Anda di halaman 1dari 12

UJIAN AKHIR SEMESTER

NAMA : SUBHANI
NIM : 2001472
MATA KULIAH : HUKUM LINGKUNGAN
DOSEN : Dr. ABDUL KARIM, S.H., M.H.
MAGISTER ILMU HUKUM SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM
SULTAN ADAM BANJARMASIN

SOAL !
1. Ada berapa asas yang ada dalam UU 32 Tahun 2009,
terangkan satu persatu ?
2. Apakah UU nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja
mengesampingkan asas Desentralisasi/otonomi daerah yang
ada dalam UU No 32 Tahun 1999 Tentang PPLH ?
3. Terangkan pemahaman saudara tentang Amdal yang diatur
dalam UU No 11 tahun 2020 ?
4. Terangkan mengenai konsep Strict Liability ?

JAWABAN:
1. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menyatakan
bahwa ada 14 asas dalam pelaksanaan Perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup, yaitu:
a. Asas Tanggung Jawab Negara
- Negara menjamin pemanfaatan sumber daya alam
akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya
bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik
generasi masa kini maupun generasi masa depan.
- Negara menjamin hak warga Negara atas lingkungan
hidup yang baik dan sehat.
- Negara mencegah dilakukannya kegiatan
pemanfaatan sumber daya alam yang menimbulkan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

b. Asas Kelestarian dan Keberlanjutan


Bahwa setiap orang memikul kewajiban dan
tanggung jawab terhadap generasi mendatang dan
terhadap sesamanya dalam satu generasi dengan
melakukanupaya pelestarian daya dukung ekosistem dan
memperbaiki kualitas lingkungan hidup.

c. Asas Keserasian dan Keseimbangan


Bahwa pemanfaatan lingkungan hidup harus
memperhatikan berbagai aspek seperti kepentingan
ekonomi, sosial, budaya, dan perlindungan serta
pelestarian ekosistem.

d. Asas Keterpaduan
Bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup dilakukan dengan memadukan berbagai unsur
atau menyinergikan berbagai komponen terkait.

e. Asas Manfaat
Bahwa segala usaha dan/atau kegiatan
pembangunan yang dilaksanakan disesuaikan dengan
potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan harkat
manusia selaras dengan lingkungannya.
f. Asas Kehati-hatian
Bahwa ketidakpastian mengenai dampak suatu
usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan
merupakan alasan untuk menunda langkah-langkah
meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

g. Asas Keadilan
Bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup harus mencerminkan keadilan secara proporsional
bagi setiap warga negara, baik lintas daerah, lintas
generasi, maupun lintas gender.

h. Asas Ekoregion
Bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup harus memperhatikan karakteristik sumber daya
alam,ekosistem, kondisi geografis, budaya masyarakat
setempat, dan kearifan lokal.

i. Asas Keanekaragaman Hayati


Bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup harus memperhatikan upaya terpadu untuk
mempertahankan keberadaan, keragaman, dan
keberlanjutan sumber daya alam hayati yang terdiri atas
sumber daya alam nabati dan sumber daya alam hewani
yang bersama dengan unsur nonhayati di sekitarnya
secara keseluruhan membentuk ekosistem.
j. Asas Pencemar Membayar
Bahwa setiap penanggung jawab yang usaha
dan/atau kegiatannya menimbulkan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup wajib
menanggung biaya pemulihan lingkungan.

k. Asas Partisipatif
Bahwa setiap anggota masyarakat didorong untuk
berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan dan
pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup, baik secara langsung maupun tidak langsung.

l. Asas Kearifan Lokal


Bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup harus memperhatikan nilai-nilai luhur
yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat.

m. Asas Tata Kelola Pemerintahan yang Baik


Bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup dijiwai oleh prinsip partisipasi, transparansi,
akuntabilitas, efisiensi dan keadilan.

n. Asas Otonomi Daerah


Bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dengan
memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah
dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Pada era Reformasi berusaha mengganti sistem pemerintahan
terpusat Orde Baru yang memunculkan kesenjangan pusat
dan daerah atau Jawa dan luar Jawa dengan praktik
desentralisasi pemerintahan. Dalam praktik tersebut, setiap
daerah diberi otonomi untuk mengatur pemerintahannya
sendiri dengan harapan bisa mendorong semangat demokrasi
hingga ke tingkat daerah.
Munculnya UU Cipta Kerja kemudian merubah atau
mengasampingkan persoalan otonomi daerah/otoritas
desentralisasi.
Dalam pelaksanaannya, UU Cipta Kerja menarik kembali
beberapa tugas dan kewenangan yang sebelumnya oleh
berbagai undang-undang didelegasikan kepada pemerintah
daerah ke menteri bersangkutan. Dalam UU Cipta Kerja
terbaru, pemerintah daerah hanya menunggu pendelegasian
tugas dan kewenangan tersebut dari pemerintah.
Sebagai contoh adalah mengenai dokumen amdal menjadi
dasar uji kelayakan lingkungan hidup atau rencana usaha
dan/atau kegiatan. Uji kelayakan lingkungan hidup ini
dilakukan oleh tim uji kelayakan lingkungan hidup yang
dibentuk lembaga uji kelayakan pemerintah pusat.

3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja


(UU Cipta Kerja) memuat berbagai perubahan atas Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 32 Tahun 2009). Salah
satu implikasi dari perubahan UU No. 32 Tahun 2009 dalam
UU Cipta Kerja adalah berkurangnya partisipasi publik secara
signifikan. Degradasi partisipasi publik setidaknya terlihat dari
beberapa indikasi, yaitu: penyempitan masyarakat yang wajib
dilibatkan dalam penyusunan Amdal, penghapusan Komisi
Penilai Amdal yang sebelumnya merupakan ruang bagi
masyarakat untuk berpartisipasi dalam penilaian Amdal,
penggunaan terminologi “relevan” dalam proses penyampaian
saran, pendapat, dan tanggapan (SPT), serta hilangnya
kesempatan untuk menyampaikan keberatan dan terbatasnya
hak atas akses informasi.
Pasal 1 angka-11 UU PPLH menyebutkan bahwa Amdal
merupakan kajian mengenai dampak penting suatu usaha
dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup
yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Dalam
UU Cipta Kerja, definisi tersebut berubah, sehingga pasal 1
angka-11 berbunyai, "kajian mengenai dampak penting pada
lingkungan hidup dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang
direncanakan, untuk digunakan sebagai prasyarat
pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha
dan/atau kegiatan serta termuat dalam perizinan berusaha
atau persetujuan pemerintah pusat atau pemerintah daerah".
Dalam UU Cipta Kerja mengubah sejumlah pasal terkait
pengaturan amdal. Itu pula yang menjadi rujukan dalam
pembuatan amdal pasca berlakunya UU 11/2020. Seperti
perubahan Pasal 24 UU 32/2009 menjadi dokumen amdal
menjadi dasar uji kelayakan lingkungan hidup atau rencana
usaha dan/atau kegiatan. Uji kelayakan lingkungan hidup ini
dilakukan oleh tim uji kelayakan lingkungan hidup yang
dibentuk lembaga uji kelayakan pemerintah pusat.
Tim tersebut terdiri dari pemerintah pusat, pemerintah
daerah, dan ahli bersertifikat. Pemerintah pusat atau
pemerintah daerah menetapkan keputusan kelayakan
lingkungan hidup berdasarkan hasil uji kelayakan. Kemudian,
keputusan kelayakan lingkungan hidup digunakan sebagai
persyaratan penerbitan perizinan berusaha atau persetujuan
pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Aturan lebih lanjut
terkait tata laksana uji kelayakan lingkungan hidup diatur
peraturan pemerintah.
Pengaturan Pasal 25 UU 32/2009 memuat rincian
dokumen amdal yakni pengkajian dampak rencana usaha
dan/atau kegiatan; evaluasi kegiatan di sekitar lokasi rencana
usaha dan/atau kegiatan; saran masukan serta tanggapan
masyarakat terkena dampak langsung yang relevan terhadap
rencana usaha dan/atau kegiatan. Selanjutnya, prediksi
terhadap besaran dampak serta sifat penting dampak yang
terjadi bila rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut
dilaksanakan.
Ketentuan lain yang diubah yakni mengenai peran
pemerhati lingkungan hidup dalam penyusunan dokumen
Amdal. Dalam Pasal 26 Ayat (3) UU PPLH diatur, "dokumen
Amdal disusun oleh masyarakat yang terdampak langsung,
pemerhati lingkungan hidup, dan/atau yang terpengaruh atas
segala bentuk keputusan dalam proses Amdal". Sementara,
pada UU Cipta Kerja tertulis perubahan dalam Pasal 26 Ayat
(2) PPLH menjadi: "penyusunan dokumen Amdal dilakukan
dengan melibatkan masyarakat yang terkena dampak
langsung terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan".
Keberatan dan pelibatan masyarakat dihapus. UU Cipta
Kerja menghapus ketentuan Pasal 26 Ayat (2) UU PPLH yang
menyebutkan bahwa pelibatan masyarakat harus dilakukan
berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan dan
lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan.
Pasal 26 Ayat (4) yang semula mengatur bahwa masyarakat
dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen Amdal juga
dihapuskan.
Komisi penilai Amdal Selain itu, UU Cipta Kerja juga
menghapus keberadaan Komisi Penilai Amdal. Semula, komisi
ini diatur dalam Pasal 29, 30 dan 31 UU Lingkungan Hidup.
Dalam Pasal 29 UU Lingkungan Hidup disebutkan, Komisi
Penilai Amdal dibentuk oleh menteri, gubernur, atau
bupati/wali kota dan bertugas melalukan penilaian dokumen
amdal. Keanggotaan Komisi Penilai Amdal terdiri dari unsur
instansi lingkungan hidup, instansi teknis terkait, pakar di
bidang pengetahuan yang terkait dengan jenis usaha dan/atau
kegiatan yang sedang dikaji, pakar yang terkait dengan
dampak yang timbul dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang
sedang dikaji, wakil dari masyarakat yang berpotensi terkena
dampak, dan organisasi lingkungan hidup. Berdasarkan hasil
penilaian Komisi Penilai Amdal, menteri, gubernur, atau
bupati/wali kota menetapkan keputusan kelayakan atau
ketidaklayakan lingkungan hidup sesuai dengan
kewenangannya.

4. Strict liability merupakan konsep pertanggungjawaban perdata


yang tidak mensyaratkan adanya kesalahan pada diri tergugat
tetapi telah menimbulkan kerugian pada diri penggugat.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, kondisi ini
diperuntukkan bagi tiap orang yang tindakannya, usahanya,
dan/atau kegiatannya menggunakan Bahan Berbahaya dan
Beracun (B3), menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3,
dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap
lingkungan hidup.
Strict Liability didasarkan pada ketentuan Pasal 88 UU No.
32 tahun 2009 (UUPPLH) merupakan konsep
pertanggungjawaban perdata yang tidak mensyaratkan adanya
kesalahan pada pihak Tergugat tetapi telah menimbulkan
kerugian pada pihak Penggugat dan adanya kausalitas.
Menurut Dr. Andri, konsep strict liability ini sebenarnya
sangat simpel. Untuk menggugat dengan konsep ini, penggugat
tak perlu membuktikan apakah perusahaan melanggar hukum
sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan atau tidak.
Menurut Ida Bagus Wyasa Putra menunjuk pada peristiwa
hukum yang menggambarkan hubungan antara perbuatan
pelaku dengan akibatnya, kewajiban pembuktian terhadap
korelasi antara perbuatan dengan akibat perbuatan itu tidak
dilakukan oleh pihak penggugat, melainkan oleh tergugat
(proses pembuktian dengan beban pembuktian terbalik).
Strict Liability merupakan doktrin pertanggungjawaban
perdata yang menyatakan bahwa tanggung jawab muncul
seketika tanpa didasarkan kepada adanya unsur kesalahan
(libility without fault). Doktrin strict liability merupakan
tanggung jawab orang yang menjalankan suatu jenis kegiatan
yang dapat digolongkan sebagai extrahazardous atau ultra
hazardous atau abnormally dangerous. Maka ia diwajibkan
memikul segala kerugian yang ditimbulkan, meskipun telah
bertindak sangat hati-hati untuk mencegah bahaya atau
kerugian tersebut, walapun dilakukan tanpa kesengajaan.
Di dalam strict liability penggugat tidak dibebani
kewajiban untuk membuktikan unsur kesalahan (fault).
Penggugat hanya dituntut untuk membuktikan bahwa
perbuatan atau kegiatan tergugat termasuk ke dalam
Abnormally Dangerous Activity. Menurut prinsip umum di
dalam Restatement (Second ) of Torts § 519 (1) dijelaskan bahwa
seseorang tetap harus bertanggung jawab terhadap kerugian
yang ditimbulkan oleh aktivitasnya, termasuk yang Abnormally
Dangerous Activity meskipun dia telah sepenuhnya berupaya
untuk mencegah timbulnya kerugian tersebut.Berdasarkan
The Restatement (second) of Torts § 520, suatu kegiatan dapat
dikategorikan ke dalam abnormally dangerous activity apabila
terdapat faktor-faktor sebagai berikut:
a. existence of a high degree of risk of some harm to the
person, land, or chattels of others,
b. likelihood that the harm that results from it will be great,
c. inability to eliminate the risk by the exercise of
reasonable care,
d. extent to which the activity is not a matter of common
usage,
e. inappropriateness of the activity to the place where it is
carried on, and
f. extent to which its value to the community is outweighed
by its dangerous attributes.
Selain membuktikan bahwa aktivitas tergugat adalah
Abnormally Dangerous Activity, menurut Commission of The
European Communities dalam Green Paper on Remedying
Environmental Damage penggugat tetap harus membuktikan
unsur-unsur sebagai berikut:
1. damage (kerugian), dan
2. the damage was caused by someone’s act atau adanya
hubungan kausalitas antara kerugian dengan
perbuatan sebagaimana dimaksud.
Di dalam doktrin strict liability, ini tergugat dapat
melepaskan diri dari gugatan apabila dapat membuktikan
bahwa ada alasan pemaaf. Alasan pemaaf itu secara umum
adalah:
a. keadaan force majeur,
b. kesalahan korban sendiri, dan
c. kesalahan pihak ketiga.
Di dalam strict liability, penggugat hanya dibebani
pembuktian adanya kerugian dan hubungan sebab akibat
antara kerugian yang diderita dengan suatu perbuatan atau
kegiatan tergugat. Sementara tergugat dituntut untuk
membuktikan adanya alasan pemaaf atau faktor penghapus
kesalahan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak
ada pengalihan pembuktian dari penggugat kepada tergugat,
dengan kalimat lain, tidak ada pembuktian terbalik di dalam
doktrin strict liability.
Penerapan konsep strict liability diyakini dapat
meningkatkan efektifitas dan efek jera bagi pelaku pencemaran
dan perusakan lingkungan hidup, sehingga hak konsitusi
masyarakat sebagaimana Pasal 28 (h) UUD 1945 bahwa
“Setiap orang berhak untuk mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat” dapat terwujud.”
Pengaturan Mengenai Konsep atau Doktrin Strict Liability
Indonesia menerapkan konsep atau doktrin strict liability
pertama kali melalui Keppres Nomor 18 Tahun 1978 tentang
Pengesahan Internastional Convention on Civil Liability for Oil
Damage (CLC) 1969. Indonesia maratifikasi konvensi
internasional dan memasukkan ke dalam peraturan
perundang-undangan yang diantaranya adalah:
a) Undang-Undang Nomor. 4 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup;
b) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 Tentang Zona
Ekonomi Ekslusif Indonesia;
c) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang
Ketenaganukliran;
d) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup perubahan Undang-
Undang Nomor. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup;
e) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;

Anda mungkin juga menyukai