Anda di halaman 1dari 20

TINJAUAN YURIDIS PRAKTIK ANTI PERSAINGAN DALAM KASUS

IMPORTASI BAWANG PUTIH (PERKARA NOMOR 05/KPPU-I/2013)


 

Muhamad Dandy Ksatria Tanato

Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok 16424

dandyktanato@icloud.com

ABSTRAK

Pada pertengahan tahun 2013 ditemukan adanya dugaan praktik anti persaingan dalam kasus
importasi bawang putih setelah terjadi lonjakan harga bawang putih di pasaran. Setelah
melakukan investigasi, tim investigator KPPU menilai 19 pelaku usaha melakukan pelanggaran
UU Antimonopoli pasal 11 tentang kartel, pasal 19 tentang diskriminasi dan pasal 24 tentang
persekongkolan menghambat perdagangan dengan bersekongkol dengan 3 pejabat pemerintahan.
Selama persidangan tidak ditemukan bukti langsung yang mengarah pada kesepakatan, baik
antar pelaku usaha maupun antara pelaku usaha dengan pejabat pemerintah, untuk melakukan
kegiatan kartel, diskriminasi dan persekongkolan. Majelis komisi pada putusannya menetapkan
19 pelaku usaha bersalah melanggar pasal 11, pasal 19 dan pasal 24 UU Antimonopoli dan 2
pejabat pemerintah bersalah melanggar pasal 24. Skripsi ini membahas mengenai ketepatan
penerapan pasal 11, pasal 19 dan pasal 24 UU Antimonopoli dalam kasus ini.

JURIDICAL REVIEW OF ANTI COMPETITION PRACTICES IN


GARLIC IMPORTATION CASE (CASE NO: 05/KPPU-I/2013)
ABSTRACT

In mid-2013, an allegation of anti competition practices in garlic importation case was


discovered after a surge in the market price of garlic. After conducting an investigation, KPPU
investigator team assessed 19 enterprises conducted violation against Antimonopoly Law article
11 regarding cartel, article 19 regarding discrimination and article 24 regarding trade-
detaining conspiracy by conspiring with 3 government officials. During the trial, there was
found no direct evidence which leads to agreement, both among enterprises or between
enterprises and government officials, to form a cartel, to conduct discrimination and to conduct
conspiracy. The commisioner judges in its decision established 19 enterprises guilty of violation
against article 11, article 19 and article 24 Antimonopoly Law and 2 government officials were
established guilty of violation against article 24. This thesis discusses about the accuracy of
application of article 11, article 19 and article 24 Antimonopoly Law in this case.

Tinjauan yuridis..., Muhamad Dandy Ksatria Tanato, FH UI, 2014


Pendahuluan
Persaingan usaha yang semakin sengit memaksa pelaku usaha menjadi perusahaan yang
efisien dengan menawarkan pilihan-pilihan produk dan jasa dalam harga yang lebih rendah.
Dalam rangka untuk menguasai persaingan, pelaku usaha dituntut menawarkan produk dan jasa
yang menarik, baik dari segi harga, kualitas dan pelayanan. Dan pencapaian ketiga faktor
tersebut dapat diperoleh melalui inovasi, penerapan teknologi yang tepat, serta kemampuan
manajerial atas sumber daya perusahaan. Sebaliknya, pelaku usaha akan tersingkir secara alami
dari pasar.1
Pada dasarnya persaingan usaha merupakan urusan antar pelaku usaha saja dan negara
tidak turut campur, namun untuk mendukung terciptanya suatu persaingan usaha yang sehat,
dalam rangka perlindungan terhadap konsumen dan tindakan pencegahan perilaku curang pelaku
usaha maka diperlukan adanya peran serta intervensi terbatas dari negara yaitu dengan
membentuk suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai persaingan usaha
dimana negara mengawasi tindakan pelaku usaha dan memberikan sanksi terhadap pelaku usaha
yang berbuat curang dan melakukan tindakan persaingan usaha yang tidak sehat.
Bentuk intervensi negara dalam kegiatan ekonomi ini di Indonesia salah satunya disahkan
pada tanggal 5 Maret 1999 dalam bentuk Undang-Undang yang mengatur mengenai persaingan
usaha yaitu Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat2 (LN 1999-33) atau disingkat sebagai UU No. 5 Tahun 1999.
Secara garis besar undang-undang ini melarang perjanjian antar pelaku usaha yang dapat
menghambat persaingan, penyalahgunan kekuasaan monopoli dan fusi antara pelaku usaha yang
dominan dalam pasar.3 Dengan demikian, UU No. 5 Tahun 1999 menjamin akses bagi seluruh
pelaku usaha untuk bersaing serta kebebasan bagi setiap peserta pasar untuk mengambil
keputusan.4
Dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan oleh negara yang tertuang dalam UU No.
5 Tahun 1999 perlu dibentuk suatu badan khusus. Oleh karena itu, UU No. 5 Tahun 1999

                                                                                                                       
1
Andi Fahmi Lubis ed. Hukum Persaingan Usaha antara Teks dan Konteks, (Jakarta:GTZ,2009), hal.15.
2
Tim Dosen Pengajar FHUI, Pengantar Hukum Persaingan Usaha, (Depok: Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2008), hal. 3.
3
Wolfgang Kartte, Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,
(Jakarta: Katalis-Publishing-Media Services, 2002) hal. 1.
4
Ibid, hal. 1.

Tinjauan yuridis..., Muhamad Dandy Ksatria Tanato, FH UI, 2014


membentuk apa yang disebut sebagai Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).5 KPPU
adalah lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak
lain. KPPU memiliki wewenang untuk melakukan penilaian terhadap perjanjian, kegiatan
maupun penyalahgunaan posisi dominan yang dilakukan para pelaku usaha maupun sekelompok
pelaku usaha yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.6
Pengesahan UU No. 5 Tahun 1999 dan pembentukan KPPU nyatanya tidak serta merta
menisbikan tindakan curang para pelaku usaha untuk meniadakan persaingan. Hal ini ditandai
banyaknya praktik anti persaingan yang ditemukan dan akhirnya diadili oleh KPPU. Salah satu
dugaan praktik anti persaingan yang ditemukan KPPU pada Tahun 2013 adalah praktik anti
persaingan dalam importasi bawang putih.
Kasus ini bermula saat KPPU mengaku mencium adanya indikasi praktik anti persaingan
dalam impor komoditi bawang putih pada awal Maret tahun 2013 setelah terjadinya lonjakan
harga bawang putih di banyak daerah di Indonesia. Berdasarkan data yang diperoleh KPPU,
terdapat 394 kontainer isi bawang putih asal China dan Thailand yang masih berada di Terminal
Petikemas. Di antara kontainer-kontainer tersebut terdapat 109 kontainer bawang putih yang
telah dilengkapi surat izin dan sudah selayaknya dilepas ke pasar. Namun dengan ditahannya
bawang putih di terminal tersebut menyebabkan harga bawang putih di pasaran melonjak
dikarenakan kelangkaan pasokan. Kondisi ini diduga merupakan praktik kartel yang dilakukan
19 pelaku usaha importir bawang putih.
Dalam kasus importasi bawang putih ini, tim investigator KPPU menduga para pelaku
usaha melanggar pasal 11 mengenai larangan kartel, pasal 19 butir mengenai diskriminasi dan
pasal 24 mengenai persekongkolan. Majelis komisi dalam kasus ini memutus pelaku usaha
bersalah melanggar pasal 19 dan pasal 24 UU No. 5 Tahun 1999, sementara bukti yang
ditemukan selama persidangan sangat minim. Selain itu, salah satu hal menarik dari kasus ini
adalah dijadikannya Badan Karantina Kementerian Pertanian, Direktorat Jenderal Perdagangan
Luar Negeri Kementerian Perdagangan dan Menteri Perdagangan sebagai terlapor oleh KPPU
karena diduga terlibat bersekongkol dengan para pelaku usaha. Hal ini, jika dilihat secara sekilas,
bertentangan dengan ketentuan dalam UU No. 5 Tahun 1999 yang mengatur subjek dalam

                                                                                                                       
5
Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli: Menyongsong Era Persaingan Sehat, (Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 1999), hal. 101.
6
Indonesia, Undang-Undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU
No. 5 Tahun 1999, LN No 33 Tahun 1999, TLN No. 3817, PS 36.

Tinjauan yuridis..., Muhamad Dandy Ksatria Tanato, FH UI, 2014


hukum persaingan usaha terbatas hanya kepada pelaku usaha. Sementara Badan Karantina
Kementerian Pertanian, Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan
dan Menteri Perdagangan adalah pejabat pemerintahan dan bukan merupakan pelaku usaha
dalam kasus ini sehingga tidak seharusnya dijadikan terlapor oleh KPPU. Adapun masalah-
masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimana penerapan pasal 11
mengenai larangan kartel oleh KPPU dalam putusan kasus importasi bawang putih (Perkara
Nomor 05/KPPU-I/2013)? 2) Bagaimana penerapan pasal 19 huruf c mengenai larangan
diskriminasi oleh KPPU dalam putusan kasus importasi bawang putih (Perkara Nomor
05/KPPU-I/2013)? 3) Bagaimana penerapan pasal 24 mengenai larangan persekongkolan
menghambat perdagangan oleh KPPU dalam putusan kasus importasi bawang putih (Perkara
Nomor 05/KPPU-I/2013)?
Definisi Operasional
Agar penelitian ini dapat dipahami maka berikut ini akan diuraikan beberapa peristilahan
yang dipergunakan.
1. Monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas jasa
tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.7
2. Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha
yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa
tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan
kepentingan umum.8
3. Pemusatan kekuatan ekonomi adalah penguasaan yang nyata atas suatu pasar bersangkutan
oleh satu atau lebih pelaku usaha sehingga dapat menentukan harga barang dan atau jasa.9
4. Posisi dominan adalah keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti
di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha
mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan
dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta
kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.10

                                                                                                                       
7
Indonesia . Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. UU No. 5
Tahun 1999, LN No. 33, pasal 1.
8
Ibid.
9
Ibid.
10
Ibid.

Tinjauan yuridis..., Muhamad Dandy Ksatria Tanato, FH UI, 2014


5. Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan
hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-
sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam kegiatan
ekonomi.11
6. Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan
kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara
tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.12
7. Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri
terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak
tertulis.13
8. Persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku
usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi
kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol.14
9. Pasar adalah lembaga ekonomi dimana para pembeli dan penjual baik secara langsung
maupun tidak langsung dapat melakukan transaksi perdagangan barang dan atau jasa.15
10. Pasar bersangkutan adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran
tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi
dari barang dan atau jasa tersebut.16
11. Struktur pasar adalah keadaan pasar yang memberikan petunjuk tentang aspek-aspek yang
memiliki pengaruh penting terhadap perilaku pelaku usaha dan kinerja pasar, antara lain
jumlah penjual dan pembeli, hambatan masuk dan keluar pasar, keragaman produk, sistem
distribusi, dan penguasaan pangsa pasar.17
12. Perilaku pasar adalah tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam kapasitasnya
sebagai pemasok atau pembeli barang dan atau jasa untuk mencapai tujuan perusahaan,

                                                                                                                       
11
Ibid.
12
Ibid.
13
Ibid.
14
Ibid.
15
Ibid.
16
Ibid.
17
Ibid.

Tinjauan yuridis..., Muhamad Dandy Ksatria Tanato, FH UI, 2014


antara lain pencapaian laba, pertumbuhan aset, target penjualan, dan metode persaingan
yang digunakan.18
13. Pangsa pasar adalah persentase nilai jual atau beli barang atau jasa tertentu yang dikuasai
oleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan dalan tahun kalender tertentu.19
14. Harga pasar adalah harga yang dibayar dalam transaksi barang dan atau jasa sesuai
kesepakatan antara para pihak di pasar bersangkutan.20
15. Konsumen adalah setiap pemakain dan atau pengguna barang dan atau jasa baik untuk
kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain.21
16. Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun
tidak bergerak yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh
konsumen atau pelaku usaha.22
17. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan
dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.23
18. Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah komisi yang dibentuk untuk mengawasi pelaku
usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktek monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat.24

Metode Penelitian
Penulisan skripsi ini disusun berdasarkan analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara
metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis yaitu sesuai dengan metode atau cara
tertentu, sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang
bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.25
Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif, yaitu penelitian dengan
memanfaatkan data sekunder atau data yang diperoleh dengan kepustakaan.26 Menurut sifatnya
penelitian ini deskriptif, menurut bentuknya adalah penelitian preskriptif, menurut tujuannya
                                                                                                                       
18
Ibid.
19
Ibid.
20
Ibid.
21
Ibid.
22
Ibid.
23
Ibid.
24
Ibid.
25
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2010), hal. 43.
26
Sri Mamudji et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit FHUI, 2005), hal.
28.

Tinjauan yuridis..., Muhamad Dandy Ksatria Tanato, FH UI, 2014


adalah penelitian pemecahan masalah, menurut penerapannya adalah penelitian berfokus
masalah, dan menurut ilmu yang dipergunakan adalah monodisipliner. Penelitian hukum
normatif diteliti hanya dengan bahan pustaka atau data sekunder yang mencakup bahan hukum
primer, sekunder dan tersier.27
Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum mengikat28
berupa peraturan perundang-undangan Indonesia dan instrumen hukum internasional. Dalam
penelitian ini bahan hukum primer yang digunakan salah satunya adalah UU No. 5 Tahun 1999.
Namun tidak terbatas pada peraturan perundang-undangan tersebut, terdapat beberapa bahan
hukum primer lainnya.
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum
primer dan dapat membantu menganalisa, memahami dan menjelaskan bahan hukum primer29
yang antara lain adalah buku, skripsi, tesis, jurnal, hasil seminar, artikel ilmiah dan makalah.
Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini salah satunya adalah buku Hukum
Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks. Namun tidak menutup kemungkinan akan terdapat
sumber buku ataupun tulisan ilmiah lainnya yang akan penulis gunakan sebagai pendukung
berupa sumber bahan hukum sekunder.
Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
atas bahan hokum primer dan sekunder30 antara lain ensiklopedi dan kamus hukum. Dalam
penelitian ini yang digunakan utamanya adalah kamus hokum.

Hasil Penelitian
Dalam kasus ini tim investigator KPPU menilai terjadi pelanggaraan terhadap pasal 11 UU
No. 5 Tahun 1999 yaitu pelanggaran praktik kartel. Tim investigator KPPU menduga terdapat
perjanjian antar para pelaku usaha terlapor untuk mempengaruhi harga dengan mengatur
produksi dan atau pemasaran bawang putih. Dalam dakwaannya KPPU menguraikanpemenuhan
unsur-unsur yang terdapat dalam rumusan pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999 sebagai berikut:
1. Unsur pelaku usaha
19 pelaku usaha terlapor merupakan pelaku usaha sehingga unsur ini terpenuhi.

                                                                                                                       
27
Soekanto. Op. cit. hal. 52.
28
Ibid.
29
Ibid.
30
Ibid.

Tinjauan yuridis..., Muhamad Dandy Ksatria Tanato, FH UI, 2014


2. Pelaku usaha terbagi dalam beberapa kelompok dengan penguasaan pasar yang cukup
signifikan
Hubungan afiliasi di antara pelaku usaha diduga untuk mengkoordinasikan pasokan
dan pemasaran bawang putih di dalam negeri dengan cara mengatur waktu impor.
Koordinasi diantara pelaku usaha terafiliasi merupakan bentuk kerjasama untuk
memperoleh keuntungan yang lebih tinggi dengan cara mengkoordinasikan harga dan
atau pasokan di antara perusahaan terafiliasi.
3. Mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat
Dugaan adanya koordinasi pasokan dengan mengatur waktu impor untuk mengatur
harga sehingga mendapatkan keuntungan yang tinggi merupakan bentuk perbuatan
yang dilakukan dengan cara tidak jujur dan atau melawan hukum.
Dalam bab III sub bab 2 Peraturan KPPU No 4 Tahun 2010 terdapat penjabaran unsur
terhadap rumusan pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999 tentang kartel Penjabaran unsur dari pasal 11
UU No. 5 Tahun 1999 adalah sebagai berikut:
1. Unsur pelaku usaha
Pelaku usaha menurut pasal 1 angka 5 adalah setiap orang perorangan atau badan
usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan
berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
2. Unsur perjanjian
Perjanjian menurut pasal 1 angka 7 adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha
untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih usaha lain dengan nama apapun, baik
tertulis maupun tidak tertulis.
3. Unsur pelaku usaha pesaingnya
Pelaku usaha pesaing adalah pelaku usaha lain yang berada di dalam satu pasar
bersangkutan.
4. Unsur bermaksud mempengaruhi harga
Sebagaimana dirumuskan dalam pasal 11 bahwa suatu kartel dimaksudkan untuk
mempengaruhi harga. Untuk mecapai tujuan tersebut anggota kartel setuju untuk
mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa.

Tinjauan yuridis..., Muhamad Dandy Ksatria Tanato, FH UI, 2014


5. Unsur mengatur produksi dan pemasaran
Mengatur produksi artinya adalah menentukan jumlah produksi baik bagi kartel secara
keseluruhan maupun bagi setiap anggota. Sedangkan mengatur pemasaran berarti
mengatur jumlah yang akan dijual dan atau wilayah dimana para anggota menjual
produksinya.
6. Unsur barang
Barang menurut pasal 1 angka 16 adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak
berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai,
dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.
7. Unsur jasa
Jasa menurut pasal 1 angka 17 adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau
prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen
atau pelaku usaha.
8. Unsur dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli
Praktik monopoli menurut pasal 1 angka 2 adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh
satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau
pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha
tidak sehat.
9. Unsur dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat
Pasal 1 angka 6 menyatakan bahwa persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan
antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang
atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab II tulisan ini, poin terpenting mengenai kartel
adalah adanya perjanjian antar pelaku usaha. Dalam kasus ini, tim investigator KPPU dalam
dakwaannya menilai terdapatnya perjanjian antar pelaku usaha berupa koordinasi pasokan dan
pemasaran bawang putih dengan cara mengatur waktu impor. Selama pembuktian di persidangan
tidak dapat ditemukan satu pun bukti baik berupa keterangan saksi, keterangan ahli, alat bukti
surat, alat bukti petunjuk maupun keterangan pelaku usaha oleh majelis komisi yang
menunjukkan adanya perbuatan para pelaku usaha terlapor untuk mengikatkan diri terhadap satu
atau lebih usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis. Para pelaku usaha
terlapor mengakui dalam persidangan bahwa sebelumnya para pelaku usaha terlapor belum

Tinjauan yuridis..., Muhamad Dandy Ksatria Tanato, FH UI, 2014


mengenal satu dengan lainnya. Hal ini menyebabkan unsur perjanjian dalam rumusan pasal 11
tentang kartel UU No. 5 Tahun 1999 tidak terpenuhi.
Dalam putusannya, majelis komisi KPPU mempertimbangkan unsur-unsur dalam rumusan
pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999 sebagai berikut:
1. Unsur pelaku usaha
19 pelaku usaha terlapor adalah pelaku usaha sehingga unsur ini terpenuhi
2. Unsur perjanjian
Dalam proses persidangan tidak ditemukan adanya bukti perjanjian antara pelaku usaha
yang satu dengan pelaku usaha lainnya sehingga unsur ini tidak terpenuhi
Dapat dicermati dalam putusan majelis komisi mengenai kartel dalam kasus ini, majelis
komisi cenderung mengikuti alat bukti yang diatur dalam pasal 42 UU No. 5 Tahun 1999.
Majelis komisi menyatakan tidak menemukan bukti adanya perjanjian antar pelaku usaha.
Sebagaimana diketahui, dalam beberapa putusan KPPU mengenai kartel, majelis komisi
menggunakan pembuktian berdasarkan indirect evidence yang tidak diatur dalam UU No. 5
Tahun 1999 namun memang cukup intens digunakan oleh otoritas hukum persaingan di negara
lain sebagaimana dijelaskan dalam Bab III tulisan ini. Sehingga mengenai teori pembuktian
dalam kasus ini, dapat disimpulkan majelis komisi KPPU tidak menggunakan pembuktian
dengan indirect evidence.
Putusan KPPU mengenai penerapan rumusan pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999 dalam kasus
ini sudah tepat karena unsur perjanjian yang terdapat dalam rumusan pasal 11 mengenai kartel
tidak terpenuhi karena tidak ditemukannya bukti di persidangan mengenai eksistensi perjanjian
tersebut.
Selanjutnya, tim investigator menduga terjadi diskriminasi yang melanggar pengaturan
Pasal 19 huruf c UU No. 5 Tahun 1999 dalam kasus ini. Pasal 19 huruf c UU No. 5 Tahun 1999
berbunyi pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun
bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat berupamembatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau
jasa pada pasar bersangkutan.
Berikut uraian unsur-unsur dalam rumusan pasal 19 huruf c yang dianggap terpenuhi oleh
tim investigator KPPU:
1. Unsur pelaku usaha

Tinjauan yuridis..., Muhamad Dandy Ksatria Tanato, FH UI, 2014


19 pelaku usaha terlapor merupakan pelaku usaha sehingga unsur ini terpenuhi.
2. Melakukan beberapa kegiatan baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain
untuk membatasi peredaran dan atau penjualan barang atau jasa pada pasar
bersangkutan
Para pelaku usaha secara koordinatif diduga melakukan upaya untuk mengatur
pasokan bawang putih ke dalam negeri dengan cara mengatur waktu impor dengan
saling menyesuaikan di waktu pemasokan ke dalam negeri di antara perusahaan-
perusahaan tersebut
3. Mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat
Koordinasi yang dilakukan para pelaku usaha terlapor untuk mengatur pasokan
bawang putih ke dalam negeri dengan saling menyesuaikan waktu impor diantara
perusahaan yang terafiliasi merupakan perbuatan yang dilakukan dengan cara tidak
jujur dan melawan hukum.
Berdasarkan teori, berikut indikasi dilakukannya kegiatan diskriminasi menghambat
perdagangan:
1. Adanya kelangkaan produk di pasar bersangkutan, dan/atau
2. Adanya perjanjian atau kontrak eksklusif antara pelaku usaha dengan pelaku usaha
tertentu atau konsumen/pelanggan yang memuat kewajiban untuk tidak melakukan
hubungan dengan pelaku usaha pesaingnya, dan/atau
3. Adanya klausula dalam perjanjian eksklusif yang spesifik atau secara khusus melarang
pembeli atau penjual menerima produk pesaingnya
Menilai bahwa dalam impor bawang putih pada periode Januari sampai dengan Maret 2013
terdapat kelangkaan bawang putih yang menyebabkan naiknya harga bawang putih, maka dapat
dikatakan tindakan KPPU menduga terjadinya tindakan diskriminasi dalam kasus ini adalah
tepat.
Larangan tindakan diskriminasi yang diatur dalam Pasal 19 huruf c berkaitan erat dengan
penguasaan pasar.Secara teoritis, tindakan diskriminasi hanya dapat dilakukan oleh pelaku usaha
ataupun kelompok pelaku usaha yang memiliki market power.Market power tersebut dapat
memfasilitasi pelaku usaha untuk melakukan tindakan diskriminatif terhadap pelaku usaha lain.
Penguasaan pasar, dalam sudut pandang ekonomi, yang dilakukan melalui beberapa bentuk
tindakan dapat memberikan efek yang positif berupa pencapaian efisiensi, terjaminnya pasokan

Tinjauan yuridis..., Muhamad Dandy Ksatria Tanato, FH UI, 2014


bahan baku atau produk untuk mencapai skala ekonomi atau cakupan ekonomi. Dengan
demikian ada dasar pembenar terhadap tindakan penguasaan pasar tertentu, sehingga harus dikaji
maksud dan tujuan serta akibat dari kegiatan-kegiatan tertentu yang dianggap merupakan
penguasaan pasar yang merugikan. Sehingga untuk kasus ini perlu diteliti apakah para pelaku
usaha terlapor memiliki market power dan menggunakan market power tersebut untuk
melakukan tindakan yang merugikan pelaku usaha lain.
Dalam kasus ini peredaran bawang putih di Indonesia, setelah berlakunya Peraturan
Menteri Pertanian Nomor 60/Permentan/OT.140/9/2012 dan Peraturan Menteri Perdagangan
Nomor 60/M-DAG/PER/9/2012, berada dalam kewenangan Kementerian Pertanian dan
Kementerian Perdagangan. Kementerian Pertanian yang memiliki kewenangan untuk
menentukan jumlah pasokan yang dapat diimpor dan didistribusikan oleh masing-masing pelaku
usaha yang mengajukan permohonan RIPH. Selanjutnya Kementerian Perdagangan menerbitkan
SIP bagi pelaku usaha yang mengajukan permohonan SIP yang disesuaikan dengan RIPH.
Seluruh pelaku usaha yang mengajukan permohonan hanya dapat menerima pasokan yang telah
ditentukan bagi masing-masing oleh Kementerian Pertanian dan hanya dapat mendistribusikan
bawang putih selama jangka waktu yang dietujui dalam SIP oleh Kementerian Perdagangan. Hal
ini menyebabkan pelaku usaha tidak memiliki market power dalam impor bawang putih.
Sehinggatidak dimungkinkan dilakukannya diskriminasi yang diatur dalam Pasal 19 Huruf c UU
No. 5 Tahun 1999 oleh para pelaku usaha terlapor dalam kasus ini.
Dalam putusan kasus ini, majelis komisi mempertimbangkan unsur-unsur dalam rumusan
pasal 19 huruf c UU No. 5 Tahun 1999 sebagai berikut:
1. Unsur pelaku usaha
19 pelaku usaha terlapor merupakan pelaku usaha sehingga unsur ini terpenuhi
2. Unsur melakukan satu atau beberapa kegiatan baik sendiri maupun bersama pelaku
usaha lainnya untuk membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa pada
pasar bersangkutan
19 pelaku usaha terlapor yang memperoleh RIPH bawang putih melakukan kerjasama
terkait pengaturan pemasokan bawang putih, yang dimana tindakan ini didasarkan
hanya untuk kepentingan bisnis belaka tanpa mengindahkan kewajiban merealisasikan
kuota yang telah ditetapkan sesuai dengan volume dan jangka waktu tertentu.

Tinjauan yuridis..., Muhamad Dandy Ksatria Tanato, FH UI, 2014


Kerjasama ini dilakukan dengan modus menggunakan pihak yang sama untuk
melakukan pengurusan dan perpanjangan SPI sehingga unsur ini terpenuhi
3. Unsur menyebabkan persaingan usaha tidak sehat
19 pelaku usaha terlapor merupakan pesaing yang seharusnya bersaing dalam
melakukan importasi bawang putih namun terdapat fakta bahwa diantara terlapor
terdapat kerjasama. Para pelaku usaha terlapor bekerjasama dengan tujuan mengambil
keuntungan dengan cara menunda realisasi impor yang merupakan tindakan menahan
pasokan sehingga unsur ini terpenuhi.
Sebagaimana telah diketahui dalam fakta di persidangan bahwa kewenangan terkait impor
bawang putih adalah kewenangan Kementerian Pertanian. Volume dan jangka waktu realisasi
kuota ditentukan oleh Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan melalui RIPH dan
SPI masing-masing pelaku usaha. Apabila kemudian para pelaku usaha terlapor tidak
mengindahkan kewajiban realisasi kuota sebagaimana yang ditetapkan dalam masing-masing
RIPH dan SPI, maka hal itu menjadi kewenangan Kementerian Pertanian dan Kementerian
Perdagangan untuk melakukan tindakan tertentu terhadap pelaku usaha, termasuk memberikan
persetujuan RIPH baru ataupun persetujuan perpanjangan SPI selama tidak bertentangan dengan
ketentuan yang berlaku.Kewenangan penuh Kementerian Pertanian dan Kementerian
Perdagangan dalam impor bawang putih menyebabkan pelaku usaha tidak memiliki kemampuan
untuk melakukan tindakan diskriminasi sehingga pemenuhan unsur kedua pasal 19 huruf c dalam
putusan majelis komisi KPPU dalam kasus ini tidaklah tepat.
Apabila persetujuan RIPH dan perpanjangan SPI yang diberikan oleh Kementerian
Pertanian dan Kementerian Perdagangan dianggap menyebabkan terjadinya persaingan usaha
tidak sehat maka KPPU seharusnya dapat memberikan saran dan pertimbangan mengenai
kebijakan tersebut kepada Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan sesuai tugas
KPPU yang diatur dalam Pasal 35 UU No. 5 Tahun 1999, sedangkan apabila terdapat
ketidaksesuaian tindakan Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan dalam impor
bawang putih dengan peraturan yang berlaku, maka KPPU tidak memiliki kewenangan absolut
untuk menangani masalah tersebut karena tidak termasuk dalam lingkup hukum persaingan
usaha.
Sebagai kesimpulan, dalam kasus ini terdapat kekeliruan majelis komisi KPPU dalam
menafsirkan rumusan pasal 19 huruf c UU No. 5 Tahun 1999 mengenai diskriminasi.

Tinjauan yuridis..., Muhamad Dandy Ksatria Tanato, FH UI, 2014


Selanjutnya, tim investigator KPPU menilai terjadi persekongkolan menghambat
perdagangan yang melanggar pengaturan Pasal 24 UU No. 5 Tahun 1999 dalam kasus ini. Pasal
24 UU No. 5 Tahun 1999 menyatakan pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain
untuk menghambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya
dengan tujuan barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi
berkurang, baik dari kualitas maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.
Berikut pertimbangan tim investigator KPPU mengenai telah terjadinya dugaan
pelanggaran pasal 24 UU No. 5 Tahun 1999 didasarkan pada pemenuhan unsur-unsur yang
terdiri dari:
1. Pelaku usaha
19 pelaku usaha terlapor merupakan pelaku usaha sehingga unsur ini terpenuhi
2. Pihak lain
Yang dimaksud pihak lain adalah pihak yang secara langsung maupun tidak langsung
berkaitan dengan proses kegiatan usaha. Dalam perkara ini adalah Menteri
Perdagangan, Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan
dan Badan Karantina Kementerian Pertanian
3. Bersekongkol untuk menghambat produksi dan pemasaran pelaku usaha pesaingnya
Diduga terjadi persekongkolan antara 19 pelaku usaha terlapor dengan Direktorat
Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan untuk memperpanjang
jangka waktu SPI meskipun tidak sesuai dengan Permendag No. 30/M-
DAG/PER/5/2012. Perbuatan Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri
Kementerian Perdagangan dilakukan untuk dan atas nama Menteri Perdagangan. 19
pelaku usaha terlapor juga diduga bersekongkol dengan Badan Karantina Kementerian
Pertanian sehingga Badan Karantina Kementerian Pertanian menerbitkan KT9
meskipun terdapat ketidaksesuaian antara dokumen RIPH dan SPI.
Sebagaimana dijelaskan dalam Bab II tulisan ini, ada beberapa langkah awal yang dapat
dikatakan sebagai kegiatan kolusif yang menenggarai persekongkolan, yakni antara lain:
1. Menginformasikan perilaku diri sendiri dengan harapan agar pihak lain dapat
menyesuaikan kegiatannya.
2. Mempengaruhi perilaku pihak lainnya dengan maksud untuk memperoleh informasi
tentang kegiatan yang akan dilakukan oleh pihak lain tersebut.

Tinjauan yuridis..., Muhamad Dandy Ksatria Tanato, FH UI, 2014


3. Segala penyesuaian perilaku diri sendiri dengan cara apapun diharapkan agar pihak lain
dapat mengetahui.
Dalam dakwaannya, tim investigator KPPU tidak menguraikan bentuk persekongkolan
yang dimaksudkan dilakukan, baik antar pelaku usaha maupun antara pelaku usaha dengan pihak
lain. Bukti yang ditemukan di persidangan berupa keputusan para pelaku usaha terlapor untuk
menggunakan orang-orang yang sama ataupun terafiliasi untuk kepentingan pengurusan
permohonan SPI dan permohonan perpanjangan SPI dapat diduga merupakan kegiatan
koordinasi antar pelaku usaha untuk mengatur waktu impor. Berdasarkan teori, kegiatan ini dapat
dicurigai sebagai bentuk kegiatan kolusif. Para pelaku usaha dapat dicurigai memutuskan
menggunakan orang-orang yang sama ataupun terafiliasi untuk pengurusan permohonan SPI dan
permohonan perpanjangan SPI sebagai bentuk perilaku menyesuaikan kegiatan sehingga dapat
bersekongkol, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Secara yuridis pengertian persekongkolan usaha diatur dalam pasal 1 angka 8 UU No. 5
Tahun 1999 yakni sebagai bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku
usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha
yang bersekongkol. Sedangkan larangan persekongkolan menghambat perdagangan yang diatur
dalam Pasal 24 UU No. 5 Tahun 1999 menyatakan pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan
pihak lain untuk menghambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha
pesaingnya dengan tujuan barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar
bersangkutan menjadi berkurang, baik dari kualitas maupun ketepatan waktu yang
dipersyaratkan. Sehingga, pihak lain dalam persekongkolan yang dimaksud dalam rumusan pasal
24 UU No. 5 Tahun 1999 seharusnya mengacu pada pasal 1 angka 8 UU No. 5 Tahun 1999 yaitu
pelaku usaha lain.
Dalam putusan kasus ini, majelis komisi mempertimbangkan unsur-unsur dalam rumusan
pasal 24 UU No. 5 Tahun 1999 sebagai berikut:
1. Unsur pelaku usaha
19 pelaku usaha terlapor merupakan pelaku usaha sehingga unsur ini terpenuhi
2. Unsur bersekongkol dengan pihak lain
19 pelaku usaha terlapor bersekongkol dengan Menteri Perdagangan, Direktorat
Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan dan Badan Karantina

Tinjauan yuridis..., Muhamad Dandy Ksatria Tanato, FH UI, 2014


Kementerian Pertanian sebagai pihak lain dengan cara pemberian perpanjangan SPI di
luar jangka waktu RIPH yang tidak ada dasar hukumnya sehingga unsur ini terpenuhi.
3. Unsur pasar bersangkutan
Pasar bersangkutan dalam kasus ini adalah importasi bawang putih periode November
2012- Februari 2013 sehingga unsur ini terpenuhi
4. Unsur menghambat pesaing
Terdapat importir bawang putih diluar 19 pelaku usaha terlapor yang tidak
mendapatkan persetujuan SPI dari Kementerian Perdagangan sehingga unsur ini
terpenuhi
5. Unsur kurangnya ketepatan waktu yang dipersyaratkan
Pelaku usaha terlapor melakukan importasi diluar jangka waktu RIPH yang diberikan
sehingga unsur ini terpenuhi
6. Unsur menyebabkan persaingan usaha tidak sehat
19 pelaku usaha terlapor merupakan pesaing yang seharusnya bersaing dalam
melakukan importasi bawang putih namun terdapat fakta bahwa diantara terlapor
terdapat kerjasama. Para pelaku usaha terlapor bekerjasama dengan tujuan mengambil
keuntungan dengan cara menunda realisasi impor yang merupakan tindakan menahan
pasokan sehingga unsur ini terpenuhi.
Unsur bersekongkol dengan pihak lain yang dimaksud dalam rumusan pasal ini seharusnya
mengacu pada persekongkolan yang dimaksud dalam pasal 1 angka 8. Pihak lain yang dimaksud
adalah merupakan pelaku usaha yang tidak berada dalam pasar bersangkutan sehingga bukan
merupakan pesaing. Pihak lain tidak dapat diartikan sebagai pejabat pemerintahan, hal ini
disebabkan UU No. 5 Tahun 1999 berlaku terbatas hanya terhadap pelaku usaha sehingga subjek
hukum dalam hukum persaingan usaha hanya pelaku usaha. Kewenangan KPPU dalam pasal 36
UU No. 5 Tahun 1999 terhadap pemerintah terbatas pada meminta keterangan dari instansi
pemerintahan dalam kaitannya dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha
yang melanggar ketentuan undang-undang ini. Sehingga tidak dimungkinkan pejabat pemerintah,
dalam kasus ini Menteri Perdagangan, Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri
Kementerian Perdagangan dan Badan Karantina Kementerian Pertanian, dijadikan terlapor dan
dimasukkan dalam pemenuhan unsur pihak lain yang bersekongkol. Diputusnya Menteri
Perdagangan dan Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan

Tinjauan yuridis..., Muhamad Dandy Ksatria Tanato, FH UI, 2014


terbukti bersalah melanggar pasal 24 UU No. 5 Tahun 1999 oleh majelis komisi menandakan
adanya kekeliruan majelis komisi dalam mendefinisikan pihak lain yang dimaksud dalam pasal
24 UU No. 5 Tahun 1999. Hal ini juga dinilai merupakan pelampauan batas kewenangan oleh
KPPU dalam putusan ini. Karena tidak terpenuhinya unsur pihak lain dalam kasus ini maka
pertimbangan pemenuhan unsur-unsur pasal 24 UU No.5 Tahun 1999 oleh majelis komisi dalam
kasus ini tidaklah tepat.
Selain itu, hal menarik dari diputusnya bersalah Menteri Perdagangan dan Direktorat
Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan oleh KPPU adalah terdapatnya
rekomendasi dari KPPU terhadap Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian untuk
memperhatikan prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat dalam perumusan kebijakannya.
Majelis komisi tidak meletakkan rekomendasi ini dalam putusan namun dalam pertimbangan
tentang hukum. Rekomendasi ini dinilai tidak sama dengan saran dan pertimbangan yang
diberikan KPPU terhadap pemerintah terkait praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat
yang merupakan kewenangan KPPU yang diatur dalam pasal 35 UU No. 5 Tahun 1999. Hal ini
dikarenakan rekomendasi yang diberikan KPPU dalam kasus ini berada dalam suatu kerangka
putusan yang bersifat mengikat. Sehingga rekomendasi ini dapat disimpulkan sebagai bentuk
sanksi terhadap Kementerian Perdagangan dan Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri
Kementerian Perdagangan yang diputus bersalah, namun KPPU tidak meletakkannya dalam
putusan karena UU No. 5 Tahun 1999 tidak mengatur mengenai sanksi rekomendasi ini,
melainkan hanya terbatas pada:
a. Penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 sampai dengan
pasal 13, pasal 15 dan pasal 16
b. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertical sebagaimana
dimaksud dalam pasal 14
c. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti
menimbulkan praktik monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat
dan atau merugikan masyarakat
d. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan
e. Penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan
pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam pasal 28
f. Penetapan pembayaran ganti rugi

Tinjauan yuridis..., Muhamad Dandy Ksatria Tanato, FH UI, 2014


Pengenaan denda sebesar serendah-rendahnya Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
dan setinggi-tingginya Rp. 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah).
Kesimpulan
Berdasarkan analisa yang telah Penulis jabarkan dalam pembahasan pada bab sebelumnya,
maka Penulis akan memberikan kesimpulan tulisan ini sebagai jawaban dari pokok permasalahan
yang ada pada Bab 1. Berikut kesimpulan Penulis:
1. Penerapan pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999 mengenai kartel oleh majelis komisi KPPU
dalam kasus ini yang memutuskan tidak terbukti adanya kartel adalah tepat.
2. Penerapan pasal 19 huruf c UU No. 5 Tahun 1999 mengenai diskriminasi oleh majelis
komisi KPPU dalam kasus ini yang memutuskan diskriminasi terbukti secara sah dan
meyakinkan adalah tidak tepat.
3. Penerapan pasal 24 UU No. 5 Tahun 1999 mengenai persekongkolan menghambat
perdagangan oleh majelis komisi KPPU dalam kasus ini yang memutuskan
persekongkolan menghambat perdagangan terbukti secara sah dan meyakinkan adalah
tidak tepat.
Saran
Berdasarkan analisa dan kesimpulan yang telah Penulis uraikan, maka Penulis mengajukan
beberapa saran. Berikut saran Penulis:
1. Majelis komisi KPPU disarankan untuk menerapkan pasal-pasal dalam UU No. 5
Tahun 1999 sesuai dengan penjabaran unsur-unsur rumusan pasal dan diselaraskan
dengan sistem pembuktian dan alat bukti yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1999.
2. KPPU disarankan untuk menjalin komunikasi dengan pemerintah terkait dengan
adanya kebijakan pemerintah dalam kegiatan ekonomi yang dianggap berdampak
signifikan dengan keberlangsungan persaingan usaha.  

Daftar Pustaka

BUKU
Anggraini, A.M. Tri. Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat: Per se
Illegal atau Rule of Reason. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
Indonesia. 2003

Tinjauan yuridis..., Muhamad Dandy Ksatria Tanato, FH UI, 2014


Basri, Faisal. Perekonomian Indonesia: Tantangan dan Harapan Bagi Kebangkitan Ekonomi
Indonesia. Jakarta: Erlangga. 2002
Case, E. Carl dan Ray C. Fair, Prinsip-Prinsip Ekonomi Mikro (Principles of Economics),
diterjemahkan oleh Benyamin Molan (Jakarta: PT. Prehallindo, 2002
Elips. Kamus Hukum Ekonomi. Jakarta: Proyek Elips. 1997
Fuady, Munir. Hukum Anti Monopoli: Menyongsong Era Persaingan Sehat. Bandung: PT Citra
Aditya Bakti. 1999
Ginting, Elyta Ras. Hukum Anti Monopoli Indonesia (Analisis dan Perbandingan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999). Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 2001
Hansen, Knud. Law Concerning Prohibition of Monoplistic Practice and Unfair Business
Competition. Jakarta: Katalis. 2000
Ibrahim, Johnny. Hukum Persaingan Usaha Filosofi, Teori dan Implikasi Penerapannya di
Indonesia. Cet. 3 Malang: Bayumedia. 2009
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku I
Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan. 2000
Kartte, Wolfgang. Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat. Jakarta: Katalis-Publishing-Media Services. 2002
Kaysen, Carl and Donald F. Turner. Antitrust Policy: an Economic and Legal Analysis.
Cambridge: Harvard University Press. 1971
Kragmanto, L. Budi, Larangan Persekongkolan Tender (Perspektif Hukum Persaingan Usaha),
Surabaya: Srikandi. 2008
Lubis, Andi Fahmi. Hukum Persaingan Usaha antara Teks dan Konteks. Jakarta: GTZ. 2009
Maarif, Syamsul. Perjanjian Penetapan Harga Dalam Perspektif UU No. 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Prosiding 2004 UU
NO. 5/1999 dan KPPU. Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum. 2004
Mamudji, Sri et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit FHUI.
2005.
Margono, Suyud. Hukum Anti Monopoli. Jakarta: Sinar Grafika. 2009
Mertokosumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty 2002.
Nadapdap, Binoto. Hukum Acara Persaingan Usaha Cet 1. Jakarta: Jala Permata Aksara. 2009

Tinjauan yuridis..., Muhamad Dandy Ksatria Tanato, FH UI, 2014


Posner, Richard A. Economic Analysis of Law. Little Brown and Company. 1992
Prist, Darwan. Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar. Jakarta: Djambatan. 1989
Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Acara Perdata Indonesia. Bandung: Sumur Bandung. 1982
Rokan, Mustafa Kamal. Hukum Persaingan Usaha Teori dan Paktiknya di Indonesia. Cet.1
Jakarta:Rajawali Pers. 2010
Sitompul, Asril, Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Tinjauan terhadap UU
No. 5 Tahun 1999). Bandung: Citra Aditya Bakti. 1999
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. 2010
Sutantio, Retnowulan, et al., Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik, cet. 11. Bandung:
Mandar Maju. 2009
Tim Dosen Pengajar FHUI. Pengantar Hukum Persaingan Usaha. Depok: Fakultas Hukum
Universitas Indonesia. 2008
Winardi, Istilah Ekonomi dalam Tiga Bahasa, Inggris, Belanda, Indonesia. Bandung: Mnadar
Maju. 1996

Tinjauan yuridis..., Muhamad Dandy Ksatria Tanato, FH UI, 2014

Anda mungkin juga menyukai