Anda di halaman 1dari 2

Public Relation

Finding Fact:

Pada tahun 2015 Kementerian Perhubungan (Kemenhub) telah melarang layanan transportasi
berbasis aplikasi seperti Uber Taksi, Go-Jek, Go-Box, Grab Taksi, Grab Car, Blu-Jek, serta Lady-Jek dan
sejenisnya. Larangan ini didasarkan pada beberapa aturan hukum, termasuk Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan, Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014
tentang Angkutan Jalan, Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 35 Tahun 2003 tentang
Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan dengan Kendaraan Umum, dan Keputusan Menteri
Perhubungan Nomor KM 69 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Angkutan Barang.

Kemenhub menyatakan bahwa pengoperasian kendaraan untuk angkutan umum yang tidak sesuai
dengan peraturan perundang-undangan merupakan pelanggaran hukum dan oleh karena itu
dilarang. Alasan di balik larangan ini adalah adanya potensi gesekan dengan moda transportasi lain,
masalah kesenjangan pendapatan antara penyedia jasa aplikasi dan pengemudi transportasi
konvensional, serta keamanan dan keselamatan masyarakat berlalu lintas.

Pemerintah mendorong penggunaan teknologi, informasi, dan komunikasi dalam mendukung


pelayanan angkutan umum, namun diharapkan agar penggunaan teknologi ini tetap mematuhi
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam rilis tersebut, ditampilkan juga beberapa aturan
terkait, termasuk izin penyelenggaraan angkutan dan standar pelayanan minimal yang harus
dipenuhi oleh perusahaan angkutan umum.

Planning:

1. Kolaborasi dengan pemerintah


2. Mencari solusi hukum
3. Kampanye komunikasi

Communicating:

CEO PT Go-Jek Indonesia, Nadiem Makarim, menyatakan bahwa layanan ojek berbasis aplikasi
mereka tidak melanggar hukum. Menurutnya, tidak ada aturan hukum yang secara spesifik mengatur
penggunaan sepeda motor roda dua sebagai angkutan umum. Oleh karena itu, Nadiem tidak
khawatir dengan pernyataan yang menyebut Go-Jek melanggar hukum. Dia mengungkapkan bahwa
aturan lalu lintas tidak mengatur roda dua, dan tidak ada pernyataan hukum yang menyebut roda
dua sebagai sarana transportasi yang melanggar.

Nadiem mengacu pada berbagai aturan hukum, termasuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang
Angkutan Jalan. Dia menjelaskan bahwa Go-Jek lebih merupakan sebuah aplikasi yang membantu
perseorangan. Selain itu, Nadiem mengajak semua pihak untuk melihat masalah ini bukan hanya dari
sudut pandang ojek berbasis aplikasi, tetapi juga dari sudut pandang ojek konvensional jika
membahas tentang sepeda motor sebagai angkutan umum.

Nadiem menekankan bahwa ini bukanlah pertentangan antara Go-Jek dan ojek konvensional, tetapi
sebuah isu yang melibatkan jutaan ojek di Indonesia. Dia berpendapat bahwa perlu ada perlindungan
hukum bagi para ojek, mengingat jumlah mereka yang mencapai jutaan.

Evaluating: Perusahaan gojek bisa melanjutkan bisnisnya dengan aman karena sudah memiliki
kejelasan tentang izin yang berkaitan dengan undang undang transportasi,hingga saat ini pengguna
gojek semakin bertambah karena orang orang sudah jarang memilih ojek pangkalan.

Anda mungkin juga menyukai