32 Tahun 2009
2. PERBEDAAN MATERI
Kaitan UU No. 32 Tahun 209 dengan Peraturan Menteri LH No. 11 Tahun 2008:
Sebelum disahkannya UU No. 32 Tahun 2009, KLH sudah menerbitkan peraturan menteri
yang mengatur tentang Persyaratan Kompetensi Penyusun Dokumen AMDAL (Permen. LH
No. 11 Tahun 2008). Pada Pasal 4 Permen. LH No. 11 Tahun 2008 disebutkan bahwa
persyaratan minimal untuk menyusun suatu dokumen AMDAL adalah 3 (tiga) orang dengan
kualifikasi 1 orang Ketua Tim dan 2 orang Anggota Tim yang kesemuanya sudah memiliki
sertifikat kompetensi. Sementara amanat dalam UU No. 32 Tahun 2009 yang tertuang dalam
Pasal 28 adalah ”Penyusun dokumen sebagaimana … wajib memiliki sertifikat penyusun
dokumen AMDAL”. Jika yang dimaksud “penyusun dokumen AMDAL” pada undang-
undang lingkungan yang baru adalah seluruh tim yang ada dalam suatu proses penyusunan
dokumen AMDAL, maka dengan demikian Permen. LH No. 11 Tahun 2008 Pasal 4 sudah
tidak berlaku lagi. Implikasinya selanjutnya adalah masa berlakunya persyaratan tersebut
harus mundur sampai ada peraturan menteri yang secara rinci mengatur tentang hal itu sesuai
amanat dalam Pasal 28 Ayat (4) yang memberikan kewenangan kepada KLH untuk membuat
peraturan yang mengatur lebih rinci hal tersebut..
KESIMPULAN
Meskipun dalam banyak hal RUUPPLH, 2009 secara substansial jauh lebih baik dan
terperinci dibandingkan dengan UU PLH, 1997, namun ada beberapa hal yang masih
menjadi kelemahan, antara lain :
1. RUU PLH justru tampak ‘mundur kebelakang” yang ditunjukkan dengan hanya
memperkuat instrumen yang cenderung bersifat reaktif seperti AMDAL. Yang
menguat di dalam RUU PLH justru instrumen AMDAL. Ada 9 Pasal di dalam RUU
PLH yang mengatur tentang AMDAL. Jauh lebih banyak dari pada UU PLH No 23
Tahun 1997 yang mengatur AMDAL hanya di 3 Pasal. penguatan analisis mengenai
dampak lingkungan (Amdal). Upaya itu diharapkan mencegah kerusakan lingkungan
dengan peningkatan akuntablitas, penerapan sertifikasi kompetensi penyusun
dokumen Amdal, penerapan sanksi hukum bagi pelanggar bidang Amdal, dan Amdal
sebagai persyaratan utama memperoleh izin lingkungan sebagai prasyarat
memperoleh izin usaha/kegiatan dan izin usaha/kegiatan.
2. Di dalam RUU PLH, KLHS tampak hanya ditempatkan sebagai pelengkap dalam
tugas dan wewenang Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Pasal 40, 41, dan 42).
Padahal pengendalian kerusakan sumberdaya alam maupun pencemaran lingkungan
hidup tidak akan efektif apabila tidak disertai instrumen KLHS untuk mencegahnya
pada tingkat kebijakan, rencana maupun program. KLHS mempertimbangkan unsur-
unsur keterkaitan, keseimbangan serta keadilan; seperti keterkaitan antar daerah,
keseimbangan antara unsur-unsur ekonomi, sosial dan ekologi serta keadilan bagi
masyarakat sebagai penerima dampak. RUU PLH perlu memberi mandat kepada
pemerintah untuk membuat Peraturan Pemerintah yang memerinci pelaksanaan KLHS
tersebut. Kewajiban pemerintah pusat dan pemerintah daerah membuat Kajian
Lingkungan Hidup Strategis (KHLS). Hal ini tidak terdapat dalam UU No. 23 Tahun
1997. Dari penerapan KHLS dalam UU PPLH diharapkan pembangunan
berkelanjutan sebagai dasar dan integrasi suatu kebijakan, rencana, dan program
pembangunan.
3. Total terdapat 26 kewenangan baru bagi KNLH, sejumlah kewenangan yang diatur, di
antaranya menerbitkan izin lingkungan bagi kegiatan berskala besar dan penting,
mengawasi kegiatan yang izin lingkungannya dikeluarkan KNLH dan daerah,
mencabut izin lingkungan yang telah dikeluarkan, mengembangkan dan
melaksanakan instrumen ekonomi lingkungan hidup, menangkap dan menahan orang,
serta menggugat secara perdata apabila terjadi kerugian terhadap negara. Ada juga
kewenangan membuat kajian lingkungan hidup strategis secara nasional untuk
pembangunan wilayah, perencanaan, dan program. Sebagaimana disebutkan oleh
Koordinator Tim Ahli Pemerintah Mas Achmad Santos, penambahan kewenangan
tersebut membutuhkan syarat pelaksanaan. Syarat tersebut, di antaranya, pengawasan
ketat pelaksanaan di lapangan. Apabila tidak diantisipasi dengan baik, KNLH bisa
menjadi sumber penyalahgunaan kewenangan, termasuk korupsi