Anda di halaman 1dari 4

LEGAL OPINI

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP


PEJUANG LINGKUNGAN HIDUP DI JOMBORAN

A. Kasus Posisi

Masyarakat yang pada awalnya adem ayem itu menjadi resah akibat terdampak
pertambangan dengan alat berat yang dilakukan oleh PT. Citra Mataram Konstruksi dan Pramudya
Afgani. Dampak tersebut adalah berupa kebisingan, longsor dan berkurangnya ketersediaan air
bersih. Pada tanggal 4 dan 5 Oktober 2020 Paguyuban Masyarakat Kali Progo melakukan aksi di
Sungai Progo dan memasang spanduk penolakan. Aksi tersebut dilakukan sebagai bentuk kesadaran
dari masyarakat bahwa pertambangan merupakan kegiatan yang syarat dengan resiko pencemaran
dan/ atau kerusakan lingkungan.
Namun aksi tersebut justru mendapat respon yang negative dari pihak penambang ataupun
penyelenggara Negara, dalam hal ini aparat kepolisian. Sebab saat warga korban tambang berusaha
untuk mempertahanan haknya justru dikriminalisasi, pada bulan Februari hingga Maret tahun 2021 18
orang warga Pedukuhan Jomboran, Minggir, Sleman, mendapat surat panggilan oleh pihak Polres
Sleman terkait dengan penolakan pertambangan pasir di Sungai Progo. Pemanggilan ini didasari atas
adanya laporan polisi dari pihak penambang yaitu Pramudya Afgani dengan Nomor :
LP-B/41/I/2021/DIY/RES.SLEMAN. Pemanggilan itu didasarkan pada pertama, bersama-sama
dimuka umum melakukan kekerasan terhadap orang atau barang atau penghasutan atau pemaksaan
dan kedua, menghalangi kegiatan pertambangan.
Pertambangan adalah kegiatan yang syarat dengan resiko pencemaran dan/ atau kerusakan
lingkungan. Tidak ada kegiatan pertambangan yang tidak berpotensi mencemari dan/ atau merusak
lingkungan. Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi
setiap warga negara Indonesia. Negara berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan. Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat
berkaitan erat dengan pencapaian kulaitas hidup manusia , sehingga hak atas lingkungan hidup yang
baik dan sehat tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun.
B. Sumber Hukum

1) UUD 1945
2) UULH 1982
3) UU No. 23 Tahun 1997
4) UUPPLH No. 32 Tahun 2009
5) UU Minerba 21 Tahun 2020
C. Analisis Hukum
Tahun 1982 merupakan titik awal perjalanan bangsa ini memberikan kepastian hukum
terhadap lingkungan hidup dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup atau yang biasa dikenal dengan UULH 1982. Pasca
lahirnya peraturan-perundang-undangan tersebut Seiring berjalannya waktu, produk hukum tersebut
mengalami perubahan agar menjadi lebih relevan, sehingga UULH 1982 digantikan dengan UU No.
23 Tahun 1997. Tidak berhenti sampai situ, UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup atau yang biasa disebut dengan UUPPLH lahir untuk menggantikan
peraturan sebelumnya.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 atau yang biasa disebut sebagai UUPPLH merupakan
bentuk upaya pemerintah untuk mewujudkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebab hal tersebut
merupakan hak setiap orang. UUPPLH menjamin berbagai hak sebagaimana diatur dalam Pasal 65
yang berbunyi;
(1) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi
manusia
(2) Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses
partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat.
(3) Setiap orang berhak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau
kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup.
(4) Setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(5) Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup.
Selain itu, dalam pasal 66 UU inilah memuat peraturan mengenai perlindungan hukum
terhadap pejuang lingkungan hidup, sebagaimana berbunyi “Setiap orang yang memperjuangkan
hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat
secara perdata.”
Pasal 66 UUPPLH tersebut merupakan bentuk pengaturan Anti Strategic Lawsuit Against
Public Participation atau yang biasa dikenal dengan Anti SLAPP. Terkait dengan Pasal Anti
SLAPP ini, Pada tahun 2013, Mahkamah Agung memberikan penjelasan dalam SK KMA 36/2013
mengenai konsep ANTI SLAPP. Dalam surat keputusan tersebut disebutkan bahwa: “Anti SLAPP
merupakan perlindungan hukum bagi pejuang lingkungan hidup, gugatan SLAPP dapat berupa
gugatan balik (gugatan rekonvensi), gugatan biasa atau berupa pelaporan telah melakukan tindak
pidana bagi pejuang lingkungan hidup (misalnya, dianggap telah melakukan perbuatan
“penghinaan” sebagaimana diatur dalam KUHP).”
Berbicara perlindungan hukum, Menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum adalah
memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan
itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.
Namun yang menjadi pertanyaan ialah mengapa terdapat rentetan kasus kriminalisasi terhadap para
pejuang lingkungan? Seperti yang terjadi di Jomboran. Warga yang berusaha mepertahankan ruang
hidupnya justru dikriminalisasi. Tentu ini merupakan bukti bahwa perlindungan terhadap pejuang
lingkungan dalam Pasal 66 UUPPLH sebagai peraturan Anti SLAPP masih kurang efektif. Hal ini
terjadi bukan tanpa sebab, beberapa faktor dapat diuraikan sebagai berikut;
1) Keberlakuan Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009 sebagai Peraturan Anti SLAPP

Pasal 66 UUPPLH tersebut merupakan bentuk pengaturan Anti Strategic Lawsuit Against Public
Participation atau yang biasa dikenal dengan Anti SLAPP. SLAPP merupakan tindakan strategis
melalui pengadilan untuk menghilangkan partisipasi publik. Sesuai dengan pengertiannya,
SLAPP pada dasarnya bertujuan untuk membungkam/menghilangkan partisipasi masyarakat.
Maka dari itu adanya pasal anti SLAPP tersebut sebagai upaya untuk melindungi warga Negara
dalam penegakan hukum. Namun pasal 66 UUPPLH hanya melindungi orang yang menempuh
jalur hukum akibat pencemaran maupun perusakan lingkungan hidup. Hal tersebut membuat
Pasal 66 UUPPLH tidak sinkron dengan Konsep Anti SLAPP.

2) Keberlakuan Pasal 162 UU No. 3 Tahun 2020 Tentang MINERBA


Selain Konsep Anti SLAPP dalam UUPPLH yang kurang efktif dalam melindungi
Penjuang Lingkungan hidup di Jomboran, dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral Dan Batubara terdapat
beberapa pasal yang berdampak pada kasus ini, diantaranya;
• Pasal 162 : Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan Usaha Pertambangan
dari pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)

Pasal ini sangat berdampak pada kriminalisasi aktivis dan pejuang lingkungan hidup sebagaimana
yang terjadi di Jomboran. Dengan adanya ketentuan ini, upaya untuk menjaga dan melindungi
lingkungan akibat pertambangan justru dapat berujung pada kriminalisasi. Ketentuan ini semakin
mempertegas bahwa pemerintah tidak peduli terhadap hak atas lingkungan hidup yang baik bagi
warga negaranya dan semata-mata hanya berorientasi pada keuntungan atas eksploitasi sumberdaya
alam.
Merujuk pada Pasal 65 ayat (1) UUPPLH, setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang
baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia. Dengan demikian maka upaya untuk
mempertahankan lingkungan hidup yang baik dan sehat juga adalah haknya. Oleh karena itu sudah
seharusnya Konsep Anti SLAPP seharusnya lebih dipertegas dalam hukum positif Indonesia
apabila pemerintah serius dalam hal perlindungan terhadap pejuang lingkungan, sebab UUPPLH
yang berlaku sekarang dapat dibilang tidak cukup dan kurang efektif mengingat banyaknya kasus
kriminalisasi terhadap pejuang atau aktivis lingkungan. Minimnya perlindungan terhadap pejuang
atau aktivis lingkungan dapat membuka peluang terjadinya kriminalisasi terhadap mereka oleh
pihak-pihak seperti perusahaan yang memiliki power untuk melakukan tindakan SLAPP. Apa
yang terjadi di Jomboran hanya contoh kecilnya saja.
D. Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat dipastikan bahwa Perlindungan hukum terhadap
pejuang lingkungan di Indonesia masih terbilang minim, kriminalisasi pejuang lingkunagn di
Jomboran merupakan salah satu contoh konkrit. Konsep Anti SLAPP sebagaimana yang terdapat
dalam UUPPLH juga masih terbilang asing atau kurang populer. Selain itu pasal Anti SLAPP
dalam pasal 66 UU PPLH juga tidak memuat penjelasan mengenai konsep Anti SLAP, sehingga
masih belum cukup untuk memberikan perlindungan hukum terhadap pejuang lingkungan dari
kriminalisasi atau SLAPP.

E. Saran
Apabila eksistensi dari UUPPLH merupakan upaya pemerintah dalam melakukan
perlindungan terhadap lingkungan hidup, maka Pemerintah harus memberikan perhatian lebih
terhadap perlindungan hukum bagi pejuang lingkungan terutama dari kriminalisasi, sebab hal
tersebut menyangkut hak asasi manusia. Perlindungan terhadap Pejuang Lingkungan Hidup dapat
dilakukan dengan cara membuat peraturan yang memuat regulasi tentang Anti SLAPP, seperti
dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) atau membuat peraturan menteri terkait pelaksanaan
Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009.

Anda mungkin juga menyukai