7.651 dan 6.679. Akumulasi perusahaan yang mendaftar
dari tahun 1985 sampai dengan bulan Desember 2012 yang tercatat di database
Kementerian Perdagangan sebanyak 1.693.292 perusahaan.
Diberlakukannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1982 Tentang Wajib
Daftar Perusahaan yang bertujuan mencatat informasi perusahaan secara benar
sebagai informasi resmi sehingga dapat digunakan semua pihak yang
berkepentingan baik pemerintah, swasta maupun masyarakat.
Informasi tersebut bagi pemerintah dapat dijadikan bahan masukan dalam
rangka merumuskan kebijakan yang mengarah kepada iklim usaha yang kondusif.
Bagi swasta informasi tersebut dapat digunakan untuk melihat prospek bisnis,
investasi maupun potensi pesaing.
Dalam kenyataannya informasi tentang perusahaan khususnya diera
otonomi daerah semakin merosot, hal ini teridentifikasi antara lain dari jumlah
perusahaan yang melakukan pendaftaran semakin menurun. Kegiatan ini
diselenggarakan secara swakelola oleh Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam
Negeri, dengan tim peneliti terdiri dari Riffa Utama sebagai koordinator dan
anggotanya terdiri dari Achmad Sigit Santoso, Nasrun, Citra Indah Yuliana serta
dibantu oleh tenaga ahli Ari Wahyudi.
Disadari bahwa laporan ini masih terdapat berbagai kekurangan, maka kami
mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun. Dalam kesempatan ini
tim mengucapkan terima kasih terhadap berbagai pihak yang telah membantu
terselesainya laporan ini. Sebagai akhir kata semoga hasil penelitian ini dapat
dijadikan masukan bagi pemimpin dalam merumuskan kebijakan di bidang
perdagangan khususnya dalam pendataan pelaku usaha di Indonesia.

Jakarta, April 2013


Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah vi


DAFTAR ISI

RINGKASAN EKSEKUTIF ............................................................................................ i


KATA PENGANTAR ....................................................................................................vi
DAFTAR ISI................................................................................................................. vii
DAFTAR TABEL ..........................................................................................................ix
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
1.2. Tujuan Penelitian .................................................................................... 3
1.3. Output Penelitian .................................................................................... 4
1.4. Outcome Penelitian ................................................................................ 4
1.5. Pengelolaan Penelitian ........................................................................... 4
1.6. Organisasi Peneliti .................................................................................. 4
1.7. Sistematika Laporan ............................................................................... 5
1.8. Jadwal Penelitian .................................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 7
2.1. Dasar Hukum Wajib Daftar Perusahaan ................................................ 7
2.1.1. Ketentuan Wajib Daftar Perusahaan .......................................... 7
2.1.2. Tujuan dan Sifat Wajib Daftar Perusahaan ................................ 8
2.1.3. Cara, Tempat dan Waktu Pendaftaran ....................................... 8
2.1.4. Penyelenggaraan Daftar Perusahaan. ....................................... 9
2.1.5. Bukti Daftar Perusahaan. ............................................................ 9
2.2. Regulatory Impact Assessment (RIA) .................................................... 9
2.2.1. Definisi Regulatory Impact Assessment (RIA) ........................... 9
2.2.2. Metode RIA sebagai Panduan Proses Evaluasi Kebijakan ..... 10
2.2.3. Metode RIA Sebagai Alat Untuk Menghasilkan Kebijakan Tata
Kelola Dan Pembangunan Yang Lebih Baik ........................................ 12
2.2.4. Metode RIA sebagai Logika Berfikir Pengambil Kebijakan ...... 12
2.3. Hasil Penelitian Sebelumnya ................................................................ 13
2.3.1. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang
Pendaftaran Perusahaan...................................................................... 13
2.3.2. Regulatory Impact Analysis Terhadap Rancangan Undang-
Undang Konvergensi Teknologi Informasi dan Komunikasi ................ 14

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah vii


BAB III Metodologi Penelitian .................................................................................... 16
3.1. Kerangka Pemikiran ............................................................................. 17
3.2. Metoda Analisis Data ............................................................................ 18
3.2.1. Analisis Ketentuan Hukum Normatif Dengan Realitas
Implementasi......................................................................................... 18
3.2.2. Regulatory Impact Assessment ................................................ 20
3.3. Jenis data, sumber data dan metoda pengumpulan data.................... 22
3.3.1. Jenis data, sumber data............................................................ 22
3.3.2. Metode pengumpulan data ....................................................... 22
3.3.3. Metode pengolahan data .......................................................... 24
3.4. Teknik Penarikan Sampel ..................................................................... 26
BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL ANALISIS ....................................................... 27
4.1. Hubungan UU WDP dengan Peraturan Perundang-undang terkait
lainnya ............................................................................................................ 27
4.1.1. Dasar Hukum Wajib Daftar Perusahaan .................................. 27
4.1.2. Otonomi Daerah dalam Perspektif Sendi-Sendi Pemerintahan
di Indonesia ........................................................................................... 48
4.1.3. Indonesia Adalah Negara Berdasarkan Asaz Hukum .............. 56
4.1.4. Keberadaan UU WDP Pasca Berlakunya UU PT .................... 63
4.1.5. Keberlakukan UU WDP setelah otonomi daerah ..................... 72
4.2. Efektifitas Implementasi UU WDP di Era Otonomi Daerah ................ 79
4.2.1. Identifikasi Masalah .................................................................. 79
4.2.2. Identifikasi Tujuan kebijakan..................................................... 84
4.2.3. Identifikasi alternatif penyelesaian masalah ............................. 84
4.2.4. Analisis Manfaat dan Biaya (soft cost-benefit analysis) ........... 87
4.2.5. Penentuan Opsi Terbaik ........................................................... 91
4.2.6. Konsultasi. ................................................................................. 92
4.2.7. Perumusan Strategi Implementasi Kebijakan .......................... 92
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ........................................................... 94
5.1. Kesimpulan ........................................................................................... 94
5.2. REKOMENDASI ................................................................................... 96
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 98

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah viii


DAFTAR TABEL

hal
Tabel 3.1. Tujuan dan Alat Analisis ……………………………………….. 20
Tabel 3.2. Inventarisasi masalah UU WDP menggunakan ketentuan
hukum normatif dengan realitas implementasi (era otonomi
daerah) …………………………………………………………. 22
Tabel 3.3. Jenis data dan Sumber data…………………………………… 24
Tabel 3.4. Jumlah Responden…………………………………………….. 27
Tabel 4.1. Berbagai Alternatif Solusi Tindakan…………………………... 85
Tabel 4.2. Screening Terhadap Alternatif Tindakan…………………….. 87
Tabel 4.3. Biaya manfaat menggunakan jaringan komputerisasi dan
program aplikasi WDP yang ada (do nothing)……………….. 89
Tabel 4.4. Biaya manfaat memaksimalkan jaringan komputerisasi dan
program aplikasi WDP yang ada -perbaikan yang ada
(Alternatif 2)…………………………………………………….. 91
Tabel 4.5. Membangun jaringan komputerisasi dan program aplikasi
WDP yang baru -membangun baru (alternatif 3)……………. 92

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah ix


DAFTAR GAMBAR

hal
Gambar 3.1. Tahapan-tahapan dalam Proses Penelitian……………….. 18
Gambar 3.2. Kerangka Pemikiran…………………………………………. 19
Gambar 3.3. Metoda pengolahan DataTeknik Penarikan Sampel……… 25
Gambar 4.1. Hirarkhi Persamaan Undang-undang………………………. 65
Gambar 4.2 Pengetahuan Pelaku Usaha Terkait Wajib Daftar
Perusahaan…………………………………………………… 89
Gambar 4.3 Pelaku usaha yang telah melakukan tanda daftar
perusahaan (kelompok persekutuan perdata, firma, CV,
PT, Koperasi dan Yayasan)………………………………….. 90
Gambar 4.4 Pelaku usaha yang telah melakukan tanda daftar
perusahaan (perusahaan perseorangan)…………………… 91

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah x


BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan tolok ukur bagi pemerintah


dalam menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan bangsa. Salah satu cara dalam
mendatangkan devisa negara guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia
adalah melalui pengembangan dan peningkatan investasi dalam negeri, yaitu
dengan mendatangkan investor, baik dari dalam maupun luar negeri. Dengan begitu
akan tercipta lowongan-lowongan pekerjaan baru bagi masyarakat. Oleh karena itu
penciptaan iklim investasi yang kondusif sangat diperlukan, yang bukan hanya
untuk menarik minat investor baru, tetapi juga dalam rangka membangun industri
yang berdaya saing tinggi untuk meningkatkan produksi barang dalam pemenuhan
konsumsi, bukan hanya terbatas untuk konsumsi domestik melainkan juga
diperuntukan dalam rangka meningkatkan nilai tambah produk dalam perdagangan
dunia.
Pembinaan dan pengawasan terhadap seluruh lembaga usaha perdagangan
menjadi sebuah keharusan bagi pemerintah, yaitu dalam rangka menciptakan tertib
dan optimalisasi iklim usaha di Indonesia. Salah satu langkah yang dilakukan
pemerintah adalah melalui pemberlakuan kebijakan Wajib Daftar Perusahaan
(WDP) kepada setiap perusahaan yang berdiri dan beroperasi di Indonesia.
Pemerintah berharap dengan diberlakukannya kebijakan WDP ini akan memberikan
dampak yang positif, karena Daftar Perusahaan mencatat bahan-bahan keterangan
yang dibuat secara benar dari setiap kegiatan usaha sehingga dapat lebih menjamin
perkembangan dan kepastian berusaha bagi dunia usaha. Selain itu, pemberlakuan
WDP juga akan memudahkan pemerintah dapat mengikuti secara seksama
keadaan dan perkembangan sebenarnya dari dunia usaha di wilayah Negara
Republik Indonesia secara menyeluruh, termasuk tentang perusahaan asing.
Informasi yang menyeluruh tersebut berguna untuk menyusun dan menetapkan
kebijakan di bidang ekonomi.
Bagi dunia usaha Daftar Perusahaan penting untuk melindungi perusahaan
yang dijalankan secara jujur (te goeder trouw) dari praktek-praktek usaha yang tidak
jujur (persaingan curang, penyelundupan dan lain sebagainya). Tidak hanya itu,
melalui penerapan WDP maka akan diperoleh informasi tentang perusahaan-
perusahaan yang secara resmi telah mendaftarkan dan terdaftar dalam register

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 1


Tanda Daftar Perusahaan (TDP). Mengingat perusahaan adalah alat bagi para
pelaku usaha dalam bidang ekonomi untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-
besarnya, sehingga melalui proses evaluasi register dapat diketahui perusahaan-
perusahaan yang masih aktif dalam melakukan kegiatan usahanya dan juga yang
sudah tidak aktif.
Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan (WDP)
yang salah satu tujuannya adalah untuk lebih menertibkan administrasi pendaftaran
perusahaan. Adapun isi UU WDP mewajibkan kepada seluruh perusahaan yang
beroperasi di wilayah Republik Indonesia untuk mendaftarkan perusahaannya.
Proses pendaftaran dilakukan dengan cara mengisi formulir pendaftaran yang telah
ditetapkan oleh Menteri pada kantor tempat pendaftaran perusahaan dan
diserahkan di tempat kedudukan kantor perusahaan, setiap kantor cabang, kantor
pembantu perusahaan/kantor anak perusahaan, kantor agen dan perwakilan
perusahaan yang mempunyai wewenang untuk mengadakan perjanjian. Tempat
yang dimaksud dalam UU WDP tersebut diatas adalah sebelum adanya Undang-
Undang RI No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 32/2004)
dikenal dengan nama Kantor Wilayah Departemen Perdagangan Propinsi.
Dalam melakukan penyesuaian UU WDP terhadap UU No. 32/2004,
pemerintah melengkapinya dengan Peraturan Menteri Perdagangan Republik
Indonesia No. 37/M-DAG/PER/9/2007 tentang Penyelenggaraan Pendaftaran
Perusahaan, dan beberapa kebijakan kebijakan yang berkaitan dengan WDP
lainnya, diantaranya Undang-Undang Republik Indonesia No. 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas (UU PT). Dengan adanya kebijakan tersebut setiap
perusahaan yang ada di Indonesia diwajibkan untuk mendaftarkan perusahaannya
ke instansi pemerintah, yaitu dalam hal ini melalui Kantor Pendaftaran Perusahaan
yang ada di Kabupaten/Kota/Kotamadya dan seluruh Kantor Dinas/Suku Dinas yang
tugas dan tanggungjawabnya di bidang Perdagangan atau Pejabat yang bertugas
dan bertanggungjawab dalam pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Daerah
(PTPSD). WDP dapat dijadikan sumber informasi bagi pemerintah dalam membina
dunia usaha di dalam negeri, bahkan informasi ini diharapkan juga dapat
mempermudah dunia usaha dalam menemukan mitra bisnis di seluruh Indonesia.
selain itu pelaksanaan pendaftaraan perusahaan juga berguna sebagai pendorong
peningkatan investasi di dalam negeri.

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 2


Setelah berjalannya UU RI No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Kementerian Perdagangan melalui Direktorat Bina Usaha Perdagangan merasakan
perkembangan WDP dari tahun ketahun mengalami penurunan sebesar 97.701
perusahaan dari tahun 2006 ke tahun 2010. Perusahaan yang melakukan wajib
daftar perusahaan dari tahun 2006 sampai dengan 2010 masing-masing sebesar
104.380, 91.753, 16.342, 7.651 dan 6.679. Akumulasi perusahaan yang mendaftar
dari tahun 1985 sampai dengan bulan Desember 2012 yang tercatat di database
Kementerian Perdagangan sebanyak 1.693.292 perusahaan.
Kondisi ini menjadi permasalahan dalam program pemerintah yang ingin
mengembangkan dan meningkatkan investasi di dalam negeri dan transparansi
publik. Beberapa dugaan yang menyebabkan penurunan tingkat pelaksanaan WDP
adalah karena kurang tegasnya sanksi yang dikenakan kepada perusahaan yang
tidak melakukan WDP, mahalnya biaya pengurusan dan lamanya waktu
pengurusan WDP.
Berpijak pada konteks di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian
yang akan diangkat dalam analisis ini, yaitu:

a. Bagaimana hubungan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun


1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan dengan peraturan perundang-
undangan terkait lainnya.
b. Bagaimana efektifitas implementasi UU WDP di era otonomi daerah.
c. Kebijakan yang dapat mendukung terciptanya tertib wajib daftar perusahaan.

1.2. Tujuan Penelitian

a. Mengetahui hubungan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3


Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan dengan peraturan
perundang-undangan terkait lainnya.
b. Mengetahui efektifitas implementasi UU WDP di era otonomi daerah.
c. Merekomendasikan kebijakan yang dapat mendukung terciptanya tertib
wajib daftar perusahaan

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 3


1.3. Output Penelitian

a. Peta hubungan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun


1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan dengan peraturan perundang-
undangan terkait lainnya.
b. Efektifitas implementasi UU WDP di era otonomi daerah
c. Rekomendasi kebijakan yang dapat mendukung terciptanya tertib wajib
daftar perusahaan

1.4. Outcome Penelitian

Melalui Analisis ini diharapkan akan terciptanya tertib wajib daftar


perusahaan mulai dari pemerintah kota/kabupaten ke pemerintah propinsi hingga ke
pemerintah pusat.

1.5. Pengelolaan Penelitian

Penelitian dilakukan secara swakelola oleh pegawai pada Pusat Kebijakan


Perdagangan Dalam Negeri, Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan
Perdagangan dan akan diselesaikan dalam waktu 3 (tiga) bulan.

1.6. Organisasi Peneliti

Adapun nama-nama anggota tim yang terlibat :

1. Koordinator : Riffa Utama


2. Peneliti Madya : Citra Indah Yuliana
3. Peneliti Pertama : Achmad Sigit Santoso
4. Pembantu Peneliti : Firman Mutakin
5 Pembantu Peneliti : Nasrun
6. Tenaga Ahli : Ari Wahyudi

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 4


1.7. Sistematika Laporan

Laporan analisis ini terbagi menjadi 6 (enam) bab yaitu :

Bab I : Mendeskripsikan latar belakang, perumusan masalah,


tujuan analisis, ruang lingkup penelitian, output laporan
serta metoda analisis yang digunakan
Bab II : Menelaah dasar hukum tentang Wajib Daftar Perusahaan
(WDP) dan konsep alat analisisnya Regulatory Impact
Assesment (RIA) serta hasil penelitian sebelumnya terkait
Wajib Daftar Perusahaan dan RIA
Bab III : Mendeskripsikan kerangka pemikiran, metoda pengumpulan
data, alat analisis dan jadwal analisis.

Bab IV : Menganalisis hubungan UU WDP dengan Peraturan


perundang-undangan terkait lainya, menganalisis efektifitas
implementasi UU WDP di era otonomi daerah
Bab V : Merumuskan Kesimpulan dan rekomendasi kebijakan

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 5


1.8. Jadwal Penelitian

Tahapan pelaksanaan kegiatan disusun sebagai berikut:

Bulan Pebruari Bulan Maret Bulan April


Uraian M M M M M M M M M M M M
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Penyusunan Rencana Operasional Penelitian (ROP)
Penyempurnaan Rencana Operasional Penelitian (ROP)
Pengumpulan Data Sekunder
Pengumpulan Data Primer
Diskusi Terbatas I
Diskusi Terbatas II
Penulisan Laporan Akhir
Penulisan Memo Kebijakan

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 6


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Dasar Hukum Wajib Daftar Perusahaan

2.1.1. Ketentuan Wajib Daftar Perusahaan

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun


1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan, setiap perusahaan wajib didaftarkan
dalam daftar perusahaan. Daftar perusahaan yang dimaksud adalah daftar
catatan resmi yang diadakan menurut atau berdasarkan ketentuan UU WDP
dan atau peraturan-peraturan pelaksanaannya, dan memuat hal-hal yang
wajib didaftarkan oleh setiap perusahaan serta disahkan oleh pejabat yang
berwenang dari kantor pendaftaran perusahaan. Perusahaan yang dimaksud
dalam wajb daftar perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang
menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus menerus dan
yang didirikan, bekerja serta berkedudukan.dalam wilayah Negara Republik
Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba.

Daftar Perusahaan penting untuk pemerintah guna melakukan


pembinaan, pengarahan, pengawasan dan menciptakan iklim dunia usaha
yang sehat, karena daftar perusahaan mencatat bahan-bahan keterangan
yang dibuat secara benar dari setiap kegiatan usaha sehingga dapat lebih
menjamin perkembangan dan kepastian berusaha bagi dunia usaha. Adapun
daftar perusahaan yang dimaksud adalah informasi resmi untuk semua pihak
yang berkepentingan yang memuat identitas dan hal-hal yang menyangkut
dunia usaha dan perusahaan yang didirikan, bekerja serta berkedudukan di
wilayah Negara Republik Indonesia.

Perusahaan yang wajib didaftar dalam daftar perusahaan adalah


setiap perusahaan yang berkedudukan dan menjalankan usahanya di
wilayah Negara Republik Indonesia menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, termasuk di dalamnya kantor cabang,
kantor pembantu, anak perusahaan serta agen dan perwakilan dari
perusahaan itu yang mempunyai wewenang untuk mengadakan perjanjian.
Bentuk perusahaan yang dimaksud adalah badan hukum (PT, CV, koperasi),

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 7


persekutuan, perorangan dan bentuk perusahaan lainya. Dikecualikan dari
wajib daftar ialah :

1) Setiap Perusahaan Negara yang berbentuk Perusahaan Jawatan


(PERJAN) seperti diatur dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969
(Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 40) jo. Indische Bedrijvenwet
(Staatsblad Tahun 1927 Nomor 419) sebagaimana telah diubah dan
ditambah;
2) Setiap Perusahaan Kecil Perorangan yang dijalankan oleh pribadi
pengusahanya sendiri atau dengan mempekerjakan hanya anggota
keluarganya sendiri yang terdekat serta tidak memerlukan izin usaha
dan tidak merupakan suatu badan hukum atau suatu persekutuan.

2.1.2. Tujuan dan Sifat Wajib Daftar Perusahaan

Daftar Perusahaan bertujuan mencatat data keterangan yang dibuat


secara benar dari suatu perusahaan dan merupakan sumber informasi resmi
untuk semua pihak yang berkepentingan mengenai identitas, data, serta
keterangan lainnya tentang perusahaan yang tercantum dalam Daftar
Perusahaan dalam rangka menjamin kepastian berusaha.

Sifat Daftar Perusahaan adalah terbuka untuk semua pihak dimana


setiap pihak yang berkepentingan berhak memperoleh keterangan yang
diperlukan dengan cara mendapatkan salinan atau petikan resmi dari
keterangan yang tercantum dalam Daftar Perusahaan yang disahkan oleh
pejabat yang berwenang untuk itu dari kantor pendaftaran perusahaan
setelah memenuhi biaya administrasi yang ditetapkan oleh Menteri yang
bertanggung jawab terhadap Wajib Daftar Perusahaan dalam hal ini menteri
dalam bidang perdagangan

2.1.3. Cara, Tempat dan Waktu Pendaftaran

Pendaftaran dilakukan dengan cara mengisi formulir pendaftaran yang


ditetapkan oleh menteri dalam bidang perdagangan pada kantor tempat
pendaftaran perusahaan. Pendaftaran dilakukan di tempat kedudukan kantor
perusahaan, kantor cabang, kantor pembantu perusahaan, kantor anak
perusahaan, kantor agen dan perwakilan perusahaan yang mempunyai
wewenang untuk mengadakan perjanjian. Pendaftaran wajib dilakukan

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 8


dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah perusahaan mulai menjalankan
usahanya.

2.1.4. Penyelenggaraan Daftar Perusahaan.

Penanggungjawab penyelenggaraan daftar perusahaan adalah


menteri di bidang perdagangan. Tempat kedudukan dan susunan kantor
pendaftaran perusahaan serta tatacara penyelenggaraan daftar perusahaan
ditetapkan oleh menteri perdagangan.

2.1.5. Bukti Daftar Perusahaan.

Kepada Perusahaan yang telah disahkan pendaftarannya dalam Daftar


Perusahaan diberikan Tanda Daftar Perusahaan (TDP) yang berlaku untuk
jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal dikeluarkannya dan yang wajib
diperbaharui sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sebelum tanggal berlakunya
berakhir

2.2. Regulatory Impact Assessment (RIA)

2.2.1. Definisi Regulatory Impact Assessment (RIA)

Regulatory Impact Analysis (RIA)1 sering juga di sebut sebagai


Regulatory Impact Assesment adalah sebuah alat analisa kebijakan untuk
membantu pemerintah dalam mengevaluasi suatu kebijakan dan menilai
dampak dari kebijakan. RIA merupakan proses analisis dan
pengkomunikasian secara sistematik terhadap kebijakan, baik kebijakan
baru maupun kebijakan yang sudah ada.

Berdasarkan Rekomendasi Council of the OEDC on Improving The


Quality of Government Regulasi tahun 1995, Peranan RIA memastikan
secara sistematis terpilihnya kebijakan yang paling efisien dan efektif. RIA
merupakan alat evaluasi kebijakan yang bertujuan menilai secara sistematis
pengaruh negatif dan positif regulasi yang sedangan diusulkan ataupun yang
sedang berjalan.

1
Berdasarkan kajian ringkas Biro Hukum Kementerian PPN/BAPPENAS dalam Pengembangan dan
Implementasi Metode Regulatory Impact Analysis untuk menilai kebijakan (peraturan dan Non
Peraturan) di Kementerian PPN/BAPPENAS, Juli 2011

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 9


Kebutuhan RIA muncul dari fakta regulasi yang sulit untuk diramalkan
dampaknya. RIA juga membutuhkan studi yang rinci dan konsultasi dengan
pihak-pihak yang terkait. RIA melalui pendekatan ekonomi dapat
menyelesaikan masalah peraturan dengan menekan risiko biaya tinggi
terhadap peraturan yang dihasilkan, sehingga manfaatnya dapat dirasakan
oleh masyarakat. Dari perspektif ini, tujuan utama dari RIA adalah untuk
memastikan bahwa peraturan dihasilkan dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat , dimana keuntungan akan melebihi biaya.

2.2.2. Metode RIA sebagai Panduan Proses Evaluasi Kebijakan

Sebagai sebuah proses, Metode RIA terdiri dari langkah-langkah


sebagai berikut:

a. Identifikasi dan analisis masalah. Langkah ini dilakukan agar semua


pihak, khususnya pengambil kebijakan, dapat melihat dengan jelas
masalah apa sebenarnya yang dihadapi dan hendak dipecahkan
dengan kebijakan tersebut. Pada tahap ini, sangat penting untuk
membedakan antara masalah (problem) dengan gejala (symptom),
karena yang hendak dipecahkan adalah masalah, bukan gejalanya.
b. Penetapan tujuan. Setelah masalah teridentifikasi, selanjutnya perlu
ditetapkan apa sebenarnya tujuan kebijakan yang hendak diambil.
Tujuan ini menjadi satu komponen yang sangat penting, karena ketika
suatu saat dilakukan penilaian terhadap efektivitas sebuah kebijakan,
maka yang dimaksud dengan “efektivitas” adalah apakah tujuan
kebijakan tersebut tercapai ataukah tidak.
c. Pengembangan berbagai pilihan/alternatif kebijakan untuk
mencapai tujuan. Setelah masalah yang hendak dipecahkan dan
tujuan kebijakan sudah jelas, langkah berikutnya adalah melihat pilihan
apa saja yang ada atau bisa diambil untuk memecahkan masalah
tersebut. Dalam metode RIA, pilihan atau alternatif pertama adalah “do
nothing” atau tidak melakukan apa-apa, yang pada tahap berikutnya
akan dianggap sebagai kondisi awal (baseline) untuk dibandingkan
dengan berbagai opsi/pilihan yang ada. Pada tahap ini, penting untuk
melibatkan stakeholders dari berbagai latar belakang dan kepentingan
guna mendapatkan gambaran seluas-luasnya tentang opsi/pilihan apa
saja yang tersedia.

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 10


d. Penilaian terhadap pilihan alternatif kebijakan, baik dari sisi
legalitas maupun biaya (cost) dan manfaat (benefit)-nya. Setelah
berbagai opsi/pilihan untuk memecahkan masalah teridentifikasi,
langkah berikutnya adalah melakukan seleksi terhadap berbagai pilihan
tersebut. Proses seleksi diawali dengan penilaian dari aspek legalitas,
karena setiap opsi/pilihan tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Untuk pilihan-pilihan yang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
dilakukan analisis terhadap biaya (cost) dan manfaat (benefit) pada
masing-masing pilihan. Secara sederhana, “biaya” adalah hal-hal negatif
atau merugikan suatu pihak jika pilihan tersebut diambil, sedangkan
“manfaat” adalah hal-hal positif atau menguntungkan suatu pihak. Biaya
atau manfaat dalam hal ini tidak selalu diartikan “uang”. Oleh karena itu,
dalam konteks identifikasi biaya dan manfaat sebuah kebijakan, perlu
dilakukan identifikasi tentang siapa saja yang terkena dampak dan siapa
saja yang mendapatkan manfaat akibat adanya suatu pilihan kebijakan
(termasuk kalau kebijakan yang diambil adalah tidak melakukan apa-
apa atau do nothing).
e. Pemilihan kebijakan terbaik. Analisis Biaya-Manfaat kemudian
dijadikan dasar untuk mengambil keputusan tentang opsi/pilihan
apa yang akan diambil. Opsi/pilihan yang diambil adalah yang
mempunyai manfaat bersih (net benefit), yaitu jumlah semua manfaat
dikurangi dengan jumlah semua biaya, terbesar.
f. Penyusunan strategi implementasi. Langkah ini diambil berdasarkan
kesadaran bahwa sebuah kebijakan tidak bisa berjalan secara otomatis
setelah kebijakan tersebut ditetapkan atau diambil. Dengan demikian,
pemerintah dan pihak lain yang terkait tidak hanya tahu mengenai apa
yang akan dilakukan, tetapi juga bagaimana akan melakukannya.
g. Partisipasi masyarakat di semua proses. Semua tahapan tersebut di
atas harus dilakukan dengan melibatkan berbagai komponen yang
terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan kebijakan
yang disusun. Komponen masyarakat yang mutlak harus didengar
suaranya adalah mereka yang akan menerima dampak adanya
kebijakan tersebut (key stakeholder).

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 11


2.2.3. Metode RIA Sebagai Alat Untuk Menghasilkan Kebijakan Tata Kelola
Dan Pembangunan Yang Lebih Baik

Metode RIA dapat diposisikan sebagai alat untuk menghasilkan


kebijakan, tata kelola dan pembangunan yang lebih baik. Dalam penerapan
metoda RIA ada 2 faktor utama yang dianggap mampu memenuhi harapan
tersebut, yaitu: (1) adanya partisipasi masyarakat dapat meningkatkan
transparansi, kepercayaan masyarakat dan mengurangi risiko sebuah
kebijakan, serta (2) menemukan opsi/pilihan yang paling efektif dan efesien
sehingga dapat mengurangi biaya implementasi bagi pemerintah dan biaya
transaksi bagi masyarakat. Secara lebih spesifik, metode RIA merupakan
alat untuk mencapai standar internasional untuk kebijakan berkualitas
sebagaimana tercantum dalam OECD checklist 2 sebagai berikut:

a. Apakah masalah didefinisikan dengan baik?


b. Apakah keterlibatan pemerintah memang diperlukan?
c. Apakah regulasi merupakan bentuk terbaik dari keterlibatan
pemerintah?
d. Apakah regulasi memiliki dasar hukum?
e. Seberapa jauh keterlibatan pemerintah diperlukan?
f. Apakah manfaat lebih besar daripada biayanya?
g. Apakah ada transparansi distribusi dampak?
h. Apakah regulasi jelas, konsisten, komprehensif dan mudah diakses?
i. Apakah semua pihak terkait punya kesempatan untuk mengemukakan
pandangannya?
j. Bagaimana pelaksanaan regulasi tersebut?

2.2.4. Metode RIA sebagai Logika Berfikir Pengambil Kebijakan

Metode RIA dapat digunakan oleh pengambil kebijakan untuk berfikir


logis, mulai dari identifikasi masalah, identifikasi pilihan untuk memecahkan
masalah, serta memilih satu kebijakan berdasarkan analisis terhadap semua
pilihan. Metode RIA mendorong pengambil kebijakan untuk berfikir terbuka
dengan menerima masukan dari berbagai komponen yang terkait dengan
kebijakan yang hendak diambil.

2
OECD Recommendation on Improving the Quality of Government Regulation (1995)

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 12


2.3. Hasil Penelitian Sebelumnya

2.3.1. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Pendaftaran


Perusahaan.

Kesimpulan dari naskah akademik Rancangan Undang-Undang


Tentang Pendaftaran Perusahaan yang disusun oleh Direktorat Bina Usaha
Perdagangan Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian
Perdagangan Republik Indonesia pada tahun 2012 adalah Daftar
Perusahaan sebagai sumber informasi resmi perusahaan dibutuhkan bagi
semua pihak yang berkepentingan, tidak hanya bagi pemerintah, tetapi juga
bagi pelaku usaha. Daftar Perusahaan menjadi instrumen penting bagi
pelaku usaha dalam merencanakan dan melakukan kegiatan usaha sebagai
bentuk perlindungan pelaku usaha yang jujur dan terbuka. Daftar
Perusahaan menjadi instrumen penting bagi pemerintah dalam rangka
pembimbingan, pembinaan, pengarahan, dan pengawasan dunia usaha,
serta penciptaan iklim usaha yang sehat dan tertib. Seiring perkembangan
zaman, pengaturan dan pelaksanaan pendaftaran perusahaan sebagaimana
diatur dalam UU WDP perlu dikaji ulang untuk disesuaikan dengan
perkembangan terutama sejak diterbitkannya peraturan perundang-
undangan di bidang lainnya seperti Undang-Undang Perseroan Terbatas,
Undang-Undang Pasar Modal, Undang-Undang Larangan Praktik Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-Undang di bidang Hak atas
Kekayaan Intelektual (seperti Merek, Paten, Hak Cipta, Desain Industri,
Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dan Rahasia Dagang) Undang-Undang
Penanaman Modal, Undang-Undang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
serta Undang-Undang Pemerintahan Daerah sehubungan dengan otonomi
daerah. Hal yang perlu dikaji ulang adalah :

a. Pengaturan UU WDP sehubungan dengan pihak yang wajib melakukan


pendaftaran perusahaan,
b. Substansi informasi perusahaan yang perlu disampaikan oleh suatu
perusahaan dalam Daftar Perusahaan,
c. Pengecualian pendaftaran perusahaan serta pelaksanaan pendaftaran
perusahaan,

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 13


Untuk mengatasi permasalahan hukum dengan mempertimbangkan
aturan yang telah ada, guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat, UU WDP perlu disesuaikan. Beberapa hal yang harus
disesuaikan, yaitu pengecualian daftar perusahaan, klasifikasi perusahaan,
jangka waktu pendaftaran perusahaan, hal-hal yang wajib didaftrakan,
pendaftaran perusahaan bentuk lain, penyelenggaraan daftar perusahaan,
perubahan dan penghapusan data dalam daftar perusahaan, perselisihan
dan penyelesaian, biaya pendaftaran perusahaan, dan sanksi dan ketentuan
pidana.

2.3.2. Regulatory Impact Analysis Terhadap Rancangan Undang-Undang


Konvergensi Teknologi Informasi dan Komunikasi

Berdasarkan hasil kajian dan analisa regulasi pengaturan terhadap


penyelenggaraan TIK dalam era konvergensi sesuai RUU konvergensi TIK
menggunakan Regulatory Impact Analysis (RIA) yang dilakukan oleh Wawan
Ridwan dan Iwan Krisnadi dari Magister Teknik Elektro, Universitas Mercu
Buana, dapat ditarik kesimpulan sebagai hasil dari keseluruhan studi
penelitian, yaitu:

a. Proses analisa yang dilakukan terhadap Regulasi RUU Konvergensi TIK


ini, dengan fokus pada fungsi pengaturan terhadap penyelenggaran TIK
sesuai yang termaktub dalam RUU Konvergensi TIK Indonesia, yang
meliputi:
1) perizinan penyelenggaraan teknologi informasi dan komunikasi
2) pengaturan spektrum frekuensi radio
3) penomoran
4) standar kinerja operasi
5) standar kualitas layanan
6) biaya interkoneksi
7) kewajiban pelayanan umum
8) standar alat dan perangkat teknologi informasi dan komunikasi.
b. Hasil analisa tersebut menunjukkan bahwa dengan adanya Regulasi
RUU Konvergensi TIK ini, akan menjadi harmonisasi dan menyatunya
beberapa Undang-undang sebelumnya yang masih terpisah seperti :
telekomunikasi, penyiaran, ITE dan keterbukaan informasi publik.

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 14


c. Selain itu, dengan perkembangan Konvergensi TIK dan Regulasi nya,
tentu akan merubah tatanan kehidupan masyarakat indonesia terutama
model bisnis atau struktur industri TIK yang tadinya terpisah-
pisah(vertikal) akan menyatu/konvergen dan dibedakan secara
layer(horizontal), sesuai kategori layer konvergensi TIK, yaitu:
2) Penyelenggara Fasilitas Jaringan
3) Penyelenggara Layanan Jaringan
4) Penyedia Layanan Aplikasi
5) Penyedia Konten
d. Berdasarkan hasil analisa dengan RIA, dengan metode Risk
Assessment and Uncertainty Analysis, regulasi pengaturan terhadap
penyelenggaraan TIK ini dapat di implementasikan di indonesia karena
telah memiliki kepastian hukum(satu regulasi untuk TIK), penilaian cost
dan benefit dengan rasio 1:1, namun peraturan/regulasi ini belum
sepenuhnya diuji sensitivitas peraturannya karena masih berupa
Rancangan Undang-Undang. Kedepannya jika sudah menjadi Undang-
undang bisa diuji kembali.
e. Implementasi RIA sebaiknya dilakukan secara bertahap, berkelanjutan
dan merata yang sesuai dengan karakteristik masyarakat dan industri
TIK di indonesia.

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 15


BAB III

Metodologi Penelitian

Metode Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi


Daerah bersifat deskriptif evaluatif dengan menggunakan analisis ketentuan hukum
normatif dalam mengidentifikasi hubungan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan dengan peraturan
perundang-undangan terkait lainnya dan menggunakan metode analisis Regulatory
Impact Assessment (RIA) dalam menganalisa efektifitas implementasi UU WDP di
era otonomi daerah.
Adapun tahapan dalam proses penelitian dapat dilihat pada gambar 3.1.

Gambar 3.1.
Tahapan dalam Proses Penelitian

Eksplorasi penelitian

Data Sekunder Survey Terdahulu Studi Kasus Naskah Akademik

Tujuan Penelitian

Hubungan UU WDP dengan Evaluasi Implementasi UU WDP


Peraturan perudangan lainnya di era otonomi Daerah

Wawancara mendalam Kuisioner

Regulatory Impact Assesment


FGD ke 1 di DKI
FGD ke 2 di DKI

Analisis Data

Interpretasi Hasil Analisis

LAPORAN

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 16


3.1. Kerangka Pemikiran

Dalam kerangka pemikiran analisis yang ditunjukkan gambar 3.2. dimana UU


WDP di analisis secara hukum normatif keberadaannya dibandingkan dengan
peraturan perundangan-undangan lainnya seperti UU PT dan UU Otonomi daerah.
Dalam implementasinya UU WDP pelaku usaha melakukan pendaftaran di KPP
yang dapat berbentuk PTSP atau Dinas Perindag Kab/Kota, kemudian data
pendaftaran perusahaan tersebut disampaikan ke dinas perindag provinsi dan
kemudian ke kementerian perdagangan untuk menjadi data nasional. Maka dengan
analisis ini dapat diketahuli efektifitas pelaksanaan wajib daftar perusahaan di era
otonomi di daerah dengan menggunakan Regulatory Impact Assessment (RIA),

Gambar 3.2.
Kerangka Pemikiran

HUBUNGAN PERATURAN PERUNDANG-


UU WDP
UNDANGAN LAINNYA

Aplikasi WDP dan SDM Pengelola Data


Jarinagan komputer KPP WDP
DATA

PTSP atau Dinas Perindag Kab/Kota

DATA

Dinas Perindag Provinsi

DATA

Kementerian Perdagangan

DATA
PERUSAHAAN
NASIONAL

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 17


3.2. Metoda Analisis Data

Analisis data merupakan bagian terpenting dalam analisis ini agar dapat
diperoleh informasi yang diinginkan. Analisa menggunakan dua alat analisis yang
sesuai dengan tujuan kajian seperti disampaikan pada tabel 3.1.

Tabel 3.1.
Tujuan dan Alat Analisis

No. Tujuan Alat Analisis


1. Mengetahui hubungan Undang- analisis ketentuan hukum normatif
Undang Republik Indonesia Nomor 3 dengan realitas implementasi
Tahun 1982 tentang Wajib Daftar
Perusahaan dengan peraturan
perundang-undangan terkait lainnya
2. Mengetahui efektifitas implementasi Regulatory Impact Assessment
UU WDP di era otonomi daerah

3.2.1. Analisis Ketentuan Hukum Normatif Dengan Realitas Implementasi

Dalam mengkaji hubungan UU WDP dengan Peraturan Perundang-


undangan terkait lainnya menggunakan analisis ketentuan hukum normatif
dengan realitas implementasi dimana penelitian hukum dilakukan dengan
cara meneliti bahan pustaka yang ada. (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,
2009). Tahapan pertama analisis hukum normatif adalah analisis yang
ditujukan untuk mendapatkan hukum obyektif (norma hukum), yaitu dengan
mengadakan analisis terhadap masalah hukum. Tahapan kedua analisis
hukum normatif adalah analisis yang ditujukan untuk mendapatkan hukum
subjektif (hak dan kewajiban). Analisis yang dilakukan bersifat deskriptif
yaitu menggambarkan gejala-gejala di lingkungan masyarakat terhadap
pelaksanaan UU WDP dengan dilakukan pendekatan kualitatif yang
merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif.

Di dalam metode analisi hukum normatif, terdapat 3 (tiga) macam bahan


pustaka yang dipergunakan yaitu :

1) Bahan Hukum Primer


Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mengikat atau
yang membuat orang taat pada hukum seperti peraturan perundang–

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 18


undangan, dan putusan hakim. Bahan hukum primer yang digunakan
di dalam analisis: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3
Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan, Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, Peraturan
Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 37/M-DAG/PER/9/2007
tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Perusahaan, Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2008 Tentang Pemerintahan Daerah.

2) Bahan Hukum Sekunder


Bahan hukum sekunder diartikan sebagai bahan hukum yang tidak
mengikat tetapi menjelaskan mengenai bahan hukum primer yang
merupakan hasil olahan pendapat atau pikiran para pakar atau ahli
yang mempelajari suatu bidang tertentu secara khusus yang akan
memberikan petunjuk ke mana peneliti akan mengarah. Yang
dimaksud dengan bahan sekunder disini oleh penulis adalah hasil
indepth interview yang dilakukan di daerah sampel.

3) Bahan Hukum Tersier


Bahan hukum tersier itu diartikan sebagai bahan hukum lainnya yang
dianggap penting dan terkait dengan analisis

Analisis hukum normatif yang dilakukan lebih ditujukan kepada pendekatan


undang-undang (statute approach) dan pendekatan implementasi.
Pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah semua undang-
undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan wajib daftar perusahaan.
Pendekatan implementasi dilakukan dengan cara melakukan telaah
terhadap cara implementasi dari UU WDP di wilayah sampel.

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 19


Tabel 3.2.
Inventarisasi masalah UU WDP menggunakan ketentuan hukum
normatif dengan realitas implementasi (era otonomi daerah)

Isi Pasal-Pasal Selaras/Tidak Dengan Relevan/Tidak Dengan


Dalam UU WDP Peraturan Perundang- Berlakunya Otomoni
Undangan Yang Lain Daerah

Pasal 1 Selaras/tidak ? Peraturan Relevan/tidak


perundang-udangan apa?
Pasal 2 . .
Pasal 3 . .
. . .
. . .
. dan seterusnya dan seterusnya dan seterusnya

Pasal 39 Selaras/tidak ? Peraturan Relevan/Tidak


perundang-udangan apa?

Dari tabel inventarisasi masalah UU WDP menggunakan ketentuan hukum


normatif dengan realitas implementasi (setelah berlakunya otonomi daerah)
dihasilkan daftar masalah yang kemudian akan di verifikasi di daerah melalui
indepth interview. Hasil verifikasi akan dijadikan salah satu dasar dalam
melakukan perumusan masalah dalam analisis berikutnya menggunakan
Regulatory Impact Assessment (RIA)

3.2.2. Regulatory Impact Assessment

Untuk menjawab tujuan kedua yaitu mengetahui Efektifitas implementasi UU


WDP di era otonomi daerah di gunakan Regulatory Impact Assessment
(RIA) dengan penyederhanaan langkah. Berdasarkan Kajian Ringkas
Pengembangan dan Implementasi Metode Regulatory Impact Assessment
(RIA) untuk Menilai Kebijakan (Peraturan Dan Non Peraturan) di
Kementerian Ppn/Bappenas Tahun 2011, Regulatory Impact Assessment
sebagai sebuah logika berfikir tidak dapat diringkas, dalam arti alur berfikir

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 20


mulai identifikasi masalah, identifikasi opsi/pilihan, analisis terhadap semua
opsi/pilihan hingga penetapan pilihan kebijakan tidak dapat dipotong atau
dihilangkan beberapa komponennya. Namun Untuk mempersingkat waktu,
dapat dilakukan penyederhanakan event-event yang diselenggarakan dalam
proses implementasi metode RIA. Dalam pelaksanaan, beberapa tahapan
dalam penerapan metode RIA dapat dilalui dalam satu event, sehingga
jumlah komunikasi dengan stakeholder yang diselenggarakan tidak harus
sebanyak jumlah tahapan dalam proses implementasi.

Sesuai dengan literatur diatas dalam Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar


Perusahaan di Era Otonomi Daerah langkah 1) perumusan masalah, 2)
Identifikasi tujuan kebijakan dan 3) identifikasi alternative penyelesaian
masalah Langkah 4) analisis manfaat dan biaya langkah 6) penentuan opsi
terbaik dan langkah 7) perumusan strategi implementasi kebijakan dilakukan
dengan secara lengkap namun khusus untuk komunikasi dengan
stakeholder untuknya langkah 1,2 dan 3 dilakukan penggabungan dalam
satu event komunikasi dengan stakeholder dengan media FGD (FDG ke-1
yang dilakukan di DKI Jakarta). Langkah 4, 6 dan 7 dilakukan penggabungan
dalam satu event komunikasi dengan stakeholder dengan media FGD (FDG
ke-2 yang dilakukan di DKI Jakarta)

Langkah 1 perumusan masalah, langkah 2 identifikasi tujuan kebijakan dan


langkah 3 identifikasi alternative penyelesaian masalah dilakukan dengan
melakukan survey ke daerah menggunakan media kuesioner dan panduan
depth interview. Hasil dari survey ke daerah kemudian di verifikasi dalam
komunikasi dengan stakeholder pada FGD ke-1. Langkah 4 analisis
manfaat dan biaya yang menggunakan soft cost-benefit analysis dimana
unsur yang terpenting adalah semua biaya (dampak negatif) dan manfaat
(dampak positif) yang dirasakan oleh berbagai pihak dapat teridentifikasi
tanpa ada keharusan untuk menilainya dalam bentuk uang. Kemudian hasil
dari langkah 4 (analisis manfaat dan biaya), langkah 6 (penentuan opsi
terbaik) dan langkah 7 (perumusan strategi implementasi kebijakan)
digabungkan dalam satu event komunikasi dengan stakeholder dengan
media FGD ke 2. Hasil dari perumusan strategi implementasi kebijakan yang
telah dikomunikasikan dengan stakeholder dengan media FGD akan
dijadikan rekomendasi kebijakan

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 21


3.3. Jenis data, sumber data dan metoda pengumpulan data

3.3.1. Jenis data, sumber data

Data dalam analisis ini meliputi:


a. Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber antara lain kepustakaan
dan dari instansi terkait (Kementerian Perdagangan, Kementerian
Hukum dan HAM, Pelaku Usaha, BPS dan lain-lain).
b. Data primer diperoleh melalui pengumpulan data secara langsung
kepada beberapa sumber melalui Diskusi Terbatas (focus group
discussion) di DKI Jakarta dan depth interview sebagai satu tahapan
konsultasi dan komunikasi dengan stakeholders seperti tercantum pada
langkah metode RIA
Tabel 3.3.
Jenis data dan Sumber data

No. Jenis Data Sumber Data


1. Peraturan perundang-undangan Kementerian Perdagangan,
terkait terkait lainnya Kementerian Hukum dan HAM
(data sekunder)
2. Data pendaftaran perusahaan Kementerian Perdagangan,
(data sekunder) Kementerian Hukum dan HAM
3. Permasalahan hukum normatif UU Indept Interview dan diskusi terbatas
WDP dengan peraturan perundang- (FGD) dengan Pelaku usaha, Dinas
undanga terkait lainnya dan perdagangan, notaris, Pelayanan
Permasalahan implementasi UU WDP Terpadu Satu Pintu (PTSP),
di era otonomi daerah (data primer) Kementerian Hukum dan HAM
4 Persepsi tentang pengetahuan pelaku Kuesioner dengan responden
usaha terhadap UU WDP perusahaan yang berbentuk PT,
(data primer) Koperasi, CV, Firma, Perusahaan
Perseorangan dan Bentuk Usaha
Lainnya
(60 responden)

3.3.2. Metode pengumpulan data

1) Data Sekunder
Data sekunder dalam kajian ini adalah peraturan perundang-undangan
terkait UU WDP dan data daftar perusahaan yang diperoleh dari
Kementerian Perdagangan dan Kementerian Hukum dan HAM.
2) Data Primer
Data Primer berupa permasalahan hukum normatif UU WDP dengan
peraturan perundang-undangan terkait lainnya dan Permasalahan

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 22


implementasi UU WDP di era otonomi daerah juga data persepsi tentang
pengetahuan pelaku usaha terhadap UU WDP dikumpulkan dengan cara
Indepth interview dan kuesioner di daerah sample yang kemudian
diverifikasi melakui diskusi terbatas (focus group discussion) di DKI
Jakarta

Daerah sample dalam kajian ini di 2 (dua) daerah, yaitu: Jawa Timur dan
Jawa Tengah.Pemilihan daerah didasarkan penganugerahan penghargaan
penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu di bidang penanaman modal
provinsi, kabupaten/kota, terbaik tahun 2012 digelar di Jakarta, Senin
(12/11/2012). Berdasar hasil penilaian, ada tiga penyelenggara pelayanan
terpadu satu pintu bidang penanaman modal (PTSP-PM) tingkat provinsi,
kabupaten, dan kota terbaik 2012. Dimana Jawa Timur merupakan
penyelenggara PTSP-PM Provinsi Terbaik I dan Kota Semarang merupakan
penyelenggara PTSP Kota terbaik II tahun 2012 (Kompas, 2012)

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 23


3.3.3. Metode pengolahan data

Gambar 3.3
Metoda pengolahan Data

Data Sekunder :
Berupa Peraturan perundang-
undangan terkait WDP

Analisa Hukum
Normatif

Hubungan UU WDP dengan Evaluasi Implementasi UU WDP


Peraturan perudangan lainnya di era otonomi Daerah

Verifikasi melalui Survey daerah Kuisioner dan


Wawancara mendalam wawancara mendalam

Identifikasi masalah implementasi UU WDP di era otonomi Daerh

Regulatory Impact Assesment

FGD Ke - 1

perumusan masalah

Identifikasi tujuan kebijakan

Identifikasi alternatif penyelesaian

FGD Ke - 2

Analisis Manfaat dan Biaya

Penentuan Opsi Terbaik

Perumusan strategi implementasi


kebijakan

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 24


- Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber antara lain kepustakaan
dan dari instansi terkait berupa peraturan-peraturan terkait wajib daftar
perusahaan di inventarisasi. Peraturan yang telah terinvetarisasi
kemudian dianalisis menggunakan metoda analisis hukum normatif
dan hukum empiris untuk mendapatkan gambaran hubungan antara
UU WDP dengan peraturan perundang-undangan terkait. Dari
kerangka hubungan tersebut diatas dapat diidentifikasi hubungan
antara peraturan perundang-undangan terkait dengan UU WDP, yang
menjadikan fungsi dan kedudukan UU WDP menjadi signifikan.
- Data Primer diperoleh dalam bentuk kuesioner dan indepth interview
dengan menggunakan indentifikasi hubungan antara peraturan
perundang-undangan terkait dengan UU WDP yang telah disiapkan
sebelumnya. Hasil dari survey lapangan akan dijadikan dasar
perumusan masalah dalam metode analisis RIA. yang kemudian diuji
dengan prinsip review minimum effective regulation dan dilanjunkan
dengan competitive neutrality yang menghasilkan Identifikasi Tujuan
Kebijakan (Penilaian Resiko) dan Identifikasi Alternatif Penyelesaian
Masalah.
- Dari identifikasi Alternatif (opsi) penyelesaian masalah kemudian
disampaikan dalam diskusi terbatas untuk mendapatkan verifikasi
bahwa identifikasi alternative penyelesaian masalah yang telah
disusun adalah sesuai dengan pandangan stakeholder
- Setelah ada verifikasi dari stakeholder melalui diskusi terbatas opsi
penyelesaian masalah akan dianalisis dengan prinsip cost and benefit
(soft cost-benefit analysis) untuk kemudian ditentukan mana opsi yang
terbaik yang kemudian disusun sebagai dasar perumusan strategi
implementasi kebijakan. metode soft cost-benefit analysis dapat
digunakan, atau tetap menggunakan Analisis B-M tetapi dengan cara
yang tidak seketat monetary cost-benefit analysis. dalam soft cost-
benefit analysis yang terpenting adalah semua biaya (dampak negatif)
dan manfaat (dampak positif) yang dirasakan oleh berbagai pihak
dapat teridentifikasi tanpa ada keharusan untuk menilainya dalam
bentuk uang.

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 25


- Dasar perumusan strategi implementasi kebijakan yang telah di susun
kemudian disampaikan dalam diskusi terbatas yang kedua untuk
mendapatkan verifikasi dari stakeholder.
- Hasil verifikasi stakeholder kemudian akan disampaikan sebagai
rumusan rekomendasi kebijakan.

3.4. Teknik Penarikan Sampel


Dalam menentukan responden untuk indepth interview dan kuesioner
digunakan teknik Purposive Sampling dimana peneliti menentukan sendiri sample
yang diambil karena ada pertimbangan responden yang mengerti tentang UU WDP
hanya terbatas yaitu Pelaku usaha, Dinas perdagangan, notaris, Pelayanan
Terpadu Satu Pintu (PTSP), Kementerian Hukum dan HAM
Dalam analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah
seperti telah disampaikan dalam metode pengumpulan data, pengumpulan data
primer dilakukan di 2 (dua) daerah, yaitu: Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Tabel 3.4.
Jumlah Responden

No Sumber Data Jumlah

1. Indept Interview 6 Responden

2. Kuesioner 60 Responden

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 26


BAB IV

PEMBAHASAN DAN HASIL ANALISIS

4.1. Hubungan UU WDP dengan Peraturan Perundang-undang terkait


lainnya

4.1.1. Dasar Hukum Wajib Daftar Perusahaan

UU WDP merupakan dasar hukum bagi setiap perusahaan untuk melakukan


pendaftaran perusahaan yang secara garis besar mengatur tentang wajib daftar
perusahaan yang fungsi pentingnya tidak semata-mata hanya sekedar proses
administratif belaka. Dengan melihat dasar pertimbangan dalam UU WDP, maka
daftar perusahaan merupakan daftar catatan resmi yang dapat dipergunakan oleh
pihak-pihak yang memerlukan. Pada dasarnya ada 3 (tiga) pihak yang memperoleh
manfaat dari daftar perusahaan tersebut, yaitu:
a. Pemerintah, dalam rangka memberikan bimbingan, pembinaan dan
pengawasan termasuk untuk kepentingan pengamanan pendapatan Negara
yang memerlukan informasi yang akurat. Adanya Daftar Perusahaan sangat
penting karena akan memudahkan untuk sewaktu-waktu dapat mengetahui
keadaan dan perkembangan dunia usaha yang berada di wilayah negara
Republik Indonesia secara menyeluruh, termasuk perusahaan asing. Dengan
demikian dapat dilakukan upaya pembinaan dan memberikan perlindungan
hukum kepada dunia usaha yang menjalankan usaha secara jujur;
b. Dunia usaha, mempergunakan daftar perusahaan sebagai sumber informasi
untuk kepentingan usahanya. Selain itu juga dalam upaya mencegah praktek
usaha yang tidak jujur (persaingan curang, penyelundupan dll). Daftar
Perusahaan juga dapat digunakan sebagai sumber informasi untuk kepentingan
usahanya dan bagi pihak ketiga yang berkepentingan dengan usaha atau
perusahaan yang bersangkutan.
c. Pihak lain yang berkepentingan atau masyarakat yang memerlukan informasi
yang benar.3
Mengingat manfaat tersebut di atas maka tujuan daftar perusahaan seperti
terdapat pada pasal 2 UU WDP adalah untuk mencatat bahan-bahan keterangan

3
Wahyuni Safitri, S.H., M.Hum, Wajib Daftar Perusahaan Sebelum dan Sesudah Berlakunya Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
http://www.3sfirm.com/index.php/journal/41-karya-tulis/136-wajib-daftar-perusahaan,

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 27


yang dibuat secara benar dari suatu perusahaan dan merupakan sumber informasi
resmi untuk semua pihak yang berkepentingan mengenai identitas, data serta
keterangan lainnya tentang perusahaan yang tercantum dalam daftar perusahaan
dalam rangka menjamin kepastian berusaha, seperti yang terdapat dalam pasal 3
UU WDP, yaitu daftar perusahaan bersifat terbuka untuk semua pihak dan pasal 4-
nya setiap pihak yang berkepentingan setelah memenuhi biaya administrasi yang
ditetapkan oleh menteri, berhak memperoleh keterangan yang diperlukan dengan
cara mendapatkan salinan atau petikan resmi dari keterangan yang tercantum
dalam daftar perusahaan.Setiap salinan atau petikan yang diberikan berdasarkan
ketentuan ayat (1) pasal ini merupakan alat pembuktian yang sempurna.4
Dalam ketentuan Umum UU WDP disebutkan bahwa daftar perusahaan
adalah daftar catatan resmi yang diadakan menurut atau berdasarkan ketentuan
undang–undang Wajib Daftar Perusahaan atau UU WDP dan atau peraturan-
peraturan pelaksanaannya, dan atau memuat hal-hal yang wajib didaftarkan oleh
setiap perusahaan serta disahkan oleh pejabat yang berwenang di Kantor
Pendaftaran Perusahaan.5

4
Ibid

5
Lihat http://hati-sitinurlola.blogspot.com/2010/06/wajib-daftar-perusahaan.html yang
menjabarkan pengelompokan terhadap analisis UU WDP menjadi sebagai berikut:
1. Tujuan, Bertujuan mencatat bahan-bahan keterangan yang dibuat secara benar dari suatu
perusahaan dan merupakan sumber Informasi resmi untuk semua pihak yang berkepentingan
mengenai identitas perusahaan yang tercantum di dalam daftar perusahaan dalam rangka
menjamin kepastian berusaha.
2. Sifat, bersifat terbuka untuk semua pihak,setiap pihak yang berkepentingan setelah memenuhi
biaya administrasi yang ditetapkan oleh menteri, berhak memperoleh keterangan yang
diperlukan dengan cara mendapatkan salinan atau petikan resmi dari keterangan yang
tercantum dalam Daftar Perusahaan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang untuk itu
dikantor pendaftaran Perusahaan.
3. Kewajiban, setiap Perusahaan wajib didaftarkan dalam Daftar Perusahaan. Pendaftaran Wajib
dilakukan oleh pemilik atau pengurus perusahaan yang bersangkutan atau dapat diwakilkan
kepada orang lain dengan memberikan surat kuasa yang sah.
4. Pengecualian, ada yang dikecualikan dari Wajib Daftar itu adalah:
a. Setiap perusahaan negara yang berbentuk perusahaan jawatan (PERJAN) seperti diatur
dalam UU No.9 tahun 1969 lembaran negara 1969 No.40 jo. Indonesische Bedrijvenwet
(Staatsblad tahun 1927 No.419) sebagaimana setelah diubah dan ditambah.
b. Setiap Perusahaan kecil perorangan yang dijalankan oleh pribadi pengusahanya sendiri atau
hanya memperkerjakan anggota keluarga sendiri yang terdekat serta tidak memerlukan ijin
usaha dan tidak merupakan suatu badan hukum atau suatu persekutuan.

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 28


Masalah yang cukup penting berkaitan dengan kegiatan bisnis adalah
mengenai dokumen perusahaan. Suatu keputusan manajemen yang hendak diambil
tidak jarang memanfaatkan informasi yang diperoleh dari suatu dokumen. Dokumen
perusahaan bisa dijadikan sumber atau semacam “bank data.” Terhadap
terminologi bank data ini akan diulas lebih lanjut pada bagian analisis. Dasar hukum
yang dijadikan acuan dalam menyelenggarakan catatan atau dokumen perusahaan
adalah apa yang termuat dalam Pasal 6 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
(KUHD) yang berdasarkan atas Staatsblad 1938 nomor 276 yang berlaku mulai 17
juli 1938. Ketentuan umum buku kesatuan Bab II Kitab Undang-Undang Hukum
dagang (KUHD) pasal 6 berbunyi sebagai berikut:6

1) Setiap orang yang menjalankan perusahaan diwajibkan untuk


menyelenggarakan catatan-catatan menurut syarat-syarat perusahaannya
tentang keadaan hartanya dan apa saja yang berhubungan dengan
perusahaannya, sehingga catatan itu sewaktu-waktu dapat diketahui semua
hak dan kewajibannya.
2) Ia diwajibkan dalam enam bulan pertama dari tiap-tiap tahun untuk membuat
neraca yang diatur menurut syarat-syarat perusahaannya dan menanda-
tanganinya sendiri.
3) Ia diwajibkan menyimpan selama tiga puluh tahun buku-buku dan surat-surat
dimana ia menyelenggarakan catatan-catatan dimaksud dalam alinea pertama
berserta neracanya, dan selama sepuluh tahun.

Selanjutnya ketentuan yang mengatur tentang wajib daftar perusahaan


pertama kali diatur dalam KUHD dalam ketentuan pasal 237, yang menentukan agar
para persero firma diwajibkan mendaftarkan akta itu dalam register yang disediakan
untuk itu pada kepaniteraan raad van justitie (pengadilan Negeri) daerah hukum
tempat kedudukan perseroan itu.

Dasar Penyelenggaraan UU WDP itu sendiri adalah Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan RI No.12/MPP.Kep/1/1998 tentang penyelenggaraan WDP ditetapkan pada tanggal 16
Januari 1998, yang merupakan pelaksanaan UU WDP. Keputusan ini dikeluarkan berdasarkan
pertimbangan bahwa perlu diadakan penyempurnaan guna kelancaran dan peningkatkan kualitas
pelayanan pendaftaran perusahaan, pemberian informasi, promosi, kegunaan pendaftaran
perusahaan bagi dunia usaha dan masyarakat, meningkatkan peran daftar perusahaan, serta
menunjuk penyelenggara dan pelaksana WDP.
6
Wahyuni Safitri, S.H., M.Hum. Op.cit.
7
Perseroan-perseroan firma harus didirikan dengan akta otentik, tanpa adanya kemungkinan untuk
disangkalkan terhadap pihak ketiga, bila akta itu tidak ada (KUHPerdata 1868, 1874, 1895, 1898,
KUHD 1, 26, 29, 31).

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 29


Selanjutnya dalam ketentuan pasal 38 KUHD ayat (2): 8

Para persero diwajibkan untuk mendaftarkan akta itu dalam keseluruhannya


beserta ijin yang diperolehnya dalam register yang diadakan untuk itu pada
panitera raad van justitie dari daerah hukum kedudukan perseroan itu, dan
mengumum-kannya dalam surat kabar resmi.

Dari kedua pasal di atas firma dan perseroan terbatas diwajibkan


mendaftarkan akta pendiriannya pada pengadilan negeri tempat kedudukan
perseroan itu berada, selanjutnya pada tahun 1982 wajib daftar perusahaan diatur
dalam ketentuan tersendiri yaitu, UU WDP yang tentunya sebagai ketentuan khusus
menyampingkan ketentuan KUHD sebagai ketentuan umum. Dalam pasal 5 ayat
(1)9 UU WDP diatur bahwa setiap perusahaan wajib didaftarkan dalam Daftar
Perusahaan di kantor pendaftaran perusahaan.
Ketentuan pasal 2 UU WDP10, menjelaskan bahwa tujuan daftar perusahaan
adalah "mencatat" bahan-bahan keterangan yang dibuat secara benar dari satu
perusahaan, dan merupakan sumber informasi resmi untuk semua pihak yang
berkepentingan mengenai identitas, data, serta keterangan lainnya tentang suatu
perusahaan yang tercantum dalam daftar perusahaan. Selanjutnya ketentuan pasal
4 ayat (1) dan (2) UU WDP11, menjelaskan bahwa sifat dari daftar perusahaan
adalah "terbuka untuk semua pihak." Setiap pihak yang berkepentingan terhadap

8
Wahyuni Safitri, S.H., M.Hum, Wajib Daftar Perusahaan Sebelum dan Sesudah Berlakunya Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Op.cit.
9
Pasal 5 UU WDP mengatur: (1) Setiap perusahaan wajib didaftarkan dalam Daftar Perusahaan.
10
Pasal 2 UU WDP mengatur:

Daftar Perusahaan bertujuan mencatat bahan-bahan keterangan yang dibuat secara benar dari suatu
perusahaan dan merupakan sumber informasi resmi untuk semua pihak yang berkepentingan
mengenai identitas, data, serta keterangan lainnya tentang perusahaan yang tercantum dalam
Daftar Perusahaan dalam rangka menjamin kepastian berusaha.
11
Pasal 4 UU WDP mengatur:

(1) Setiap pihak yang berkepentingan, setelah memenuhi biaya administrasi yang ditetapkan oleh
Menteri, berhak memperoleh keterangan yang diperlukan dengan cara mendapatkan salinan
atau petikan resmi dari keterangan yang tercantum dalam Daftar Perusahaan yang disahkan
oleh pejabat yang berwenang untuk itu dari kantor pendaftaran perusahaan.

(2) Setiap salinan atau petikan yang diberikan berdasarkan ketentuan ayat (1) pasal ini merupakan
alat pembuktian sempurna.

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 30


perusahaan tertentu, dengan membayar biaya dapat memperoleh salinan atau
petikan resmi dari perusahaan yang bersangkutan, dan merupakan alat bukti yang
sempurna.12
Kewajiban pendaftaran perusahaan adalah sebagaimana diatur dalam
ketentuan pasal 5 ayat (1), (2) dan (3) UU WDP13, menjelaskan bahwa setiap
perusahaan wajib didaftarkan dalam daftar perusahaan, dengan menyerahkan akte
pendirian. Pendaftaran wajib dilakukan oleh pemilik atau pengurus perusahaan
yang bersangkutan atau diwakilkan kepada orang lain dengan memberikan surat
kuasa yang sah. Perusahaan yang dimiliki oleh beberapa orang, para pemilik
berkewajiban melakukan pendaftaran, apabila salah seorang telah melakukan
kewajibannya, maka yang lain dibebaskan dari kewajiban tersebut. Bagi mereka
yang menurut undang-undang diwajibkan untuk melakukan pendaftaran dan mereka
sengaja tidak melakukannya, dianggap melakukan kejahatan. Kejahatan yang
demikian tersebut termasuk kejahatan di bidang ekonomi, dan menurut pasal 32 UU
WDP14, mereka diancam pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) bulan, dan atau
denda setinggi-tingginya Rp.3.000.000,- (tiga juta rupiah). Perusahaan yang wajib
didaftar dalam daftar perusahaan adalah setiap perusahaan yang berkedudukan

12
http://ehukum.com/index.php/hukum-bisnis/26-tujuan-sifat-dan-manfaat-wajib-daftar-
perusahaan
13
Pasal 5 UU WDP mengatur:

(1) Setiap perusahaan wajib didaftarkan dalam Daftar Perusahaan.

(2) Pendaftaran wajib dilakukan oleh pemilik atau pengurus perusahaan yang bersangkutan atau
dapat diwakilkan kepada orang lain dengan memberikan surat kuasa yang sah.

(3) Apabila perusahaan dimiliki oleh beberapa orang, para pemilik berkewajiban untuk melakukan
pendaftaran. Apabila salah seorang daripada mereka telah memenuhi kewajibannya, yang lain
dibebaskan daripada kewajiban tersebut.

(4) Apabila pemilik dan atau pengurus dari suatu perusahaan yang berkedudukan di wilayah Negara
Republik Indonesia tidak bertempat tinggal di wilayah Negara Republik Indonesia, pengurus atau
kuasa yang ditugaskan memegang pimpinan perusahaan berkewajiban untuk mendaftarkan.
14
Pasal 32 UU WDP mengatur:

(1) Barang siapa yang menurut Undang-undang ini dan atau peraturan pelaksanaannya diwajibkan
mendaftarkan perusahaannya dalam Daftar Perusahaan yang dengan sengaja atau karena
kelalaiannya tidak memenuhi kewajibannya diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 3
(tiga) bulan atau pidana denda setinggi-tingginya Rp.3.000.000,- (tiga juta rupiah).

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini merupakan kejahatan.

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 31


dan menjalankan usahanya di wilayah negara Republik Indonesia, yang berbentuk:
badan hukum, persekutuan, perseorangan. Bagi perusahaan besar yang perlu
didaftar termasuk kantor cabang, kantor pembantu, anak perusahaan serta agen
perwakilan yang mempunyai wewenang untuk melakukan perjanjian. Sedangkan
yang dikecualikan dari wajib daftar perusahaan adalah Perusahaan Jawatan
(Perjan) dan perusahaan kecil perseorangan yang dijalankan oleh pengusahanya
sendiri dan dibantu oleh anggota keluarganya misalnya kaki lima.15
Perihal cara dan tempat serta waktu pendaftaran ditentukan dalam
ketentuan pasal 10 UU WDP, menjelaskan, bahwa Pendaftaran wajib dilakukan
dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah perusahaan didirikan dan menjalankan
usahanya. Adapun caranya dengan mengisi formulir yang ditetapkan oleh Menteri,
dan diserahkan pada kantor daftar perusahaan yang berada: Di tempat kedudukan
kantor perusahaan yang bersangkutan. Di tempat kedudukan setiap kantor cabang,
kantor pembantu, atau kantor anak perusahaan; Di tempat kedudukan setiap kantor
agen dan perwakilan perusahaan yang mempunyai wewenang untuk mengadakan
perjanjian; Apabila karena suatu hal perusahaan tidak dapat di daftar di tempat-
tempat tersebut diatas, maka dilakukan pada Kantor Pendaftaran Perusahaan di
Ibukota Propinsi.16
Selanjutnya hal-hal yang wajib didaftarkan berdasarkan ketentuan pasal UU
WDP adalah sebagai berikut:

15
Lihat ketentuan Pasal 6 UU WDP yang menentukan:

(1) Dikecualikan dari wajib daftar ialah:

a. Setiap Perusahaan Negara yang berbentuk Perusahaan Jawatan (PERJAN) seperti diatur
dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969 (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 40) jo.
Indische Bedrijvenwet (Staatsblad Tahun 1927 Nomor 419) sebagaimana telah diubah dan
ditambah;

b Setiap Perusahaan Kecil Perorangan yang dijalankan oleh pribadi pengusahanya sendiri atau
dengan mempekerjakan hanya anggota keluarganya sendiri yang terdekat serta tidak
memerlukan izin usaha dan tidak merupakan suatu badan hukum atau suatu persekutuan.

(2) Perusahaan Kecil Perorangan yang dimaksud dalam huruf b ayat (1) pasal ini selanjutnya diatur
oleh Menteri dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
16
http://ehukum.com/index.php/hukum-bisnis/26-tujuan-sifat-dan-manfaat-wajib-daftar-
perusahaan

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 32


a. Ketentuan pasal 11, yaitu:
1) Apabila perusahaan berbentuk Perseroan Terbatas, selain
memenuhi ketentuan perundang-undangan tentang Perseroan
Terbatas, hal-hal yang wajib didaftarkan adalah:
a) (1) nama perseroan;
(2) merek perusahaan;

b) (1) tanggal pendirian perseroan,


(2) jangka waktu berdirinya perseroan;

c) (1) kegiatan pokok dan lain-lain kegiatan usaha


perseroan;
(2) izin-izin usaha yang dimiliki;

d) (1) alamat perusahaan pada waktu perseroan didirikan


dan setiap perubahannya;
(2) alamat setiap kantor cabang, kantor pembantu dan
agen serta perwakilan perseroan;

e) berkenaan dengan setiap pengurus dan komisaris:

(1) nama lengkap dan setiap alias-aliasnya;


(2) setiap namanya dahulu apabila berlainan dengan
huruf e angka 1;
(3) nomor dan tanggal tanda bukti diri;
(4) alamat tempat tinggal yang tetap;
(5) alamat dan negara tempat tinggal yang tetap apabila
tidak bertempat tinggal tetap di wilayah Negara
Republik Indonesia;
(6) tempat dan tanggal lahir;
(7) negara tempat lahir apabila dilahirkan di luar wilayah
Negara Republik Indonesia;
(8) kewarganegaraan pada saat pendaftaran;
(9) setiap kewarganegaraan dahulu apabila berlainan
dengan huruf e angka 8;
(10) tanda tangan;
(11) tanggal mulai menduduki jabatan;

f) lain-lain kegiatan usaha dari setiap pengurus dan komisaris;

g) (1) modal dasar;


(2) banyaknya dan nilai nominal masing-masing saham;
(3) besarnya modal yang ditempatkan;
(4) besarnya modal yang disetor;

h) (1) tanggal dimulainya kegiatan usaha;


(2) tanggal dan nomor pengesahan badan hukum;
(3) tanggal pengajuan permintaan pendaftaran.

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 33


2) Apabila telah diterbitkan saham atas nama yang telah maupun belum
disetor secara penuh, di samping hal-hal sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) pasal ini, juga wajib didaftarkan hal-hal mengenai
setiap pemilik pemegang saham-saham itu yaitu:

a) nama lengkap dan setiap alias-aliasnya;


b) setiap namanya dahulu apabila berlainan dengan ayat (2)
angka 1;
c) nomor dan tanggal tanda bukti diri;
d) alamat tempat tinggal yang tetap,
e) alamat dan negara tempat tinggal yang tetap apabila tidak
bertempat tinggal di wilayah Negara Republik Indonesia;
f) tempat dan tanggal lahir;
g) negara tempat lahir apabila dilahirkan di luar wilayah Negara
Republik Indonesia;
h) kewarganegaraan;
i) setiap kewarganegaraan dahulu apabila berlainan dengan
ayat (2) angka 8;
j) jumlah saham yang dimiliki,
k) jumlah uang yang disetorkan atas tiap saham.

3) Pada waktu mendaftarkan wajib diserahkan salinan resmi akta


pendirian.

4) Hal-hal yang wajib didaftarkan, khusus bagi Perseroan Terbatas


yang menjual sahamnya kepada masyarakat dengan perantaraan
pasar modal, diatur lebih lanjut oleh Menteri.

b. Ketentuan Pasal 12, yaitu:

1) Apabila perusahaan berbentuk Koperasi, hal-hal yang wajib


didaftarkan adalah:

a) (1) nama koperasi,


(2) nama perusahaan apabila berlainan dengan huruf a
angka 1;
(3) merek perusahaan.

b) tanggal pendirian;

c) kegiatan pokok dan lain-lain kegiatan usaha;

d) alamat perusahaan berdasarkan akta pendirian;

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 34


e) berkenaan dengan setiap pengurus dan anggota badan
pemeriksa:

(1) nama lengkap dan setiap alias-aliasnya;


(2) setiap namanya dahulu apabila berlainan dengan ayat
(2) angka 1;
(3) nomor dan tanggal tanda bukti diri;
(4) alamat tempat tinggal yang tetap;
(5) tandatangan;
(6) tanggal mulai menduduki jabatan;

f) lain-lain kegiatan usaha dari setiap pengurus dan anggota


badan pemeriksa;

g) (1) tanggal dimulainya kegiatan usaha;


(2) tanggal pengajuan permintaan pendaftaran.

2) Pada waktu pendaftaran juga wajib diserahkan salinan resmi akta


pendirian koperasi yang disahkan serta salinan surat pengesahan
dari pejabat yang berwenang untuk itu.

c. Ketentuan Pasal 13, yaitu:

1) Apabila perusahaan berbentuk Persekutuan Komanditer, hal-hal


yang wajib didaftarkan adalah:

a) tanggal pendirian dan jangka waktu berdirinya persekutuan;

b) (1) nama persekutuan dan atau nama perusahaan


(2) merek perusahaan;

c) (1) kegiatan pokok dan lain-lain kegiatan usaha


persekutuan;
(2) izin-izin usaha yang dimiliki;

d) (1) alamat kedudukan persekutuan dan atau alamat


perusahaan;
(2) alamat setiap kantor cabang, kantor pembantu, dan
agen serta perwakilan persekutuan;

e) jumlah sekutu yang diperinci dalam jumlah sekutu aktif dan


jumlah sekutu pasif;

f) berkenaan dengan setiap sekutu aktif dan pasif;


(1) nama lengkap dan setiap alias-aliasnya;
(2) setiap namanya dahulu apabila berlainan dengan
huruf f angka 1;

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 35


(3) nomor dan tanggal tanda bukti diri;
(4) alamat tempat tinggal yang tetap;
(5) alamat dan negara tempat tinggal yang tetap apabila
tidak bertempat tinggal tetap di wilayah Negara
Republik Indonesia;
(6) tempat dan tanggal lahir;
(7) negara tempat lahir apabila dilahirkan di luar wilayah
Negara Republik Indonesia,
(8) kewarganegaraan pada saat pendaftaran;
(9) setiap kewarganegaraan dahulu apabila berlainan
dengan huruf f angka 8;

g) Lain-lain kegiatan usaha dari setiap sekutu aktif dan pasif;

h) besar modal dan atau nilai barang yang disetorkan oleh setiap
sekutu aktif dan pasif;

i) (1) tanggal dimulainya kegiatan persekutuan;


(2) tanggal masuknya setiap sekutu aktif dan pasif yang
baru bila terjadi setelah didirikan persekutuan;
(3) tanggal pengajuan permintaan pendaftaran;

j) tanda tangan dari setiap sekutu. aktif yang berwenang


menanda tangani untuk keperluan persekutuan;

2) Apabila perusahaan berbentuk Persekutuan Komanditer atas saham,


selain hal-hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, juga
wajib didaftarkan hal-hal mengenai modal yaitu:

a) besarnya modal komanditer;


b) banyaknya saham dan besarnya masing-masing saham;
c) besarnya modal yang ditempatkan;
d) besarnya modal yang disetor.

3) Pada waktu mendaftarkan wajib diserahkan salinan resmi akta


pendirian yang disahkan oleh pejabat yang berwenang untuk itu.

d. Ketentuan Pasal 14, yaitu:

1) Apabila perusahaan berbentuk Persekutuan Firma, hal-hal yang


wajib didaftarkan adalah:

a) (1) tanggal pendirian persekutuan;


(2) jangka waktu berdirinya persekutuan apabila ada;

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 36


b) (1) nama persekutuan atau nama perusahaan;
(2) merek perusahaan apabila ada;

c) (1) kegiatan pokok dan lain-lain kegiatan usaha


persekutuan;
(2) izin-izin usaha yang dimiliki;

d) (1) alamat kedudukan persekutuan;


(2) alamat setiap kantor cabang, kantor pembantu dan
agen serta perwakilan persekutuan;

e) berkenaan dengan setiap sekutu:

(1) nama lengkap dan setiap alias-aliasnya;


(2) setiap namanya dahulu apabila berlainan dengan
huruf e angka 1;
(3) nomor dan tanggal tanda bukti diri;
(4) alamat tempat tinggal yang tetap;
(5) alamat dan negara tempat tinggal yang tetap apabila
tidak tinggal tetap di wilayah Negara Republik
Indonesia;
(6) tempat dan tanggal lahir;
(7) negara tempat lahir apabila dilahirkan di luar wilayah
Negara Republik Indonesia;
(8) kewarganegaraan pada saat pendaftaran;
(9) setiap kewarganegaraan dahulu apabila berlainan
dengan huruf e angka 8;

f) lain-lain kegiatan usaha dari setiap sekutu;

g) jumlah modal (tetap) persekutuan;

h) (1) tanggal dimulainya kegiatan persekutuan;


(2) tanggal masuknya setiap sekutu yang baru yang
terjadi setelah didirikan persekutuan;
(3) tanggal pengajuan permintaan pendaftaran;

i) tanda tangan dari setiap sekutu (yang berwenang menanda


tangani untuk keperluan persekutuan).

2) Apabila perusahaan berbentuk Persekutuan Firma memiliki akta


pendirian, pada waktu mendaftarkan wajib diserahkan salinan-
salinan resmi akta pendirian yang disahkan oleh pejabat yang
berwenang untuk itu.

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 37


e. Ketentuan Pasal 15, yaitu:

1) Apabila perusahaan berbentuk perorangan hal-hal yang wajib


didaftarkan adalah:

a) (1) nama lengkap pemilik atau pengusaha dan setiap


alias-aliasnya;
(2) setiap namanya dahulu apabila berlainan dengan
huruf a angka 1;
(3) nomor dan tanggal tanda bukti diri;

b) (1) alamat tempat tinggal yang tetap;


(2) alamat dan negara tempat tinggal yang tetap, apabila
tidak bertempat tinggal tetap di wilayah Negara
Republik Indonesia;

c) (1) tempat dan tanggal lahir pemilik atau pengusaha


(2) negara tempat lahir apabila dilahirkan di luar wilayah
Negara Republik Indonesia;

d) (1) kewarganegaraan pemilik atau pengusaha pada saat


pendaftaran;
(2) setiap kewarganegaraan pemilik atau pengusaha
dahulu apabila berlainan dengan huruf d angka 1;

e) nama perusahaan dan merek perusahaan apabila ada;

f) (1) kegiatan pokok dan lain-lain kegiatan usaha;


(2) izin-izin usaha yang dimiliki;

g) (1) alamat kedudukan perusahaan;


(2) alamat setiap kantor cabang, kantor pembantu, dan
agen serta perwakilan perusahaan apabila ada;

h) jumlah modal tetap perusahaan apabila ada;

i) (1) tanggal dimulai kegiatan perusahaan;


(2) tanggal pengajuan permintaan pendaftaran.

2) Apabila perusahaan berbentuk usaha perorangan memiliki akta


pendirian, pada waktu mendaftarkan wajib menyerahkan salinan-
salinan resmi akta pendirian yang disahkan oleh pejabat yang
berwenang untuk itu.

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 38


f. Ketentuan Pasal 16, yaitu:

1) Apabila perusahaan berbentuk usaha lainnya di luar dari pada


sebagaimana dimaksud dalam Pasal-pasal 11, 12, 13, 14 dan 15
Undang-undang ini, hal-hal yang wajib didaftarkan adalah:

a) nama dan merek perusahaan;


b) tanggal pendirian perusahaan;

c) (1) kegiatan pokok dan lain-lain kegiatan usaha


perusahaan;
(2) izin-izin usaha yang dimiliki;

d) (1) alamat perusahaan berdasarkan akta pendirian;


(2) alamat setiap kantor cabang, kantor pembantu, dan
agen serta perwakilan perusahaan;

e) berkenaan dengan setiap pengurus dan komisaris atau


pengawas:

(1) nama lengkap dan setiap alias-aliasnya;


(2) setiap namanya dahulu apabila berlainan dengan
huruf e angka 1;
(3) nomor dan tanggal tanda bukti diri;
(4) alamat tempat tinggal yang tetap;
(5) alamat dan negara tempat tinggal yang tetap, apabila
tidak bertempat tinggal tetap di wilayah Negara
Republik Indonesia;
(6) tempat dan tanggal lahir;
(7) negara tempat lahir apabila dilahirkan di luar wilayah
Negara Republik Indonesia;
(8) kewarganegaraan pada saat pendaftaran;
(9) setiap kewarganegaraan dahulu apabila berlainan
dengan huruf e angka 8;
(10) tanda tangan;
(11) tanggal mulai menduduki jabatan;

f) lain-lain kegiatan usaha dari setiap pengurus dan komisaris


atau pengawas;

g) (1) modal dasar;


(2) besarnya modal yang ditempatkan;
(3) besarnya modal yang disetorkan;

h) (1) tanggal dimulainya kegiatan perusahaan;


(2) tanggal pengajuan permintaan pendaftaran.

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 39


(2) Pada waktu mendaftarkan wajib diserahkan salinan resmi akta
pendirian dan lain-lain surat pernyataan serta pengesahan dari
pejabat yang berwenang untuk itu.

g. Ketentuan Pasal 16, yaitu:

Hal-hal lain yang wajib didaftarkan sepanjang belum diatur dalam Pasal-
pasal 11, 12, 13, 14, 15, dan 16 Undang-undang ini diatur lebih lanjut oleh
Menteri.

Selanjutnya pada tahun 1995 ketentuan tentang PT dalam KUHD diganti


dengan UU No.1 Tahun 1995, dengan adanya undang-undang tersebut maka hal-
hal yang berkenaan dengan perseroan terbatas seperti yang diatur dalam pasal
36 sampai dengan pasal 56 KUHD beserta perubahannya dengan Undang-
Undang No. 4 tahun 1971 dinyatakan tidak berlaku.

Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan UU WDP pada tahun 1998


diterbitkan Keputusan Menperindag No.12/MPP/Kep/1998 yang kemudian diubah
dengan Keputusan Menperindag No.327/MPP/Kep/7/1999 tentang
penyelenggaraan Wajib Daftar Perusahaan serta Peraturan Menteri Perdagangan
No. 37/M-DAG/PER/9/2007 tentang Penyelenggaraan Wajib Daftar Perusahaan.
Keputusan ini dikeluarkan berdasarkan pertimbangan bahwa perlu diadakan
penyempurnaan guna kelancaran dan peningkatan kualitas pelayanan
pendaftaran perusahaan, pemberian informasi, promosi, kegunaan pendaftaran
perusahaan bagi dunia usaha dan masyarakat, meningkatkan peran daftar
perusahaan serta menunjuk penyelenggara dan pelaksana WDP.

Jadi dasar penyelenggaraan WDP sebelum dan sewaktu berlakunya UU


PT yang lama baik untuk perusahaan yang berbentuk PT, Firma, persekutuan
komanditer, Koperasi, perorangan ataupun bentuk perusahaan lainnya diatur
dalam UU WDP dan keputusan menteri yang berkompeten.

Berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI


No.12/MPP.Kep/1/1998 tentang penyelenggaraan WDP lebih lanjut diatur
mengenai perusahaan yang dikecualikan dari WDP, yaitu:

1) perusahaan kecil perorangan;


2) perusahaan yang diurus, dijalankan,atau dikelola oleh pribadi milik sendiri,

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 40


atau hanya dengan memperkerjakan anggota keluarga sendiri;
3) perusahaan yang tidak diwajibkan memiliki ijin usaha atau surat
keterangan yang dipersamakan dengan itu yang diterbitkan oleh instansi
yang berwenang;
4) perusahaan yang tidak merupakan suatu badan hukum atau persekutuan.

Selanjutnya diatur bahwa usaha atau kegiatan yang bergerak diluar


bidang ekonomi atau sifat dan tujuannya tidak semata-mata mencari keuntungan
dan atau laba, tidak dikenakan WDP, yaitu:17

1) Pendidikan formal (jalur sekolah) dalam segala jenis dan jenjang yang
diselenggarakan oleh siapapun.
2) Pendidikan non formal (jalur luar sekolah).
3) Jasa Notaris.
4) Jasa Pengacara.
5) Praktek Perorangan Dokter dan Praktek berkelompok dokter.

Perusahaan-perusahaan tersebut berbentuk:18


1) Badan hukum, termasuk didalamnya koperasi.
2) Persekutuan.
3) Perorangan.
4) Perusahaan lainnya.

atau menurut keputusan Menperindag disebutkan meliputi bentuk usaha:19


1) Perseroan terbatas (PT), Koperasi, Persekutuan Komanditer (CV),
Firma(Fa), Perorangan.
2) Perusahaan lainnya yang melaksanakan kegiatan usaha dengan tujuan
memperoleh laba.

17
http://hati-sitinurlola.blogspot.com/2010/06/wajib-daftar-perusahaan.html Op.Cit.
18
Ibid.
19
Ibid.

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 41


Adapun lingkup pengaturannya antara lain meliputi:
1) Wewenang dan Tanggung Jawab.20
2) Tata Cara Penggunaan Pendaftaran Perusahaan.21
3) Biaya.22
4) Perubahan dan Penggantian TDP.23

20
Menteri berwenang menetapkan tempat kedudukan, susunan kantor pendaftaran perusahaan
(KPP), ketentuan dan tata cara penyelenggaran Wajib Daftar Perusahaan (WDP). Dengan tempat
kedudukan dan susunan KPP adalah sebagai berikut: Direktorat Pendaftaran Perusahaan pada
Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri bertindak selaku KPP yang berfungsi sebagai
penyelenggara WDP tingkat Pusat.
21
Pendaftaran Perusahaan dilakukan oleh Pemilik atau Pengurus/Penanggung Jawab atau Kuasa
Perusahaan yang sah pada KPP Tingkat II ditempat kedudukan perusahaan. Tetapi kuasa tersebut
tidak termasuk kuasa untuk menandatangani Formulir Pendaftaran Perusahaan. Pendaftaran
Perusahaan dilakukan dengan cara mengisi Formulir Pendaftaran Perusahaan yang diperoleh secara
Cuma-Cuma dan diajukan langsung kepada Kepala KPP Tingkat II setempat dengan melampirkan
dokumen-dokumen sebagai berikut:

a. Perusahaan Berbentuk PT:

1. Asli dan copy Akta Pendirian Perusahaan serta Data Akta Pendirian Perseroan yang telah
diketahui oleh Departemen Kehakiman.
2. Asli dan copy Keputusan Perubahan Pendirian Perseroan (apabila ada).
3. Asli dan copy Keputusan Pengesahan sebagai Badan Hukum.
4. Copy Kartu Tanda Penduduk atau Paspor Direktur Utama atau penanggung jawab.
5. Copy Ijin Usaha atau Surat Keterangan yang dipersamakan dengan itu yang diterbitkan oleh
Instansi yang berwenang.

b. Perusahaan Berbentuk Koperasi:

1. Asli dan copy Akta Pendirian Koperasi.


2. Copy Kartu Tanda Penduduk Pengurus.
3. Copy surat pengesahan sebagai badan hokum dari Pejabat yang berwenang.
4. Copy Ijin Usaha atau Surat Keterangan yang dipersamakan dengan itu yang diterbitkan oleh
Instansi yang berwenang.

c. Perusahaan Berbentuk CV :

1. Asli dan copy Akta Pendirian Perusahaan (apabila ada)


2. Copy Kartu Tanda Penduduk atau Paspor penanggung jawab/pengurus.
3. Copy Ijin Usaha atau Surat Keterangan yang dipersamakan dengan itu yang diterbitkan oleh
Instansi yang berwenang.
22
Perusahaan yang telah disahkan pendaftarannya wajib membayar biaya administrasi WDP sesuai
dengan ketentuan yang berlaku, dan dilunasi sebelum TDP diterbitkan. TDP tersebut wajib dipasang
oleh perusahaan, ditempat yang mudah dibaca dan dilihat oleh umum dan nomor TDP wajib
dicantumkan pada papan nama dan dokumen-dokumen perusahaan yang dipergunakan dalam
kegiatan usahanya.
23
Setiap perusahaan yang melakukan perubahan atas hal-hal yang telah didaftarkan sesuai dengan
ketentuan, wajib melaporkan kepada Kepala KPP Tingkat II setempat. Perubahan tersebut dilakukan

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 42


5) TDP Hilang dan Rusak.24
6) Pembatalan.25
7) Penghapusan/Pembubaran.26

Pembahasan mengenai UU WDP menjadi semakin menarik manakala tim


kajian mendapat karakteristik dari perusahaan berbentuk perseroan terbatas. Pada
bagian ini tim kajian sepenuhnya mengutip dari tulisan yang dimuat dalam situs
http://niafandany.blogspot.com/2012/05/jurnal-wajib-daftar-perusahaan.html.
Penyusun dalam hal ini mengumpulkan beberapa sumber tulisan kemudian
dijadikan satu untuk dimuat dalam blog atas nama yang bersangkutan. Dimana
disampaikan didalamnya bahwa untuk mendirikan suatu perseroan terbatas, harus
dengan menggunakan akta resmi (akta yang dibuat oleh notaris) yang di dalamnya
dicantumkan nama lain dari perseroan terbatas, modal, bidang usaha, alamat
perusahaan, dan lain-lain. Akta ini harus disahkan oleh menteri Hukum dan Hak

dengan cara mengisi Formulir Perubahan yang diperoleh secara cuma-cuma. Kewajiban laporan
perubahan tersebut dilakukan selambat-lambatnya 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak
terjadinya perubahan. Dari perubahan tersebut ada yang dapat mengakibatkan pergantian TDP
seperti:

a. Pengalihan pemilikan atau kepengurusan perudahaan.


b. Perubahan nama perusahan.
c. Perubahan bentuk dan atau status perusahaan.
d. Perubahan alamat perusahaan di luar wilayah kerja KPP Tingkat II.
e. Perubahan Kegiatan Usaha Pokok.
24
kewajiban untauk mengajukan permohonan dibedakan antara TDP yang hilang dan TDP yang
hilang dan TDP yang rusak,yaitu untuk penggantiaan TDP yang hilang, perusahaan yang
bersangkutan secara tertulis mengajukan kepada Kepala KPP Tingkat II dengan melampirkan Surat
Keterangan Hilang dari kepolisian selambat-lambatnya 90 (sembilan puluh) hari terhitung mulai
tanggal kehilangan.
25
Daftar perusahaan dan TDP dinyatakan batal apabila perusahaan yang bersangkutan terbukti
mendaftarka data perusahaan secara tidak benar dan atau tidak sesuai dengan ijin usaha atau surat
keterangan yang dipersamakan dengan itu, dengan menerbitkan Surat Keputusan Pembatalan.
Perusahaan yang bersangkutan melakukan pendaftaran ulang sesuai dengan tta cara pelaksanaan
pendaftaran Perusahaan sebagaimana telah di jelaskan di muka, dengan menyerahkan TDP asli yang
telah di batalkan.
26
Perusahaan dihapus dari Daftar perusahaan apabila terjadi di bawah ini:

a. Perubahan bentuk perusahaan; atau


b. Pembubaran perusahaan; atau
c. Perusahaan menghentikan segala kegiatan usahanya; atau
d. Perusahaan berhenti akibat Akta Pendirian kadaluwarsa atau berakhir; atau
e. Perusahaan menghentikan kegiatan/bubar berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 43


Asasi Manusia Republik Indonesia (dahulu Menteri Kehakiman). Untuk mendapat
izin dari menteri kehakiman, harus memenuhi syarat sebagai berikut:

1) Perseroan terbatas tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan


kesusilaan.
2) Akta pendirian memenuhi syarat yang ditetapkan Undang-Undang.
3) Paling sedikit modal yang ditempatkan dan disetor adalah 25% dari modal
dasar (sesuai dengan UU No. 1 Tahun 1995 & UU No. 40 Tahun 2007,
keduanya tentang perseroan terbatas).

Setelah mendapat pengesahan, dahulu sebelum adanya UU mengenai


Perseroan Terbatas (UU No.1 tahun 1995) Perseroan Terbatas harus didaftarkan ke
Pengadilan Negeri setempat, tetapi setelah berlakunya tersebut, maka akta
pendirian harus didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Perusahaan (sesuai UU Wajib
Daftar Perusahaan tahun 1982) (dengan kata lain tidak perlu lagi didaftarkan ke
Pengadilan negeri), Selanjutnya sesuai UU No.40 tahun 2007, kewajiban
pendaftaran di Kantor Pendaftaran Perusahaan tersebut ditiadakan juga.
Sedangkan tahapan pengumuman dalam Berita Negara Republik Indonesia (BNRI)
tetap berlaku, hanya yang pada saat UU No.1 tahun 1995 berlaku pengumuman
tersebut merupakan kewajiban Direksi PT yang bersangkutan tetapi sesuai dengan
UU No.40 tahun 2007 diubah menjadi merupakan kewenangan/ kewajiban Menteri
Hukum dan HAM.
Salah satu ketentuan baru dalam UU PT baru adalah pengajuan
permohonan pendirian PT dan penyampaian perubahan anggaran dasar secara
online dengan mengisi daftar isian yang dilengkapi dokumen pendukung melalui
sistem yang dikenal yaitu Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH). SABH berada
di bawah kewenangan Departemen27 Hukum dan Hak Asasi Manusia melalui
Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum maka untuk pendaftaran
perusahaan yang merupakan satu kesatuan dalam proses SABH juga merupakan
kewenangan Departemen Hukum dan HAM, sebagaimana dalam ketentuan pasal
29 UU PT yang baru. Ketentuan pasal 29 tersebut jelas berbeda dengan pasal 21
ayat (1) UU PT lama beserta penjelasannya bahwa pendaftaran perusahaan
mengacu pada UU WDP. Perbedaan antara ketentuan Pasal 29 UU PT baru

27
Penulis masih menggunakan istilah departemen padahal seharusnya istilah yang dipergunakan
adalah Kementerian.

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 44


dengan pasal 21 ayat (1) UU PT lama terletak pada pihak yang berwenang untuk
melakukan pendaftaraan perusahaan. Menurut UU PT baru pihak yang berwenang
adalah Departemen Hukum dan HAM melalui direktorat Jendral Administrasi Hukum
Umum sedangkan dalam UU PT lama yang mengacu pada UU WDP pihak yang
berwenang dalam hal ini Departemen Perdagangan melalui Direktorat pendaftaran
perusahaan pada direktorat jendral perdagangan dalam negeri yang bertindak
selaku Kantor Pendaftaran Perusahaan (KPP) di tingkat pusat dan kantor wilayah
departemen perdagangan di tingkat I dan tingkat II. dengan perbedaan ini timbul
pertanyaan apakah dengan adanya ketentuan pasal 29 UU PT baru tersebut maka
pendaftaran perusahaan sebagaimana diatur dalam UU WDP tidak berlaku bagi
Perseroan Terbatas?
Berdasarkan hal di atas, bahwa antara kedua undang-undang tersebut
terdapat kontradiktif normatif sehingga menimbulkan masalah, dalam kedua
undang-undang tersebut terdapat pengaturan yang tidak sama dimana dalam UU
WDP diatur mengenai sanksi dengan ancaman melakukan suatu tindak pidana
kejahatan atau pelanggaran apabila tidak mengikuti ketentuan UU WDP sedangkan
dalam UU PT baru tidak diatur tentang adanya sanksi sehingga apabila data
perseroan telah masuk dalam daftar perseroan sesuai dengan ketentuan pasal 29
ayat (3) UU PT baru, apakah masih diperlukan pendaftaran sesuai dengan
ketentuan UU WDP mengingat adanya ketentuan sanksi tersebut?
Adapun pengertian penafsiran hukum menurut Sudikno Mertokusumo (2010)
adalah; Metode penemuan hukum dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas
untuk dapat diterapkan pada peristiwanya. Terdapat banyak metode penafsiran
hukum, salah satu metode penafsiran hukum yang digunakan dalam konteks ini
adalah metode penafsiran sistematis, kita harus membaca undang-undang dalam
keseluruhannya, kita tidak boleh mengeluarkan suatu ketentuan lepas dari
keseluruhannya, tetapi kita harus meninjaunya dalam hubungannya dengan
ketentuan sejenis, antara banyak peraturan terdapat hubungan yang satu timbul
dan yang lain seluruhnya merupakan satu sistem besar.28

28
Penulis artikel yang bersangkutan menyatakan dalam tulisannya, bahwa beranjak dari
permasalahan-permasalahan tersebut diatas perlu dilakukannya penafsiran hukum. Hal ini
dikarenakan undang-undang adalah produk hukum yang dirumuskan secara abstrak dan pasif.
Abstrak karena sangat umum sifatnya dan pasif karena tidak akan menimbulkan akibat hukum
apabila tidak terjadi peristiwa konkrit. Sehingga ruang lingkup keberlakuannya sangat luas.
Keleluasaan ini sangat rentan untuk dipahami secara berbeda-beda oleh para subjek hukum yang
berkepentingan. Akibatnya, dalam kasus-kasus tertentu masing-masing akan cenderung memakai
metode penafsiran yang paling menguntungkan posisi dirinya. Oleh karenanya, peristiwa hukum

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 45


Dalam konteks ini, antara UU WDP dengan UU PT baru kalau
membandingkan ketentuan dalam pasal 29 ayat (1) UU PT baru bahwa dinyatakan:

(1) Daftar Perseroan diselenggarakan Menteri

Adapun pengertian Menteri dalam pasal 1 angka 16 UU PT yang baru adalah


sebagai berikut:

Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum
dan hak asasi manusia.

Sedangkan kalau kita membandingkan dengan ketentuan pasal 21 ayat (1) UU PT


lama beserta penjelasannya:

(1) Direksi perseroan wajib mendaftarkan dalam daftar perusahaan

a) Akta pendirian beserta surat pengesahan Menteri Kehakiman.


b) Akta perubahan anggaran dasar beserta surat persetujuan
Menteri Kehakiman.
c) Akta perubahan anggaran dasar beserta laporan kepada Menteri
Kehakiman.

Berdasarkan hal dimaksud, maka pengertian/pemahaman daftar perusahaan


adalah daftar perusahaan sebagaimana dimaksud dalam UU WDP. Kemudian,
kalau merujuk pada ketentuan pasal 5 ayat (1) UU WDP dimana, setiap perusahaan
wajib didaftarkan dalam daftar perusahaan di kantor pendaftaran perusahaan. Maka
pengertian perusahaan dalam UU WDP sebagaimana di atas telah dijelaskan
dimana salah satunya perseroan terbatas. Kemudian berdasarkan pasal 9 UU
WDP; pendaftaran dilakukan dengan cara mengisi formulir pendaftaran yang
ditetapkan oleh Menteri pada kantor tempat pendaftaran perusahaan.
Yang dimaksud Menteri dalam UU WDP berdasarkan pasal 1 huruf (e)
adalah: Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang perdagangan. Kemudian,
dalam keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 12/MPP/Kep/U1998

yang abstrak memerlukan rangsangan agar dapat aktif dan dapat diterapkan. Hal-hal yang
memerlukan penafsiran pada umumnya adalah perjanjian dan undang-undang.

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 46


tahun 1998 yang diubah dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan No. 327/MPP/Kep/7/1999 tentang Penyelenggaraan Wajib Daftar
Perusahaan dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 37/M-DAG/PER/9/2007
tentang penyelenggaraan pendaftaran perusahaan dinyatakan tempat kedudukan
dan susunan kantor pendaftaran perusahaan baik yang berada di tingkat pusat, di
tingkat propinsi yaitu kabupaten/kota/kotamadya.
Selanjutnya dengan berlakunya UU PT yang baru berdasarkan ketentuan
Penutup dalam Pasal 160 dinyatakan bahwa: Pada saat Undang-Undang ini mulai
berlaku, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 13, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3587), dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku. Adapun UU PT yang baru mulai berlaku pada 16 Agustus 2007, sehingga
sejak tanggal tersebut mulailah berlaku ketentuan UU PT baru dan UU PT lama
dinyatakan tidak berlaku. Setelah menghubungkan pasal satu dengan pasal lainnya
dari ketiga undang-undang yaitu UU PT lama, UU WDP dan UU PT yang baru,
maka dapat disimpulkan dengan tidak berlakunya ketentuan UU PT lama tersebut,
maka UU WDP yang dikaitkan dalam penjelasan Pasal 21 ayat (1) tidak berlaku lagi
bagi PT sedangkan untuk bentuk usaha lainnya seperti Firma, Koperasi,
Persekutuan Komanditer (CV), serta perusahaan lain yang melaksanakan kegiatan
usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan atau laba, UU WDP masih tetap
berlaku. Hal ini dikarenakan dalam UU PT yang baru dinyatakan mengenai
pendaftaran perusahaan diselenggarakan oleh Menteri yang bertanggung jawab di
bidang hukum dan hak asasi manusia. Berdasarkan pada ketentuan tersebut, jadi
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang berwenang untuk
menyelenggarakan pendaftaran perseroan.
Selain itu, mengenai keberlakuan suatu undang-undang agar undang undang
tersebut mencapai tujuannya dalam hal terdapat suatu ketentuan yang berlainan
untuk suatu hal tertentu dapat juga, digunakan dua asas hukum yang berbunyi:

a. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan Undang-undang yang


bersifat umum (lex specialist derograt lex generalis).
b. Undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan undang-undang yang
berlaku terdahulu (lex posteriori derograt lege priori).

Pengertian kedua asas hukum tersebut adalah terhadap peristiwa khusus

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 47


wajib diperlakukan undang-undang yang menyebutkan peristiwa itu, walaupun bagi
peristiwa khusus tersebut dapat pula diperlakukan undang-undang yang
menyebutkan peristiwa yang lebih luas ataupun lebih umum. Sedangkan terhadap
undang-undang yang lebih dahulu berlakunya tidak berlaku lagi apabila ada
undang-undang baru yang berlaku belakangan yang mengatur hal yang sama.
Untuk menerbitkan Tanda Daftar Perusahaan setelah perusahaan disahkan
pendaftarannya, karena Tanda Daftar Perusahaan merupakan satu rangkaian
dengan pendaftaran perusahaan maka penyelenggaraan pendaftaran khususnya
bagi badan hukum yang berbentuk PT termasuk di dalamnya penerbitan tanda
daftar perusahaan merupakan kewenangan Kemhumham bukan lagi kewenangan
Kementerian Perdagangan. Dengan penerapan Government online yang melalui
SABH maka penyelesaian badan hukum mulai dari permohonan pengesahan badan
hukum, persetujuan perubahan serta penerbitan tanda daftar perseroan berada
dalam wewenang Depkumham.
Sehingga menurutnya dapat disimpulkan bahwa UU WDP masih tetap
berlaku bagi badan, hukum lainnya selain badan hukum yang berbentuk PT seperti
Firma, Persekutuan Komanditer (CV), Koperasi dan bentuk usaha perorangan,
tetapi yang berkaitan dengan pendaftaran perseroan bagi Perseroan Terbatas tidak
lagi merujuk UU WDP tetapi kepada UU PT No. 40 tahun 2007 serta ketentuan lebih
lanjut tentang daftar perseroan yang diatur oleh Menkumham yaitu Peraturan
Menteri Hukum dan Ham No.M.HH.03.AH.01.01 tahun 2009 tentang Daftar
Perseroan.

4.1.2. Otonomi Daerah dalam Perspektif Sendi-Sendi Pemerintahan di


Indonesia

Pengertian sendi-sendi pemerintahan adalah bagaimana menyelenggarakan


pemerintahan dalam suatu negara dengan cara lebih baik dan lebih efesien. Dalam
teori kenegaraan lazim disebut dengan istilah Ratio Gubernandi. Masalah ini timbul
karena dalam perkembangannya tugas dari organisasi negara menjadi bertambah
berat. Selain itu wilayah negara menjadi bertambah luas sehingga harus dibagi
dalam beberapa wilayah dan memerlukan pengaturan yang jelas mengenai tugas
dari pemerintahan pusat serta tugas dari pemerintahan di daerah-daerah. Negara
sebagai suatu organisasi hakekatnya memiliki kekuasaan dalam menentukan

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 48


segala sesuatu bagi warganya, termasuk kekuasaan dalam menentukan tujuan
negara dan cara-cara mencapai tujuan tersebut. Selanjutnya dalam melaksanakan
tugas pemerintahan, kekuasaannya ada yang bersifat:

a. Terhimpun, dalam arti terkumpul dalam bentuk ditumpuk (concentrated)


yaitu kekuasaan berada di tangan seorang/beberapa orang yang terbatas
jumlahnya. Bentuk yang ke dua adalah dipusatkan, artinya kekuasaan
berada pada sejumlah orang yang secara bersama-sama merupakan pusat
kekuasaan;
b. Tersebar, artinya kekuasaan pemerintahan dibagi berdasar dua cara
pembagian yaitu secara horizontal dan vertikal. Secara horizontal tugas
pemerintahan dibagi atas sifat tugas yang berbeda jenisnya dan
menimbulkan lembaga-lembaga negara. Sedangkan secara vertikal akan
membentuk garis hubung antara pemerintahan pusat dan daerah.29

Dalam melaksanakan tugas pemerintahan dengan sifat kekuasaan yang


tersebar, secara umum kita mengenal dua macam sendi pemerintahan yaitu sendi
keahlian dan sendi wilayah.

a. Sendi Keahlian
Menyelenggarakan tugas pemerintahan berdasar sendi keahlian berarti
menyerahkan tugas kepada orang-orang yang ahli. Pelaksanaannya dapat
ditentukan berdasarkan pembagian tugas secara horizontal dan secara vertikal.
Apabila tugas pemerintahan dibagi secara horizontal maka keseluruhan tugas
dibagi dalam beberapa bidang yang pelaksanaannya diserahkan kepada para ahli
seperti Menteri beserta stafnya. Kondisi ini menimbulkan lembaga pemerintahan
berdasar keahlian seperti Kementerian untuk melaksanakan tugas pemerintahan
berdasar keahlian menurut bidangnya masing-masing (menyerahkan obyective
staatszorg kepada ahlinya). Tiap Kementerian akan dipimpin oleh seorang Menteri
dibantu para stafnya yang merupakan pejabat-pejabat aparatur negara. Dalam teori
kenegaraan disebut dengan istilah Government by Official, yaitu pelaksanaan tugas
pemerintahan dengan sistem pegawai negeri. Dalam pratek kondisi ini
menyebabkan para ahli yang mambantu tugas pemerintahan menjadi terkumpul di

29
H. Abubakar Busro, S.H., Abu Daud Busroh, S.H., Hukum Tata Negara, cet.1, (Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1985), hal. 145.

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 49


pemerintahan pusat yang berada di ibukota negara. Sedangkan pemerintahan
daerah menjadi kekurangan tenaga-tenaga ahli yang baik dalam melaksanakan
tugas pemerintahan daerah.
Selain itu dalam melaksanakan tugasnya kadang timbul masalah/problem
antar Kementerian karena antara beberapa Kementerian ternyata mempunyai
bidang tugas yang saling berkaitan. Secara umum masalah ini kemudian
diselesaikan dengan cara membentuk suatu kerja sama atau Panitia antar
Kementerian yang dalam teori kenegaraaan disebut dengan istilah Government by
Committee. Misalnya untuk menyelesaikan masalah penyelundupan di negara
Indonesia, maka dibentuk suatu kerja sama antara Kementerian Kehakiman,
Kementerian Keuangan (Bea Cukai) dan Lembaga Kepolisian.
Selanjutnya pelaksanaan tugas pemerintahan berdasar sendi keahlian juga
dapat dibagi secara vertikal. Dalam hal ini pemerintah pusat membagi tugasnya ke
daerah-daerah, sehingga menimbulkan perwakilan-perwakilan pusat di daerah yang
kedudukannya bertingkat-tingkat dengan berdasar pada prinsip keahlian. Akan
tetapi dalam perkembangannya karena wilayah negara dalam zaman modern sudah
amat luas, maka pemerintah pusat tidak lagi mempunyai kemampuan untuk
melaksanakan tugas pemerintahan secara baik dan efesien yang meliputi seluruh
wilayah negara. Oleh karena itu pemerintah pusat dalam melaksanakan tugas
pemerintahan tidak hanya berdasar pada sendi keahlian saja tetapi juga
menggunakan dasar sendi wilayah.

b. Sendi Wilayah.
Pengertian sendi wilayah adalah menyelenggarakan tugas pemerintahan
dengan memperhatikan unsur wilayah negara. Negara yang dalam melaksanakan
tugas pemerintahan hanya menggunakan sendi keahlian saja, maka kekuasaan
negara menjadi terpusat/terhimpun dan harus menggunakan sistem yang seragam.
Cara ini tentu saja tidak cocok bagi negara-negara yang mempunyai wilayah luas
serta penduduk yang beragam karena akan menghambat kelancaran jalannya tugas
pemerintahan. Agar dapat berjalan baik dan efesien maka tugas harus berjalan
berdasar pada sendi keahlian dan sendi wilayah. Secara teoritis ditinjau dari sudut
sendi wilayah kita mengenal dua macam sendi pemerintahan, yaitu dekonsentrasi
dan desentralisasi.
Dengan dekonsentrasi, wilayah negara dibagi dalam beberapa daerah besar
dan kecil dan masing-masing daerah mempunyai wakil-wakil dari pemerintah pusat.

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 50


Para wakil tersebut mempunyai kewenangan atas nama pemerintah pusat dalam
batas-batas tertentu.30
Amrah Muslim, S.H., menyatakan dekonsentrasi adalah penyerahan
sebagian dari kekuasaan pemerintah pusat pada alat-alat pemerintah pusat yang
ada di daerah.31 Para wakil atau alat pemerintah pusat di daerah mempunyai
kewenangan untuk bertindak dan mengambil keputusan atas inisiatif sendiri yang
berkaitan dengan wilayahnya masing-masing. Meskipun demikian mereka tetap
merupakan unsur pelaksana di daerah yang mempunyai hubungan hirarkhi antara
atasan dan bawahan dengan pemerintah pusat. Para unsur pelaksana ini
melaksanakan tugas pemerintahan pusat di daerah menurut kebijaksanaan yang
telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Dengan demikian tanggung jawab tetap
berada pada pemerintah pusat baik menyangkut masalah pembiayaan,
perencanaan serta cara-cara pelaksanaannya. Sebagai unsur pelaksana di daerah
khususnya yang menyangkut instansi vertikal, mereka dikoordinasikan pada Kepala
Daerah setempat dalam kedudukannya sebagai perangkat pusat. Akan tetapi dalam
masalah kebijakan yang berkaitan dengan pelaksanaan urusan dekonsentrasi tetap
terikat pada kebijaksanaan yang telah digariskan oleh pemerintah pusat. Mereka
yang bertugas di daerah atas dasar dekonsentrasi merupakan pegawai pemerintah
pusat yang ditetapkan di daerah, sedangkan wilayahnya disebut wilayah
administrasi.
Desentralisasi bearti wilayah negara dibagi dalam beberapa daerah besar
dan kecil, dan masing-masing daerah mempunyai beberapa kewenangan tertentu
semacam kewenangan pemerintah pusat dalam batas-batas tertentu yang
32
ditetapkan berdasar undang-undang. Menurut Prof. Dr. Prajudi, S.H., masalah
desentralisasi menunjuk kepada proses pendelegasian tanggung jawab terhadap
sebagian dari administrasi negara kepada badan-badan otonom (bukan kepada
jabatan) dan tidak mengenai kewenangan dari sesuatu urusan tertentu. Sebagai
perbandingan dapat dikemukakan pendapat dari Amrah Muslim, S.H., yang
merumuskan bahwa desentralisasi adalah pembagian kekuasaan pada badan-
badan dan golongan dalam masyarakat untuk mengurusi rumah tangganya

30
Padmo Wahyono, S.H., Negara Republik Indonesia, cet. 2, (Jakarta : CV. Rajawali, 1986 ), hal. 76.
31
Drs. Musanef, Sistem Pemerintahan Di Indonesia, cet.4, (Jakarta : CV. Haji Masagung, 1993 ),
hal.19.
32
Prof. Padmo Wahyono, S.H., op.cit. hal. 76.

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 51


sendiri.33 Pendapat lain menyatakan bahwa hubungan pusat dan daerah berdasar
asas desentralisasi merupakan pelimpahan sebagian kewenangan dari pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah yang dipilih oleh rakyat dalam daerah yang
bersangkutan, untuk secara bertingkat dengan alat perlengkapan sendiri mengurus
kepentingan rumah tangga sendiri atas inisiatif dan beban biaya sendiri sejauh tidak
menyimpang dari kebijaksanaan pemerintah pusat.34 6)
Berbagai pendapat mengenai arti desentralisasi tersebut di atas merupakan
rumusan tentang pengertian desentralisasi dalam arti politis. Secara teoritis kita
mengenal pula beberapa arti desentralisasi, yaitu:

1) Desentralisasi fungsional, merupakan pemberian hak/wewenang kepada


golongan tertentu yang mempunyai fungsi dalam masyarakat untuk mengatur
kepentingannya sendiri, baik terikat atau tidak terikat pada suatu daerah
tertentu. Golongan ini biasanya mempunyai fungsi dalam bidang ekonomi
(produksi dan distribusi) atau dalam bidang pertanian, dan dalam melaksanakan
tugasnya dapat mencakup lebih dari satu daerah;
2) Desentralisasi kebudayaan, pemberian kesempatan atau hak kepada golongan
minoritas dalam masyarakat untuk mengatur sendiri kepentingannya dalam
bidang kebudayaan. Umumnya menyangkut bidang pendidikan dan agama;
3) Desentralisasi teknis, adalah pelimpahan hak kepada suatu badan yang terdiri
dari para ahli untuk mengurus suatu tugas tertentu yang bersifat teknis. Badan
tersebut umumnya berbetuk panitia yang diberi hak penuh untuk menyelesaikan
tugas yang bersifat teknis tersebut;
4) Desentralisasi kolaboratif, merupakan pemberian hak kepada pihak swasta
untuk turut serta melaksanakan tugas pemerintahan bagi kepentingan
umum/rakyat. Pada umumnya mereka mempunyai kedudukan ekonomis yang
kuat, dan duduk dalam badan-badan pemerintah sebagai suatu kehormatan
tanpa menerima gaji.

Pelimpahan tugas pemerintahan pusat pada daerah berdasar asas


desentralisasi selain menimbulkan hak otonomi juga tugas medebewind kepada
pemerintahan daerah. Otonomi berasal dari kata auto yaitu sendiri, dan kata nomos
yang bearti pemerintahan. Dengan demikian otonomi adalah pemerintahan sendiri

33
Drs. Musanef, op.cit., hal. 21.
34
H. Abubakar Busro, S.H. Abu Daud Busroh, S.H., op.cit., hal.147.

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 52


atau menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri. Sedangkan Logemann
berpendapat bahwa kekuasaan bertindak merdeka (vrije beweging) yang diberikan
kepada satuan-satuan kenegaraan yang memerintah sendiri daerahnya, yakni
kekuasaan yang berdasarkan inisiatif sendiri, yang dapat dipergunakannya untuk
menyelenggarakan kepentingan umum, maka pemerintahan yang demikian disebut
otonomi.35 Dengan cara ini diharapkan kebutuhan masyarakat setempat dapat
terpenuhi secara baik melalui pembagian tugas dan kewajiban antara pemerintahan
pusat dan daerah.
Menurut Maddick pengertian desentralisasi mengandung dua elemen yang
saling bertalian. Pertama pembentukan daerah otonomi dan kedua menyerahkan
kekuasaan secara hukum untuk menangani bidang-bidang pemerintahan tertentu,
baik yang dirinci maupun yang dirumuskan secara umum.36 Dalam rangka
desentralisasi daerah otonomi berada di luar hirarkhi organisasi pemerintahan
pusat. Sedangkan dalam sendi dekonsentrasi unsur wilayah jabatan/wilayah
administrasi berada dalam hirarhi organisasi pemerintahan pusat. Melalui konsep
otonomi maka setiap pemerintahan daerah pada dasarnya mempunyai kebebasan
untuk mengambil keputusan, mempunyai insiatif sendiri terlepas dari kontrol
pemerintahan pusat. Karena itu sendi desentralisasi yang menimbulkan konsep
otonomi daerah mempunyai kaitan yang erat dengan demokrasi. Dengan mampu
mengambil prakasa/insiatif sendiri mengenai kepentingan masyarakat setempat
berarti pemerintah daerah juga telah mampu menentukan serta memperbaiki
nasibnya sendiri. Para pakar administrasi publik kerap kali beranggapan bahwa
secara konseptual sendi desentralisasi merupakan instrumen untuk mencapai
tujuan-tujuan tertentu, seperti dikemukakan oleh James W. Feslert dan A.F.
Leemans. Tujuan-tujuan yang ingin dicapai adalah kesatuan bangsa, pemerintahan
yang demokratis, kemandirian sebagai kemandirian sebagai penjelmaan dari
37
otonomi, efisiensi administrasi dan pembangunan sosial ekonomi.
Dalam menyelenggarakan tugas pemeritahan daerah kita jumpai pula tugas
yang disebut tugas pembantuan (medebewind), artinya tugas dari pemerintah
daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah pusat atau pemerintah daerah di
atasnya dengan kewajiban memberikan pertanggungan jawab kepada yang

35
Ibid., hal. 155.
36
Prof.DR.Bhenyamin Hoessein.”Implikasi UU Nomor 22 tahun 1999 Terhadap Pembangunan dan
Penyelenggaraan Sektor Transportasi”, (Makalah disampaikan pada Diskusi Interen Fakultas Hukum
UI, Agustus 1999), hal. 4.
37
Ibid. hal. 7.

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 53


memberi tugas. Perbedannya dengan fungsi otonomi terletak dalam wewenang
membentuk peraturan daerah. Dalam hak otonomi pemerintah daerah berhak
membuat peraturan daerah berdasar garis kebijaksanaan sendiri. Sedangkan dalam
tugas pembantuan atau medebewind hak tersebut harus berdasar pada
kebijaksanaan pemerintah pusat. Dengan demikian secara keseluruhan
pelaksanaan tugas pemerintahan berdasar asas sendi wilayah, dapat dibedakan
dalam tiga bentuk/sistem pemerintahan daerah, yaitu:

1) pemerintahan daerah yang mempunyai hak-hak otonomi berdasar asas


desentralisasi;
2) pemerintahan daerah yang bertugas melaksanakan peraturan dari pemerintah
pusat atau pemerintahan daerah setingkat di atasnya atas dasar asas
pembantuan (medewind);
3) pemerintahan daerah berdasar atas asas dekonsentrasi yang menimbulkan
wilayah jabatan atau wilayah administrasi.

Ketentuan mengaenai masalah sendi-sendi pemerintahan di negara


Indonesia dapat kita lihat dalam pasal 18 Undang Undang Dasar 1945 tentang
Pemerintahan Daerah. Pasal ini pada dasarnya mengatur mengenai kehidupan
negara dan secara tidak langsung juga mengatur mengenai masalah kesejahteraan
sosial. Wilayah Indonesia dalam hal ini akan dibagi dalam daerah besar dan kecil
yang bentuk serta susunan pemerintahannya harus memperhatikan dan berdasar
pada asas permusyawaratan dalam sistim pemerintahan negara. Untuk
melaksanakan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 dibentuk Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah. Hal-hal pokok yang dapat
dicatat dari Undang-Undang Nomor 5/1974 adalah bahwa negara Indonesia adalah
negara kesatuan maka tidak akan ada daerah dalam wilayahnya ayang bersifat
negara. Adapun yang dimaksud dengan daerah besar dan kecil adalah Propinsi dan
daerah-daerah yang lebih kecil lagi, yang akan merupakan daerah otonomi dan
daerah administrasi. Dalam daerah yang bersifat otonomi akan ada perwakilan
daerah yang pemerintahannya bersendi atas dasar musyawarah. Selain itu ada
daerah-daerah yang secara historis mempunyai susunan asli, dapat dianggap
sebagai daerah istimewa dengan memperhatikan hak asal usul daerah tersebut.
Undang-Undang tentang pemerintah Daerah ini juga menetapkan menganut prinsip
bahwa bentuk serta sistim yang berlaku di pemerintahan pusat sebagaimana diatur

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 54


dalam Undang-Undang Dasar 1945 juga berlaku bagi pemerintahan di daerah
sesuai dengan proporsi dan keadaan lingkungan masing-masing. Undang-Undang
Nomor 5/1974 kemudian disempurnakan menjadi Undang-Undang Nomor 5 tahun
1979.
Sebenarnya para The founding fathers telah mencapai konsensus nasional
mengenai bangunan negara kita, yaitu negara kesatuan dan sendi desentralisasi.
Dalam melaksanakan tugas pemerintahan ada bidang-bidang pemerintahan yang
diselenggarakan atas dasar sentralisasi oleh pemerintah pusat dengan
penghalusannya secara dekonsentrasi, dan ada pula pelaksanaan secara
desentralisasi. Dengan menganut sendi desentralisasi yang perwujudannya adalah
otonomi daerah diharapkan aspek kemajemukan masyarakat daerah dan unsur
demokrasi akan terpenuhi secara baik. Akan tetapi dalam pelaksanaannya Undang-
Undang Pemerintah Daerah telah menyelenggarakan sendi dekonsentrasi yang
cenderung menganut model Integrated Field Administration. Model ini
menyeragamkan batas-batas wilayah kerja antara Instansi Vertikal dari berbagai
departemen dengan batas wilayah kerja dari Kepala Wilayah yang berada di
daerah. Kondisi ini menimbulkan kecenderungan berhimpitnya wilayah kerja dari
Instansi Vertikal dengan Wilayah Administrasi. Selain itu berhimpitnya pula wilayah
dari daerah otonomi dalam rangka desentralisasi dengan wilayah Administrasi.
Dalam hal ini terdapat tuntutan untuk mengemban peran ganda dari Kepala Daerah
dan Kepala Wilayah selaku wakil dari pemerintah pusat. 38 Strategi yang ditempuh
oleh pemerintah pusat ini dengan menyelenggarakan model sentralisasi,
dekonsentrasi dan desentralisasi melalui Undang-Undang Pemerintahan Daerah
ternyata menimbulkan kondisi kurang menguntungkan bagi pengembangan otonomi
daerah di wilayah negara Indonesia. Gelombang reformasi yang terjadi di negara
Indonesia akhir-akhir ini telah berhasil mengadakan perubahan terhadap Undang-
Undang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 5/1974 dan Undang-
Undang Nomor 5/1979 telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999
dan terakhir kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, yang
diharapkan akan membawa kondisi yang lebih baik terhadap pelaksanaan otonomi
daerah dan demokrasi berdasar sendi desentralisasi.

38
Ibid., hal. 2.

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 55


c. Sendi Historis.

Secara historis kita mengetahui bahwa pada masa Yunani kuno negara
belum menghadapi masalah sendi-sendi pemerintahan. Pada masa ini wilayah
negara hanya merupakan negara kota/city state yang mengutamakan status aktif
dari warganya dan menimbulkan sistem demokrasi langsung. Tugas dan masalah
pemerintahan diselesaikan dan dibahas secara langsung oleh para ahli pikir dengan
cara berkumpul bersama pada suatu tempat tertentu. Paras ahli pikir ini mempunyai
cukup waktu utnuk membahas tugas-tugas negara karena ada lapisan budak di
negara Yunani yang mengatur serta memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka
beserta keluarganya. Memasuki masa kerajaan Romawi wilayah negara sudah
bertambah luas sehingga mulai timbul masalah ratio gubernandi, yaitu bagaimana
cara melaksanakan tugas pemerintahan secara baik dan efisien yang meliputi
seluruh wilayah negara. Dengan wilayah negara yang luas, maka negara Romawi
tidak dapat menerapkan sistem demokrasi langsung seperti di negara Yunani untuk
melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Dalam hal ini Romawi kemudian
membagi wilayah negaranya dalam beberapa propinsi yang masing-masing
dipimpin oleh seorang Gubernur. Melalui pelimpahan kekuasaan dari Kaisar, para
Gubernur kemudian melaksanakan tugas pemerintahan di daerah masing-masing.
Sejarah kenegaraan juga menunjukkan bahwa pada abad ke XVI negara
Perancis membagi tugas pemerintahan dalam lima departemen. Ke lima
departemen tersebut meliputi Departemen Diplomacie, Defencie, Financie, Yusticie
dan Policie. Akan tetapi kenyataan menunjukan, bahwa ke lima departemen
tersebut berada dibawah kekuasaan Kaisar dalam melaksanakan tugasnya. Kondisi
ini tentu saja tidak menggambarkan adanya pembagian tugas pemerintahan dalam
negara termasuk pengaturan hubungan pemerintahan pusat dan daerah yang
merupakan masalah sendi-sendi pemerintahan.

4.1.3. Indonesia Adalah Negara Berdasarkan Asaz Hukum

Penerimaan terhadap wawasan negara berdasar atas hukum secara tegas


dinyatakan juga dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya bagian yang menyatakan
bahwa, “Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (Rechtsstaat), dan
tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat).” Berdasarkan rumusan itu
penyelenggara negara diharapkan selalu berusaha untuk menciptakan kemakmuran

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 56


serta kesejahteraan bagi rakyatnya, sesuai dengan prinsip-prinsip utama dari suatu
negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat). Himpunan Risalah Sidang-sidang
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang berhubungan dengan Penyusunan
Undang-Undang Dasar 1945 (dikutip dari Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar
1945, jilid I, Jajasan Prapantja, Jakarta, 1959 oleh Muhammad Yamin), hal.417.
Sebagai negara yang berdasar atas hukum, sebagaimana yang telah dirumuskan
dalam perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3), Negara
Republik Indonesia telah menempatkan diri dalam jajaran rechtsstaat yang
material/sosial atau negara yang berdasar atas hukum dalam arti sebagai negara
kesejahteraan atau verzorggingsstaat. Hal ini terlihat dalam alinea ke empat
Pembukaan UUD 1945 yang merumuskan sebagai berikut:

“...untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi


segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, keadilan sosial...”

Dalam perkembangan kebijakan ekonomi di era globalisasi ini lahir berbagai


pemikiran-pemikiran baru yang mewarnai dan menjembatani bidang ekonomi dan
bidang hukum. Dapat dimengerti mengapa dalam kerangka kebijakan dan program-
program planned economy inilah dikenalnya doktrin baru dalam ilmu hukum dan
ajaran hukum, yaitu doktrin law as a tool of social engineering, sekalipun
sebenarnya doktrin ini berasal dari ide liberal Pound, yang mengajari para hakim
agar peka pada perubahan-perubahan yang perkembangan-perkembangan (bukan
pengembangan-pengembangan alias pembangunan) sosial yang terjadi, dan
mampu menyesuaikan keputusan-keputusannya pada perkembangan-
perkembangan sosial-ekonomi yang terjadi. Penulis mengutip tulisan Prof.
Soetandyo Wignjosoebroto dalam bukunya Hukum – Paradigma, Metode dan
Dinamika Masalahnya yang secara ekslusif membahas tentang hukum dan sistem
ekonomi. Fungsi hukum di dalam market economy jelas berbeda sekali dengan
fungsi hukum dalam planned economy. Kebebasan berkontrak tentu saja tak akan
dapat lagi dikukuhi penuh-penuh, sehingga aktivitas ekonomi dan aktivitas bisnis
pada dasarnya lalu tak lagi dikuasai oleh kaidah-kaidah hukum yang

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 57


privaatrechtelijk, melainkan publikrechtelijk.
Berdasarkan platform kenegaraan yang berlaku di Indonesia tersebut di
atas, maka jelas terhadap berbagai bidang kehidupan masyarakat yang berada
dalam struktur organsasi kenegaraan diatur oleh suatu perangkat kebijakan. Sektor
ekonomi pun tidak luput dari kerangka pengaturan dimaksud. Pada penelitian ini
salah satu hal yang akan digagas adalah tentang bagaimana harmonisasi yang
telah terjadi antara kebijakan dengan praktek perekonomian negara dibidang hukum
perusahaan yang terkait dengan berbagai macam dinamikanya. Dengan kata lain
tatanan penelitian ini disusun dalam kajian bidang hukum ekonomi yang terlebih
dahulu menganalisa pondasi utama dari perekonomian negara Republik Indonesia
secara umum lalu diserap secara khusus dibidang kepastian penegakan hukum di
Indonesia, khususnya terhadap kontroversi keberlakuan Pasal 29 UU PT dan
dampak keberlakuannya terhadap UU WDP.
Demokrasi ekonomi sebagai dasar pelaksanaan pembangunan memiliki ciri-
ciri positif yang perlu terus-menerus dipupuk dan dikembangkan. Kembali dengan
mengacu pada semangat dan jiwa UUD 45 dan dengan berpegang pada prinsip
ekonomi Pancasila tersebut diharapkan akan diperoleh pembangunan ekonomi
yang sustainable. Ciri-ciri positif tersebut adalah sebagai berikut:

a. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas


kekeluargaan (Pasal 33 UUD 1945).
b. Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh Negara (Pasal 33 UUD 1945).
c. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (Pasal
33 UUD 1945).
d. Sumber-sumber kekayaan dan keuangan Negara digunakan dengan
permufakatan Lembaga-lembaga Perwakilan Rakyat, serta pengawasan
terhadap kebijaksanaannnya ada pada lembaga-lembaga Perwakilan Rakyat
Pula (Pasal 23 UUD 1945).
e. Warga negara memiliki kebebasan dalam memilih pekerjaan yang
dikehendaki serta mempunyai hak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak (Pasal 27 UUD 1945).
f. Hak milik perorangan diakui dan pemanfaatannya tidak boleh bertentangan
dengan kepentingan masyarakat (Pasal 33 Penjelasaan UUD 1945).

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 58


g. Potensi, inisiatif dan daya kreasi setiap warga negara diperkembangkan
sepenuhnya dalam batas-batas yang tidak merugikan kepentingan umum
(Pasal 33 Penjelasan UUD 1945).
h. Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara (Pasal 34
UUD 1945).

Sebaliknya harus dihindarkan timbulnya ciri-ciri negatif yang justru di era globalisasi
ini tetap berjalan dan berkembang. Ciri-ciri negatif tersebut adalah sebagai berikut:

a. Sistem free fight liberalism yang menumbuhkan eksploitasi terhadap


manusia dan bangsa lain yang dalam sejarahnya di Indonesia telah
menimbulkan dan mempertahankan kelemahan struktural posisi Indonesia
dalam ekonomi dunia.
b. Sistem etatisme dalam mana Negara beserta aparatur Ekonomi Negara
bersifat dominan serta mendesak dan mematikan potensi dan daya kreasi
unit-unit ekonomi di luar sektor Negara.
c. Pemusatan kekuatan ekonomi pada satu kelompok dalam bentuk monopoli
yang merugikan masyarakat.

Berdasarkan prinsip Demokrasi Ekonomi terdapat tiga unsur penting dalam


tata perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan yaitu sektor negara, sektor swasta dan sektor koperasi. Ketiga sektor
ini harus dikembangkan secara serasi dan mantap. Fungsi UU WDP dan UU PT
pada intinya adalah salah satu upaya konkrit dalam rangka menciptakan aspek-
aspek positif dalam berdemokrasi ekonomi, khususnya dalam sebuah negara yang
berdasarkan atas hukum. Sebagai perangkat instrumen dalam berbisnis memang
tidak dapat sepenuhnya steril dari segala sesuai yang tersurat dalam kelompok ciri-
ciri negatif. Hanya saja hukum memberikan kerangka ataupun bingkai yang
memberikan aturan-aturan untuk menciptakan suatu ketertiban, ketahanan dan

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 59


keamanan dalam implementasi demokrasi ekonomi. 39
Perlu untuk ditekankan bahwa sinergi antara pemerintah, aparatur,
masyarakat dan perangkat penegakkan hukumnya sebenarnya berpedoman pada
prinsip dasar dalam pendayagunaan sumberdaya alam, yaitu sustainability
(keberlanjutan) dan pemanfaatan seoptimal mungkin hasilnya bagi kepentingan
rakyat, yang tercantum dalam Pasal 3340 UUD 1945, dimaksud sebenarnya telah
termaktub dalam tujuan negara, yang titik beratnya adalah memuat pokok-pokok
pikiran tentang arah pembangunan dan upaya mensejahterakan rakyatnya.
Keberadaan sebuah negara sebagai suatu organisasi mestilah memiliki tujuan.
Manifestasi tujuan negara ini menjadi suatu kewajiban karena akan menjadi arah
dari suatu masyarakat yang organized itu, dan untuk menunjukkan adanya ciri
organized dari tujuan itu.41
Perlu kiranya untuk disampaikan bahwa setelah dilakukan perubahan terhadap
UUD 1945, maka dalam Pasal 1 ayat (3), Perubahan Ketiga UUD 1945 secara
tegas ditetapkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.42 Dikatakan
demikian karena UUD 1945 merupakan manifestasi tujuan negara Republik
Indonesia sebagaimana yang diamanatkan oleh pokok-pokok pikiran yang
terkandung dalam alinea ke IV Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan:

39
Sejalan dengan Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas
Indonesia yang diucapkan pada tanggal 17 Nopember 1979 oleh Prof. Padmo Wahjono, S.H., yang
berjudul Indonesia ialah Negara yang Berdasar atas Hukum, beliau menyatakan sebagai berikut:

“Bahwa suatu Negara sebaiknya berdasar atas hukum didalam segala hal ihwalnya, yang sudah
didambakan semenjak Plato dengan “Nomoi-nya” E. Kant dengan negara Hukum (formil-nya), J.
Stahl dengan Negara Hukumnya (material) maupun Dicey dengan “Rule of Law”-nya.”
40
Lihat Pasal II paragraf 1 Aturan Tambahan UUD 1945, menyatakan “Dengan ditetapkannya
perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal.” Lihat juga Jimly Asshidiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945
Setelah Perubahan Keempat, hal.64.
41
Teaching Material Ilmu Negara – 2001, Loc.Cit., hal.56., dimana ditegaskan bahwa suatu negara
tidak layak ada jika tidak memiliki tujuan, bahkan seharusnya keberadaan itu didahului oleh suatu
tujuan. Artinya, tujuan harus lebih dahulu dikonstruksikan ada, baru kemudian mewujudkan
organisasi negara merdeka sebagai sarana untuk mewujudkannya. Jadi adanya tujuan negara itu
adalah keharusan bagi suatu negara. Tujuan negara secara umum diatur dalam sebuah konstitusi
negara yang bersangkutan dan UUD 1945 merupakan rumusan dan manifestasi dari tujuan Negara
Republik Indonesia.
42
Maria Farida Indrati Soeprapto, Kedudukan dan Materi-Muatan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Keputusan Presiden Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Negara di Republik Indonesia, Ringkasan Disertasi, Program Pascasarjana, Fakultas
Hukum, Universitas Indonesia – 2002, hal.19.

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 60


“Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”

Perumusan tujuan Negara tersebut muatannya sangat massive, dimana didalamnya


sarat dengan muatan dan cita-cita ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya dan
pertahanan dan keamanan yang penjabaran dari masing-masing substansi
dimaksud berupaya semaksimal mungkin untuk mensejahterakan kehidupan
rakyatnya. Salah satu pokok sasaran yang dituju adalah sektor perekonomian, yang
didalamnya terbagi-bagi lagi dalam berbagai bidang dan sub sektor, baik yang
berskala nasional bahkan internasional dan juga yang meliputi unit terkecil dari
kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat.
Sebagai negara berdasar atas hukum, Negara Republik Indonesia telah
menempatkan diri dalam jajaran rechtsstaat43 yang material/sosial atau negara yang
berdasar atas hukum dalam arti sebagai negara kesejahteraan atau
44
verzorggingsstaat. Formulasi konkritnya adalah sebagaimana tertuang dalam
alinea ke IV Pembukaan UUD 1945 tersebut di atas. Oleh karenanya relevan
bilamana dinyatakan bahwa sektor perikanan nasional yang juga memiliki potensi
dan posisi yang sangat strategis, yang didalamnya sarat dengan isu-isu yang

43
Istilah Rechtsstaat di sini menurut Maria Farida Soeprapto seyogyanya diterjemahkan dengan
istilah Negara berdasar atas Hukum (sesuai dengan penjelasan UUD 1945) dalam arti a state based
on law atau a state governed by law.

Dengan kata lain memiliki konsekwensi logis, bahwa Negara Republik Indonesia adalah berdasar atas
hukum (Rechtstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (Machstaat). Dalam suatu Negara yang
mengetengahkan wawasan Negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat), dan sekaligus menganut
wawasan pemerintahan yang berdasarkan yang berdasarkan atas sistem konstitusi, pemenuhan
ketentuan-ketentuan dalam Konstitusi merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan. Lihat
pendapat Jimly Asshidiqie dalam Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, yang
menyatakan “konsep Negara Hukum ini disebut dalam pernjelasan UUD 1945 dengan istilah
rechtsstaat yang diperlawankan dengan machtsstaat yang terang-terangan ditolak oleh para
perumus UUD. Akan tetapi, karena belum tercantum dalam pasal, sedangkan sedangkan penjelasan
UUD direncanakan akan dihapus dari naskah resmi UUD, maka ketentuan mengenai Negara Hukum
ini perlu ditegaskan dalam pasal. Rumusan yang tegas menyatakakan bahwa Indonesia adalah
Negara Hukum juga terdapat dalam Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1945.” (hal.3).
44
Maria Farida Indrati Soeprapto, Op.cit.

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 61


bersifat multiaspek dan multidimensi, dimana hukum dalam hal ini memiliki fungsi
penting untuk mengharmonisasikan berbagai macam aspek dimaksud agar dapat
terwujud kepastian hukum sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi. 45
Perekonomian Indonesia tampaknya masih belum beranjak jauh dari titik
nadirnya.46 Akar permasalahan krisis di Indonesia disebabkan oleh 6 faktor.
Pertama, menurut Paul Krugman, pertumbuhan ekonomi yang pesat sebelum krisis
lebih didorong oleh karena pertumbuhan investasi dan bukan karena efisiensi dan
inovasi. Kedua, sebagian besar nilai pasar perusahaan-perusahaan yang tercatat di
pasar modal di kawasan ini adalah overvalued. Ketiga, struktur finansial perusahaan
pada dasarnya tidak sehat. Keempat, dalam proses penyaluran kredit terjadi praktek
mark-up sehingga pada akhirnya hanya menghancurkan struktur kapital itu sendiri.
Kelima, terjadi konsentrasi ekonomi yang tidak sehat, yaitu berdasarkan data di
tahun 1996 menunjukkan bahwa puncak piramida struktur ekonomi Indonesia hanya
diisi oleh 200 konglomerat swasta (yang dimiliki oleh kurang lebih 50 keluarga) dan
100 BUMN besar, dan dilapis tengah hampir kosong. Keenam, runtuhnya
perekonomian di Indonesia juga disebabkan oleh karena tidak adanya good
corporate governance di dalam pengelolaan perusahaan.3
Ketidakharmonisan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia, bukan berarti bahwa hukum tidak ditegakkan, tetapi dinamika semacam
ini memang tidak dapat terlepas dalam situasi dan kondisi bernegara. Hanya saja
yang perlu diteropong adalah latar belakang, motif dan tujuan dari diberlakukannya
sebuah undang-undang menjadi hal yang perlu ditelaah secara seksama. Hal ini
dapat disampaikan melalui skema sebagai berikut:

45
Kondisi yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini sangat kompleks serta bersifat
multidimensional sehingga membutuhkan penanganan yang serius dan bersungguh-sungguh.
Berdasarkan kondisi umum dan arah kebijakan dalam GBHN 1999-2004, dapat diidentifikasikan lima
permasalahan pokok yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini. Permasalahan-permasalahan
pokok tersebut adalah sebagai berikut:

1. merebaknya konflik sosial dan munculnya gejala disintegrasi bangsa;


2. lemahnya penegakan hukum dan hak asasi manusia;
3. lambatnya pemulihan ekonomi;
4. rendahnya kesejahteraan rakyat, meningkatnya penyakit sosial dan lemahnya ketahanan budaya
nasional; dan
5. kurang berkembangnya kapasitas pembangunan daerah dan masyarakat.
46
Sofyan Djalil, Good Corporate Governance, makalah yang disampaikan pada Seminar Corporate
Governance di Universitas Sumatera Utara pada tanggal 26 Juni 2000, hal 1.
3
Maria Farida Indrati Soeprapto, Op.cit.

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 62


Gambar 4.1. Hirarkhi Persamaan Undang-undang

Indonesia adalah negara


berdasarkan atas hukum

Secara hierarkhi UU No.40 tahun 2007 UU No.3 tahun 1982


setingkat

Pasal 29 mengecualikan UU No.3 tahun 1982 tidak


UU No.3 tahun 1986 pernah dinyatakan
Identifikasi
dicabut
Persamaan dan
Perbedaan Objektif

KESIMPULAN

Hukum tetap harus ada dalam rangka menciptakan kepastian dan ketertiban
dalam masyarakat. Hanya saja terhadap peristiwa ketidakharmonisan tersebut
harus ditelaah dan dianalisis secara seksama dan hati-hati sehingga tidak
menimbulkan kerugian atau bahkan kerugian yang jauh lebih besar.

4.1.4. Keberadaan UU WDP Pasca Berlakunya UU PT

Pertanyaan mengapa pemilihan sub judul haruslah keberlakuan UU WDP


pasca berlakunya UU PT dapat dijawab bahwa terhadap perusahaan-perusahaan
lain, selain dari perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas ditentukan mutlak
untuk tetap tunduk pada ketentuan UU WDP. Sedangkan terhadap perusahan
berbentuk perseroan terbatas oleh mayoritas kalangan ditafsirkan untuk tidak
tunduk pada ketentuan UU WDP, melainkan hanya tunduk pada ketentuan yang
diatur dalam Pasal 29 UU PT dan atas penundukan terhadap pasal tersebut sudah
dianggap sebagai bentuk ketaatan terhadap perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia.
Turunnya jumlah perusahaan yang melakukan pendaftaran perusahaan
kedalam database Kementerian Perdagangan secara umum dikarenakan dua

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 63


faktor, yaitu (a) berlakunya UU PT; dan (b) otonomi daerah. UU PT memberikan
kontribusi yang signifikan dikarenakan pola pendaftaran yang dilakukannya telah
sedemikian rupa tersistematisir dan bentuk perusahaan yang pertumbuhannya
sangat pesat adalah perusahaan berbentuk perseroan terbatas, khususnya jika
dibandingkan dengan jenis-jenis perusahaan lainnya yang ada dan diatur dalam UU
PT. Apabila diperhatikan secara seksama penurunan yang terjadi secara drastis
tersebut asumsi dasarnya adalah pada perusahaan-perusahaan berbentuk
perseroan terbatas yang berhenti melakukan pendaftaran perusahaan kepada
Kementerian perdagangan.
Menyikapi kondisi semacam ini, maka telaah lebih difokuskan pada fakta
yang terjadi pasca berlakunya UU PT guna memetakan alur pemikiran yuridist
terhadap undang-undang yang tersebut yang kemudian diperbandingkan dengan
UU WDP dalam konteks persamaan dan perbedaan tujuan dari masing-masing
undang-undang tersebut. Untuk sampai pada titik tersebut, maka kajian ini menilik
pada pendapat para sarjana yang ahli dibidang hukum perseroan terbatas, yang
diantaranya adalah:

a. Pendapat M. Yahya Harahap


Daftar perseroan dalam UU PT diatur dalam Bab II, bagian ketiga, paragraf
1, mengatur tentang daftar perseroan yang terdiri atas Pasal 29, jadi hanya terdiri
atas satu pasal saja.

1) Yang Menyelenggarakan Daftar Perseroan


Pasal 29 ayat (1) menegaskan, Daftar Perseroan “diselenggarakan” oleh
Menteri. Berbeda dengan ketentuan Pasal 21 UU No.1 tahun 1995. Tidak
mengatur secara spesifik daftar perseroan. Yang dikenal adalah daftar
perusahaan. Apa yang dimaksud dengan daftar perusahaan menurut
Penjelasan Pasal 21 ayat (1) UU No.1 tahun 1995 adalah daftar perusahaan
sebagaimana dimaksud dalam UU WDP di Departemen Perdagangan. Sedang
pada masa KUHD, daftar perseroan diselenggarakan oleh Panitera Pengadilan
Negeri (semula raad van justitie). Hal itu ditegaskan pada Pasal 38 ayat (2)
KUHD. Para persero wajib mendaftarkannya dalam Daftar Umum di
Kepaniteraan Negeri di wilayah hukum tempat perseroan berkedudukan. Baik
sistem pendaftaran yang diatur pada Pasal 21 UU Nomor 1 Tahun 1995
maupun pada Pasal 38 KUHD, tidak dianut lagi oleh Pasal 29 UU PT.

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 64


Ketentuan-ketentuan itu ditinggalkan. Muncul keinginan bagi pembuat undang-
undang untuk menempatkan semua administrasi dokumen perseroan
disentralisasi atau dipusatkan di bawah satu atap yakni di bawah Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dengan sistem sentralisasi ini, pengurusan
administrasi perseroan tidak terpisah pada beberapa instansi. Orang yang
berkepentingan untuk mengetahui identitas perubahan anggaran dasar suatu
perseroan, dapat melakukannya pada satu instansi saja.
Perlu diingat penegasan ketentuan Pasal 29 ayat (5) bahwa Daftar
Perseroan terbuka untuk umum. Siapa saja dapat melihatnya di Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia. Tidak terbatas hanya orang tertentu saja.
Ketentuan ini bersifat hukum memaksa (dwingendrecht, mandatory rules). Oleh
karena itu, ketentuan ini jangan hanya teori saja, tetapi para pejabat yang
bertugas di bidang ini, harus memberi pelayanan yang baik tanpa pamrih
meminta imbalan.

2) Data Yang Dimuat Dalam Daftar Perusahaan

Mengenai data apa saja yang dimuat dalam daftar perseroan, disebut
pada Pasal 29 ayat (2) UU PT, meliputi:

a. Nama dan tempat kedudukan, maksud dan tujuan serta kegiatan usaha,
jangka waktu pendirian dan permodalan;
b. Alamat lengkap Perseroan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 5;
c. Nomor dan tanggal akta pendirian dan keputusan Menteri mengenai
pengesahan badan hukum Perseroan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (4);
d. Nomor dan tanggal akta perubahan anggaran dasar dan persetujuan
Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1);
e. Nomor dan tanggal akta perubahan anggaran dasar dan tanggal
penerimaan pemberitahuan oleh menteri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 ayat (2);
f. Nama dan tempat kedudukan notaris yang membuat akta pendirian dan
akta perubahan anggaran dasar.
g. Nama lengkap dan alamat pemegang saham Perseroan Terbuka dibuat
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang Pasal

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 65


Modal. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 29 ayat (4).
h. Nomor dan tanggal akta pembubaran atau nomor dan tanggal penetapan
pengadilan tentang pembubaran perseroan yang telah diberitahukan
kepada Menteri.
i. Berakhirnya status badan hukum perseroan.
j. Neraca dan laporan laba rugi dari tahun buku yang bersangkutan bagi
perseroan yang wajib di audit.

Dari data-data yang harus dicantumkan dalam daftar perseroan boleh


dikatakan merupakan aspek yang berisi informasi untuk mengetahui secara
objektif keadaan perseroan secara keseluruhan.

3) Tanggal Pemasukan Data Perseroan Dalam Daftar Perseroan

Data perseroan yang dimasukkan dalam Daftar sebagaimana dijelaskan


di atas, dimasukkan pada tanggal “yang bersamaan”dengan tanggal:

a. Keputusan menteri mengenai pengesahan perseroan menjadi badan


hukum, atau tanggal persetujuan menteri atas perubahan anggaran
dasar yang memerlukan persetujuan.
b. Penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar yang tidak
memerlukan persetujuan; atau
c. Penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar perseroan yang
bukan merupakan perubahan anggaran dasar.

Yang dimaksud dengan “perubahan data perseroan” menurut


penjelasan Pasal 29 ayat (4) huruf (c) adalah antara lain data tentang
“pemindahan hak” atas saham, penggantian nama anggota direksi dan dewan
komisaris, pembubaran perseroan.
Demikian pokok-pokok uraian yang berkenaan dengan ruang lingkup
daftar perseroan sedang ketentuan lebih lanjut mengenai daftar perseroan
menurut pasal 29 ayat (6) diatur lebih lanjut dengan PERMEN.47

47
Berikut adalah referensi tambahan yang disampaikan oleh Yahya Harahap, yang secara tidak
langsung berkaitan dengan telaah analisis kajian ini, yaitu tentang Pengumuman Perseroan.
Mengenai pengumuman perseroan diatur pada Bab II, Bagian ketiga, Paragraf 2 yang terdiri atas

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 66


Pasal 30 UU PT. Yang penting untuk dicatat mengenai pengumuman perseroan sesuai dengan
ketentuan Pasal 30 tersebut adalah sebagai berikut:

Yang Wajib Melakukan Pengumuman Menteri


Sama halnya dengan penyelenggaraan daftar perseroan, pengumuman pun dibebankan Pasal 30
ayat (1) kepada Menteri.

Pengumuman Dalam tambahan Berita Negara Republik Indonesia (TBNRI)


Agar pengumuman perseroan sah menurut hukum, harus dicantumkan secara khusus dalam TBNRI.
Tidak sah dalam surat kabar, karena tidak sesuai dengan medium yang ditentukan oleh undang-
undang.

Materi yang diumumkan dalam TBN


Materi yang diumumkan dalam TBN terdiri atas:

a. Akta pendirian perseroan beserta keputusan menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(4)
b. Akta perubahan anggaran dasar perseroan beserta keputusan menteri sebagaimana dimaksud
dalam pasal 21 ayat (1);
c. Akta perubahan anggaran dasar yang telah diterima pemberitahuannya oleh Menteri.

Jangka Waktu Melakukan Pengumuman


Tentang kapan waktu pengumuman harus dilakukan Menteri dalam TBN digariskan pada Pasal 30
ayat (2) UU PT:

- Dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal diterbitkan keputusan
menteri mengenai “pengesahan” perseroan menjadi badan hukum.
- Dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal diterbitkan keputusan
menteri mengenai “persetujuan” perubahan anggaran dasar yang memerlukan persetujuan
menteri;
- Dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal diterima perubahan
anggaran dasar yang tidak memerlukan persetujuan.

Selanjutnya pasal 30 ayat (3) mengatakan, mengenai tata cara pengumuman, dilaksanakan menteri
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sehubungan dengan pengumuman ini,
terkandung dua permasalahan hukum yang perlu mendapat perhatian.

Pertama: pengumuman dari segi hukum, merupakan asas publisitas (publiciteit, publicity) kepada
masyarakat atau pihak ketiga. Keabsahannya kepada pihak ketiga sebagai perseroan boleh
dikatakan, digantungkan pada pengumumannya dalam TBN. Oleh karena itu, meskipun Perseroan
telah mendapat pengesahan dari Menteri sebagai badan hukum atau perubahan anggaran dasar
telah mendapat persetujuan menteri maupun telah disampaikan pemberitahuannya, maka selama
hal itu belum diumumkan dalam TBN, belum sah mengikat pihak ketiga.

Kedua; kelalaian (negligence) menteri mengumumkan pengesahan perseroan sebagai badan hukum,
atau kelalaian mengumumkan persetujuan atau pemberitahuan perubahan anggaran dasar dari
tenggang waktu yang ditentukan Pasal 30 ayat (2) UU PT, dapat dikategorikan sebagai perbuatan
melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata. Bentuk perbuatan melawan hukum yang
terjadi dalam kasus yang demikian, bisa dikualifikasi melanggar kewajiban hukum yang dipikulkan
kepadanya (breach of duty of care) atau penyalahgunaan wewenang (abuse of authority) yang
merugikan perseroan yang bersangkutan. Sehubungan dengan itu, apabila menteri lalai
mengumumkan pengesahan, persetujuan atau pemberitahuan perubahan anggaran dasar dalam
TBN. Menteri bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul dari kelalaian itu.

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 67


b. Menurut Pendapat Rudhi Prasetya

1) Pendaftaran dan Pengumuman


Menurut Pasal 38 KUHD akta pendirian yang memuat anggaran dasar
yang sudah memperoleh pengesahan Menteri Kehakiman, harus didaftar di
Panitera Pengadilan Negeri di tempat di mana dalam anggaran dasar ditentukan
tempat kedudukan PT. lebih lanjut diumumkan melalui Berita Negara.yang telah
disahkan oleh Menteri, demikian pula dalam hal terjadi perubahan anggaran
dasar, harus didaftarkan dalam “Daftar Perusahaan”, kemudian diumumkan
dalam Tambahan Berita Negara.
Menjadi pertanyaan apa perlunya akta pendirian yang memuat
anggaran dasar atau perubahannya itu tersebut perlu didaftarkan di Pengadilan
Negeri (versi KUHD), Daftar Perusahaan (versi UU 1995), atau Daftar
Perseroan (versi UU 2007), dan kemudian diumumkan dalam Tambahan Berita
Negara? Adapun arti dari pendaftaran pada Panitera Pengadilan Negeri,
Pendaftaran Perusahaan, atau Daftar Perseroan serta dimuatnya dalam
Tambahan Berita Negara itu, merupakan bentuk pengumuman (publikasi)
kepada khalayak.

Di bawah suasana KUHD, biasanya pada waktu pendaftaran dilakukan


di Pengadilan Negeri harus disertai dengan seperangkat tindasan akta pendirian
yang memuat anggaran dasar yang telah disahkan oleh Menteri Kehakiman.
Perangkat tindasan akta ini harus selalu tersimpan dalam arsip Kepaniteraan
Pengadilan sebagai bagian kesatuan dengan pendaftaran itu,. Maksudnya agar
setiap orang dapat melihat anggaran dasar itu dan mengetahui bagaimana
ketentuan yang berlaku terhadap PT yang bersangkutan. Karena itu
sebenarnya, bahkan setiap orang berhak meminta kepada Panitera Pengadilan
untuk dibuatkan turunannya yang resmi dan akta tersimpan tersebut. Perlu saya
kemukakan tentang hal ini, karena berdasarkan pengalaman yang dialaminya
bahwa panitera tidak mengerti tentang hal tersebut dan beranggapan seakan-
akan dalam simpanan pengadilan itu semata-mata untuk kepentingan para
pihak intern perseroan. Demikian pula maksud dari UU 1995 yang
memerintahkan untuk didaftar
pada Kantor Pendaftaran Perusahaan yang diselenggarakan oleh

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 68


Kementerian Perdagangan dan Industri.
Hanya saja ada perbedaan “tempat pendaftaran” itu menurut KUHD, UU
Nomor 1 Tahun 1995, dan UU PT. Jika dalam KUHD tempat pendaftarannya di
Panitera Pengadilan Negeri, maka di bawah UU Nomor 1 Tahun 1995 tempat
pendaftarannya di Kantor Pendaftaran Perusahaan Kementerian Perdagangan
dan Industri. Kedua penyelenggaraan pendaftaran itu harus dilakukan oleh
Direksi. Sementara itu UU PT menentukan tempat pendaftaran itu Kementerian
Hukum dan HAM sendiri di bawah Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH)
dan yang wajib melakukan pendaftaran itu tidak lagi oleh Direksi melainkan
otomatis oleh Menteri Hukum dan HAM.
Demikian pula maksud diumumkannya dalam Tambahan Berita Negara
tersebut adalah bentuk dari permakluman kepada publik agar dapat diketahui
oleh publik, hanya saja dengan satu perbedaan yang tajam di bawah UU PT.
Jika di bawah KUHD dan UU Nomor 1 Tahun 1995, yang wajib mengumumkan
dalam Tambahan Berita Negara itu adalah pihak Direksi dari perseroan,
sebaliknya dalam UU PT yang wajib mengumumkan itu bukan lagi Direksi
melainkan wajib dilakukan oleh Menteri (vide Pasal 30 UU PT).
Maksudnya adalah agar masyarakat, khususnya pihak ketiga dapat
mengetahui ketentuan-ketentuan anggaran dasar PT. hal ini erat hubungannya
dengan ajaran ultra vires yang berlaku di Indonesia, apabila pengurus dalam
menunaikan tugasnya itu bertentangan dengan ketentuan dalam anggaran
dasar, maka menjadi tanggung jawab pribadi pengurus. Dalam hal demikian,
maka pihak ketiga bisa menjadi dirugikan, yaitu pihak ketiga menjadi tidak dapat
menagih kepada harta kekayaan perseroan melainkan hanya kepada pribadi
pengurus. Belum tentu pengurus itu pemegang saham. Karena itu penting sekali
bagi pihak ketiga untuk mengetahui anggaran dasar perseroan, agar dapat
mengetahui apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh
pengurus menurut anggaran dasar perseroan dalam hubungan dengan itulah
penting sekali diumumkannya anggaran dasar PT.

2) Wajib Daftar Perusahaan

Sebenarnya jauh sebelum berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1995 telah


ada UU WDP. Sebenarnya apa yang diatur oleh UU WDP itu sama sekali tidak
ada hubungannya dengan hukum perseroan. Adanya UU WDP jauh sebelum

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 69


adanya UU Nomor 1 Tahun 1995.
Menurut Pasal 5 UU WDP, setiap perusahaan mendaftarkan diri dalam
Daftar Perusahaan (yang diselenggarakan oleh Kementrian Perdagangan dan
Perindustrian), termasuk pula untuk Firma, CV, atau bentuk badan usaha
lainnya. Menurut Pasal 6 UU WDP, diperkecualikan untuk Perjan dan
Perusahaan Kecil Perorangan yang dijalankan secara pribadi pengusaha sendiri
atau dengan memperkerjakan hanya anggota sendiri yang terdekat serta tidak
memerlukan izin usaha dan tisdak merupakan suatu badan hukum atau suatu
persekutuan.
Menurut Bab III UU WDP, diancam dengan pidana penjara selama-
lamanya 3 (tiga) bulan atau pidana denda setinggi-tingginya Rp.3.000.000,- (tiga
juta rupiah) bagi setiap perusahaan yang lalai memenuhi pendaftaran ini.
Menjadi pertanyaan apa tujuan dan sasaran UU WDP tersebut? Dalam
Pasal 2 undang-undang yang bersangkutan dinyatakan bahwa tujuan dari
Perndaftaran Perusahaan ini adalah untuk mencatat bahan-bahan
keterangan yang diperbuat secara benar dari suatu perusahaan dan
merupakan sumber informasi resmi untuk semua pihak yang
berkepentingan mengenai identitas, data, serta keterangan lainnya tetang
perusahaan yang tercantum dalam Daftar Perusahaan dalam rangka
menjamin kepastian usaha. Jadi, objek dari undang-undang ini lebih
bersifat keperluan administratif Pemerintahan agar terdapat cukup data
tersedia sebagai bahan dalam Pemerintah mengambil kebijakan-kebijakan.
Sebelum berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1995, yang berlaku adalah
KUHD. Menurut KUHD, pendaftaran perseroan sebagai pengumuman kepada
khalayak itu dilangsungkan melalui pendaftaran pada Kepaniteraan Pengadilan
Negeri (vide urain No. 84). Pada waktu menyusun rancangan UU 1995, terpetik
pemikiran dari perancang UU Nomor 1 Tahun 1995, demi efisiensi menganggap
tidak sekaligus dimanfaatkan wadah yang telah tersedia, yaitu lembaga
Pendaftaran Perusahaan yang berdasarkan UU WDP tersebut sekaligus
dimanfaatkan untuk Pendaftaran Perseroan sebagai wadah pula untuk
pemakluman pendirian PT. berdasarkan pemikirian inilah, maka ditentukan
dalam Pasal 21 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1995 bahwa Pendaftaran
Perseroan untuk pengumuman kepada khalayak itu harus dilangsungkan pada
Daftar Perusahaan, dengan penjelasan dalam pasal ini bahwa yang dimaksud
dengan Pendaftaran Perusahaan tersebut adalah Daftar Perusahaan

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 70


sebagaiman dimaksud dalam UU WDP.
Kemudian terdapat pemikiran lain di antara perancang UU PT.
Tampaknya dirasakan lebih efisien agar Pendaftaran Perseroan itu dilakukan
tersendiri di bawah Kementerian Hukum dan HAM sendiri, terlepas dan tidak
lagi digabungkan dengan Pendaftaran Perusahaan sebagaimana dimaksud oleh
UU WDP. Dalam hubungan dengan itulah, maka dalam UU PT dinyatakan
pengumuman tersebut harus dilakukan melalui Daftar Perseroan yang
diselenggarakan oleh Menteri Hukum dan HAM.
Dalam hubungan dengan apa yang terurai di atas, perlu diingatkan
demikian kita harus bisa membeda-bedakan dan memilah-milah apa yang
dimaskud dengan “Pendaftaran Perseroan” dan “Pendaftaran Perusahaan”.
“Pendaftaran Perseroan” merupakan pengertian di bawah UU PT sedang
”Pendaftaran Perusahaan” merupakan pengertian di bawah UU WDP.
Bagaimana Manakala Pendaftaran Perseroan Tidak Dipatuhi Terlebih dahulu
patut kita pertanyakan siapa yang berkewajiban melakukan Pendaftaran
Perseroan tersebut?
Dalam sistem UU Nomor 1 Tahun 1995, sebagaimana tercermin dari
Pasal 23 UU Nomor 1 Tahun 1995, yang berkewajiban melangsungkan
pendaftaran itu adalah Direksi dengan ancaman manakala Direksi lalai, maka
Direksi bertanggung jawab renteng atas segala perbuatan yang dilakukan oleh
perseroan. Tetapi sama sekali lain menurut sistem UU PT. Sebagaimana
menurut Pasal 29 UU PT, yang menyelanggrakan dan memelihara pendaftaran
pada Daftar Perseroan itu adalah Menteri. Demikian bukan lagi tanggung jawab
Direksi, karena ketentuan-ketentuan mengenai tanggung jawab Direksi dalam
Pendaftaran Perseroan, sudah dihapus tidak lagi diatur dalam UU PT.

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 71


4.1.5. Keberlakukan UU WDP setelah otonomi daerah

UU WDP sebagai suatu ketentuan perundang-undangan di Indonesia tetap


berlaku meskipun pada saat ini Negara Kesatuan Republik Indonesia telah
memasuki era otonomi daerah. Selama tidak ada ketentuan peraturan setingkat
perundang-undangan yang mengubah ataupun mencabut suatu undang-undang,
maka undang-undang tersebut sah dan mengikat secara hukum. Salah satu latar
belakang utama dari penurunan yang sangat drastis terhadap pendaftaran
perusahaan adalah dikarenakan dua hal utama, yakni:

a. Dinamika alur koordinasi kerja antara pusat dengan daerah yang kurang
maksimal, yang merupakan bagian dari konsekuensi otonomi daerah;
b. Penafsiran terhadap pendaftaran perusahaan berdasarkan UU PT yang
tendensinya adalah mengesampingkan penundukan perusahaan berbentuk
perseroan terbatas kepada UU WDP.

Terhadap kendala pertama lebih bersifat terhadap kendala teknis alur


koordinasi antara pusat dengan daerah. Kendala ini timbul salah satunya
dikarenakan adanya pola-pola administrasi pendaftaran perusahaan yang tidak
sepenuhnya menggunakan pedoman yang bersifat seragam. Meskipun sebelumnya
Kementerian Perdagangan telah memiliki suatu sistem yang dinilai cukup untuk
menyerap permasalahan yang bersifat teknis. Pada bagian telaah normatif ini tidak
akan disinggung lebih jauh tentang aspek teknis dimaksud.
UU PT sebagai isu pokok dalam kajian ini dikarenakan hingga saat ini
bentuk perusahaan yang memiliki pola administrasi yang sangat baik adalah
perusahaan berbentuk perseroan terbatas. Selain daripada itu bentuk perseroan
terbatas merupakan salah satu wadah yang lebih banyak diminati oleh mayoritas
kalangan pengusaha. Berbeda dengan bentuk-bentuk perusahaan lain yang dikenal
dalam UU WDP. Kembali kepada teknis pendaftaran perusahaan, maka dapat
disampaikan bahwa perusahaan selain perseroan terbatas, lazimnya tidak memiliki
suatu kerangka acuan pendaftaran perusahaan selain daripada yang ditentukan
dalam UU WDP. Sedangkan, terhadap bentuk-bentuk perusahaan yang sederhana
yang juga ditentukan untuk tunduk kepada UU WDP terkendala pula dengan
ketidakpahaman dari masing-masing individu pengusaha akan adanya suatu aturan
perundang-undangan yang harus dipenuhi olehnya. Secara sederhana dapat
dijadikan sebagai pembanding, yang menurut hemat kami relevan, yaitu usaha

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 72


perorangan belum tentu memiliki NPWP. Padahal itu merupakan kewajiban yang
harus dipenuhinya. Jika dibandingkan dengan sosialisasi kewajiban memiliki NPWP
bagi pengusaha dengan kewajiban daftar perusahaan berdasarkan UU WDP jelas
sangat berbeda. Namun demikian tetapi tingkat ketaatan hukum masyarakat dan
pemahamannya menjadikan aktualisasi dari peraturan tersebut tidak terlaksana
secara maksimal.
Menunjuk dan berdasarkan pada keterangan yang disampaikan oleh Rudhi
Prasetya, dimana beliau adalah salah seorang guru besar di Universitas Airlangga,
khususnya untuk bidang hukum perusahaan, tegas menyatakan bahwa tujuan dari
Pendaftaran Perusahaan ini adalah untuk mencatat bahan-bahan keterangan yang
diperbuat secara benar dari suatu perusahaan dan merupakan sumber informasi
resmi untuk semua pihak yang berkepentingan mengenai identitas, data, serta
keterangan lainnya tetang perusahaan yang tercantum dalam Daftar Perusahaan
dalam rangka menjamin kepastian usaha. Jadi, objek dari undang-undang ini lebih
bersifat keperluan administratif Pemerintahan agar terdapat cukup data tersedia
sebagai bahan dalam Pemerintah mengambil kebijakan-kebijakan.
Melalui pendapat beliau tampak jelas upaya untuk mereposisi pemahaman
terhadap perbedaan tujuan dari pendaftaran perusahaan dan pendaftaran
perseroan. Tujuan dari pendaftaran perusahaan adalah tidak semata-mata untuk
wacana publisitas tetapi juga untuk mengetahui hal-hal yang bersifat spesifik terkait
dengan macam dan jenis usaha yang ada di Indonesia. Hal ini sama sekali berbeda
dengan tujuan dari pendaftaran perseroan yang hanya terbatas untuk pemenuhan
asas publisitas.
UU WDP ada sebagai instrumen untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
pada sektor rill dunia usaha, misalnya terhadap pertanyaan antara lain: (a) ada
berapa banyak perusahaan yang bergerak disektor budidaya tiram di wilayah
kepulauan Maluku dan Papua; (b) bagaimana kapasitas produksi perusahaan
otomotif di Indonesia per tahunnya; (c) berapa banyak perusahaan yang melakukan
kegiatan distribusi gula di seluruh Indonesia; (d) dan lain sebagainya. Pertanyaan-
pertanyaan tersebut tidaklah mungkin untuk diklarifikasikan kepada Kementerian
Hukum dan HAM. Terlebih lagi tujuan dari inventarisir pertanyaan tersebut adalah
untuk memberikan wawasan terhadap kinerja pertumbuhan ekonomi riil di
Indonesia, maupun dalam rangka untuk melakukan eksplorasi peluang usaha pada
tingkat domestik maupun peluang kerjasama dengan pihak investor asing yang
akan menanamkan modalnya di sektor-sektor usaha yang menarik minatnya.

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 73


Ketidakadaan data tersebut akan menimbulkan permasalahan dalam mengawal
pergerakan roda perekonomian nasional. Bahkan, idealnya dengan menggunakan
pola pendaftaran perusahaan ini dapat diidentifikasi awal terhadap bentuk-bentuk
usaha yang termasuk dalam lingkup kartel, monopoli dan jenis-jenis persaingan
usaha tidak sehat lainnya.
Undang-undang sebagai perangkat dari hukum administrasi negara adalah
perangkat hukum positif yang harus dipatuhi dan dilaksanakan. Apabila menelaah
dari keberadaan UU WDP, maka diwajibkan kepada seluruh perusahaan yang
termasuk didalamnya ketentuan UU WDP untuk tunduk dan taat pada isi peraturan
perundang-undangan tersebut. Tanpa terkecuali terhadap perusahaan berbentuk
perseroan terbatas. Artinya adalah UU WDP tidak hanya semata-mata untuk tujuan
publisitas belaka, melainkan ada tujuan dan maksud yang lebih luas lagi terhadap
pembangunan perekonomian negara. Oleh karenanya anggapan bahwa terhadap
perseroan terbatas hanya diharuskan untuk taat pada ketentuan Pasal 29 UU PT,
maka terhadap pemahaman tersebut perlu untuk ditata ulang. Penataan ulang
terhadap pemahaman tersebut juga sebenarnya kembali untuk kepentingan
perseroan terbatas. Selain daripada itu pemikiran terlalu banyak birokrasi yang
harus dipenuhi oleh perusahaan berbentuk perseroan terbatas juga perlu dikikis
dengan dasar pemikiran bahwa suatu kebijakan perundang-undangan haruslah
dipenuhi dan ditaati apabila para pengusaha ingin melakukan kegiatan usaha di
Indonesia. Karena undang-undang berupaya untuk menciptakan suatu iklim
ketertiban dan keteraturan usaha serta berupaya untuk lebih meningkatkan
perekonomian bangsa. Apabila suatu perseroan terbatas melanggar ketentuan
undang-undang, maka hal terhadapnya dapat dikategorikan telah melakukan
pelanggaran terhadap doktrin ultra vires.
Pelaksanaan pendaftaran perusahaan yang diberikan wewenangnya kepada
KPP Kabupaten/Kota/Kotamadya atau Kantor Dinas/Suku Dinas sekaligus juga
sebagai salah satu bagian dari pembagian urusan pemerintahan di bidang
perdagangan kepada pemerintah daerah provinsi yang selanjutnya mendelegasikan
kembali urusan tersebut kepada pemerintah daerah kabupaten/kota, sebagaimana
diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,
dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Dalam Lampiran DD PP No. 38 tahun
2007, disebutkan sebagai berikut:

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 74


a. Pemerintah Pusat memiliki tugas untuk Penetapan pedoman, pembinaan
Sumber Daya Manusia (SDM), koordinasi, pengendalian, pengawasan
penyelenggaraan dan penyajian informasi wajib daftar perusahaan skala
nasional.
b. Pemerintah Daerah Provinsi memiliki tugas untuk melakukan Koordinasi,
pengendalian, pengawasan, pelaporan dan penyajian informasi hasil
penyelenggaraan wajib daftar perusahaan skala provinsi.
c. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota memiliki tugas untuk melakukan
Pengawasan, pelaporan pelaksanaan dan penyelenggaraan serta
penyajian informasi pelaksanaan wajib daftar perusahaan skala
kabupaten/kota.

Selanjutnya mengenai kewajiban pelaporan disebutkan dalam Peraturan Menteri


Perdagangan Nomor 37/M-DAG/PER/9/2007 Tentang Penyelenggaraan
Pendaftaran Perusahaan Pasal 8, bahwa:

a. Laporan penyelenggaraan pendaftaran perusahaan Tingkat Pusat


disampaikan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal per tahun. Tingkat
Provinsi disampaikan kepada Gubernur dengan tembusan kepada KPP
Pusat per semester, dan Tingkat Kabupaten/Kota/Kotamadya
menyampaikan laporan penyelenggaraan dan pelaksanaan pendaftaran
perusahaan kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada KPP Provinsi
dan KPP Pusat per bulan.
b. Penyelenggara pendaftaran perusahaan Tingkat
Kabupaten/Kota/Kotamadya harus menyampaikan laporan penyelenggaraan
dan pelaksanaan wajib daftar perusahaan kepada KPP Provinsi dan KPP
Pusat berupa:

1) Laporan penyelenggaraan pendaftaran perusahaan; dan


2) Tembusan pengesahan formulir.

c. Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat


dilakukan secara manual atau elektronik.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa setiap perusahaan

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 75


(kecuali yang berbentuk Perjan dan perusahaan perseorangan) wajib didaftarkan
dalam daftar perusahaan. Pendaftaran tersebut dilakukan di KPP
Kotamadya/Kabupaten/Kota atau Kantor Dinas/Suku Dinas yang berwenang di
bidang perdagangan. Selanjutnya setiap penyelenggara pendaftaran perusahaan
tingkat kabupaten/kota/kotamadya harus menyampaikan laporan penyelenggaraan
dan pelaksanaan wajib daftar perusahaan berbentuk laporan penyelenggaraan
pendaftaran perusahaan dan tembusan pengesahan formulir kepada KPP Provinsi
dan KPP Pusat. Pelaporan tersebut merupakan amanat yang disampaikan dalam
Peraturan Menteri Perdagangan.
Peraturan Menteri sebagaimana disebutkan dalam Pasal 8 ayat (2) UU No.
12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan diakui
keberadaannnya dan mempunyai hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan
kewenangan. Artinya kewajiban pelaporan tersebut sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri Perdagangan bersifat diakui keberadaannya dan mempunyai
kekuatan hukum mengikat, karena merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari UU
WDP, dan kewajiban pelaporan tersebut harus dilaksanakan oleh KPP
kabupaten/kota/kotamadya dengan tembusan kepada KPP Provinsi dan KPP Pusat,
meskipun tidak ada sanksi yang diberikan atas kelalaian pelaporan tersebut.
Kewajiban daerah untuk mentaati semua peraturan perundang-undangan
tentang wajib daftar perusahaan yang telah dibuat ditingkat pusat (tingkat yang lebih
tinggi) adalah sesuatu yang harus selalu dijadikan pedoman dalam tata laksana
peraturan perundang-undangan di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam
Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan disebutkan, bahwa jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan
terdiri atas:

a. UUD 1945
b. Ketetapan MPR
c. UU / Perpu
d. Peraturan Pemerintah
e. Peraturan Presiden
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 76


Penjelasan Pasal 7 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 menyebutkan, bahwa
yang dimaksud dengan hierarki dalam ketentuan ini adalah penjenjangan setiap
jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Selain yang telah disebutkan di atas, dalam
Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan disebutkan, bahwa peraturan Menteri merupakan salah satu
jenis peraturan selain yang telah ditetapkan dalam hierarki peraturan perundang-
undangan.48
Selanjutnya dalam Pasal 8 ayat (2) disebutkan, bahwa peraturan perundang-
undangan sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (1) diakui keberadaannya dan
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Dan yang dimaksud dengan berdasarkan kewenangan adalah penyelenggaraan
urusan tertentu pemerintahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Sekalipun peraturan Menteri tidak tercantum dalam hierarki peraturan
perundang-undangan sepanjang apa yang dimuat dalam peraturan Menteri tersebut
merupakan pelaksanaan apa yang diamanatkan oleh UU, maka peraturan menteri
tersebut diakui keberadaannya dan mempunyai sifat mengikat. Dalam UU WDP
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Menteri adalah Menteri yang
bertanggung jawab dalam bidang perdagangan. Dalam pelaksanaan wajib daftar
perusahaan, adanya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 37/M-
DAG/PER/9/2007 Tentang Penyelenggaran Pendaftaran Perusahaan merupakan
pelaksanaan apa yang dimuat dalam UU No. 3/1982 Tentang Wajib Daftar
Perusahaan. Hal tersebut misalnya dapat dilihat pada pasal-pasal yang dimuat
dalam UU WDP, sebagai berikut:

a. Pasal 9 ayat (1) : Pendaftaran dilakukan dengan cara mengisi formulir


pendaftaran yang ditetapkan oleh menteri pada kantor

48
Jenis Peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa
Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, menteri, badan, lembaga atau komisi yang setingkat yang
dibentuk dengan Undang-Undang atau atas perintang Undang-Undang, DPRD Provinsi, Gubernur,
DPRD Kabupaten, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 77


tempat pendaftaran perusahaan.
b. Pasal 17 : Hal-hal lain yang wajib didaftarkan sepanjang belum
diatur dalam Pasal-pasal 11, 12, 13, 14, 15, dan 16
Undang-Undang ini diatur lebih lanjut oleh Menteri. 49
c. Pasal 18 : Menteri bertanggungjawab dalam penyelenggaraan
Daftar Perusahaan.
d. Pasal 19 : Menteri menetapkan tempat-tempat kedudukan dan
susunan kantor-kantor pendaftaran perusahaan serta
tata cara penyelenggaraan Daftar Perusahaan.
e. Pasal 24 : Ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai hal-hal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal-pasal 20, 21, dan
22 Undang-Undang ini ditetapkan oleh Menteri. 50
f. Pasal 31 : Besarnya biaya administrasi untuk memperoleh
salinan atau petikan resmi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 Undang-Undang ini ditetapkan oleh
Menteri.
g. Pasal 38 : Hal-hal yang belum atau belum cukup diatur dalam
Undang-Undang ini diatur lebih lanjut oleh Menteri.

Dengan demikian karena Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 37/M-


DAG/PER/9/2007 Tentang Penyelenggaran Pendaftaran Perusahaan merupakan
pelaksanaan dari UU WDP, maka peraturan Menteri perdagangan tersebut diakui
keberadaannya dan bersifat mengikat.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya.
Dan dalam pelaksanaan UU WDP, peraturan daerah harus melaksanakan dan
menjadi perpajangan tangan dari apa yang telah ditetapkan dalam UU WDP dan
peraturan pelaksanaan lainnya, termasuk Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
37/M-DAG/PER/9/2007 Tentang Penyelenggaran Pendaftaran Perusahaan.

49
Pasal 11, 12, 13, 14, 15 dan 16 UU WDP mengatur mengenai hal-hal yang wajib didaftarkan. Pasal
11 bila berbentuk Perseroan Terbatas. Pasal 12 apabila berbentuk koperasi. Pasal 13 apabila
berbentuk persekutuan komanditer. Pasal 14 apabila berbentuk persekutuan firma. Pasal 15 Apabila
perusahaan berbentuk perorangan. Pasal 16 Apabila perusahaan berbentuk usaha lainnya di luar
dari pada sebagaimana dimaksud dalam Pasal-pasal 11, 12,13, 14 dan 15.
50
Pasal 20 UU WDP menyebutkan, bahwa Dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima
formulir pendaftaran yang telah diisi, pejabat yang berwenang dari kantor pendaftaran perusahaan
menetapkan pengesahan atau penolakan.

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 78


Pemerintah Daerah harus membuat kebijakan yang tidak bertentangan dengan UU
WDP dan peraturan Menteri perdagangan dimaksud. Selain itu pemerintah daerah
propinsi dan kota juga wajib melakukan pelaporan terhadap pelaksaanaan kegiatan
pendaftaran dengan melampirkan tembusan pengesahan formulir pendaftaran
perusahaan, sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan
Nomor 37/M-DAG/PER/9/2007 Tentang Penyelenggaran Pendaftaran Perusahaan.

4.2. Efektifitas Implementasi UU WDP di Era Otonomi Daerah

4.2.1. Identifikasi Masalah

a. Masalah umum
Salah satu tujuan dari wajib daftar perusahaan sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang Wajib Daftar Perusahaan Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 1982 Tentang Wajib Daftar Perusahaan (WDP)
adalah mencatat semua informasi perusahaan secara benar sehingga dapat
dijadikan informasi resmi semua pihak yang berkepentingan. Dalam
implementasinya ternyata banyak mengalami hambatan, hal ini teridentifikasi
dari jumlah perusahaan yang mendaftarkan mengalami penurunan. Tahun
2006 tercatat jumlah perusahaan yang mendaftarkan perusahaannya terkait
WDP tercatat 104.380 perusahaan dan tahun 2012 hanya 898 perusahaan.
Banyak faktor yang menyebabkan kepatuhan perusahaan untuk
mendaftarkan perusahaannya. Berdasarkan diskusi dengan berbagai
stakeholder dan studi literatur, permasalahan terkait tanda daftar
perusahaan dapat dilihat pada Sub Bab identifikasi dan perumusan masalah.

b. Persepsi Pelaku Usaha Terkait Wajib Daftar Perusahaaan


Berdasarkan hasil wawancara dengan menggunakan kuesioner yang
dilakukan di daerah survey terhadap pelaku usaha (38 pelaku usaha wajib
TDP dan 22 pelaku usaha yang tidak wajib) terkait UU WDP diperoleh profil
seperti terlihat pada gambar 4.2, 4.3 dan 4.4.

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 79


Gambar 4.2.
Pengetahuan Pelaku Usaha Terkait Wajib Daftar Perusahaan

Mengetahui adanya WDP


5% 3%

ya
tidak
tidak menjawab
92%

Sumber : Data Primer (2013) diolah


Dari hasil wawancara terkait pengetahuan pelaku usaha tentang
adanya ketentuan pendaftaran perusahaan sebanyak 55 responden atau
92% menjawab mengetahui adanya ketentuan pendaftaran perusahaan,
sebanyak 3 responden atau 5% menjawab tidak mengetahui dan sebanyak
2 responden atau 3% tidak menjawab. berdasarkan informasi dari gambar
3.1 maka dapat dikatakan bahwa pelaku usaha sebagian besar telah
mengetahui ketentuan pendaftaran perusahaan.

Gambar 4.3.
Pelaku usaha yang telah melakukan tanda daftar perusahaan
(kelompok persekutuan perdata, firma, CV, PT, Koperasi dan Yayasan)

Kelompok persekutuan perdata , firma, CV, PT, Koperasi


dan Yayasan yang melakukan Tanda Daftar Perusahaan

8%

ya
tidak

92%

Sumber : Data Primer (2013) diolah

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 80


Berdasarkan dari gambr 4.3, dari 38 Pelaku usaha yang wajib melakukan
TDP terdapat 92% atau 35 responden yang telah melakukan TDP namun
masih terdapat 8% atau 3 responden yang belum melakukan TDP

Gambar 4.4.
Pelaku usaha yang telah melakukan tanda daftar perusahaan
(perusahaan perseorangan)

Kelompok perusahaan perseorangan yang melakukan


Tanda Daftar Perusahaan

27%
ya
tidak
73%

Sumber : Data Primer (2013) diolah

Berdasarkan gambar 4.4 dari 22 Pelaku usaha yang tidak wajib melakukan
TDP terdapat 27% atau 6 responden yang telah melakukan TDP dan
terdapat 73% atau 16 responden yang tidak melakukan TDP

c. Identifikasi masalah di daerah penelitian


Penggalian identifikasi masalah terkait dengan semakin rendahnya
kesadaran pelaku usaha untuk mendaftarkan perusahaannya, selain dengan
cara survey juga dengan melakukan diskusi mendalam dengan stakeholder
(kantor perijinan, Dinas Perindag, BKPMD, Notaris) di daerah, diskusi
ditingkat pusat dengan berbagai lembaga (kantor perijinan, Dinas Perindag
Prop. DKI Jakarta, BKPM, Notaris, Direktorat Bina Usaha Perdagangan,
Pusat Data dan Informasi BPPKP).
Masalah-masalah yang tergali dari hasil diskusi tersebut adalah
sebagai berikut :
1) Lemahnya kekuatan hukum Kementerian Perdagangan untuk
meminta data dari daerah.

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 81


2) Surat Keputusan Pembentukan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
(PTSP) tidak mencantumkan Dinas Perdagangan sebagai organisasi
penanggung jawab data WDP.
3) Permendagri Nomor 24 Tahun 2006 mengatur bahwa Bupati/Walikota
mendelegasikan kewenangan penandatanganan perizinan dan non
perizinan kepada Kepala Penyelenggara PTSP. Pendelegasian
tersebut membuat Dinas Perdagangan Provinsi menjadi lebih panjang
jalur koordinasinya.
4) Perusahaan menganggap WDP tidak penting karena perusahaan tidak
mendapatkan manfaat langsung dari melakukan daftar perusahaan
5) Jumlah dan kemampuan SDM untuk menginput data WDP terbatas.
6) Kesadaran tertib administrasi dari pelaku usaha rendah.
7) Formulir pendaftaran perusahaan terlalu rumit.
8) Cabang perusahaan di daerah tidak mendaftarkan perusahaannya
karena menganggap cukup hanya mendaftarkan perusahaan
pusatnya.
9) Identitas Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) di TDP
berbeda dengan identitas Kelompok Lapangan Usaha (KLU) Wajib
Pajak.
10) Format laporan yang dilaporkan ke pusat dan software sistem dari
masing-masing daerah berbeda.
11) Pelaku usaha mendaftarkan perusahaan berkali-kali dengan jenis
usaha yang berbeda.
12) Pada UU PT tidak disampaikan dengan jelas mengenai PT wajib
melakukan pendaftaran.
13) Validasi data perusahaan belum dilakukan.
14) Sistem jaringan komputerisasi dan Program aplikasi WDP yang
dibangun memiliki kekurangan sejak awal dimana tidak terkoneksi
antar level organisasi pengelola WDP
15) Sistem jaringan komputerisasi dan Program aplikasi WDP yang ada
belum mampu mendeteksi pendaftaran perusahaan berulang.
16) Tidak ada insentif kepada lembaga pengelola yang melakukan tertib
administrasi.
17) Adanya penafsiran hukum yang berbeda terhadap peraturan
perundang-undangan terkait pendaftaraan perusahaan.

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 82


18) Sistem jaringan komputerisasi dan Program aplikasi WDP masih
bersifat manual dalam penomoran dan validasi data.
19) KLU yang ada di kementerian perdagangan berbeda dengan
kemenhumham dan BKPM.

d. Rumusan masalah hasil FGD


Dari berbagai permasalahan yang teridentifikasi tersebut di atas,
yang kemudian di verifikasi melalui diskusi dengan stakeholder (diskusi
tahap 1) dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) pokok permasalahan yaitu :
1) Implementasi sistem jaringan komputerisasi dan Program aplikasi
WDP yang disediakan oleh Kementerian Perdagangan saat ini belum
optimal karena :
a) Tidak mampu mengelola nomor penerbitan TDP secara otomatis,

b) Tidak terintegrasi antar level organisasi pengelola data WDP,

c) Tidak memiliki kemampuan untuk memvalidasi keakuratan data


secara otomatis dan

d) Tidak memiliki kemampuan untuk mengintegrasi dengan sistem


yang dibangun oleh PTSP.

2) UU WDP secara hukum telah mengalami distorsi dari peraturan


perundang-undangan lainnya sehingga mengubah pemahaman hukum
terutama tentang kewajiban untuk melakukan WDP khususnya PT.
Dasar hukum mengenai Lembaga/institusi tempat mendaftar dan
tanggung jawab dari lembaga pengelola data WDP (pemerintah pusat,
pemerintah provinsi, pemerintah Kota/kabupaten dan Kantor
Pendaftaran Perusahaan) juga telah mengalami distorsi sehingga tidak
tegas menunjukkan tanggung jawabnya.
3) Kurangnya kemampuan dan jumlah Sumber Daya Manusia pengelola
WDP terutama di bidang pendaftaran, pengelola data base, pengolah
data, penganalisa data dan PPNS-WDP.

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 83


4.2.2. Identifikasi Tujuan kebijakan

Dari hasil diskusi dapat difokuskan bahwa penyebab kurang


optimalnya data TDP selama ini disebabkan oleh jaringan aplikasi, masalah
hukum dan sumber daya manusianya, maka rumusan identifikasi tujuan
adalah :
1) Membangun jaringan komputerisasi dan program aplikasi WDP yang
mampu menghasilkan data valid, akurat dan mudah pengoperasiannya
di semua tingkat organisasi pengelola WDP (pemerintah pusat,
pemerintah provinsi, pemerintah kota/kabupaten, KPP/Dinas/PTSP)
2) Memberi kepastian hukum bahwa UU WDP dapat diimplementasikan
dengan baik dalam era otonomi daerah
3) Membangun sistem pendidikan SDM WDP (petugas pendaftaran,
pengelola data, penganalisa data)
Analisis RIA kali ini hanya memfokuskan pada tahap penyelesaian
permasalahan pertama yaitu implementasi jaringan dan program aplikasi
WDP. Oleh karena itu pada tahapan berikutnya (diskusi tahap 2) hanya
membahas masalah terkait dengan jaringan dan aplikasi saja.

4.2.3. Identifikasi alternatif penyelesaian masalah

Pada tahap ini dilakukan dengan identifikasi terhadap berbagai


alternatif tindakan baik berupa tindakan regulasi maupun non regulasi untuk
mengatasi masalah yang telah dirumuskan sebelumnya. Untuk
mendapatkan alternatif tindakan terpilih, selanjutnya dimasukkan dalam list
atau daftar untuk dilakukan proses screening.

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 84


Tabel 4.1.
Berbagai Alternatif Solusi Tindakan

No Alternatif Solusi Keterangan

Menggunakan jaringan komputerisasi dan


1
program aplikasi WDP yang ada ( do nothing )

Memaksimalkan penggunaan jaringan


2 komputerisasi dan program aplikasi WDP yang Non regulasi
ada ( perbaikan dari yang ada)

Membangun jaringan komputerisasi dan


3 program aplikasi WDP yang baru ( mem-
bangun baru)

4 Tidak melakukan perubahan regulasi

Mengeluarkan Permendag tentang tanggung


5 jawab pengadaan sistem di tingkat provinsi
dan kota/kabupaten Regulasi

Mengeluarkan Permendag tentang tanggung


jawab pengadaan sistem di tingkat provinsi
6
dan kota/kabupaten dengan bantuan dari
pusat
Sumber : hasil analisa RIA

Dari proses screening akan dihasilkan alternatif yang superior atau


dianggap paling tepat. Pertimbangan yang sering digunakan dalam proses
screening adalah :
1) Legalitas : apakah pemerintah berhak secara legal melakukan
tindakan tersebut.
2) Biaya : berapa besarnya biaya yang dikeluarkan untuk melakukan
tindakan tersebut termasuk kerugian yang ditanggung.
3) Dampak terhadap masyarakat : seberapa besar pengaruhnya terhadap
masyarakat.
4) Visibilitas dan kemungkinan mencapai sasaran : seberapa jauh
tindakan tersebut membantu pemerintah mencapai tujuan.
5) Hambatan terhadap persaingan usaha yang sehat : mengukur
seberapa besar menghambat persaingan usaha.

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 85


Dengan menggunakan scoring akan terlihat alternatif terpilih yaitu
yang memiliki nilai total score paling besar.

Tabel 4.2.
Screening Terhadap Alternatif Tindakan

pencapaian
No Alternatif Solusi Legalitas Biaya Dampak Hambatan Total
tujuan

Menggunakan jaringan komputerisasi


1 dan program aplikasi WDP yang ada ( 0 -1 -1 -4 1 -5
do nothing )

Memaksimalkan penggunaan jaringan


komputerisasi dan program aplikasi
2 0 -3 4 0 4 5
WDP yang ada ( perbaikan dari yang
ada)

Membangun jaringan komputerisasi


3 dan program aplikasi WDP yang baru ( 0 -2 3 -1 3 3
membangun baru)

4 Tidak melakukan perubahan regulasi 0 -1 1 -3 1 -2

Mengeluarkan Permendag tentang


5 tanggung jawab pengadaan sistem di -2 -2 2 -2 2 -2
tingkat provinsi dan kota/kabupaten

Mengeluarkan Permendag tentang


tanggung jawab pengadaan sistem di
6 -1 -3 2 -2 2 -2
tingkat provinsi dan kota/kabupaten
dengan bantuan dari pusat

Sumber : hasil analisa RIA

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 86


Dari proses screening, terpilih 2 (dua) alternatif yang dianggap paling
ideal untuk menyelesaikan permasalahan WDP sebagaimana dirumuskan
sebelumnya, yaitu :
1) Memaksimalkan penggunaan jaringan komputerisasi dan program
aplikasi WDP yang ada (perbaikan dari yang ada).
2) Membangun jaringan komputerisasi dan program aplikasi WDP yang
baru (membangun baru).
3) Selanjutnya untuk mengetahui seberapa besar biaya maupun
manfaatnya kedua alternatif terpilih dan pilihan do nothing dilakukan
analisis biaya manfaatnya.

4.2.4. Analisis Manfaat dan Biaya (soft cost-benefit analysis)

Pada analisis biaya manfaat , akan dianalisis 3 (tiga) opsi yaitu do


nothing, memaksimalkan penggunaan jaringan komputerisasi dan program
aplikasi WDP yang ada (perbaikan dari yang ada) dan membangun jaringan
komputerisasi dan program aplikasi WDP yang baru
(membangun baru). Manfaat yang paling besar setelah dibandingkan
dengan biayanya akan menjadi pilihan sebagai alternatif penyelesaian
masalah WDP. Untuk menghitung biaya dan manfaat dilakukan secara
kualitatif dengan memberi scor positip dan negatip saja mengingat data
secara kuantitatif relatif sulit di dapatkan. Kemudian indikator biaya dan
manfaat dari masing-masing alternatif 1, 2 dan 3 menggunakan indikator
yang relatif sama.
a. Menggunakan jaringan komputerisasi dan program aplikasi WDP
yang ada sekarang (alternatif 1)
Dengan menggunakan alternatif 1 (satu) yaitu menggunakan jaringan
komputerisasi dan program aplikasi WDP yang ada (do nothing)
diperoleh beberapa manfaat diantaranya : 1). Data daerah disampaikan
ke Kemendag walaupun belum dilakukan secara rinci (hanya jumlah
perusahaan berdasarkan PT, CV Koperasi dan lainnya). Untuk data
base yang isiannya lebih rinci pada umumnya tidak dikirimkan. 2).
Pelaku usaha maupun pihak yang berkepentingan dapat memanfaatkan
data tersebut walaupun belum maksimal.

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 87


Kemudian biayanya relatif besar yang meliputi : Pembelian sofware,
Pelatihan SDM pengelolan sofware di daerah dan pusat, biaya input di
daerah per tahun, biaya pengolahan di pusat dan biaya tim evaluasi.

Tabel 4.3.
Biaya manfaat menggunakan jaringan komputerisasi dan program aplikasi
WDP yang ada (do nothing)

No Indikator Kondisi Keterangan


A Manfaat
Data TDP dari daerah disampaikan tidak rinci
karena tidak semua daerah mengirim, yang
Data TDP per Kab/Kota
1 + dikirim bukan data base. Banyak daerah yang
tersedia di Pusat
tidak memanfaatkan sistem aplikasi dari pusat
karena sudah memiliki sistem aplikasi sendiri.
Pembinaan/pengambilan Pemerintah tidak memiliki peta lembaga usaha
2 kebijakan Pemerintah 0 secara detail sehingga data TDP jarang
lebih tepat sasaran dimanfaatkan dalam perumusan kebijakan
Pelaku usaha dapat
Pelaku usaha kurang maksimal memanfaatkan
3 memanfaatkan data TDP +
data TDP
sebagai peluang usaha
Data yang dikirim dari daerah tidak tepat waktu
Data tersedia secara karena proses pengirimannya beragam (email
4 0
tepat waktu maupun hardcopy). Di Pusat pengolahannya
relatif terhambat karena menginput ulang.
Total Manfaat 2+
B Biaya
1 Pembelian sofware -3 Harga software x jumlah kab/kota = cukup besar
Pelatihan SDM Biaya dekon TDP (dimasukkan juga biaya input
2 pengelolan Sofware di -3 di daerah) plus lunsum ke daerah dalam rangka
daerah dan Pusat TDP
Biaya input di daerah per
3 -3 Biaya petugas di daerah yang menginput
tahun
Biaya pengolahan di
4 -1 Biaya petugas di pusat yang mengolah data
pusat
5 Biaya tim evaluasi -1 Biaya tim evaluasi di pusat

Total Biaya -11

Sumber : hasil analisa RIA

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 88


b. Memaksimalkan penggunaan jaringan komputerisasi dan program
aplikasi WDP yang ada (perbaikan yang ada) (alternatif 2)
Dengan menggunakan alternatif 2 yaitu memaksimalkan penggunaan
jaringan komputerisasi dan program aplikasi WDP yang ada diperoleh
beberapa manfaat diantaranya : 1). Data daerah disampaikan ke
Kemendag dilakukan secara rinci karena aplikasi WDP di daerah sudah
diperbaiki sehingga mudah dioperasikan. Hal ini akan memotifasi
petugas daerah untuk menginput data base. 2). Pengambilan kebijakan
lebih tepat sasaran karena data yang terkirim lebih rinci dan semua
daerah termonitor. 3). Pelaku usaha dapat memanfaatkan TDP lebih
optimal. Peluang dan pesaing dapat tergambar dari data TDP. 4). Data
selalau tersedia tepat waktu karena perangkat yang ada lebih mudah
dioperasionalkan.
Kemudian biaya relatif lebih besar dibandingkan alternatif 1 (satu)
karena ada penambahan pelatihan SDM di daerah. Untuk biaya lainnya
menyangkut pembelian sofware, biaya input di daerah per tahun, biaya
pengolahan di pusat dan biaya tim evaluasi relatif sama.

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 89


Tabel 4.4.
Biaya manfaat memaksimalkan jaringan komputerisasi dan program
aplikasi WDP yang ada -perbaikan yang ada (Alternatif 2)

No Indikator Kondisi Ket.

A Manfaat

Data TDP per Kab/Kota Data TDP dari daerah disampaikan secara
1 ++
tersedia di pusat rinci
Pemerintah memiliki peta lembaga usaha
Pembinaan/pengambilan
2 +++ sehingga pengambilan kebijakan menjadi
kebijakan lebih tepat sasaran
lebih tepat
Pelaku usaha dapat
memanfaatkan data TDP Pelaku usaha mendapatkan gambaran
3 +++
lebih optimal sebagai peluang pesaing maupun peluang untuk berinvestasi
usaha
Data tersedia secara tepat
4 + Karena SDM di daerah lebih trampil
waktu

Total Manfaat 9+

B Biaya
1 Pembelian sofware -3 Harga software x jumlah kab/kota
(Jumlah Kab/Kota x 2 orang x 5 hari) +
Pelatihan SDM pengelolan
2 -4 (Trnspot= jumlah kota/kab x tiket PP) +
Sofware di daerah dan Pusat
(lunsum)
Biaya input di daerah per
3 -3 Jumlah TDP per daerah x biaya input
tahun
4 Biaya input di pusat -1 Biaya petugas di pusat
5 Biaya tim evaluasi -1 Tim evaluasi di pusat
Total Biaya -12
Sumber : hasil analisa RIA

c. Membangun jaringan komputerisasi dan program aplikasi WDP


yang baru-membangun yang baru (alternatif 3)
Dengan menggunakan alternatif 3 yaitu membangun jaringan
komputerisasi dan program aplikasi WDP yang baru diperoleh
beberapa manfaat manfaat yang hampir sama dengan alternatif 2.
Perbedaannya adalah data yang tersedia selalu yang terbaru karena
sistem jaringannya online. Kemudian biaya relatif lebih besar
dibandingkan alternatif 1 (satu) maupun 2 (dua) karena adanya

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 90


pembelian sofware dan peralatannya, penyambungan online dan
pelatihan SDM.

Tabel 4.5.
Membangun jaringan komputerisasi dan program aplikasi WDP yang baru -
membangun baru (alternatif 3)

No Indikator Kondisi Ket.

A Manfaat
Data TDP dari daerah disampaikan
1 Data TDP per Kab/Kota tersedia ++
secara rinci
Pemerintah memiliki peta lembaga
Pembinaan/pengambilan
2 +++ usaha sehingga pengambilan kebijakan
kebijakan lebih tepat sasaran
menjadi lebih tepat
Pelaku usaha dapat Pelaku usaha mendapatkan gambaran
3 memanfaatkan data TDP +++ pesaing maupun peluang untuk
sebagai peluang usaha berinvestasi

4 Data selalu terbaru +++ Karena online data selalu cepat tersaji

Total Manfaat 11 +

B Biaya
1 Pembelian sofware + Server -5 Harga software x jumlah kab/kota
2 Penyambungan online -3 Harga penyambungan per waktu/th
(Jumlah Kab/Kota x 2 orang x 5 hari) +
Pelatihan SDM pengelolan
2 -4 (Transport= jumlah kota/kab x tiket PP) +
Sofware di daerah dan Pusat
(lunsum)
3 Biaya input di daerah per tahun -3 Jumlah TDP per daerah x biaya input
4 Biaya input di pusat -1 Biaya petugas di pusat
5 Biaya tim evaluasi -1 Biaya tim di pusat

Total Biaya -17

Sumber : hasil analisa RIA

4.2.5. Penentuan Opsi Terbaik

Berdasarkan analisis biaya manfaat, opsi yang dianggap paling tepat dalam
menyelesaikan permasalahan terkait data TDP adalah dengan menggunakan
alternative ke-2 yaitu memaksimalkan penggunaan jaringan komputerisasi dan
program aplikasi WDP yang ada (perbaikan dari yang ada). Dengan menggunakan
alternatif ke-2 keunggulannya dibandingkan opsi lainnya antara lain biayanya relatif

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 91


tidak terlalu besar dibandingkan dengan opsi pertama namun manfaatnya relatif
sama dengan opsi ketiga.

4.2.6. Konsultasi.

Konsultasi dilakukan dengan pihak terkait baik di daerah (Surabaya dan


Semarang) maupun di pusat (Jakarta). Konsultasi dilakukan pada berbagai pihak
terkait antara lain: di tingkat daerah terdiri dari Dinas Perindag, Kantor Perijinan
Satu Pintu, BKPMD dan Notaris khususnya dalam perumusan masalah. Di tingkat
pusat, konsultasi dilakukan pada antara lain Direktorat Bina Usaha Perdagangan,
Pusat Data dan Informasi BPPKP, BKPM, Dinas Perindag DKI Jakarta dikhususkan
dari perumusan masalah sampai tahap strategi implementasi. Diskusi dengan
stakeholder di tingkat pusat dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama dipaparkan
identifikasi masalah terkait dengan TDP di daerah dilanjutkan dengan perumusan
masalah, kemudian mengidentifikasi tujuan kebijakan dan merumuskan tujuan
kebijakan serta mengidentifikasi alternatif penyelesaian masalah dan merumuskan
alternatif penyelesaian masalah. Tahap kedua dipaparkan hasil analisis manfaat
dan biaya, kemudian menentukan opsi (alternatif) terbaik serta merumuskan strategi
implementasi kebijakan.

4.2.7. Perumusan Strategi Implementasi Kebijakan

Implementasi pada alternative ke-2 tersebut dilakukan dengan cara antara lain :
a. Pemerintah pusat mendata kembali daerah-daerah yang mengirimkan dan yang
tidak mengirimkan data TDP terbaru dalam bentuk softcopy maupun hardcopy.
Pendataan tersebut untuk mengatur strategi solusi bagi daerah yang mengirim
dan tidak setelah diidentifikasi penyebabnya.
b. Pelatihan serta pendampingan petugas pengelola WDP di daerah. Dengan
memodifikasi aplikasi WDP yang ada sehingga mempermudah petugas daerah
dalam menginput data, maka diperlukan peltihan bagi petugas di daerah.
c. Melakukan pendekatan kepada para pimpinan daerah dalam mengefektifan
pengelolaan WDP di daerah. Pendekatan kepada pemimpin di daerah sangat
diperlukan karena komitmen pimpinan daerah terhadap pendataan akan
berdampak pada kelancaran program WDP.
d. Melakukan koordinasi dan sosialisasi secara kontinyu dengan pengguna dan
pengelola WDP di daerah. Kegiatan ini perlu dilakukan karena sering terjadi
perpindahan petugas di daerah.

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 92


e. Mengadakan evaluasi secara berkala kepada lembaga yang bertanggungjawab
dalam mengelola WDP. Evaluasi sangat diperlukan untuk melakukan perbaikan
terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul.

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 93


BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

5.1. Kesimpulan

a. Undang-undang sebagai perangkat dari hukum administrasi negara adalah


perangkat hukum positif yang harus dipatuhi dan dilaksanakan. Apabila
menelaah dari keberadaan UU WDP, maka diwajibkan kepada seluruh
perusahaan yang termasuk didalamnya ketentuan UU WDP untuk tunduk
dan taat pada isi peraturan perundang-undangan tersebut. Tanpa terkecuali
terhadap perusahaan berbentuk perseroan terbatas. Artinya adalah UU
WDP tidak hanya semata-mata untuk tujuan publisitas belaka, melainkan
ada tujuan dan maksud yang lebih luas lagi terhadap pembangunan
perekonomian negara. Oleh karenanya anggapan bahwa terhadap
perseroan terbatas hanya diharuskan untuk taat pada ketentuan Pasal 29
UU PT (UU No.40 tahun 2007), maka terhadap pemahaman tersebut perlu
untuk ditata ulang.
b. Faktor otonomi daerah tidak dapat dijadikan dasar bagi daerah-daerah pada
tingkat propinsi untuk tidak melakukan fungsi pelaporan terhadap data-data
pendaftaran perusahaan kepada pemerintah pusat. Meskipun dalam
pelaksanaannya peraturan tersebut diatur lebih lanjut dalam kebijakan
pemerintah di bawah undang-undang. Perlu untuk diperhatikan bahwa
Peraturan menteri sebagaimana disebutkan dalam Pasal 8 ayat (2) UU No.
12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
diakui keberadaannnya dan mempunyai hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau
dibentuk berdasarkan kewenangan. Artinya kewajiban pelaporan tersebut
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan bersifat diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat, karena
merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari UU WDP, dan kewajiban pelaporan
tersebut harus dilaksanakan oleh KPP kabupaten/kota/kotamadya dengan
tembusan kepada KPP Provinsi dan KPP Pusat.
c. Selain perlu untuk diatur lebih lanjut tentang aspek teknis, perlu juga untuk
dipertimbangkan perihal kemungkinan untuk diterapkannya sanksi yang
lebih tegas kepada, baik perusahaan maupun pejabat publik yang
melakukan proses administrasi pendaftaran perusahaan, manakala hal

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 94


tersebut tidak dilaksanakan. Selain daripada itu sebagai kebalikannya perlu
pula untuk diberikan pengaturan perihal insentif yang akan diberikan kepada
perusahaan dan pejabat publik yang telah melakukan proses administrasi
secara tertib dan benar.
d. Permasalahan yang terkait dengan belum optimalnya pendaftaran WDP di
daerah cukup banyak, namun secara umum dapat dikelompokkan menjadi
3 (tiga) pokok permasalahan yaitu :
1) Implementasi sistem jaringan komputerisasi dan program aplikasi WDP
yang disediakan oleh Kementerian Perdagangan saat ini tidak mampu
mengelola nomor penerbitan TDP secara otomatis, tidak terintegrasi
antar level organisasi pengelola data WDP, tidak memiliki kemampuan
untuk memvalidasi keakuratan data secara otomatis dan tidak memiliki
kemampuan untuk mengintegrasi dengan sistem yang dibangun oleh
PTSP.
2) UU WDP secara hukum telah mengalami distorsi dari UU dan peraturan
perundang-undangan lainnya sehingga mengubah pemahaman hukum
terutama tentang kewajiban untuk melakukan WDP khususnya PT (UU
No.40 tahun 2007). Dasar hukum mengenai lembaga/institusi tempat
mendaftar dan tanggung jawab dari lembaga pengelola data WDP
(pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah Kota/kabupaten dan
Kantor Pendaftaran Perusahaan) juga telah mengalami distorsi sehingga
tidak tegas menunjukkan tanggung jawabnya.
3) Kurangnya kemampuan dan jumlah Sumber Daya Manusia pengelola
WDP terutama di bidang pendaftaran, pengelola data base, pengolah
data, penganalisa data dan PPNS-WDP.
e. Metoda RIA dalam penelitian ini hanya menganalisis permasalahan
lemahnya implementasi sistem jaringan komputerisasi dan program aplikasi
WDP, sehingga analisis selanjutnya menyangkut biaya manfaat dan strategi
implementasi hanya difokuskan pada masalah tersebut. Berdasarkan
analisis biaya manfaat, opsi yang dianggap paling tepat dalam
menyelesaikan permasalahan terkait implementasi jaringan adalah dengan
menggunakan opsi memaksimalkan penggunaan jaringan komputerisasi
dan program aplikasi WDP yang ada (perbaikan dari yang ada). Pemilihan
menggunakan opsi tersebut karena memiliki keunggulannya dibandingkan
opsi lainnya antara lain biayanya relatif tidak terlalu besar dibandingkan

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 95


dengan opsi pertama namun manfaatnya relatif sama dengan opsi ketiga.
Manfaat dari memaksimalkan penggunaan jaringan komputerisasi dan
program aplikasi WDP yang ada antara lain : a) data TDP dari daerah
disampaikan secara rinci, b) Pemerintah memiliki peta lembaga usaha
sehingga pengambilan kebijakan menjadi lebih tepat, c) Pelaku usaha
mendapatkan gambaran pesaing maupun peluang untuk berinvestasi, d)
SDM di daerah menjdi lebih trampil karena adanya pelatihan. Biaya-
biayanya antara lain : a) Pembelian sofware, b) Pelatihan SDM pengelolan
Sofware di daerah dan Pusat, c) Biaya input di pusat dan daerah per tahun
serta tim evaluasi.

5.2. REKOMENDASI

a. Guna menyatukan pemahaman terhadap kewajiban pendaftaran


perusahaan terkait dengan adanya materi yang kontradiktif antara UU WDP
dengan UU PT, maka perlu dilakukan antara lain :
1) Sosialisasi terhadap pelaku usaha tentang pentingnya pendaftaran
perusahaan perlu terus dilakukan.
2) Koordinasi antar kementerian yang terkait dengan pendaftaran
perusahaan (Kementerian Perdagangan dan perlu dibangun.
b. Implementasi sistem jaringan komputerisasi dan program aplikasi WDP
dapat dilakukan pemerintah dengan cara antara lain :
1) Pemerintah pusat mendata kembali daerah-daerah yang mengirimkan
dan yang tidak mengirimkan data TDP terbaru dalam bentuk softcopy
maupun hardcopy. Pendataan tersebut untuk mengatur strategi solusi
bagi daerah yang mengirim dan tidak setelah diidentifikasi penyebabnya.
2) Mengadakan pelatihan serta pendampingan petugas pengelola WDP di
daerah. Dengan memodifikasi aplikasi WDP yang ada sehingga
mempermudah petugas daerah dalam menginput data, maka diperlukan
peltihan bagi petugas di daerah.
3) Melakukan pendekatan kepada para pimpinan daerah dalam
mengefektifan pengelolaan WDP di daerah. Pendekatan kepada
pemimpin di daerah sangat diperlukan karena komitmen pimpinan
daerah terhadap pendataan akan berdampak pada kelancaran program
WDP.

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 96


4) Melakukan koordinasi dan sosialisasi secara kontinyu dengan pengguna
dan pengelola WDP di daerah. Kegiatan ini perlu dilakukan karena
sering terjadi perpindahan petugas di daerah.
5) Mengadakan evaluasi secara berkala kepada lembaga yang
bertanggungjawab dalam mengelola WDP. Evaluasi sangat diperlukan
untuk melakukan perbaikan terhadap permasalahan-permasalahan yang
muncul.

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 97


DAFTAR PUSTAKA

Asian Development Bank dan Departemen Perindustrian dan Perdagangan,


Indonesian Regulary Review Manual, The Promoting Deregulatian and
Competition Project ADB TA No 3416 INO, Jakarta, 2003.

Biro Hukum Kementerian Perdagangan. 2007. Peraturan Menteri Perdagangan No


37/M-DAG/PER/9/2007, Lembaran Negara RI Tahun 2007, No. …. Sekretariat
Negara. Jakarta.

Biro Hukum Kementerian Ppn/Bappenas, Pengembangan Dan Implementasi,


Metode Regulatory Impact Analysis (Ria) Untuk Menilai Kebijakan (Peraturan
Dan Non Peraturan) Di Kementerian Ppn/Bappenas, Jakarta, 2011

Direktorat Bina Usaha Perdagangan Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam


Negeri Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, Naskah Akademik
Rancangan Undang-Undang Tentang Pendaftaran Perusahaan, Jakarta,
2012

Kompas, 2013, http://nasional.kompas.com/read/2012/11/12/14104960/Pelayanan.


Terpadu.Satu.Pintu.Palembang.Raih.Terbaik diakses 5 maret 2013

Republik Indonesia. 1982. Undang-Undang No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar
Perusahaan, Lembaran Negara RI Tahun 1982, No 3214 Sekretariat Negara.
Jakarta.

Republik Indonesia. 1995. Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan


Terbatas, Lembaran Negara RI Tahun 1995, No 3587 Sekretariat Negara.
Jakarta.

Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang


Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara RI Tahun 2004, No 125 Sekretariat
Negara. Jakarta.

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 98


Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas, Lembaran Negara RI Tahun 2007, No 4756 Sekretariat Negara.
Jakarta.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Cetakan ke – 11. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009), hal.
13–14.

Wawan Ridwan dan Iwan Krisnadi, Regulatory Impact Analysis Terhadap


Rancangan Undang-Undang Konvergensi Teknologi Informasi dan
Komunikasi, Jakarta,

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 99


Lampiran 1.

MEMO KEBIJAKAN
Upaya Peningkatan Implementasi UU WDP di daerah

Isu Kebijakan

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar


Perusahaan (UU WDP) mewajibkan kepada seluruh perusahaan di wilayah Republik
Indonesia untuk mendaftarkan perusahaannya.
Undang-undang WDP mewajibkan setiap perusahaan (PT, CV, koperasi, persekutuan,
perorangan dan bentuk perusahaan lainya) didaftarkan dalam daftar perusahaan. Daftar
perusahaan yang dimaksud adalah daftar catatan resmi yang diadakan menurut atau
berdasarkan ketentuan UU WDP dan memuat hal-hal yang wajib didaftarkan oleh setiap
perusahaan serta disahkan oleh pejabat yang berwenang dari kantor pendaftaran
perusahaan. Perusahaan yang dimaksud adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan
setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus menerus dan yang didirikan, bekerja
serta berkedudukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia, untuk tujuan
memperoleh keuntungan dan atau laba.
Manfaat WDP bagi Pemerintah antara lain tercatatnya data perusahaan secara lengkap
dan benar dari suatu perusahaan sehingga dapat dipergunakan sebagai bahan masukan
dalam merumuskan kebijakan dalam rangka menjamin perkembangan dan kepastian
berusaha bagi dunia usaha. Kemudian karena data dan informasi tersebut sifatnya
terbuka bagi publik, maka dapat digunakan oleh dunia usaha dalam rangka mencari
peluang bisnis, mengembangkan investasi maupun tingkat persaingan di suatu wilayah.

Implementasi UU WDP pada era otonomi daerah


2. Implementasi WDP di daerah
Berdasarkan data dari Kementerian Perdagangan, jumlah perusahaan yang
mendaftarkan perusahaannya tahun 2006 sebanyak 104.380 perusahaan, tahun 2008
menurun menjadi 16.342 perusahaan, tahun 2010 sebanyak 6.679 dan tahun 2012
sebanyak 898 perusahaan.
Informasi yang dilaporkan dari berbagai daerah pada umumnya berupa jumlah
perusahaan dan status perusahaan saja (PT, CV, Koperasi dan sebagainya), sedangkan
informasi rincinya yang dapat dimanfaatkan bagi pemerintah maupun dunia usaha, tidak
dilaporkan sehingga data yang ada selama ini pemanfaatannya belum optimal.

Penyebab tidak efektifnya implementasi WDP di daerah dari dari faktor regulasi.
a. Pemahaman hukum dari pelaku usaha khususnya PT tentang wajib daftar
perusahaan berdasarkan UU WDP telah mengalami penurunan kepastian hukum
oleh UU PT. Dalam UU WDP tempat melakukan pendaftaran adalah pada kantor
pendaftaran perusahaan di Ibukota Propinsi tempat kedudukannya sedangkan
dalam UU PT menentukan tempat pendaftaran itu Kementerian Hukum dan HAM
sendiri di bawah Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) dan yang wajib
melakukan pendaftaran itu tidak lagi oleh Direksi melainkan otomatis oleh Menteri
Hukum dan HAM.
b. Terdapat undang-undang lain yang mengatur pendaftaran perusahaan yaitu
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas (UU PT). Kedua undang-undang tersebut sama-sama mengatur
pendaftaran perusahaan dan dapat dipublikasikan untuk kepentingan umum. Dalam

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 1


UU WDP (Pasal 2), dijelaskan bahwa tujuan Daftar Perusahaan adalah "mencatat"
bahan-bahan keterangan yang dibuat secara benar dari satu perusahaan, dan
merupakan sumber informasi resmi untuk semua pihak yang berkepentingan
mengenai identitas, data, serta keterangan lainnya tentang suatu perusahaan yang
tercantum dalam Daftar Perusahaan. Sementara itu dalam UU PT disebutkan
pengajuan permohonan pendirian PT diatur melalui ketentuan Menteri dalam hal ini
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu timbul anggapan bahwa
terhadap perseroan terbatas hanya diharuskan untuk taat pada ketentuan UU PT
(Pasal 29), hal tersebut terjadi antara lain karena koordinasi antar kementerian yang
terkait dengan pendaftaran perusahaan (Kementerian Perdagangan, Kementerian
Hukum dan HAM, Pemda) belum diintensifkan. Maka dari itu, diperlukan
pemahaman semua pihak yang berkepentingan karena pendataan terkait dengan
UU PT tidak dapat mendata secara rinci sektor riil dunia usaha sebagaimana
dilakukan pada UU WDP.

3. Penyebab tidak efektifnya implementasi WDP di daerah dari faktor non-regulasi

a. Sistem jaringan komputerisasi dan Program aplikasi WDP yang disediakan oleh
Kementerian Perdagangan implementasinya di daerah belum optimal. Sistem
jaringan tersebut belum terintegrasi dengan sistem jaringan dan program aplikasi
WDP yang dibangun oleh daerah khususnya Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP).
Sistem jaringan komputerisasi dan program aplikasi WDP yang ada belum memiliki
kemampuan untuk memvalidasi keakuratan data secara otomatis dan belum
terintegrasi setiap tingkatan organisasi pengelolan WDP (Pusat, Pemerintah Provinsi
dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
b. Kurangnya kemampuan dan jumlah Sumber Daya Manusia (SDM) pengelola WDP
terutama di bidang pendaftaran, pengelola data base, pengolah data, penganalisa
data dan PPNS-WDP. Pengelola WDP di daerah sering di rotasi dalam waktu yang
relatif singkat sehingga pengetahuan dari pengelola sering tidak lengkap. Dalam 10
tahun terakhir tidak ada tambahan PPNS-WDP

Rekomendasi

4. Menyatukan pemahaman terhadap kewajiban pendaftaran perusahaan terkait


dengan adanya materi yang kontradiktif antara UU WDP dengan UU PT, maka perlu
dilakukan antara lain :
a. Sosialisasi terhadap pelaku usaha tentang pentingnya pendaftaran perusahaan
yang selama ini telah dilakukan masih perlu terus dilakukan.
b. Koordinasi antar kementerian yang terkait dengan pendaftaran perusahaan
(Kementerian Perdagangan dan perlu dibangun.

5. Pembaruan jaringan komputerisasi dan program aplikasi WDP implementasi


pendaftaran perusahaan di daerah dengan memaksimalkan penggunaan jaringan
komputerisasi dan program aplikasi WDP yang ada antara lain :

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 2


a. data TDP dari daerah disampaikan secara rinci, karena jaringannya sudah
terintegrasi sehingga data yang diinput di daerah terekam di pusat. Selama ini
data pendaftaran perusahaan yang diinput pada sistem jaringan yang dimiliki
PTSP tidak terkoneksi dengan jaringan di pusat. Sebagai akibatnya daerah hanya
menyampaikan data perusahaan dalam jumlah dan status perusahaan.
b. Pemerintah memiliki peta lembaga usaha secara rinci sehingga pengambilan
kebijakan menjadi lebih tepat,
c. Peta pelaku usaha tersedia lebih rinci sehingga dapat dimanfaatkan para pelaku
usaha dalam pertimbangan untuk pengembangan bisnisnya,
d. Sumber Daya Manusia di daerah menjadi lebih terampil karena pengintegrasian
sistem jaringan dibarengi dengan pelatihan. Sedangkan biaya-biayanya relatif
lebih kecil dibandingkan biaya pada opsi lainnya (membuat jaringan baru) antara
lain pembelian sofware, pelatihan SDM pengelola sofware di daerah dan pusat,
biaya pengiinput data baik di pusat dan daerah serta tim evaluasi.

6. Meningkatkan pendukung implementasi sistem jaringan komputerisasi dan program


aplikasi WDP (perbaikan dari yang ada), dengan memperhatikan hal-hal sebagai
berikut :
a. Mengingat banyak daerah yang belum mengirim data pendaftaran perusahaan
secara rinci, maka Pemerintah pusat mendata kembali daerah-daerah yang
mengirimkan maupun yang tidak mengirimkan data TDP terbaru baik dalam
bentuk softcopy maupun hardcopy. Pendataan tersebut perlu dilakukan untuk
mengatur strategi implementasi setelah sebelumnya diidentifikasi penyebabnya.
b. Diperlukan pendekatan kepada para pimpinan daerah dalam mengefektifkan
pengelolaan WDP di daerah. Pendekatan kepada pemimpin di daerah sangat
diperlukan karena komitmen pimpinan daerah terhadap pendataan akan
berdampak pada kelancaran program WDP.
c. Melakukan koordinasi dan sosialisasi secara kontinyu dengan pengguna dan
pengelola WDP di daerah. Kegiatan ini perlu dilakukan karena sering terjadi
perpindahan petugas di daerah.
d. Mengadakan pelatihan serta pendampingan petugas pengelola WDP di daerah.
Dengan memodifikasi aplikasi WDP, diperlukan pelatihan agar petugas daerah
lebih paham dalam menginput data.
e. Mengadakan evaluasi secara berkala kepada lembaga yang bertanggungjawab
dalam mengelola WDP. Evaluasi sangat diperlukan untuk melakukan perbaikan
terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul.

Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah 3

Anda mungkin juga menyukai