Anda di halaman 1dari 20

Materi Tindak

Pidana
Lingkungan

PENDIDIKAN TERBUKA DAN JARAK JAUH


Membuka Akses Pendidikan Tinggi bagi Semua
Making Higher Education Open to All
TINDAK PIDANA
LINGKUNGAN

Satrio Putro Wihanto


S.H.,M.H.,C.L.A

HKUM 4311/ 3 SKS


KEGIATAN BELAJAR 1
 Pengantar Tindak Pidana Lingkungan
 Permasalahan Penegakan Hukum Lingkungan
 Dimensi Kriminalitas Di Bidang Lingkungan Hidup
 Beberapa Pandangan/Pemikiran Upaya Penanggulangan Tindak
Pidana Lingkungan Hidup Dengan Hukum Pidana
KEGIATAN BELAJAR 2
 Pertanggung jawaban Tindak Pidana Lingkungan
 Kebijakan Formulasi Pertanggung Jawaban Pidana Dalam UU No
23 Tahun 1997 Jo UU No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
 Pertanggungjawaban Pidana korporasi/Badan Hukum Yang
melakukan Tindak Pidana Lingkungan
 Kebijakan Formulasi Perumusan Sanksi Pidana Dalam Undang-
Undang No 23 Tahun 1997 Jo Undang-Undang No 32 Tahun 2009
 Kebijakan Formulasi Perumusan Sanksi Pidana Dalam Undang-
Undang No 23 Tahun 1997 Jo Undang-Undang No 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
 Jumlah (lamanya) Sanksi Dan Sistem Ancaman Sanksi
Membutuhkan peran hukum untuk mengatur keseimbangan kehidupan makhluk hidup dengan
lingkungan hidup di muka bumi, oleh karenya peranan hukum sangat penting.
PERMASALAHAN PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN

Secara makro kondisi penegakan hukum lingkungan saat ini belum sesuai dengan
yang diharapkan Permasalahan lingkungan hidup cenderung makin menumpuk, rumit
bahkan mengarah jadi sumber ancaman ketentraman. Penegakan hukum lingkungan
masih menjadi wacana birokrat/pemerintah, belum menuju pada tindakan konkrit:
Kurang berhasilnya penegakan hukum lingkungan juga disebabkan karena adanya
penyimpangan pada proses penegakan hukum lingkungan, hal ini dapat dilihat pada
aplikasi Pasal 30 (2) Undang-Undang No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup yang menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa di luar
pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap tindak pidana
lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam undang-undang ini atau dengan kata lain
terhadap tindak pidana lingkungan hidup tidak dapat diselesaikan melalui ADR, tetapi
pada prateknya ketentuan Pasal 30 (2) Undang-Undang No 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup ini banyak dilanggar atau
disimpangi.
Masalah pokok daripada penegakan hukum sebenarnya terletak pada
faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut
mempunyai arti yang netral, sehingga dampak postif atau negatifnya
terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut (Andi
Sudirman Hamsah,2007:16-17) adalah :
1. Faktor hukumnya sendiri, yaitu undang-undangnya.
2. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun
yang menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan tempat hukum tersebut berlaku
atau diterapkan.
5. Faktor budayanya, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
DIMENSI KRIMINALITAS DI BIDANG LINGKUNGAN
HIDUP

 Perbuatan Pencemaran Lingkungan Hidup


Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup telah
merumuskan secara tegas tentang difinisi pencemaran lingkungan
sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka 12
 Perbuatan Perusakan Lingkungan Hidup
Perusakan lingkungan hidup perumusannya terdapat dalam
Pasal 1 angka 14 yaitu tindakan yang menimbulkan perubahan
langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau
hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi
lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan
DIMENSI KRIMINALITAS DI BIDANG LINGKUNGAN HIDUP

 Perbuatan Pencemaran Lingkungan Hidup


Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup telah merumuskan secara tegas tentang
difinisi pencemaran lingkungan sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka 12

 Perbuatan Perusakan Lingkungan Hidup


Perusakan lingkungan hidup perumusannya terdapat dalam Pasal 1 angka 14 yaitu tindakan
yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau
hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang
pembangunan berkelanjutan
PENGATURAN HUKUM LINGKUNGAN HIDUP

 Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 ke Undang-Undang 23 Tahun 1997

 Undang-Undang No 32 Tahun 2009  Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan


Hidup (PPLH)

Kejahatan Korporasi (Corporate Crime)


Menurut Mardjono Reksodiputro ada tiga sistem pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai
subjek tindak pidana yakni:
a. Pengurus korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah yang bertanggung jawab
b. Korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah yang bertanggung jawab
c. Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggung jawab
Tindak Pidana Lingkungan Hidup yang diatur dalam UU No 23 Tahun 1997 Jo UU No 32
Tahun 2009 (Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) tetapi juga
termasuk beberapa tindak pidana yang mempunyai dampak terhadap lingkungan hidup
yang diatur dalam :

1. UU No 11 Tahun 1974 tentang Pengairan


2. UU No 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia
3. UU No 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian
4. UU No 9 Tahun 1985 tentang Perikanan
5. UU No 5 Tahun 1990 tentang Koservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya
6. UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
7. PP No 22 Tahun 1982 tentang Tata Pengaturan Air
8. PP No 35 Tahun 1991 tentang Sungai
1. Adanya laporan darimasyarakat/pengaduan
atau petugas secara tertulis atau lisan
Tindak pidana di
bidang pelindungan
dan pengelolaan
lingkungan hidup 2. Tertangkap tangan oleh masyarakat atau
dapat diketahui  petugas

3. Diketahui langsung oleh Penyidik PPNSLH.


Jenis jenis tindak pidana lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan
UU No. 32 /2009 tentang PPLH (pasal 98 s/d 116):
1. Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan
dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau
kriteria baku kerusakan lingkungan hidup;
2. Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu
udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup;
3. Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku
mutu gangguan;
4. Setiap orang yang melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke
media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
atau izin lingkungan;
5. Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin;
6. Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sesuai
dengan ketentuan perundang- undangan;
7. Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan
hidup tanpa izin;
8. Setiap orang yang memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
LANJUTAN….
11. Setiap orang yang melakukan pembakaran Lahan;
12. Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin
lingkungan;
13. Setiap orang yang menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun
amdal;
14.Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi
dengan amdal dan Pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan
izin usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan;
15. Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan
terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan
perundang-undangan dan izin lingkungan;
16. Setiap orang yang memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan
informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar yang
diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum;
17. Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan
paksaan pemerintah; dan
18. Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau
menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau
UU NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN
PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP SEBAGAI UU PIDANA KHUSUS

Pengaturan ketentuan pidana dalam UU No. 32/2009 sebagai salah satu contoh
UU administratif yang bersanksi pidana dan ini digolongkan juga sebagai tindak
pidana khusus. Hukum Pidana yang dikodifikasikan adalah semua peraturan hukum
pidana yang dibukukan dalam suatu Kitab UU, seperti dalam KUHP atau KUHAP.
Sedangkan hukum pidana yang tidak dikodifikasikan adalah segala peraturan hukum
pidana yang letaknya di luar kodifikasi (di luar KUHP, KUHPM, KUHAP) dan tersebar
dalam berbagai
peraturan perundang-undangan.
Terhadap hukum pidana yang tidak dikodifikasikan ini terbagi dua,yaitu peraturan
perundang-undangan pidana yang sesungguhnya dan peraturan-peraturan hukum
pidana dalam undang-undang tersendiri. Peraturan atau UU Pidana dalam arti
sesungguhnya adalah UU yang menurut tujuannya bermaksud mengatur hak
memberi pidana dari Negara, jaminan dari
ketertiban hukum.
Kebijakan Formulasi Pertanggung
jawaban Pidana Korporasi Undangundang Nomor 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Pada saat dirumuskan, KUHP (1886) berpegang pada asas yang disebut dengan “societas/universitas
delinquere non potest” yang berarti bahwa badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana. Relevan
dengan masalah ini Muladi menyatakan bahwa: “Prinsip ini secara tersurat dan tersirat tercantum dalam
Pasal 51 (lama) WvS Belanda atau Pasal 59 KUHP yang berbunyi: ‘jika ditentukan pidana karena
pelanggaran bagi pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris, maka pidana itu tidaklah dijatuhkan
atas anggota pengurus atau komisaris, jika terang bahwa pelanggaran itu terjadi bukan karena
kesalahannya’. Baik aliran klasik (daad-strafrecht), aliran modern (dader-strafrecht), maupun aliran neo-
klasik (daaddaderstrafrecht) melihat individu sebagai pelaku atau subyek hukum sentral” Apabila
diperhatikan, perkembangan peraturan perundang-undangan di luar KUHP telah mengalami pergeseran
yang sangat pesat dengan dapat dipertanggungjawabkannya korporasi, dan disebutkannya secara eksplisit
bahwa korporasi sebagai subjek tindak pidana, meskipun menggunakan berbagai cara penyebutan dan juga
model pertanggungjawaban terlihat belum seragam.
KEBIJAKAN FORMULASI PERUMUSAN SANKSI PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NO 23
TAHUN 1997 Jo UNDANG-UNDANG No 32 TAHUN 2009

 Sanksi Pidana
Jenis sanksi pidana yang digunakan hanya pidana pokok berupa
pidana penjara dan denda, tidak dicantumkannya pidana kurungan
pembentukan undang-undang No 23 Tahun 1997 Jo Undang-
Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup dikualifikasikan sebagai kejahatan.

 Sanksi Tindakan Tata Tertib


2 (dua) jenis sanksi, yang
Selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam kitab
dapat dikenakan terhadap
pelaku tindak pidana Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang ini, terhadap
lingkungan hidup yaitu: pelaku tindak pidana lingkungan hidup dapat pula dikenakan
tindakan tata tertib berupa
1. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana
dan/atau
2. Penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan dan/atau;
3. Perbaikan akibat tindak pidana dan/atau;
4. Mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak;
dan/atau
5. Meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan atau
Hal lain yang member jalan bagi berkembangnya UU Pidana Khusus adalah
ketentuan Pasal 103 KUHP dan Pasal 284 KUHAP. Pada Pasal 103 KUHP
(Aturan Penutup) disebutkan bahwa “Ketentuan-ketentuan dalam Bab I
sampai dengan Bab VII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan
yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan
pidana, kecuali jika undang-undang ditentukan lain. Selain itu Pasal 284
ayat (2) KUHAP menyatakan Dalam waktu dua tahun setelah undang-
undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan
ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara
mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada
undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan
tidak berlaku lagi”.
Mengenai Sifat Pertanggungjawaban Korporasi (Badan Hukum) Dalam
Hukum Pidana Terdapat Beberapa Cara Atau Sistem Perumusan Yang
Ditempuh Undang-undang, Yaitu:

1. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurusnya yang bertanggung jawab


(Dalam hal pengurus korporasi sebagai pembuat (pelaku) dan penguruslah
bertanggung jawab kepada pengurus dibebankan kewajibankewajiban tertentu, yang
dibebankan kepada korporasi. Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban itu diancam
dengan pidana dan memiliki suatu alasan yang menghapuskan pidana. Dasar
pemikirannya yaitu korporasi itu sendiri tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap
pelanggaran, melainkan penguruslah yang melakukan tindak pidana dan diancam
pidana serta dipidana.
2. Korporasi Sebagai Pembuat dan Pengurus Bertanggung Jawab (Dalam hal
korporasi sebagai pembuat (pelaku) dan pengurus yang bertanggung jawab,
dipandang dilakukan oleh korporasi yang menurut wewenang berdasarkan anggaran
dasarnya. Sifat dari perbuatan yang menjadikan tindak pidana itu adalah
onpersoonlijk. Orang yang memimpin korporasi bertanggung jawab pidana, terlepas
dari apakah ia tahu atau tidak tentang dilakukannya perbuatan itu.
3. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab
motivasinya adalah dengan memperhatikan perkembangan korporasi itu sendiri.
Ditetapkannya pengurus saja sebagai yang dapat dipidana ternyata tidak cukup
karena badan hukum menerima keuntungan dan masyarakat sangat menderita
kerugian atas tindak terlarang tersebut.
Jumlah Atau Lamanya Hukuman Dan Sistem Ancaman Pidananya

Delik inti atau delik utama menurut UU No. 32/2009 adalah delik pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup dengan lamanya hukuman bervariasi untuk hukuman penjara antara 1 sampai 15 tahun
dan denda antara 500 juta rupiah sampai dengan 15 milyar rupiah. Dibandingkan dengan ancaman
hukuman yang terdapat dalam UU No. 23/1997, maka pencantuman hukuman pokok dalam UU No.
32/2009 ini sangat berat.
Dari sudut sistem ancaman pidananya, meski seperti UU No. 23/1997 yang menganut sistem
perumusan pidana secara komulatif (hukuman pokok dapat dijatuhkan bersamaan, misalnya hukuman
penjara dengan denda) namun ada sedikit perbedaan, yaitu disebutkannya ancaman hukuman minimal
dan maksimal. Sementara dalam UU No. 23/1997 hanya menyebutkan hukuman maksimal saja baik
untuk hukuman pokok penjara ataupun denda (menganut sistem perumusan seperti dalam KUHP).
Dengan dicantumkannya hukuman minimal tersebut, maka menjadi batasan bagi hakim untuk
memutuskan menghukum pelaku tindak pidana lingkungan hidup diatas hukuman minimal atau sama
dengan hukuman minimal.
Sistem perumusan hukuman yang bersifat kumulatif dalam UU No. 32/2009 mempunyai kelemahan
karena bersifat imperatif. Sifat imperatif – kumulatif tidak memberi keleluasaan pada hakim untuk memilih
dan sulit diterapkan apabila hakim akan menjatuhkan pidana kepada pelaku sebagai korporasi atau
badan hukum, bukan sebagai yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin.
SELAMAT BELAJAR

Anda mungkin juga menyukai