INSTRUCTIONS TO STUDENTS:
SOAL 1
PT. Terbang Pergi Jalan (PT. TPJ) didirikan berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia
yang bergerak di bidang Travel Agent berbasis teknologi yang telah menjalin Perjanjian
Kerja dengan Alexandra Latusa seorang Warga Negara Indonesia, disepakati Perjanjian
Kerjanya adalah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yaitu selama 1 (satu) tahun atau
12 (dua belas) bulan. Alexandra Latusa mendapatkan upah sebesar Rp 20.000.000,-
(duapuluh juta Rupiah) per bulannya. Namun setelah berjalan 3 (tiga) bulan Karina Frederika
sebagai Direktur Utama menilai Alexandra Latusa tidak mampu melaksanakan tugas dan
tanggungjawabnya sebagai pekerja, ditambah laporan divisi HRD menunjukkan
kehadirannya merah, beberapa kali Alexandra Latusa telah dipindahkan ke divisi lain namun
tetap saja tidak dapat melakukan tugas dan tanggungjawabnya dengan benar. Maka, setelah 4
bulan bekerja, Karina Frederika mewakili PT. TPJ memutuskan hubungan kerjanya dengan
Alexandra Latusa, padahal masih tersisa 8 bulan masa kerja Alexandra Latusa jika merujuk
PKWT yang mereka buat.
Pertanyaan:
1. Apakah tindakan Karina Frederika memutuskan hubungan kerjanya dengan
Alexandra Latusa melanggar ketentuan perundang-undangan? Jelaskan secara
rinci!
Jawab :
Perlu diketahui bahwa Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) adalah perjanjian kerja
antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk melaksanakan pekerjaan yang
diperkirakan selesai dalam waktu tertentu yang relatif pendek dengan jangka waktu
paling lama dua tahun dan hanya dapat diperpanjang satu kali untuk masa paling lama
sama dengan waktu perjanjian kerja pertama, jadi total PKWT paling lama 3 tahun.
2. Jika terjadi perselisihan diantara PT. TPJ dengan Alexandra Latusa, pengadilan
mana yang berhak mengadili dan jelaskan proses penyeselesaian perselisihannya?
Jawab :
Perselisihan yang terjadi antara PT. TPJ dan Alexsandra Latusa merupakan sengketa
dalam hubungan industrial dimana penyelesaiannya mempunyai dasar hukum UU No. 2
tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI).
Penyelesaian Sengketa dapat dilakukan dengan:
1. Diluar pengadilan melalui proses Bipartite, Mediasi, Konsiliasi, atau
Arbitrase.
2. Pengadilan Hubungan Industrial (PHI)
Maka dari itu, pengadilan yang berjak mengadili perselisihan ini adalah Pengadilan
Hubungan Industrial (PHI).
SOAL 2
PT. Petro Putra Textile (PT. PPT) adalah perusahaan yang bergerak dan memiliki izin di
bidang eksport import bahan-bahan textile dari China ke Indonesia. Kimberly merupakan
Direktur sekaligus pemegang saham 99,9 % dari PT. PPT tersebut. Untuk melakukan
ekspansi usaha, Kimberly mencoba mengimpor mesin jahit bersamaan dengan container yang
memuat bahan-bahan textile. Sesampainya di pelabuhan Tj. Priok, container milik PT. PPT
digeledah oleh Pihak Bea Cukai dan diketahui PT. PPT telah menyalahi dokumen dan izin
eksport import. Mendengar hal ini, Kimberly yang kebetulan sedang berada di Singapura
untuk liburan memutuskan untuk tidak kembali lagi ke Indonesia.
Pertanyaan:
1. Apakah tindakan tersebut termasuk Tindak Pidana Ekonomi? Apabila termasuk
maupun tidak termasuk mohon jelaskan dan berikan dasar hukumnya!
Jawab :
Ya termasuk, Karena PT.PPT melanggar peraturan sudah menyalahi dokumen dan
perizinan ekspor dan impor. Jadi sudah jelas pihak Bea & Cukai melakukan tindakan
tersebut dan ketika ditinjau dari dasar hukum yang berlaku, hal ini sudah melanggar
Undang - Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955. Tujuan dari Undang-undang Darurat
Nomor 7 tahun 1955 ini adalah tentang Pengusutan. Penuntutan dan Peradilan Tindak
Pidana Ekonomi, di samping memperberat hukuman, terdapat juga tujuan untuk
mencapai keseragaman di dalam mengusut, menuntut dan mengadili tindak pidana
ekonomi
2. Apakah terhadap Kimberly dapat diadili secara in absentia? Jelaskan dan berikan
dasar hukumnya!
Jawab :
Ya dapat diadili, Dalam hukum acara perdata, pengaturan in absentia terdapat dalam
Undang – Undang tentang Putusan Verstek Pasal 125 Herzien Inlandsch Reglement
(“HIR”) yang menyatakan: “Jika tergugat tidak datang pada hari perkara itu akan
diperiksa, atau tidak pula menyuruh orang lain menghadap mewakilinya, meskipun
ia dipanggil dengan patut, maka gugatan itu diterima dengan tak hadir (verstek),
kecuali kalau nyata kepada pengadilan negeri, bahwa pendakwaan itu melawan hak
atau tidak beralasan.” Dalam penjelasan Pasal 125 HIR dijelaskan bahwa putusan
"verstek" atau "in absentia", berarti putusan tak hadir.
Berdasarkan pengaturan Pasal 125 HIR, apabila terhadap seorang tergugat telah dilakukan
pemanggilan secara patut namun panggilan pengadilan tidak dipenuhi, maka perkara
dapat diputus tanpa kehadiran tergugat.
SOAL 3
Pada tanggal 10 Oktober tahun 2012 distributor Gula Khusus Daerah Jakarta Barat, Jakarta
Selatan dan Jakarta Utara yaitu PT.ADS menjual harga gula sebesar Rp. 15.000/kg, PT.BRV
menjual seharga Rp.14.800/kg, PT.CKL menjual Rp.14.700/kg dan PT. DGZ menjual Rp.
14.600/kg. Hampir seluruh agen, toko-toko retail yang ada Daerah Jakarta Barat, Jakarta
Selatan dan Jakarta Utara membeli gula dari distributor PT. DGZ karena dinilai murah. Pada
bulan Maret tahun 2013 Para Distributor Gula PT.ADS, PT.BRV, PT.CKL, dan PT.DGZ
berkumpul untuk menyepakati harga gula sebesar Rp.16.000/kg. Kesepakatan tersebut
dituangkan dalam perjanjian, selain kesepakatan harga gula, di dalam perjanjian juga terdapat
kesepakatan untuk larangan memberikan discount kepada konsumen dan dilarang menjual
harga dibawah atau diatas harga tersebut diatas.
Pertanyaan:
1. Apakah kesepakatan terhadap harga gula yang dilakukan distributor gula
melanggar Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999? Jika tidak sebutkan alasannya,
dan jika melanggar, jenis pendekatan apa yang sesuai yang harus diterapkan oleh
KPPU?
Jawab :
Ya termasuk ke dalam pelanggaran Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 terutama
dalam pasal 11 tentang praktik Kartel. Kartel sendiri merupakan suatu kegiatan dalam
bentuk kerjasama antar beberapa perusahaan demi menetapkan suatu harga untuk
menguasai produksi dan penjualan, singkatnya melakukan kegiatan monopoli harga atas
suatu komoditas ataupun industri tertentu. Penetapan harga adalah sebuah perilaku yang
dilarang dalam perkembangan pengaturan persaingan. Hal ini disebabkan penetapan
harga selalu menghasilkan harga yang senantiasa berada jauh di atas harga yang bisa
dicapai melalui persaingan usaha yang sehat. Harga tinggi ini tentu saja menyebabkan
terjadinya kerugian bagi masyarakat baik langsung maupun tidak langsung.
Berdasarkan Undang-undang No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No. 5 Tahun 1999), khususnya pasal 11
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang dugaan praktik Kartel. Dalam kasus ini
dapat dilihat bahwa perusahaan-perusahaan tersebut telah membuat perjanjian atau
kesepakatan, saya menilai bahwa telah terdapat concerted action atau parallelism oleh
perusahaan-perusahaan tersebut, sehingga telah terjalin kesepakatan antara para pelaku
usaha (meeting of minds) dalam bentuk kesepakatan untuk meniadakan diskon atau
membuat keseragaman diskon, dan kesepakatan meniadakan produk yang ditawarkan
dengan harga dibawah atau diatas harga tersebut diatas.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memiliki tugas untuk menyusun
pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan undang-undang tersebut. Salah
satunya adalah penyusunan pedoman pelaksanaan pasal-pasal dalam UU No 5 Tahun
1999 dengan tujuan memberikan pemahaman yang sama kepada stakeholder UU No 5
Tahun 1999. KPPU juga bisa memberikan saran dan pertimbangan kepada Kementerian
Perhubungan untuk melakukan evaluasi terkait kebijakan tarif batas atas dan batas
bawah.
Dalam kasus ini, perkembangan penanganan perkara penetapan harga (price fixing) di
berbagai belahan dunia, berkembang upaya pembuktian keberadaan perilaku tersebut,
tidak hanya melalui bukti-bukti langsung (hard evidence), tetapi juga dikembangkan
pembuktian-pembuktian lain melalui bukti-bukti tidak langsung (circumstantial
evidence). Hal ini terjadi, karena bukti langsung menjadi semakin sulit ditemukan karena
keberadaan lembaga pengawas persaingan telah menjadi faktor yang diperhitungkan
sehingga hal-hal yang berkaitan dengan bukti langsung telah dihindari oleh pelaku
usaha. Tetapi bagaimanapun, penggunaan bukti-bukti tidak langsung harus tetap
dilakukan dalam bingkai pembuktian sebagaimana diatur dalam UU No 5 Tahun 1999.