Anda di halaman 1dari 4

DAERAH KEPULAUAN DALAM PENYELENGGARAAN SISTEM

PEMERINTAHAN DAERAH DI INDONESIA


Oleh Rahmadiansyah
Nim 2001474

Daerah dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah ”kesatuan masyarakat


hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Daerah harus
memiliki kejelasan batas-batas wilayah, baik darat maupun laut untuk menyelenggarakan
wewenang berdasarkan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat di daerah
menurut prakarsa sendiri dalam sistem NKRI. Hal ini berarti batas-batas wilayah daerah ini
pun sebagai batas penyelenggaraan wewenang (urusan).
Penyerahan urusan pemerintahan ini didasarkan pada desentralisasi kekuasaan
vertikal dimana kekuasaan sejatinya berada pada Presiden (Pasal 4 ayat 1 UUD 1945,
termasuk Pasal 18 UUD 1945 sebagai sub sistem dalam sistem kekuasaan pemerintahan
negara yang dipimpin oleh Presiden). penyerahan urusan pemerintahan sebagai wewenang
delegasi-mandat, karena karakter penyerahan dan pembagian urusan pemerintahan dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak secara tegas memenuhi ciri wewenang
delegasi yang bersifat definitif dimana masih ada urusan pemerintah yang berskala nasional
yang bersifat concurrent .  Maksudnya adalah urusan pemerintahan yang penanganannya
dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara Pemerinlah dan
pemerintah daerah. Dengan demikian setiap urusan yang bersifat concurrent senantiasa ada
bagian urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah, ada bagian urusan yang diserahkan
kepada Provinsi, dan ada bagian urusan yang diserahkan kepada kabupaten/Kota.
Wewenang pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan diatur
dalam BAB III PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN, Ratio legis dalam
pengaturan bahwa urusan pemerintahan dibagi antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah
dalam 2 (dua) kewilayahan, yakni darat dan laut (urusan perikanan yang merupakan urusan
pilihan harus dimaknai sebagai perikanan darat, karena logika hukum tidak dapat diarahkan
bagi daerah yang tidak memiliki wilayah laut). Urusan pemerintahan menurut Pasal 18
dikhususkan bagi daerah yang memiliki wilayah laut – karena memang ada daerah yang
tidak berbatasan dengan wilayah laut.
Secara yuridis, daerah kepulauan merupakan daerah yang secara khusus memiliki
wilayah laut dengan gugusan pulaunya.Sistem hukum Indonesia mengenal adanya istilah
kepulauan hanya dalam konteks negara kepulauan menurut Pasal 25A UUD 1945, Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 1985 dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996.
Pasal 25A UUD 1945 menegaskan bahwa negara Indonesia sebagai Negara
Kepulauan dengan batas-batasnya.  Penegasan Indonesia sebagai negara kepulauan declair
dalam konstitusi untuk menegaskan UNCLOS.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS menjustifikasi
negara Republik Indonesia sebagai negara kepulauan dalam hubungannya dengan negara-
negara lain di wilayah laut. Aspek hukumnya lebih diarahkan pada aspek hukum laut
(marine law) yang bersifat internasional.
Justifikasi terhadap negara kepulauan pun diatur dalam Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia bahwa segala perairan dalam wilayah negara
Republik Indonesia merupakan perairan kepulauan.
Sebagai negara, adanya pengaturan negara kepulauan dan perairan kepulauan
merupakan justifikasi kedaulatan negara dalam hubungannya dengan negara-negara lainnya
dalam sistem hukum laut internasional. Dalam hubungan dengan daerah, wilayah laut tetap
menjadi jurisdiksi negara dan berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
daerah diberikan wewenang pengelolaan sumber daya.
Hakekat adanya pemberian kewenangan ini bahwa sebelumnya kewenangan
dimaksud merupakan kewenangan Pemerintah namun didesentralisasikan kepada daerah.
Hal yang perlu dipahami adalah negara hanya memberikan wewenang pengelolaan di
wilayah laut dan bukan “wilayah laut daerah”, karena wilayah laut tetap menjadi jurisdiksi
negara. Dalam pemaknaan ini, otonomi diberikan kepada ‘daerah’, namun istilah ‘wilayah’
masih bersifat administratif yang terkait dengan wilayah negara dan laut sebagai salah satu
unsur wilayah negara.
Dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, daerah kepulauan tidak dengan
sendirinya dapat dikembangkan sebagai hubungan pusat-daerah melalui otonomi khusus.
Desentralisasi kekuasaan vertikal yang diserahkan kepada daerah dalam bentuk
otonomi merupakan desentralisasi wewenang dan bukan wilayah. Daerah kepulauan
merupakan aspek kewilayahan dan tetap merupakan jurisdiksi negara.
Fakta hukum adanya daerah yang memiliki karakteristik kepulauan dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia merupakan bagian integral dari karakteristik negara, dan
kewilayahan ‘kepulauan’ ini masih dalam konteks negara. Dalam penyelenggaraan otonomi
daerah menurut Pasal 18 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak dengan sendirinya
berarti daerah dalam karakteristik kewilayah berupa kepulauan telah menjustifikasi sebagai
daerah kepulauan, karena Pasal 18 hanya terkait dengan wewenang pengelolaan sumber
daya dan bukan wilayahnya.
Terkait dengan wewenang pengelolaan sumber daya di wilayah bagi daerah dengan
karakteristik kepulauan harus diperjelas batas-batas wilayah di wilayah laut berdasarkan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 yang mengenal adanya garis pangkal lurus
kepulauan (archipelagic straight baseline). Aspek lainnya dalam pengelolaan sumber daya
yang bersifat pengaturan berupa perizinan di wilayah laut pada beberapa undang-undang
sektoral masih berada pada domain negara.  Karena itu aspek ini merupakan aspek
fungsional dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam hubungan pusat-daerah.
Terhadap hal ini dibutuhkan adanya koordinasi antara daerah dengan Pemerintah dalam
bentuk kebijakan pemerintah.
Perhitungan DAU bagi setiap daerah didasarkan pada parameter kebutuhan fiskal dan
kapasitas fiskal. Salah satu variabel kebutuhan fiskal adalah luas wilayah (daerah), dan
berdasarkan Penjelasan Pasal 40 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005
bahwa yang dimaksud dengan luas wilayah adalah luas wilayah daratan.
Berdasarkan Penjelasan Pasal 40 ayat (3) di atas, cakupan luas wilayah yang terbatas
pada wilayah darat dalam perhitungan DAU akan menimbulkan permasalahan hukum bagi
daerah yang memiliki wilayah laut. Variabel luas wilayah ini memiliki rasio hukum dengan
luas wilayah yang menjadi wewenang daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan
(fungsi desentralisasi).
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, penyelenggaraan urusan
pemerintahan dilaksanakan pula pada wilayah laut bagi daerah yang memilikinya dengan
luas 12 mil laut.    Wilayah laut yang menjadi wewenang pengelolaan sumber daya ini
sekaligus merupakan wilayah daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan.
Didasarkan pada tujuan pemberian DAU untuk terselenggaranya fungsi pemerintahan
di daerah, maka seyogyanya formula perhitungan DAU harus mencantumkan luas wilayah
ini terkait pula dengan wilayah laut. Dalam penentuan formulasi perhitungan DAU ini,
tidak dapat disertakan adanya pembedaan antara daerah kepulauan dan bukan daerah
kepulauan (yang memiliki wilayah laut). Hal ini berlaku secara umum bagi semua daerah
yang memiliki wilayah laut, karena luas wilayah laut masing-masing daerah, termasuk
daerah kepulauan yang akan menentukan besaran DAU yang akan diterima.

Anda mungkin juga menyukai