Anda di halaman 1dari 26

BAB III

TINJAUAN HUKUM TERHADAP ANGKUTAN OJEG

PANGKALAN DIHIBUNGKAN DENGAN PASAL 47 UNDANG-

UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS

DAN ANGKUTAN JALAN (STUDI KASUS OJEK KONVENSIONAL

DI KOTA BANDUNG).

A. Bagaimanakah kedudukan ojek konvensional (pangkalan) yang

merupakan bagian dari angkutan umum apabila ditinjau dari Undang-

undang Nomor 22 Thaun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan jalan

Pengaturan mengenai transportasi berbasis ojek pangkalan yang

ditemukan atau merupakana hasil dalam penelitian ini diperoleh dalam

jiwa bangsa (volksgeist). seperti telah dikemukakan di muka, dalam

perspektif teori Keadilan Bermartabat, dikemukakan atau diajarkan,

bahwa apabila orang mau mencari hukumnya, dalam hal ini yaitu

hukum yang mengatur tentang transportasi khususnya ojek

konvensional, maka yang harus dilakukan adalah mencari hukum

tersebut dalam jiwa bangsa. Perwujudan dari jiwa bangsa itu dapat

diteliti secara ilmiah, dengan jalan membaca peraturan perundang-

undangan yang berlaku dan putusan- putusan pengadilan, sedapat

mungkin, yang telah berkekuatan hukum tetap. Di bawah ini,

dikemukakan hasil penelitian atau temuan tentang pengaturan

transportasi berbasis online dalam perspektif Keadilan Bermartabat

tersebut.
Manifestasi dari jiwa bangsa yang di dalamnya terdapat dimensi

Pengaturan Transportasi ojek pangkalan yang berhasil ditemukan

peneliti yaitu Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalulintas

dan Angkutan Jalan, Peraturan Menteri Perhubungan No. 12 Tahun

2019 tentang Pelindungan

Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang digunakan untuk

Kepentingan Masyarakat dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 15

P/HUM/2018 dengan Uji Materiil terhadap Peraturan Menteri

Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 108 Tahun 2017 tentang

Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum

Tidak dalam Trayek.

Berdasarkan hasil wawancara dengan pengurus ojek pangkalan

di ketahui bahwa transportasi khususnya ojek pangkalan pada

hakekatnya adalah sebuah perikatan. Bahwa suatu perikatan adalah

suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, dimana

pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan

pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu55 Pihak-

pihak yang terkait dengan Transportasi yaitu driver/pengemudi,

merchant dan konsumen.

Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalulintas dan

Angkutan Jalan diselenggarakan dengan tujuan terwujudnya pelayanan

55
Wawancara dengan pengurus ojek pangkalan jati handap cicaheum Kota Bandung pada hari
rabu 19 juli 2023.
lalu lintas dan angkutan jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan

terpadu dengan angkutan moda lain untuk mendorong perekonomian

nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan

kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa,

terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa dan terwujudnya

penekan hukum dan kepastian hukum masyarakat.

Tidak dapat dipungkiri dalam kenyataannya di masyarakat bahwa

masih terdapat kendaraan yang tidak berizin yang digunakan sebagai alat

tansportasi angkutan umum berupa sepeda motor (ojek) dan mobil pribadi. Hal

itu menimbulkan persoalan di bidang hukum terkait dengan perlindungan

hukum atas kerugian bagi penumpang yang mengalaminya, sehingga penting

dilakukan suatu penelitian. Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian

hukum normatif, dengan pendekatan regulasi dan konseptual.

Hasil observasi dan wawancara dengan bapak sukiman menyatakan

bahwa penumpang yang mengalami kerugian jiwa dan atau barang akibat

mengalami kecelakaan selama dalam pengangkutan dari perspektif hukum

perdata positif berada dalam posisi yang sangat lemah untuk mendapatkan

perlindungan hukum mendapat ganti kerugian, baik berdasarkan perjanjian

pengangkutan.56

Jika pengaturan transportasi online masih mengacu kepada

pengertian diatas padahal penyedia jasa angkutan online dalam hal ini

driver adalah bersifat pribadi dan hanya memanfaatkan teknologi

56
Observasi dan wawancara dengan pengemudi ojeg pangkalan jati handap Kota Bandung Pada
Hari Kamis 20 Juli 2023.
informasi dari penyedia jasa aplikasi dan hanya melakukan kontrak

tidak tertulis dengan konsumen jasa angkutan online. Hubungan antara

penyedia jasa aplikasi hanya dan pengemudi hanya sebatas mitra kerja

bukan sebagai majikan dan pekerja.

Kesesuaian suatu kontrak dapat dilihat dari Pasal 1320 KUHP

perdata mengenai sahnya suatu perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya

mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya melainkan juga

segala sesuatu yang menurut sifatnya perjanjian dituntut berdasarkan

keadilan.

Berdasarkan amanat Undang-Undang No. 22 Tahun 2009

tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan Pemerintah melalui Kementrian

Perhubungan mengeluarkan aturan khusus yang mengatur transportasi

berbasis online yaitu PerMenhub Nomor 108 Tahun 2017 tentang

Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum

Tidak dalam Trayek. Dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan

lalu lintas dan angkutan jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan

terpadu dengan modal angkutan lain, juga mempunyai tujuan untuk

mendorong perekonomian nasional, mewujudkan kesejahteraan rakyat,

persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi

martabat bangsa, maka Kementrian Perhubungan sesuai dengan tugas

dan fungsinya menetapkan PerMenhub Nomor 108/2017 sebagai

peraturan yang mengatur penyelenggaraan angkutan orang dengan

kendaraan bermotor umum tidak dalam trayek.


Penggunaan sepeda motor sebagai angkutan penumpang atau

yang disebut ojek, menjadi terbuka sebagai peluang kerja. Dengan

adanya ojek

pangkalan semakin besar pilihan modal transportasi praktis bagi

masyarakat yang mengharapkan sarana transportasi yang baik,

walaupun tidak adanya keamanan dan nyaman. Kehadiran layanan ojek

pangkalan di kota bandung menjadi solusi bagi masyarakat yang

merindukan sarana transportasi yang layak dan tepat waktu.

Kendaraan roda dua (sepeda motor) tidak boleh digunakan untuk

mengangkut penumpang dengan karena belum dikategorikan sebagai

angkutan umum. Hal ini kembali ditegaskan dalam Pasal 23 ayat (3)

Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan yang

menyatakan bahwa sepeda motor tidak termasuk sebagai angkutan

umum. Kendaraan bermotor yang termasuk dalam angkutan umum

adalah mobil penumpang dan mobil bus. Undang-undang No. 22 Tahun

2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mendifiniskan bahwa

kendaraan bermotor beroda dua adalah kendaraan bermotor dengan atau

tanpa rumah-rumah dan dengan atau tanpa kereta samping atau

kendaraan bermotor beroda tiga tanpa rumah-rumah. Pemerintah daerah

diharapkan untuk hadir ditengah banyaknya aksi penolakan oleh

sejumlah pihak khususnya transportasi konvesional yang memang

menjadi pihak yang paling menolak yang menggunakan dasar hukum di

atas.

Untuk mengatasi kekosongan hukum terhadap fenomena sepeda


motor yang digunakan sebagai angkutan umum terkhususnya ojek

pangkalan maka Pemerintah melalui Kementrian perhubungan

mengeluarkan regulasi PM 12 Tahun 2019 tentang Pelindungan

Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang digunakan untuk

Kepentingan Masyarakat. Tujuan yaitu untuk memberikan pelindungan

keselamatan bagi penggunaan sepeda motor yang digunakan untuk

kepentingan masyarakat yang dilakukan: dengan aplikasi berbasis

teknologi informasi dan tanpa aplikasi berbasis teknologi informasi.

Transportasi umum sudah jelas dan sudah di atur bagaimana

proses perizinan untuk mengangkut muatan penumpang, baik melalui

moda darat maupun moda lainnya. Dari segi tanggung jawab yang

diberikan oleh transportasi, struktur hubungan hukumnya sedikit

berbeda, karena siapapun dapat mendaftar dengan perjanjian antara

penyedia jasa dan pengemudi sebatas mitra kerja. Sering dipertanyakan

apabila ada pengguna jasa transportasi yang mengalami kerugian siapa

yang harus bertanggung jawab, sehingga terjadi lempar tanggung jawab

antara pengemudi dengan pihak pengurus.

Untuk menjamin keselamatan dan keamanan tersebut, Undang-

Undang LLAJ mengamanahkan agar setiap pelaku usaha angkutan

umum wajib memenuhi persyaratan tertentu. Pertama, badan usaha

angkutan umum harus perusahaan berbadan hukum. Kedua, kendaraan

bermotor umum yang digunakan wajib memenuhi syarat teknis dan laik

jalan melalui mekanisme yang ditentukan dan ketiga, para

pengemudi
angkutan umum wajib memenuhi persyaratan kompetensi agar mampu

memberikan layanan optimal.

Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalulintas dan

Angkutan Jalan Pasal 234 mengatur mengenai pengemudi, pemilik

Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum bertanggung

jawab atas kerugian yang diderita oleh Penumpang dan/atau pemilik

barang dan/atau pihak ketiga karena kelalaian Pengemudi. Setiap

Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan

Umum bertanggung jawab atas kerusakan jalan dan/atau perlengkapan

jalan karena kelalaian atau kesalahan Pengemudi. Ketentuan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku jika:

1) adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di

luar kemampuan Pengemudi.

2) disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga dan/atau

3) disebabkan gerakan orang dan/atau hewan walaupun telah

diambil tindakan pencegahan.

Dalam rangka memberikan keselamatan, keamanan, kenyamanan,

keterjangkauan, dan keteraturan terhadap penggunaan Sepeda Motor

yang digunakan untuk kepentingan masyarakat membutuhkan adanya

kepastian hukum. Maka sesuai Undang-Undang No 22 Tahun 2009

tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan memang tidak menyebutkan

dengan jelas bahwa sepeda motor termasuk kendaraan bermotor umum,

tetapi dalam undang-undang tersebut juga tidak terdapat larangan

mengenai
penggunaan sepeda motor sebagai kendaraan bermotor umum.

Sepeda motor merupakan sarana transportasi utama dalam usaha

layanan ojek online maupun konvensional (pangkalan) menurut Pasal

47 ayat (3) Undang- undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan tidaklah termasuk ke dalam kelompok kendaraan

bermotor umum karena hanya mobil penumpang, mobil bus dan mobil

barang masuk dalam kelompok atau kategori kendaraan bermotor umum

(sebagai angkutan umum) yang berarti sepeda motor tidak boleh

digunakan sebagai kendaraan angkutan umum. Hal ini kembali

ditegaskan dalam Pasal 23 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun

2014 tentang Angkutan Jalan (PP Angkutan Jalan) yang menyatakan

bahwa sepeda motor tidak termasuk sebagai angkutan umum dimana

kendaraan bermotor yang termasuk dalam angkutan umum adalah mobil

penumpang dan mobil bus. Sepeda motor menurut Pasal 1 butir (20)

Undang-undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan adalah kendaraan bermotor beroda dua dengan atau tanpa rumah-

rumah dan dengan atau tanpa kereta samping atau kendaraan bermotor

beroda tiga tanpa rumah-rumah.

Jadi, dalam PP Angkutan Jalan diakui keberadaan sepeda motor

sebagai moda transportasi yang dapat digunakan sebagai angkutan orang

dan/atau barang. Dari pengaturan yang terdapat dalam UU LLAJ dan PP

Angkutan Jalan mengenai sepeda motor, maka dapat ditarik kesimpulan

sebagai berikut:
1. Sepeda motor masuk dalam jenis kendaraan bermotor, namun tidak

dijelaskan fungsi dari sepeda motor tersebut.

2. Tidak ada penjelasan mengenai kendaraan bermotor perseorangan.

3. Tidak menyebutkan secara tegas larangan beroperasinya angkutan

umum menggunakan sepeda motor.

4. Sepeda motor dapat digunakan sebagai angkutan orang dan/atau barang

tetapi tidak boleh memungut bayaran.

Pengemudi ojek pangkalan menggunakan kendaraannya sendiri dalam

menjalankan kegiatannya (tidak disediakan penyedia jasa aplikasi). Dengan

demikian penyedia jasa aplikasi sebenarnya tidak menyelenggarakan jasa

transportasi.

B. Bagaimana Perlindungan Hukum Bagi penumpang ojek konvensional

(pangkalan ) ditinjau dari Undang-undang Nomor 22 tahun 2009 tentang

lalu Lintas dan angkutan jalan

Berdasarkan hasil bahasan tersebut, penulis memberikan beberapa saran


untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan sistem
pembiayaan konsumen ini, diantaranya adalah dalam standart contract yang
dipakai oleh PT Federal International Finance (FIF) Kota Bandung, hendaknya
pihak perusahaan pembiayaan konsumen tersebut memperhatikan dan mengikuti
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 dan pada waktu penandatanganan standart
contract perjanjian pembiayaan konsumen pihak perusahaan pembiayaan
memberikan penjelasan secara terperinci dan jelas mengenai isi perjanjian
tersebut untuk mencegah kemungkinan terjadinya wanprestasi oleh konsumen
hendaknya jaminan yang dipakai dalam perjanjiannya pun tidak hanya jaminan
BPKB dari kendaraan bermotor yang dibiayai dengan pembiyaan
tersebut, tapi harus ada jaminan lain seperti halnya sertifikat rumah ataupun
lainnya yang dapat mengikat debitur untuk dapat konsisten dalam pemenuhan
kewajibannya; dan dalam proses penyelesaian sengketa akibat dilakukannya
wanprestasi memang seharusnya diusahakan penyelesaian melalui jalur non
litigasi (musyawarah) terlebih dahulu. tetapi apabila cara tersebut tidak berhasil
untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul maka penyelesaian sengketa
dilaksanakan melalui jalur litigasi

Senada dengan Pasal Pasal 188, Undang-Undang No. 22 Tahun

2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan. Pasal 4 huruf (h) Undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen berisi aturan

bahwa konsumen berhak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi

dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak


sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Ini artinya

hubungan hukum dalam transportasi yang dibuat harus memperhatikan

hal tersebut. Agar semua pihak dapat bertanggungjawab, khususnnya

penyedia jasa transportasi. Inilah dimensi perlindungan hukum sebagai

suatu hal yang melindungi subyek-subyek hukum melalui peraturan

perundang-undangan yang berlaku dapat dipaksakan pelaksanaannya

dengan suatu sanksi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberadaan alat angkutan

yang tidak berizin dalam penyelenggaraan angkutan umum merupakan

suatu upaya alternatif untuk memenenuhi kebutuhan transportasi

masyarakat dengan pangsa pasarnya sendiri serta memiliki kelebihan

masing-masing. Sepeda motor (ojek) yang difungsikan sebagai

angkutan umum mempunyai kelebihan bisa mengantarkan

penumpangnya di jalan- jalan yang sempit, lebih fleksibel dalam

menembus kemacetan di kota- kota besar, sehingga waktu tempuh yang

digunakan lebih singkat, dan harganya masih dapat ditawar. Selain itu,

angkutan umum ojek dapat memberikan peluang kerja bagi siapapun

karena seorang pengojek cukup hanya dengan kemampuan mengendarai

sepeda motor dan tidak perlu memiliki izin penyelenggaraan angkutan

umum. Angkutan mobil pribadi yang difungsikan sebagai angkutan

umum lebih fleksibel tidak terikat trayek, sehingga dapat dipakai

kemanapun seolah-olah mobil sendiri


selama waktu yang disepakati.57

Keberadaan ojek tidak sulit untuk ditemukan, pada umumnya terdapat

di sekitar terminal mobil, pasar, rumah sakit, sekitar perumahan, atau di

pinggir-pinggir jalan dengan membangun pangkalan-pangkalan ojek

tempat pengemudi berkumpul menunggu penumpang.

Pada umumnya pengojek bukanlah sebagai pekerjaan utama.

Pengemudi ojek berasal dari berbagai pekerjaan yang ditekuni

sebelumnya, ada yang tukang bangunan, anak putus sekolah, atau

berstatus mahasiswa, sebagai suatu alternatif solusi sosial dalam

memenuhi kebutuhan hidup. Namun demikian, sebagai pengendara akan

selalu dihadapkan kemungkinan mengalami risiko akan terjadinya suatu

kecelakaan yang menimbulkan kerugian bagi dirinya maupun

penumpangnya. Kecelakaan yang menimbulkan kerugian, terutama bagi

penumpang ojek dan barangnya, pada umumnya disebabkan oleh

pememudi ojek yang mengantuk, kelelahan, psikis yang kurang sehat,

atau tidak mematuhi rambu-rambu lalu lintas.

Dalam kecelakaan tersebut penumpang ojek yang mengalami

kerugian luka dan atau rusaknya barang tidak mendapatkan penggantian

biaya perawatan kesehatan atau penggantian barang sepenuhnya dari

pengojek karena tidak sanggup secara ekonomi membayar ganti rugi

57
Hasil observasi terhadap para pengurus ojeg pangkalan pada tanggal 1 agustus 2023
barang rusak (Mutmainah, 2016:53)58.

Penumpang ojek yang mengalami kerugian akibat kecelakaan

ditanggung kerugiannya oleh pengojek hanya semampunya, dan tidak

akan bertangung jawab atas kerugian pemumpangnya jika dapat

dibuktikan karena kesalahan atau kelalaian penumpangn (La Ode Rusli,

2016: 50)59. Selain itu, kerugian penumpang yang mengalami

kecelakaan pada kendaraan mobil peribadi yang digunakan sebagai

angkutan umum karena tidak mendapat santunan dari PT. Jasa Raharja.

Penumpang hanya mendapatkan ganti kerugian bergantung pada

kemampuan dan keikhlasan dari pemilik kendaraan saja (Helvian, 2016:

45).60

Pengaturan hukum transportasi online ketika terjadi kecelakaan

perlu diatur dalam undang-undang khusus tentang transportasi berbasis

online sebagai pengganti PM 108 Tahun 2017. Undang-Undang No. 22

Tahun 2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan sebagai undang-

undang yang lebih tinggi telah mengatur mengenai terjadinya

kecelakaan yang dialami penumpang. Pasal 192 dalam undang-undang

lalulintas dan angkutan jalan berisi rumusan ketentuan perihal

perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang

diderita oleh Penumpang yang meninggal dunia atau luka akibat

penyelenggaraan angkutan.

58
Mutmainah, 2016, Tanggung Jawab Hukum Pengemudi Jasa Angkutan Roda Dua (Tukang
Ojek) terhadap Kerugian Penumpang, Skripsi, Fakultas Hukum UniVersitas Halu Oleo, Kendari.
59
La Ode Rusli, 2016, Perlindungan Penumpang Angkutan OJek Motor di Kota Kendari, Skripsi, fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Kendari, Kendari.

60
Helvian, 2016, Pemenuhan Hak Penumpang atas Kerugian dalam Pengangkutan Umum oleh Mobil Peribadi di
Kota Kendari, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari, Kendari.
Kecuali disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau

dihindari atau karena kesalahan Penumpang. Memperhatikan rumusan

tersebut, penyedia jasa aplikasi juga dapat dijadikan pihak yang perlu

mengganti kerugian. Ini telah sesuai dengan Pasal 234, Pasal 235 dan

Pasal 236 Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalulintas dan

Angkutan Jalan Pasal 234 mengatur mengenai 1Pengemudi, pemilik

Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum

bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Penumpang

dan/atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga karena kelalaian

Pengemudi. 2Setiap Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau

Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerusakan jalan

dan/atau perlengkapan jalan karena kelalaian atau kesalahan

Pengemudi.

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku

jika:

1) adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di

luar kemampuan Pengemudi.

2) disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga dan/atau

3) disebabkan gerakan orang dan/atau hewan walaupun telah diambil

tindakan pencegahan.

Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalulintas dan

Angkutan Jalan Pasal 235 Mengatur mengenai jika korban meninggal

dunia akibat kecelakaan lalu lintas pengemudi, pemilik, dan/atau


Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada ahli

waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman

dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana. Jika terjadi cedera

terhadap badan atau kesehatan korban akibat Kecelakaan Lalu Lintas,

pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib

memberikan bantuan kepada korban berupa biaya pengobatan dengan

tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana.

Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalulintas dan

Angkutan Jalan Pasal 236 Pihak yang menyebabkan terjadinya

kecelakaan lalu lintas wajib mengganti kerugian yang besarannya

ditentukan berdasarkan putusan pengadilan. Kewajiban mengganti

kerugian pada kecelakaan lalu lintas dapat dilakukan di luar pengadilan

jika terjadi kesepakatan damai di antara para pihak yang terlibat.

Budaya Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan juga perlu diatur pada transportasi. Pasal 208 Undang-Undang No.

22 Tahun 2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan Ayat (1) Pembina

Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bertangggung jawab membangun dan

mewujudkan budaya Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan. Pasal ini berlaku untuk transportasi umum dalam

trayek maupun transportasi umum tidak dalam trayek.

Ayat (2) Upaya membangun dan mewujudkan budaya

Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilakukan

melalui pelaksanaan pendidikan berlalu lintas sejak usia dini,

sosialisasi dan
internalisasi tata cara dan etika berlalu lintas serta program Keamanan

dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pemberian

penghargaan terhadap tindakan Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas

dan Angkutan Jalan, penciptaan lingkungan Ruang Lalu Lintas yang

mendorong pengguna jalan berperilaku tertib dan penegakan hukum

secara konsisten dan berkelanjutan. Ayat (3) Pembina Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan menetapkan kebijakan dan program untuk mewujudkan

budaya Keamanan dan Keselamatan berlalu lintas. Penyedia jasa dalam

merekrut mitra wajib memberikan program pelatihan tentang cara

berkendara yang baik dan benar sesuai dengan aturan/pasal tersebut

diatas.

Memperhatikan pengaturan transportasi di atas, dapat

dikemukakan di sini bahwa pengaturan hukum terhadap transportasi

roda 2 merupakan keniscayaan. Hal ini sejalan dengan prespektif

Keadilan Bermartabat, bahwa tujuan hukum adalah keadilan yang

memanusiakan manusia. Dalam konsep keadilan yang memanusiakan

manusia terdapat keadilan itu sendiri, kemanfaatan dan kepastian

hukum

C. Bagaimana upaya penyelesaian oleh pengguna jasa ojek pangkalan yang

dirugikan akibat penggunaan jasa ojek pangkalan

Berpedoman pada ketentuan-ketentuan tersebut, maka dapat

diartikan bahwa penumpang yang berhak atas santunan asuransi dari

PT. Jasa Rahardja hanyalah setiap penumpang kendaran bermotor

angkutan umum sah (berizin), seperti mobil, bus, kereta api, pesawat

terbang yang
telah membayar iuran (premi) asururansinya. Dengan demikian dapat

digaris bawahi bahwa penumpang yang mendapatkan santunan asuransi

hanyalah setiap penumpang yang menggunakan kendaraan bermotor

angkutan penumpang umum yang sah saja, sehingga penumpang yang

mengunakan angkutan umum yang tidak sah (tidak memiliki izin

penyelenggaraan angkutan umum), maka demi hukum tidak akan

mendapatkan pemulihan hak berupa ganti kerugian oleh pihak PT. Jasa

Rahardja.

Hal ini tentu saja menempatkan posisinya sangat lemah di

hadapan hukum. Dalam kenyataannya di masyarakat, masih lazim

ditemui bahwa pihak penyelenggara kendaraan bermotor angkutan

umum yang tidak berizin, seperti menggunakan ojek dan mobil peribadi

yang difungsikan sebagai angkutan umum, masih tetap bertanggung

jawab atas kerugian penumpangnya, walaupun tidak sepenuhnya.

Secara konsep hukum memang diwajibkan kepada pihak yang

menimbulkan kerugian untuk memberikan ganti rugi kepada pihak yang

dirugikan karena salahnya dalam suatu hubungan hukum, baik

disandarkan pada alasan adanya perbuatan melawan hukum

sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata (KUHPer) ataupun atas dasar suatu wanprestasi perjanjian

disebabkan suatu kesalahan, baik berupa suatu akibat dari kesengajaan

atau kelalaian. Sehubungan dengan fakta hukum tersebut, maka untuk

menentukan suatu kepastian apakah pihak pengakut bertanggung

jawab atau tidak atas


kerugian pemumpangnya, maka harus dilandaskan pada sebab

terjadinya perikatan antara penumpang dengan pihak pengangkatnya

tersebut. Dalam hal ini perikatan yang terjadi antara penumpang dengan

pihak angkutan umum yang tidak berizin dan didasarkan atas perjanjian

yang tidak tertulis.

Perjanjian merupakan hubungan hukum antara satu pihak

dengan pihak lain untuk melaksanakan prestasi, yaitu penyelenggaraan

angkutan bagi penumpang untuk suatu tujuan tempat tertentu.

Berdasarkan Pasal 1320 KUHPer bahwa suatu perjanjian dinyatakan sah

apabila memenuhi unsur-unsurnya, meliputi: adanya kesepakatan para

pihak (suatu keikhlasan untuk mengikatkan diri); kecakapan para pihak

(wenang hukum); objek yang tertentu (dapat ditentukan); dan sebab

yang halal (tidak bertentangan atau dilarang dengan peraturan

perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum).

Syarat perjanjian yang meliputi unsur kesepakatan dan unsur

kecakapan disebut dengan unsur subjektif, yang apabila tidak dipenuhi

maka perjajian tersebut dapat diancam dengan suatu pembatalan (dapat

dibatalkan), sedangkan syarat perjanjian yang meliputi unsur objek yang

tertentu dan sebab yang halal disebut dengan syarat objektif yang

apabila tidak terpenuhi, maka terhadap perjanjian tersebut menjadi batal

demi hukum (tidak mempunyai kekuatan mengikat para pihak).

Sehubungan dengan perikatan pengangkutan dengan

menggunakan kendaraan bermotor sebagai penyelenggara angkutan


umum yang tidak berizin, maka dari sudut pandang hukum perdata

positif dapat maknai bahwa perjanjian pengangkutan yang tidak tertulis

tersebut dilakukan secara tidak sah, karena lahir dari sebab yang tidak

halal yaitu tidak mengikuti atau bertentangan dengan ketentuan Pasal

1337 Kitab Undang-Undang Hukum perdata yang mewajibkan bahwa

suatu perjanjian tidak boleh dibuat jika dilarang oleh undang-undang,

berlawanan dengan kesusialaan, dan ketertiban umum. Oleh karena itu

dalam Pasal 1335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

mengancamnya dengan batal demi hukum karena tidak mempunyai

kekuatan mengikat bagi para pihak. Hal ini jika dikaitkan dengan

perjanjian pengangkutan penumpang dan atau barang, maka perjanjian

tersebut sesungguhnya telah batal demi hukum dan sebagai

konsekuensinya bahwa pihak penyelenggara angkutan umum tidak

mempunyai kewajiban hukum untuk mengganti kerugian atas

kecelakaan yang yang dialami oleh penumpangnya.

Dengan demikian juga secara hukum positif yang tertuang dalam

Undang- Undang Nomor 33 tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan

Wajib Kecelakaan Penumpang dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun

1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Lalu-Lintas Jalan

berakibat hukum bahwa penumpang yang mengalami kerugian selama

penyelenggaraan pengangkutan tidak berhak atas jaminan asuransi

berupa perlindungan untuk mendapatkan ganti kerugian atas

keselamatan jiwanya karena secara hakikatnya tidak ada hubungan

hukum antara
penumpang dengan pihak pengangkut (batal demi hukum).

Akibat dari perjanjian pengangkutan yang batal demi hukum

tersebut, maka perjanjian itu tidak mempunyai kekuatan mengikat,

termasuk mengikat pengangkut untuk bertanggung jawab atas kerugian

yang dialami oleh penumpangnya. Dengan demikian posisi penumpang

dari angkutan umum yang tidak berizin memang sangat rentan atau

sangat lemah atas perlindungan hak-haknya yang dirugikan, kalaupun

secara empiris adanya penyelenggara angkutan umum yang masih

memberikan ganti kerugian, hal itu lebih kepada tanggung jawab moral

berdasarkan kebiasaan berdasarkan nilai-nilai hidup yang baik

berdasarkan tolong menolong dalam kemanusiaan. Dengan kata lain,

bahwa Pemberian ganti kerugian dalam rangka perlindungan hak

penumpang yang mengalami kecelakaan selama dalam pengangakutan

oleh pengangkut atau pemilik kendaraan bermotor dari perspektif

hukum sesungguhnya bukan merupakan kewajiban yang lahir dari

hukum perdata positif.

Keadaan yang demikian bukan berarti pemerintah tidak bisa

melakukan perbuatan apapun untuk melindungi penumpang karena

adanya hukum positif yang memposisikan ketidakseimbangan dalam

perjanjian pengangkutan umum yang tidak berizin. Pemerintah harus

terlibat dalam penyelenggaraan angkutan umum sebagaimana amanah

undang-undang bahwa pemerintah bertanggung jawab menjamin

angkutan umum yang selamat, aman, nyaman, dan terjangkau. Selain

itu,
harus melakukan penegakkan hukum yang konkret dan penjantuhan

sanksi yang tegas bagi pemilik kendaraan mobil pribadi yang

difungsikan sebagagai angkutan umum. Terhadap sepeda motor yang

difungsikan sebagai ojek harus dibuatkan regulasi hukumnya dengan

mekanisme pemberian izin, sehingga mempunyai kepastian hukum

menyelenggarakan angkutan umum.

Hal tersebut sangat mungkin dengan terlebih dahulu merevisi

Pasal 47 ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu-

Lintas dan Angkutan Jalan bahwa kendaran bermotor yang dapat

difungsikan sebagai angkutan umum adalah juga termasuk kendaraan

bermotor yang berjenis sepeda motor. Dengan demikian terdapat

kepastian hukum yang jelas tentang izin penyelenggaraannya, sekaligus

akan memberikan kepastian hukum juga bagi penumpang yang

mengalami kerugian selama pengangkutan berlangsung dan pada

akhirnya alat transportasi ojek akan jelas status hukumnya sebagai alat

transportasi umum yang legal yang diminati oleh sebagian masyarakat

yang membutuhkannya

Namun pemahaman keamanan dalam memakai jasa tersebut

belum dipahami dengan baik oleh masyarakat, mereka hanya berfikiran

tentang kenyamanan, efektif dan efisien ketika menumpangi jasa ojek.

Masyarakat perlu tahu bahwasannya ada perlindungan hukum saat

menggunakan jasa ojek pengkalan mengalami laka lantas.

Pihak Polisi Lalu Lintas kota bandung sendiri juga satu pendapat
dengan DISHUB Kota Bandung yaitu ojek online berupa angkutan

umum dengan kendaraan roda dua yang dikatakan ilegal dikarenakan

belum mengantongi izin resmi dari DISHUB Kota Bandung. Segala

bentuk tanggung jawab pengemudi ojeg ketika kecelakaan dalam

mejalankan tugasnya yang mana akan menimbulkan kerugian terhadap

penumpang, maka pengemudi ojeg bertanggungjawab mengganti

kerugian untuk penggantian keperluan RS. Tetapi terdapat beberapa

persyaratan yang harus terpenuhi.

Bentuk penanggulangan sebelum terjadinya/ preventif terhadap

perlindungan yuridis, maka pihak yang terikat diberikan hak dalam

mengutarakan argumennya. Putusan yang dikeluarkan pihak pemerintah

dalam kondisi definitif. Sedangkan dalam keadaan telah terjadi/represif,

maka pengadilan umum atau administrasi siap memberikan keadilan

dalam meciptakan pelindungan yuridis. HAM merupakan landasan

dalam pemberian perlindungan yuridis dari pemerintah.

Ditinjau dari instrumen pidana, pengemudi ojeg pangkalan dapat

terbukti melakukan kesalahannya mengakibatkan kerugian pihak lain,

yang dalam hal ini konsumen, kerugian yang diderita berupa luka ringan

sampai menimbulkan pengguna jasa meninggal dunia. Kecerobohan

atau ketidak hati-hatian dalam menggunakan laka lantas menimbulkan

hal trsebut, hal ini telah diperiksa dalam perkara No.

99/Pid.B/2012/PN.PWK, dalam amar putusan hakim telah menjelaskan

bahwa pihak driver telah berbuat kejahatan pidana terkait laka lantas

yang
membuat kematian, luka ringan sampai berat terhadap penumpangnya

serta pihak lain. hukuman yang dijatuhkan berdasar pada Pasal (4) serta

Pasal 310 ayat (3) dan Pasal 310 ayat (2) UU No. 14/1992. Untuk

Mendapatkan Perlindungan Hukum upaya pengguna jasa ojek untuk

memperoleh perlindungan hukum apabila pengguna jasa tersebut

mengalami kecelakaan, maka pengguna jasa berhak mendapatkan ganti

rugi berupa santunan.

Atas dasar ketentuan di atas pengguna jasa ojek pangkalan

berhak meminta pertanggung jawaban pihak pengurus pangkalan,

apabila pihak pengurus tidak dapat memberikan perlindungan hukum

terhadap pengguna jasa ojek tetapi memberikan santunan, jika pihak

badan usaha ojek belum mampu melakukan memenuhi hal tersebut,

maka dapat disebut melakukan perbuatan wanprestasi. Sehingga pihak

korban atas jasa ojeg dapat menggunakan cara diskusi, dan ketika tidak

menemukan penyelesaian dapat melalui cara non litigasi diantaranya:

1) Melalui Negosiasi untuk menyelesaikan perkara, mengadakan

pembicaraan antara pihak korban dengan badan usaha untuk 5 Philipus

M. Hadjon. 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. Bandung

: Bina Ilmu. Hlm. 36. 6 Philipus M. Hadjon, op.cit. Hlm. 38. MA.

Setiawan, dkk / Jurnal Reformasi Hukum : Cogito Ergo Sum, Vol. 2,

No. 2, Juli 2019, 39-42 42 menghasilkan kemufakatan terkait

permasalahan yang terjadi.

2) Melalui Mediasi untuk mengupayakan penyelesaian kasus dengan jalan


perdamaian yang menghadirkan orang ketiga dalam kedudukan tidak

memihal salah satu pihak/netral, agar mendapatkan hasil yang dapat

memberikan rasa adil bagi semua pihak.

3) Melalui Konsiliasi dengan melakukan pertemuan atas kepentingan dari

para pihak agar mendapatkan penyelesaian dengan adanya kesepakatan.

UU No. 30/1999 adalah regulasi terkait arbitrase untuk mendapatkan

upaya penyelesaian, arti dari arbitrase termuat dalam Pasal (1) angka 1,

menjelaskan bahwa Arbitrase adalah bentuk menyelesaikan perkara

bersifat Perdata tidak melalui jalan litigasi, yang melandasi yaitu

kesepakatan Arbitrase dari pihak-pihak yang melakukan arbitrase.

Upaya arbitrase tergantung dari perjanjian yang dibuat apakah telah

termuat bentuk penyelesaian perkara atas tidak dijalankannya perjanjian

melalui arbitrase, jika terdapat kesepatan seperti itu maka para pihak

dapat menuju BANI dalam menyelesaikan permasalahannya, hal ini

sesuai UU No. 30/1999. Penyelesaian melalui BANI sesuai perjanjian

yang dibuat para pihak, dan perjanjian tersebut tidak melanggar aturan

perUU-an. BANI melakukan upaya perdamaian dengan berdasarkat

itikad baik dan melalui proses koorperatif serta tidak konfrontatif.

Peninjauan terkait hokum pidana, driver ojek online telah terbukti

karena ketidak hatihatiannya membuat kerugian pihak lain, maka pihak

driver melakukan kesalahan pidana. Perkara tersebut telah diperiksa dan

menghasilkan keputusan hakim No. 99/Pid.B/2012/PN.PWK, dalam

amarnya menjelaskan bahwa driver tersebut bersalah terkait perbuatan


pidana tentang laka lantas, serta dihukum sesuai Pasal (4) serta Pasal

310 ayat (2), (3) UU 22/2009. Menghukum terdakwa/driver ojek

tersebut hukuman berupa waktu uji coba 1 tahun 6 bulan dengan

pembebanan denda Rp. 1.000.000,- dan hukuman penjara 10 bulan.

Sedangkan dalam dakwaan subsidair dengan hukuman kurungan selama

2 bulan.

Berlandaskan pada hal tersebut, hakim memutus kasus ini

menggunakan yurisprudensi terhadap putusan hakim sebelumnya yang

memiliki persamaan perkara.

Penumpang yang mengalami kerugian jiwa dan atau barang

akibat mengalami kecelakaan lalu lintas dari transportasi yang tidak

memiliki izin menyelenggarakan angkutan umum dari perspektif hukum

perdata positif berada dalam posisi yang sangat lemah untuk

mendapatkan perlindungan hukum dalam mendapat ganti kerugian, baik

berdasarkan perjanjian pengangkutan, berdasarkan Undang-Undang

Nomor 33 tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan

Penumpang, maupun berdasarkan Undang-undang Nomor 34 Tahun

1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Lalu-Lintas Jalan.

Hal itu disebabkan bahwa hubungan hukum antara pihak

penumpang dan pihak pengangkut bersifat illegal karena perjanjian

tersebut bertentangan dengan undang-undang, lahir dari suatu sebab yang

tidak halal yaitu tidak mengikuti ketentuan yang seharusnya dipatuhi

dalam penyelenggaraan angkutan umum, sehingga secara hakikatnya

berdasarkan Pasal 1320 BW bahwa tidak ada hubungan hukum antara


penumpang dengan pihak pengangkut. Sehubungan dengan hal tersebut,

pemerintah harus terlibat dalam penyelenggaraan angkutan umum

sebagaimana amanah undang-undang bahwa pemerintah bertanggung jawab

menjamin angkutan umum yang menjamin keselamatan, aman, nyaman, dan

terjangkau. Selain itu, harus melakukan penegakkan hukum yang konkret dan

penjantuhan sanksi yang tegas bagi pemilik kendaraan mobil pribadi yang

difungsikan sebagagai angkutan umum. Sedangkan terhadap sepeda motor

yang difungsikan sebagai ojek harus dibuatkan regulasi hukumnya dengan

terlebih dahulu merevisi Pasal 47 ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun

2009 tentang Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan bahwa kendaran bermotor yang

dapat difungsikan sebagai angkutan umum adalah juga termasuk kendaraan

bermotor yang berjenis sepeda motor.

Dengan demikian terdapat kepastian hukum yang jelas tentang izin

penyelenggaraannya, sekaligus akan memberikan kepastian hukum juga bagi

penumpang yang mengalami kerugian selama pengangkutan berlangsung dan

pada akhirnya alat transportasi ojek akan jelas status hukumnya sebagai alat

transportasi umum yang legal yang diminati oleh sebagian masyarakat yang

membutuhkannya.

Anda mungkin juga menyukai