Anda di halaman 1dari 14

Tugas Terstruktur Dosen Pengampu

Hukum Persaingan Usaha Muhammad Syarif Hidayatullah, S. E., M. H

Makalah
POSISI DOMINAN DAN PENYALAHGUNAANNYA

Oleh:
Astri Wahyuni 210102040237

Laiela Amalia 210102040005

Adi Wisnu Saputra 210102040012

Ryaas Mahendra 210102040233

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI


FAKULTAS SYARIAH
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH (MUAMALAH)
BANJARMASIN
2023
A. Pendahuluan

Memiliki posisi dominan di dalam suatu pasar merupakan impian


setiap pelaku usaha. Hal tersebut merupakan hal yang wajar karena dengan
menjadi dominan dalam suatu pasar tentu akan memberikan keuntungan
yang lebih maksimal terhadap para pelaku usaha. Oleh karena itu menjadi
lebih unggul (market leader) pada sebuah pasar tidaklah merupakan hal
yang dilarang, bahkan hal ini tentunya akan memacu para pelaku usaha
untuk melakukan efisiensi dan inovasi-inovasi untuk menghasilkan produk
yang berkualitas dan harga yang kompetitif di dalam persaingan yang ada
dengan pelaku usaha lainnya dalam pasar tersebut. Pesatnya
perkembangan dalam dunia usaha yang aktif berinovasi dalam melakukan
perubahan-perubahan pada sistem pembayaran yang dulunya masih
bersifat konvensional dan kini telah masuk kepada sistem pembayaran
elektronik, tentu harus didukung dengan pengawasan yang ketat, baik dari
pihak KPPU, pemerintah, aparat penegak hukum serta juga sangat
dibutuhkan instrumen hukum yang memadai dalam menunjang
pengawasan dalam dunia persaingan usaha, guna mencegah praktek-
prakten monopoli maupun posisi dominan.1

Dalam dunia usaha, persaingan merupakan hal yang dianggap


positif. Persaingan disebut sebagai sebuah elemen yang esensial dalam
perekonomian modern. Pelaku usaha menyadari bahwa dalam dunia bisnis
adalah wajar untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya, namun
sebaliknya dilakukan melalui persaingan usaha yang jujur. Persaingan
akan berdampak pada semakin efisiennya pelaku usaha dalam
menghasilkan produk atau jasanya. Di satu sisi dengan adanya persaingan
maka konsumen sangat diuntungkan karena mereka memiliki pilihan
dalam membeli produk atau jasa tertentu dengan harga yang murah dan
berkualitas yang baik, namun disi lain persaingan usaha yang cenderung
menguasai posisi dominan akan berdampak kurang baik bagi pelaku usaha

1
“140511803_bab 1.pdf,” 2.

1
lainnya, sebab tidak semua pelaku usaha dapat menjangkau apa yang
dilakukan oleh pelaku usaha yang memguasai posisi dominan tersebut kata
lain dari posisi dominan.
B. Posisi Dominan

UU No. 5 Tahun 1999 tidak melarang pelaku usaha menjadi


perusahaan besar. UU No. 5 Tahun 1999 justru mendorong pelaku usaha
untuk dapat bersaing pada pasar yang bersangkutan. Persaingan inilah
yang memacu pelaku usaha untuk melakukan efisiensi dan inovasi-inovasi
untuk menghasilkan produk yang lebih berkualitas dan harga yang
kompetitif dibandingkan dengan kualitas produk dan harga jual dari
pesaingnya. Persainganlah yang mendorong pelaku usaha menjadi pelaku
usaha yang dominan.2 Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku
usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam
kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai
posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan
dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau
penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau
permintaan barang atau jasa tertentu.3

Undang-undang melarang pihak-pihak tertentu yang memiliki posisi


dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk:
1. Menetapkan syarat-syarat perdagangan tertentu yang bertujuan untuk
mencegah dan/atau menghalangi konsumen memperoleh barang
dan/atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas.
2. Membatasi pasar dan membatasi perkembangan teknologi, atas
produk yang dihasilkan.
3. Menghambat pelaku usaha lain, yang berpotensi menjadi pesaing,
untuk memasuki pasar yang bersangkutan

2
Alfarizi, “Pemyalahgunaan Posisi Dominan Dalam Persfektif Kejahatan Koprasi Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat,” 233.
3
“UU_1999_5.pdf,” 2.

2
Jadi, memiliki posisi dominan sebagaimana diatur dalam Pasal 25
ayat 1, tidaklah salah selama tidak menyalahgunakan hal-hal tersebut
dalam poin di atas. Sebagai contoh suatu perusahaan yang mampu
melakukan penemuan-penemuan baru atau inovasi dengan sendirinya
mempunyai posisi dominan, bahkan monopoli terhadap produk tersebut.
Selain itu, suatu perusahaan tumbuh secara cepat dengan menawarkan
suatu kombinasi antara kualitas dan harga yang dikehendaki konsumen,
dan pangsa pasarnya tumbuh dengan cepat, maka dapat dikatakan
perusahaan tersebut telah meningkatkan baik produsen sendiri maupun
konsumen.4

Ketentuan Pasal 1 angka 4 UU No. 5 Tahun 1999 tersebut


menetapkan syarat atau parameter posisi dominan. Dari ketentuan Pasal 1
angka 4 tersebut dapat disimpulkan terdapat 4 syarat yang dimiliki oleh
suatu pelaku usaha sebagai pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan,
yaitu pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti atau pelaku
usaha mempunyai posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pelaku
usaha pesaingnya di pasar yang bersangkutan dalam kaitan:
1. pangsa pasarnya
2. kemampuan keuangan
3. kemampuan akses pada pasokan atau penjualan
4. kemampuan menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau
jasa tertentu.
Ketentuan persentase pangsa pasar suatu pelaku usaha sebagai
pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan diatur di dalam Pasal 25
ayat (2) yang menetapkan bahwa Pelaku usaha dikatakan memiliki posisi
dominan apabila:
a. satu atau kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh
persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang dan atau jasa
tertentu.

4
Mustafa Kamal Rokan, S.H.I.,M.H., Hukum Persaingan Usaha, 197.

3
b. Dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai
75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis
barang dan atau jasa tertentu (Pasal 25).5
Penjual yang memiliki posisi dominan dapat mengarah kepada
penjual yang monopolis. Penjual yang memiliki posisi dominan dapat
menentukan harga atau menciptakan hambatan masuk ke pasar bagi para
penjual baru, atau penjual yang tidak diinginkan. Penyebab posisi
dominan yaitu adanya barrier to entry dan proses integrasi vertikal suatu
usaha bisnis dapat menjadi raksasa lahir dari penguasaan ke atas, yaitu
penguasaan terha- dap bahan baku, dan penguasaan ke bawah, yaitu
penguasaan jalur distribusi.6
Salah satu ciri-ciri pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan
adalah jika pelaku usaha tersebut dapat melakukan persaingan usaha
tidak sehat pada pasar yang bersangkutan secara mandiri/ individu tanpa
memperhitungkan pesaing-pesaingnya. Kedudukan seperti ini karena
kepemilikan pangsa pasarnya, atau karena kepemilikan pangsa pasar
ditambah dengan kemampuan pengetahuan tehnologinya, bahan baku
atau modal, sehingga pelaku usaha tersebut mempunyai kekuasaan
untuk menentukan harga atau mengontrol produksi atau pemasaran
terhadap bagian penting dari produk-produk yang diminta.7
Memiliki posisi dominan di pasar yang dilarang oleh UU No. 5
Tahun 1999, adalah jika posisi dominan yang telah dimiliki tersebut,
digunakan untuk menghambat, baik pengembangan teknologi mau- pun
mendistorsi pasar dengan cara, berupaya untuk mencegah persaingan
dengan mengeliminasi munculnya pelaku usaha baru, karena umumnya
pihak yang mempunyai posisi dominan dapat dengan mudah mendikte
pasar dan menetapkan syarat-syarat yang tidak sesuai dengan kehendak
pasar Semangat yang diemban oleh UU No. 5 Tahun 1999, bertujuan
untuk meningkatkan persaingan secara sehat dan jujur dalam dunia

5
Burhanuddin s., Hukum Bisnis Syariah, 238.
6
Mustafa Kamal Rokan, S.H.I.,M.H., Hukum Persaingan Usaha, 198.
7
“FinalTextbookHukumPersainganUsahaKPPU2ndEd_Up20180104 (1).pdf,” 234.

4
usaha, yang pada umumnya dilanggar oleh para pelaku usaha yang
memiliki posisi dominan tersebut. Hal yang demikian jelas dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan yang tidak
sehat.8
C. Penyalahgunaan Posisi Dominan
Bentuk-bentuk penyalahgunaan posisi dominan yang umum terjadi
dalam persaingan usaha yaitu:
1. Menetapkan harga yang berlebihan (excessive prices)
Tingginya suatu harga mungkin terjadi karena beberapa alasan,
seperti: banyaknya permintaan pasar tingginya pembiayaan unit
produksi dan pelaksanaan kegiatan di dalam pasar itu sendiriUntuk
mencegah suatu perusahaan menyalahgunakan posisi dominan yang
dimilikinya, termasuk penetapan harga yang berlebihan (excessive
price), maka penegak hukum persaingan usaha harus memerhatikan
hal-hal seperti: alasan yang menyebabkan tingginya harga dan
keuntungan apa yang akan diperoleh dari harga yang tinggi tersebut.
Hal ini disebabkan adanya kesulitan dan keterbatasan waktu bagi
para penegak hukum untuk mende- terminasi atau mengidentifikasi
biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh perusahaan (firm's cost)
sehingga dapat ditentukan apakah harga yang tinggi itu berlebihan
atau wajar (right price). Walaupun begitu harga yang ditetapkan di
antara para perusahaan yang bersaing dapat ditentukan setidaknya
dari kualitas produk yang mereka hasilkan.9
2. Menetapkan harga diskriminasi (price discrimination)
Price discrimination adalah perbuatan penjual menetapkan harga
yang berbeda (termasuk pemberian diskon) berdasarkan profil
konsumennya. Harga yang rendah diberikan kepada konsumen,
penyedia, penyalur, penjual yang lain, walaupun harga yang rendah
tersebut belum tentu memberikan kualitas yang sama dengan harga
yang lebih tinggi pada barang yang sama dari perusahaan lainnya.
8
DR. Susanti Adi Nugroho,S.H,M.H., Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, 404.
9
Ibid 406.

5
Harga diskriminasi juga dapat terjadi ketika suatu perusahaan
dominan justru menetapkan harga yang sama kepada para konsumen
walaupun dalam kegiatannya, perusahaan tersebut mengeluarkan
biaya yang berbeda untuk menyuplai masing-ma- sing konsumennya,
seperti: biaya, pengemasan, pengangkutan, pengiriman, dan lain
sebagainya. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan keuntungan yang
lebih tinggi ketika perusahaan dominan tadi menetapkan harga
tunggal (single price/net of costs) kepada para konsumennya.
Diharapkan dengan adanya kesamaan harga pada setiap konsumen
walaupun berada dalam wilayah yang berbeda, perusahaan lain akan
sulit bersaing dengan harga yang ditetapkan tersebut di wilayah yang
sama.10
3. Syarat keterhubungan barang (tie ins or tying)
Tie ins adalah penjualan suatu barang atau produk tertentu
dengan syarat (tying good) pembeli harus membeli barang atau
produk yang lainnya (the tied good). Kadang kala dua barang
tersebut secara vertikal berhubungan (vertically related) di mana
barang yang satu mempunyai fungsi yang harus digunakan
bersamaan dengan barang yang lainnya (primary and secondary) Tie
ins akan meningkatkan hambatan kepada perusahaan pesaing untuk
masuk ke dalam pasar ketika perusahaan tadi hanya menjual suatu
produk dan tidak menjual produk yang lainnya yang mempunyai
keterhubungan. Tie ins juga dapat dikatakan telah mengeksploitasi
konsumen, kerena mereka tidak mempunyai alternatif pilihanketika
harus mereparasi salah satu barang yang telah mereka beli (barang
yang mempunyai keterhubungan fungsi dengan harga yang lain
biasanya mempunyai garansi bersamaan atau satu garansi). Mereka
harus melakukan hal tersebut, hanya kepada perusahaan yang
menjual barang-barang tersebut sebelumnya (perusahaan dominan).
Dalam dunia perdagangan, hal ini disebut lockin effect.

10
DR. Susanti Adi Nugroho,S.H,M.H., 407.

6
4. Menolak untuk bertransaksi (refusal to deal)
Perusahaan dominan yang merupakan induk perusahaan (parent
company) yang menolak bertransaksi baik sebagai penjual maupun
sebagai pembeli dengan perusahaan lainnya dengan alasan di pasar
akan menambah pesaing bagi anak perusahaannya (subsidary
company), dapat dikatakan telah melakukan refusal to deal. Begitu
juga jika perusahaan dominan melakukan hal tersebut karena alasan
akan menambah pesaing bagi perusahaan yang tergabung dalam grup
perusahaan mereka (company group).
5. Menetapkan harga rendah (predatory pricing)
Predatory pricing adalah suatu perbuatan antikompetitif yang
dilakukan oleh perusahaan dominan dengan cara menetapkan harga
serendah mungkin, agar perusahaan-perusahaan lainnya. tidak dapat
bersaing dengan harga serendah itu (mengeluarkan pesaing keluar
dari pasar, mencegah perusahaan pesaing baru untuk masuk ke dalam
pasar dan akhirnya mendominasi pasar tanpa persaingan. Walaupun
biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan dominan tadi sedikit, namun
perusahaan tersebut mengharapkan keuntungan dari masa yang akan
datang di mana tidak ada lagi perusahaan yang dapat bersaing
dengannya di wilayah pasar yang sama. Hal ini dapat dilakukan jika
suatu perusahaan dominan menguasai pasar lebih dari satu wilayah
(operates in more than one market), Kemudian perusahaan tersebut
menjual barang kepada suatu pasar dengan harga yang rendah sekali
(hanya untuk meniadakan pesaing dalam pasar tersebut), walaupun
begitu persediaan barang tadi lebih banyak diarahkan ke dalam pasar
dengan wilayah yang lain, yang membeli barang tersebut dengan
harga yang lebih tinggi.
6. Menaikkan biaya pesaing (raising rivals cost).
Contoh dari perbuatan antikompetitif ini adalah menggugat
perusahaan pesaing, biasanya perusahaan kecil (modal dan segmen
pasar yang dimilikinya relatif kecil dibandingkan perusahaan

7
dominan) ke pengadilan dengan berbagai macam alasan seperti:
menuduh produk perusahaan tersebut mempunyai kemiripan dengan
produk mereka atau menuduhnya telah menetapkan harga rendah di
bawah harga pasar atau menggunakan piranti lunak (sofware)
bajakan dalam kegiatan usahanya dan lain sebagainya.11
7. Pengekangan vertikal (vertical restraints)
Vertical restraints adalah suatu pembatasan (restrain) yang
dilakukan oleh perusahaan yang mempunyai kedudukan secara
vertikal di atas (upstream firm) seperti perusahaan produsen
(manufacturer) atau penjual utama (wholesaler) terhadap perusahaan
di bawahnya seperti agen (retailer). Perbuatan yang termasuk ke
dalam kategori vertical restrain adalah penetapan wilayah yang
eksklusif di mana perusahaan agen dipaksa untuk membatasi barang
yang dijualnya pada wilayah pasar tertentu dan penetapan perjanjian
eksklusif di mana perusahaan agen dipaksa setuju untuk tidak
menjual barangnya kepada perusahaan pesaing, serta menjaga harga
jual di mana perusahaan agen dipaksa setuju untuk tidak menjual
barangnya di bawah harga yang ditetapkan sebelumnya, oleh
perusahaan produsen (not to sell below price established by the
manufacturer)
8. penyalahgunaan Hak atas Kekayaan Intelektual (intel lectual
property abuse)
Ada tiga kategori dalam hal ini, seperti pembelian paten atas
barang tertentu (the acquisition of patent) oleh perusahaan dominan,
kewajiban transfer teknologi di dalam perjanjian lisensi dengan
perusahaan dominan (the transfer of technology through licesning
arrangement) Perjanjian kerja sama di antara perusahaan yang
bergerak di bidang penemuandi mana salah satunya atau keduanya
adalah perusahaan dominan di dalam pasar Dalam kenyataannya,
praktik seperti ini menimbulkan tekanan pada pasar, karena hanya

11
DR. Susanti Adi Nugroho,S.H,M.H., 406–407.

8
ada perusahaan itu saja, namun di sisi lain hal tersebut adalah sah
secara hukum (legitimate).
9. Hubungan Afiliasi dengan Pelaku Usaha yang Lain
Salah satu penilaian posisi dominan suatu pelaku usaha dapat
juga dinilai dari afiliasi suatu pelaku usaha dengan pelaku usaha
yang lain. Hubungan terafiliasi ini diatur di dalam Pasal 26 tentang
Jabatan Rangkap dan Pasal 27 tentang Kepemilikan Saham Silang
UU No. 5 Tahun 1999. Hubungan afiliasi yang diakibatkan adanya
jabatan rangkap oleh seseorang pada beberapa perusahaan atau
kepemilikan saham silang di beberapa perusahaan dapat
mempengaruhi kebijakan pelaku usaha tersebut, karena pengaruh
tersebut dapat mengendalikan perusahaan tersebut. Pada akhirnya
pengaruh tersebut dapat mempengaruhi persaingan di pasar
bersangkutan di industri tertentu.12
a. Jabatan Rangkap
Jabatan rangkap tidak dilarang secara per se oleh UU No.
5 Tahun 1999. Akan tetapi hubungan afiliasi melalui jabatan
rangkap ini dapat memberikan pengaruh terhadap perilaku pelaku
usaha yang diafiliasi. Salah satu bentuk perilaku yang dapat
mengakibatkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak
sehat adalah jabatan rangkap sebagai direksi dan/atau komisaris.
Suatu jababatan rangkap terjadi apabila seseorang yang sama
duduk dalam dua atau beberapa dewan direksi perusahaan atau
menjadi wakil dua atau beberapa perusahaan yang bertemu dalam
dewan direksi satu perusahaan.
Pasal 26 UU No. 5 Tahun 1999 melarang seseorang
menjadi komisaris dan direksi pada suatu perusahaan dan
merangkap jabatan di perusahaan yang lain sebagai direksi atau
komisaris apabila perusahaan-perusahaan tersebut;
1) Berada dalam pasar bersangkutan yang sama atau

12
Ibid 408–410.

9
2) Memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis
usaha; atau
3) Secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau
jasa tertentu, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli dan atau persaingan usaa tidak sehat.
Prinsip ketentuan Pasal 26 tersebut tidak melarang mutlak
jabatan rangkap. Jabatan rangkap baru dilarang apabila akibat
jabatan rangkap tersebut menguasai pangsa pasar barang dan atau
jasa tertentu yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Artinya, dengan
keberadaan seseorang menjabat direksi atau komisaris di dua
perusahaan yang berbeda yang melakukan kegiatan usaha yang
sama, terjadi perilaku antipersaingan usaha di pasar yang
bersangkutan. Penerapan Pasal 26 terlebih dahulu dilakukan
penilaian atas posisi dominan pelaku usaha di mana seseorang
menduduki jabatan rangkap pada dua perusahaan yang berbeda.
Apabila pelaku usaha diduga melakukan tindakan
antipersaingan karena adanya jabatan rangkap, maka dalam
pembuktian perilaku antipersaingan tersebut harus diawali
dengan penilaian apakah pelaku usaha tersebut mempunyai posisi
dominan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 4 jo. Pasal 25
ayat (2). Jika pelaku usaha yang saling terkait tersebut
mempunyai posisi dominan, hal berikutnya yang perlu dinilai
adalah apakah seseorang yang menduduki jabatan rangkap
mempunyai pengaruh terhadap perusahaan terkait, terkait dengan
kebijakan perusahan mengenai harga, strategi pemasaran
perusahaan, managemen perusahaan dan lain-lain. Dengan
demikian penegakan ketentuan Pasal 26 adalah dengan
menggunakan pendekatan rule of reason.13

13
“FinalTextbookHukumPersainganUsahaKPPU2ndEd_Up20180104 (1).pdf,” 253–54.

10
b. Kepemilikan Saham Silang
Hubungan afiliasi pelaku usaha yang satu dengan yang
lain dapat dilihat dari aspek kepemilikan saham suatu pelaku
usaha di dua atau lebih pelaku usaha yang bergerak di bidang
usaha yang sama atau dengan pelaku usaha yang lain. Dampak
dari kegiatan kepemilikan saham mayoritas silang dapat
mengakibatkan pengendalian di beberapa perusahaan yang pada
akhirnya pengusaan posisi dominan di pasar yang bersangkutan.
Ketentuan Pasal 27 menetapkan bahwa pelaku usaha
dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan
sejenis yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama
pada pasar yang bersangkutan yang sama, atau mendirikan
beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama
pada pasar bersangkutan yang apabila mengakibatkan satu pelaku
usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari
50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; atau dua
atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai
lebih dari 75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Kepemilikan saham silang di beberapa perusahaan yang
melakukan kegiatan usaha yang sama dapat dilakukan oleh
pelaku usaha dengan mengakuisisi saham perusahaan tersebut
atau melakukan kerja sama atau joint venture. Hal ini dapat
mengakibatkan hilangnya persaingan secara horizontal, karena
beberapa perusahaan tersebut dikuasai sahamnya secara
mayoritas oleh pelaku usaha tertentu. Beberapa perusahaan yang
memiliki kegiatan usaha yang sama dapat mengakibatkan posisi
dominan antara lain melalui penggabungan atau peleburan
beberapa perusahaan atau melalui kerja sama joint venture antara
dua perusahaan atau lebih yang dapat berakibat negatif terhadap
persaingan dan masyarakat, karena mengakibatkan integrasi

11
horizontal dan mengusai pasar yang bersangkutan.14
D. Kesimpulan
Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak
mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan
dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi
tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan
kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan.
Salah satu ciri-ciri pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan
adalah jika pelaku usaha tersebut dapat melakukan persaingan usaha
tidak sehat pada pasar yang bersangkutan secara mandiri/ individu tanpa
memperhitungkan pesaing-pesaingnya.
Bentuk-bentuk penyalahgunaan posisi dominan yang umum
terjadi dalam persaingan usaha yaitu:
1. Menetapkan harga yang berlebihan (excessive prices)
2. Menetapkan harga diskriminasi (price discrimination)
3. syarat keterhubungan barang (tie ins or tying)
4. Menolak untuk bertransaksi (refusal to deal)
5. Menetapkan harga rendah (predatory pricing)
6. Menaikkan biaya pesaing (raising rivals cost).
7. Pengekangan vertikal (vertical restraints)
8. penyalahgunaan Hak atas Kekayaan Intelektual (intellectual
property abuse)
9. Hubungan Afiliasi dengan Pelaku Usaha yang Lain
Hubungan afiliasi yang diakibatkan adanya jabatan rangkap oleh
seseorang pada beberapa perusahaan atau kepemilikan saham silang di
beberapa perusahaan dapat mempengaruhi kebijakan pelaku usaha
tersebut, karena pengaruh tersebut dapat mengendalikan perusahaan
tersebut.

14
“FinalTextbookHukumPersainganUsahaKPPU2ndEd_Up20180104 (1).pdf,” 257.

12
DAFTAR PUSTAKA

“140511803_bab 1.pdf,” t.t.

Alfarizi, Muhammad Fikri. “Penyalahgunaan Posisi Dominan Dalam Persfektif

Kejahatan Korporasi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,”

t.t.

Burhanuddin s. Hukum Bisnis Syariah, t.t.

DR. Susanti Adi Nugroho,S.H,M.H. Hukum Persaingan usaha Di Indonesia.

Kencana, t.t.

“FinalTextbookHukumPersainganUsahaKPPU2ndEd_Up20180104 (1).pdf,” t.t.

Mustafa Kamal Rokan, S.H.I.,M.H. Hukum Persaingan Usaha, t.t.

“UU_1999_5.pdf,” t.t.

13

Anda mungkin juga menyukai