MARINE POLLUTION
Dosen Pengampu :
Disusun Oleh :
(191910701023)
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS JEMBER
2020
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan hidayahNya saya dapat
menyusun paper yang berjudul Kasus Tumpahan Kapal Minyak Showa Maru pada waktunya.
Adapun tujuan penulisan paper ini untuk memenuhi tugas dari dosen pada mata kuliah
Peraturan Statutori Teknik Konstruksi Perkapalan. Selain itu paper ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang Kasus-kasus marine pollution (MARPOL) bagi para pembaca
dan juga penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada ibu wazirotus sakinah S.Pd., M.T. yang telah
memberikan tugas ini sehingga dapat menambah wawasan dan pengetahuan saya sesuai
dengan program studi yang saya tekuni ini. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada pihak
yang telah membagikan informasinya sehingga saya dapat menyelesaikan paper ini. Saya
menyadari bahwa paper ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun akan sangat saya nantikan untuk menyempurnakan paper ini.
Penyusun
1. Gambaran Umum Kasus Marine Pollution
UNCLOS 1982, terdiri dari 17 bab 320 Pasal, secara isi UNCLOS 1982tersebut
mengatur hal-hal yang berkenaan dengan penggunaan istilah dan ruanglingkup, laut
territorial, dan zona tambahan, selat yang digunakan untuk pelayaraninternasional,
negara kepulauan, ZEE, landas kontinen, laut lepas, laut lepas,rezim pulau, laut
teritorial setengah tertutup, hak negara tak berpantai untuk masuk dalam dan ke luar
laut serta kebebasan melakukan transit, kawasan, perlindungan dan pelestarian laut,
riset ilmiah kelautan, pengembangan alihteknologi kelautan, penyelesaian sengketa,
dan bab ketentuan umum dan penutup.
3. Pembahasan
1. Konflik yang terjadi
Dari segi hukum, masalah Showa Maru di waktu itu justru menempatkanIndonesia
pada posisi sangat lemah dan sulit dalam penyelesaian hukum dan tuntutanganti rugi.
Karena selain belum ada UU Nasional tentang Pencemaran Laut, juga karena konvensi-
konvensi internasional yang ada seperti Konvensi Brussel tahun 1969 belum diratifikasi.
Untuk mengatasinya, delegasi Indonesia berkonsultasi ke Malaysia,
Singapura,Thailand dan Philipina. Namun upaya delegasi tidak berhasil karena
penanggulangan hukum pencemaran laut di negara-negara tersebut juga masih pada tahap
awal, kecuali Singapura yang sistem hukumnya telah menggunakan pola Konvensi
London tahun 1954.Sementara itu pakar hukum Prof. Dr. Komar Kantaatmadja, SH,
mengatakan bahwa saat itu kerusakan ekologi laut di Indonesia sangat sedikit dituntut
ganti rugi, karena kerusakan akibat penemaran oleh tumpahan minyak berada di luar
jangkauan asuransi.Peristiwa Showa Maru yang melemahkan posisi Indonesia, menurut
Komar karenakriteria kerusakan, metode survei dan dasar hukum nasional maupun
internasional kurang jelas. Maka klaim Indonesia berkaitan kerusakan mata rantai
makanan akibat terganggunya ekosistem kelautan oleh tumpahan minyak atas kerusakan
ekologi laut dalam jangka panjang tidak dapat diterima.
Akibat jangka langsung maupun tidak langsung atas kejadian ini adalah nelayan
setempat masih saja mengalami kesulitan mendapat hasil tangkapan ikan seperti sebelum
kejadian kecelakaan kapal dan bahkan penduduk yang biasa mengandalkan hidupnya pada
mencari kayu bakar pun tak luput dari kesusahan. Sebab hutan bakau yang menjadi
sumber penghasil kayu bakar mengalami kerusakan dan kekeringan.
Indonesia sendiri sudah mulai mendapat ganti rugi dari pemilik Showa Maru,tanker
Jepang yang kandas karena bocor di Selat Malaka, Januari 1975. Pembayaran
yangmeliputi US $ 1,2 juta itu baru merupakan pembayaran tahap pertama dan akan
digunakan untuk ongkos pembersihan perairan bagian Indonesia yang tercemar
serta pembayaran ganti rugi nelayan yang sementara ini terputus jalur mata pencarian
mereka. Namun hingga 3 tahun setelah kejadian tersebut masalah ganti rugi masih saja
meninggalkan persoalan bagi penduduk Kabupaten Kepulauan Riau, yaitu soal ganti rugi
bagi penduduk yang menderita kerugian langsung ataupun tidak langsung akibat
tercemarnya wilayah laut.
Pada masa itu, terdapat proyek pembangunan pelabuhan dan tempat pendaratan ikan
di Teluk Antang, Pulau Tarempa namun asal dana proyek tersebut juga masihsimpang
siur karena belum tentu merupakan uang ganti kerugian atau juga sumbangandari pemilik
Showa Maru. Sementara berdasar keterangan dari Departemen Luar Negeri, mengatakan
bahwa perundingan dengan pemilik kapal baru sampai pada taraf menyetujui biaya
pembersihan saja. Sementara mengenai masalah ganti rugi untuk korban warga sekitar
masih dalam proses dan akan ditangani oleh Departemen Dalam Negeri dengan dibantu
oleh instansi lainnya.
2. Perkembangan Kasus
Sebagai konsekuensi peristiwa kandasnya kapal tangki minyak showa maru,
Indonesia yang menyadari keadaan lingkungan alaminya potensial bagi masalah
lingkungan lintas batas telah meratifikasi beberapa konvensi internasional, yaitu konvensi
internasional brusel 1969 tentang tanggung jawab perdata terhadap kerugian akibat
pencemaran minyak di laut, dan kovensi internasional tentang pembentukan dana
internasional 1971 bagi kompensasi terhadap kerugian akibat pencemaran minyak,
masing-masing dengan keputusan presiden (kepres) No. 18 dan 19 Tahun 1978, dan
konvensi MARPOL 1973 dengan kepres No. 15 Tahun 1985.
Dengan demikian, perkembangan hukum lingkungan Indonesia yang bersifat
menyeluruh baru terjadi setelah peristiwa kandasnya kapal tangki showa maru di selat
malaka dan selat Singapura pada tahun 1975. Peristiwa ini juga telah mendorong
terbntuknya rancangan undang-undang lingkungan hidup Indonesia. Dengan terbentuknya
kantor menteri negara pengawasan pembangunan dan lingkungan hidup (sekarang menteri
lingkungan hidup), gerakan kesadaran lingkungan hidup dan upaya menyusun rencana
undang-undang lingkungan Hidup (UULH) oleh lembaga ini terbentuk pada tahun 1979.
Rancangan UULH ini kemudian dikenal UU No. 4 Tahun 1982 tentang ketentuan -
ketentuan pokok lingkungan hidup.
Kepentingan Indonesia dan juga dunia internasional atas perlunya eksistensi rezim
hukum laut yang mengatur hal tersebut diatas mencapai puncaknya pada awal abad ke-20.
Tercatat dalam paruh pertama abad ke20 telah terdapat 4 kali usaha dunia internasional
untuk memperoleh suatu rezim hukum laut yang menyeluruh, yaitu :
a. Konferensi kodifikasi den haag 1930 (the hague codification confrence in 1930) di
bawah naungan Liga Bangsa-Bangsa
b. Konferensi PBB tentang hukum laut I tahun 1958 (the first UN confrence on the law of
the sea inn 1958)
c. Konferensi PBB tentang hukum laut II 1960 (the second UN conference on the sea in
1960) 57
d. Konferensi hukum laut III 1982 (the third UN conference on the law of sea 1982) yang
menghasilkan united nations convention on the law of the sea (UNCLOS 1982.
Pakar hukum Komar Kantaatmadja mengatakan bahwa saat itu kerusakan ekologi
laut di Indonesia sangat sedikit dituntut ganti rugi karena kerusakan akibat pencemaran
oleh tumpahan minyak berada di luar jangkauan asuransi. Peristiwa Showa Maru yang
melemahkan posisi Indonesia, menurut Komar karena kriteria kerusakan, metode survei
dan dasar hukum nasional maupun internasional kurang jelas. Oleh karena itu klaim
Indonesia berkaitan kerusakan mata rantai makanan akibat terganggunya ekosistem
kelautan oleh tumpahan minyak atas kerusakan ekologi laut dalam jangka panjang tidak
dapat di terima.
Pada masa itu, terdapat proyek pembangunan pelabuhan dan tempat pendaratan ikan
di Teluk Antang, Pulau Tarempa. Namun, asal dana proyek tersebut juga masih simpang
siur karena belum tentu merupakan uang ganti kerugian atau juga sumbangan dari pemilik
kapal Showa Maru. Berdasarkan pada keterangan dari departemen luar negeri,
perundingan dengan pemilik kapal baru sampai pada taraf menyetujui biaya pembersihan
saja. Sementara mengenai masalah ganti rugi untuk korban warga sekitar masih dalam
proses dan akan ditangani oleh departemen dalam negeri dengan di bantu oleh instansi
lainnya.
4. Kesimpulan
Pengaturan hukum internasional tentang pencemaran laut yaitu (1) Convention on the
Prevention of Marine Pollution by Dumping of Wastes and Other Matter (London
Dumping) 1972, (2) International Convention for the Preventing of Pollution from Ships
1973/1978 (MARPOL 1973/1978), (3) The International Convention on Oil Pollution
Preparedness Response and Coorperation (OPRC), (4) International Convention on Civil
Liability for Oil Pollution Damage (Civil Liability Convention) tahun 1969, (5) United
National Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982).
Sedangkan hukum nasional yang mengatur tentang pencemaran laut yaitu (1) Undang-
undang No. 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.(2)
Peraturan pemerintah No. 19 Tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran dan/ atau
perusakan laut. (3) Perpres No. 109 Tahun 2006 tentang penanggulangan keadaan darurat
tumpahnya minyak di laut.
Upaya pemulihan lingkungan laut dalam hukum internasional adalah apabila terjadi
pencemaran lingkungan laut, maka langkah yang harus dilakukan dalam penanganan
tumpahan minyak (oil spill) di laut adalah dengan cara melokalisasi tumpahan minyak
menggunakan pelampung pembatas (oil booms) yang kemudiann akan ditransfer dengan
perangkat pemompa (oil skimmers) ke sebuah fasilitas penerima reservoar baik 120 dalam
bentuk tangki ataupun balon, atau menggunakan beberapa teknik yang dapat di lakukan
dalam penanggulangan tumpahan minyak diantaranya in-situ burning, penyisihan secara
mekanisme, bioremediasi, penggunaan sorbent dan penggunaan bahan kimia dispersen.
Namun setiap teknik ini memiliki laju penyisihan minyak berbeda dan hanya efektif pada
kondisi tertentu. Hal ini juga diatur dalam UNCLOS 1982 pasal 194 ayat 2 agar setiap
negara menjaga lingkungan lautnya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
http://repositori.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/4234/140200346.pdf?sequence=1
https://www.academia.edu/4923014/
MAKALAH_CONTOH_KASUS_LINGKUNGAN_HIDUP_INTERNASIONAL_CONT
OH_KASUS_TUMPAHAN_MINYAK_KAPAL_SHOWA_MARU
https://media.neliti.com/media/publications/242956-none-df465835.pdf
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/xmlui/bitstream/handle/11617/4008/6.pdf?
sequence=1&isAllowed=y