Pidana
Lingkungan
Secara makro kondisi penegakan hukum lingkungan saat ini belum sesuai dengan
yang diharapkan Permasalahan lingkungan hidup cenderung makin menumpuk, rumit
bahkan mengarah jadi sumber ancaman ketentraman. Penegakan hukum lingkungan
masih menjadi wacana birokrat/pemerintah, belum menuju pada tindakan konkrit:
Kurang berhasilnya penegakan hukum lingkungan juga disebabkan karena adanya
penyimpangan pada proses penegakan hukum lingkungan, hal ini dapat dilihat pada
aplikasi Pasal 30 (2) Undang-Undang No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup yang menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa di luar
pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap tindak pidana
lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam undang-undang ini atau dengan kata lain
terhadap tindak pidana lingkungan hidup tidak dapat diselesaikan melalui ADR, tetapi
pada prateknya ketentuan Pasal 30 (2) Undang-Undang No 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup ini banyak dilanggar atau
disimpangi.
Masalah pokok daripada penegakan hukum sebenarnya terletak pada
faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut
mempunyai arti yang netral, sehingga dampak postif atau negatifnya
terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut (Andi
Sudirman Hamsah,2007:16-17) adalah :
1. Faktor hukumnya sendiri, yaitu undang-undangnya.
2. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun
yang menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan tempat hukum tersebut berlaku
atau diterapkan.
5. Faktor budayanya, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
DIMENSI KRIMINALITAS DI BIDANG LINGKUNGAN
HIDUP
Pengaturan ketentuan pidana dalam UU No. 32/2009 sebagai salah satu contoh
UU administratif yang bersanksi pidana dan ini digolongkan juga sebagai tindak
pidana khusus. Hukum Pidana yang dikodifikasikan adalah semua peraturan hukum
pidana yang dibukukan dalam suatu Kitab UU, seperti dalam KUHP atau KUHAP.
Sedangkan hukum pidana yang tidak dikodifikasikan adalah segala peraturan hukum
pidana yang letaknya di luar kodifikasi (di luar KUHP, KUHPM, KUHAP) dan tersebar
dalam berbagai
peraturan perundang-undangan.
Terhadap hukum pidana yang tidak dikodifikasikan ini terbagi dua,yaitu peraturan
perundang-undangan pidana yang sesungguhnya dan peraturan-peraturan hukum
pidana dalam undang-undang tersendiri. Peraturan atau UU Pidana dalam arti
sesungguhnya adalah UU yang menurut tujuannya bermaksud mengatur hak
memberi pidana dari Negara, jaminan dari
ketertiban hukum.
Kebijakan Formulasi Pertanggung
jawaban Pidana Korporasi Undangundang Nomor 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pada saat dirumuskan, KUHP (1886) berpegang pada asas yang disebut dengan “societas/universitas
delinquere non potest” yang berarti bahwa badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana. Relevan
dengan masalah ini Muladi menyatakan bahwa: “Prinsip ini secara tersurat dan tersirat tercantum dalam
Pasal 51 (lama) WvS Belanda atau Pasal 59 KUHP yang berbunyi: ‘jika ditentukan pidana karena
pelanggaran bagi pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris, maka pidana itu tidaklah dijatuhkan
atas anggota pengurus atau komisaris, jika terang bahwa pelanggaran itu terjadi bukan karena
kesalahannya’. Baik aliran klasik (daad-strafrecht), aliran modern (dader-strafrecht), maupun aliran neo-
klasik (daaddaderstrafrecht) melihat individu sebagai pelaku atau subyek hukum sentral” Apabila
diperhatikan, perkembangan peraturan perundang-undangan di luar KUHP telah mengalami pergeseran
yang sangat pesat dengan dapat dipertanggungjawabkannya korporasi, dan disebutkannya secara eksplisit
bahwa korporasi sebagai subjek tindak pidana, meskipun menggunakan berbagai cara penyebutan dan juga
model pertanggungjawaban terlihat belum seragam.
KEBIJAKAN FORMULASI PERUMUSAN SANKSI PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NO 23
TAHUN 1997 Jo UNDANG-UNDANG No 32 TAHUN 2009
Sanksi Pidana
Jenis sanksi pidana yang digunakan hanya pidana pokok berupa
pidana penjara dan denda, tidak dicantumkannya pidana kurungan
pembentukan undang-undang No 23 Tahun 1997 Jo Undang-
Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup dikualifikasikan sebagai kejahatan.
Delik inti atau delik utama menurut UU No. 32/2009 adalah delik pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup dengan lamanya hukuman bervariasi untuk hukuman penjara antara 1 sampai 15 tahun
dan denda antara 500 juta rupiah sampai dengan 15 milyar rupiah. Dibandingkan dengan ancaman
hukuman yang terdapat dalam UU No. 23/1997, maka pencantuman hukuman pokok dalam UU No.
32/2009 ini sangat berat.
Dari sudut sistem ancaman pidananya, meski seperti UU No. 23/1997 yang menganut sistem
perumusan pidana secara komulatif (hukuman pokok dapat dijatuhkan bersamaan, misalnya hukuman
penjara dengan denda) namun ada sedikit perbedaan, yaitu disebutkannya ancaman hukuman minimal
dan maksimal. Sementara dalam UU No. 23/1997 hanya menyebutkan hukuman maksimal saja baik
untuk hukuman pokok penjara ataupun denda (menganut sistem perumusan seperti dalam KUHP).
Dengan dicantumkannya hukuman minimal tersebut, maka menjadi batasan bagi hakim untuk
memutuskan menghukum pelaku tindak pidana lingkungan hidup diatas hukuman minimal atau sama
dengan hukuman minimal.
Sistem perumusan hukuman yang bersifat kumulatif dalam UU No. 32/2009 mempunyai kelemahan
karena bersifat imperatif. Sifat imperatif – kumulatif tidak memberi keleluasaan pada hakim untuk memilih
dan sulit diterapkan apabila hakim akan menjatuhkan pidana kepada pelaku sebagai korporasi atau
badan hukum, bukan sebagai yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin.
SELAMAT BELAJAR