Anda di halaman 1dari 8

Kasus Pencemaran Limbah Cair Oleh PT. NHM di Halmahera Utara.

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG MASALAH


Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional mewajibkan agar sumber daya
alam dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kemakmuran rakyat tersebut
haruslah dapat dinikmati generasi masa kini dan generasi masa depan secara berkelanjutan.
Kegiatan pembangunan makin meningkat mengandung resiko pencemaran dan kerusakan
lingkungan hidup sehingga struktur dan fungsi dasar ekosistem yang menjadi penunjang kehidupan
dapat rusak. Pencemaran dan perusakan lingkungan hidup itu akan merupakan beban sosial, yang
pada akhirnya masyarakat dan pemerintah harus menanggung biaya pemulihannya. Terpeliharanya
keberlanjutan fungsi lingkungan hidup merupakan kepentingan rakyat sehingga menuntut tanggung
jawab, keterbukaan, dan peran anggota masyarakat, yang dapat disalurkan melalui orang
perseorangan, organisasi lingkungan hidup, seperti lembaga swadaya masyarakat, kelompok
masyarakat adat, dan lain-lain, untuk memelihara dan meningkatkan daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup yang menjadi tumpuan keberlanjutan pembangunan.

Kompleknya permasalahan lingkungan sebagai bidang relatif baru sangat potensial


menimbulkan perbedaan pandangan, kepentingan atau persepsi diantara para “stakeholders”.
Manakala pandangan tentang lingkungan hidup masih beranjak dari kepentingan masing-masing,
maka konflik akan selalu muncul. Di sisi lainpenegakanhukum mempunyai makna bagaimana bukan
harus dilaksanakan, sehingga dalam penegakan hukum tersebut harus diperhatikan unsur-unsur
kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.[1]
Pengelolaan limbah industri modern yang baik pada akhirnya akan dapat menghilangkan
atau setidaknya meminimalisir resiko (risk) dampak besar dari pembangunan terhadap kualitas
lingkungan hidup dan kesehatan manusia. Perkembangan pembangunan menuntut pertumbuhan
secara ekuivalen dengan perkembangan masyarakat yang semakin sadar akan hak-haknya,
diantaranya hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat (right to a decent environment). Semakin
banyak perusahaan industri tumbuh dan berkembang, maka semakin banyak pula kemungkinan
pencemaran berlangsung.[2]
Keberlanjutan pembangunan di suatu daerah atau negara ditentukan oleh kemampuan
daerah atau negara tersebut dalam mengelola lingkungan hidupnya. Pendekatan pengelolaan
lingkungan dilakukan dengan menata system pengelolaannya. Sebab berbicara mengenai
pengelolaan, sangat berkaitan dengan pendekatan manajemen. Pendekatan manajemen bertumpu
pada kemampuan menata system yang berada dalam system tersebut.[3]
Namun yang terjadi kadangkala terdapat kecenderungan dimana penanggung jawab usaha /
kegiatan mengabaikan berbagai persyaratan-persyaratan lingkungan seperti Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL), UKL/UPL dan pengoperasian Unit Pengolah Limbah (UPL) serta
persyaratan lainnya. Cukup banyak kasus-kasus yang terjadi dimana UPL tidak dioperasikan dan
limbah cair yang mengandung Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dibuang begitu saja ke media
lingkungan. Salah satunya adalah bocornya pipa tailing (limbah) PT. Nusa Halmahera Mineral (NHM)
yang berada di kawaran desa Balisosa Halmahera Utara (Halut).
Akibat dari kebocoran pipa tailing ini, maka terlihat sejumlah ikan dan kepiting dengan jumlah
banyak mati dan terapung di sungai Kobok akibat limbah tailing PT. NHM. Keberadaan sungai kobok
dari catatan Walhi Malut pada tahun 2000 sudah tercemar, padahal sebelumnya sungai Kobok
merupakan sungai yang biasanya dikosumsi oleh masyarakat untuk minum, mandi. Namun sungai
kobok tidak lagi seperti biasa yang dikomsumsi. Pencemaran Lingkungan seperti yang di lakukan
oleh PT NHM pada akhirnya akan menimbulkan sengketa lingkungan.
Sengketa lingkungan terjadi apabila salah satu pihak penderita atau korban merasa dirugikan
karena adanya pencemaran lingkungan, yang diakibatkan oleh suatu kegiatan oleh siapapun baik
secara sengaja maupun tidak sengaja. Sengketa lingkungan yang sering timbul diantara industri-
industri antara lain adalah masalah tempat pembuangan limbah hasil industri.
Akibat dari kelalain yang dilakukan oleh PT. NHM, maka berdasarkan undang-undang Nomor
32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolahan Lingkungan Hidup, maka PT. NHM dianggap
melakukan tindak pidana berdasarkan pasal 99 ayat (1) yang berbunyi:
(1) Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara
ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun
dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Serta PP nomor 74 tahun 2001 tentang Pengelolahan Bahan Berbahaya dan Beracun pada
pasal 40, serta Pasal 4 yang berbunyi:
“Setiap orang yang melakukan kegiatan pengelolahan B3 wajib mencegah pencemaran dan
kerusakan lingkungan hidup.”
Maka dari itu PT. NHM dianggap telah lalai dalam pengelolahan B3. Selain itu pula asas
keterbukaan informasi tidak sama sekali dilaksanakan oleh PT. NHM padahal jika terjadinya
kebocoran pipa tailing maka PT. NHM sudah seharusnya menginformasikan ini kepada public sesuai
dengan pasal 35. PP Nomor 74 tahun 2001 yang berbunyi :
(1) Masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tentang upaya pengendalian dampak
lingkungan hidup akibat kegiatan pengelolaan B3.
(2) Informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib disediakan oleh penanggung jawab
kegiatan pengelolaan B3.
(3) Penyediaan informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat disampaikan melalui media
cetak, media elektronik dan atau papan pengumuman.
Hal ini terjadi karena masih kurangnya kesadaran pemilik industri bahwa pengolahan limbah
hasil industri adalah sangat penting, baik untuk keselamatan lingkungan serta makhluk hidup yang
ada di sekitarnya maupun untuk kelangsungan industri itu sendiri.
2. PERUMUSAN MASALAH
Saat ini semakin banyak kasus pencemaran lingkungan dan/ perusakan lingkungan oleh
industri. Dalam kaitannya hal itu maka timbul permasalahan yang akan penulis ajukan, yaitu:

1. Bagaimana penegakan hukum tentang izin pembuangan limbah cair dari suatu
kegiatan industri di Halmahera Utara?
2. Sejauh mana penegakan hukum yang ada dalam menyelesaikan kasus pencemaran
lingkungan hidup yang dilakukan oleh PT. NHM?

3. TUJUAN PENELITIAN
Untuk mengetahui sejauh mana implementasi UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Pengolahan
Lingkungan Hidup, PP nomor 74 tahun 2001 Tentang Pengelolahan Bahan Berbahaya dan
Beracun dan Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2000 dalam penyelesaian sengketa lingkungan
hidup.
Diharapkan juga dengan adanya penjelasan mengenai dampak pencemaran air beserta
penanggulangannya, maka akan timbul kesadaran dari kita semua. Yang pada akhirnya pencemaran
dapat dikurangi dan akan didapat sumber air yang aman.

4. KEGUNAAN PENELITIAN
1. Kegunaan Teoritis
Untuk kepentingan teoritis, diharapkan dapat dijadikan acuan dalam pengembangan
penelitian hukum serta diharapkan dapat digunakan sebagai bahan studi dan menambah
perbendaharaan ilmu pengetahuan yakni dalam bidang ilmu hukum.

2. Kegunaan Praktis
Dari hasil penelitian diharapkan dapat digunakan dasar atau referensi bagi pengambil
keputusan dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberi manfaat pada upaya pencegahan pencemaran lingkungan dan perusakan lingkungan hidup
pada umumnya serta upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup pada khususnya.
5. KERANGKA TEORITIS
Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun
teknologi, hal ini disebabkan penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran-kebenaran
secara sistematis, metodologis dan konsisten. Atas dasar hal-hal tersebut di atas metodologi
penelitian hukum mempunyai ciri-ciri tertentu yang merupakan identitas.[4]
(1) Pengertian Pencemaran Lingkungan Hidup
UU No 32 Tahun 2009 pasal 1 ayat 14
“Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat,
energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga
melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.”
Pencemaran lingkungan yang berdampak berubahnya tatanan lingkungan karena kegiatan
manusia atau oleh proses alam berakibat lingkungan kurang atau atau tidak berfungsi lagi.
Pencemaran berakibatkan kualitas lingkungan menurun, akan menjadi fatal apabila tidak dapat
dimanfaatkan sebagaimana fungsi sebenarnya.[5]
Salah satu sarana yang diharapkan efektif dalam menanggulangi dan meminimalisasi
terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan, adalah memberlakukan “audit lingkungan” kepada
perusahaan. Mengapa perusahaan diwajibkan untuk membuat audit lingkungan, hal ini berangkat dari
suatu kenyataan bahwa terjadinya perusakan dan pencemaran lingkungan, khusunya yang terjadi di
kota-kota besar diakibatkan oleh industri.[6]
Audit lingkungan menurut pasal 1 ayat 28 UU No 32 Tahun 2009,
“Audit lingkungan hidup adalah evaluasi yang dilakukan untuk menilai ketaatan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap persyaratan hukum dan kebijakan yang
ditetapkan oleh pemerintah. “

(2) Landasan Konstitusional dan Perkembangan Hukum Lingkungan di Indonesia


Dengan disahkannya Undang-Undang No 32 Tahun 2009 (PPLH) sebagai pengganti
Undang-Undang No.23 tahun 1997 besar harapan agar tingkat kesadaran masyarakat terhadap
pentingnya lingkungan hidup semakin meningkat dan penegakan hukum lingkungan di Negara kita ini
semakin menunjukkan taringnya, karena penerapan undang-undang terdahulunya yaitu Undang-
Undang No.23 tahun 1997 memiliki beberapa kelemahan yang menyebabkan mulai dari semenjak
diundangkannya banyak memiliki celah bagi pelaku perusakan lingkungan untuk berdalih jika digugat
melakukan perusakan lingkungan.
Masalah lingkungan di negara berkembang (Indonesia), terutama berakar pada
keterbelakangan pembangunan. Oleh karena itu, apabila negara industri mempunyai pandangan
yang kuat untuk mengatasi masalah lingkungan dengan tidak meningkatkan pembangunan, yang
lazim dikenal dengan pertumbuhan nol (zero growth), bagi negara berkembang (Indonesia) justru
untuk mengatasi masalah lingkungan diperlukan pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan
pembangunan nasional.[7]

(3) Pengaturan Izin Pembuangan Limbah Cair


Dalam PP No 82 Tahun 2001, pencemaran air didefinisikan sebagai:“Pencemaran air adalah
memasuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air
oleh kegiatan mannusia, sehinga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air
tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya;”(Pasal 1 angka 11).
Untuk melaksanakan ketentuan pasal 21 PP No 82 Tahun 2001, Pemerintah mengeluarkan
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 111 Tahun 2003 tentang Pedoman Mengenai
Syarat Dan Cara Perizinan serta Pedoman Kajian Pembuangan Air Limbah ke Air atau Sumber Air
tanggal 23 Juni 2003.[8]
Berdasarkan Pasal 3 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 111 Tahun 2003,
pembuangan air limbah ke air atau sumber air oleh pengusaha atau pemilik kegiatan harus dengan
izin tertulis Bupati/Walikota. Izin tersebut baru dapat diberikan setelah kajian analisis mengenai
dampak lingkungan di setujui oleh instansi yang berwenang.

(4) PENANGGULANGANGAN PENCEMARAN AIR


Apapun kegiatan manusia pasti akan menimbulkan pengaruh atau gangguan pada
lingkungan termasuk air. Kegiatan industri misalnya sangat membutuhkan air sebagai bahan baku
atau sebagai bahan pemrosesan atau pencucian produk, yang tentunya menghasilkan limbah cair.
Untuk itu pemerintah juga harus menjamin kebutuhan industri terhadap air, terutama sungai. [9]
Pengendalian/penanggulangan pencemaran air di Indonesia telah diatur melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas dan Pengendalian Pencemaran Air.
Secara umum hal ini meliputi pencemaran air baik oleh instansi ataupun non-instansi.
Salah satu upaya serius yang telah dilakukan Pemerintah dalam pengendalian pencemaran
air adalah melalui Program Kali Bersih (PROKASIH). Program ini merupakan upaya untuk
menurunkan beban limbah cair khususnya yang berasal dari kegiatan usaha skala menengah dan
besar, serta dilakukan secara bertahap untuk mengendalikan beban pencemaran dari sumber-
sumber lainnya. Program ini juga berusaha untuk menata pemukiman di bantaran sungai dengan
melibatkan masyarakat setempat.
Pada prinsipnya ada 2 (dua) usaha untuk menanggulangi pencemaran, yaitu
penanggulangan secara non-teknis dan secara teknis. Penanggulangan secara non-teknis yaitu
suatu usaha untuk mengurangi pencemaran lingkungan dengan cara menciptakan peraturan
perundangan yang dapat merencanakan, mengatur dan mengawasi segala macam bentuk kegiatan
industri dan teknologi sehingga tidak terjadi pencemaran. Peraturan perundangan ini hendaknya
dapat memberikan gambaran secara jelas tentang kegiatan industri yang akan dilaksanakan,
misalnya meliputi AMDAL, pengaturan dan pengawasan kegiatan dan menanamkan perilaku disiplin.
Sedangkan penanggulangan secara teknis bersumber pada perlakuan industri terhadap perlakuan
buangannya, misalnya dengan mengubah proses, mengelola limbah atau menambah alat bantu yang
dapat mengurangi pencemaran.
Pembangunan merupakan upaya sadar yang dilakukan oleh manusia untuk mencapai
kehidupan yang lebih baik. Hakikat pembangunan adalah bagaimana kehidupan hari depan lebih baik
dari hari ini. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan akan selalu bersentuhan
dengan lingkungan.[10]

(5) Sengketa Lingkungan Hidup


Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang timbul
dari kegiatan yang berpotensi dan/atau telah berdampak pada lingkungan hidup.
Untuk mengatasi pencemaran lingkungan atau sengketa lingkungan diperlukan suatu alat
yang dapat mengatasi permasalahan yang timbul, dengan secara teratur, pasti dan berjalan dengan
tertib. Permasalahan yang berkaitan dengan lingkungan hidup merupakan suatu dilema yang
dihadapi bangsa Indonesia, karena dahulu industri merupakan tuntutan kemajuan, tapi industri pula
yang menimbulkan kerugian berupa pencemaran dan kerusakan lingkungan. Dalam kaitannya
dengan hal tersebut yang perlu dilakukan adalah mencari jalan tengah atau solusi, karena
meniadakan salah atu aspek pembangunan adalah tidak mungkin. Oleh karena itu yang harus
ditempuh adalah meningkatkan perkembangan industri sesuai tuntutan zaman disertai pengelolaan
lingkungan secara cermat .
Masalah efektifitas hukum, berkaitan erat dengan masalah kepatuhan terhadap hukum
sebagai norma. Berbagai faktor dapat menjadi sebab mengapa warga masyarakat mentaati hukum.
Menurut teori comparative, dari L. Pospisil sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto,
kepatuhan hukum dapat disebabkan karena : a) takut akan akibatnya yang berupa suatu penderitaan
terhadap apabila norma tersebut dilanggar, b) untuk menjaga hubungan baik dengan warga-warga
masyarakat lainnya, faktor semacam ini terdapat pada bagian masyarakat yang kurang memberikan
toleransi pada penyimpangan-penyimpangan, c) untuk memelihara hubungan baik dengan golongan
yang berpengaruh dalam masyarakat, d) faktor kepentingan, e) oleh karena hukum tadi sesuai atau
serasi dengan sistem nilai-nilai yang dianutnya.[11]
Selain tindakan pencemaran lingkungan hidup, sebab-sebab lainnya yang dapat
menyebabkan timbulnya sengketa adalah perusakan lingkungan hidup yang diartikan sebagai
tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau
hayati yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan
berkelanjutan.
Untuk mengatasi berbagai permasalahan sengketa lingkungan hidup tersebut, Pasal 84 UU
No 32 Tahun 2009 telah menentukan bahwa:

(1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui


pengadilan atau di luar pengadilan.

(2) Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara


suka rela oleh para pihak yang bersengketa.

(3) Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya


penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan
tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.

6. METODE PENELITIAN
1. Metode Pendekatan
Penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute aproach) dan pendekatan
kasus (case aproach).
Pendekatan perundang-undangan dengan menelaah undang-undang yang berkaitan dengan
pencemaran lingkungan hidup yaitu UU No 32 Tahun 2009. Sedangkan pendekatan kasus dengan
menelaah kasus pencemaran limbah cair oleh PT. NHM di Halmahera Utara.

2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi yang digunakan adalah deskriptif normsatif. Hal ini bertujuan untuk membuat
suatu gambaran tentang suatu keadaan secara objektif dalam suatu situasi. Dalam penelitian ini akan
diuraikan mengenai pelaksanaan penegakan hukum terhadap kasus pencemaran lingkungan dengan
meneliti bahan-bahan hukum mengenai hukum lingkungan.

3. Sumber Bahan Hukum


Dalam usaha pengumpulan data untuk keperluan penyusunan penelitian ini penulis
menggunakan cara studi pustaka untuk mengumpulkan data primer dan data sekunder. Yaitu dengan
cara membaca dan mempelajari buku yang ada hubungannya dengan pokok permasalahan.
mer
Data yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat
1. Undang-Undang Dasar 1945
2. Undang-Undang No. 23 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
3. PP 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air
4. PP No 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun
5. PP No 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa
Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan
6. UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
7. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

kunder
Merupakan bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat
membantu serta menganalisis.
1. Hukum lingkungan dalam sistem penegakan hukum lingkungan
Indonesia.
2. Pelestarian, pengelolaan dan penegakan hukum lingkungan.
3. Instrumen hukum lingkungan di Indonesia.
4. Hukum Tata Lingkungan.
5. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan.
6. Pengantar Hukum Lingkungan Indonesia.
7. Pembangunan berwawasan lingkungan.
8. Pencemaran lingkungan.
9. Mengenal hukum lingkungan Indonesia.
10. Amdal dalam sistem hukum di Indonesia.
11. Alternatif Penyelesaian Sengketa.
12. Alternatif Dispute Resolution dan Arbitrase.
sier
Yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan sekunder.
ukum
dia

4. Metode Pengumpulan Bahan Hukum


Menurut Soerjono Soekanto, dalam penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang
diperoleh secara langsung dari masyarakat dan dari bahan-bahan pustaka. Yang diperoleh langsung
dari masyarakat dinamakan data primer (atau data dasar), sedangkan yang diperoleh dari bahan-
bahan pustaka lazimnya dinamakan data sekunder.[12]
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu studi kepustakaan atau studi dokumen
dengan cara mempelajari perundang-undangan, buku-buku literature yang berkaitan.

5.Metode Pengolahan Bahan Hukum


Data diolah secara sistematis , yaitu dihubungkan antara data satu dengan lainnya dan
disesuaikan dengan pokok permasalahan sehingga terbentuk satu kesatuan utuh. Kemudian
dianalisa secara kualitatif, sehingga diperoleh kejelasan mengenai permasalahan yang dibahas.
Setelah data diolah maka selanjutnya disajikan dalam uraian-uraian kalimat yang sistematis.
7. DAFTAR PUSTAKA
u
Subagyo, Joko. 1992. Hukum Lingkungan, Masalah Dan Penanggulangannya. Rineka Cipta: Jakarta.
Husin, Sukanda. 2009. Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Sinar Grafika: Jakarta.
Supriadi. 2008. Hukum Lingkungan Di Indonesia, Sebuah Pengantar. Cetakan kedua. Sinar Grafika: Jakarta.
Sudikno, Mertokusumo. 1988. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Edisi kedua, Cetakan Pertama, Liberty:
Yogyakarta.
Ashshofa, Burhan. 1996. Metode Penelitian. Rineka Cipta: Jakarta.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2006. Penelitian Hukum Normatif. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Soekanto, Soerjono. 1980. Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, CV. Rajawali: Jakarta.
Perundang-undangan

1. Undang-Undang Dasar 1945


2. Undang-Undang No. 23 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
3. PP 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran
Air
4. PP No 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun
5. PP No 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian
Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan
6. UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
7. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

1. Walhi, Rabu, 09 Februari 2011,” Limbah NHM Mencemari Sungai dan Kebun Warga ”,
tersedia di website http://www.walhi.or.id/ruang-media/siaran-pers/333-limbah-
berbahaya-sebanyak-361-ton-dari-perusahaan-tambang-emas-nusa-halmahera-
mineral-nhm-australia-telah-mencemari-sungai-dan-kebun-warga.html, diakses tanggal
26 Maret 2011.
2. Indra Mia Henstin, Senin, 21 Desember 2009, “Kelemahan UU No 23 tahun 1997
(UUPLH)”, tersedia di websitehttp://blawitredisme.blogspot.com/2009/12/kelemahan-
uu-no-23-tahun-1997-uuplh.html, diakses tanggal 26 Maret 2011.
3. Bolmer Suyadi Hutasoit, Jumat, 15 Oktober 2010, “ Metode Penelitian dan Penulisan
Hukum Normatif”http://bolmerhutasoit.wordpress.com/2010/10/15/metode-penulisan-
dan-penelitian-hukum.html, diakses tanggal 29 Maret 2011.
[1] Sudikno Mertokusumo, 1988, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Edisi kedua, Cetakan
Pertama,
Yogyakarta : Liberty, hlm. 134-135.

[2] Joko Subagyo, 1992, Hukum Lingkungan, Masalah dan Penanggulangannya,Jakarta: Rineka
Cipta, hlm. 62.
[3] Supriadi, 2006, Hukum Lingkungan di Indonesia, Sebuah Pengantar, Cetakan Kedua, Jakarta:
Sinar Grafika, hlm. 32.
[4] Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif, Bandung: PT. Raja
Grafindo Persada, hlm. 2.
[5] Joko Subagyo, 1992, Hukum Lingkungan, Masalah dan Penanggulangannya, Op. cit, hlm. 27.
[6] Supriadi, 2006, Hukum Lingkungan di Indonesia, Sebuah Pengantar, Op. cit, hlm. 199.
[7] Supriadi, 2006, Hukum Lingkungan di Indonesia, Sebuah Pengantar, Op. cit, hlm. 39.

[8] Sukanda Husein, 2009, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 66-
67.
[9] Sukanda Husein, 2009, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Op,cit. hlm. 63.
[10] Supriadi, 2006, Hukum Lingkungan di Indonesia, Sebuah Pengantar, Op. cit, hlm. 38.

[11] Soerjono Soekanto, 1980, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, Jakarta : CV. Rajawali, hlm. 177.
[12] Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Op. cit, hal. 12.

Anda mungkin juga menyukai