Anda di halaman 1dari 15

Laut Teritorial (Territorial Sea) dan Perairan Pedalaman (Internal

Water)

By Devica Rully Masrur, S.H., M.H., LL.M.

I. Kedaulatan Negara Pantai


Pasal 2 Konvensi Hukum Laut 1982 menentukan bahwa kedaulatan
negara pantai meliputi laut teritorialnya, termasuk ruang udara di
atasnya dan dasar laut di bawahnya. Dalam hukum laut yang baru ini
kedaulatan negara tetap dibatasi dengan hak lintas damai bagi kapal
asing. Selain ketentuan mengenai garis pangkal untuk mengukur lebar
laut teritorial (garis air rendah, garis pangkal lurus, dan garis penutup),
Konvensi 1982 telah dicapai kesepakatan mengenai batas terluar laut
teritorial yaitu 12 mil laut diukur dari garis pangkal sesuai dengan pasal
4 UNCLOS. Artinya, ini merupakan pemecahan terhadap suatu masalah
yang belum terselesaikan pada Konferensi Hukum Laut yang pertama
dan kedua, yang diadakan pada tahun 1958 dan 1960.
Pasca Konvensi Hukum Laut 1982, ketentuan zona maritim terdiri
dari internal water (perairan pedalaman), territorial sea (laut territorial),
contiguous zone (zona tambahan), exclusive economic zone (zona ekonomi
eksklusif), continental shelf (landas kontinen), and archipelagic waters
(perairan kepulauan) yang hanya dimiliki oleh negara kepulauan.
Namun bila berbicara mengenai zona maritim yang merupakan
ranah “kedaulatan” negara kepualauan maka hanya terdiri atas 3 zona
maritim yaitu:

1. Internal water (perairan pedalaman), yaitu perairan pada sisi darat


garis pangkal laut teritorial merupakan bagian perairan pedalaman
Negara tersebut.

2. Territorial Sea (laut territorial), yaitu lebar laut teritorialnya sampai


suatu batas yang tidak melebihi 12 mil laut, diukur dari garis
pangkal yang ditentukan sesuai dengan Konvensi ini.

1|P age
3. Archipelagic waters (perairan kepulauan), yaitu perairan yang
ditutup oleh garis pangkal kepulauan, yang ditarik sesuai dengan
ketentuan pasal 47, disebut sebagai perairan kepulauan, tanpa
memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai.

Meskipun ketiga zona maritime diatas masuk kedalam ranah


kedaulatan negara kepulauan, namun konsep kedaulatan pada tiga zona
tersebut berbeda. Untuk zona internal water kedaulatan bersifat absolut
sedangkan zona territorial sea dan archipelagic water bersifat relative.
Dikatakan absolut bahwa tidak terdapat hak negara lain di zona inland
water dan hukum yang berlaku tunduk dibawah yurisdiksi hukum
nasional berbeda dengan zona territorial sea dan archipelagic waters
terdapat hak negara lain, sehingga pelaksanaan hak negara lain di kedua
zona maritim tersebut tunduk kepada hukum internasional dan bila ada
penetapan hukum nasional maka pemberlakuannya mesti sesuai
dengan hukum internasional. Seperti hak peletakan dan perbaikan kabel
bawah laut, hak perikanan tradisional, hak melintas dan hak lainnya
yang diatur secara sah oleh LOSC.
Ketentuan mengenai Laut Teritorial menjadi begitu penting karena
pembahasan ini cukup panjang sejak Konvensi Jenewa 1958 dan 1960
yang gagal menemukan kesepakatan.

II. Lebar Laut Teritorial


Konferensi Laut PBB 1982 berhasil mencapai keseragaman mengenai
lebar laut teritorial, yaitu maksimum 12 mil laut. Pasal 3 UNCLOS 1982
menyatakan bahwa “setiap negara berhak menetapkan lebar laut
wilayahnya hingga suatu batas yang tidak melebihi 12 mil laut, diukur
dari garis pangkal yang ditentukan sesuai dengan konvensi. Dengan
diterimanya konvensi tersebut, terwujudlah adanya kepastian hukum
tentang lebar laut teritorial.
Menurut sistem hukum laut tradisional, permukaan laut secara
horizontal dibagi atas beberapa zona dan yang paling dekat dari pantai

2|P age
dinamakan laut wilayah yang sepenuhnya tunduk pada kedaulatan
negara pantai. Jadi laut wilayah ialah bagian yang paling dekat dari
negara pantai yang pada umumnya dianggap sebagai lanjutandari
daratannya dan di atas mana negara pantai tersebut mempunyai
kedaulatan. (boer mauna: 325)

Penarikan Garis Pangkal


The delimitation of maritime boundaries/penetapan batas maritim
merupakan fenomena baru yang merupakan elemen penting praktek
kenegaraan menurut hukum laut internasional modern yaitu
UNCLOS1982. Selain dapat menyebabkan tumpang tindih klaim batas
maritim, hal ini juga termasuk kedalam kategori proses politik yang
sensistif. Dimana efek dari penetapan batas maritime ini tidak hanya
digunakan untuk menentukan zona maritime (yang berada dibawah
yurisdiksi suatu negara) namun juga menentukan hak dan kepentingan
negara pantai terhadap perikanan dan sumber daya alam, mineral dan
hydrocarbon, navigasi dan lainnya.
Pengertian garis pangkal menurut UNCLOS 1982, merupakan
suatu garis awal yang menghubungkan titik-titik terluar yang diukur
pada kedudukan garis air rendah (low water line), dimana batas-batas
ke arah laut, seperti laut teritorial dan wilayah yurisdiksi laut lainnya
(zona tambahan, landas kontinen, dan zona ekonomi eksklusif) diukur.
Dengan demikian, garis pangkal merupakan acuan dalam penarikan
batas terluar dari wilayah-wilayah perairan tersebut.
Penentuan delimitasi sangat tergantung kepada baseline / garis
pangkal sangat penting bagi setiap negara pantai apalagi negara
kepulauan seperti Indonesia. Pengaturan secara umum mengenai garis
pangkal dapat ditemukan dalam:

1. Pasal 3 - 11 dan pasal 13 Convention on the Territorial Sea and


Contiguous Zone 1958 (TSC);

2. Pasal 4-14, pasal 16 dan pasal 47 UNCLOS 1982

3|P age
Aturan diatas merupakan representasi dari hukum kebiasaan
internasional. Sedangkan titik awal untuk menggambarkan garis
pangkal garis pangkal adalah dengan menentukan garis air rendah (low-
water line) disepanjang pantai.
Secara Garis Besar Maka Cara Menentukan Titik Pangkal dapat
dilakukan dengan: Pertama, ditentukan bagian dari suatu daratan yang
paling menjorok ke laut. Kedua, ditentukan di mana akan ditentukan
titik-titik pangkalnya dan ditentukan pada waktu yang berbeda-beda
(pagi di titik tertentu, siang di titik tertentu, dan malam di titik tertentu),
kemudian diambil rata-ratanya. Ketiga, antara satu titik dan titik
berikutnya dihubungkan menjadi garis-garis pangkal.
Pasal 3 Konvensi Jenewa dan Pasal 5 UNCLOS 1982 memuat
ketentuan mengenai garis pangkal biasa untuk mengukur lebar laut
teritorial adalah garis air rendah sepanjang pantai sebagaimana terlihat
pada peta skala besar yang diakui resmi oleh negara pantai tersebut. Hal
ini adalah cara klasik yang dipergunakan semenjak dahulu, tetapi cara
penarikan garis pangkal yang demikian ternyata sukar dalam
pelaksanaanya terutama bagi negara-negara yang mempunyai pantai
yang berliku-liku serta yang mempunyai pulau yang banyak di dekat
pantai-pantai.
Lalu konvensi Jenewa memberikan solusi pada keadaan tersebut.
Ayat (1) nya menyatakan bahwa di tempat-tempat di mana garis pantai
menjorok jauh ke dalam dan meninkung ke dalam atau jika terdapat
suatu deretan pula sepanjang pantai di dekatnya, cara penarikan garis-
garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik yang tepat dapat
digunakan dengan menarik garis pangkal dari mana lebar laut wilayah
diukur. Ketentuan ini ditegaskan oleh Pasal 7 ayat (1) Konvensi 1982.
Penarikan garis lurus ini tidak dapat dilakukan begitu saja, tetapi ada
ketentuan-ketentuannya pula, yaitu pada ayat (3-7), sebagai berikut:
 Penarikan garis pangkal lurus tersebut tidak boleh menyimpang
terlalu jauh dari arah umum dari pada pantai dan bagian-bagian
laut yang terletak di dalam garis pangkal demikian harus cukup

4|P age
dekat ikatannya dengan daratan untuk dapat tunduk pada rezim
perairan pedalaman.
 Garis pangkal lurus tidak boleh ditarik ke dan dari elevasi surut
kecuali jika di atasnya didirikan mercu suar atau instalasi serupa
yang secara permanen ada di atas permukaan laut atau kecuali
dalam hal penarikan garis pangkal lurus ke dan dari elevasi
demikian telah memperoleh pengakuan umum internasional.
 Dalam hal cara penarikan garis pangkal lurus dapat diterapkan
berdasarkan ayat 1, maka di dalam menetapkan garis pangkal
tertentu, dapat ikut diperhitungkan kepentingan ekonomi yang
khusus bagi daerah yang bersangkutan, yang kenyataan dan
pentingnya secara jelas dibuktikan oleh praktek yang telah
berlangsung lama.
 Sistem penarikan garis pangkal lurus tidak boleh diterapkan oleh
suatu Negara dengan cara yang demikian rupa sehingga memotong
laut teritorial Negara lain dari laut lepas atau zona ekonomi
eksklusif.

Macam-macam Garis Pangkal di dalam UNCLOS 1982:


1. Garis pangkal biasa (normal baseline)
Garis pangkal biasa yaitu garis air terendah sepanjang pantai pada
waktu air sedang surut, yang mengikuti liku/morfologi pantai pada
mulut sungai teluk yang lebar mulutnya tidak lebih dari 24 mil dan
pelabuhan garis air terendah tersebut dapatditarik sebagai suatu
garis lurus.

Pengukuran dengan menggunakan Garis Pangkal Biasa (Normal


Baseline)

5|P age
Pasal 14 mengenai Kombinasi caracara penetapan garis pangkal
bahwa “Negara pantai dapat menetapkan garis pangkal secara
bergantian dengan menggunakan cara penarikan manapun yang
diatur dalam pasal-pasal di atas untuk menyesuaikan dengan
keadaaan yang berlainan”. Kondisi geografis khusus yang diatur
dalam Konvensi Jenewa dan UNCLOS adalah:
 garis pangkal lurus untuk pantai yang menekuk tajam atau
memiliki gugusan pulau;
 teluk;
 mulut sungai;
 pelabuhan;
 saat elevasi surut;
 pulau;
 karang.

2. Garis pangkal lurus (straight baseline)


Garis pangkal lurus yaitu garis air terendah yang menghubungkan
titik” pangkal berupa titik terluar dari pantai gugusan pulau
didepannya.

6|P age
Pengukuran dengan menggunakan Garis Pangkal Lurus (Straight
Baseline)

Pasal 7 mengadopsi dan menambahkan dua persyaratan


pengukuran metode Garis Pangkal Lurus yang dapat digunakan
oleh suatu negara. Penarikan batas laut teritorial dengan cara
penarikan garis pangkal lurus, merupakan garis pangkal yang
ditarik dengan menghubungkan titik titik terluar dengan
menggunakan garis lurus.
Penarikan garis pangkal lurus tersebut tidak boleh menyimpang
terlalu jauh dari arah umum pantai dan bagian bagian yang terletak
di dalam garis pangkal itu harus cukup dekat ikatannnya dengan
daratan untuk dapat tunduk pada rezim perairan pedalaman.

3. Garis pangkal penutup (closing line)


Garis pangkal penutup. Dalam konteks garis pangkal kepulauan
dilakukan dengan menggunakan garis penutup, yang dibedakan
kedalam garis penutup teluk; garis penutup muara sungai, terusan
dan kuala; dan garis penutup pada pelabuhan.
a Garis Penutup Teluk yang dimaksud adalah garis lurus yang
ditarik antara titik-titik terluar pada garis air terendah yang
paling menonjol dan berseberangan pada muara teluk. Dalam

7|P age
hal ini, garis penutup teluk adalah seluas atau lebih luas
daripada luas setengah lingkaran tengahnya adalah garis
penutup yang ditarik pada muara teluk.
b Apabila pada teluk terdapat pulau-pulau yang membentuk lebih
dari satu muara teluk, maka jumlah panjang garis penutup
teluk dari berbagai mulut teluk maksimum 24 mil laut.
c Garis penutup muara sungai, terusan, dan kuala ditarik antara
titik terluar pada garis air rendah yang menonjol dan
berseberangan.
d Dalam hal garis lurus tidak dapat diterapkan karena adanya
kuala pada muara sungai, sebagai garis penutup kuala
dipergunakan garis-garis lurus yang menghubungkan antara
titik-titik kuala dengan titik-titik terluar pada air garis rendah
tepian muara sungai.
e Garis penutup pelabuhan ditarik antara titik-titik terluar pada
garis air rendah pantai dan titik-titik terluar bangunan
permanen terluar yang merupakan bagian integral sistem
pelabuhan.

Pengukuran dengan menggunakan Garis Pangkal Penutup (Closing


Line)

8|P age
4. Garis pangkal lurus kepulauan (archipelagic baseline)
Garis pangkal lurus kepulauan yaitu garis” air terendah yang
menghubungkan titik” terluar pada pulau /karang kering yang
terluar dari wilayah negara tersebut

Pengukuran dengan menggunakan Garis Pangkal Lurus Kepulauan


(Archipelagic Baseline)

Metode garis kepulauan ini secara jelas mengatakan bahwa luas


laut negara kepulauan diukur dari titik surut pantai pulau terluar
dan batu-batu karang terluar dari negara pantai tersebut, dan
ditarik sampai 12 mil laut yang menghubungkan titik-titik paling
luar dari pulau paling luar.

III. Wewenang Negara Pantai


Pasal 25 UNCLOS 1982 menyatakan mengenai wewenang negara pantai
dalam melaksanakan kedaulatannya:
1. Negara pantai dapat mengambil langkah yang diperlukan dalam laut
teritorialnya untuk mencegah lintas yang tidak damai.

9|P age
2. Dalam hal kapal menuju perairan pedalaman atau singgah di suatu
fasilitas pelabuhan di luar perairan pedalaman, Negara pantai juga
mempunyai hak untuk mengambil langkah yang diperlukan untuk
mencegah pelanggaran apapun terhadap persyaratan yang
ditentukan bagi masuknya kapal tersebut ke perairan pedalaman
atau persinggahan demikian.
3. Negara pantai, tanpa diskriminasi formil atau diskriminasi nyata di
antara kapal asing, dapat menangguhkan sementara dalam daerah
tertentu laut teritorialnya lintas damai kapal asing apabila
penangguhan demikian sangat diperlukan untuk perlindungan
keamanannya, termasuk keperluan latihan senjata. Penangguhan
demikian berlaku hanya setelah diumumkan sebagaimana mestinya.

Hak Lintas Damai (Right Of Innocent Passage)

Dalam Konvensi Hukum Laut 1958 secara hukum wilayah perairan


nasional yang berada di bawah kedaulatan Negara pantai adalah laut
teritorial dan perairan pedalaman. Disisi bagian dalam dari garis pangkal
laut teritorial adalah perairan pedalaman dan di sisi luar adalah laut
teritorial. Pada perairan pedalaman umumnyatidak ada lintas damai
bagi kapal asing, kecuali apabila perairan pedalaman itusebelumnya
berstatus sebagai laut lepas atau laut teritorial, disebabkan karena
pengguna sistem straight base lines dan menggunakan garis-garis dasar
dari laut teritorial, sehingga laut tersebut berubah menjadi perairan
pedalaman dalam artilaut pedalaman. Sedangkan pada laut teritorial
ketentuan lintas damai itu dijaminoleh hukum internasional (Hasjim,
hal. 35).

Pada Negara Kepulauan, perairan nasional yang berada di bawah


kedaulatan Negara Kepulauan tersebut, terdiri dari laut teritorial,
perairan kepulauan dan perairan pedalaman. Laut teritorial pada Negara
Kepulauan, yaitu jarak tertentu sebelah luar dari garis pangkal lurus
yang menghubungkan titik terluar pulau-pulau dan karang terluar
kepulauan itu. Sedangkan perairan kepulauan adalah sisi dalam garis

10 | P a g e
pangkallurus yang menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau dan
karang kesring terluar kepulauan itu, di mana di dalam perairan
kepulauan itu dapat ditarik garis-garis penutup untuk keperluan
penetapan batas perairan pedalaman. Pada Negara Kepulauan hak lintas
damai bagi kapal asing ada pada perairan kepulauan dan laut teritorial.

Dalam Pasal 1 Konvensi Hukum Laut 1958 mengenai Laut Teritorial


menyatakan, laut teritorial merupakan satu jalur yang terletak
disepanjang pantai suatu negara berada dibawah kedaulatan Negara
pantai tersebut. Di laut teritorial kapal dari semua negara, baik negara
berpantai ataupun tidak berpantai, dapat menikmati hak lintas damai
melalui laut teritorial, demikian dinyatakan dalam pasal 17 KHL 1982.
Hal ini berarti meskipun laut teritorial berada di bawah kedaulatan
negara pantai, namun kedaulatannya itu dibatasi olehketentuan hukum
internasional, yaitu adanya lintas damai bagi kapal asing diperairan laut
teritorial tersebut.

Dalam pasal 18 KHL 1982, disebutkan pengertian lintas, berarti


suatu navigasi melalui laut teritorial untuk keperluan:

a Melintasi laut tanpa memasuki perairan pedalaman atau


singgah di tempat berlabuh di tenha laut atau fasilitas
pelabuhan di luar perairan pedalaman; atau
b Berlalu ke atau dari perairan pedalaman atau singgah di tempat
berlabuh ditengah laut (roadstead) atau fasilitas pelabuhan
tersebut.

Termasuk dalam pengertian lintas ini harus terus menerus,


langsung serta secepat mungkin, dan mancakup juga berhenti dan
buang jangkar, tetapi hanya sepanjang hal tersebut berkaitan dengan
navigasi yang lajim atau perlu dilakukan karena force majure atau
memberi pertolongan kepada orang lain, kapal atau pesawat udara yang
dalam keadaan bahaya.

11 | P a g e
Selanjutnya dalam pasal 19 Konvensi menyatakan, bahwa lintas
adalah damai, sepanjang tidak merugikan bagi kedamaian, ketertiban
atai keamanan Negara pantai sedangkan lintas suatu kapal asing
dianggap membahayakan kedamaian, ketertiban atau keamanan suatu
Negara pantai.

Lintas Damai Bagi Kapal Selam. Dalam pengertian lintas damai,


bagi kapal selam dan kenderaan air lainnya, diharuskan untuk
melakukan navigasi di atas air dan menunjukkan benderanya

Lintas damai bagi kapal bertenaga nuklir atau yang difatnya


berbahaya diharuskan untuk membawa dokumen dan mematuhi
tindakan pencegahan khusus yang ditetapkan dalam suatu perjanjian
internasional. Bagi kapal-kapal yangdemikian ini yaitu yang sifatnya
berbahaya atau beracun diharuskan untuk melintasi alur laut dan
skema pemiash lalu lintas sebagaimana yang ditetapkan Negara pantai
dan diharuskan untuk membatasi lintas pada alur yang demikian.d.
Lintas Damai Bagi Kapal Dagang dan Kapal Pemerintah Yang Ditujukan
Untuk Tujuan Komersial.

Hak Menangkap Ikan

Ada 3 macam kebebasan menangkap ikan di laut wilayah:


a Negara-negara yang hanya memberikan hak khusus menangkap
ikan kepada warga negaranya (Inggris, Perancis, Jerman, Spanyol
dan Rusia).
b Negara-negara yang memberikan special favour kepada warga
negaranya tanpa melarang orang-orang asing menangkap ikan di
laut wilayahnya (Norwegia, Swedia dan Itali)
c Memberikan pada semua orang hak untuk menangkap ikan dengan
syarat timbal balik (Portugal dan Yunani)

Jadi, kalau kita simpulkan, negara pantai mempunyai wewenang diatas


laut wilayahnya adalah sebagai berikut:
1. Wewenang terhadap kapal-kapal asing

12 | P a g e
2. Wewenang untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan pengawasan
3. Pengawasan di bidang duane, bea dan cukai
4. Hak untuk menangkap ikan, hak-hak untuk mendirikan zona
pertahanan
5. Dan hak pengejaran seketika (hot pursuit)

IV. Internal Waters


Dikatakan sebagai Internal / national / interior waters (perairan
pedalaman) merupakan seluruh perairan yang berada disisi daratan
atau sisi dalam suatu garis pangkal yang mana laut territorial17 dan
zona maritime lainnya ditetapkan.18 Internal water ini meliputi mulut
sungai, teluk, pelabuhan, tempat berlabuh ditengah laut, dan semua
perariran yang ditutup oleh garis pangkal lurus, teluk bersejarah, ceruk
(inlet), atoll dan gugusan terumbu karang.
International Law Commision dari PBB dalam sidang ke 8 tanggal 7
Juli 1958 mengusulkan suatu pengertian “internal waters” atau perairan
awak selaku bagian dari air laut) water of the sea, yaitu segala air yang
berada “within the baseline of the terrotorial sea.” Dan “baseline”.
Perairan pedalaman yang berada disisi dalam garis pangkal kearah
dataran merupakan sebuah bagian yang integral dengan dari territorial
negara pantai. Tidak ada satupun ketentuan hukum internasional
berlaku di internal water dan negara pantai dapat menikmati secara
penuh kedaulatan21 dan hukum nasionalnya di perairan pedalaman.
Hukum internasional memberikan kewenangan kepada negara
untuk membuat peraturan hukum, mengatur penggunaan perairan
pedalamannya dan memutuskan siapa saja yang boleh memasuki, yang
boleh keluar serta hal-hal yang boleh dilakukan saat memasuki perairan
pedalaman.22 Kekuasaan penuh negara di perairan pedalamannya,
disebabkan kondisi geografi perairan pedalaman terletak berdampingan
dengan territorial daratan suatu negara.

13 | P a g e
Meskipun tidak ada hak lintas damai (innocent passage) dari kapal
asing diwilayah perairan pedalaman, serta kapal asing tidak dapat
menikmati hak akses secara umum (a general right) ke pelabuhan suatu
negara, hukum kebiasaan internasional mengatur suatu rejim khusus
yang dikenal dengan hak akses ke pelabuhan (right of access to a state’s
ports).
Secara tegas LOSC tidak mengatur mengenai apakah kapal asing
memiliki hak untuk akses kepelabuhan, namun terdapat dua perjanjian
hukum (treaty law) dan kasus hukum yang mendukung prinsip umum
mengenai batasan negara pantai untuk melarang kapal asing akses ke
pelabuhannya.
Ketika kapal asing memasuki pelabuhan dan perairan pedalaman
suatu negara pantai maka dapat saja terjadi konflik yurisdiksi antara
kapal negara bendera dengan negara pelabuhan / perairan pedalaman.
Masing-masing akan berusaha untuk mengutamakan hukum dan
penegakan hukum mereka terhadap kejadian atau peristiwa yang
terjadi. Berdasarkan kasus The Schooner Exchange v. Mc Faddon (1812),
dalam kasus ini bahwa bila kapal asing memasuki pelabuhan negara
pantai akan tetap tunduk terhadap kedaulatan dan yurisdiksi negara
pelabuhan.
Setiap kapal yang memasuki pelabuhan dan perairan pedalaman,
maka itu berarti kapal tersebut telah tunduk kepada kedaulatan negara
pantai. Hukum yang berlaku di perairan pedalaman memiliki karakter
rejim hukum yang sama dengan daratan (dalam artian berlaku
yurisdiksi hukum nasional negara kepulauan) dan setiap kapal yang
memasuki perairan pedalaman maka berlakulah hukum nasional negara
pantai tersebut terhadapnya.

14 | P a g e
Daftar Pustaka

Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, Dan Fungsi


Dalam Era Dinamika Global, PT. Alumni, Bandung, 2005.

Geneve Convention on the Law of the Sea (1958)

I Wayan Parthiana, Hukum Laut Internasional dan Hukum Laut Indonesia,


Yrama widya, Bandung, 2014.

John R. Brock, “Archipelago Concept of Limits of Territorial Seas”,


International Law Studies, (Vol. 61, tanpa tahun)

Kresno Buntoro, Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) Prospek dan


Kendala, Sekolah Staf dan Komando TNI AL (Seskoal), 2012.

Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Penerbit Binacipta,


Bandung, 1978.

MOM Ravin, Law of the Sea Maritme Boundaries and Dispute Settlement
Mechanisms, United Nations – The Nippon Foundation Fellow,
Germany, March-Desember, 2005.

United Nation Convention on Law of the Sea (UNCLOS) Tahun 1982

http://www.sangkoeno.com/2014/10/garis-pangkal-baseline.html

15 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai