Anda di halaman 1dari 10

TUNTUTAN GUGATAN GANTI KERUGIAN PADA KECELAKAAN

LALU LINTAS DI SATLANTAS POLRES GRESIK

Oleh
H. A. Sudja’i
Fakultas Hukum UNSURI Surabaya

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prosedur pelaksanaan gugatan ganti kerugian dalam
kecelakaan lalu lintas dan untuk mengetahui hukum perikatan dalam kecelakaan lalu lintas.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu menelaah permasalahan yang ada
berdasarkan peraturan perundang-undang yang berlaku dan mengaitkan dengan praktek
penyelesaian masalah tersebut di pengadilan.
Pengumpulan data diperoleh melalui studi keputakaan dan peraturan perundang-undang, putusan
pengadilan, yurisprudensi dan Kepolisian Republik Indonesia.
Analisis data untuk menyelesaiakan menggunakan yuridis praktis dengan motode diskripsi-
comperatif, yaitu menjelaskan terlebih dahulu toori-teori ganti kerugian sehubungan dengan
perbuatan melanggar hukum dan di bandingkan dengan kenyataan yang terjadi, kemudian diambil
kesimpulan.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dalam kecelakaan lalu lintas, pembagian
risiko perlu sekali diadakan mengingat besar kecilnya kesalahan yang dilakukan oleh para pihak.
Tidaklah adil apabila seseorang harus menanggung risiko ganti rugi yang besar, sedangkan
kesalahan yang dilakukan kecil sekali. Untuk menentukan pembagian risiko, kesalahan mempunyai
peranan yang penting dalam kaitannya dengan perbuatan melanggar hukum. Tanpa kesalahan
seseorang yang melakukan perbuatan melanggar hukum tidak dapat dikenai oleh pasal 1365 BW,
maka bebas dari tanggung gugat. Dengan demikian, beban risiko untuk mengganti kerugian tidak
dibebankan kepada pelaku perbuatan melanggar hukum lebih dari seseorang, maka beban risiko
ganti kerugian didasarkan atas besar kecilnya kesalahan masing-masing.

PENDAHALUAN

Perkembangan lalu lintas modern di satu pihak akan memberikan kemudahan-kemudahan


masyarakat pemakai jalan. Namun di lain pihak akan membawa akibat-akibat permasalahan yang
paling komplek antara lain peningkatan Pelanggaran-pelanggaran, kecelakaan-kecelakaan,
kemacetan-kemacetan lalu lintas dan kriminalitas yang berkaitan dengan lalu lintas.
Permasalahan lalu lintas tersebut disebahkan oleh berbagai faktor dan terpenting adalah
faktor manusia sebagai pemakai jalan. baik sebagai pengemudi maupun pemakai jalan pada
umumnya. Sedangkan disiplin dan kesadaran hukum masyarakat pemakai jalan masih belum dapat
dikatakan baik, belum memiliki kepatuhan ketaatan untuk mengikuti perundang-undangan yang
berlaku. Tingkat kesadaran hukum masyarakat pemakai jalan dapat diukur dari kemampuan dan
daya serap setiap individu dan menerapkannya di jalan raya.
Jika kita tinjau dari perkembangan masyarakat saat ini, dapat di rasakan menurunnya
tingkat kesadaran hukumnya, terutama dalam hal tata tertib lalu lintas. Salah satu bukti dari
merosotnya tingkat kesadaran hukum tersebut dapat dilihat semakin meningkatnya jumlah angka
kecelakaan lalu lintas dari tahun ke tahun. Menurut sumber Kepolisian terjadinya kecelakaan lalu
lintas kurang lebih delapan puluh prosen disebabkan oleh faktor manusia, hal ini antara lain kurang
hati-hatinya pengemudi. Kecelakaan yang terjadi cukup memprihatinkan, karena yang menjadi
korban tidak hanya harta benda saja, melainkan juga nyawa manusia. Peristiwa kecelakaan lalu

21
lintas sering menimbulkan perkosaan terhadap nyawa manusia, tubuh manusia dan harta benda
yang jelas merugikan manusia lain.
Melihat sering adanya peristiwa kecelakaan, maka hal itu tidak terlepas dari perbuatan melanggar
hukum yang dilakukan sebelumnya oleh para pihak. Perbuatan melanggar hukum dapat
mengakibatkan keganjilan dalam masyarakat. Keganjilan ini dapat menyangkut beberapa
kepentingan manusia, kekayaan, tubuh, jiwa manusia.
Untuk melindungi kepentingan dan hak-hak pihak korban serta pihak dari peristiwa
kecelakaan lalu lintas, maka diperlukan adanya upaya-upaya hukum yang seadil-adilnya, agar
tercipta keseimbangan dalam masyarakat. Sejalan dengan keluarnya UU No. 33/1964 yo PP No.
17/1965, tentang pembayaran wajib dana santunan kecelakaan lalu lintas serta UU No. 34/1964 yo
PP No. 18/1965, juga mengatur mengenai dana kecelakaan lalu lintas.
Dengan berkembangnya masyarakat, maka meningkat pula kebutuhan masyarakat
mengenai jumlah angkut, baik alat angkutan umum maupun kendaraan pribadi. Jumlah kendaraan
bermotor yang semakin meningkat maka akan menyebabkan makin padat alur lalu lintas di jalan
raya. Perbandingan antara jumlah kendaraan dengan daya tampung jalan-jalan yang ada di
Indonesia tidak sesuai, maka hal ini dapat menimbulkan seringnya terjadi kecelakaan lalu lintas di
samping faktor lain.
Kecelakaan lalu lintas adalah peristiwa yang dapat menimpa setiap orang dan setiap waktu,
untuk itu perlu pula pembangunan hukum untuk melindungi hak-hak pemakai jalan agar merasa
aman. Mengingat perkembangan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat
semakin sadar pula akan hak-hak mereka bila terkena musibah yang disebabkan oleh perbuatan
melanggar hukum yang merugikan bagi dirinya. Ganti kerugian dalam praktek sekarang ini banyak
dilakukan hanya berdasarkan tenggang rasa atau hanya rasa kemanusiaan saja tanpa melalui
prosedur hukum yang ada, hal itu terbukti sedikitnya gugatan yang diajukan ke Pengadilan
dibanding dengan kerugian yang diderta sebenarnya. Pihak korban seharusnya mendapat
perlindungan yang adil mengingat tingginya biaya pengobatan dan perawatan serta mahalnya harga
kendaraan bermotor saat ini. Penderita kecelakaan tidak hanya diberi ganti kerugian atas dasar rasa
keikhlasan tapi perlu adanya suatu kepastian hukum menurut prosedur yang ada.
Sehubungan dengan hal itu, penulis tertarik untuk memilih judul tersebut di atas karena
berdasarkan banyak kejadian-kejadian kecelakaan lalu lintas yang sering menimbulkan kesalahan
bagi masyarakat pemakai jalan, terutama mengenai perlindungan hak-hak pemakai jalan yang
menjadi korban kecelakaan akibat keceroboan dari pihak lain, yang sampai saat ini nampaknya
masih perlu untuk mendapatkan perlindungan hukum, sejauh mana mereka dapat menuntut haknya
selaku korban maupun pelaku.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prosedur pelaksanaan gugatan ganti kerugian
dalam kecelakaan lalu lintas dan untuk mengetahui hukum perikatan dalam kecelakaan lalu lintas.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu menelaah permasalahan
yang ada berdasarkan peraturan perundang-undang yang berlaku dan mengaitkan dengan praktek
penyelesaian masalah tersebut di pengadilan.
Pengumpulan data diperoleh melalui studi keputakaan dan peraturan perundang-undang,
putusan pengadilan, yurisprudensi dan Kepolisian Republik Indonesia.
Analisis data untuk menyelesaiakan menggunakan yuridis praktis dengan motode
diskripsi-comperatif, yaitu menjelaskan terlebih dahulu toori-teori ganti kerugian sehubungan
dengan perbuatan melanggar hukum dan di bandingkan dengan kenyataan yang terjadi, kemudian
diambil kesimpulan.

22
HASIL DAN PEMBAHASAN

Upaya Hukum Penggugat untuk Memperoleh Ganti Rugi dalam Kecelakaan Lalu Lintas
1. Tinjauan Tentang Tanggung Gugat dalam Kecelakaan Lalu-lintas
Tiap tahun sedikitnya 30.000 orang meninggal akibat kecelakaan lalu lintas. Dalam tiga
tahun, jumlah korban jiwa akibat kecelakaan lalu lintas setara dengan jumlah korban bencana
tsunami di Aceh. Lalu lintas memang kerap dipandang sebelah mata.
Dari data yang diperoleh Departemen Perhubungan terungkap, sebagian besar kecelakaan
lalu lintas disebabkan human error (kesalahan atau kecerobohan pengemudi). Karena itulah,
Departemen Perhubungan (Dephub) menganggap perlu dilakukan perubahan atas Undang-Undang
(UU) Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang dinilai tidak aspiratif
lagi terhadap aspek keselamatan.
Karena persoalan utama pada kecerobohan pengemudi, Dephub memandang tidak ada lain
bahwa sistem penerbitan surat izin mengemudi (SIM) harus ditata ulang. Begitu juga terhadap
pengemudi angkutan barang dan umum yang juga harus bersertifikat, agar mereka tidak lagi ugal-
ugalan.
Persoalan pun kemudian tidak berhenti sampai di situ. Banyaknya kendaraan bermotor yang
tidak memiliki kelengkapan surat tanda nomor kendaraan (STNK) atau buku kepemilikan
kendaraan bermotor (BPKB) membuat masalah registrasi dan identifikasi (regident) dipandang
perlu untuk ditata ulang.
Di sisi lain, kecelakaan lalu lintas juga kerap terjadi di luar persoalan human error tadi.
Misalnya akibat jalanan rusak, rambu-rambu jalan yang sudah tidak tepat fungsi, penyempitan bahu
jalan yang sulit ditanggulangi, pelanggaran lalu lintas oleh becak dan delman, hingga akibat
pungutan liar oleh aparat Dephub terhadap kendaraan bermuatan lebih (overload) yang
mengakibatkan jalan raya cepat rusak dan beban APBN bertambah.

Tanggung-gugat
Menurut pasal 1365 BW, barang siapa melakukan perbuatan melanggar hukum dan terbukti
bersalah wajib mengganti kerugian. Seseorang pengemudi yang melakukan perbuatan melanggar
hukum, hingga terjadi tabrakan yang mengakibatkan mati atau cacatnya orang lain, ia terkena pasal
tersebut. Kejadian kecelakaan lalu lintas menimbulkan perikatan karena Undang-undang, artinya
pihak yang melanggar hukum terikat untuk kewajiban membayar ganti rugi kepada pihak yang
dirugikan (korban). Seorang pengemudi yang menjalankan kendaraan dapat menjalankan milik
perorangan dan bisa milik badan hukum. Milik perorangan, berarti pengemudi men-jalankan milik
sendiri atau milik orang lain karena pinjam atau sewa. Milik badan hukum, berarti pengemudi
menjalankan kendaraan suatu perusahaan karena ia bekerja sebagai pengemudi dan ada ikatan
hubungan kerja.
Berdasarkan uraian diatas, tanggung gugat pengemudi yang telah menimbulkan kecelakaan
lalu lintas karena perbuatan melanggar hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tanggung gugat
pengemudi kendaraan milik perorangan, dan tanggung gugat pengemudi kendaraan milik
perusahaan.
a. Tanggung gugat Pengemudi Kendaraan Milik Perorangan
Seorang pengemudi yang karena salahnya telah menyebabkan kecelakaan di jalan raya,
sehingga menyebabkan meninggalnya atau cacat-nya korban. Penderitaan tersebut dapat menuntut
ganti kerugian kepada pembuat perbuatan melanggar hukum. Seorang pengemudi dalam men-
jalankan kendaraannya menabrak pemakai jalan lain karena kelalaiannya, maka ia tidak hanya
bertanggungjawab secara pidana, namun juga secara perdata tidak dapat melepaskan tanggung
gugat. Hal itu telah dinyatakan dalam Undang-undang, yaitu pasal 1918 jo 1919 BW. Inti dari pasal
itu menyatakan : Suatu putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan tetap mengenai suatu
23
kejahatan atau pelanggaran tidak dapat membebaskan diri dari gugatan secara perdata untuk
membayar ganti rugi. Seorang pengemudi yang melakukan perbuatan melanggar hukum hingga
menimbulkan tabrakan dan mengakibatkan mati atau cacatnya korban. Pihak yang dirugikan dapat
menuntut berdasarkan pasal 1365 jo 1370 BW, bila korban meninggal dan menggunakan pasal
1365 jo 1371 BW bila korban menderita cacat. Kedua pasal itu pada dasarnya tidak mem-bedakan
penyebab kematian, apakah disengaja atau karena kealpaan. Penyebab kematian atau cacat oleh
perbuatan sengaja atau kealpaan akibat hukumnya sama, yaitu memberikan hak kepada korban atau
ahli warisnya minta ganti kerugian. Seorang pengemudi yang melakukan perbuatan melanggar
hukum hingga terjadi tabrakan yang menimbulkan kematian orang lain hingga dituntut berdasarkan
pasal 1370 BW mempunyai kewajiban membayar ganti rugi. Ganti rugi tersebut harus dinilai
menurut kedudukan dan kekayaan kedua belah pihak serta menuntut keadaan. Adapun yang
dimaksud dengan keadaan, yaitu didalam memberikan ganti rugi harus diperhatikan juga
kemungkinan warisan yang akan diterima oleh janda atau ahli warisnya, sekalipun warisan tersebut
baru akan diterima beberapa waktu setelah meninggalnya korban. Berdasarkan kedudukan dan
kekayaan, artinya harus pula dipertimbangkan baik kedudukan dan kekayaan pihak yang
mendapatkan ganti kerugian, maupun kedudukan dan kekayaan orang yang harus dipertanggung
jawabkan.
Tanggung gugat pengemudi yang mengakibatkan cacatnya seseorang (korban kecelakaan
lalu lintas) menurut pasal 1371 BW di wajibkan untuk membayar ganti rugi kepada korban berupa
biaya pengobatan yang telah dikeluarkan, serta mengganti kerugian yang ditimbulkan oleh
cacatnya.
Hal yang perlu diingat, ganti kerugian tidak akan lebih tinggi dari jumlah yang diharapkan
diterima oleh ahli warisnya karena kematian korban. Ganti rugi juga tidak dapat lebih tinggi dari
jumlah kerugian yang diderita. Sekalipun korban lebih miskin kedudukannya dibanding pelaku
perbuatan Undang-undang memang menentukan biaya perawatan harus diperhitungkan, tetapi tidak
menentukan penggantian yang harus diberikan karena rasa sakit.
Pasal 1370 dan 1371 BW juga menentukan secara limitativ tentang siapa yang boleh
mengajukan tuntutan ganti rugi. Dalam hal korban meninggal sesuai dengan pasal 1370 BW yang
boleh menuntut yaitu : suami atau istri yanag lazimnya mendapat nafkah dari korban. Dalam hal
korban-korban kecelakaan menderita atau cacat anggota badan, sesuai dengan pasal 1371 BW yang
boleh mengajukan tuntutan hanya korban sendiri, mengenai ganti kerugian yang disebabkan oleh
luka atau cacatnya tersebut. Apabila korban tergolong orang yang tidak cakap berbuat hukum
(cacat jiwa) atau orang yang masih minderjarig, maka tidak berarti pelaku (tergugat) lepas dari
tanggung gugat. Dalam hal demikian, hak menuntut ganti rugi dapat dilakukan oleh orang tua atau
wali, bila korban sakit jiwa diwakili oleh pengampunnya (curatele).

b. Tanggung Gugat Pengemudi Kendaraan Milik Perusahaan


Pengemudi kendaraan milik perusahaan, artinya orang yang men-jalankan kendaraan itu
sebagai karyawan atau buruh yang tugasnya sebagai sopir perusahaan. Perusahaan dapat
pengemudi itu harus ada hubungan kerja, yang mana pengemudi bekerja sebagai buruh atau
karyawan dan direktur bertindak sebagai majikan. Untuk itu harus ada perjanjian kerja yang dibuat
sebelumnya yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi buruh (pengemudi) dan direktur (majikan)
sesuai pasal 1601 BW, buruh melakukan pekerjaan untuk kepentingan majikan dan majikan
memberikan upah sejumlah uang atau jasa yang telah diberikan.
Untuk menjelaskan tanggung gugat pengemudi kendaraan yang menjalankan kendaraan
milik perusahaan yang melakukan perbuatan melanggar hukum, hingga timbul kecelakaan lalu
lintas. Permasalahan tersebut agar menjadi jelas, saya mengambil contoh sebuah kasus yang telah
terjadi Polres Gresik terhadap pengemudi yang bernama : DARMAN, umur 23 tahun, kebangsaan
Indonesia, tempat tinggal Dsn. Bulusuban RT. 01 RW. 14 Ds. Sambirejo Kec. Pare Kediri.
24
Menurut fakta di kejadian, tersangka benar telah mengemudi truk colt diesel No. Pol AG
7601 FA berjalan dari arah timur menuju barat di jalan umum Desa Krikilan, truck colt diesel yang
dikemudikan tersangka sesampainya di jalan umum Desa Krikilan sedang mendahului kendaraan
truk treler, setelah mendahului, setelah mendahului di depan searah berjalan kendaraan sepeda
motor Honda Supra fit dengan membonceng anaknya dan istrinya, kemudian di depan sepeda
motor tersebut berjalan kendaraan mikrolet yang tidak diketahui identitasnya berjalan pelan mau
menurunkan penumpang, kemudian pengendara sepeda motor tersebut menginjak rem melihat itu
tersangka langsung kaget dan kemudian membating kendali kearah kanan (utara) tetapi bodi depan
sebelah kiri kendaraannya mengenai setang setir sebelah kanan dari sepeda motor tersebut hingga
pengendara dan anaknya jatuh di pinggir jalan sedangkan Istrinya jatuh ketengah jalan dan
sepertinya ban belakang kendaraan tersangka menginjak sesuatu.
Pengemudi yang men-jalankan kendaraan perusahaan menyebabkan tabrakan karena
kelalaian-nya juga akan bertanggung gugat atas dasar perbuatan melanggar hukum, kecuali ada
alasan overmacht.
Perusahaan tempat pengemudi bekerja adalah sebagai badan hukum yang menuntut hukum
dianggap sebagai subyek hukum, maka segala hubungan hukum atau perbuatannya dipandang sama
dengan perbuatan hukum manusia. Akibat yuridis yang timbil bila buruh perusahaan dalam
hubungan kerja melakukan perbuatan melanggar hukum. Hal inilah yang memungkinkan orang lain
dapat digugat untuk memberikan ganti kerugian atas kerugian yang ditimbulkan oleh buruhnya.
Perbuatan yang dilakukan oleh orang (karyawan) akan membawa akibat terhadap perusahaan. Hal
itu didasarkan alasan, bahwa buruh tersebut sebagai wakil dari perusahaan yang bekerja untuk
kepentingan perusahaan, kecuali bila buruh melakukan diluar kewajiban dan tanggungjawab
perusahaan. Syarat adanya tanggung gugat majikan terhadap perbuatan buruhnya, harus ada
hubungan tertentu antara perbuatan buruhnya dengan hubungan kerja. Pendirian H.R. “majikan
bertanggung gugat untuk perbuatan-perbuatan bawahannya, dan untuk itu pelaksanaan jabatan
(dienstverrichting) memberi atau memperbesar kesempatan dilakukannya perbuatan”.
Dalam praktek (yurisprudensi), tanggung gugat ganti rugi akibat kecelakaan lalu lintas
karena salahnya pengemudi yang menjalankan milik perusahaan, kerugian yang timbul akan
dibayar secara tanggung renteng antara pengemudi dan majikan. Apabila kerugian yang dipikul
dirasa tidak adil. Risiko pembayaran ganti rugi secara tanggung renteng oleh pengemudi dianggap
sebagai sanksi atas kesalahannya. Pada satu sisi, hal itu dapat dianggap kurang sesuai bila dilihat
dari aspek sosial ekonomis, pengemudi tidak begitu kuat. Tanggung gugat ganti rugi bagi seorang
pengemudi merupakan masalah yang amat berat sekali. Pada umumnya, kedudukan ekonomis
pengemudi tidak begitu kuat. Hal itu dapat dipahami sebab pengemudi harus menyediakan
sejumlah uang yang harus dibayar-kan kepada penderita. Masalah ini akan lebih dapat dipahami,
jika kita menelusuri motivasi seorang pengemudi untuk mengadakan hubungan kerja dengan
majikan. Dasarnya tidak lain adalah untuk mendapatkan upah yang cukup untuk mencukupi
kebutuhan bagi dirinya dan keluarganya.

2. Ganti Rugi dan Kewajiban Ahli Waris


Kerugian merupakan suatu hal yang dapat timbul oleh bermacam-macam sebab. Kerugian
dapat timbul oleh perbuatan bukan melanggar hukum dan bisa oleh perbuatan melanggar hukum.
Tidak ada perbuatan melanggar hukum tanpa menimbulkan pertanggungjawaban, kecuali Undang-
undang menentukan lain. Perbuatan melanggar hukum akan membawa konsekwensi untuk
mengganti kerugian bila terbukti ada kesalahan. Pasal 1365 BW memang menentukan kewajiban
pelaku perbuatan melanggar hukum untuk membayar ganti rugi, namun pasal tersebut tidak
mengatur secara terinci mengenai ganti rugi.
Kerugian di sini, berarti adanya pengurangan harta kekayaan atau rasa kepuasan dari
seseorang. Timbulnya pengurangan ini menimbulkan kewajiban bagi pelaku perbuatan untuk
mengganti kerugian. Ganti kerugian tersebut dapat dilakukan dengan jalan memperbaiki
25
kekurangan yang ditimbulkannya. Cara untuk memperbaiki kekurangan maupun berkurangnya rasa
kepuasan dari seseorang dapat dilakukan dengan jalan memberikan suatu kemanfaatan yang sama
nilainya dengan keadan semula.
Kesimpulannya, ganti kerugian dapat diartikan sebagai tindakan untuk memperbaiki
kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan melanggar hukum dalam jumlah yang sesuai kepada
korban (korban kecelakaan lalu lintas). Hal itu dapat dilakukan dengan jalan memberikan sesuatu
yang sama nilainya dengan keadaan semula terjadi. Bagi orang yang dirugikan, yang dimaksud
sesuai bukan berarti sepenuhnya seperti keadaan semula, karena hal itu tidak mungkin dilakukan.
Korban kecelakaan yang putus kakinya, maka pelanggar tidak mungkin dapat memulihkan hal itu
seperti keadaan semula tetapi kerugian cukuplah sama nilainya dengan keadaan semula.
Tujuan dari ganti rugi adalah mengembalikan orang yang menderita rugi kembali seperti
keadaan semula. Kerugian itu memang tidak hanya bersifat materiil saja, namun bisa juga
inmateriil. Masalah yang penting, dalam bentuk apa ganti kerugian diberikan?
Bentuk ganti kerugian dalam hal terjadinya perbuatan melanggar hukum ada dua macam.
Pertama, ganti rugi dalam bentuk uang. Ganti rugi ini berupa pemberian uang sejumlah tertentu
untuk menutup kerugian penderita agar kembali seperti keadaan semula. Ganti rugi dalam bentuk
uang lebih mudah dilakukan, karena seluruh jumlah kerugian telah terinci dalam surat gugatan.
Rincian tersebut misalnya biaya pengobatan, kerugian kendaraan yang rusak, serta biaya yang lain
yang telah dikeluarkan akibat kecelakaan itu, ganti rugi dalam bentuk uang inipun sulit ditentukan,
bila sudah menjurus hal yang bersifat materiil. Suatu contoh, seorang yang menderita cacat tetap
karena hilang kakinya satu akibat kecelakaan itu, maka kerugian itu tidak mudah dinilai dengan
uang.
Pada dasarnya kerugian dapat dihitung secara konkrit artinya harus di perhatikan kerugian
atau kerusakan apa yang diderita korban atau secara abstrak kerugian atau kerusakan itu diganti
berdasarkan kerugian yang diderita. Perhitungan biasanya disesuaikan dengan keadaan umum H.R.
pada asasnya menggunakan sistem perhitungan konkrit, tetapi dalam hal kerusakan benda
digunakan stelsel abstrak. Untuk itu pihak korban harus dapat mem-buktikan, bahwa ia menderita
kerugian. Bila ia dapat membuktikan besarnya kerugian, makin dapat menentukan ganti kerugian
dengan jumlah pantas.
Kedua, ganti kerugian dalam bentuk “natura”. Ganti kerugian dalam bentuk natura, artinya
pihak korban dapat menuntut adanya pemulihan keadaan semula. Putusan H.R. 13 Juni 1913, N.J.
1913, 728 dalam hal terjadi-nya perbuatan melanggar hukum, hakim dapat memerintahkan
onrechtmatige dader untuk memulihkan seperti keadaan semula, tetapi ia tidak harus
memerintahkan itu. Hakim dalam hal terjadinya kecelakaan lalu lintas dapat memerintahkan
pelanggar untuk memulihkan dalam keadaan semula, tetapi bukan suatu keharusan. Berdasarkan
uraian di atas, nampak bahwa ganti kerugian tidak selalu harus berbentuk uang. Pengadilan atau
pemulihan keadaan seperti semula juga merupakan bentuk ganti kerugian.
Berdasarkan hal yang telah saya uraikan di atas, saya dapat mengambil kesimpulan, bahwa
bentuk ganti rugi yang paling tepat dan efektif dalam bentuk uang. Bila dikaji lebih dalam, tujuan
dari ganti rugi yang terkandung dalam pasal 1365 BW, yaitu seberapa mungkin memulihkan
penderita seperti keadaan semula atau setidak-tidaknya hal yang mampu meringankan beban
kerugian yang diderita korban. Pemulihan keadaan seperti semula (ganti rugi dalam bentuk natura)
akan mengalami kesulitan bila diterapkan dalam kasus kecelakaan lalu lintas. Ganti rugi dalam
bentuk natura sukar dilakukan, bila korban kecelakaan menderita cacat tetap atau meninggal, hal itu
tidak mungkin akan dapat dipulihkan seperti keadaan semula. Orang yang meninggal tidak
mungkin dapat dihidupkan atau sulit menentukan jumlah ganti rugi dalam hal korban meninggal
dunia. Sebuah kendaraan yang rusak berat tidak mungkin dapat dikembalikan seperti asalnya, pasti
harga jual dan bentuk ada perubahan atau pengurangan.
Setelah saya menguraikan ganti rugi, maka hal yang cukup penting juga, yakni sampai
seberapa jauh ahli waris bertanggungjawab terhadap pelaku perbuatan melanggar hukum. Setiap
26
perbuatan hukum atau berakibat hukum dan juga menimbulkan konsekwensi pertanggungjawaban
kecuali Undang-undang menentukan lain.
Dalam sistem hukum perdata, meninggalnya pelaku tidak mengakibatkan gugurnya tuntutan
atau gugatan. Pelaku perbuatan melanggar hukum tetap wajib mengganti kerugian, meskipun ia
meninggal dunia namun kewajiban tersebut beralih kepada ahli waris. Meninggalnya pelaku bukan
berarti gugur tuntutan dan pertanggungjawaban terhadap perbuatan melanggar hukum, melainkan
beralih kepada ahli waris. Lain halnya dengan sistem hukum pidana, meninggalnya tersangka
merupakan sebab gugurnya tuntutan dan pertanggungjawaban tindak pidana.
3. Upaya Hukum Yang Dapat Dilakukan Penggugat
Semua perbuatan hukum akan selalu mempunyai akibat hukum, kecuali Undang-undang
menentukan lain. Semua subyek hukum yang telah melakukan perbuatan melanggar hukum baik itu
perorangan ataupun badan hukum harus bertanggungjawab atas kerugian bila terjadi kesalahan.
Dalam kaitannya dengan kecelakaan lalu lintas yang berakibat adanya gugatan ganti kerugian oleh
korban terhadap pelaku sebagaimana telah diuraikan di atas, ganti kerugian dapat berupa uang atau
dalam bentuk natural.
Peristiwa kecelakaan lalu lintas selalu melibatkan beberapa pihak, paling tidak yaitu pihak
korban, pelaku perbuatan melanggar hukum dan mungkin majikan sebagai atasan sopir. Pada
umumnya, kehidupan seorang pengemudi terletak pada golongan ekonomi yang kurang mampu,
lain halnya dengan pengusaha angkutan yang rata-rata berekonomi cukup. Menurut hukum, setiap
orang akan mempertanggungjawabkan perbuatannya lepas dari apakah ia berekonomi cukup atau
tidak, hal itu dipermasalahkan. Menurut Undang-undang, bila terjadi perbuatan melanggar hukum
(kecelakaan lalu lintas) maka terjadilah perikatan karena Undang-undang. Hal tersebut diuraikan
oleh pasal 1233 jo pasal 1352 BW, bahwa perikatan timbul karena persetujuan atau karena
Undang-undang. Perikatan yang dilahirkan karena Undang-undang sebagai akibat perbuatan orang,
terbit dari perbuatan tidak melanggar hukum dan perbuatan melanggar hukum. Dalam peristiwa
kecelakaan lalu lintas, berarti menurut Undang-undang telah terjadi perikatan antara korban dan
pelaku perbuatan melanggar hukum untuk mengganti kerugian, sebagaimana ditentukan oleh pasal
1356 BW.
Persoalannya yang penting disini, bagaimana jika pelaku orang yang tidak mampu? Upaya
hukum apa yang dapat dilakukan penggugat? Dalam uraian diatas telah dijelaskan, keadaan
ekonomi seorang pengemudi umumnya kurang mampu, besar kemungkinan akan mengalami
kesulitan untuk mengganti kerugian. Seorang pengemudi yang menabrak sesama pemakai jalan
hingga mengakibatkan luka atau cacat ia terkena pasal 1365 jo 1371 BW dan bila mengakibatkan
matinya korban ia terkena pasal 1365 jo 1370 BW. Pasal 1370 dan 1371 BW menentukan
pemberian ganti kerugian harus dinilai menurut kedudukan dan kekayaan kedua belah pihak dan
menurut keadaan. Seorang pengemudi bila dilihat menurut kedudukannya dalam lingkungan
masyarakat tergolong buruh (pekerja) yang berekonomi lemah. Ganti rugi juga harus dinilai
menurut keadaan, berarti pemberian ganti rugi harus pula memperhatikan kemungkinan
diperolehnya warisan oleh janda. Menurut kedua pasal tersebut jelas, bahwa pemberian ganti rugi
tidak hanya dipandang dari sudut yuridis saja, melainkan harus diperhitungkan keadaan ekonomi
para pihak. Untuk menentukan standard sebagai orang yang tidak mampu (miskin) merupakan hal
yang tidak mudah, karena tidak ada ukuran yang konkrit. Pasal 1370 dan 1371 BW tidak memberi
batasan, siapa orang yang tergolong orang yang tidak mampu sehingga ia bebas dari kewajiban
mengganti kerugian. Dalam hal ini, peran hakim sangat diperlukan untuk memberikan kebijak-
sanaan dalam mengambil putusan seadil-adilnya. Hakim dapat menilai menurut pengetahuannya
sendiri, apakah seseorang dianggap mampu atau tidak mengenai kekayaan yang dimiliki. Setelah
hakim mengetahui sendiri, bahwa pihak yang wajib memberi ganti rugi orang yang betul-betul
miskin, maka dengan rasa keadilan dan kewenangan yang dimiliki dapat meringankan atau
membedakan kewajiban memberi ganti kerugian. Apabila kedudukan pihak yang wajib mengganti
rugi betul-betul miskin semuanya. Orang yang betul-betul miskin, meskipun dipaksa untuk
27
memenuhi kewajiban hasilnya akan sia-sia, sebab ia dapat memiliki sesuatu apapun untuk ganti
rugi. Dengan kata lain, penggugat hanya menang secara yuridis.
Berdasarkan uraian di atas telah dijelaskan bahwa dalam hal terjadinya perbuatan
melanggar hukum, maka terjadi perikatan antara pembuat dan korban karena Undang-undang untuk
mengganti kerugian. Untuk melindungi pihak korban dari ingkarnya pihak yang bertanggungjawab
(bertanggung gugat) masih ada upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak korban. Pihak
korban dapat mengajukan kepada Ketua Pengadilan untuk mengadakan sita jaminan (sita
conservatoir) berdasarkan pasal 227 HIR. Sita conservatoir dapat diajukan, bila ada sangkaan yang
berasalan bahwa tergugat sebelum putusan dijatuhkan atau dilaksanakan mencari akal akan
menggelapkan atau melarikan barang-barangnya. Sita jamin dapat diletakkan terhadap barang yang
bergerak dan yang tidak bergerak milik tergugat. Berdasarkan pasal 196 HIR, apabila pihak yang
dikalahkan enggan atau lalai memenuhi isi putusan itu, maka pihak yang menang dapat
mengajukan permintaan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan dengan lisan atau
tertulis supaya menjalankan putusan itu. Apabila waktu yang sudah ditentukan sudah lewat dan
pihak yang dikalahkan belum juga memenuhi putusan itu, walaupun dipanggil dengan patut, maka
ketua karena jabatannya dapat membuat surat perintah supaya disita barang tidak tetap (pasal 197
HIR). Seandainya barang yang tidak tetap masih juga belum mencukupi, maka dapat juga barang
yang tetap untuk mengganti jumlah yang disebutkan. Selain upaya hukum diatas, penggugat (yang
berhak) dapat meminta eksekusi rieel. Hal tersebut dilakukan bila tergugat (yang dikalahkan
menolak memenuhi kewajibannya, umpamanya menolak membayar sejumlah uang untuk
membayar ganti rugi). Penggugat dapat meminta putusan hakim agar menghukum tergugat
memenuhi kewajiban. Eksekusi rieel, berarti mendapatkan prestasi bertentangan dengan kehendak
tergugat (debitur) berdasarkan title, eksekutorial yang dinyatakan wajib.
Kesimpulannya, tergugat tidak dapat melepaskan tanggung gugat atas kewajiban untuk
membayar ganti rugi terhadap korban kecelakaan lalu lintas. Untuk pelaku (pembuat perbuatan
melanggar hukum) yang tidak mampu (miskin), maka mengenai ganti kerugian semuanya
tergantung dan kebijaksanaan hakim dan rasa keadilan menurut pertimbangan hakim.

Pembuktian Dalam Persidangan


Tujuan dari diajukannya persengketaan ke Pengadilan, yaitu untuk mendapatkan
penyelesaian perkara yang seadil-adilnya oleh hakim melalui persidangan di Pengadilan. Untuk
mendapatkan kebenaran tentang kedudukan perkara secara pasti hingga nampak pihak mana
melakukan kesalahan, maka harus memeriksa alat bukti yang diajukan. Pembuktian adalah hal yang
sangat penting dalam penyelesaian perkara, baik dalam perkara pidana maupun perdata. Tujuan
pembuktian adalah untuk mencari dan menemukan kebenaran. Pembuktian merupakan suatu usaha
atau tindakan untuk memberikan kepastian kepada hakim tentang suatu peristiwa atau hubungan
hukum yang dikemukakan oleh para pihak dalam suatu persengketaan. Dalam suatu proses perdata,
salah satu tugas hakim yang menyelidiki apakah suatu hubungan hukum atau peristiwa yang
menjadi dasar gugatan benar-benar terjadi atau tidak.
Untuk dapat mengetahui dan kepastian, bahwa peristiwa tersebut telah terjadi hakim harus
melakukan pembuktian. Dalam kaitannya dengan peristiwa kecelakaan lalu lintas, hakim harus
meneliti secara cermat mengenai rangkaian urutan kejadian hingga terjadi kecelakaan tersebut.
Kadangkala, peristiwa kecelakaan lalu lintas sulit dibuktikan mengingat lemahnya alat bukti.
Tugas hakim di sini, yaitu menetapkan hukum, menerapkan hukum atau Undang-undang
tertentu untuk suatu keadaan tertentu. Dalam persidangan di Pengadilan, para pihak mengajukan
posita yang paling bertentangan, hingga hakim harus menetapkan dalil mana yang dianggap benar
secara adil. Hakim yang melaksanakan pembuktian harus mengindahkan aturan tentang
pembuktian. Ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) dan kesewenang-wenangan (willekuer)
akan dampak, apabila hakim dalam melaksanakan tugasnya, dipebolehkan mendasarkan
28
putusannya hanya berdasarkan atas keyakinan. Keyakinan hakim harus didasarkan atas suatu alat
bukti yang sah menurut Undang-undang.
Berdasarkan uraian diatas, bagaimana menentukan beban pembuktian dalam persidangan?
Untuk menyelesaikan perkara dipersidangan, seorang hakim harus bertindak bijaksana dan objektif,
tidak boleh memihak atau berat sebelah. Setiap urutan kejadian harus mendapatkan perhatian secara
seksama. Dalam perkara perdata tidak semua dalil yang menjadi dasar tuntutan harus dibuktikan
kebenarannya, karena dalil yang tidak disangkal bahkan diakui tidak perlu dibuktikan
kebenarannya. Persoalan yang penting di sini, yaitu pembagian beban pembuktian. Beban
pembuktian, artinya kewajiban untuk membuktian oleh penggugat atau tergugat yang harus
dilakukan untuk menguatkan dalilnya, untuk memenangkan gugatan atau perkara. Penentuan beban
pembuktian bukanlah suatu yang mudah, untuk itu para hakim perlu ketelitian dan kebijaksanaan
untuk menentukan pihak mana yang perlu dibebani pembuktian lebih dahulu. Pembagian beban
pembuktian harus adil dan tidak berat sebelah, karena pembebanan pembuktian yang berat sebelah
berarti menjerumuskan pihak yang menerima beban terlampau berat dalam jurang kekalahan.
Asas pembagian beban pembuktian yang terdapat dalam pasal 163 Hir dan pasal 1865 BW,
maksudnya adalah barang siapa yang mempunyai hak atau mendasarkan diri pada suatu peristiwa
itu. Sebenarnya ketentuan atau maksud dari pasal tersebut tidak jelas, karena hal itu sulit diterapkan
secara tegas, apakah beban pembuktian itu ada pada penggugat atau tergugat.
Menurut hemat saya, justru alat bukti pengetahuan hakim inilah yang sesuai bila diterapkan
dalam kasus kecelakaan lalu lintas, disamping alat bukti lain (alat bukti surat, saksi, persangkaan,
pengakuan dan sumpah). Berdasarkan pengetahuannya, hakim dapat melihat dan menilai sendiri
pada pemeriksaan setempat, bahwa benar telah terjadi kecelakaan dan korban mengalami cacat
badan atau mobilnya rusak serta seberapa jauh rusaknya mobil tersebut. Alat bukti lain dapat lemah
karena suatu sebab. Alat bukti saksi, hal ini bukanlah tidak mungkin adanya saksi palsu, karena
orang tersebut menjadi saksi lantaran dibayar uang. Alat bukti sumpah, saat ini juga sudah banyak
dilanggar, mengingat semakin beraninya seseorang menyatakan sumpah palsu demi memenangkan
suatu perkara. Hal tersebut bukan berarti agar hakim tidak lagi mempercayai keterangan saksi atau
alat bukti sumpah, tetapi hakim dapat menggunakan pengetahuannya sendiri sebagai bahan
pertimbangan. Jadi hakim dapat bertindak lebih obyektif dalam menilai kedudukan perkara sesuai
dengan apa yang ia lihat dan ia ketahui dalam pembuktian di Pengadilan. Dengan sikap yang
obyektif, hakim dapat menentukan kesalahan para pihak, sehingga dapat membebankan ganti rugi
secara adil. Alat bukti pengetahuan hakim dapat dilihat pada putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia tanggal 10 April 1957, reg no. 213/K.Sip/1955.
Dalam sistem pembuktian, ada hal-hal yang tidak perlu dibuktikan, yaitu hal-hal yang telah
diketahui umum atau khalayak, yang dalam hukum acara disebut fakta notoir. Fakta notoir juga
merupakan hal atau keadaan yang sudah diketahui sendiri oleh hukum. Hal yang diketahui oleh
hakim tidak termasuk peristiwa-peristiwa yang secara kebetulan diketahui oleh hakim yang
bersangkutan, ia menyaksikan ketika terjadi atau hakim yang bersangkutan mempunyai keahlian
perihal suatu kejadian.
Dalam kaitannya dengan masalah kecelakaan lalu lintas, hakim yang mengadili akan
menentukan siapa yang wajib dibebani untuk membuktikan, apakah penggugat atau tergugat.
Dengan kata lain, hakim dapat berpendapat berdasarkan kasus yang terajdi, pihak mana yang lebih
mudah untuk membuktikan. Bagaimana juga, pembuktian suatu perkara dipersidangan
membuktikan kebijaksanaan dan rasa keadilan, sehingga nampak siapa yang salah dan siapa yang
benar. Hakim mempunyai untuk menentukan putusan, hakim juga memperhatikan aturan-aturan
mengenai pembuktian karena pembuktian dapat menentukan siapa yang salah dan siapa yang
menang dalam suatu perkara dipersidangan.


29
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dalam kecelakaan lalu lintas, pembagian
risiko perlu sekali diadakan mengingat besar kecilnya kesalahan yang dilakukan oleh para pihak.
Tidaklah adil apabila seseorang harus menanggung risiko ganti rugi yang besar, sedangkan
kesalahan yang dilakukan kecil sekali. Untuk menentukan pembagian risiko, kesalahan mempunyai
peranan yang penting dalam kaitannya dengan perbuatan melanggar hukum. Tanpa kesalahan
seseorang yang melakukan perbuatan melanggar hukum tidak dapat dikenai oleh pasal 1365 BW,
maka bebas dari tanggung gugat. Dengan demikian, beban risiko untuk mengganti kerugian tidak
dibebankan kepada pelaku perbuatan melanggar hukum lebih dari seseorang, maka beban risiko
ganti kerugian didasarkan atas besar kecilnya kesalahan masing-masing.
Saran
Pemerintah melalui aparat penegak hukum lebih gencar dalam memberikan penyuluhan
hukum. Kesadaran masyarakat harus ditingkatkan, sehingga menyadari hak dan kewajiban mereka
terhadap permasalahan ganti rugi. 

DAFTAR BACAAN

Chidir Ali, Yurisprudensi Indonesia Tentang Perbuatan Melanggar Hukum, Cet. I, Binacipta,
Bandung, 1978
Moegani Djojodirjo, M.A. Perbuatan Melanggar Hukum, Cet. II, Pradnya Paramita, Jakarta, 1982
Poerwodarminta, KamusUmum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986.
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan
Praktek, Cet. V, Alumni, Bandung, 1986.
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet. IV, Liberty, Yogyakarta, 1982.
Soetojo Prawirohamidjojo, R. Onrechtmatige Daad, jumali, Surabaya,1979.
Imam Nasima, Ganti Rugi Psikis atas Korban Meninggal Dunia , http://www.hukum online.com.
2005
Asrian, Mau Dibawa Ke mana Transportasi Kita ?, http://www.kompas. com/kompas,
cetak/0605/18/metro/2656187.htm.
Pro Justitia, Laporan Polisi Polres Gresik, No. Pol. : LP/ 62/II/2007, tanggal 08 Februari 2007
Pro Justitia, Laporan Polisi Polres Gresik, No. Pol. : LP/ 239.A/X/2008, tanggal 08 Oktober 2008

30

Anda mungkin juga menyukai