Anda di halaman 1dari 9

DAFTAR PUSTAKA

Daftar Buku
Muhamad Erwin, Hukum Lingkungan : Dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan
Hidup, Cetakan ketiga,  Bandung, PT. Refika Aditama, 2011
Sudikno, Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1988

Daftar Undang-Undang
Undang-Undang No. 32 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Undang-Undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 tentang pengelolaan Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun (Peraturan Pemerintah Limbah B3)

Peraturan Pemerintah No. 85 Tahun 1999 Tentang Limbah B3

Keputusan Presiden No.61 Tahun 1993 tetang Ratifikasi Konvensi Basel 1989

Keputusan Menteri Perdagangan No. 394/Kp/XI/92 tentang Larangan Impor Limbah Plastik.

Daftar Internet
www.detik.com (sungai dan sumur tercemar limbah, warga semarang geruduk pabrik
minuman), diakses tanggal 29 April 2014
https://www.negarahukum.com/hukum/pengertian-pencemaran-lingkungan.html

https://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_lingkungan_di_Indonesia#:~:text=Tonggak%20sejarah
%20pengaturan%20Hukum%20Lingkungan,dengan%20Undang%2DUndang%20Lingkungan
%20Hidup.

[1]Lihat, Penjelasan Umum Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan


Lingkungan Hidup
[2] Sudikno, Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta,
1988, hlm. 134-135.
[3] Lihat, Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkunagan Hidup.
[4] Lihat, Pasal 1 angka 14 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkunagan Hidup.

[5] www.detik.com (sungai dan sumur tercemar limbah, warga semarang geruduk pabrik


minuman), diakses tanggal 29 April 2014
[6] Lihat, pasal 69 ayat 1 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkunagan Hidup.
[7] Lihat, pasal 54 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkunagan Hidup.

[8] Lihat, Pasal 59 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkunagan Hidup.

[9] Muhamad Erwin, Hukum Lingkungan : Dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan


Lingkungan Hidup, Cetakan ketiga,  Bandung, PT. Refika Aditama, 2011, hlm. 37.
[10]Ibid., hlm. 113.
[11]Ibid., hlm. 117.
[12]Ibid.
[13]Ibid., hlm. 118.

A.  Pengertian
Hukum lingkungan dalam bidang ilmu hukum, merupakan salah satu bidang ilmu
hukum yang paling strategis karena hukum lingkungan mempunyai banyak segi yaitu
segi hukum administrasi, segi hukum pidana, dan segi hukum perdata. Dengan demikian,
tentu saja hukum lingkungan memiliki aspek yang lebih kompleks. Sehingga untuk
mendalami hukum lingkungan itu sangat mustahil apabila dilakukan seorang diri, karena
kaitannya yang sangat erat dengan segi hukum yang lain yang mencakup pula hukum
lingkungan di dalamnya.
Dalam pengertian sederhana, hukum lingkungan diartikan sebagai hukum yang
mengatur tatanan lingkungan (lingkungan hidup), di mana lingkungan mencakup semua
benda dan kondisi, termasuk di dalamnya manusia dan tingkah perbuatannya yang terdapat
dalam ruang di mana manusia berada dan memengaruhi kelangsungan hidup serta
kesejahteraan manusia serta jasad-jasad hidup lainnya. Dalam pengertian secara modern,
hukum lingkungan lebih berorientasi pada lingkungan atau Environment-Oriented Law,
sedang hukum lingkungan yang secara klasik lebih menekankan pada orientasi penggunaan
lingkungan atau Use-Oriented Law.
Pengertian hukum lingkungan menurut UU No 32 tahun 2009
Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan
makhluk hidup,termasuk manusia dan perilakunya, yangmempengaruhi alam itu sendiri,
kelangsunganperikehidupan, dan kesejahteraan manusia sertamakhluk hidup lain

Hukum Lingkungan Modern


Dalam hukum lingkungan modern, ditetapkan ketentuan dan norma-norma guna
mengatur tindak perbuatan manusia dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dari
kerusakan dan kemerosotan mutunya demi untuk menjamin kelestariannya agar dapat secara
langsung terus-menerus digunakan oleh generasi sekarang maupun generasi-generasi
mendatang. Hukum Lingkungan modern berorientasi pada lingkungan, sehingga sifat dan
waktunya juga mengikuti sifat dan watak dari lingkungan itu sendiri dan dengan demikian
lebih banyak berguru kepada ekologi. Dengan orientasi kepada lingkungan ini, maka Hukum
Lingkungan Modern memiliki sifat utuh menyeluruh atau komprehensif integral, selalu
berada dalam dinamika dengan sifat dan wataknya yang luwes.
Hukum Lingkungan Klasik
Sebaliknya Hukum Lingkungan Klasik menetapkan ketentuan dan norma-norma
dengan tujuan terutama sekali untuk menjamin penggunaan dan eksploitasi sumber-sumber
daya lingkungan dengan berbagai akal dan kepandaian manusia guna mencapai hasil
semaksimal mungkin, dan dalam jangka waktu yang sesingkat-singkatnya. Hukum
Lingkungan Klasik bersifat sektoral, serta kaku dan sukar berubah. Mochtar
Kusumaatmadjamengemukakan, bahwa sistem pendekatan terpadu atau utuh harus
diterapkan oleh hukum untuk mampu mengatur lingkungan hidup manusia secara tepat dan
baik, sistem pendekatan ini telah melandasi perkembangan Hukum Lingkungan di Indonesia.
Drupsteenmengemukakan, bahwa Hukum Lingkungan (Millieu recht) adalah hukum
yang berhubungan dengan lingkungan alam (Naturalijk milleu) dalam arti seluas-luasnya.
Ruang lingkupnya berkaitan dengan dan ditentukan oleh ruang lingkup pengelolaan
lingkungan. Mengingat pengelolaan lingkungan dilakukan terutama oleh Pemerintah, maka
Hukum Lingkungan sebagian besar terdiri atas Hukum Pemerintahan (bestuursrecht).
Hukum Lingkungan merupakan instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan hidup,
dengan demikian hukum lingkungan pada hakekatnya merupakan suatu bidang hukum yang
terutama sekali dikuasai oleh kaidah-kaidah hukum tata usaha negara atau hukum
pemerintahan. Untuk itu dalam pelaksanaannya aparat pemerintah perlu memperhatikan
“Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik” (Algemene Beginselen van Behoorlijk
Bestuur/General Principles of Good Administration). Hal ini dimaksudkan agar dalam
pelaksanaan kebijaksanaannya tidak menyimpang dari tujuan pengelolaan lingkungan hidup.
B.  Tujuan Lingkungan hidup:
1.      Melindungi wilayah Negara Kesatuan RepublikIndonesia dari pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup.
2.      Menjamin keselamatan, kesehatan dan kehidupan manusia
3.      Menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem    
4.      Menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup
5.      Mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup
6.      Menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan
7.      Menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak
asasi manusia.
8.      Mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam.
9.      Mewujudkan pembangunan berkelanjutan
10.  Mengantisipasi isu lingkungan global

C.  Pengawasan dan penegakan hukum

Pengawasan:
1.    Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan
pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan
yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.
2.    Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dapat mendelegasikan kewenangannya dalam
melakukan pengawasan kepada pejabat/instansi teknis yang bertanggung jawab di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
3.    Dalam melaksanakan pengawasan, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menetapkan
pejabat pengawas lingkungan hidup yang merupakan pejabat fungsional.
4.    Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan
pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap izin lingkungan.
5.    Menteri dapat melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan yang izin lingkungannya diterbitkan oleh pemerintah daerah jika Pemerintah
menganggap terjadi pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.
6.    Pejabat pengawas lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3)
berwenang:
      a.  melakukan pemantauan
      b.  meminta keterangan
c.  membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat catatan yang diperlukan
d. memasuki tempat tertentu
e.  memotret
f.  membuat rekaman audio visual
g. mengambil sampel
h. memeriksa peralatan
i.  memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi dan/atau
j.  menghentikan pelanggaran tertentu.
7.  Dalam melaksanakan tugasnya, pejabat pengawas lingkungan hidup dapat melakukan
koordinasi dengan pejabat penyidik pegawai negeri sipil.
8. Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang menghalangi pelaksanaan tugas
pejabat pengawas lingkungan hidup.
9. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan pejabat pengawas lingkungan
hidup dan tata cara pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3),
Pasal 73, dan Pasal 74 diatur dalam Peraturan Pemerintah

D.  Penegakan hukum dibidang lingkungan hidup dapat diklasifikasikan kedalam 3 (tiga)


kategori yaitu :
1.      Penegakan hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Administrasi / Tata Usaha
Negara.
2.      Penegakan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Perdata.
3.      Penegakan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Pidana.

            Upaya penegakan sanksi administrasi oleh pemerintah secara ketata dan konsisten
sesuai dengankewenangan yang ada akan berdampak bagi penegakan hukum, dalam rangkan
menjaga kelestarianfungsi lingkungan hidup. Sehubungan dengan hal ini, maka penegakan
sanksi administrasimerupakan garda terdepan dalan penegakan hukum lingkungan (primum
remedium). Jika sanksi administrasi dinilai tidak efektif, berulan dipergunakan sarana sanksi
pidana sebagai senjatapamungkas (ultimum remedium)
           Ini berarti bahwa kegiatan penegakan hukum pidana terhadap suatu tindak pidana
lingkungan hidupbaru dapat dimulai apabila : Aparat yang berwenang telah menjatuhkan
sanksi administrasi dantelah menindak pelanggar degan menjatuhkan suatu sanksi
administrasi tesebut, namun ternyatatidak mampu menghentikan pelanggaran yang terjadi,
atau antara perusahaan yang melakukanpelanggaran dengan pihak masyarakat yang menjadi
korban akibat terjadi pelanggaran, sudahdiupayakan penyelesaian sengketa melalui
mekanisme altenatif di luar pengadilan dalam bentukmusyawarah / perdamaian / negoisasi /
mediasi, namun upaya yang dilakukan menemui jalan buntu,dan atau litigasi melalui
pengadilan pedata, namun upaya tersebut juga tidak efektif, baru dapatdigunakan instrumen
penegakan hukum pidana lingkungan hidup
Kewenangan pemerintah untuk mengatur merupakan suatu hal yang telah ditetapkan
oleh Undang-Undang. Dari sisi Hukum Administrasi Negara, kewenangan ini di sebut
dengan kewenagan atribusi(Atributive bevoeghdheid), yaitu kewenangan yang melekat pada
badan-badan pemerintah yangdiperoleh dari Udang-Undang. Sehingga badan-badan
pemerintah tersebut dengan demikian memiliikewenangan untuk melaksanakan ketentuan
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997.Dengan demikian, badan-badan pemerintah
yang berwenang meiliki legitimasi (kewenanganbertindak dalam pengertian politik) untuk
menjalankan kewenangan hukumnya. Karena masalahlegitimasi adalah persoalan
kewenangan yaitu kewenangan menerapkan sanksi seperti pengawasandan pemberian sanksi
yang merupakan suatu tugas pemerintah seperti yang diamanatkan olehundang-undang.
Dalam hal pengawasan dilakukan oleh suatu lembaga yang dibentuk khusus
olehpemerintah.Sanksi administrasi merupakan kewenangan pemerintah provinsi yang dapat
dilimpahkan kepadaPemerintah Kabupaten / Kota, hal ini dapat tercantum dalam pasal 25
Undang-Undang Nomor 23tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang
berbunyi :Gubernur / Kepala Daerah Tingkat I berwenang melakukan paksaan pemerintahan
terhadappenanggung jawab usaha dan / atau kegiatan untuk mencegah dan mengakhiri
terjadinyapelanggaran, serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran,
melakukantindakan penyelamatan, penanggulangan, dan / atau pemulihan atas beban biaya
penanggung jawabusaha dan /atau kegiatan, kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-
Undang.
Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diserahkan kepada Bupati/
Walikotamadya/ kepala Daerah Tingkat II dengan Peraturan Daerah Tingkat I.Pihak ke-tiga
yang berkepentingan berhak mengajukan permohonan kepada pejabat yangberwenang untuk
melakukan paksaan pemerintahan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat(2).Peksaan
pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) didahulukan dengan
suratperintah dari pejabat berwenang.Tindakan penyelamatan, penanggulangan dan/atau
pemulihansebagaimana dimaksud pada ayat (1)dapat diganti dengan pembayaran uang
tertentu.Kemampuan daya dukung lingkungan hidup terdapat beban pencemaran mempunyai
keterbatasan.
Apabila kondisi ini dibiarkan akan berdampak terhadap kehidupan manusia. Oleh
karena itupenegakan hukum adminitrasi oleh lembaga pemerintah harus dilaksanakan.Sanksi-
sanksi hukum adminitrasi yang khas Manusia adalah sebagian dari ekosistem, manusia adalah
pengelola pula dari sistem tersebut.Kerusakan lingkungan adalah pengaruh sampingan dari
tindakan manusia untuk mencapai suatutujuan yang mempunyai konsekuensi terhadap
lingkungan. Pencemaran lingkungan adalah akibatdari ambiguitas tindakan manusia.
Kewajiban pengusaha untuk melakukan pengendalianpencemaran lingkungan hidup
adalah salah satu syarat dalam pemberian izin usaha maka pengusahadapat dimintakan
pertanggungjawaban jika dia lalai dalam menjalankan kewajibannya.Teerdapat beberapa
sanksi khas yang terkadang digunakan pemerintah dalam penegakan hokumlingkungan,
diantaranya Bestuursdwang. Bestuursdwang (paksaan pemerintahan) diuraikan
sebagaitindakan-tindakan yang nyata dari pengusaha guna mengakhiri suatu keadaan yang
dilarang olehsuatu kaidah hukum administrasi atau (bila masih) melakukan apa yang
seharusnya ditinggalkan olehpara warga karena bertentangan dengan undang-undang.
Penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang menguntungkan (izin pembayaran, subsidi).
Penarikan kembali suatu keputusan yangmenguntungkan tidak selalu perlu didasarkan pada
suatu peraturan perundang-undangan. Hal initidak termasuk apabila keputusan(ketetapan)
tersebut berlaku untuk waktu yang tidak tertentu danmenurut sifanya "dapat diakhiri" atau
diatrik kembali (izin, subsidi berkala)

E. Ada Beberapa Faktor Penghambat Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia


1. Kurangnya Sosialiasi Kepada Masyarakat Terkait Hukum Lingkungan
Jelas, penegakan hukum lingkungan ini pun jauh lebih rumit dari pada delik lain,
karena seperti telah dikemukakan sebelumnya hukum lingkungan menempati titik silang
berbagai pendapat hukum klasik. Proses penegakan hukum administratif akan lain dari pada
proses penegakan hukum perdata maupuan hukum pidana. Menurut Hamzah (2005:51) pada
umumnya masalah dimulai pada satu titik, yaitu terjadinya pelanggaran hukum lingkungan.
Dari titik perangkat ini dapat dimulai dari orang pribadi anggota masyarakat, korban penegak
hukum yang mengetahui langsung terjadinya pelanggaran tanpa adanya laporan atau
pengaduan.
Tujuan tempat pelapor kepada Bapedal LSM atau organisasi lingkungan hidup jika
ingin memilih jalan perdata terutama tuntutan perbuatan melanggar hukum dapat melakukan
gugatan sendiri kepada hakim perdata atas nama masyarakat (algemen belang,
maatschappelijk belang). Jika mereka kurang mampu memikul biaya perkara, berdasarkan
Pasal 25 Keppres Nomor 55 tahun 1991, dapat meneruskan kepada jaksa yang akan
menggugat perdata atas nama kepentingan umum atau kepentingan masyarakat. Di kejaksaan
terdapat bidang khusus untuk ini, yaitu Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara
(Hamzah, 2005:51).
Disamping itu, jika anggota masyarakat, korban, LSM, organisasi lingkungan hidup,
bahkan siapa saja dapat membuat laporan pidana kepada polisi. Siapa pun juga mengetahui
terjadinya kejahatan wajib melapor kepada penyidik. Dari kepolisian dapat diminta petunjuk
jaksa secara teknis yuridis. Jalur ini jelas hukum pidana. Akan tetapi, jaksa masih dapat
menyelesaikan berdasarkan azas oportunitas, baik dengan syarat maupun tanpa syarat. Jika
semua jalur akan ditempuh berhubung pelanggaran telah demikian serius dan menyinggung
semua dimensi, misalnya melanggar syarat-syarat suatu izin menimbulkan kerugian finansial
kepada orang atau masyarakat, lagi pula ia seorang residiv bahkan telah menimbulkan korban
luka atau mati, penegak hukum dan yang berkepentingan melakukan tugasnya. Agar sanksi
yang dijatuhkan tidak tumpang tindih misalnya denda (berdasarkan sanksi administratif dan
pidana) maka penegak hukum perlu bermusyawarah sehingga tindakan yang dilakukan
masing-masing terkoordinasi dengan baik.

2. Kendala Dalam Pembuktian


Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia tidak hanya
memberikan dampak positif, tetapi juga dampak negatif (misalnya terjadinya pencemaran).
Produsen tidak memasukkan eksternalitas sebagai unsur biaya dalam kegiatannya, sehingga
pihak lain yang dirugikan. Hal ini akan merupakan kendala pada era tinggal landas, karena
kondisi ini berkaitan dengan perlindungan terhadap hak untuk menikmati lingkungan yang
baik dan sehat. Masalah pencemaran ini jika tidak ditanggulangi akan mengancam kelestarian
fungsi lingkungan hidup.
Di sepanjang Kali Surabaya terdapat sekitar 70 industri yang punya andil membuang
limbah ke badan sungai tersebut. Permasalahan ini menjadi semakin mendapat perhatian
dengan dibangunnya instalasi Pengelolaan Air Minum (PAM) di wilayah Karang Pilang yang
merupakan proyek peningkatan kapasitas pengelolaan air minum untuk mencukupi
kebutuhan air minum di Surabaya atas bantuan Bank Dunia. Pada tahun1988, dua diantara 70
perusahan/industri yang diduga memberikan kontribusi pencemaran terhadap Kali Surabaya
diajukan ke pengadilan. Kedua perusahaan ini adalah PT Sidomakmur yang memproduksi
Tahu dan PT Sidomulyo sebagai perusahaan peternakan babi. Limbah dari kedua perusahaan
ini dialirkan ke kali Surabaya, dan diperkirakan telah menyebabkan terjadinya pencemaran
lingkungan hidup. Untuk dapat membuktikan bahwa suatu perbuatan telah menimbulkan
pencemaran perlu penyidikan, penyidikan ini dilakukan oleh aparat POLRI.
Untuk itu di samping diperlukan kemampuan dan keuletan setiap petugas, juga
diperlukan suatu model yang dapat digunakan untuk menentukan apakah suatu perbuatan
telah memenuhi unsur pasal (Pasal 22 UU No. 4 Tahun 1982), seperti halnya dengan kasus
Kali Surabaya. Polisi (penyidik) dalam penyidikan berkesimpulan bahwa telah terjadi
pencemaran karena kesengajaan, sehingga perkara ini diajukan ke Pengadilan Negeri
Sidoardjo, tetapi hakim memutuskan bahwa tidak terjadi pencemaran. Sedangkan pada
tingkat Mahkamah Agung menilai bahwa Hakim Pengadilan Negeri Sidoardjo salah
menerapkan hukum, selanjutnya MA memutuskan bahwa perbuatan tersebut terbukti secara
sah dan menyakinkan mencemari lingkungan hidup karena kelalaian. Perbedaan ini
menunjukkan bahwa permasalahan lingkungan hidup merupakan permasalahan kompleks,
rumit dalam segi pembuktian dan penerapan pasal, serta subyektifitas pengambil keputusan
cukup tinggi, sehingga perlu suatu media untuk menyederhanakan, memudahkan dan
meminimisasi unsur subyektifitas.

3. Infrastruktur Penegakan Hukum


Kesulitan utama yang kerap dinyatakan oleh pemerintah atau aparat penegak hukum
dalam mengatasi pembakaran hutan adalah minimnya aparat pemantau, atau minimnya alat
bukti. Dalam hal tertangkap tangan maka yang dijerat adalah para operator yang notabene
adalah pekerja harian. Perusahaan selalu dapat lepas dari jeratan hukum. Kompleksitas
masalah pembakaran hutan bukan tanpa jalan keluar. Negara harusnya memiliki power untuk
mencabut izin operasi atau konsesi atas perusahaan yang di kawasannya terdapat titik api.
Hanya ada dua kemungkinan jika terjadi kebakaran di dalam satu konsesi kehutnan atau
perkebunan, yaitu mereka sengaja membakar atau mereka tidak serius menjaga kawsannya
agar bebas dari kebakaran. Jika ada kekuasaan pemerintah seperti itu, maka dapat dipastikan
angka pembakaran hutan akan turus secara drastis. Untuk itu diperlukan suatu aturan hukum
berupa Peraturan Pemerintah atau Perpu, karena aturan hukum yang ada saat ini belumlah
memadai.

4. Budaya Hukum yang Masih Buruk


Pada beberapa kasus, kejahatan lingkungan terjadi karena masih kentalnya budaya
korupsi, kolusi dan nepotisme antara perusahaan-perusahaan, pemerintah maupun DPR.
Lobi-lobi illegal masih sering terjadi. Misalnya proyek pengadaan barang dan jasa di
Lingkungan Bandan Lingkungan Hidup (BLH) Sidoarjo tahun anggaran 2008 lalu terdakwa
bersekongkol dengan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Hasan Basri (Didakwa dengan kasus
yang sama) memperkaya diri sendiri sehingga merugikan keuangan negara sebesar Rp 193
juta lebih.
Kasus lainnya adalah dugaan korupsi penanaman pohon senilai Rp473,9 juta yang
menggunakan dana APBD 2006, ke Pengadilan Negeri (PN) Depok. Kasus tersebut
melibatkan Asep Suganda, yang saat ini menjabat sebagai Kabid Tata Bangunan, Dinas Tata
Kota dan Bangunan (Distakotbang). Dikatakannya, tersangka Asep diduga menyelewengkan
dana untuk penanaman 5.000 batang pohon di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung senilai
Rp223,9 juta, serta Rp250 juta untuk penanaman 1.250 pohon di Taman Hutan Rakyat
(Tahura). Memang bukanlah pekerjaan yang mudah untuk memberantas praktek KKN yang
kerapkali terjadi, namun bukanlah tidak mungkin

F.  Sejarah Singkat Hukum Lingkungan

          Dasawarsa tahun 1970-an merupakan awal permasalahan lingkungan secara global


yang ditandai dengan dilangsungkannya Konferensi Stockholm tahun 1972 yang
membicarakan masalah lingkungan (UN Coference on the Human Environment,UNCHE).
Konferensi yang diselenggarakan oleh PPB ini berlangung dari tanggal 5-12 juni 1972,
akhirnya tanggal 5 juli ditetapkan sebagai hari lingkungan hidup sedunia. Pada 1987
terbentuk sebuah komisi dunia yang disebut dengan Komisi Dunia tentang Lingkungan
Hidup dan Pembangunan (World Commission on Environment and Development)   yang
kemudian lahir konsep sustainable development, kemudian majelis umum PPB memutuskan
untuk menyelenggarakan konferensi di Rio de Janeiro, Brasil 1992.
           Kesadaran bangsa – bangsa di Asia Tenggara untuk melaksanakan perlindungan dan
pelestarian lingkungan hidup ditandai dengan adanya beberapa kerja sama antara mereka.
Kerja sama itu antara lain dapat dilihat melalui “tripartite Agreement” dan Deklarasi Manila.
Setelah Deklarasi Manila, negara – negara ASEAN pada tahun 1976 telah menyusun ASEAN
Contingensy Plan. Negara – negara ASEAN juga telah menyusun “ Rencana
Tindak”  (Action Plan). Sasaran utama dari Rencana Tindak ini adalah perkembangan dan
perlindungan lingkungan laut dan kawasan dan kawasan pesisir bagi kemajuan,
kesejahteraan, dan kesehatan generasi sekarang dan masa mendatang.
           Sejak era 1980-an, berkembang tuntutan yang meluas agar kebijakan-kebijakan resmi
negara yang pro lingkungan dapat tercermin dalam bentuk perundang-undangan yang
mengingat untuk ditaati oleh semua pemangku kepentingan (stakeholder). Tak terkecuali,
Indonesia juga menghadapi tuntutan yang sama, yaitu perlunya disusun suatu kebijakan yang
dapat dipaksakan berlakunya dalam bentuk undang-undang tersendiri yang mengatur
mengenai lingkungan hidup.
           Itu juga sebabnya, maka Indonesia menyusun dan akhirnya menetapkan berlakunya
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UULH 1982). Inilah produk hukum pertama yang dibuat di Indonesia,
setelah sebelumnya dibentuk satu kantor kementerian tersendiri dalam susunan anggota
Kabinet Pembangunan III, 1978-1983. Menteri Negara Urusan Lingkungan Hidup yang
pertama adalah Prof. Dr. Emil Salim yang berhasil meletakkan dasar-dasar kebijakan
mengenai lingkungan hidup dan akhirnya dituangkan dalam bentuk undang-undang pada
tahun 1982.
           Lahirnya UULH 1982 tanggal 11 Maret 1982 dipandang sebagai pangkal tolak atau
awal dari lahir dan pertumbuhan hukum lingkungan nasional. Sebelum lahirnya UULH 1982
sesungguhnya telah berlaku berbagai bentuk peraturan perundang-undangan tentang atau
yang berhubungan dengan lingkungan hidup atau sumber daya alam dan sumber daya buatan,
yang dipandang sebagai rezim hukum nasional klasik. Rezim hukum lingkungan klasik
berisikan ketentuan-ketentuan yang melindungi kepentingan sektoral, sementara masalah-
masalah lingkungan yang timbul semakin kompleks sehingga peraturan perundang-undangan
klasik tidak mampu mengantisipasi dan menyelesaikan masalah-masalah lingkungan secara
efektif, sedangkan rezim hukum lingkungan modern yang dimulai lahirnya UULH 1982
berdasarkan pendekatan lintas sektoral atau komprehensif integral.
           UULH 1982 merupakan sumber hukum formal tingkat undang-undang yang pertama
dalam konteks hukum lingkungan modern di Indonesia. UULH 1982 memuat ketentuan-
ketentuan hukum yang menandai lahirnya suatu bidang hukum baru, yakni hukum
lingkungan karena ketentuan-ketentuan itu mengandung konsep-konsep yang sebelumnya
tidak dikenal dalam bidang hukum. Di samping itu, ketentuan-ketentuan UULH 1982
memberikan landasan bagi kebijakan pengelolaan lingkungan hidup.
           Akan tetapi, setelah UULH 1982 berlaku selama sebelas tahun ternyata oleh para
pemerhati lingkungan hidup dan juga pengambil kebijakan lingkungan hidup dipandang
sebagai instrumen kebijakan pengelolaan lingkungan hidup yang tidak efektif. Sejak
pengundangan UULH 1982 kualitas lingkungan hidup di Indonesia ternyata tidak semakin
baik dan banyak kasus hukum lingkungan tidak dapat diselesaikan dengan baik. Oleh sebab
itu, perlu dilakukan perubahan terhadap UULH 1982, setelah selama dua tahun dipersiapkan,
yaitu dari sejak naskah akademis hingga RUU, maka pada tanggal 19 September 1997
pemerintah mengundangkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UULH 1997).
           Selanjutnya, pada tanggal 3 Oktober 2009, pemerintah mengeluarkan Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UUPPLH), didalam kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam
kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, sehingga perlu dilakukan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh-sungguh dan konsisten oleh
semua pemangku kepentingan. Disebabkan juga pemanasan global yang semakin meningkat
dan mengakibatkan perubahan iklim, sehingga memperparah penurunan kualitas lingkungan
hidup.
           Setidaknya ada empat alasan mengapa UULH 1997 perlu untuk digantikan oleh
undang – undang yang baru. Pertama, UUD 1945 setelah perubahan secara tegas menyatakan
bahwa pembangunan ekonomi nasional diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Kedua, kebijakan otonomi daerah dalam
penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia telah membawa
perubahan hubungan dan kewenangan antara pemerintah dan pemerintah daerah termasuk di
bidang perlingkungan lingkungan hidup. Ketiga, pemanasan global yang semakin meningkat
mengakibatkan perubahan iklim sehingga semakin memperparah penurunan kualitas
lingkungan hidup. Ketiga alasan ini ditampung dalam UULH 1997. Keempat, UULH 1997
sebagaimana UULH 1982 memiliki celah – celah kelemahan normatif, terutama kelemahan
kewenangan penegakan hukum administratif yang dimiliki kementrian Lingkungan Hidup
dan kewenangan penyidikan penyidik pejabat pegawai negeri sipil sehingga perlu penguatan
dengan mengundangkan sebuah undang – undang baru guna peningkatan penegakan
hukum. Berdasarkan hal ini menunjukan, bahwa UUPPLH memberikan warna yang baru dan
berbeda dari undang-undangan sebelumnya.

Rujukan
Wikipedia bahasa Indonesia
Jimly Asshiddiqie, 2010, Green Constitution, Rajawali Pers, Jakarta.
Takdir Rahmadi, 2011, Hukum Lingkungan di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai