Anda di halaman 1dari 51

POSISI DOMINAN DAN

PENYALAHGUNAANNYA
POSISI DOMINAN
Penguasaan posisi dominan di dalam hukum persaingan
usaha (HPU) tidak dilarang, sepanjang pelaku usaha
tersebut dalam mencapai posisi dominannya atau menjadi
pelaku usaha yang lebih unggul (market leader) pada
pasar yang bersangkutan atas kemampuannya sendiri
dengan cara yang fair.

Konsep HPU adalah menjaga persaingan usaha yang


sehat tetap terjadi di pasar yang bersangkutan dan
mendorong pelaku usaha menjadi pelaku usaha yang
mempunyai posisi dominan (menjadi unggul) melalui
persaingan usaha yang sehat dan efektif.
Apa definisi atau pengertian posisi
dominan?

Dalam perspektif ekonomi, posisi dominan adalah :

Posisi yang ditempati oleh perusahaan yang memiliki


pangsa pasar terbesar.
Dengan pangsa pasar yang besar tersebut perusahaan
memiliki market power.
Dengan market power tersebut, perusahaan dominan
dapat melakukan tindakan/strategi tanpa dapat
dipengaruhi oleh perusahaan pesaingnya.
Apa definisi atau pengertian posisi
dominan?
Dalam UU No.5/1999, posisi dominan didefinisikan
sebagai suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak
mempunyai pesaing yang berarti atau suatu pelaku usaha
mempunyai posisi lebih tinggi daripada pesaingnya pada
pasar yang bersangkutan dalam kaitan pangsa pasarnya,
kemampuan keuangan, akses pada pasokan atau
penjualan serta kemampuan menyesuaikan pasokan atau
permintaan barang atau jasa tertentu. (Pasal 1 angka 4 UU
No. 5/1999)
Terdapat 4 syarat yang dimiliki oleh suatu pelaku usaha
sebagai pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan,
yaitu pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti
atau pelaku usaha mempunyai posisi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pelaku usaha pesaingnya di pasar
yang bersangkutan dalam kaitan:

1.pangsa pasarnya;
2.kemampuan keuangan;
3.kemampuan akses pada pasokan atau penjualan; dan
4.kemampuan menyesuaikan pasokan atau permintaan
barang atau jasa tertentu.
Pangsa Pasar
• Pangsa pasar adalah persentase nilai jual atau beli
barang atau jasa tertentu yang dikuasai oleh pelaku
usaha pada pasar bersangkutan dalam tahun kalender
tertentu.

• Pangsa pasar adalah salah satu elemen penting dalam


menetapkan, apakah suatu pelaku usaha mempunyai
posisi dominan atau tidak.
Berapa persen penguasaan pangsa pasar oleh
pelaku usaha dinyatakan sebagai posisi dominan ?

• Di dalam hukum persaingan usaha Jerman,


– untuk satu pelaku usaha diduga dapat melakukan
praktek monopoli atau mempunyai posisi
dominan, jika satu pelaku usaha mempunyai
pangsa pasar lebih dari 33,3%; dan
– untuk dua atau lebih dari tiga pelaku usaha
diduga dapat melakukan praktek monopoli atau
mempunyai posisi dominan, apabila menguasai
pangsa pasar lebih dari 66,6%.

• Menurut hukum persaingan Negara Republik


Cekoslovakia dan Spanyol diduga memilik posisi
dominan jika menguasai pangsa pasar 40%.
Berapa persen penguasaan pangsa pasar oleh
pelaku usaha dinyatakan sebagai posisi dominan ?

• Menurut Pasal 25 ayat 2 UU No. 5/1999 menetapkan


bahwa :
– Satu pelaku usaha dinyatakan mempunyai posisi
dominan, apabila satu pelaku usaha atau satu
kelompok pelaku usaha menguasai 50% atau
lebih pangsa pasar atas satu jenis barang atau
jasa tertentu; dan
– Dua atau tiga pelaku usaha atau satu kelompok
pelaku usaha dinyatakan mempunyai posisi
dominan, apabila menguasai 75% atau lebih
pangsa pasar atas satu jenis barang atau jasa
tertentu.
Ketentuan posisi dominan mengenai penguasaan pangsa
pasar yang ditetapkan oleh Pasal 25 ayat 2 tersebut
mensyaratkan bahwa pelaku usaha yang mempunyai
posisi dominan tersebut dapat mendistorsi pasar baik
secara langsung maupun tidak langsung.

Pasal 25 ayat 1 menetapkan bahwa pelaku usaha dilarang


menggunakan posisi dominan baik secara langsung
maupun tidak langsung untuk :

a.Menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan


untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen
memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik
dari segi harga maupun kualitas; atau
b.Membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau
c.Menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi
menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.
Pasal 25 ayat 2 tersebut bersifat absolut atau
tidak?

 Secara normatif ketentuan Pasal 25 ayat 2 bersifat


per se. Artinya, apabila suatu pelaku usaha sudah
menguasai pangsa pasar 50% untuk satu pelaku
usaha dan 75% untuk dua atau tiga pelaku usaha,
maka penguasaan pangsa pasar tersebut langsung
dilarang.

 Kalau pendekatan per se illegal diterapkan kepada


Pasal 25, maka sama dengan menghambat tujuan
UU No. 5/1999, yaitu mendorong pelaku usaha
berkembang berdasarkan persaingan usaha yang
sehat.
 Dalam prakteknya KPPU telah menerapkan ketentuan
Pasal 25 ayat tersebut dengan pendekatan rule of
reason.

 Hal ini untuk menyesuaikan dengan ketentuan Pasal


4, Pasal 13, Pasal 17 dan Pasal 18 UU No. 5/1999
yang menggunakan pendekatan rule of reason dalam
penerapannya.

 Karena ketentuan Pasal, 4, Pasal 13, Pasal 17, dan


Pasal 18 menetapkan diduga dapat melakukan praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat,
apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku
usaha menguasai pangsa pasar lebih dari 50% dan
apabila dua atau tiga pelaku usaha atau satu kelompok
pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar.
 Jika suatu pelaku usaha tidak menguasai pangsa pasar
lebih dari 50% untuk satu pelaku usaha (monopoli),
tetapi dalam prakteknya dapat melakukan praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Hal ini
dapat terjadi tergantung korelasi penguasaan pangsa
pasar suatu pelaku usaha yang mempunyai pangsa pasar
yang lebih tinggi dibandingkan dengan sisa pangsa
pasar yang dimiliki oleh pesaing-pesaingnya.

Misalnya, kalau pelaku usaha A mempunyai pangsa pasar 40%


sementara pangsa pasar pesaingnya tersebar kecil-kecil dikuasai
oleh 6 pelaku usaha dengan penguasaan pangsa pasar masing-
masing 10%, yaitu pelaku usaha B menguasai 10%, C10%, D 10%,
E 10%, F 10% dan Pelaku usaha G menguasai 10%. Jadi, jika
struktur pasar yang demikian, maka Pelaku usaha A yang
mempunyai pangsa pasar 40% dapat dikatakan sebagai pelaku
usaha yang mempunyai posisi dominan dibandingkan dengan
penguasaan pangsa pasar pesaingnya masing-masing menguasai
10%
 Dengan demikian ketentuan penetapan penguasaan
pasar lebih dari 50% untuk satu pelaku usaha atau
satu kelompok pelaku usaha dan penguasaan pangsa
pasar lebih dari 75% untuk dua atau tiga pelaku
usaha tidak berlaku mutlak, karena penguasaan
pangsa pasar di bawah 50% untuk pasar monopoli
dan dibawah 75% untuk pasar oligopoli yang
ditetapkan oleh Pasal 25 ayat 2 UU No. 5 dapat
melakukan persaingan usaha tidak sehat, tergantung
berapa sisa pangsa pasar yang dimiliki oleh pesaing-
pesaingnya.
Kemampuan keuangan

Pengertian kemampuan keuangan suatu pelaku


usaha dapat dipahami khususnya kemampuan
ekonomi pelaku usaha tersebut yang pada
pokoknya mempunyai kemungkinan keuangan.
Artinya, kemampuan keuangan yang dimiliki
sendiri, untuk melakukan investasi sejumlah
uang tertentu dan mempunyai akses menjual
kepada pasar modal.
 Secara sederhana dilihat dari keberadaan
pelaku usaha yang mempunyai pangsa pasar
yang lebih tinggi (besar) dibandingkan dengan
pelaku usaha pesaingnya, pelaku usaha yang
mempunyai pangsa pasar yang lebih tinggi
akan mempunyai keuangan yang lebih besar
dibandingkan dengan pelaku usaha
pesaingnya. Karena presentase nilai jual atau
beli yang lebih tinggi atas suatu barang atau
jasa tertentu dibandingkan dengan nilai jual
atau beli pesaing-pesaingnya akan
menunjukkan ke kemampuan keuangan yang
lebih kuat atau lebih besar.
Faktor-faktor yang menetapkan pelaku usaha
mempunyai keuangan yang kuat dapat dilihat dari :

a. Modal Dasar;
b. Cash flow;
c. Omset;
d. Keuntungan;
e. Batas kredit; dan
f. Akses ke pasar keuangan nasional dan
internasional
Kemampuan Pada Pasokan atau
Penjualan
 Jika pangsa pasar pelaku usaha sudah ditetapkan, mempunyai
pangsa pasar yang lebih tinggi daripada pesaingnya, maka dapat
ditentukan apakah pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar
dalam persentase tertentu dapat melakukan praktek monopoli
dan/atau persaingan usaha tidak sehat pada pasar yang
bersangkutan yaitu melalui kemampuan pengaturan jumlah
pasokan atau penjualan barang tertentu di pasar yang
bersangkutan.
 Kamampuan pengaturan pasokan atau penjualan barang atau
jasa tertentu menjadi salah satu bukti bentuk penyalahgunaan
posisi dominan yang dapat dilakukan oleh pelaku usaha yang
mempunyai posisi dominan.
 Akibatnya adalah pelaku usaha yang mempunyai posisi
dominan menguasai pasar dan pesaingnya tidak dapat bersaing
pada pasar yang bersangkutan.
Kemampuan Menyesuaikan
Pasokan atau Permintaan
 Pada prinsipnya kemampuan menyesuaikan pasokan
atau permintaan atas suatu barang atau jasa tertentu
pada pasar yang bersangkutan mempunyai kesamaan
dengan kemampuan mengatur pasokan atau
penjualan barang atau jasa tertentu.

 Pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan


mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan
pasokan atau permintaan pada pasar yang
bersangkutan.
PENETAPAN POSISI DOMINAN
 Lembaga yang berwenang untuk menetapkan posisi
dominan suatu pelaku usaha pada pasar yang
bersangkutan, apakah suatu pelaku usaha sudah
mempunyai posisi dominan, adalah Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

 Sebelum suatu pelaku usaha ditetapkan mempunyai


posisi dominan, KPPU terlebih dahulu harus
melakukan investigasi terhadap pasar yang
bersangkutan.

 KPPU dalam melakukan investigasi tersebut harus


melakukan pembatasan pasar bersangkutan.
Pembatasan pasar bersangkutan
Di dalam UU No. 5 Tahun 1999 metode
pembatasan pasar yang bersangkutan ditetapkan
di dalam Pasal 1 No. 10 yang berbunyi :

“Pasar bersangkutan adalah pasar yang


berkaitan dengan jangkauan atau daerah
pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas
barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau
subsitusi dari barang dan atau jasa tersebut”.
Berdasarkan ketentuan tsb, pembatasan pasar
yang bersangkutan (relevant market) untuk
menentukan posisi dominan suatu pelaku usaha
menggunakan pembatasan pasar bersangkutan
berdasarkan pasar produk (product market) dan
berdasarkan wilayah atau geografis
(geographich market)
Pembatasan pasar bersangkutan berdasarkan pasar
produk atau secara obyektif (product market)
Pembatasan pasar bersangkutan berdasarkan produk
atau secara obyektif adalah di mana terdapat barang dan
atau jasa yang sama atau sejenis, termasuk subsitusinya.

Untuk dapat menentukan, apakah suatu barang dengan


barang yang lain dapat dinyatakan sama atau dapat
dinyatakan menjadi subsitusi terhadap barang tertentu,
perlu dilihat dari 4 aspek, yaitu
a)bentuk lahiriah dan sifat barang tersebut;
b)fungsi barang tersebut;
c)harga barang tersebut; dan
d)fleksibilitas barang tersebut bagi konsumen.
a) Bentuk dan sifat barang

Bentuk dan sifat fisik suatu barang merupakan petunjuk


pertama dalam mengidentifikasi apakah suatu produk
satu pasar atau satu produk secara obyektif.

Dikatakan secara objektif, karena produk yang berbeda


tersebut dilihat secara fisik apakah bentuk dan sifat
barang tersebut sama atau tidak.

Misalnya apakah soft drink Coca cola dapat dianggap


barang yang sama dengan Pepsi? Kalau ya, maka
Coca Cola dengan Pepsi adalah produk yang saling
bersaing. Dalam hal ini Coca Cola dengan Pepsi
adalah satu pasar, karena dilihat dari aspek sifat
minumannya.
b) Fungsi barang

Dilihat dari fungsi barang, apakah suatu barang atau


produk dengan barang atau produk yang lain (berbeda)
tersebut mempunyai fungsi yang sama bagi konsumen.

Contoh Coca Cola dan Pepsi mempunyai fungsi yang


sama bagi konsumen, yaitu untuk menghilangkan rasa
haus. Dilihat dari aspek fungsi barang tersebut, maka
Coca Cola dengan Pepsi adalah satu produk. Artinya,
satu pasar bersangkutan.
c) Harga

Unsur yang paling penting dalam menentukan apakah


suatu produk dengan produk yang lain dinyatakan sama
atau dapat sebagai barang pengganti adalah harga.

Misalnya harga Coca Cola satu botol Rp.4000 sedangkan


harga Pepsi satu botol Rp.3900, maka Coca Cola dengan
Pepsi dapat dikatakan satu barang yang sama atau sebagai
barang pengganti. Akan tetapi kalau harga Coca Cola
satu botol Rp. 10.000, dan sedangkan harga Pepsi satu
botol hanya Rp. 5.000, maka Coca Cola dengan Pepsi
bukan satu barang yang sama, atau Pepsi tidak dapat
disebut sebagai barang Coca Cola.
d) Fleksibilitas barang bagi konsumen
(interchangeable)

Jika konsumen biasanya mengkonsumsi suatu produk


tertentu, dan konsumen kehabisan barang/produk
tersebut, maka apakah jika konsumen pada saat
membutuhkan produk yang biasa dibutuhkan tersebut
tidak ada di pasar, konsumen tersebut secara otomatis
mau beralih kepada produk yang lain tersebut?

Kalau ya, maka produk pengganti tersebut menjadi satu


produk bagi konsumen terhadap produk yang biasa
dikonsumsinya.
Misalnya, apakah mie dapat menjadi barang subsitusi
terhadap beras. Artinya jika beras habis dipasar, apakah
konsumen bersedia beralih otomatis membeli mie sebagai
penggantinya (interchangeable). Apakah dengan
demikian kebutuhan kosumen dapat dipuaskan oleh mie
tersebut.

Oleh karena itu, apakah suatu barang tertentu sama


dengan barang yang lain, atau sejenis atau dapat sebagai
barang subsitusi biasanya dilihat dari aspek kebutuhan
konsumen yang diselidiki kasus per kasus. Dalam hal ini
aspek penilaian konsumen sangat penting, karena
konsumen membeli suatu produk untuk kebutuhannya.
Jika suatu produk sudah ditetapkan mempunyai barang
sejenis atau barang subsitusi, maka pangsa pasar produk
yang sama atau barang sejenis atau barang subsitusi
tersebut termasuk dalam satu pasar bersangkutan secara
objektif.

Konsekuensinya adalah bahwa pangsa pasar barang


sejenis dan barang subsitusi akan ikut dijumlahkan untuk
menentukan, apakah pangsa pasar bersangkutan memiliki
posisi dominan atau tidak.

Biasanya dengan ikut menghitung pangsa pasar barang


sejenis dan/atau barang subsitusi mengakibatkan pangsa
pasar bersangkutan menjadi turun. Hal ini akan
menguntungkan bagi perusahaan yang sedang diawasi
oleh KPPU dalam proses penentuan posisi dominan.
Pembatasan Pasar Bersangkutan Secara
Geografis (relevant geographic market)

Pembatasan pasar bersangkutan secara geografis


ditentukan sejauh mana produsen memasarkan
produknya seluas itulah dihitung produsen yang
memasarkan barang/produk diwilayah tersebut.

Fungsi pembatasan pasar secara geografis adalah untuk


menghitung pangsa pasar bersangkutan secara obyektif
disekitar wilayah di mana barang tersebut dipasarkan.

Oleh karena itu dapat terjadi, bahwa pasar suatu barang


tertentu dapat mencapai pasar regional, nasional,
internasional dan bahkan pasar global.
Akan tetapi UU No. 5/1999 sudah membatasi
penerapannya hanya di dalam negeri saja.

Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1 No. 5:

“Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau


badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau
bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan
atau melakukan berbagai kegiatan usaha dalam wilayah
hukum negara Republik Indonesia”.

Dari ketentuan tsb, jangkauan penerapan UU Anti


monopoli tersebut maksimum seluas wilayah Indonesia
saja.
Namun demikian, KPPU telah menetapkan bahwa
jangkauan penerapan UU No. 5/1999 tidak terbatas seluas
wilayah Indonesia dimana pelaku usaha mempunyai
kedudukan hukumnya, tetapi juga pelaku usaha yang
mempunyai kedudukan hukum di luar wilayah Indonesia,
tetapi perilaku pelaku usaha tersebut mempunyai dampak
terhadap persaingan usaha di pasar Indonesia.

Contoh Kasus :
Di dalam kasus Temasek Group, KPPU memutuskan
bahwa Temasek Holdings dan anak perusahaannya
dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan
melanggar UU No. 5/1999 walaupun Temasek Group
tersebut tidak melakukan kegiatan usaha di Indonesia,
tetapi mempunyai dampak persaingan di pasar Indonesia
(Putusan KPPU No. 07/KPPU-L/2007).
Setelah ditetapkan pasar produk suatu barang tertentu,
kemudian ditetapkan pasar geografis produk tersebut,
yaitu seluas mana produk-produk yang sama dan barang
penggantinya dipasarkan, maka seluas wilayah itulah
dihitung berapa jumlah pelaku usaha yang melakukan
kegiatan usaha di wilayah tersebut, dan berapa pangsa
pasar masing-masing pelaku usaha.

Dari pasar geografis ini dapat disimpulkan pelaku usaha


yang mana yang menguasai pangsa pasar di wilayah
tersebut, pelaku usaha itulah yang mempunyai posisi
dominan di wilayah tersebut (geographic market)
PENYALAHGUNAAN POSISI
DOMINAN
Pelaku usaha mempunyai posisi dominan tidak dilarang
oleh UU No. 5/1999, asalkan pencapaian posisi
dominan tersebut dilakukan melalui persaingan usaha
yang sehat atau fair. Yang dilarang oleh UU No. 5/1999
adalah apabila pelaku usaha tersebut menyalahgunakan
posisi dominannya.
Bagaimana pelaku usaha melakukan
penyalahgunaan posisi dominannya
sehingga pasar dapat terdistorsi ?

Bentuk-bentuk penyalahgunaan posisi dominan


atau hambatan-hambatan persaingan usaha
yang dapat dilakukan oleh pelaku usaha yang
mempunyai posisi dominan adalah ditetapkan
di dalam Pasal 25 ayat 1 dan Pasal 19.
Pasal 25 ayat 1 menetapkan, bahwa pelaku usaha dilarang
menggunakan posisi dominan baik secara langsung
maupun tidak langsung untuk :

a.Menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan


untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen
memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing dari segi
harga maupun kualitas; atau
b.Membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau
c.Menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi
menjadi pesaing untuk memasuki pasar yang
bersangkutan.
Larangan Pasal 19 disebut dengan penguasaan pasar.

Penguasaan pasar disini sebetulnya adalah suatu proses pelaku


usaha untuk menguasai pasar baik yang dilakukan secara sendirian
maupun secara bersama dengan pelaku usaha yang lain.

Akibat dari pencapaian terhadap penguasaan pasar maka pelaku


usaha tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa :

a.Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk


melakukan kegiatan yang sama pada pasar yang bersangkutan; atau
b.Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya
untuk tidak melakukan hubungan dengan pelaku usaha pesaingnya
itu ; atau membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau
jasa pada pasar yang bersangkutan; atau
c.Melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
Dari ketentuan Pasal 25 ayat 1 pelaku usaha yang
mempunyai posisi dominan dapat menyalahgunakan
posisi domiannya baik secara langsung maupun tidak
langsung untuk:

a.Mencegah dan atau menghalangi konsumen


memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik
dari segi harga maupun kualitas dengan menetapkan
syarat-syarat perdagangan; atau
b.Membatasi pasar dan pengembangan teknologi;
c.Menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi
menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.
Mencegah atau menghalangi
konsumen
Pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan dapat melakukan
suatu tindakan untuk mencegah atau menghalangi konsumen untuk
memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi
harga maupun kualitas dengan menetapkan syarat perdagangan.

Syarat utama yang harus dipenuhi oleh ketentuan Pasal 25 ayat 1


huruf a adalah syarat perdagangan yang dapat mencegah konsumen
memperoleh barang yang bersaing baik dari segi harga maupun dari
segai kualitas.

Dapat disimpulkan bahwa konsumen telah mempunyai hubungan


bisnis dengan pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan.
Kasus Carrefour
Di dalam kasus Carrefour KPPU menetapkan dalam putusannya
bahwa Carrefour terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal
19 huruf a UU No.5/1999, karena menetapkan syarat perdagangan
yang mengakibatkan pelaku usaha pemasok tidak dapat memasok
produknya ke Carrefour.

Di dalam Putusan KPPU No. 02/KPPU-L/2005 ditetapkan bahwa


Carrefour mempunyai market power dibandingkan dengan Hypermart,
Giant dan Clubstore karena Carrefour mempunyai gerai yang
terbanyak. Dengan market power tersebut menimbulkan
ketergantungan bagi pemasok agar produknya dapat dijual di
Carrefour. Bukti menghalangi pemasok ke Carrefour adalah dengan
memberlakukan minus margin yang mengakibatkan salah satu
pemasoknya menghentikan pasokannya kepada pesaing Carrefour
yang menjual dengan harga lebih murah dibandingkan dengan harga
jual di gerai Carrefour untuk produk yang sama. Carrefour dinyatakan
terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 19 huruf a UU
No. 5/1999.
Membatasi pasar dan
pengembangan teknologi
Pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan dapat
membatasi pasar.

Pengertian membatasi pasar di dalam ketentuan ini tidak


dibatasi. Pengertian membatasi pasar yang dilakukan
oleh pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan
sebagai penjual atau pembeli dapat diartikan dimana
pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan
mempunyai kemungkinan besar untuk mendistorsi pasar
yang mengakibatkan pelaku usaha pesaingnya sulit
untuk dapat bersaing di pasar yang bersangkutan.
Bentuk-bentuk membatasi pasar dapat dilakukan berupa
melakukan hambatan masuk pasar (entry barrier),
mengatur pasokan barang di pasar atau membatasi
peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa di
pasar yang bersangkutan dan melakukan jual rugi yang
akan menyingkirkan persaingnya dari pasar. Termasuk
melakukan perjanjian tertutup dan praktek diskriminasi.

Secara umum tindakan diskriminasi dapat diartikan


bahwa seseorang atau pelaku usaha memperlakukan
pelaku usaha lain secara istimewa, dan pihak lain atau
pelaku usaha lain tidak boleh menikmati keistimewaan
tersebut, atau ditolak.
Menghambat pesaing potensial
Di dalam hukum persaingan usaha dikenal apa yang
disebut dengan pesaing faktual dan pesaing potensial.

Pesaing faktual adalah pelaku usaha-pelaku usaha yang


melakukan kegiatan usaha yang sama di pasar yang
bersangkutan.

Sedangkan pesaing potensial adalah pelaku usaha yang


mempunyai potensi yang ingin masuk ke pasar yang
bersangkutan, baik oleh pelaku usaha dalam negeri
maupun pelaku usaha dari luar negeri.
• Hambatan masuk pasar oleh pelaku usaha posisi dominan swasta
adalah penguasaan produk suatu barang mulai proses produki dari
hulu ke hilir hingga pendistribusian – sehingga perusahaan
tersebut demikian kokoh pada sektor tertentu mengakibatkan
pelaku usaha potensial tidak mampu masu ke pasar yang
bersangkautan.

• Sedangkan hambatan masuk pasar akibat kebijakan negara atau


pemerintah ada dua, yaitu hambatan masuk pasar secara struktur
dan strategis.

– Hambatan masuk pasar secara struktur adalah dalam kaitan


sistem paten dan lisensi.
– Sedangkan hambatan masuk pasar secara strategis adalah
kebijakan-kebijakan yang memberikan perlindungan atau
perlakuan khusus bagi pelaku usaha tertentu, akibatnya
pesaing potensial tidak dapat masuk ke dalam pasar.

Jadi, di dalam hukum persaingan usaha ukuran yang sangat


penting adalah bahwa pesaing potensial bebas keluar masuk
ke pasar yang bersangkutan.
HUBUNGAN AFILIASI DENGAN
PELAKU USAHA YANG LAIN

Hubungan terafiliasi ini diatur didalam


Pasal 26 tentang jabatan rangkap dan
Pasal 27 tentang kepemilikan saham
silang UU No. 5/1999.
Jabatan Rangkap (Pasal 26)
Seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau
komisaris dari suatu perusahaan, pada waktu yang
bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau
komisaris pada perusahaan lain, apabila perusahaan-
perusahaan tersebut:

a.berada dalam pasar bersangkutan yang sama; atau


b.memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau
jenis usaha; atau
c.secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang
dan atau jasa tertentu, yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat
Prinsip ketentuan Pasal 26 tersebut tidak melarang
mutlak jabatan rangkap. Jabatan rangkap baru dilarang
apabila akibat jabatan rangkap tersebut dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat (rule of reason).
Contoh jabatan rangkap: PT Garuda Indonesia
mempunyai saham 95% di PT Abacus, maka PT Garuda
Indonesia menempatkan dua orang direksinya merangkap
jabatan di PT Abacus, yaitu Emirsyah Satar dan
Wiradharma Bagus Oka sebagai Komisaris di PT Abacus
Indonesia. PT Garuda dinyatakan sah dan meyakinkan
melanggar ketentuan Pasal 26 UU No. 5/1999, karena
keberadaan Emirsyah Satar dan Wiradharma ikut
menentukan kebijakan dual acess yang mengharuskan
travel agent untuk mengakses sistem abacus untuk pasar
domestik, padahal abacus adalah untuk
pasar internasional (Putusan KPPU No. 01/KPPU-L/2003
tentang Garuda Indonesia)
Kepemilikan saham silang (Pasal
27)
Pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada
beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan
usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan
yang sama, atau mendirikan beberapa perusahaan yang
memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar
bersangkutan yang sama, apabila kepemilikan tersebut
mengakibatkan:
a.satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha
menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa
pasar satu jenis barang atau jasa tertentu;
b.dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha
menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen)
pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Contoh kasus yang paling tepat yang diputuskan oleh
KPPU dalam kasus kepemilikan saham silang adalah
dalam Putusan Perkara No. 05/KPPU-L/2002 tentang
Kasus Cineplex 21, di mana induk perusahaan, yaitu PT
Nusantara Sejahtera Raya mempunyai hubungan
terafiliasi dengan anak perusahaannya, karena
mempunyai
saham lebih dari 50%, yaitu 98% di PT Intra Mandiri
dan 70% di PT Wedu Mitra.
Ketentuan Pasal 27 UU No. 5/1999 walaupun menurut
ketentuan UU No. 5/1999 bersifat per se illegal, maka
sebaiknya dalam penerapannya digunakan pendekatan
rule of reason. Hal ini untuk memberikan konsistensi
diantara ketentuan Pasal 4, Pasal 13, Pasal 17, Pasal 18
dengan Pasal 25 dan Pasal 27 UU No. 5/1999.
Terima kasih

Anda mungkin juga menyukai