Anda di halaman 1dari 68

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELANGGARAN LALU

LINTAS OLEH PELAJAR DI WILAYAH KEPOLISIAN


RESORT TASIKMALAYA KOTA DI HUBUNGKAN DENGAN
PASAL 281 UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009
TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
( STUDI KASUS DI WILAYAH KECAMATAN CIAWI )

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Akhir

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

DISUSUN OLEH :

MOCHAMAD AGUNG PRADANA

430.200.18.3440

SEKOLAH TINGGI HUKUM GALUNGGUNG


TASIKMALAYA
2022

0
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELANGGARAN LALU
LINTAS OLEH PELAJAR DI WILAYAH KEPOLISIAN
RESORT TASIKMALAYA KOTA DI HUBUNGKAN DENGAN
PASAL 281 UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009
TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
( STUDI KASUS DI WILAYAH KECAMATAN CIAWI )

DISUSUN OLEH :

MOCHAMAD AGUNG PRADANA

430.200.18.3440

USULAN PENELITIAN

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Mengikuti Seminar Usulan Penelitian


Program Sarjana Hukum

Disetujui Oleh Pembimbing


Pada tanggal …………………………………………… 2022

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Apip Nur, S.H., M.H. Herdy Mulyana, S.H., M.H.

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada umumnya pemakai jalan menginginkan untuk mengunakan jalan raya

dengan tertib, selamat, aman, nyaman, cepat, tepat, teratur dan lancar. Sesuatu

saat ada terjadi berbagai gangguan, salah satu bentuk gangguan pemakai jalan

raya secara tertib aman dan lancar adalah terjadinya pelangaran-pelangaran lalu

lintas sebagian pelanggaran disebabkan oleh pelaku manusia itu sendiri yang

menyimpang dari peraturan yang telah dirumuskan dengan demikian

meningkatnya mobilitas orang atau barang itu menjadi semakin pentingnya

peranan sarana lalu lintas dalam kehidupan masyarakat. Meningkatnya arus lalu

lintas, selain hal ini dapat membawa dampak positif bagi kehidupan masyarakat

juga tidak jarang menimbulkan dampak negatif, didalam kenyataannya betapa

seringnya terjadi kecelakaan lalu lintas baik yang ringan maupun yang berat dan

berakibat fatal bagi orang atau barang.

Kejadian ini sebagian besar semula diawali dengan terjadinya pelangaran

terhadap peraturan lalu lintas. Sejalan dengan meningkatnya mobilitas orang dan

atau barang serta arus lalu lintas ini, pemerintah yang dalam hal ini petugas

hukum terutama pihak kepolisian khususnya polisi lalu lintas telah melalukan

bebagai upaya baik bersifat prefentif maupun yang bersifat represif untuk

mencegah atau mengurangi terjadinya pelangaran lalu-lintas. Namum kenyataan,

pelangaran lalu-lintas itu masih saja terus terjadi dan bahkan menurut data yang

ada pelangaran lalu lintas ini menunjukkan peningkatan baik kualitas maupun

1
kwantitas. Dalam Bab III Pasal 13 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang

Tugas Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia memelihara keamanan dan

ketertiban masyarakat, menegakan hukum dan memberikan perlindungan,

pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat untuk menunjang tugasnya Polri

telah melakukan perubahan-perubahan yaitu penyelenggara reformasi yang

meliputi aspek struktural, instrumental dan kultural.

Lalu-lintas dan angkutan jalan saat ini merupakan persoalan yang sangat

komplek dalam kehidupan masyarakat mengingat pesatnya perkembangan jaman

dan arus informasi serta ekonomi global sehingga memerlukan kerja keras semua

kekuatan unsur yang bertanggung jawab atas lalu lintas tersebut untuk membuat

rasa tertib, aman, lancar dan selamat baik bagi pengguna jalan maupun

pengendara kendaraan bermotor dengan mengedepankan penegakan hukum.

“Pengaturan lalu- lintas merupakan salah satu tugas yang harus dilakukan oleh

anggota Polri dalam rangka menciptakan keamanan, ketertiban, keselamatan dan

kelancaran arus lalu-lintas.

Aparat penegak hukum dalam hal ini Polisi Lalu Lintas berperan sebagai

pencegah (politie toezicht) dan sebagai penindak (politie dwang) dalam fungsi

politik. Di samping itu polisi lalu lintas juga melakukan fungsi regeling

(misalnya, pengaturan tentang kewajiban bagi kendaraan bermotor tertentu untuk

melengkapi dengan segitiga pengaman) dan fungsi Undang-Undang khususnya

dalam hal perizinan atau begunstiging (misalnya, mengeluarkan Surat Izin

Mengemudi).1

1
Soerjono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-masalah Sosial,
Bandung : Citra Aditya Bakti, 1989, hlm. 58

2
“Peraturan kendaraan di Indonesia diatur pada Peraturan Pemerintah

Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan yang mengacu pada Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 2009, selain itu juga Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun

1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi, dan Peraturan Pemerintah Nomor 42

Tahun 1993 tentang Pemeriksaan Kendaraan Bermotor yang mengacu pada

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 telah ditetapkan. 2 Selain itu di dalam

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Pasal 7 sampai dengan Pasal 12 telah

diatur secara jelas kewenangan setiap intansi dalam penyelengaraan lalu-lintas dan

angkutan jalan”. Adapun pelayanan Polri bidang lalu lintas tidak terbatas pada

penertiban saja melainkan tanggung jawab dan fungsi penegakan hukum dimana

hasil akhir dari pada berbagai jenis pelayanan yang dilakukan adalah mewujudkan

keamanan, ketertiban kelancaran dan keselamatan, arus lalu lintas karena lalu

lintas merupakan urat nadi dari pada sendi kehidupan.

Meningkatnya volume kendaraan bermotor baik roda empat maupun roda

dua membawa konsekuensi yang cukup memprihatinkan pada keadaan di

masyarakat yaitu dengan semakin banyaknya anak dibawah umur yang

mengendarahi kendaraan bermotor. Anak di bawah umur yang mengendarai

kendaraan bermotor sudah dianggap sebagai sebuah kewajaran oleh masyarakat,

orang tua, guru dan sebagainya sehingga cenderung adanya pembiaran. Kondisi

ini hampir terjadi dimana-mana di Indonesia. Padahal membiarkan anak dibawah

umur mengendarai kendaraan bermotor sangat beresiko terhadap keamanan dan

keselamatan pengendaranya maupun keselamatan orang lain.

2
Leksmono Suryo Putranto, Rekayasa Lalu-Lintas, Edisi 3, PT, Indeks, Jakarta, 2016, hlm. 163

3
Di Kabupaten Tasikmalaya khususnya di wilayah Kecamatan Ciawi,

pelanggaran lalu lintas yang banyak terjadi yaitu pelanggaran terhadap kepatuhan

Palanggaran terhadap ketentuan Pasal 281 yaitu kewajiban memiliki Surat Ijin

Mengemudi (SIM) yang banyak terjadi khususnya pada siswa Sekolah Tingkat

Lanjut Atas yang mengendarai kendaraan bermotor kesekolah.

Pada tahun 2016 Kepolisian Resort Tasikmalaya pernah melaksanakan

operasi zebra Lodaya dan mendapati masih terdapat pelanggaran khususnya di

wilayah hukum polsek ciawi sebagaimana pernah diberitakan oleh Media Online

Tribata News pada tanggal 17 November Tahun 2016 terdapat 9 Pelanggaran

terhadap pelanggaran Lalu Lintas.3 Adapun pelanggaran yang terjadi pada operasi

zebra lodaya tersebut adalah Pengendara tidak mempunyai SIM, Pengendara tidak

dapat memperlihatkan Surat Tanda Nomor Kendaraan, dan Pengendara tidak

menggunakan Helm SNI.

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka penulis tertarik

mengadakan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul :

“ Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Lalu Lintas Oleh Pelajar Di

Wilayah Kepolisian Resort Tasikmalaya Kota Di Hubungkan Dengan Pasal

281 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan ( Studi Kasus di Wilayah Kecamatan Ciawi ) ’’

B. Identifikasi Masalah

1. Bagaimana Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Lalu Lintas Oleh

Pelajar Di Wilayah Kepolisian Resort Tasikmalaya Kota Di Hubungkan

3
https://www.tribratanewspolrestasikkota.com/operasi-zebra-lodaya-2016-hari-pertama-polres-
tasikmalaya-tilang-ratusan-pelanggar/ diakses pada tanggal 22/05/2022 Jam 14.57

4
Dengan Pasal 281 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan di Wilayah Kecamatan Ciawi ?

2. Bagaimana kendala dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Lalu

Lintas Oleh Pelajar Di Wilayah Kepolisian Resort Tasikmalaya Kota Di

Hubungkan Dengan Pasal 281 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009

Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan di Wilayah Kecamatan Ciawi ?

C. Tujuan Penelitian

Ruang lingkup pembahasan (substansi) dalam penelitian skripsi ini di batasi

pada kajian mengenai Penegakan Hukum Terhadap Pengendara Kendaraan

Bermotor Yang Tidak Memiliki SIM Menurut Pasal 281 Undang-Undang Nomor

22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan Di Kecamatan Ciawi

Kabupaten Tasikmalaya.

Tujuan Penelitian adalah :

a. Untuk mengetahui penegakan hukum terhadap siswa Lanjutan Tingkat Atas

pengendara kendaraan bermotor yang tidak memiliki SIM di wilayah

Kecamatan Ciawi Kabupaten Tasikmalaya Menurut Pasal 281 Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan

b. Untuk menjelaskan kendala dalam penegakan hukum terhadap pengendara

kendaraan bermotor siswa Lanjutan Tingkat Atas yang tidak memiliki SIM

Menurut Pasal 281 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu

Lintas Dan Angkutan Jalan di Wilayah Kecamatan Ciawi Kabupaten

Tasikmalaya

D. Kegunaan Penelitian

5
Kegunaan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis penelitian ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu

pengetahuan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan bagi perkembangan ilmu hukum yang efektif, khususnya

bidang hukum Pidana dan sejauh mana efektifitas sebuah penegakan

hukum oleh Kepolisian didalam melakukan penegakan hukum di

Masyarakat, Khususnya pada Siswa di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas.

2. Kegunaan Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan

bagi pemerintah daerah, Kepolisian, Sekolah, Orang Tua dan siswa

mengenai peran masing-masing dalam tercipta ketertiban kesadaran

kepemilikan SIM oleh para siswa Lanjutan Tingkat Atas

E. Kerangka Pemikiran

a. Penegakan Hukum

Pengertian Penegakan Hukum Penegakan hukum merupakan usaha

untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep hukum yang diharapakan

rakyat menjadi kenyataan. Penegakan hukum merupakan suatu proses

yang melibatkan banyak hal.4 Penegakan hukum secara konkret adalah

berlakunya hukum positif dalam praktik sebagaimana seharusnya patut

dipatuhi. Oleh karena itu, memberikan keadilan dalam suatu perkara

berarti memutuskan hukum in concreto dalam mempertahankan dan

4
Dellyana Shant, Konsep Penegakan Hukum, Liberty, Yogyakarta,1988. hlm 32

6
menjamin di taatinya hukum materiil dengan menggunakan cara

prosedural yang ditetapkan oleh hukum formal.

Menurut Rais Ahmad, pengertian dari penegakan hukum adalah

proses dilakukanya upaya untuk tegaknya dan berfungsinya hukum,

Norma-Norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku seseorang

dalam kehidupan. Ditinjau dari sudut subjeknya, upaya penegakan hukum

itu melibatkan semua subjek hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan

Normatif atau melakukan sesuatu berdasarkan pada aturan Norma aturan

yang berlaku, berarti dia sedang menegakan hukum. Dalam arti sempit,

penegakan hukum itu diartikan sebagai upaya aparatur penegak hukum

tertentu untuk menjamin dan memastikan tegaknya hukum, apabila

diperlukan aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk

menggunakan daya paksa.5

Munir Fuady merumuskan penegakan hukum sebagai segala daya

dan upaya untuk menjabarkan kaidah-kaidah hukum kedalam kehidupan

masyarakat, sehingga dengan demikian dapat terlaksana tujuan hukum

dalam masyarakat berupa perwujudan nilai-nilai keadilan, kesebandingan,

kepastian hukum, perlindungan hak, ketentraman masyarakat, dan lain-

lain.6

b. Tujuan Penegakan Hukum

5
Rais Ahmad, Peran Manusia dalam Penegakan Hukum, Pustakan Antara, Jakarta, 1996, hlm. 19
6
Munir Fuady, Aliran Hukum Krisis Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2003, hlm. 39-21

7
Tujuan Penegakan hukum adalah untuk melindungi kepentingan

manusia. Setiap orang mengharapkan supaya hukum dapat diterapkan

ketika terjadi peristiwa hukum. Penegakan hukum adalah untuk

memberikan kepastian hukum, manfaat, dan keadilan pada setiap orang,

dengan harapan sebagai berikut :

a. Harapan penegakan hukum supaya dilaksanakan adalah untuk

memberikan kepastian hukum dalam peristiwa kongkrit yang terjadi dalam

masyarakat. Kepastian hukum merupakan perlindungan yustiable terhadap

tindakan kesewenang-wenangan, sehingga masyarakat memperoleh

sesuatu yang diharapkan ketika berhadapan dengan peristiwa tertentu,

hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan

menciptakan ketertiban dalam kehidupan masyarakat.

b. Hukum untuk manusia, maka pelaksanaan atau penegakan hukum

harus memberikan manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai

sebaliknya dengan penegakan hukum justru menimbulkan keresahan bagi

masyarakat.

c. Dengan penegakan hukum, masyarakat yang sedang

berkepentingan mendapatkan keadilan. Karena hukum identik dengan

keadilan serta hukum itu bersifat umum, yang melihat semua orang itu

sama. Karena demi mewujudkan keadilan bagi semua orang hukum tidak

boleh keberpihakan.7

7
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta,
2005, hlm. 160-161

8
Faktor-Faktor Penegakan Hukum Adapun faktor-faktor yang

mempengaruhi penegakan hukum, menurut Soerjono Soekanto antara

lain:8

a. Faktor Hukumnya sendiri;

Kemungkinan terjadi ketidakserasian antara suatu perundang-

undangan dengan undang-undang lainya, atau ketidakserasian antara

peraturan perundang-undangan dengan hukum tidak tertulis atau

kebiasaan yang terjadi dalam masyarakat.

b. Faktor penegak hukum;

Pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum atau biasa

disebut dengan penegak hukum mencakup polisi, jaksa, penasihat

hukum, hakim, dan pertugas lembaga pemasyarakatan. Apabila

hukumnya sudah baik, akan tetapi kualitas atau mental dari para

penegak hukum tidak baik pula, maka tidak akan tercipta kesuksesan

atau keberhasilan dalam penegakan hukum.

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;

Jika hukum atau peraturan perundang-undangan sudah baik, penegak

hukum sudah baik pula, akan tetapi sarana atau fasilitas nya tidak

memadahi, maka penegakan hukum tidak akan berjalan dengan

sebagaimana mestinya.

d. Faktor masyarakat;

Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk

mencapai kedamaian didalam masyarakat. Oleh karena itu dipandang


8
Soerjono Soekanto, Opcit, Hlm. 5

9
dari sudut pandang tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi

penegakan hukum tersebut. Penegakan hukum dalam masyarakat

mempunyai kecenderungan-kecenderungan sendiri yang disebabkan

oleh struktur masyarakatnya, yang memungkinkan penegakan hukum

dapat dijalankan atau justru dapat memberikan hambatan-hambatan

yang mengakibatkan penegakan hukum tidak dapat dijalankan atau

kurang berjalan sebagaimana mestinya.

e. Faktor kebudayaan;

Sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa

manusia di dalam pergaulan hidup. Kebudayaan hukum pada dasarnya

mencakup nilai-nilai yang mendasari berlakunya hukum, yang

merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap

baik (sehingga dianut) dan apa yang dianggap buruk (sehingga

dihindari).

Hukum yang baik adalah hukum yang mendatangkan keadilan dan

bermanfaat bagi masyarakat. Penetapan tentang perilaku yang melanggar

hukum senantiasa dilengkapi dengan pembentukan organ organ

penegakanya. Hal ini tergantung pada beberapa faktor, diantaranya:

a. Harapan masyarakat yakni apakah penegakan hukum tersebut sesuai

atau tidak dengan nilai-nilai masyarakat;

b. Adanya motivasi warga masyarakat untuk melaporkan terjadinya

perbuatan melanggar hukum kepada organ-organ penegak hukum

tersebut;

10
c. Kemampuan dan kewibawaan dari pada organisasi penegak hukum.9

c. Tinjauan tentang Pasal 281 jo Pasal 77 ayat (1) Undang-undang Nomor

22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan dibuat adalah dengan tujuan:

a. Terwujudnya pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan yang aman,

selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk

mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum,

memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu

menjunjung tinggi martabat bangsa;

b. Terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa; dan

c. Terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi

masyarakat.10

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan

Angkutan Jalan ini berlaku untuk membina dan menyelenggarakan lalu

lintas dan angkutan jalan yang aman, selamat, tertib, dan lancar melalui:

1. Kegiatan gerak pindah kendaraan, orang danTahun atau barang di jalan;

2. Kegiatan yang menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendukung

lalu lintas dan angkutan jalan; dan

9
M. Husen Harun, Kejahatan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Rineka Cipta¸ Jakarta,
1990, hlm. 41
10
Suryanagara, Panduan Aman Berlalu Lintas Sesuai UU No. 22 Tahun 2009, Degraf
Publishing, Jakarta, 2009, hlm. 71

11
3. Kegiatan yang berkaitan dengan registrasi dan identifikasi kendaraan

bermotor dan pengemudi, pendidikan berlalu lintas, manajemen dan

rekayasa lalu lintas, serta penegakan hukum.11

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan merupakan suatu aturan yang mengatur para pengendara

kendaraan bermotor dalam berkendara di jalan raya. Salah satu isi dari

Undang-Undang tersebut adalah bahwa setiap pengendara yang

mengendarai kendaraan bermotor di jalan raya harus dilengkapi dengan

Surat Izin Mengemudi (SIM). SIM menjadi salah satu syarat utama bagi

pengendara kendara bermotor yang akan mengendarai kendaraannya dijalan

raya. Tanpa adanya SIM, maka pengendara akan dianggap belum cakap dan

dilarang untuk mengendari kendaraan bermotor di jalan raya. Apabila

peraturan tersebut dilanggar, maka tentunya akan ada sanksi bagi para

pelanggar.

Sanksi bagi pelanggar lalu lintas yang tidak memiliki Surat Izin

Mengemudi (SIM) diatur dalam Pasal 281 Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan yang menentukan

bahwa:

“Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak


memiliki Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat
(1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 4 (empat) bulan atau
denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).”

Unsur-Unsur dalam Pasal tersebut adalah :

11
Ibid, hlm. 72.

12
1. Setiap Orang Yang dimaksud dengan setiap orang adalah, seluruh

orang baik itu Warga Negera Indonesia (WNI) ataupun Warga

Negara Asing (WNA) yang berada di wilayah Negara Republik

Indonesia.

2. Mengemudikan kendaraan bermotor Yang dimaksud dengan

mengemudikan kendaraan bermotor adalah, dengan mengendarai

kendaraan yang memakai mesin (motor) untuk menjalankanya.

Kendaraan yang dimaksud adalah kendaraan yang digunakan untuk

transportasi darat, contohnya adalah sepeda motor, mobil, bus, truk,

dan jenis kendara bermotor lainya.

Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 22 tahun 2009 yang dimaksud tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan , mengatur bahwa : “Setiap orang yang

mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib memiliki Surat

Izin Mengemudi sesuai dengan jenis Kendaraan Bermotor yang

dikemudikan”. Pasal tersebut merupakan suatu aturan yang

mewajibkan bagi seluruh orang yang mengemudikan kendaraan

bermotor untuk memiliki SIM, dan selalu membawanya saat sedang

mengendarai kendaraan bermotor di jalan raya.

SIM merupakan surat keterangan yang dapat membuktikan

bahwa pengendara kendaraan bermotor dianggap telah cakap atau

memiliki kemampuan untuk mengendarai kendaraan bermotor dengan

baik di jalan raya. Kemampuan dari setiap pengendara didasarkan

13
pada usia yang cukup yaitu minimal 17 tahun, serta keterampilan

dalam hal menggunakan kendaraan bermotor. SIM ini dapat diperoleh

jika telah lulus ujian teori dan praktik, tentunya dengan terpenuhinya

persyaratan administratif yaitu fotokopi Kartu Tanda Penduduk

(KTP), mengisi formulir, tanda tangan, sidik jari, dan foto serta

membuat surat keterangan sehat jasmani dan rohani. Setelah lulus dari

segi administrasi maupun ujian baik teori maupun praktik, diteruskan

dengan membayar Pungutan Negara Bukan Pajak (PNBP) ke bank

yang ditunjuk, yaitu Bank Rakyat Indonesia (BRI) untuk SIM C

sebesar Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah), SIM A dan SIM B sebesar

Rp.120.000,- (seratus dua puluh ribu rupiah), sedangkan SIM D yaitu

28 untuk penyandang difable sebesar Rp.50.000,- (lima puluh ribu

rupiah). SIM hanya berlaku selama kurun waktu 5 (lima) tahun,

setelah masa berlaku habis, maka harus diperpanjang sesuai dengan

ketentuan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 5

Tahun 2021 tentang Penerbitan dan Penandaan Surat Izin Mengemudi

ditempatkan pada Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021

Nomor 160.

Ketentuan untuk memperpanjang SIM dengan membayar PNBP

ke bank yang sama yaitu BRI, untuk SIM C sebesar Rp.70.000,-

(tujuh puluh ribu rupiah), untuk SIM A dan B sebesar Rp.80.000,-

(delapan puluh ribu rupiah), dan yang terakhir untuk SIM D sebesar

Rp.30.000,- (tiga puluh ribu rupiah). Berbeda dengan pembuatan SIM,

14
untuk perpanjangan SIM hanya perlu membayar PNBP saja tetapi

tidak perlu ujian teori maupun ujian praktik.

Saat ini Kepolisian Republik Indonesia telah membuat terobosan

didalam proses pembuatan SIM Nasional Sehingga lebih

memudahkan masyarakat didalam proses Pembuatan SIM, adapun

Langkah didalam pembuatan SIM Online sebagai berikut :

1. Buka situs resmi Polri, http://sim.korlantas.polri.go.id, kemudian

pilih menu 'Pendaftaran SIM Online'.

2. Pilih 'Mulai', setelah itu, isi data dengan benar pada menu ‘Data

Permohonan’.

3. Klik 'Lanjut', kemudian isi data pribadi termasuk

kewarganegaraan, Nomor KTP, nama, jenis kelamin, hingga

Nomor telepon.

4. Isi Nomor yang dapat dihubungi saat keadaan darurat. Selain itu,

tersedia pula kolom data validasi yang harus mencantumkan nama

ibu kandung, juga data sertifikasi sekolah mengemudi yang bisa

diisi ‘ya’ atau ‘tidak’.

5. Isi seluruh data yang dibutuhkan. Pastikan data yang dimasukkan

benar. Jika sudah, klik tombol 'Lanjut', dan konfirmasi data yang

telah diinput.

6. Pilih tanggal kedatangan.

7. Isi kode verifikasi kemudian klik tombol 'kirim'.

8. Setelah berhasil melakukan proses registrasi, klik 'Ok'.

15
9. Usai mendapatkan bukti registrasi online, pemohon akan

mendapat e-mail. Setelah itu, lakukan pembayaran di ATM, EDC,

ataupun teller BRI di seluruh Indonesia sesuai biaya yang tertera.

10. Datang ke Satpas SIM atau Kepolisian Resortt dengan membawa

KTP dan surat keterangan kesehatan, sesuai tanggal dan lokasi

yang dipilih saat registrasi online.

11. Ikuti serangkaian tes untuk mendapatkan SIM baru yang terdiri

dari ujian teori, ujian praktik, dan ujian keterampilan melalui

simulator.

d. Tinjauan tentang Pidana Denda

Menurut Andi Hamzah, pidana denda merupakan bentuk pidana

tertua, lebih tua dari pidana penjara, pidana kurungan, mungkin setua

pidana mati. Pidana denda dijatuhkan terhadap delik-delik ringan, berupa

pelanggaran atau kejahatan ringan. Dengan pemahaman ini, pidana denda

adalah satu-satunya pidana yang dapat dipikul oleh orang lain selain

terpidana.12 Dalam hukum pidana, denda yang dibayarkan kepada negara

atau masyarakat, sedangkan dalam perkara perdata dapat diganti dengan

pidana kurungan jika tidak dibayar.13

Hukuman denda pada mulanya hanya berkaitan hukum perdata.

Selaras dengan perkembangan masyarakat, denda menjadi sebuah konsep

hukum pidana. Ketika seseorang mengalami kerugian sebagai akibat dari

12
http://prasko17.blogspot.co.id/2012/09/pidana-denda.html diakses terakhir tanggal 13 April
2022, pukul 19.54 WIB
13
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke Reformasi, Pradnya
Paramita, Jakarta, 1986, hlm. 43

16
tindakan orang lain, maka orang yang dirugikan tersebut dapat menuntut

ganti kerugian atas kerusakannya. Jumlah ganti kerugian tersebut

tergantung dari besar kerugian yang diderita. Beberapa pelanggaran

hukum dapat diancam dengan pidana denda. Meskipun sifat hukuman

ditujukan kepada orang yang bersalah, namun berlainan dengan hukuman

hukuman lain, hukuman denda boleh tidak dilaksanakan oleh pelaku

pidana dan dibayar oleh pihak ketiga.14

Penerapan pidana denda di Indonesia dengan perkembangan

globalisasi, dan pengaruh para ahli hukum pidana, akan menampakkan

masa kecerahan di masa depan. Kecenderungan itu terbukti dengan

maraknya penggunaan pidana denda yang tinggi dalam perundang-

undangan, yang memuat ketentuan pidana denda, serta perkembangan

Undang-Undang KUHP yang memakai kategori denda.

Pidana denda merupakan jawaban atas sinisme terhadap penerapan

pidana penjara. Walaupun tidak dapat disangkal juga pada sisi lain, pidana

penjara masih diperlukan, namun demikian pidana denda dalam usaha

fungsionalisasinya dalam sistem peradilan pidana, bergantung pada jalinan

temali yang harmonis dari penetapan pidana, dalam perundang-undangan,

penjatuhan pidana oleh pengadilan, dan tahap eksekusi oleh lembaga yang

berwenang.15

Pidana denda merupakan sanksi pidana terpenting yang dikenal

dalam hukum pidana Belanda dan Indonesia. Pidana denda yang


14
Ridwan Syah Beruh, Membumikan Hukum Tuhan Perlindungan HAM Perspektif Hukum
Pidana Islam, Pustaka Ilmu, Yogyakarta, hlm. 113
15
Syaiful Bakhri, Pidana Denda dan Korupsi, Total Media, Yogyakarta, hlm. 19

17
sebenarnya sudah dikenal sejak lama, namun baru pada abad ini dapat

dikatakan dimulai. Sebab itu pula, pidana denda menggeser kedudukan

pidana badan dari peringkat pertama. Salah satu alasan kenaikan peringkat

karena banyaknya keberatan yang cukup berdasar terhadap penjatuhan

pidana badan singkat. Pidana denda tidak menyebabkan stigmatisasi,

terpidana tidak dicerabut dari lingkungan keluarga atau kehidupan

sosialnya, dan pada umunya terpidana tidak akan kehilangan

pekerjaanya.16

Pidana denda diancamkan atau dijatuhkan terhadap delik-delik

ringan, berupa pelanggaran atau kejahatan ringan. Oleh karena itu pula,

pidana denda merupakan satu-satunya pidana yang dapat dipikul oleh

orang lain selain terpidana. Walaupun denda dijatuhkan terhadap terpidana

pribadi, tidak ada larangan jika denda itu secara sukarela dibayar oleh

orang atas nama terpidana.17

Meskipun telah diberikan patokan ancaman minimum maupun

maksimum pidana denda, namun masih diperlukan pembahasan tentang

penerapan pidana denda tersebut. Sebab akan sangat berpengaruh besarnya

perbedaan antara ancaman sanksi pidana yang telah ditentukan dengan

besarnya sanksi yang dijatuhkan oleh pengadilan.

Dalam hal yang demikian, bukanlah berarti bahwa pidana berat akan

menjamin efektivitas pidana, akan tetapi diharapkan penjatuhan pidana

16
Jan Rammelink, Hukum Pidana Komentar atas Pasal Pasal Terpenting dari KUHP
Belanda dan Padannanya dalam KUHP Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utma, Jakarta, 2003
hlm. 485
17
Niniek Suparni, Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan
Pemidanaan, Ctk. Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 24

18
juga mempertimbangkan pokokpokok pikiran yang melatarbelakangi

ancaman pidana yang telah ditentukan.

Cara penghukuman denda memberikan banyak segi-segi keadilan di

antaranya adalah :

a. Pembayaran denda mudah dilaksanakan dan dapat direvisi apabila ada

kesalahan, dibanding dengan jenis hukuman lainya, seperti penderaan,

atau penjara yang sukar dimaafkan.

b. Pidana denda adalah hukuman yang menguntungkan pemerintah

karena tidak banyak mengeluarkan biaya, bila tanpa disertai dengan

penjara untuk yang tidak sanggup membayar.

c. Pidana denda mudah dilihat, dapat diatur untuk tidak mengejutkan

pelanggar dan keadaan lainya dengan lebih mudah dibanding dengan

jenis hukuman lainya.

d. Pidana denda membawa atau tidak mengakibatkan nama tercela

kurang hormat seperti yang dialami terhukum penjara.

e. Tidak merintangi pelanggar untuk memperbaiki dirinya.

f. Pidana denda akan menjadi penghasilan bagi negara, daerah, dan kota.
18

Untuk mengefektifkan kembali pidana denda serta mengurangi

beban Lembaga Pemasyarakatan yang saat ini telah banyak yang

melampaui kapasitasnya yang telah menimbulkan persoalan baru, sejauh

mungkin para hakim mempertimbangkan sanksi denda sebagai pilihan

18
Ibid, hlm. 42

19
pemidanaan yang akan dijatuhkannya, dengan tetap mempertimbangkan

berat ringannya perbuatan serta rasa keadilan masyarakat.

e. Tinjauan tentang Pidana Kurungan Pidana

kurungan adalah bentuk-bentuk dari hukuman perampasan

kemerdekaan bagi si terhukum yaitu pemisahan si terhukum dari pergaulan

hidup masyarakat ramai dalam waktu tertentu dimana sifatnya sama

dengan hukuman penjara yaitu merupakan perampasan kemerdekaan

seseorang.19

Pidana kurungan ditujukan kepada perbuatan pidana yang

dikualifikasikan sebagai pelanggaran. Kendatipun demikian ada juga

beberapa kejahatan yang diancam dengan pidana kurungan, jika dilakukan

karena suatu kealpaan dan ancaman kurungan terhadap kejahatankejahatan

tersebut dialternatifkan dengan pidana penjara.20 Pada awalnya, pidana

kurungan sebagai custodia honesta yang diancamkan terhadap delik-delik

terkait kesalahana moril. Menurut A.J. Hoekema, berdasarkan penelitian

sosiologis bahwa seorang yang menjalani pidana kurungan tidak

mengakibatkan stigma buruk sebagaimana narapidana yang menjalani

pidana penjara.21

19
Ibid, hlm. 23
20
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2016
hlm. 399
21
Jan Rammelink, Hukum Pidana Komentar atas Pasal Pasal Terpenting dari KUHP Belanda
dan Padannanya dalam KUHP Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utma, Jakarta, 2003 hlm.
477

20
Pidana kurungan dapat sebagai pengganti dari pidana denda, jika

seorang tersebut tidak dapat atau tidak mampu membayar denda yang

harus dibayarnya, dalam hal perkaranya tidak begitu berat. Berdasarkan

Pasal 18 KUHP, pidana kurungan paling sedikit satu hari dan paling lama

satu tahun. Jika terjadi pemberatan pidana yang disebabkan karena

perbarengan satau pengulangan, maka pidana kurungan dapat ditambah

menjadi satu tahun empat bulan sebagai batas maksimum dan tidak boleh

melewati angka tersebut. Sama dengan pidana penjara, orang dijatuhi

pidana kurungan wajib menjalankan pekerjaan yang dibebankan

kepadanya, meskipun lebih ringan bila dibandingkan dengan orang yang

dijatuhi pidana penjara. Pidana kurungan dijalani dalam daerah hukum di

mana terpidana berdiam ketika putusan hakim dilaksanakan. Pidana

penjara dan pidana kurungan mulai berlaku bagi terpidana yang sudah di

dalam tahanan sementara pada saat ketika putusan hakim berkekuatan

hukum tetap, dan bagi terpidana lainya pada hari ketika putusan hakim

mulai dilaksanakan.

Apabila dalam putusan hakim dijatuhkan pidana penjara dan pidana

kurungan atas beberapa perbuatan pidana, kemudian putusan itu bagi

kedua jenis pidana tersebut berkekuatan hukum tetap pada waktu yang

sama, sedangkan terpidana sudah ada dalam tahanan sementara karena

kedua atau salah satu perbuatan pidana itu, maka pidana penjara mulai

berlaku pada saat ketika putusan hakim menjadi tetap, dan pidana

kurungan mulai berlaku setelah pidana penjara habis.

21
Meskipun terlihat memiliki kemiripan, namun pidana kurungan dan

pidana penjara memiliki beberapa persamaan dan perbedaan, diantaranya

adalah :

1. Persamaan

a. Sama berupa pidana yaitu sama-sama menghilangkan kemerdekaan

bergerak.

b. Mengenal maksimum umum, maksimum khusus dan minimun

umum dan tidak mengenal minimum khusus.

c. Sama-sama diwajibkan untuk bekerja.

d. Sama-sama bertempat dipenjara.

2. Perbedaan

a. Lebih ringan pidana kurungan daripada pidana penjara (Pasal 69

KUHP) Lihat Pasal 32 KUHP

b. Ancaman maksimum umum dari pidana penjara 15 tahun

sedangkan pidana kurungan hanya 1 tahun.

c. Pelaksanaan pidana penjara dapat dilakukan di lembaga

permasyarakatan di seluruh Indonesia, sedangkan pidana kurungan

hanya bisa dilaksanakan di tempat di mana ia berdiam ketika

diadakan keputusan hakim. 22

F. Metode Penelitian

a. Jenis Penelitian

22
Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana,
Kencana, Jakarta, 2014 hlm.69

22
Permasalahan yang telah dirumuskan di atas akan dijawab atau

dipecahkan dengan menggunakan metode pendekatan yuridis empiris.

Pendekatan yuridis (hukum dilihat sebagai Norma atau das sollen),

karena dalam membahas permasalahan penelitian ini menggunakan

data yang diperoleh melalui metode kuisioner dan wawancara

langsung kepada yang menjadi objek penelitian.

Pendekatan empiris (hukum sebagai kenyataan sosial, kultural

atau das sein), karena dalam penelitian ini digunakan data primer yang

diperoleh dari lapangan. Jadi, pendekatan yuridis empiris dalam

penelitian ini maksudnya adalah bahwa dalam menganalisis

permasalahan dilakukan dengan menganalisi data primer yang

diperoleh di lapangan yaitu tentang data dari Siswa Lanjutan Tingkat

Atas di 5 Sekolah di Kabupaten Tasikmalaya Khususnya Sekolah

Lanjutan Atas di Kecamatan Ciawi yang memakai atau mengendarai

kendaraan bermotor ke sekolah tanpa memiliki SIM

b. Data Penelitian

Data yang akan digunakan dalam penelitian hukum ini bersumber dari

data Primer, data primer merupakan suatu data yang telah diperoleh secara

langsung yang dari sumber pertama atau sumber asal dari lapangan atau data

yang diperoleh secara langsung yang melalui wawancara terhadap

narasumber yang berkompeten. Dalam hal ini adalah Para Siswa dan Pihak

Sekolah di wilayah kecamatan ciawi dan Kepolisian Sektor Ciawi.

c. Metode Pengumpulan Data

23
Pengumpulan data adalah suatu kegiatan merapikan data dari hasil

pengumpulan data dilapangan sehingga siap dipakai untuk dianalisa.23 Pada

bagian ini peneliti mendapatkan data yang lebih akurat karena telah

melakukan dengan pengumpulan sumber data primer, Teknik pengumpulan

data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Teknik Wawancara

Wawancara adalah situasi peran antara personal bertemu, ketika

seseorang yang sebagai pewancara yang mengajukan beberapa

pertanyaan- pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban

yang relevan dengan rumusan permasalahan penelitian kepada

responden, Untuk pengumpulan data lapangan yaitu data primer dengan

cara mengadakan wawancara langsung kepada informan dengan contoh

siswa dan pihak sekolah terkait.

2. Observasi

Pengamatan langsung kegiatan yang sedang dilakukan pada penelitian

ini. Sehingga penulis akan mengetahui kejadian yang berlaku.

3. Kuesioner

pengertian kuesioner adalah sebuah teknik menghimpun data dari

sejumlah orang atau responden melalui seperangkat pertanyaan untuk

dijawab. Dengan memberikan daftar pertanyaan tersebut, jawaban-

jawaban yang diperoleh kemudian dikumpulkan sebagai data. Nantinya,

data diolah dan disimpulkan menjadi hasil penelitian.

c. Metode Analisis Data


23
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta, Sinar Grafika, 2002, Hlm. 72.

24
Metode analisis data yang akan digunakan yaitu analisis kualitatif,

bahwa analisis kualitatif bersifat deskriptif yakni data yang berupa kata-kata

hasil analisis dari wawancara dan kuesioner yang akan dilakukan oleh

penulis yang secara langsung.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika Penulisan Laporan tugas akhir ini terdiri dari 5 bab, antara lain :

BAB I

PENDAHULUAN

Menjelaskan mengenai latar belakang masalah, Identifikasi Masalah, Tujuan

Penelitian, Kegunaan Penelitian,Kerangka Pemikiran, Metode Penelitian,

dan Sistematika Penulisan

BAB II

TINJAUAN TEORI TENTANG PENEGAKAN HUKUM OLEH

KEPOLISIAN RESORTT TASIKMALAYA KOTA TERHADAP

PELANGGARAN PASAL 281 UNDANG-UNDANG NOMOR 22

TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN (STUDI KASUS

DI SEKOLAH TINGKAT LANJUTAN ATAS WILAYAH KECAMATAN

CIAWI )

Menguraikan atau menjelaskan mengenai definisi teori tentang penegakan

hukum, dan efektifitas hukum.

BAB III

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELANGGARAN LALU LINTAS

OLEH PELAJAR DI WILAYAH KEPOLISIAN RESORT

25
TASIKMALAYA KOTA DI HUBUNGKAN DENGAN PASAL 281

UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU

LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN ( STUDI KASUS DI WILAYAH

KECAMATAN CIAWI )

Menjelaskan mengenai pelaksanaan penegakan hukum oleh Kepolisian

Resort Tasikmalaya Kota terhadap para siswa yang tidak mempunyai SIM

Berkendara ke sekolah.

BAB IV

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELANGGARAN

LALU LINTAS OLEH PELAJAR DI WILAYAH KEPOLISIAN RESORT

TASIKMALAYA KOTA DI HUBUNGKAN DENGAN PASAL 281

UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU

LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN ( STUDI KASUS DI WILAYAH

KECAMATAN CIAWI )

Menganalisis Pelaksanaan penegakan hukum oleh Kepolisian Resort

Tasikmalaya Kota terhadap pelanggran Pasal 281 Undang Undang Nomor

22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kepada para siswa

yang tidak memiliki SIM dan membawa kendaraan ke sekolah.

BAB V

PENUTUP

Penutup meliputi Kesimpulan dan Saran yaitu menjelaskan mengenai

kesimpulan akhir penelitian dan saran-saran yang direkomendasikan

26
berdasarkan pengalaman di lapangan untuk perbaikan proses pengujian

selanjutnya.

BAB II

Pendekatan Teori Efektifitas Hukum Pada Penegakan Hukum Terhadap

Pelanggaran Lalu Lintas Oleh Pelajar

A. Efektivitas Hukum

Pengertian Efektivitas Berbicara tentang efektivitas, maka tidak bisa

dilepaskan dengan keberhasilan atas suatu tugas atau kebijakan.

Efektivitas adalah unsur pokok mencapai tujuan atau sasaran yang telah

ditentukan di dalam setiap organisasi, kegiatan ataupun program. Disebut

efektif apabila tercapai tujuan ataupun sasaran seperti yang telah

ditentukan sebelumnya. Demikian juga dalam pelaksanaan kebijakan itu

dikatakan efektif jika kebijakan itu bisa berjalan sesuai dengan harapan

pembuat kebijakan.

Menurut Barda Nawawi Arief, efektivitas mengandung arti

“keefektifa-an” pengaruh atau efek keberhasilan, atau kemanjuran/

kemujaraban.24 Dengan kata lain efektivitas berarti tujuan yang telah

direncanakan sebelumnya dapat tercapai, atau dengan kata lain sasaran

tercapai karena adanya proses kegiatan.25 Sementara menurut Supriyono

menyatakan efektivitas adalah hubungan antara keluaran suatu pusat

tanggung jawab dengan sasaran semakin besar kontribusi daripada


24
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003,hlm. 85
25
Muhammad Ali, Penelitian Pendidikan Prosedur dan Strategi, Bandung, Angkasa, 1997,hlm 89

27
keluaran yang dihasilkan terhadap nilai pencapaian sasaran tersebut, maka

dapat dikatakan efektif pula unit tersebut.26

Effendy menjelaskan bahwa efektivitas merupakan “Komunikasi

yang prosesnya mencapai tujuan apa yang direncanakan dan sesuai dengan

biaya yang dianggarkan, waktu dan jumlah personil yang ditentukan”. Dari

pengertian diatas bahwa efektivitas adalah tercapainya tujuan atau sasaran

yang telah ditentukan yaitu salah satu pengukuran dimana suatu target

telah tercapai sesuai yang direncanakan sebelumnya.27

Richard M Steers mengemukakan efektivitas adalah jangkauan usaha

tertentu suatu program sebagai suatu sistem dengan sumber daya dan

sarana tertentu untuk memenuhi tujuan dan sasarannya tanpa

melumpuhkan cara dan sumber daya itu serta tanpa mencari tekanan yang

wajar terhadap pelaksanaannya.28 Pendapat lain juga dikemukakan oleh

Agung Kurniawan bahwa efektivitas merupakan kemampuan

melaksanakan tugas, fungsi (operasi kegiatan program atau misi) daripada

suatu organisasi atau sejenisnya yang tidak adanya tekanan atau

ketegangan diantara pelaksanaanya.29 Berdasarkan pendapat para ahli

diatas, disimpulkan bahwa efektivitas merupakan suatu sasaran atau tujuan

yang dikehendaki telah tercapai, maka hal tersebut dapat dikatakan efektif,

begitu pula sebaliknya apabila sasaran tidak tercapai dalam waktu yang

ditentukan, maka pekerjaan itu tidak efektif.

26
Supriyono, Sistem Pengendalian Manajemen, Edisis Pertama, Yogyakarta, BPFE, 2000, hlm. 29
27
Onong Uchjana Effendy, Kamus Komunikasi, Bandung, PT. Mandar Maju, 1989. hlm. 14
28
Richard M Steers, Efektivitas Organisasai Perusahaan, Jakarta, Erlangga, 1985,hlm 87
29
Agung Kurniawan, Transformasi Pelayanan Publik, Yogyakarta, Pembaharuan, 2005, hlm. 109

28
Hal itu menjadi tujuan ukuran untuk menentukan efektif tidaknya

tujuan atau sasaran yang digariskan atau dengan kata lain untuk mengukur

tingkat efektivitas adalah perbandingan antara recana atau target yang

telah ditentukan dengan hasil yang dicapai. Pengertian efektivitas yaitu

berada pada pencapaian tujuan. Ini dapat dikatakan efektif apabila tujuan

atau sasaran yang dikehendaki dapat tercapai sesuai dengan rencana

semula dan menimbulkan efek atau dampak terhadap apa yang diinginkan

atau diharapkan.

Tingkat efektivitas dapat dikukur dengan membandingkan antara

rencana atau target yang telah ditentukan dengan hasil yang dicapai, maka

usaha atau hasil pekerjaan tersebut itulah yang dikatakan efektif, namun

jika usaha atau hasil pekerjaan yang dilakukan tidak tercapai sesuai dengan

apa yang direncanakan, maka hal itu dapat dikatakan tidak efektif.

Efektivitas Hukum Efektivitas Hukum adalah kesesuaian antara apa

yang diatur dalam hukum pelaksanaanya. Bisa juga karena kepatuhan

masyarakat kepada hukum karena adanya unsur memaksa dari hukum.

Hukum dibuat oleh otoritas berwenang adakalanya bukan abstraksi nilai

dalam masyarakat. Jika demikian, maka terjadilah hukum tidak efektif,

tidak bisa dijalankan, atau bahkan atas hal tertentu terbit pembangkangan

sipil. Dalam realita kehidupan masyarakat, seringkali penerapan hukum

tidak efektif, sehingga wacana ini menjadi perbincangan menarik untuk

dibahas dalam prespektif efektivitas hukum.

29
Persoalan efektivitas hukum mempunyai hubungan sangat erat

dengan persoalan penerapan, pelaksanaan dan penegakan hukum dalam

masyarakat demi tercapainya tujuan hukum. Artinya hukum benar-benar

berlaku secara filosofis, yuridis dan sosiologis. Soerjono Soekanto

mengemukakan bahwa efektivitas hukum berkaitan erat dengan faktor-

faktor sebagai berikut:30

a. Usaha menanamkan hukum di dalam masyarakat, yaitu penggunaan

tenaga manusia, alat-alat, organisasi, mengakui, dan menaati hukum.

b. Reaksi masyarakat yang didasarkan pada sistem nilai-nilai yang

berlaku. Artinya masyarakat mungkin menolak atau menentang

hukum karena takut pada petugas atau polisi, menaati suatu hukum

hanya karena takut terhadap sesama teman, menaati hukum karena

cocok dengan nilai-nilai yang dianutnya.

c. Jangka waktu penanaman hukum yaitu panjang atau pendek jangka

waktu dimana usaha-usaha menanamkan itu dilakukan dan diharapkan

memberikan hasil.

Menurut Achmad Ali, kesadaran hukum, ketaatan hukum dan

efektivitas perundang-undangan, adalah 3 unsur yang saling berhubungan.

Seiring orang mencampuradukkan antara kesadaran hukum dan ketaatan

hukum, padahal kedua hal itu sangat erat hubungannya, namun tidak persis

sama. Kedua unsur itu sangat menentukan atau tidaknya pelaksanaan

perundang-undangan dalam masyarakat.31


30
Soerjono Soekanto, Beberapa Aspek Sosial Yuridis Masyarakat, Bandung, Alumni, 1985,hlm.
45
31
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Bogor: Ghalia Indonesia. 2008, Hlm 191

30
Berkaitan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan,

bahwa yang dimaksud dengan efektivitas pelaksanaan Undang Undang

adalah ukuran pencapaian tujuan yang ditentukan pengaturannya dalam

Peraturan Perundang Undangan. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa

efektivitas suatu Undang-Undang diukur dari suatu target yang diatur

dalam Peraturan Perindang-Undangan, telah tercapai sesuai dengan apa

yang ditentukan lebih awal. Untuk mencapai tujuan tersebut maka perlu

diperhatikan hal-hal sebagi berikut: rumusan peraturan perundang-

undangan harus diterima oleh masyarakat, menjadi tujuan bersama

masyarakat yaitu cita-cita kebenaran, cita-cita keadilan, dan cita-cita

kesusilaan.

Undang-Undang juga harus sesuai dengan suatu paham atau

kesadaran hukum masyarakat, harus sesuai dengan hukum yang hidup di

masyarakat, serta harus mempunyai dasar atau tujuan pembentukan yang

telah diatur sebelumnya dan atau ditetapkan pada peraturan yang lebih

tinggi kewenangan berlakunya. Mengukur efektivitas, bukanlah suatu hal

yang sederhana, karena efektivitas dapat dikaji dari berbagai sudut

pandang dan tergantung pada siapa yang menilai serta

menginterprestasikan.

Bila dipandang dari sudut produktivitas, maka seorang manajer

produksi memberikan pemahaman bahwa efektivitas berarti kualitas dan

kuantitas (output) barang dan jasa. Tingkat efektivitas juga dapat diukur

dengan membandingkan antara rencana yang telah ditentukan dengan hasil

31
nyata yang telah diwujudkan. Namun, jika usaha atau hasil pekerjaan dan

tindakan yang telah dilakukan tidak tepat sehingga menyebabkan tujuan

tidak tercapai atau yang diharapkan.

Kriteria atau ukuran tentang pencapaian tujuan secara efektif atau

tidak menurut sondang P siagian, antara lain:

a. Kejelasan tujuan yang hendak dicapai, hal ini dimaksudkan agar

kariyawan dalam pelaksanaan tugas mencapai sasaran yang terarah

dan tujuan organisasi dapat tercapai.

b. Kejelasan strategi pencapaian tujuan, telah diketahui bahwa strategi

adalah jalan yang diikuti dalam melakukan berbagai upaya dalam

mencapai sasaran-sasaran yang ditentukan agar para implementer

tidak tersesat dalam pencapaian tujuan organisasi.

c. Kejelasan analisa dan perumusan kebijaksanaan yang mantap,

berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai dan strategi yang telah

ditetapkan artinya kebijakan harus mampu menjembatani tujuan-

tujuan dengan usaha-usaha pelaksanaan kegiatan operasional.

d. Perencanaan yang mantap, pada hakekatnya berarti memutuskan

sekarang apa yang dikerjakan oleh organisasi dimasa depan.

e. Penyusunan program yang tepat suatu rencana yang baik masih perlu

dijabarkan dalam program pelaksanaan yang tepat sebab apabila

tidak, para pelaksanaan akan kurang memiliki pedoman bertindak

dan bekerja.

32
f. Tersedianya saran dan prasarana kerja, salah satu indikator

efektivitas program adalah kemampuan bekerja secara produktif.

Dengan sarana dan prasarana yang tersedia dan mungkin disediakan

oleh organisasi.

g. Pelaksanaan yang secara efektif dan efesien, bagaimana baiknya

suatu program apabila tidak dilaksanakan secara efektif dan efesien

maka organisasi tersebut tidak akan mencapai sasarannya, karena

dengan pelaksanaan organisasi semakin didekatkan pada tujuannya.

h. Sistem pengawasan dan pengendalian yang bersifat mendidik,

mengingat sifat manusia yang tidak sempurna maka efektivitas suatu

program menuntut terdapatnya sistem pengawasan dan pengendalian

agar program yang dibuat dapat terlaksana dengan baik.32

Ketika kita ingin mengetahui sejauh mana efektivitas dari hukum,

maka kita pertama-tama harus dapat mengukur sejauh mana hukum itu

ditaati oleh sebagian besar target yang menjadi sasaran ketaatannya, kita

akan mengatakan bahwa aturan hukum yang bersangkutan adalah efektif.

Namun demikian, sekalipun dikatakan aturan yang ditaati itu efektif, tetapi

kita tetap masih dapat mempertanyakan lebih jauh derajat efektivitasnya

karena seorang menaati atu tidak suatu aturan hukum tergantung pada

kepentingannya.33

32
Sondang P Siagian, Organisasi, Kepemimpinan dan Perilaku Administrasi, Jakarta, Gunung
agung, 1986,hlm. 76
33
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence)
Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Jakarta, Penerbit Kencana, 2009, Hal
376

33
Dalam bukunya Achmad Ali yang dikutip oleh Marcus Priyo

Guntarto yang mengemukakan, faktor-faktor dalam mengukur ketaatan

terhadap hukum secara umum yaitu:

a. Relevansi aturan hukum secara umum, dengan kebutuhan hukum

dari orang-orang yang menjadi target aturan hukum secara umum

itu.

b. Kejelasan rumusan dari substansi aturan hukum, sehingga mudah

dipahami oleh target diberlakukannya aturan hukum.

c. Sosialisasi yang optimal kepada seluruh target aturan hukum itu.

d. Jika hukum yang dimaksud merupakan perundang-undangan, maka

seyogyanya aturannya bersifat melarang, dan jangan bersifat

mengharuskan, sebab hukum yang bersifat melarang lebih mudah

dilaksanakan ketimbang hukum yang bersifat mengharuskan.

e. Sanksi yang diancam oleh aturan hukum itu harus dipadankan

dengan sifat aturan hukum yang dilanggar tersebut.

f. Berat ringannya sanksi yang diancam aturan hukum itu harus

proporsional dan memungkinkan untuk dilaksanakan.

g. Kemungkinan bagi penegak hukum yang memproses jika terjadi

pelanggaran terhadap aturan hukum tersebut, adalah memang

memungkinkan, karena tindakan yang diatur dan diancamkan sanksi,

memang tindakan yang diatur dan diancamkan sanksi, memang

tindakan yang konkret, dapat dilihat, diamati, oleh karenanya

34
memungkinkan untuk diproses dalam setiap tahapan (penyelidikan,

penyidikan, penuntutan, dan penghukuman).

h. Aturan hukum yang mengandung norma moral berwujud larangan,

relatif akan jauh lebih efektif ketimbang aturan hukum yang

bertentangan dengan nilai moral yang dianut oleh orang-orang yang

menjadi target berlakunya aturan tersebut.

i. Efektif atu tidaknya suatu aturan hukum secara umum, juga

tergantung pada optimal dan profesional tidak aparat penegak hukum

untuk menegakkan aturan hukum tersebut.

j. Efektif atau tidaknya suatu aturan hukum secara umum, juga

mensyaratkan adanya standar hidup sosio-ekonomi yang minimal di

dalam masyarakat.

Faktor yang banyak mempengaruhi efektifitas suatu perundang-

undangan pada umumnya adalah profesional dan optimal pelaksanaan

peran, wewenang dan fungsi dari para penegak hukum, baik di dalam

penjelasan tugas yang dibebankan terhadap diri mereka maupun dalam

penegakan perundang-undangan tersebut.

Menurut Soerjono Soekanto tolok ukur efektivitas dalam penegakan

hukum ada lima yaitu:34

a. Faktor Hukum Hukum berfungsi untuk keadilan, kepastian dan

kemanfaatan. Dalam praktik penyelenggaraan hukum di lapangan

ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan

34
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta, Penerbit
PT. Raja Grafindi Persada. 2007, Hal. 5

35
keadilan. Kepastian hukum sifatnya konkret berwujud nyata,

sedangkan keadilan bersifat abstrak.

b. Faktor Penegakan Hukum Berfungsinya hukum, mentalitas atau

kepribadian petugas penegak hukum memainkan peranan penting,

kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik, ada

masalah.

c. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung Faktor sarana atau fasilitas

pendukung mencakup perangkat lunak dan perangkat keras. Menurut

Soerjono Soekanto bahwa penegak hukum tidak dapat bekerja

dengan baik, apabila tidak dilengkapi dengan kendaraan dan alat-alat

yang profesional. Maka sarana atau fasilitas mempunyai peranan

yang sangat penting di dalam penegakan hukum. Tanpa adanya

sarana atau fasilitas tersebut, atau mungkin penegak hukum

menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peraturan yang

aktual.

d. Faktor Masyarakat Penegak hukum berasal dari masyarakat dan

bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Setiap

warga masyarakat atau kelompok sedikit banyaknya mempunyai

kesadaran hukum. Persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan

hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, atau kurang.

Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum,

merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang

bersangkutan.

36
e. Faktor Kebudayaan Kebudayaan pada dasarnya mencakup nilai-nilai

yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai mana yang

merupakan konsepsi-konsepsi yang abstrak mengenai apa yang

dianggap baik sehingga diikuti dan apa yang diangap buruk maka

dihindari. Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya,

karena menjadi hal pokok dalam penegakan hukum, dan sebagai

tolak ukur dari efektivitas penegakan hukum.

Dari lima faktor penegakan hukum tersebut faktor penegak

hukumnya sendiri merupakan titik sentralnya. Menurut Achmad Ali,

bekerjanya perundang-undangan dapat ditinjau daru dua perspektif, yaitu:

a. Perspektif organisatoris Perspektif organisatoris yang memandang

perundang-undangan sebagai institusi yang ditinjau dari ciri-cirinya.

Pada perspektif organisatoris, tidak terlalu memperhatikan pribadi-

pribadi yang pergaulan hidupnya diatur oleh hukum atau perundang-

undangan.

b. Perspektif individu Perspektif individu lebih banyak berfokus pada

segi individu atau peribadi, dimana pergaulan hidupnya diatur oleh

perundang-undangan. Perspektif individu ini lebih berfokus pada

masyarakat sebagai kumpulan pribadi-pribadi.

Faktor kepentingan yang menyebabkan seseorang menaati atau tidak

menaati hukum. Dengan kata lain, pola-pola prilaku warga masyarakat

yang banyak mempengaruhi efektivitas perundang-undangan. Efektif atau

berfungsi tidaknya suatu hukum dalam arti undangundang ataupun produk

37
hukum lainnya, maka pikiran diarahkan pada kenyataan apakah hukum itu

benar-benar berlaku atau tidak di dalam masyarakat.

Mengenai berlakunya hukum sehingga dapat efektif di dalam

masyarakat termasuk seperti yang ditulis dalam skripsi ini, ada 2

komponen yang dapat diperhatikan, yaitu:

a. Sejauh mana perubahan masyarakat harus mendapatkan penyesuaian

dari hukum atau bagaimana hukum harus menyesuaikan diri dengan

perubahan masyarakat.

b. Sejauh mana hukum berperan dalam menggerakkan masyarakat dalam

menuju suatu perubahan yang terencana, dapat dikatakan hukum

berperan aktif atau dikenal dalam istilah sebagai hukum sebagai

anggota alat rekayasa sosial.

Apabila membicarakan masalah efektif atau berfungsi tdaknya suatu

hukum dalam arti undang-undang atau produk hukum lainnya, maka pada

umumnya pikiran diarahkan pada kenyataan apakah hukum tersebut

benarbenar berlaku atau tidak dalam masyarakat. Dalam teori-teori hukum

biasanya dapat dibedakan antara 3 macam hal berlakunya hukum sebagai

kaidah mengenai pemberlakuan kaidah hukum menurut Soerjono Soekanto

dan Mustafa Abdullah, bahwa :35

a. Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya

didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau bila

35
Soerjono Soekanto, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, Jakarta, Remadja Karya, 1987, hlm.
23

38
berbentuk menurut cara yang telah ditetapkan atau apabila menunjukan

hubungan keharusan antara kondisi dan akibatnya.

b. Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut

efektif artinya kaidah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh

penguasa walaupun tidak terima oleh warga masyarakat atau kaidah

tadi berlaku karena diterima dan diakui oleh masyarakat.

c. Kaidah hukum tersebut berlaku secara filosofis artinya sesuai dengan

cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi. Apabila ditelaah

secara mendalam, maka untuk berfungsinya atau efektifnya suatu

hukum haruslah memenuhi ketiga unsur tersebut, sejalan denga hal

tersebut.

Menurut Mustafa Abdullah agar suatu peraturan atau kaidah hukum

benar-benar berfungsi harus memenuhi beberapa faktor yaitu:36

a. Kaidah hukum atau peraturan itu sendiri

b. Petugas yang menegakan atau yang menerapkan

c. Fasilitas yang diharapkan akan dapat mendukung pelaksanaan kaidah

hukum atau peraturan tersebut

d. Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup tersebut.

Persoalan penyesuaian hukum pada perubahan yang terjadi di dalam

masyarakat merupakan bagaimana hukum tertulis dalam arti peraturan

perundang-undangan karena harus diingat bahwa kelemahan dalam

peraturan perundang-undangan itu susah termasuk didalamnya peraturan

36
Mustafa Abdullah dan Soerjono Soekanto, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, Jakarta, CV.
Rajawali, 1982, hlm. 14

39
daerah yaitu sifatnya statis dan kaku. Dalam keadaan yang mendesak,

peraturan perundang-undangan itu harus disesuaikan dengan perubahan

masyarakat, akan tetapi tidak mesti seperti itu karena sebenarnya hukum

tertulis atau perundang-undangan telah mempunyai senjata ampuh dalam

kesenjangan tersebut, yang dimaksud dalam kesenjangan yaitu dalam

suatu peraturan perundang-undangan termasuk peraturan daerah ditetapkan

adanya sanksi untuk mereka yang melakukan pelanggaran terhadap

peraturan daerah tersebut.

B. Pelanggaran Lalu Lintas

Di dalam KUHP tidak dijelaskan mengenai arti pelanggaran.

Pelanggaran dapat dibedakan dengan kejahatan melalui sanksi yang

diberikan. Sanksi bagi pelaku pelanggaran umumnya lebih ringan dari

pelaku kejahatan. Istilah “pelanggaran” adalah delik undang-undang

(wetsdelicten) yaitu perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat

diketahui setelah ada undang-undang yang mengaturnya.37 Maka suatu

tindakan dinyatakan telah melanggar apabila akibat dari perbuatan itu

menimbulkan adanya sifat melawan hukum dan telah ada aturan atau telah

ada undang-undang yang mengaturnya. Walaupun perbuatan itu telah

menimbulkan suatu sifat melawan hukum namun belum dapat dinyatakan

sebagai suatu bentuk pelanggaran sebelum diatur dalam peraturan

perundangundangan.38

37
Rusli Effendy dan Poppy Andi Lolo, Asas-asas Hukum Pidana, Ujung Pandang: Umithohs
Press, 1989, hlm 74
38
Gusti Ngurah Alit Ardiyasa, Kajian Kriminologis Mengenai Pelanggaran Lalu Lintas yang
Dilakukan oleh Anak, https://media.neliti.com/media/publications/149603-ID-kajian-
kriminologismengenai-pelanggaran.pdf

40
Pelanggaran menurut Sudarto,39 “wetsdelict, yakni perbuatan yang

oleh umum baru disadari sebagai tindak pidana, karena undang-undang

menyebutnya sebagai delik, jadi karena ada undang-undang mengancam

dengan pidana, misalnya memparkir motor di sebelah kanan jalanan”.

Pengertian pelanggaran tersebut berbeda dengan pendapat Wirjono

Prodjodikoro,40 yang mengartikan pelanggaran sebagai “perbuatan

melanggar sesuatu dan berhubungan dengan hukum, yang berarti lain dari

pada perbuatan melanggar hukum”.

Adapun pengertian lalu lintas angkutan jalan di dalam Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

dirumuskan tentang pengertian lalu lintas angkutan jalan secara sendiri-

sendiri yakni sebagai berikut: Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan: “Lalu lintas dan

Angkutan Jalan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas Lalu Lintas,

Angkutan Jalan, jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Prasana Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan, kendaraan, Pengemudi, Pengguna Jalan, serta

pengelolanya”.

Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan: “Lalu Lintas adalah gerak Kendaraan dan

orang di ruang Lalu Lintas Jalan”. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor

22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan: “Angkutan adalah

perpindahan orang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan

39
Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto, 1990, hlm. 57
40
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung, Eresco, 1981, hlm. 28

41
menggunakan Kendaraan di Ruang Lalu Lintas Jalan”. Melihat rumusan

Pasal 1 ayat (1), (2) dan (3) tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa lalu

lintas angkutan jalan adalah gerak pindah orang atau barang dari satu

tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan dan. sarana jalan

yang diperuntukkan bagi umum.

Kendaraan yang dimaksud adalah meliputi baik kendaraan bermotor

maupun kendaraan tidak bermotor. Sementara itu pengertian secara

limitative tentang apa yang dimaksud dengan pelanggaran lalu lintas tidak

ditemukan di dalam pengertian umum yang diatur Pasal 1 UU No. 22

Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Menurut Awaloedin bahwa pelanggaran lalu lintas adalah perbuatan

atau tindakan seseorang yang bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan lalu lintas jalan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 32 (1)

dan (2), Pasal 33 (1) huruf a dan b, Undang-Undang No. 14 Tahun 2002

atau peraturan perundang-undangan yang lainnya.41

Definisi pelanggaran lalu lintas yang dikemukakan oleh Awaloedin

tersebut di atas ternyata masih menggunakan rujukan atau dasar

perundangundangan yang lama yakni UU No 14 Tahun 1992 yang telah

diganti dengan UU No. 22 Tahun 2009, akan tetapi hal tersebut dapat

dijadikan suatu masukan berharga dalam membahas tentang pengertian

pelanggaran lalu lintas. Ramdlon Naning sendiri menjelaskan bahwa yang

dimaksud dengan pelanggaran lalu lintas jalan adalah perbuatan atau

41
Naning Rondlon, Menggairahkan Kesadaran Hukum Masyarakat dan Disiplin Penegak Hukum
dan Lalu Lintas, Jakarta: Bina Ilmu, 1983, hlm. 19

42
tindakan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan peraturan

perundang-undangan lalu lintas.42

Pelanggaran yang dimaksud adalah sebagaimana diatur dalam Pasal

105 Undang-undang Nomor 22 tahun 2009 yang berbunyi: Setiap orang

yang menggunakan Jalan Wajib:

1. Berperilaku tertib; dan/atau

2. Mencegah hal-hal yang dapat merintangi, membahayakan keamanan

dan keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan, atau yang dapat

menimbulkan kerusakan jalan Jika ketentuan tersebut di atas

dilanggar maka akan dikualifikasikan sebagai suatu pelanggaran

yang terlibat dalam kecelakaan. Untuk memberikan penjelasan

tentang pelanggaran lalu lintas yang lebih terperinci, maka perlu

dijelaskan lebih dahulu mengenai pelanggaran itu sendiri.

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tindak pidana

dibagi atas kejahatan (misdrijve) dan pelanggaran (overtredingen).

Mengenai kejahatan itu sendiri dalam KUHP diatur pada Buku II yaitu

tentang Kejahatan. Sedangkan pelanggaran diatur dalam Buku III yaitu

tentang Pelanggaran.

Dalam hukum pidana terdapat dua pandangan mengenai criteria

pembagian tindak pidana kejahatan dan pelanggaran, yaitu bersifat

kualitatif dan kuantitatif. Menurut pandangan yang bersifat kualitatif

didefinisikan bahwa suatu perbuatan dipandang sebagai tindak pidana

setelah adanya undang-undang yang mengatur sebagai tindak pidana.


42
Ibid. 18

43
Sedangkan kejahatan bersifat recht delicten yang berarti suatu yang

dipandang sebagai perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas

apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang atau

tidak.

Menurut pandangan yang bersifat kualitatif bahwa terhadap ancaman

pidana pelanggaran lebih ringan dari kejahatan. Menurut JM Van

Bemmelen dalam bukunya “Handen Leer Boek 19 Van Het Nederlandse

Strafrecht” menyatakan bahwa perbedaan antara kedua golongan tindak

pidana ini (kejahatan dan pelanggaran) tidak bersifat kualitatif, tetapi

hanya kuantitatif, yaitu kejahatan pada umumnya diancam dengan

hukuman yang lebih berat dari pada pelanggaran dan nampaknya ini

didasarkan pada sifat lebih berat dari kejahatan.43

Apabila pernyataan tersebut di atas dihubungkan dengan kenyataan

praktek yang dilakukan sehari-hari dimana pemberian sanksi terhadap

pelaku kejahatan memang pada umumnya lebih berat dari pada sanksi

yang diberikan kepada pelaku pelanggaran. Untuk menguraikan pengertian

pelanggaran, maka diperlukan para pendapat Sarjana Hukum. Menurut

Wirjono Prodjodikoro,44 pengertian pelanggaran adalah “overtredingen”

atau pelanggaran berarti suatu perbutan yang melanggar sesuatu dan

berhubungan dengan hukum, berarti tidak lain dari pada perbuatan

melawan hukum.

43
Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002, hlm.40
44
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana, Bandung: Refika Aditama, 2003, hlm.33

44
Sedangkan menurut Bambang Poernomo,45 mengemukakan bahwa

pelanggaran adalah politis-on recht dan kejahatan adalah crimineel-on

recht. Politis-on recht itu merupakan perbuatan yang tidak mentaati

larangan atau keharusan yang ditentukan oleh penguasa negara. Sedangkan

crimineel-on recht itu merupakan perbuatan yang bertentangan dengan

hukum. Dari berbagai definisi pelanggaran tersebut diatas maka dapat

disimpulkan bahwa unsur-unsur pelanggaran adalah sebagai berikut:

1. Adanya perbuatan yang bertentangan dengan perundang-undangan.

2. Menimbulkan akibat hukum Maka dari berbagai pengertian di atas

maka dapat mengambil kesimpulan bahwa pelanggaran adalah suatu

perbuatan atau tindakan yang bertentangan dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Berpedoman pada pengertian tentang pelanggaran dan pengertian

lalu lintas diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud

dengan pelanggaran lalu lintas adalah suatu perbuatan atau tindakan yang

dilakukan seseorang yang mengemudi kendaraan umum atau kendaraan

bermotor juga pejalan kaki yang bertentangan dengan peaturan perundang-

undangan lalu lintas yang berlaku.

Ketertiban lalu lintas adalah salah satu perwujudan disiplin nasional

yang merupakan cermin budaya bangsa karena itulah setiap insan wajib

turut mewujudkannya. Untuk menghindari terjadinya pelanggaran lalu

lintas maka diharapkan masyarakat dapat mengetahui dan melaksanakan

serta patuh terhadap peraturan lalu lintas yang terdapat pada jalan raya. Di
45
Bambang Poernomo, Op.cit, hlm.40

45
wilayah hukum Kecamatan Ciawi, kesadaran pengguna kendaraan

bermotor untuk tertib berlalu lintas di Kecamatan Ciawi ternyata masih

rendah. Indikasinya, angka pelanggaran lalu lintas cenderung mengalami

peningkatan setiap bulannya.

Jumlah pelanggaran lalu lintas dari bulan Juli hingga 22 Agustus

2017 mengalami peningkatan signifikan. Data sidang lalu lintas di PN

Tasikmlaya menunjukkan pada bulan Juli 2017, jumlah pelanggaran total

adalah 1.813. Sedangkan jumlah pelanggaran hingga 22 Agustus 2017,

mencapai angka pelanggaran lalu lintas bahkan menjadi yang tertinggi

selama kalender 2017. Satlantas Polres Kota Tasikmalaya mencatat ada

3.960 pelanggaran lalu lintas yang terjadi di bulan itu. Dari angka itu,

sebanyak 1.216 pelanggaran di antaranya dilakukan oleh pengendara

berusia 21–30 tahun. Rentang usia itu dikategorikan sebagai generasi

milenial (kelahiran tahun 1980 hingga 1997).

C. Penerbitan SIM Menurut Peraturan Kepolisian Nomor 5 Tahun 2021

Surat Izin Mengemudi (SIM) menjadi sebuah identitas sekaligus

lisensi bagi pengguna kendaraan bermotor dan sebagai pengakuan untuk

keahlian dalam menggunakan alat transportasi motor atau ranmor di

jalanan serta memahami segala bentuk aturan berlalu-lintas.46 Pengertian

SIM ialah bentuk keabsahan keahlian dari seorang pengendara ranmor

dengan menyesuaikan jenis dan golongan SIM yang ada. Proses tersebut

46
Adiba Bahari, Panduan Praktik tes SIM, Mengurus STNK dan BPKB (Yogyakarta: Penerbit
Pustaka Yustisia, 2009), 10.

46
dapat dilalui dengan syarat dapat lulus ujian kemahiran dalam berkendara

di kantor layanan Satpas.47

Landasan hukum adanya Surat Izin Mengemudi terdapat pada

Peraturan Pemerintah dengan No. 44 Tahun 1993, UU Nomor 2 Tahun

2002, UU Nomor 22 Tahun 2009, Peraturan Pemerintah dengan No. 76

Tahun 2020, dan Peraturan Kepolisian Nomor 5 Tahun 2021. Bentuk

upaya melacak data diri seseorang dapat diketahui melalui fungsi dari

Surat izin mengemudi itu sendiri. Merujuk pada kebijakan Kepolisian

Nomor 5 tahun 2021 terkait dengan Pembuatan dan Penandaan Surat Izin

Mengemudi, setiap warga masyarakat dalam menggunakan kendaraan

motor untuk dijadikan alat tranportasi maka diwajibkan mempunyai lisensi

sebagai pengendara yang mahir.

a. Dasar Hukum Surat Izin Mengemudi (SIM)

a. Peraturan Pemerintah dengan Nomor 44 Tahun 1993 terkait

Kendaraan dan Pengemudi.

b. Undang-Undang dengan Nomor 2 Tahun 2002 terkait Kepolisian

Negara Republik Indonesia.

c. Undang-Undang dengan Nomor 22 Tahun 2009 terkait lalu-lintas dan

angkutan jalan.

d. Peraturan Pemerintah dengan Nomor 76 Tahun 2020 terkait jenis, dan

tarif atas jenis PNBP pada Kepolisian Negara Republik Indonesia.

47
POLRI, Peraturan Kepolisian Nomor 5 Tahun 2021 Tentang Penerbitan Dan Penandaan SIM,
(Indonesia: Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, 2021).

47
e. Peraturan Kepolisian dengan Nomor 5 Tahun 2021 terkait penerbitan

dan, penandaan SIM.

Tujuan diterbitkan SIM sebagai wujud usaha yang dilakukan oleh

pihak kepolisian untuk menata dan mengelola dengan baik dalam aspek

berkendara dengan kendaraan motor. Adapula tujuan selanjutnya yaitu

untuk menumbuhkan kesadaran pengguna jalan atas aturan yang ada di

lalu lintas, dengan harapan masyarakat menjadi patuh dan bijak ketika

berkendara di jalan. Faktor kecelakaan di jalan raya merupakan salah satu

dampak tidak adanya rasa kehati-hatian serta tingkat kepatuhan terhadap

rambu lalu lintas yang ada. Maka dari itu dalam membuat surat izin

mengemudi didalamnya memberi pemahaman akan berlalu lintas yang

baik dan juga terdapat ujian teorinya dan praktik lapangannya.48 Dalam

Perpol dengan Nomor 9 Tahun 2012 di pasal 4, telah dijelaskan secara

rinci apa tujuan serta maksud dari SIM tersebut :49

a) Pengakuan Keahlian Pengendara Hal tersebut akan didapatkan oleh

pengendara ranmor setelah dapat menyelesaikan serangkaian ujian

baik teori maupun praktik lapangan yang dilakukan di kantor layanan

Satpas.

b) Data diri Pengendara Didalam sebuah kartu SIM terdapat informasi

data diri kita sebagai pengendara yang harus dipertanggungjawabkan

ketika sedang mengendara kendaraan.

48
USM, "Kajian Umum Surat Izin Mengemudi (SIM)" (Thesis--Universitas Semarang, 2014), 14.
49
Kapolri, Perkap No. 09 Tahun 2012 Tentang Suratt Izin Mengemudii, (2012), 4.

48
c) Alat Pengontrol Kompetensi Pengendara Jika pengendara sudah

memiliki SIM maka mendapatkan pengawasan oleh kepolisian

sebagai alat pertanggungjawaban di hadapan hukum ketika sedang

berkendara.

d) Data atau catatan Kepolisian Surat izin mengemudi juga sebagai alat

bantu kepolisian dalam melakukan penelusuran jejak atau penyidikan,

ketika pengendara tersebut melakukan perbuatan hukum yang

melanggar, seperti kecelakaan, melanggar ketertiban lalu lintas, dan

perbuatan pidana.

Berdasarkan uraian mengenai tujuan penerbitan SIM tersebut, maka

dapat dikatakan perihal maksud/tujuan penerbitan SIM ialah sebagai

bentuk pengakuan skill pengemudi, data diri pengendara, alat pengontrol

kompetensi pengendara, dan catatan kepolisian.

Dalam hal mendukung operasional Polri, SIM memiliki fungsi :

1) Sebagai data diri seseorang Berawal dari sebuah SIM, semua

data diri dapat diketahui karena didalamnya terdapat informasi

pengendara mulai dari nama, foto, alamat tempat tinggal,

tanggal lahir, pekerjaan, dan nomor SIM tersebut.

2) Bentuk perangkat pembuktian Surat Izin Mengemudi disamping

untuk bentuk alat pembuktian tetapi juga berfungsi sebagai

penelusuran jejak atau penyidikan, ketika pengendara tersebut

melakukan perbuatan hukum yang melanggar, seperti

49
kecelakaan, melanggar ketrtiban lalu lintas, dan perbuatan

pidana yang berhubungan dengan alat transportasi kendaraan.

3) Bentuk tanggungjawab pengendara dengan dapat menahan SIM

seseorang ketika terjadi pelanggaraan berlalu lintas maupun

accident, kemudian memaksa pelanggarnya hadir di pengadilan,

merupakan bukti nyata betapa besar fungsi dan peran Surat Izin

Mengemudi dalam menjalankan tugas Polri, karena pada

dasarnya tanpa upaya pemaksaan tersebut, sulit untuk menjamin

terlaksananya penegakan hukum akan bekerja dengan baik.

4) Bentuk upaya perlindungan pengendara Setiap pengendara

motor memiliki resiko yang sama yakni dapat terjadinya

kecelakaan, maka dari itu pengendara harus berhati-hati dalam

berkendara. Dengan adanya SIM tersebut diharapkan dapat

mengedukasi pengendara untuk patuh dalam berlalu lintas serta

dapat menekan terjadinya laka lantas.

5) Bentuk pelayanan publik Masyarakat berhak mendapatkan hak

yang sama dalam memiliki lisensi mengemudikan kendaraan

sesui dengan jenis kendaraannya. Sehingga institusi kepolisian

melalui Satpas memberikan pelayanan terhadap masyarakat

untuk bisa mendapatkan sebuah SIM.

b. Macam-macam Penggolongan SIM

50
Berkendara di Indonesia mengenal peraturan berlalu lintas

khususnya perihal lisensi berkendara. Ada pula berbagai

penggolongan kartu SIM yang didasarkan atas jenis kendaraan yang

dimiliki pengendara.

Berdasarkan Pasal 3 ayat (2) pada Peraturan Kepolisian Nomor

5 Tahun 2021, dijelaskan bahwa :

a. SIM-A diberikan terhadap pemilik pengendara motor dengan

bobot maksimum yang diperbolehkan 3500kg (terbilang tiga ribu

lima ratus kilo gram) berupa mobil penumpang pribadi dan mobil

barang pribadi;

b. SIM-A Umum, berlaku terhadap pemilik pengendara motor

dengan bobot maksimum yang diperbolehkan 3500 kg (terbilang

tiga ribu lima ratus kilo gram) berupa mobil berpenumpang

umum dan mobil pengangkut logistik umum;

c. SIM-BI, diberikan terhadap pemilik pengendara motor dengan

bobot yang diizinkan minimum 3500 kg (terbilang tiga ribu lima

ratus kilo gram) dalam bentuk bus individu dan mobil barang

individu;

d. SIM-BI Umum, berlaku terhadap pemilik pengendara motor

dengan bobot yang diizinkan minimum 3500kg (terbilang tiga

ribu lima ratus kilo gram) dalam bentuk bis dan kendaraan barang

umum;

51
e. SIM-BII, berlaku terhadap pengendara kendaraan motor berupa

kendaraan alat-berat, mobil derek, dan kendaraan yang dapat

menggunakan gandengan dengan berat yang diizinkan terhadap

mobil yang ditambal/diderek lebih dari 1000 kg (terbilang seribu

kilo gram);

f. SIM-BII Umum, berlaku terhadap pengendara kendaraan motor

berupa kendaraan alat-berat, mobil derek, dan mobil derek tempel

atau gandengan dengan bobot yang diizinkan untuk gandengan

minimum 1000kg (terbilang seribu kilo gram);

g. SIM-C, diberikan terhadap pengendara kendaraan motor dengan

kapasiti silinders mesin 250 cc (terbilang dua ratus lima puluh

cc);

h. SIM-CI, diberikan terhadap pengendara kendaraan motor dengan

kapasitas silinders mesin lebih dari 250 cc (terbilang dua ratus

lima puluh cc) sampai dengan 500cc (terbilang lima ratus

sentimeter kubik) atau Ranmor serupa dengan ditenagai oleh

tenaga listrik;

i. SIM-CII, diberikan terhadap pengendara kendaraan motor dengan

kapasitas silinders mesin lebih dari 500cc (terbilang lima ratus cc)

maupun Ranmor serupa dengan ditenagai oleh tenaga listrik;

j. SIM-D, berlaku terhadap pengendara kendaraan motor khususon

pada Penyandang Difabel yang setaraa seperti kelas SIM C;

52
k. SIM-DI, diberikan terhadap pengendara motor khususon pada

Penyandang Difabel yang setaraa dengan SIM penggolongan A

c. Persyaratan Pemohon Surat Izin Mengemudi

Tahapan membuat Surat Izin Mengemudi sudah ditentukan

dengan prosedur yang lengkap dan mudah dijangkau. Waktu yang

dibutuhkan sebenarnya tidak terlalu lama asalkan dapat melelaui

seangkaian proses serta ujian yang tetapkan, paling tidak 1-2 hari

sudah selesai. Informasi dari divisi hubungan masyarakat dari

kepolisian maupun dalam Peraturan Kepolisian No. 5 Tahun 2021,

Pasal 6 ayat (1)a, memberikan informasi yang lengkap bagaiamana

persyaratan yang harus dipersiapkan oleh pemohon daripada surat

izin mengemudi :

a. Usia Berdasarkan Pasal 7a, telah diatur mengenai usia minimal

dari para pemohon SIM, sebagai berikut :

a) Berumur minimal 17 tahun bagi SIM-A, SIM-C,SIM-D,

SIM-DI

b) Berumur minimal 18 tahun bagi SIM-CI

c) Berumur minimal 19 tahun bagi SIM-CII

d) Berumur minimal 20 tahun bagi SIM-A umum dan SIM-BI

e) Berumur minimal 21 tahun bagi SIM-BII

f) Berumur minimal 22 tahun bagi SIM-BI umum

g) Berumur minimal 23 tahun bagi SIM-BII umum.

53
b. Administrasi Kelengkapan berkas keadministrasian yang harus

diperhatikan dan diisi dalam kepengurusan SIM baru, susuai

dengan Pasal 7b :

a) Melengkapi data formulir pengajuan SIM baru, lalu

memberikan kepada petugas. Atau juga dapat melengkapi form

mendaftar secara elektronik.

b) Menyiapkan salinan kartu identitas atau KTP, dan bagi

warga negara asing memakai kartu identitas dari keimigrasian.

c) Menyertakan salinan bukti tertulis perihal sudah pernah

mengikuti pelatihan mengemudi dengan jangka waktu enam bulan

sejak terbit, bila ada;

d) Untuk warga negara asing harus menyertakan salinan surat

atau bukti tertulis perihal perizinan mendapat pekerjaan di Indonesia;

e) Melakukan medical check-up berupa kondisi kesehatan

mata, kemudian perekaman sidik jari serta dokumentasi penampakan

wajah.

f) Melakukan pembiayaan disertai bukti tertulis.

Syarat yang perlu diperhatikan ketika menajalani tes kesehatan

telah termaktub pada Pasaal 7c, sebagai berikut:

a) Kesehatan Jasmani Medical check-up harus dilakukan

berdasarkan Pasal 10a, meliputi pemeriksaann:

1. Pengelihatan

2. Pendengaran

54
3. Fisik

Proses pengecekan kesehatan dapat dilakukan oleh dokter

umum atau petugas medis dari kepolisian yang berkompeten

dibidangnya, kemudian dengan dapat memberikan surat pembuktian

hasil pengecekan kesehatannya yang dikeluarkan oleh dokter dan

surat keterangan sehat tersebut hanya berlaku empat belas hari pasca

terbit.

b) Kesehatan Mental

Kesehatan mental merupakan bagian dari pola pikir manusia

didalam menentukan sikap yang diambilnya, hal tersebut diatur pada

Pasal 10b, sebagaimana dapat dilakukan pemeriksaan terhadap :

1. Kemampuan pola berpikir

2. Kemampuan dalam bertindak

3. Kepribadian Proses pengecekan psikologis atau mental

dapat dilakukan kepada klinik psikolog yang disediakan polri

maupun dokter psikolog umum. Dengan dapat dibuktikan dengan

keterangan lulus test psikologi. Surat keterangan tersebut hanya

berlaku selama enam bulan pasca terbit.

4. Lulus Ujian Syarat kelulusan tes pembuatan SIM termaktub

pada Pasal 7d meliputi :

a) Test Teori Persyaratan tersebut wajib dilakukan oleh

pemohon sesuai dengan Pasal13 ayat (1)a, dilakukan dalam

kepengurusan, antara lain :

55
1) Pengajuan SIM baru

2) Meningkatkan golongan SIM

3) Lisensi SIM dicabut berdasarkan keputusan pengadilan.

Pelaksanaan test teori dilakukan pemohon dengan mengunakan

komputer atau elektronik yang telah disediakan dalam ruang ujian di

kantor Satpas. Test teori dapat dikatakan lolos apabila mendapat

nilai minimal 70.

Apabila dalam test teori mendapatkan nilai dibawah batas

ambang atau 70, maka masih terdapat peluang untuk bisa lolos test

teori, yaitu mengikuti test ulang sebanyak dua kali selama empat

belas hari normal pasca diumumkan bahwa tidak lolos test teori. Para

pemohon dapat mengetahui nilai test teorinya masingmasing pada

layar computer pasca pelaksanaan pengerjaan test teori rampung.

Kemudian jika hasilnya memuaskan atau lolos, nantinya diarahkan

ke tahap selanjutnya yaitu melakukan test keterampilan simulasi.

b) Test Keterampilan menggunakan simulasi Pelaksanaan test

keterampilan menggunakan simulasi telah sesuai dengan Pasal 13

ayat (1)b, digunakan dalam kepengurusan, antara lain :

1) Pembuatan SIM yang baru, dengan pengecualian terhadap

golongan SIM-D dan SIM-DI.

2) Melakukan penambahan masa berlaku terhadap SIM-A

umum SIM-BI umum, SIM-BII umum, serta SIM-BI dan SIM-BII.

3) Mengupgrade tingkatan jenis SIM.

56
4) Lisensi SIM dicabut berdasarkan keputusan pengadilan.

Apabila mampu lolos dari test ketrampilan menggunakan simulasi,

nantinya diberikan tanda bukti bahwa telah lolos test keterampilan

dan selanjutnya diarahkan untuk menjalani test praktik lapangan.

Test keterampilan dapat dikatakan lolos apabila mendapat nilai

minimal 70. Apabila dalam test teori mendapatkan nilai dibawah

batas ambang atau 70, maka masih terdapat peluang untuk bisa lolos

test teori, yaitu mengikuti test ulang sebanyak dua kali selama empat

belas hari normal pasca diumumkan bahwa tidak lolos test

keterampilan. c) Test Praktek Pelaksanaan test praktek telah sesuai

pada Pasal 13 ayat (1) c, sebagaimana test praktek yang mana

disebutkan pada Pasal 13 ayat (1) c, dilakukan dalam kepengurusan,

antara lain :

1) Pembuatan SIM yang baru

2) Meningkatkan atas golongan SIM

3) Lisensi SIM dicabut berdasarkan keputusan pengadilan.

Ketentuan terhadap test praktek dapat dilakukan secara manual

dan/atau elktronik yang mana test praktek dilakukan dengan

bertempat pada :

a. Tempat test praktek lapangan yang telah disediakan Satpas

b. Jalan raya atau jalan yang sudah ditentukan. Sebelum test

praktek sesungguhnya dimulai, petugas memberikan kesempatan

terlebih dahulu untuk menguji coba tempat test prakteknya, supaya

57
bisa memperhitungan serta mempersiapkan diri dengan baik agar

lolos test praktek tersebut.

Aspek penilaian yang dipakai yaitu tidak diperkenankan kaki

menginjak tanah selama praktek lapangan berjalan dan melewati

marka jalan hingga mengabaikan rambu-rambu yang ada. Hasil test

praktek nantinya diumumkan langsung oleh petugas pasca

melaksanakan test praktek. Jika hasil tersebut menyatakan tidak

lolos, nantinya petugas memberikan waktu untuk mengulangi test

praktek tersebut sebanyak dua kali selama empat belas hari normal

pasca diumumkan bahwa tidak lolos test praktek.

d. Tata-Cara Pelaksanaan Pembuatan Surat Izin Mengemudi

Sebelum kita memiliki SIM, terdapat pula tahapan proses

dalam membuat SIM itu sendiri di kantor Satpas, proses yang harus

ditempuh, antara lain :

1. Registrasi Adalah tahap awal dalam mendapatkan pelayanan

pembuatan SIM. Di dalam meja registrasi terdapat juga syarat-syarat

yang harus dipenuhi. Tugas yang dijalankan oleh petugas Satpas

meliputi :

a. Menerima berkas pemohon serta melaksanakan pemeriksaan

terhadap berkas dokumen permohonan penerbitan SIM.

b. Mengentry NIK yang terdapat dalam KTP.

c. Mengumumkan kepada peserta agar dapat mengisi semua

dokumen atau berkas.

58
d. Menandatangani atau memberi tanda pada form registrasi,

bahwasannya telah mendapat penyetujuan.

e. Mengentry keterangan yang terdapat pada berkas form

registrasi.

f. Melakukan persetujuan registrasi para peserta agar dapat

menjalani test teori, test keterampilan, dan test praktek lapangan.

g. Mengumpulkan berkas registrasi dengan pernyataan telah

melengkapi persyarataan registrasi, lalu memberikannya kepada

petugas bagian arsip.

h. Bagi peserta yang belum lolos test atau ingin mengajukan

pembatalan sebelum mengikuti ke tahap ujian, maka dapat

melampirkan bukti pengembalian pembiayaan pembuatan SIM.

Identifikasi Tahapan dimana bertugas untuk melakukan

konfirmasi terhadap berkas yang diajukan para pelamar SIM,

bertugas antara lain :

a. Menyetujui dan memberikan atas bukti registrasi kepada

para peserta.

b. Melaksanakan pencocokan dokumen atau berkas peserta.

c. Melakukan penandatanganan, pemotretan wajah pemohon

untuk kelengkapan data diri, merekam sidik jari peserta yang

seluruhnya dilakukan dengan sistem elektronik.

Pengarahan dan Pengetesan Memberikan pengarahan dan

melakukan pengujian sebelum pelaksanaan test para peserta yang

59
dilakukan oleh pokja bagian pengarahan dan pengujian terkait pos

test teori, test ketrampilan, serta test praktek.

a. Tugas dari pokja bagian pengarahan dan pengetesan

meliputi:

1) Memberikan lagi pada peserta perihal bukti registrasi.

2) Memaparkan arahan kepada para peserta sebelum

melaksanakan test teori.

3) Manjalani test teori dengan menggunakan komputer yang

telah disediakan.

4) Memberitahukan sekaligus memberikan perolehan nilai test

5) Mengumumkan bagi peserta yang lolos test teori dapat

melanjutkan untuk mengikuti test ketrampilan.

b. Tugas pokja bagian pengarahan dan pengetesan yang

berjaga di pos test ketrampilan menggunakan simulasi, meliputi :

1) Memberikan lagi pada peserta perihal bukti registrasi.

2) Memaparkan pelajaran test ketrampilan menggunakan

simulasi pada komputer.

3) Melakukan test ketrampilan menggunakan simulasi.

4) Memberitahukan sekaligus memberikan perolehan nilai test

ketrampilan.

5) Mengumumkan bagi peserta yang lolos test ketrampilan

dapat melanjutkan untuk mengikuti test praktek.

60
c. Tugas pokja bagian pengarahan dan pengetesan yang

berjaga di pos test praktek, meliputi :

1) Memberikan lagi pada peserta perihal bukti registrasi.

2) Memaparkan pelajaran yang ada dalam test praktek kepada

peserta.

3) Peserta diizinkan untuk latihan sendiri supaya lebih siap

nantinya ketika test dimulai.

4) Melakukan test praktek.

5) Memberitahukan sekaligus memberikan perolehan nilai test

praktek peserta

6) Bagi peserta yang mendapat panggilan bahwa telah lolos

test praktek, diarahkan oleh petugas untuk mengambil SIM yang

telah dicetak kemudian serah terima kartu SIM yang sudah jadi.

4. Pencetakan dan Penyerahan Adalah proses pencetakan dan

penyerahan kartu Surat Izin Mengemudi terhadap peserta dibantu

bersama pokja bagian percetakan dan penyerahan, bertugas antara

lain :

a. Verifikasi atau konfirmasi berkas peserta.

b. Melakukan tahap pencetakan serta pemberian kartu SIM.

c. Menyetujui berkas regitrasi peserta. d. Memberikan atau

serah terima kartu SIM ke peserta.

5. Pengarsipan Adalah bagian yang paling urgent didalam

sebuah pelayanan publik, karena didalamnya terdapat berkas atau

61
data diri orang lain yang perlu jaga, dipelihara, ditata agar tidak

sampai hilang dan pekerjaan tersebut merupakan sebuah amanah.

Dalam menjaga arsip tersebut dilaksanakan dengan pokja kearsipan,

yang bertugas antara lain :

a. Menerimaa berkas administrasi dari pokja registrasi.

b. Menyimpan, menata, memelihara serta menghimpun arsip

dengan baik.

c. Melakukan penghimpunan dan pemilihan arsip yang mana

yang harus dihilangkan, dipindahkan, atau yang masih dapat

diberikan.

62
BAB III

63
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum


Progresif, Sinar Grafik, Jakarta, 2010
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke
Reformasi, Pradnya Paramita, Jakarta, 1986
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Pradnya
Paramita, Jakarta, 1993
Assadulloh Al Faruq, Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam, Ghalia
Indonesia, Bogor, 2009

64
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika,
Jakarta, 2002
Dellyana Shant, Konsep Penegakan Hukum, Liberty, Yogyakarta,1988
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka,
Yogyakarta, 2016
Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum
Pidana, Kencana, Jakarta, 2014
Jan Rammelink, Hukum Pidana Komentar atas Pasal Pasal Terpenting dari
KUHP Belanda dan Padannanya dalam KUHP Indonesia, PT.
Gramedia Pustaka Utma, Jakarta, 2003
Leksmono Suryo Putranto, Rekayasa Lalu-Lintas, Edisi 3, PT, Indeks,
Jakarta, 2016
M. Husen Harun, Kejahatan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Rineka
Cipta¸ Jakarta, 1990
M.Iqbal Hasan, Pokok Pokok Materi Metodologi Penelitian dan
Aplikasinya, Ghalia Indoneia, Jakarta, 2002
Naning Rondlon, Menggairahkan Kesadaran Hukum Masyarakat dan
Disiplin Penegak Hukum dan Lalu Lintas, Jakarta: Bina Ilmu, 1983,
Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan
Pemidanaan, Ctk. Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2007
Munir Fuady, Aliran Hukum Krisis (Paradigma Ketidakberdayaan Hukum),
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003
Rais Ahmad, Peran Manusia dalam Penegakan Hukum, Pustakan Antara,
Jakarta, 1996
Ridwan Syah Beruh, Membumikan Hukum Tuhan Perlindungan HAM
Perspektif Hukum Pidana Islam, Pustaka Ilmu, Yogyakarta
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007
Soerjono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-
masalah Sosial, Citra Aditya Bakti, Bandung 1989

65
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty
Yogyakarta, Yogyakarta, 2005
Suhariyono AR, Pembaruan Pidana Denda Indonesia, Papas Sinar Sinanti,
Jakarta, 2012
Suryanagara, Panduan Aman Berlalu Lintas Sesuai UU Nomor. 22 Tahun
2009, Degraf Publishing, Jakarta, 2009
Syaiful Bakhri, Perkembangan Stelsel Pidana Indonesia, Total Media,
Yogyakarta, 2009
Syaiful Bakhri, Pidana Denda dan Korupsi, Total Media, Yogyakarta
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010

66

Anda mungkin juga menyukai