Anda di halaman 1dari 8

FINAL EXAMINATION

Hukum Bisnis (MNJ211 -


AKT41-W-)
Session: Semester 4 – AY 2020/2021 Date: July 16th, 2021

Faculty: Economic and Social Sciences Duration: 120 minutes (2 hours)

Study Program: Accounting Permitted Materials:


-
Level of Study: Undergraduate (S1)

INSTRUCTIONS TO STUDENTS:

1. Check the following exam paper information:


Exam paper:
● Total number of pages :3
● Attached materials :-
● Total number of sections : 3
● Total number of questions : 7
Instructions:
1. All communication devices should be in inactive mode during the
test and any notes or books are prohibited to use.
2. You may write down the answers either in Indonesian, if you find
some uncertainty to answer, or English.
3. Answer the questions sequentially in accordance to the numbers.
4. At the end of the test, we will collect the test paper attached with
your worksheet.
5. Student is prohibited from borrowing any stationary from other
students.
2. Please write your name and student ID on the exam paper and answer sheets.
Student Name Fathiyah Nur Adilah
Student ID 1191002025
3. Candidates may use this exam paper to write notes as necessary, but should not remove it
from the examination venue for any reason.
4. Any form of cheating or attempt to cheat is a serious offence leading to dismissal.
Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini. Jawaban dikirimkan
melalui email ke:
hartonolawfirm28tiger@gmail.com

SOAL 1
PT. Terbang Pergi Jalan (PT. TPJ) didirikan berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia
yang bergerak di bidang Travel Agent berbasis teknologi yang telah menjalin Perjanjian
Kerja dengan Alexandra Latusa seorang Warga Negara Indonesia, disepakati Perjanjian
Kerjanya adalah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yaitu selama 1 (satu) tahun atau
12 (dua belas) bulan. Alexandra Latusa mendapatkan upah sebesar Rp 20.000.000,-
(duapuluh juta Rupiah) per bulannya. Namun setelah berjalan 3 (tiga) bulan Karina Frederika
sebagai Direktur Utama menilai Alexandra Latusa tidak mampu melaksanakan tugas dan
tanggungjawabnya sebagai pekerja, ditambah laporan divisi HRD menunjukkan
kehadirannya merah, beberapa kali Alexandra Latusa telah dipindahkan ke divisi lain namun
tetap saja tidak dapat melakukan tugas dan tanggungjawabnya dengan benar. Maka, setelah 4
bulan bekerja, Karina Frederika mewakili PT. TPJ memutuskan hubungan kerjanya dengan
Alexandra Latusa, padahal masih tersisa 8 bulan masa kerja Alexandra Latusa jika merujuk
PKWT yang mereka buat.
Pertanyaan:
1. Apakah tindakan Karina Frederika memutuskan hubungan kerjanya dengan
Alexandra Latusa melanggar ketentuan perundang-undangan? Jelaskan secara
rinci!
Jawab :
Perlu diketahui bahwa Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) adalah perjanjian kerja
antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk melaksanakan pekerjaan yang
diperkirakan selesai dalam waktu tertentu yang relatif pendek dengan jangka waktu
paling lama dua tahun dan hanya dapat diperpanjang satu kali untuk masa paling lama
sama dengan waktu perjanjian kerja pertama, jadi total PKWT paling lama 3 tahun.

Menurut UU Ketenagakerjaan pasal 61 ayat 1 UU NAKER no.13/2003, perjanjian kerja


berakhir apabila:
a. pekerja meninggal dunia;
b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
c. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
d. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan
berakhirnya hubungan kerja.

Menurut saya, berdasarkan pasal 61 ayat 1 UU NAKER no.13/2003, tindakan Karina


Frederika sebagai Direktur Utama tidak melanggar ketentuan perundang-undangan,
Karena di dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama
pasti dicantumkan mengenai tugas dan tanggung jawabnya serta peraturan peraturan
(kesepakatan) yang harus dijalani seorang pekerja di perusahaan tersebut misalnya
kesepakatan mengenai hari libur dan hari kerja, dalam hal ini adanya laporan divisi HRD
yang menunjukan bahwa beberapa kali kehadiran Alexandra Latusa merah. Jadi,
berdasarkan pertimbangan bahwa Alexandra Latusa tidak kompeten dalam menjalankan
pekerjaannya, dapat disimpulkan bahwa tindakan Karina Frederika memutuskan
hubungan kerjanya dengan Alexandra Latusa tidak melanggar ketentuan
Perundang-Undangan pasal 61 ayat 1 poin d UU NAKER no.13/2003. Namun
berdasarkan Pasal 62 UU NAKER no.13/2003 pihak yang mengakhiri hubungan kerja
tersebut diwajibkan memberikan ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja
sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu PKWT.

2. Jika terjadi perselisihan diantara PT. TPJ dengan Alexandra Latusa, pengadilan
mana yang berhak mengadili dan jelaskan proses penyeselesaian perselisihannya?
Jawab :
Perselisihan yang terjadi antara PT. TPJ dan Alexsandra Latusa merupakan sengketa
dalam hubungan industrial dimana penyelesaiannya mempunyai dasar hukum UU No. 2
tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI).
Penyelesaian Sengketa dapat dilakukan dengan:
1. Diluar pengadilan melalui proses Bipartite, Mediasi, Konsiliasi, atau
Arbitrase.
2. Pengadilan Hubungan Industrial (PHI)
Maka dari itu, pengadilan yang berjak mengadili perselisihan ini adalah Pengadilan
Hubungan Industrial (PHI).

Prosesnya adalah yang pertama perlu diketahui bahwa Pengadilan Hubungan


Industrial (PHI) memiliki otoritas untuk menangani semua jenis perselisihan
ketenagakerjaan. Pengadilan ini berkedudukan di seluruh Pengadilan Negeri
Kota/Kabupaten. Pembentukan PHI dilakukan oleh pihak Pengadilan Negeri di daerah
perselisihan dalam satu lingkup provinsi. Namun, khusus wilayah padat industri,
pembentukan PHI didasarkan pada keputusan Pengadilan Negeri dan Presiden.
Kemudian, khusus untuk kasus PHK, PHI harus menentukan jenisnya; perselisihan
hak atau kepentingan. Perselisihan hak terjadi karena terdapat perbedaan sudut pandang
antara pekerja dan pengusaha terhadap kontrak kerja atau peraturan di perusahaan.
Biasanya, dalam kasus tersebut ada hak-hak yang tidak dipenuhi. Sedangkan,
perselisihan kepentingan bisa terjadi jika tindakan pengusaha tidak sesuai dengan kaidah
atau aturan yang disepakati dalam perjanjian kerja.
Selanjutnya, Pimpinan Pengadilan Negeri menunjuk tiga orang majelis hakim
maksimal 7 hari setelah pengajuan gugatan. Majelis hakim tersebut terdiri dari seorang
ketua dan dua hakim anggota (Ad-Hoc). Selain itu, untuk membantu majelis hakim,
Ketua Pengadilan Negeri membentuk panitera pengganti. Panitera pengganti bertugas
mencatat pelaksanaan sidang, membuat konsep putusan, menyusun berita acara, dan
melaporkan hasil persidangan. Panitera pengganti bersama majelis hakim juga harus
menentukan jadwal sidang perselisihan hubungan industrial.
Berkas-berkas yang perlu disiapkan dalam beracara di PHI adalah : surat gugatan
yang dibubuhi materai Rp 6.000,,- dan dilampiri Risalah mediasi/konsiliasi dan anjuran
tertulis (penggugat), surat kuasa khusus (kedua belah pihak), jawaban gugatan (tergugat),
replik (penggugat), duplik (penggugat), daftar bukti tertulis dan berkas bukti yang sudah
diberi materai Rp 6.000,- serta berstempel pos (kedua belah pihak), daftar kesaksian
yang dilampiri KTP calon saksi dan menghadirkan saksi (kedua belah pihak),
kesimpulan (kedua belah pihak), putusan (Majelis Hakim PHI) dan pengiriman salinan
resmi putusan PHI (Panitera PHI)
Yang terakhir, mengenai keputusan atau ketetapan dari majelis hakim harus
didapatkan maksimal 50 hari pasca sidang pertama. Putusan majelis hakim bersifat tetap
dan mengikat bagi kedua belah pihak dan jika tidak ada pihak yang mengajukan kasasi
ke Mahkamah Agung. Pengajuan kasasi selambat-lambatnya 14 hari setelah putusan
ditetapkan oleh majelis hakim.

SOAL 2
PT. Petro Putra Textile (PT. PPT) adalah perusahaan yang bergerak dan memiliki izin di
bidang eksport import bahan-bahan textile dari China ke Indonesia. Kimberly merupakan
Direktur sekaligus pemegang saham 99,9 % dari PT. PPT tersebut. Untuk melakukan
ekspansi usaha, Kimberly mencoba mengimpor mesin jahit bersamaan dengan container yang
memuat bahan-bahan textile. Sesampainya di pelabuhan Tj. Priok, container milik PT. PPT
digeledah oleh Pihak Bea Cukai dan diketahui PT. PPT telah menyalahi dokumen dan izin
eksport import. Mendengar hal ini, Kimberly yang kebetulan sedang berada di Singapura
untuk liburan memutuskan untuk tidak kembali lagi ke Indonesia.
Pertanyaan:
1. Apakah tindakan tersebut termasuk Tindak Pidana Ekonomi? Apabila termasuk
maupun tidak termasuk mohon jelaskan dan berikan dasar hukumnya!
Jawab :
Ya termasuk, Karena PT.PPT melanggar peraturan sudah menyalahi dokumen dan
perizinan ekspor dan impor. Jadi sudah jelas pihak Bea & Cukai melakukan tindakan
tersebut dan ketika ditinjau dari dasar hukum yang berlaku, hal ini sudah melanggar
Undang - Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955. Tujuan dari Undang-undang Darurat
Nomor 7 tahun 1955 ini adalah tentang Pengusutan. Penuntutan dan Peradilan Tindak
Pidana Ekonomi, di samping memperberat hukuman, terdapat juga tujuan untuk
mencapai keseragaman di dalam mengusut, menuntut dan mengadili tindak pidana
ekonomi

2. Apakah terhadap Kimberly dapat diadili secara in absentia? Jelaskan dan berikan
dasar hukumnya!
Jawab :
Ya dapat diadili, Dalam hukum acara perdata, pengaturan in absentia terdapat dalam
Undang – Undang tentang Putusan Verstek Pasal 125 Herzien Inlandsch Reglement
(“HIR”) yang menyatakan: “Jika tergugat tidak datang pada hari perkara itu akan
diperiksa, atau tidak pula menyuruh orang lain menghadap mewakilinya, meskipun
ia dipanggil dengan patut, maka gugatan itu diterima dengan tak hadir (verstek),
kecuali kalau nyata kepada pengadilan negeri, bahwa pendakwaan itu melawan hak
atau tidak beralasan.” Dalam penjelasan Pasal 125 HIR dijelaskan bahwa putusan
"verstek" atau "in absentia", berarti putusan tak hadir.

Berdasarkan pengaturan Pasal 125 HIR, apabila terhadap seorang tergugat telah dilakukan
pemanggilan secara patut namun panggilan pengadilan tidak dipenuhi, maka perkara
dapat diputus tanpa kehadiran tergugat.

SOAL 3
Pada tanggal 10 Oktober tahun 2012 distributor Gula Khusus Daerah Jakarta Barat, Jakarta
Selatan dan Jakarta Utara yaitu PT.ADS menjual harga gula sebesar Rp. 15.000/kg, PT.BRV
menjual seharga Rp.14.800/kg, PT.CKL menjual Rp.14.700/kg dan PT. DGZ menjual Rp.
14.600/kg. Hampir seluruh agen, toko-toko retail yang ada Daerah Jakarta Barat, Jakarta
Selatan dan Jakarta Utara membeli gula dari distributor PT. DGZ karena dinilai murah. Pada
bulan Maret tahun 2013 Para Distributor Gula PT.ADS, PT.BRV, PT.CKL, dan PT.DGZ
berkumpul untuk menyepakati harga gula sebesar Rp.16.000/kg. Kesepakatan tersebut
dituangkan dalam perjanjian, selain kesepakatan harga gula, di dalam perjanjian juga terdapat
kesepakatan untuk larangan memberikan discount kepada konsumen dan dilarang menjual
harga dibawah atau diatas harga tersebut diatas.
Pertanyaan:
1. Apakah kesepakatan terhadap harga gula yang dilakukan distributor gula
melanggar Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999? Jika tidak sebutkan alasannya,
dan jika melanggar, jenis pendekatan apa yang sesuai yang harus diterapkan oleh
KPPU?
Jawab :
Ya termasuk ke dalam pelanggaran Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 terutama
dalam pasal 11 tentang praktik Kartel. Kartel sendiri merupakan suatu kegiatan dalam
bentuk kerjasama antar beberapa perusahaan demi menetapkan suatu harga untuk
menguasai produksi dan penjualan, singkatnya melakukan kegiatan monopoli harga atas
suatu komoditas ataupun industri tertentu. Penetapan harga adalah sebuah perilaku yang
dilarang dalam perkembangan pengaturan persaingan. Hal ini disebabkan penetapan
harga selalu menghasilkan harga yang senantiasa berada jauh di atas harga yang bisa
dicapai melalui persaingan usaha yang sehat. Harga tinggi ini tentu saja menyebabkan
terjadinya kerugian bagi masyarakat baik langsung maupun tidak langsung.
Berdasarkan Undang-undang No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No. 5 Tahun 1999), khususnya pasal 11
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang dugaan praktik Kartel. Dalam kasus ini
dapat dilihat bahwa perusahaan-perusahaan tersebut telah membuat perjanjian atau
kesepakatan, saya menilai bahwa telah terdapat concerted action atau parallelism oleh
perusahaan-perusahaan tersebut, sehingga telah terjalin kesepakatan antara para pelaku
usaha (meeting of minds) dalam bentuk kesepakatan untuk meniadakan diskon atau
membuat keseragaman diskon, dan kesepakatan meniadakan produk yang ditawarkan
dengan harga dibawah atau diatas harga tersebut diatas.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memiliki tugas untuk menyusun
pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan undang-undang tersebut. Salah
satunya adalah penyusunan pedoman pelaksanaan pasal-pasal dalam UU No 5 Tahun
1999 dengan tujuan memberikan pemahaman yang sama kepada stakeholder UU No 5
Tahun 1999. KPPU juga bisa memberikan saran dan pertimbangan kepada Kementerian
Perhubungan untuk melakukan evaluasi terkait kebijakan tarif batas atas dan batas
bawah.
Dalam kasus ini, perkembangan penanganan perkara penetapan harga (price fixing) di
berbagai belahan dunia, berkembang upaya pembuktian keberadaan perilaku tersebut,
tidak hanya melalui bukti-bukti langsung (hard evidence), tetapi juga dikembangkan
pembuktian-pembuktian lain melalui bukti-bukti tidak langsung (circumstantial
evidence). Hal ini terjadi, karena bukti langsung menjadi semakin sulit ditemukan karena
keberadaan lembaga pengawas persaingan telah menjadi faktor yang diperhitungkan
sehingga hal-hal yang berkaitan dengan bukti langsung telah dihindari oleh pelaku
usaha. Tetapi bagaimanapun, penggunaan bukti-bukti tidak langsung harus tetap
dilakukan dalam bingkai pembuktian sebagaimana diatur dalam UU No 5 Tahun 1999.

2. Apakah ada hak-hak konsumen yang dilanggar atas terjadinya kesepakatan


distributor gula diatas? Sebutkan dan jelaskan hak-hak yang dimiliki oleh
konsumen sesuai dengan UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen?
Jawab:
Terdapat larangan memberikan discount kepada konsumen dan dilarang menjual
harga dibawah atau diatas harga tersebut diatas, hak-hak yang dimiliki oleh konsumen
sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen:
1) hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa;
2) hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3) hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa;
4) hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
5) hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
6) hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7) hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
8) hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya;
9) hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

3. A melakukan perjanjian hutang piutang dengan B tanggal 20 Januari 2017. Dalam


perjanjian hutang tersebut A meminjam uang sebesar Rp. 200.000.000 (dua ratus juta
Rupiah) kepada B dan akan melunasinya paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal
perjanjian hutang piutang. Namun sampai dengan tanggal 20 April 2017, A baru
melunasi sebesar Rp. 50.000.000 (lima puluh juta Rupiah). Karena telah melampaui
batas yang diperjanjikan maka A melayangkan peringatan kepada B untuk segera
melunasi hutang tersebut. Namun B, beralasan bahwa usaha yang dikelola dengan uang
tersebut ternyata mengalami kebangkrutan sehingga B minta perpanjangan jangka waktu
untuk mengembalikan uang tersebut. Namun A tidak setuju dan meminta segera
mengembalikan sisa hutang tersebut beserta bunganya yang disepakati sebesar 10 %
(sepuluh persen) per bulan. Menurut Anda, langkah apa yang terbaik yang harus
ditempuh kedua belah pihak untuk menyelesaikan hutang piutang tersebut dan
bagaimana penyelesaiannya? Jelaskan beserta dasar hukumnya!
Jawab :
Perjanjian tidak dapat dibawa ke dalam ranah pidana jika para pihak sebelum
membuat suatu perjanjian telah meyakinkan tidak adanya tipu muslihat di dalamnya dan
juga jika di dalam membuat perjanjian tersebut didasari pada itikad baik. perjanjian yang
sudah disepakati kedua belah pihak berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Perjanjian merupakan hubungan hukum keperdataan sehingga akibat
hukum dari tidak dilaksanakannya suatu perjanjian mengakibatkan hukuman yang
bersifat keperdataan.
Penutupan usaha memerlukan proses yang hampir sama dengan pembentukan usaha
baru. Hal ini juga berlaku sama jika suatu PT akan menutup usahanya maka secara
hukum harus melalui proses likuidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 sampai
dengan Pasal 152 UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Akhir dari proses
pembubaran tersebut diberitahukan kembali kepada Menteri Hukum dan HAM. Hal
yang sama juga berlaku kepada badan usaha lainya yang tidak berbadan hukum, yaitu
diperlukan proses likuidasi guna melindungi pihak ketiga yang tidak mengetahui adanya
pembubaran badan usaha tersebut. Jika hal ini sudah dilakukan, maka demi hukum
badan usaha tersebut sudah bisa dinyatakan bubar/tutup. Hal sebaliknya, jika perusahaan
tersebut belum melakukan proses likuidasi dalam rangka penutupan badan usahanya,
maka demi hukum perusahan tersebut masih hidup meskipun tidak lagi menjalankan
kegiatan usahanya.
Berdasarkan dasar hukumnya:
1. Instrumen hukum lainnya yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan
permohonan kepailitan sebagaimana diatur dalam UU No. 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang mana
segala pengurusan dan pemberesan akan utang-utang dari si berutang akan
dilakukan oleh kurator.
2. Pasal 1131 KUH Perdata yang menjelaskan sebagai berikut:
“Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak,
baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi
tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”
3. Ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata tersebut sangatlah jelas sehingga dapat kita
simpulkan bahwa utang-utang, baik itu bersumber dari perjanjian atau surat
kesanggupan membayar (Promissory Note), daripada si berutang tidaklah hapus
meskipun si berutang sebagai badan usaha sudah tidak beroperasi lagi. Hapusnya
utang-utang si berutang hanya dapat disebabkan oleh hal-hal yang diatur dalam
Pasal 1381 KUH Perdata, yaitu karena :
● Pembayaran;
● Penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau
penitipan;
● Pembaharuan utang;
● Perjumpaan utang atau kompensasi;
● Percampuran utang;
● Pembebasan utang;
● Musnahnya barang yang terutang;
● Kebatalan atau pembatalan;
● Berlakunya suatu syarat batal; dan
● Lewatnya waktu.

---------- end of exam paper ---------

Anda mungkin juga menyukai