Oleh
H. A. Sudja’i
Fakultas Hukum UNSURI Surabaya
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prosedur pelaksanaan gugatan ganti kerugian dalam
kecelakaan lalu lintas dan untuk mengetahui hukum perikatan dalam kecelakaan lalu lintas.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu menelaah permasalahan yang ada
berdasarkan peraturan perundang-undang yang berlaku dan mengaitkan dengan praktek
penyelesaian masalah tersebut di pengadilan.
Pengumpulan data diperoleh melalui studi keputakaan dan peraturan perundang-undang, putusan
pengadilan, yurisprudensi dan Kepolisian Republik Indonesia.
Analisis data untuk menyelesaiakan menggunakan yuridis praktis dengan motode diskripsi-
comperatif, yaitu menjelaskan terlebih dahulu toori-teori ganti kerugian sehubungan dengan
perbuatan melanggar hukum dan di bandingkan dengan kenyataan yang terjadi, kemudian diambil
kesimpulan.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dalam kecelakaan lalu lintas, pembagian
risiko perlu sekali diadakan mengingat besar kecilnya kesalahan yang dilakukan oleh para pihak.
Tidaklah adil apabila seseorang harus menanggung risiko ganti rugi yang besar, sedangkan
kesalahan yang dilakukan kecil sekali. Untuk menentukan pembagian risiko, kesalahan mempunyai
peranan yang penting dalam kaitannya dengan perbuatan melanggar hukum. Tanpa kesalahan
seseorang yang melakukan perbuatan melanggar hukum tidak dapat dikenai oleh pasal 1365 BW,
maka bebas dari tanggung gugat. Dengan demikian, beban risiko untuk mengganti kerugian tidak
dibebankan kepada pelaku perbuatan melanggar hukum lebih dari seseorang, maka beban risiko
ganti kerugian didasarkan atas besar kecilnya kesalahan masing-masing.
PENDAHALUAN
21
lintas sering menimbulkan perkosaan terhadap nyawa manusia, tubuh manusia dan harta benda
yang jelas merugikan manusia lain.
Melihat sering adanya peristiwa kecelakaan, maka hal itu tidak terlepas dari perbuatan melanggar
hukum yang dilakukan sebelumnya oleh para pihak. Perbuatan melanggar hukum dapat
mengakibatkan keganjilan dalam masyarakat. Keganjilan ini dapat menyangkut beberapa
kepentingan manusia, kekayaan, tubuh, jiwa manusia.
Untuk melindungi kepentingan dan hak-hak pihak korban serta pihak dari peristiwa
kecelakaan lalu lintas, maka diperlukan adanya upaya-upaya hukum yang seadil-adilnya, agar
tercipta keseimbangan dalam masyarakat. Sejalan dengan keluarnya UU No. 33/1964 yo PP No.
17/1965, tentang pembayaran wajib dana santunan kecelakaan lalu lintas serta UU No. 34/1964 yo
PP No. 18/1965, juga mengatur mengenai dana kecelakaan lalu lintas.
Dengan berkembangnya masyarakat, maka meningkat pula kebutuhan masyarakat
mengenai jumlah angkut, baik alat angkutan umum maupun kendaraan pribadi. Jumlah kendaraan
bermotor yang semakin meningkat maka akan menyebabkan makin padat alur lalu lintas di jalan
raya. Perbandingan antara jumlah kendaraan dengan daya tampung jalan-jalan yang ada di
Indonesia tidak sesuai, maka hal ini dapat menimbulkan seringnya terjadi kecelakaan lalu lintas di
samping faktor lain.
Kecelakaan lalu lintas adalah peristiwa yang dapat menimpa setiap orang dan setiap waktu,
untuk itu perlu pula pembangunan hukum untuk melindungi hak-hak pemakai jalan agar merasa
aman. Mengingat perkembangan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat
semakin sadar pula akan hak-hak mereka bila terkena musibah yang disebabkan oleh perbuatan
melanggar hukum yang merugikan bagi dirinya. Ganti kerugian dalam praktek sekarang ini banyak
dilakukan hanya berdasarkan tenggang rasa atau hanya rasa kemanusiaan saja tanpa melalui
prosedur hukum yang ada, hal itu terbukti sedikitnya gugatan yang diajukan ke Pengadilan
dibanding dengan kerugian yang diderta sebenarnya. Pihak korban seharusnya mendapat
perlindungan yang adil mengingat tingginya biaya pengobatan dan perawatan serta mahalnya harga
kendaraan bermotor saat ini. Penderita kecelakaan tidak hanya diberi ganti kerugian atas dasar rasa
keikhlasan tapi perlu adanya suatu kepastian hukum menurut prosedur yang ada.
Sehubungan dengan hal itu, penulis tertarik untuk memilih judul tersebut di atas karena
berdasarkan banyak kejadian-kejadian kecelakaan lalu lintas yang sering menimbulkan kesalahan
bagi masyarakat pemakai jalan, terutama mengenai perlindungan hak-hak pemakai jalan yang
menjadi korban kecelakaan akibat keceroboan dari pihak lain, yang sampai saat ini nampaknya
masih perlu untuk mendapatkan perlindungan hukum, sejauh mana mereka dapat menuntut haknya
selaku korban maupun pelaku.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prosedur pelaksanaan gugatan ganti kerugian
dalam kecelakaan lalu lintas dan untuk mengetahui hukum perikatan dalam kecelakaan lalu lintas.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu menelaah permasalahan
yang ada berdasarkan peraturan perundang-undang yang berlaku dan mengaitkan dengan praktek
penyelesaian masalah tersebut di pengadilan.
Pengumpulan data diperoleh melalui studi keputakaan dan peraturan perundang-undang,
putusan pengadilan, yurisprudensi dan Kepolisian Republik Indonesia.
Analisis data untuk menyelesaiakan menggunakan yuridis praktis dengan motode
diskripsi-comperatif, yaitu menjelaskan terlebih dahulu toori-teori ganti kerugian sehubungan
dengan perbuatan melanggar hukum dan di bandingkan dengan kenyataan yang terjadi, kemudian
diambil kesimpulan.
22
HASIL DAN PEMBAHASAN
Upaya Hukum Penggugat untuk Memperoleh Ganti Rugi dalam Kecelakaan Lalu Lintas
1. Tinjauan Tentang Tanggung Gugat dalam Kecelakaan Lalu-lintas
Tiap tahun sedikitnya 30.000 orang meninggal akibat kecelakaan lalu lintas. Dalam tiga
tahun, jumlah korban jiwa akibat kecelakaan lalu lintas setara dengan jumlah korban bencana
tsunami di Aceh. Lalu lintas memang kerap dipandang sebelah mata.
Dari data yang diperoleh Departemen Perhubungan terungkap, sebagian besar kecelakaan
lalu lintas disebabkan human error (kesalahan atau kecerobohan pengemudi). Karena itulah,
Departemen Perhubungan (Dephub) menganggap perlu dilakukan perubahan atas Undang-Undang
(UU) Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang dinilai tidak aspiratif
lagi terhadap aspek keselamatan.
Karena persoalan utama pada kecerobohan pengemudi, Dephub memandang tidak ada lain
bahwa sistem penerbitan surat izin mengemudi (SIM) harus ditata ulang. Begitu juga terhadap
pengemudi angkutan barang dan umum yang juga harus bersertifikat, agar mereka tidak lagi ugal-
ugalan.
Persoalan pun kemudian tidak berhenti sampai di situ. Banyaknya kendaraan bermotor yang
tidak memiliki kelengkapan surat tanda nomor kendaraan (STNK) atau buku kepemilikan
kendaraan bermotor (BPKB) membuat masalah registrasi dan identifikasi (regident) dipandang
perlu untuk ditata ulang.
Di sisi lain, kecelakaan lalu lintas juga kerap terjadi di luar persoalan human error tadi.
Misalnya akibat jalanan rusak, rambu-rambu jalan yang sudah tidak tepat fungsi, penyempitan bahu
jalan yang sulit ditanggulangi, pelanggaran lalu lintas oleh becak dan delman, hingga akibat
pungutan liar oleh aparat Dephub terhadap kendaraan bermuatan lebih (overload) yang
mengakibatkan jalan raya cepat rusak dan beban APBN bertambah.
Tanggung-gugat
Menurut pasal 1365 BW, barang siapa melakukan perbuatan melanggar hukum dan terbukti
bersalah wajib mengganti kerugian. Seseorang pengemudi yang melakukan perbuatan melanggar
hukum, hingga terjadi tabrakan yang mengakibatkan mati atau cacatnya orang lain, ia terkena pasal
tersebut. Kejadian kecelakaan lalu lintas menimbulkan perikatan karena Undang-undang, artinya
pihak yang melanggar hukum terikat untuk kewajiban membayar ganti rugi kepada pihak yang
dirugikan (korban). Seorang pengemudi yang menjalankan kendaraan dapat menjalankan milik
perorangan dan bisa milik badan hukum. Milik perorangan, berarti pengemudi men-jalankan milik
sendiri atau milik orang lain karena pinjam atau sewa. Milik badan hukum, berarti pengemudi
menjalankan kendaraan suatu perusahaan karena ia bekerja sebagai pengemudi dan ada ikatan
hubungan kerja.
Berdasarkan uraian diatas, tanggung gugat pengemudi yang telah menimbulkan kecelakaan
lalu lintas karena perbuatan melanggar hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tanggung gugat
pengemudi kendaraan milik perorangan, dan tanggung gugat pengemudi kendaraan milik
perusahaan.
a. Tanggung gugat Pengemudi Kendaraan Milik Perorangan
Seorang pengemudi yang karena salahnya telah menyebabkan kecelakaan di jalan raya,
sehingga menyebabkan meninggalnya atau cacat-nya korban. Penderitaan tersebut dapat menuntut
ganti kerugian kepada pembuat perbuatan melanggar hukum. Seorang pengemudi dalam men-
jalankan kendaraannya menabrak pemakai jalan lain karena kelalaiannya, maka ia tidak hanya
bertanggungjawab secara pidana, namun juga secara perdata tidak dapat melepaskan tanggung
gugat. Hal itu telah dinyatakan dalam Undang-undang, yaitu pasal 1918 jo 1919 BW. Inti dari pasal
itu menyatakan : Suatu putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan tetap mengenai suatu
23
kejahatan atau pelanggaran tidak dapat membebaskan diri dari gugatan secara perdata untuk
membayar ganti rugi. Seorang pengemudi yang melakukan perbuatan melanggar hukum hingga
menimbulkan tabrakan dan mengakibatkan mati atau cacatnya korban. Pihak yang dirugikan dapat
menuntut berdasarkan pasal 1365 jo 1370 BW, bila korban meninggal dan menggunakan pasal
1365 jo 1371 BW bila korban menderita cacat. Kedua pasal itu pada dasarnya tidak mem-bedakan
penyebab kematian, apakah disengaja atau karena kealpaan. Penyebab kematian atau cacat oleh
perbuatan sengaja atau kealpaan akibat hukumnya sama, yaitu memberikan hak kepada korban atau
ahli warisnya minta ganti kerugian. Seorang pengemudi yang melakukan perbuatan melanggar
hukum hingga terjadi tabrakan yang menimbulkan kematian orang lain hingga dituntut berdasarkan
pasal 1370 BW mempunyai kewajiban membayar ganti rugi. Ganti rugi tersebut harus dinilai
menurut kedudukan dan kekayaan kedua belah pihak serta menuntut keadaan. Adapun yang
dimaksud dengan keadaan, yaitu didalam memberikan ganti rugi harus diperhatikan juga
kemungkinan warisan yang akan diterima oleh janda atau ahli warisnya, sekalipun warisan tersebut
baru akan diterima beberapa waktu setelah meninggalnya korban. Berdasarkan kedudukan dan
kekayaan, artinya harus pula dipertimbangkan baik kedudukan dan kekayaan pihak yang
mendapatkan ganti kerugian, maupun kedudukan dan kekayaan orang yang harus dipertanggung
jawabkan.
Tanggung gugat pengemudi yang mengakibatkan cacatnya seseorang (korban kecelakaan
lalu lintas) menurut pasal 1371 BW di wajibkan untuk membayar ganti rugi kepada korban berupa
biaya pengobatan yang telah dikeluarkan, serta mengganti kerugian yang ditimbulkan oleh
cacatnya.
Hal yang perlu diingat, ganti kerugian tidak akan lebih tinggi dari jumlah yang diharapkan
diterima oleh ahli warisnya karena kematian korban. Ganti rugi juga tidak dapat lebih tinggi dari
jumlah kerugian yang diderita. Sekalipun korban lebih miskin kedudukannya dibanding pelaku
perbuatan Undang-undang memang menentukan biaya perawatan harus diperhitungkan, tetapi tidak
menentukan penggantian yang harus diberikan karena rasa sakit.
Pasal 1370 dan 1371 BW juga menentukan secara limitativ tentang siapa yang boleh
mengajukan tuntutan ganti rugi. Dalam hal korban meninggal sesuai dengan pasal 1370 BW yang
boleh menuntut yaitu : suami atau istri yanag lazimnya mendapat nafkah dari korban. Dalam hal
korban-korban kecelakaan menderita atau cacat anggota badan, sesuai dengan pasal 1371 BW yang
boleh mengajukan tuntutan hanya korban sendiri, mengenai ganti kerugian yang disebabkan oleh
luka atau cacatnya tersebut. Apabila korban tergolong orang yang tidak cakap berbuat hukum
(cacat jiwa) atau orang yang masih minderjarig, maka tidak berarti pelaku (tergugat) lepas dari
tanggung gugat. Dalam hal demikian, hak menuntut ganti rugi dapat dilakukan oleh orang tua atau
wali, bila korban sakit jiwa diwakili oleh pengampunnya (curatele).
29
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dalam kecelakaan lalu lintas, pembagian
risiko perlu sekali diadakan mengingat besar kecilnya kesalahan yang dilakukan oleh para pihak.
Tidaklah adil apabila seseorang harus menanggung risiko ganti rugi yang besar, sedangkan
kesalahan yang dilakukan kecil sekali. Untuk menentukan pembagian risiko, kesalahan mempunyai
peranan yang penting dalam kaitannya dengan perbuatan melanggar hukum. Tanpa kesalahan
seseorang yang melakukan perbuatan melanggar hukum tidak dapat dikenai oleh pasal 1365 BW,
maka bebas dari tanggung gugat. Dengan demikian, beban risiko untuk mengganti kerugian tidak
dibebankan kepada pelaku perbuatan melanggar hukum lebih dari seseorang, maka beban risiko
ganti kerugian didasarkan atas besar kecilnya kesalahan masing-masing.
Saran
Pemerintah melalui aparat penegak hukum lebih gencar dalam memberikan penyuluhan
hukum. Kesadaran masyarakat harus ditingkatkan, sehingga menyadari hak dan kewajiban mereka
terhadap permasalahan ganti rugi.
DAFTAR BACAAN
Chidir Ali, Yurisprudensi Indonesia Tentang Perbuatan Melanggar Hukum, Cet. I, Binacipta,
Bandung, 1978
Moegani Djojodirjo, M.A. Perbuatan Melanggar Hukum, Cet. II, Pradnya Paramita, Jakarta, 1982
Poerwodarminta, KamusUmum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986.
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan
Praktek, Cet. V, Alumni, Bandung, 1986.
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet. IV, Liberty, Yogyakarta, 1982.
Soetojo Prawirohamidjojo, R. Onrechtmatige Daad, jumali, Surabaya,1979.
Imam Nasima, Ganti Rugi Psikis atas Korban Meninggal Dunia , http://www.hukum online.com.
2005
Asrian, Mau Dibawa Ke mana Transportasi Kita ?, http://www.kompas. com/kompas,
cetak/0605/18/metro/2656187.htm.
Pro Justitia, Laporan Polisi Polres Gresik, No. Pol. : LP/ 62/II/2007, tanggal 08 Februari 2007
Pro Justitia, Laporan Polisi Polres Gresik, No. Pol. : LP/ 239.A/X/2008, tanggal 08 Oktober 2008
30