perumahan, menyekolahkan anaknya, membayar cicilan rumah, dan lain-lain," ujar Tarmidzi
setelah berhasil meredam kekesalannya.
"Anak seorang dai tetap perlu membayar uang sekolah dan membeli keperluan sekolah. Istri
seorang muballigh bila membeli beras maupun sayuran tidak hanya separuh harga. Rumah
seorang kyai, ajengan, atau seh tetap membayar rekening listrik kepada PLN. Jika menggunakan
pesawat telepon juga tidak gratis. Nah, barangkali Pak RW bisa mencari guru mengaji yang tidak
mempunyai kewajiban seperti itu."
Mendengar penjelasan panjang lebar dari Tarmidzi, orang-orang yang ada di tempat itu
tercenung. Sebelum orang lain bicara lagi. Tarmidzi kembali buka suara, "Mulai sekarang saya
kembalikan kepercayaan bapak-bapak kepada saya untuk mengurus anak yang mengaji di sini.
Barangkali Pak Zulfar bisa mencari guru ngaji yang tidak perlu membayar cicilan rumah, atau
ustad yang istrinya kalau belanja hanya separuh harga, dan anak-anaknya bisa digratiskan
sekolahnya. Dengan demikian, kas masjid tidak akan berkurang untuk membayar honor guru
ngaji."
Tarmidzi menyerahkan berkas-berkas kepada Baharudin, ketua pengurus masjid. Baharudin sama
sekali tidak bertanya kenapa berkas-berkas itu diserahkan lelaki yang duduk di sebelahnya.
Tarmidzi lantas pulang. Ia tak ingin berlama-lama duduk di sana. Tarmidzi ingin menghindari
mujadalah dengan orang-orang di masjid.
Esoknya tak ada guru mengaji yang datang ke masjid. Anak-anak menjadi tak terurus. Mereka
hanya berlarian ke sana kemari di dalam masjid, dan membuat orang-orang yang ada di sana
jengkel. Menyadari ada sesuatu yang tidak beres, Baharudin mendatangi Tarmidzi. Minta
kesediaannya untuk kembali menjadi pengurus masjid, dan bersedia menghubungi tenaga
pengajar ngaji lagi. Namun, Tarmidzi terlanjur kecewa.
"Lebih baik Pak Bahar cari pengganti saya atau bereskan dulu pembangunan fisik masjid. Masjid
kan masih banyak butuh biaya. Kalau pengajian anak-anak dihidupkan lagi justru akan
mengurangi kas masjid. Uang yang seharusnya untuk beli semen atau pasir akan terpakai untuk
honor guru ngaji," ujar Tarmidzi.
"Tapi...."
"Atau begini saja, Pak," potong Tarmidzi, "Nanti kalau ekonomi saya sudah mapan, saya sudah
jadi orang kaya, saya bersedia diserahi seksi pendidikan anak-anak. Dengan demikian saya tak
akan membebani kas masjid untuk honor pengajar."
"Apakah Pak Tarmidzi tidak...."
"Ini keputusan saya, Pak," untuk kedua kalinya Tarmidzi memotong kalimat Baharudin, "Saya
akan berkiprah lagi di masjid jika ekonomi saya sudah mapan. Kalau tidak, lebih baik saya jadi
jamaah saja, Pak."
Malam itu, rumah Baharudin dipenuhi tokoh masyarakat. Mereka tengah membicarakan nasib
anak-anak di masjid Nurul Iman. Sudah sepekan anak-anak tak ada yang mengurus. Anak-anak
hanya berlarian ke sana, karena tak ada guru mengaji yang datang.
"Kalau masalahnya seperti itu, biar nanti anak-anak kami yang mengurus," ujar Hasan setelah
mendengar penjelasan Baharudin.
"Ya, saya juga bisa membantu Pak Hasan," kata Ali.
"Betul apa kata Pak Hasan sama Pak Ali. Masa, kita-kita tidak ada yang mengurus anak-anak.
Nanti saya juga bisa ngajar, kok," sambut Royani. "Pokoknya kalau masalah ibadah yang penting
kita ikhlas. Semuanya akan jadi beres," tambah Sulaeman.
"Yang jelas, uang kas masjid jangan sampai diutak-utik. Biar pemasukan dari tromol infak atau
yang lainnya untuk pembangunan masjid," tukas yang lain lagi, "Saya yakin orang yang
menyumbang pasti untuk kepentingan pembangunan masjid. Bukan untuk honor guru ngaji."
Setelah berbagai pendapat dikemukakan. Akhirnya mereka sepakat untuk tetap melanjutkan
pengajian anak-anak di masjid Nurul Iman. Tenaga pengajarnya adalah mereka yang telah
menyatakan kesediaan menggantikan Tarmidzi dan kawan-kawannya. Mereka itu adalah Hasan,
Ali, Royani, Mukhlis, dan Topik.
Namun, lima orang itu ternyata tidak sanggup mengurusi anak-anak. Setelah mereka pegang,
pengajian anak-anak hanya bisa bertahan setengah bulan. Setelah itu tidak ada yang mau
dipasrahi mengurus pengajian anak-anak. Akibatnya, anak-anak di kompleks perumahan itu tak
ada lagi yang mengaji.
Setelah Tarmidzi berhenti mengajar ngaji, sejak itu pula masjid Nurul Iman tak ada kegiatan
pengajian anak-anak lagi. Karena menjadi pengajar ngaji tidak semudah yang mereka
bayangkan. Meskipun demikian, tidak ada orang yang berani mendatangkan guru ngaji anakanak dari luar penghuni kompleks. Mereka khawatir dianggap mencari keuntungan di balik
semua yang dilakukannya.
Masjid yang berdiri di tengah kompleks perumahan itu makin megah. Bangunan tempat ibadah
itu makin sempurna. Namun, tak ada rohnya. Sebab, tak ada kegiatan apa pun di sana kecuali
hanya untuk shalat lima waktu dan shalat Jumat. Tiap shalat lima waktu pun hanya ada satu shaf
yang berdiri di belakang imam. Itu pun jarang sekali penuh satu baris.
Kendati demikian, segenap pengurus masjid merasa bangga. Lantaran, bangunan itu lebih indah
dan lebih megah dari rumah-rumah yang ada di sekitarnya.
***
"Jawab dong, Zal!" kata Bu Aryo yang muncul menghidangkan pisang goreng dan kacang rebus,
mencoba menyemangati Rizal yang tak berkutik dikerubut kawan-kawannya.
"Biar saja, Bu," jawab Rizal pendek tanpa nada kesal. "Kalau capek kan berhenti sendiri."
Memang Rizal orangnya baik. Setiap kali diledek dan digoda kawan-kawannya soal kawin
begitu, dia tidak pernah marah. Bahkan diam-diam dia bersyukur kawan-kawannya
memperhatikan dirinya. Dan bukannya dia tidak pernah berpikir untuk mengakhiri masa
lajangnya; takut pun tidak. Dia pernah mendengar sabda Nabi yang menganjurkan agar apabila
mempunyai sesuatu hajat yang masih baru rencana jangan disiar-siarkan. Sudah sering --sampai
bosan-- Rizal menyatakan keyakinannya bahwa jodoh akan datang sendiri, tidak perlu dicari.
Dicari ke mana-mana pun, jika bukan jodoh pasti tidak akan terwujud. Jodoh seperti halnya
rezeki. Mengapa orang bersusah-payah memburu rezeki, kalau rezeki itu sudah ditentukan
pembagiannya dari Atas. Harta yang sudah di tangan seseorang pun kalau bukan rezekinya akan
lepas. Dia pernah membaca dalam buku "Hikam"-nya Syeikh Ibn 'Athaillah As-Sakandarany
sebuah ungkapan yang menarik, "Kesungguhanmu dalam memperjuangankan sesuatu yang
sudah dijamin untukmu dan kesambalewaanmu dalam hal yang dituntut darimu, membuktikan
padamnya mata-hati dari dirimu."
Setiap teringat ungkapan itu, Rizal merasa seolah-olah disindir oleh tokoh sufi dari Iskandariah
itu. Diakuinya dirinya selama ini sibuk --kadang-kadang hingga berkelahi dengan kawan-mengejar rezeki, sesuatu yang sebetulnya sudah dijamin Tuhan untuknya. Sementara dia
sambalewa dalam berusaha untuk berlaku lurus menjadi manusia yang baik, sesuatu yang
dituntut Tuhan.
"Suatu ketika mereka akan tahu juga," katanya dalam hati.
Syahdan, pada suatu hari, ketika kelompok Rizal berkumpul di rumah Pak Aryo seperti biasanya,
Kang Ali bercerita panjang lebar tentang seorang "pintar" yang baru saja ia kunjungi. Kang Ali
memang mempunyai kesukaan mengunjungi orang-orang yang didengarnya sebagai orang
pintar; apakah orang itu itu kiai, tabib, paranormal, dukun, atau yang lain. "Aku ingin tahu,"
katanya menjelaskan tentang kesukaannya itu, "apakah mereka itu memang mempunyai keahlian
seperti yang aku dengar, atau hanya karena pintar-pintar mereka membohongi masyarakat
sebagaimana juga terjadi di dunia politik." Karena kesukaannya inilah, oleh kawan-kawannya
Kang Ali dijuluki pakar "orang pintar".
"Meskipun belum tua benar, orang-orang memanggilnya mbah. Mbah Hambali. Orangnya
nyentrik. Kadang-kadang menemui tamu ote-ote, tanpa memakai baju. Kadang-kadang dines
pakai jas segala. Tamunya luar biasa; datang dari segala penjuru tanah air. Mulai dari tukang
becak hingga menteri. Bahkan menurut penuturan orang-orang dekatnya, presiden pernah
mengundangnya ke istana. Bermacam-macam keperluan para tamu itu; mulai dari orang sakit
yang ingin sembuh, pejabat yang ingin naik pangkat, pengusaha pailit yang ingin lepas dari
lilitan utang, hingga caleg nomor urut sepatu yang ingin jadi. Dan kata orang-orang yang pernah
datang ke Mbah Hambali, doa beliau memang mujarab. Sebagian di antara mereka malah
percaya bahwa beliau waskita, tahu sebelum winarah."
Pendek kata, menurut Kang Ali, Mbah Hambali ini memang lain. Dibanding orang-orang
"pintar" yang pernah ia kunjungi, mbah yang satu ini termasuk yang paling meyakinkan
kemampuannya.
"Nah, kalau kalian berminat," kata Kang Ali akhirnya, "aku siap mengantar."
"Wah, ide bagus ini," sahut Pak Aryo sambil merangkul Rizal. "Kita bisa minta tolong atau
minimal minta petunjuk tentang jejaka kasep kita ini. Siapa tahu jodohnya memang melalui
Mbah Hambali itu."
"Setujuuu!" sambut kawan-kawan yang lain penuh semangat seperti teriakan para wakil rakyat di
gedung parlemen. Hanya Rizal sendiri yang, seperti biasa, hanya diam saja; sambil senyumsenyum kecut. Sama sekali tak ada tanda-tanda dia keberatan. Apakah sikapnya itu karena dia
menghargai perhatian kawan-kawannya dan tak mau mengecewakan mereka, atau sebenarnya
dia pun setuju tapi malu, atau sebab lain, tentu saja hanya Rizal yang tahu. Tapi ketika mereka
memintanya untuk menetapkan waktu, dia tampak tidak ragu-ragu menyebutkan hari dan
tanggal; meski seandainya yang lain yang menyebutkannya, semuanya juga akan menyetujuinya,
karena hari dan tanggal itu merupakan waktu prei mereka semua.
Begitulah. Pagi-pagi pada hari tanggal yang ditentukan, dipimpin Kang Ali, mereka beramairamai mengunjungi Mbah Hambali. Ternyata benar seperti cerita Kang Ali, tamu Mbah Hambali
memang luar biasa banyaknya. Pekarangan rumahnya yang luas penuh dengan kendaraan. Dari
berbagai plat nomor mobil, orang tahu bahwa mereka yang berkunjung datang dari berbagai
daerah. Rumahnya yang besar dan kuno hampir seluruh ruangnya merupakan ruang tamu.
Berbagai ragam kursi, dari kayu antik hingga sofa model kota, diatur membentuk huruf U,
menghadap dipan beralaskan kasur tipis di mana Mbah Hambali duduk menerima tamu-tamunya.
Di dipan itu pula konon si mbah tidur. Persis di depannya, ada tiga kursi diduduki mereka yang
mendapat giliran matur.
Ternyata juga benar seperti cerita Kang Ali, Mbah Hambali memang nyentrik. Agak deg-degan
juga rombongan Rizal cs melihat bagaimana "orang pintar" itu memperlakukan tamu-tamunya.
Ada tamu yang baru maju ke depan, langsung dibentak dan diusir. Ada tamu yang disuruh
mendekat, seperti hendak dibisiki tapi tiba-tiba "Au!" si tamu digigit telinganya. Ada tamu yang
diberi uang tanpa hitungan, tapi ada juga yang dimintai uang dalam jumlah tertentu.
Giliran rombongan Rizal cs diisyarati disuruh menghadap. Kang Ali, Pak Aryo, dan Rizal sendiri
yang maju. Belum lagi salah satu dari mereka angkat bicara, tiba-tiba Mbah Hambali bangkit
Rembang, 2004
Diruangi Hujan
Karya : M. Irfan Hidayatullah
Hujan sudah hampir satu jam. Deras. Kilat bersusulan dengan geledeg. Tanah seperti ditikamtikam. Setiap tikaman memuncratkan darah coklat. Jalanan kampung kemudian tergenang,
menuju banjir. Ini pagi sebenarnya.
Ya, ini pagi sebenarnya, tapi hujan itu sempurna menutupinya. Ibarat tirai penutup kenyataan.
Dan kenyataan adalah ruang di balik tirai itu. Ruang yang betul-betul terpisah denganku saat ini.
Tapi ada baiknya. Setidaknya hujan membantuku menghilangkan sekat waktu.
Waktu yang terus memburu. Memburuku dengan pisau mengilat di tangannya. Aku seperti tanah
yang ditikam oleh hujan itu selama ini. Namun, tidak untuk saat ini karena hujan yang menikamnikam tanah itu membantuku.
Ini pagi sebenarnya, tapi kelam. Karena hujan itulah pagi ini jadi kelam. Bahkan jadi mencekam.
Tak ada seorang pun keluar rumah. Bahkan mungkin semua meneruskan tidur mereka.
Bergabung lagi dengan mimpi-mimpi mereka. Namun, tidak denganku karena aku sepertinya
harus merayakan terbunuhnya waktu.
Hujan sudah hampir enam jam. Masih deras. Aku masih merasakan betapa waktu telah kalah dan
terbunuh. Mungkin sekarang harusnya sudah siang. Mungkin harusnya sekarang seperti siang
kemarin saat aku terpanggang waktu, terbungkus debu. Saat aku tertampar-tampar kesempatan.
Saat peluh telah menyatu baju melekatkannya pada tubuh ringkih. Saat aku tersaruk pada putus
asa.
"Ini dia sampah!"
"Lebih busuk dari sampah!"
"Tak berguna!"
"Kerja, kek... ngapain, kek."
Hujan sudah hampir enam jam dan aku semakin yakin. Sementara itu, sepertinya yang tertidur
sudah bangun. Mereka kini ramai menyelamatkan rumah masing-masing. Rumah yang mulai
digenangi air. Rumah yang disatroni air. Rumah yang dikuasai air. Mereka seakan telah tak
punya kuasa. Mereka hanya berusaha. Mereka terus mengeduk. Mereka berusaha membendung.
Mereka bahkan berusaha berteriak-teriak minta tolong. Hujan terus berlangsung. Deras yang
konstan diselingi geledeg.
Begitu pun rumahku, tepatnya, gubukku, telah sempurna dimasuki air dari berbagai jalan.
Bocoran dan rembesan telah bermuara di ruang tempatku duduk mematung. Pada tanganku
sebilah pisau. Aku telah mengasahnya hampir seminggu. Air itu semula hanya aliran kecil.
Semula hanya ngeclak sesekali. Dan aku membiarkannya menjadi bah. Dan aku
mempersilahkannya menjadi hujan pada hujan pada langit atapku yang bergayut dan kelabu.
Suara-suara ribut di luar sana tak membuatku bergeming. Aku betul-betul telah bulat memasuki
sunyi. Ya, aku akan menyempurnakan sunyi duniaku. Setelah satu persatu manusia yang kukasihi
luruh seperti kelopak bunga terbadai hujan deras, layaknya saat ini.
Istriku adalah kelopak terakhir yang gugur. Ia meninggalkanku saat aku hampir sebulan
memasuki labirin itu. Saat aku berputar-putar pada jalan tak berujung. Saat aku mencari-cari ruh
anakku yang direnggut dari kebahagiaan sederhana kami. Tabrak lari!
Suamiku.
Aku pergi. Kita hidup sendiri-sendiri saja. Jika telah siap, pinang aku kembali! Tapi jangan cari
diriku
sebelum
kau
menemukanmu.
Istrimu.
Surat istriku di hadapanku sebenarnya, tapi aku tak bisa membacanya lagi. Aliran listrik terputus.
Aku hanya bisa mengingatnya. Kata demi kata.
Tiba-tiba tetangga sebelahku berteriak, Azan. Azan dengan sisa-sisa harapan mereka karena air
telah menenggelamkan hampir setengah meter, padahal perkampungan ini termasuk berada di
dataran agak tinggi. Kini tubuhku pun mulai terendam, tapi pada tanganku sebilah pisau.
"Kau mau apakan aku?"
"Aku mau memakaimu."
"Untuk apa?"
"Untuk membunuhku."
"Pada apa?"
"Pada urat leherku."
"Aku ngak sudi."
"Bukankah kau menginginkanku juga?"
"Enak saja."
"Kau berkilat ketika terbayang olehmu urat leherku?"*)
"Aku berkilat karena cahaya-Nya."
"Ha...ha..ha..ha, antar aku menuju cahaya-Nya, kalau begitu?"
"Kau tidak akan menghampiri Sang Mahacahaya karena kau kini takdicahayai-Nya."
"Ha..ha... pisau sok tahu. Aku tak akan basa-basi lagi."
Aku pun mengantar pisau itu pada urat leherku sendiri. Namun, pisau itu menolak. Aku berkeras.
Dengan sekuat tenaga kutarik pisau itu menuju leherku, tapi tetap pisau itu pun bertahan. Bahkan
tenaganya begitu kuat. Aku pun memakai dua tanganku untuk menariknya. Entahlah, aku tak
habis pikir. Semakin aku berusaha mengeluarkan tenaga semakin kuat pula pisau itu
bertahan.Sementara itu, di luar hujan semakin ramai. Ya, suara hujan, suara geledeg, suara azan
tetanggaku, dan suara-suara orang meninggalkan rumah-rumah mereka.
Aku justru tengah berjuang. Aku kini bahkan bergumul dengan pisau itu di lantai, di genangan
air. Aku ditenggelamkannya agar aku sudi melepaskannya. Jelas aku tak sudi, aku balik
membenamkannya ke banjir itu dengan harapan ia akan kehabisan tenaga.
Namun, harapanku tak jua tercapai. Kami sepertinya seimbang. Kami terus bergumul sampai
napasku betul-betul habis. Tapi aku takakan melepaskannya. Ini harapan terakhirku untuk
menyempurnakan sunyi.
Lelah amat sangat menerpaku. Aku seperti tercekik oleh rasa itu, tapi aku tak mau semua
berakhir dalam posisi kalah oleh mata pisau itu. Namun, aku tak mampu. Kini, aku hanya
mampu berteriak.
"Aaaaaarrrrrgh... lepaskan aku pisau sialan. Aku telah mengasahmu bukan untuk sebuah
pembangkangan."
Senyap. Tapi beberapa saat kemudian aku mendengar tetanggaku berazan kembali. Terus terang
aku bosan dengan suara itu.
"Hai,... Juned. Diam kau."
Lalu suara-suara sibuk di luar pun semakin jelas. Kini aku merasakan hening itu pecah. Aku
seperti dihubungkan kembali ke dunia bising. Dunia yang tak berjarak dengan diriku sendiri.
Dunia
yang
selama
ini
justru
berusaha
kuhindari.
"Biar
aku
yang
menghentikannya."
Tiba-tiba suara merdu itu hadir.
"Istriku?"
"Ya."
"Kau?"
"Ya, aku istrimu."
"Kau...?"
"Ya, aku datang untukmu."
Lalu istriku menghampiriku. Tangannya meraih pisau di tanganku. Aku heran, saat tiba-tiba
pisau itu tak melawan. Ia pasrah di tangan lembut istriku. Lalu istriku pun meraihku.
Mengangkatku dari rendaman air banjir itu. Aku betul-betul diangkatnya. Saat dia tersenyum
sepertinya aku kembali pada diriku sendiri.
"Sudah lepaskan saja." Ujar istriku.
Aku tak mengerti dengan ucapannya.
Siapakah saya? Aku? Atau penulisnya sendiri? Terpaksa aku membacanya. Ah, sebaiknya aku
membacanya bersama pembaca. Bunyi lampiran itu sebagai berikut:
Cerpen Buat Saya
Oleh Aku
Jangan kaget membaca cerpen yang kutulis khusus untukmu, yang takkan kukirim ke majalah
atau koran mana pun, tak juga kupasang di milis cerpen atau apa pun namanya. Cerpen ini
mungkin kau sebut surat pribadi saja, atau apa, tetapi, memang tidak memerlukan pembaca
selain kamu seorang. Pasti kamu penasaran sebelum membaca cerpen ini, siapakah aku.
Apakah memang perlu mengetahui siapa aku, bukankah cerpen ini lebih penting dari siapa aku?
Cerpen akan membawakan sosok pribadi penulisnya, membawa pula gambaran masyarakat di
mana penulis itu hidup. Kata orang, sebuah cerpen tak pernah mulai dari vakum. Tidak ada
sesuatu pun yang mulai dengan vakum, kecuali ciptaan Tuhan yang memang tidak berasal dari
apa-apa. Tuhan hanya menyebutkan, mungkin juga dalam hati: kun fayaku. Maka alam semesta
berkembang, sejak milyaran tahun yang lain, dan kalau makhluk hidup mulai ada jutaan tahun
lalu, sebenarnya usianya masih sangat muda, dibanding dengan alam semesta.
Di manakah kita dalam tata surya yang disebut bima sakti? The milky way? Bumi kita di mana?
Bumi yang kita pijak?
Percuma bicara tentang hal yang sudah jelas, bahwa kita ada di muka bumi, bersama alam,
flora dan fauna, dan juga manusia lain, bangunan, mesin-mesin, semuanya yang membuat bumi
dan kita semakin tua. Dan makin tua, makin berumur, kita dituntut untuk hidup berpasangpasangan, seperti pada zaman Nabi Nuh, yang diselamatkan berpasang-pasangan, burung,
angsa, semut, gajah. Kenapa, agar, bila banjir sudah lewat, bumi tak kosong, dan dapat segera
diisi dengan binatang, manusia, yang sudah bermilyar pasang. Sudah berapa pasang nyamuk
sekarang beterbangan sudah berapa juta gajah? Dan aku juga ingin berpasang-pasangan
sebagaimana makhluk lain, sebagaimana diperintahkan oleh Tuhan.
Jadi, kenapa kita tak berpasangan? Apa yang kita tunggu? Apakah ini sebuah surat lamaran?
Aku tahu kamu sering sentimentil, kesukaanmu lagu-lagu yang melankolis, yang bisa
membuatmu berurai air mata. Lalu kamu terkenang lelaki-lekai yang telah meninggalkanmu.
Tetapi, kamu tak pernah mengingat lelaki yang tak pernah meninggalkanmu. Aku tahu, Alvin
pacarmu yang berdarah muda, mau mencoba kejantanannya denganmu. Alasannya yang tak
bisa kamu terima: semua teman-teman perempuannya sudah pernah mencobanya, dan dia ingin
mencobanya. Apa benar mereka sudah pernah melakukannya? Apa hanya alasan saja?
Gara-gara alasan itu tak bisa kamu terima, maka kamu menampar wajahnya saat dia mengunci
kamar kosnya. Padahal kamu berada di dalam. Memang mengejutkan, tetapi kamu memang
sudah bertindak dengan tepat dan cepat. Kalau tidak, mungkin apa yang kamu alami merupakan
mimpi buruk yang akan kamu bawa seumur hidup. Mengapa? Sebab kamu belum siap
melakukannya, dan Alvin akan melakukannya dengan alasan yang salah.
Kenapa dia tidak melakukannya karena dia cinta padamu, dan kalau kamu juga cinta padanya,
pasti kamu akan menyerahkan dirimu dengan rasa cinta. Sakit? Kamu sering bertanya pada
dirimu sendiri. Pengalaman pertama memberimu rasa sakit? Siapa yang bercerita begitu? Apa
benar timbul rasa sakit? Kamu pasti sudah siap diajak bicara soal hidup berpasang-pasangan.
Kalau kamu mencintai pasanganmu, dan melakukan tugas sebagai makhluk yang harus hidup
berpasang-pasangan, kamu akan merasa siap dan melakukannya dengan penuh rasa cinta, dan
tubuhmu memang sudah siap untuk melakukannya.
Sekarang berapa usiamu? Berapa lelaki yang sudah meninggalkanmu? Tetapi, berapa pula
lelaki yang tak pernah meninggalkanmu? Kenapa mereka meninggalkanmu? Coba renungkan.
Rasa takut, bukan? Kamu selalu merasa takut saat berada di samping pacar-pacarmu. Takut
pacarmu akan membawamu ke hotel, atau ke kamarnya, atau ke hutan barngkali, dan akan
memperkosamu. Apakah pikiran lelaki hanya dipenuhi dengan perkosaan? Pemaksaan?
Mungkin dari bacaan kamu belajar, bahwa laki-laki memang suka memaksakan kehendaknya.
Kamu bisa terlalu dilindungi, bisa terlalu dipunyai sehingga bahkan disapa oleh lelaki lain pun,
dia akan merasa cemburu dan memarahimu bak badai menerjang wajahmu sampai matamu
pedih dan mengalirkan air. Ada juga lelaki yang melarangmu ikut aktif dalam berbagai kegiatan
yang menyangkut lelaki dan perempuan. Lelaki, menurut yang kamu baca, juga menuntut
perempuan pandai memasak, pandai bersolek, dan pandai beranak. Orang bilang: masak,
macak, manak. Lalu, di mana wanita yang ingin berkarier sesuai dengan pilihannya. Kamu mau
menjadi apa? Guru? Pengarang? Anggota dewan, menteri? Atau selebriti? Wajahmu tidak jelek.
Kalau kamu mau akting sedikit, dan nyanyi sedikit, dan beruntung bertemu produser, pasti kamu
sudah diorbitkan menjadi bintang sinetron, lalu sekaligus penyanyi, dan uangmu banyak. Lalu,
teman-temanmu juga selebriti, sehingga kamu pun akan menikah dengan salah seorang dari
mereka.
Sudahkah kamu renungkan, siapakah kamu sekarang? Wanita karier yang sukses tetapi
kesepian? Atau ketakutan? Siapa lagi yang sudah meninggalkanmu? Robert, Gung Ardi, Nikelas
Syahwin, Ardian Majid, Supono? Semua meninggalkanmu, tetapi siapakah yang tak pernah
meninggalkanmu? Lelaki yang selalu berada di dekatmu, namun kehadirannya tak kau sadari?
Sekarang, bolehkan aku melamarmu?*
*
Itu yang dapat kubaca dalam cerita pendek misterius, yang tentu lebih mirip sebuah surat pribadi,
surat lamaran. Apakah aku harus menanggapinya? Membalas e-mail itu dan mengatakan agar dia
unjuk muka sehingga kita bisa bicara. Memang, usiaku merambat sampai ke angka tiga puluh.
Franciska sudah punya dua orang anak. Novy sudah beranak satu. Kristiani walau terlambat baru
saja melangsungkan pernikahannya yang meriah. Upacara pemberkatan di gereja dipenuhi para
sahabat dan kerabat. Lalu aku? Di kota besar seperti Denpasar ini, sibuk dengan tugas-tugasku
dalam berbagai proyek, aku tak sempat bernapas untuk memikirkan suami. Benarkah aku tidak
memerlukan lelaki? Apakah aku memang ingin hidup sendiri? Ibuku dikhianati ayah sejak aku
masih bayi. Ditinggal begitu saja dan menikah lagi dengan seorang gadis remaja. Kakak
perempuanku bercerai dari suaminya, dan harus membesarkan bayinya sendirian, seolah kisah
ibu terulang kembali. Kalau aku menikah, apakah kisah keluarga juga akan bergulir melindasku?
Tetapi, siapakah yang merasa selalu berada di dekatku? Aku tak pernah merasa ada seorang
lelaki yang berada di dekatku dan tak pernah meninggalkanku. Teman-teman lelakiku di tempat
kerja hampir semua sudah punya pasangan, pacar atau istri. Aku menyewa rumah sendiri dengan
didampingi seorang pembantu Bik Siti dan tukang kebun Mang Komar. Keduanya sering
kuserahi apa saja urusan rumah tangga. Urusan mencuci, masak, kebersihan dan keindahan
kebun dikerjakan oleh mereka berdua. Bik Siti sudah menikah dan Mang Komar kabarnya juga
punya calon di desanya, tetapi aku tak tahu siapa. Sering aku makan di luar karena kesibukanku,
dan makanan yang sudah disiapkan dihabiskan mereka berdua. Sering aku minta maaf kepada
Bik Siti masalah ini. Pasti dia tak suka kalau masakannya tak kujamah. Tetanggaku? Aku tak
begitu kenal dengan mereka karena kesibukanku. Jadi, siapakah yang mengirimiku e-mail dan
bagaimana dia tahu alamat e-mail-ku? Mungkin seseorang yang pernah mencuri lihat tumpukan
surat-surat elektronik yang sudah dicetak, dari berbagai alamat. Urusan proyek-proyek yang
kukerjakan memang sebagian diselesaikan lewat e-mail.
Aku tak tahu. Tak tahu siapa? Sampai pada suatu malam Mang Komar menyapaku:
"Capek, Bu? Kerja keras. Istirahat ya Bu."
Sapaan itu menyambarku. Lelaki itu memang hanyalah seorang tukang kebun. Badanya sehat,
wajahnya selalu berkeringat karena kerja. Aku tak tahu persis asal usulnya. Tetapi, apa dia yang
mengirim e-mail dan menulis cerpen untukku? Memang, selama aku pergi seharian, komputer di
meja kerjaku menganggur, dan surat-surat rapi tersusun dalam map sesuai jenisnya. Bisa saja dia
memakai komputerku dan juga memakai disket yang masih kosong. Toh aku tak tahu kalau
disket dalam kotak berkurang satu atau dua. Tetapi, apa memang Mang Komar? Aku tak tahu dan
tak berani mencari jawaban. Aku memang penakut. ***
Singaraja, 14 Juli 2007
Seketika itu juga aku pamit dan bergegas pulang untuk mengambil segala perlengkapan bayi
yang memang telah kami persiapkan jauh-jauh hari. Sepanjang perjalanan pulang-pergi dari
rumah bersalin ke rumah, aku merasa sedang lalu-lalang dalam mimpi. Tak percaya bahwa
sebentar lagi aku akan menjadi ayah. Pukul tujuh lewat belasan menit derita istriku kian menjadi.
Seringai di wajahnya kulihat bagai lautan rasa sakit yang tak mudah mengarunginya. Aku yakin
dia pasti menderita. Dalam keadaan seperti ini aku hanya bisa memberinya dorongan semangat
dengan menggenggam erat telapak tangannya. Mendekati pertengah pukul tujuh detik-detik
paling menegangkan di sepanjang usiaku dimulai. Bidan memasuki ruang bersalin dan
memerintahkan istriku bersiap memasuki tahapan terpenting dalam hidupnya: mengalami proses
melahirkan, sebagai penyempurna diri sebagai wanita. Tak bisa aku menceritakan betapa
menegangkan ruang berukuran empat kali empat meter itu selama kurang lebih limabelas menit
di pagi Senin itu. Yang pasti aku menyaksikan derita tak terkira yang wajib dialami setiap wanita
untuk bisa dipanggil ibu. Seluruh ketegangan itu berakhir kelegaan menentramkan ketika
lengking tangis bayi merah menyeruak keheningan.
'Selamat, bayi Bapak laki-laki dan terlahir sehat lagi normal, ucap bidan itu sambil tersenyum
ke arahku.
Aku malah terpaku. Tak ada senyum, bahkan sekedar anggukan membalas ucapan selamat itu.
Sepasang mataku tak berkedip memandang bayi merah yang tengah dimandikan bidan. Benarkah
itu bayi yang baru terlahir dari rahim istriku? Benarkah itu bayi yang dalam tubuhnya mengalir
darah dan dagingku? Ah, sungguhkan aku telah memasuki fase luar biasa dalam kehidupan
seorang lelaki, yakni menjadi seorang ayah?
'Bapak tentu sudah tak tahan ingin segera menimang buah hati, ini bayinya. Silahkam, Pak, tak
sampai sepuluh menit kemudian bidan itu muncul seraya menyerahkan bayi mungil berbungkus
baju dan kain bedung biru motif bunga-bunga kecil.
Aku terpana. Inilah moment paling besar dalam hidupku: menimang darah-dagingku sendiri!
Tanpa berkedip aku memperhatikan wajah mungil dalam dekapan. Wajah itu begitu teduh.
Sepasang matanya masih terkatup rapat. Hidungnya yang kecil mencuat di atas bibirnya yang
juga terkatup rapat-rapat. Lantas aku ingat kuwajiban setiap ayah pada bayinya yang baru lahir.
Maka, dengan suara tergetar kukumandangkan azan di telinga kanannya dan iqomah di telinga
kiri. Aku berharap kalimat agung yang pertama kali didengarnya menjadi pedoman mula baginya
untuk menentukan langkah ke depan. Usai mengumandangkan azan dan iqomah di kedua
telinganya, aku lantas mencium kening bayiku dengan sepenuh hati. Jangan ditanya bagaimana
perasaanku ketika itu. Setiap ayah pasti pernah mengalami masa teramat istemewa seperti itu.
Sepanjang siang itu aku seolah tak mau menjauh dari bayi mungilku. Jika tidak sedang
kugendong, tentu perhatianku tak luput dari bayiku. Setiap gerak dan tarikan nafasnya menjadi
sedemikian istimewa di mataku. Aku seolah baru pertama kali melihat bayi.
Menjelang petang aku memutuskan untuk meninggalkan rumah bersalin dan pulang. Kondisi
bayi dan istriku yang berangsur sehat tidak memerlukan perawatan khusus. Menurut bidan yang
menanganinya, asal tidak banyak bergerak dan terus beristirahat istri dan bayiku diperbolehkan
pulang. Kami tiba di rumah saat mahatari senja tersenyum ceria. Aku bersyukur melihat sekalian
alam turut bersuka cita atas kelahiran bayi kami yang pertama. Pengalaman yang serba pertama
membuat aku dan istriku sering kebingungan memahami keinginan si kecil ketika menangis.
Untunglah ibu mertuaku dengan sabar turut campur tangan menanggulangi kegaduhan
menyenangkan di rumah kecil kami.
Malam pertama dengan penghuni baru di rumah kami menjadi hal yang tak mudah dilupakan.
Aku akan mencatatnya sebagai bagian terpenting dalam sejarah hidupku. Pada malam itu pulalah
aku mengalami sendiri apa yang selama ini dikatakan banyak orang tua, bahwa demi anaknya
orang tua rela melakukan apa saja. Sepanjang malam bayi mungilku tak kunjung memejamkan
mata. Sepasang mata kecilnya terus terbuka dan menatapi kamar tempatnya berbaring. Aku
dengan ringan hati menjaganya. Mengawasinya dan menenangkannya jika tangisnya mulai
terdengar. Istriku yang masih lemah dan sangat membutuhkan istirahat sejak semula kuminta
untuk menyerahkan segala keperluan bayi kami kepadaku. Canggung tentu saja kualami.
Maklum segalanya serba debutan. Aku baru pertama kali menjadi ayah. Bingung juga ketika
harus mengganti popok dan membuatkan susu. Tetapi, seperti yang telah kukatakan di atas, ini
pengalaman yang paling penting dalam sejarah hidupku. Keletihan dan kerepotan yang kualami,
jauh lebih kecil dibandingkan kebahagiaan yang bermuara dalam hatiku.
Aku yang selama ini paling tak suka tidur terlambat, kini dengan senang hati harus kehilangan
banyak waktu tidur malam demi si mungilku tercinta. Jika hari-hari yang lalu aku baru pulang
dari kantor menjelang Maghrib, kini aku lebih suka pulang lebih cepat. Chating dan segala
sesuatu yang ada kaitannya dengan internet yang biasa selalu menggodaku, mendadak
kehilangan pesona. Setiap kali ada waktu luang, aku akan segera melesat pulang. Bagiku berada
di samping si mungil dan memandanginya tanpa berkedip adalah kenikmatan yang tiada tara.
Bahkan saat mengaji rutin pun aku lakukan di samping si mungil. Ayat demi ayat dari kalam
Ilahi aku senandungkan di depannya. Meskipun matanya terpejam, tapi aku yakin apa yang
kuperdengarkan kepadanya tak sekadar berlalu tanpa kesan. Pun saat si mungil terbangun di
tengah malam dan aku harus sholat tahajud. Di dalam pelukanku bayiku begitu tentram
mengikuti setiap gerak yang kulakukan dalam munajad pada sang Pemurah lagi Penyayang di
sepertiga malam yang hening.
Memilihkan nama adalah kehebohan di antara aku dan istriku yang tak kunjung tuntas. Meski
telah melewati banyak sidang pleno, tetap saja tak kunjung tersepakati satu nama bagi si mungil.
Padahal waktu pemberian nama semakin dekat. Sebagaimana yang disunnahkan Rasul mulia,
memberikan nama sangat bagus dilakukan tujuh hari setelah kelahiran seorang bayi. Pada saat
itulah aku berencana mengundang saudara, handai-taulan dan sekalian karib kerabat untuk
menjadi saksi pemberian nama atas bayi pertamaku. Ada banyak usulan nama yang
bermunculan. Tak hanya datang dari aku dan istriku, tapi banyak juga saudara dan kenalan yang
berbaik hati memberikan usulan nama terbaik untuk bayiku. Tetapi semakin banyak usulan
nama, maka semakin alot sidang paripurna' berlangsung. Satu nama yang paling cocok dan
disepakati tak kunjung didapatkan. Meski hingga cerita ini kutuliskan nama terbaik bagi bayiku
belum juga didapat, tetapi aku yakin setelah tujuh hari dari kelahirannya, yaitu saat
dilangsungkannya pemotongan dua ekor kambing sebagai tebusan atas gadai dirinya dalam
bentuk aiqah, nama itu insyaallah akan kupersembahkan kepada bayi mungilku.
Kini anugrah teragung itu telah Allah karuniakan kepadaku. Aku terharu dan tak sanggup
menuntaskan segala perasaanku dalam bentuk cerita. Tetapi aku sadar, sesadar-sadarnya bahwa
di balik anugrah teragung ini, terselip tanggung jawab teramat besar yang kini tersandang di
pundakku. Aku sadar kini tanggung jawabku bertambah satu jiwa. Tanggung jawab nafkah,
insyaallah Allah akan cukupkan, tetapi tanggung jawab akhirat.... Sungguh inilah yang paling
aku takutkan. Anugrah teragung itu telah aku terima. Aku syukuri sebagai sebuah karunia.
Mustahil anugrahnya aku terima, namun tanggung jawabnya kuabaikan. Kini aku tak sekadar
punya tanggung jawab melindungi diri dan istriku dari api neraka, tetapi ada satu jiwa lagi yang
menjadi tugasku melindungi dirinya dari api neraka. Ya Allah Engkaulah muara pengharapan
atas pertolongan bagi hamba.
berbuat apa-apa. Entahlah, aku jadi bingung kenapa aku bisa kecantol dengan Mas Budi begini
rupa. Memang tak bisa dipungkiri, kisah ini berawal dari seringnya kami berjumpa. Mas Budi
yang bekerja sebagai seorang manager di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang ekspor
impor, dan kebetulan perusahaannya ada kerja sama dengan dengan perusahaan dimana aku
bekerja, jadilah aku dan Mas Budi sering mengadakan pertemuan. Dari urusan kantor sampai ke
urusan pribadi. Dengan demikian bermunculan benih-benih cinta yang begitu besar dan
menggebu. Sampai akhirnya aku seperti istri simpanan Mas Budi yang terus bergantung kepada
aturannya. Dan di halte ini lagi, aku menunggu kedatangannya untuk kesekian kalinya sambil
memperhatikan cara nenek Peni menjajaki dagangannya.
"Koran Non, beritanya rame-rame!" begitu cara nenek Peni menawarkan dagangannya padaku.
Awalnya aku merasa geli dengan cara nenek Peni menawarkan dagangannya seperti itu, tapi
akhirnya aku senang juga dan kuanggap itulah ciri nenek Peni yang tak bisa aku lupakan. Untuk
menyenangkan hati sang nenek, akhirnya aku membeli satu buah tabloid wanita. "Korannya
nggak sekalian, Non?" tanyanya kemudian.
"Tabloid ini dulu saja, Nek. Buat iseng baca di kantor," sahutku sambil mengeluarkan uang
pembayaran.
"Sungguh Non, korannya beritanya rame-rame," tawarnya lagi. "Kok Nenek tahu?" tanyaku
sekadar menanggapi.
"Lihat saja foto-fotonya. Ada demo, ada kebakaran, ada tawuran antar warga," ungkapnya polos.
Aku nyaris tertawa lepas saat mendengar omongannya. Giginya yang sudah banyak ompong itu
mengingatkan aku pada seorang nenekku yang berada di kampong halaman. Belum sempat aku
melihat-lihat tabloid yang lain, Mas Budi keburu datang dengan mobilnya. Aku permisi pada
nenek Peni, dan tampak ia memperhatikanku tanpa berkedip ketika aku masuk ke dalam mobil
yang dikemudiakan Mas Budi.
"Kenapa kamu tersenyum-senyum seperti itu?" tanya Mas Budi sambil menjalankan kembali
mobilnya.
"Aku merasa geli melihat cara nenek tadi menawarkan dagangannya."
"Kenapa?"
"Ya lucu saja," jawabku singkat. Lalu sepi. Mobil berjalan biasa saja. Biasanya dia main kebut
setelah aku berada di dalam mobilnya. Ini kali sungguh kalem.
"Santy," panggilnya sambil matanya tetap mengawasi ke depan. Aku menoleh ke arahnya, "Apa
kamu sudah menemukan jalan lain untuk kelanjutan hubungan kita?" tanyanya kemudian.
Senyumku kurasakan tiba-tiba hilang. Urusan kembali rumit. Betapa tidak, aku sudah nekat
dijadikan istri keduanya bila Mas Budi benar-benar mau adil. Eh, sekarang malah menanyakan
padaku soal 'jalan lain', anehkan! Dan bila itu terjadi tentu akan jadi masalah bagi istri
pertamanya. Aku sadar, aku merasa orang yang paling berdosa dalam hal ini. Tapi siapa bisa
menentang koderat kalau Tuhan sudah memberi jalan hidup seperti yang kualami sekarang.
Meski pada dasarnya tak ada seorang istri pun mengijinkan suaminya kawin lagi, dan wanita
mana yang mau dijadikan istri kedua kalau tidak ada masalah lain?
"Jalan lain, maksud Mas?"
"Ya, jalan lain,"
"Tentu menikahlah, Mas!" cetusku. Mas Budi tersentak. "Kenapa? Berat!?"
Mas Budi menoleh, "Bukan begitu, Santy. Kamu tahu kan , keadaanku?"
"Dari dulu aku tahu kalau Mas Budi sudah beristri. Lalu kenapa? Apa Mas menginginkan aku
kawin dengan lelaki lain, dan kita bubar secara baik-baik! Begitu maksud Mas?"
Mas Budi hilang suaranya. Wajahnya beku menghadap ke depan. Aku tiba-tiba ingin menangis,
tapi mobil Mas Budi tak terasa sudah berhenti di depan kantorku.
***
Pagi itu, aku kembali berdiri di halte bus untuk menunggu Mas Budi menjemputku. Dan nenek
penjual koran itu tersenyum ketika melihat kedatanganku.
"Korannya Non, beritanya rame-rame!" tawarnya seperti itu lagi. "Coba Non lihat, orang-orang
yang ada di koran ini, kan semuanya orang-orang jahat. Tapi kenapa ya, matanya tidak ditutup.
Dulu, pada zaman nenek muda, kalau ada orang jahat di koran, matanya selalu ditutup. Kenapa
sekarang tidak. Bagaimana cara membedakan orang jahat sama orang yang tidak jahat?"
lanjutnya dengan nada bertanya.
"Nenek kan bisa baca untuk mengetahui apa yang terjadi di koran itu," kataku sekedar
menjelaskan. Nenek itu tiba-tiba tertawa, dan kembali aku melihat ompong giginya.
"Nenek tidak bisa baca, Non," akunya. "Nenek dulu tidak sekolah. Nenek cuma bisa mengaji."
Sebuah bajaj tiba-tiba berhenti di depan halte bus. "Eh, entu cucu Nenek," tunjuknya ke arah
seorang anak muda yang membawa kendaraan bajaj. Anak muda itu menyodorkan beberapa
tabloid kepada nenek Peni. Lalu tanpa basa-basi anak muda itu ngeloyor pergi membawa
bajajnya. "Itu cucu Nenek. Tadinya dia jualan koran di sini, tapi dia tertarik kepingin narik bajaj,
terus Nenek disuruh nunggu dagangannya di halte ini. Nenek mau, karena Nenek kasihan sama
cucu Nenek, karena kedua orangtuanya, yaitu anak Nenek, sudah meninggal sewaktu terjadi
kerusuhan di pasar Ciledug," lanjutnya panjang lebar. Hatiku tiba-tiba saja terenyuh. Tapi kulihat
nenek itu begitu tegar. Aku ingin seperti dia, tegar mengalami berbagai macam cobaan.
Sepuluh menit kemudian, Mas Budi muncul dengan mobilnya. Aku masih tertarik dengan cerita
nenek Peni, tapi tidak mungkin aku selalu berada di situ jadi pendengar setia lakon hidupnya.
Aku sendiri pun merasa perlu ada orang yang mau membantu mencari jalan keluar seperti Mas
Budi sebut 'jalan lain' untuk masalah yang sedang kami hadapi.
"Aku baru menemukan jalan lain untuk kita berdua," cetusnya setelah membawa mobilnya jauh
dari halte bus. Aku sebenarnya sudah bosan dengan pendapat-pendapat Mas Budi yang terkesan
menguntungkan dirinya sendiri. Tapi 'jalan lain' yang dia bawa ini, mungkin lebih masuk akal
atau bisa melegakan pikiranku yang selama ini terus-menerus di 'belenggu' bila yang akan
disampaikan nanti dapat memuaskan hatiku.
"Jalan macam apa, Mas?"
Mas Budi menoleh padaku, "Rumahku yang di Bintaro, tak ada yang menempati. Aku ingin
kamu yang menempati dan mengurusinya. Sekaligus rumah itu sebagai hadiah ulang tahunmu,
dariku."
"Maksud Mas, biar aku tinggal di situ?" potongku karena aku tak paham maksudnya.
"Iya, dan nanti setiap dua hari sekali, aku akan pulang ke Bintaro untuk menemuimu.
Bagaimana, kamu setuju?"
Mukaku seakan ditamparnya. Aku tak menghendaki ini. Aku tak menginginkan harta ataupun
yang lainnya. Kecuali aku dinikahi secara resmi. Itu saja. Tinggal dimanapun aku tak masalah.
Yang penting aku jadi istri yang sah, bukan sekedar pacar gelap seperti sekarang ini. Aku tak
mau dicap selingkuh dengan suami orang. Aku tak mau. Aku pusing. Aku tak bisa berkomentar
apa-apa kecuali menghapus air mataku yang menetes di kedua pipiku ketika aku turun dari mobil
Mas Budi.
** *
Pagi itu, pikiranku masih kusut. Pekerjaanku di kantor cukup padat, menumpuk. Seperti
persoalan-persoalan di ruang pengadilan, begitu kompleks. Aku kelihatan diam, tapi hatiku
seperti dipenuhi suara-suara pasar, atau seperti sebuah stasiun yang begitu bising dan sumpek.
Aku berangkat lebih pagi agar semua pekerjaanku bisa kuselesaikan satu persatu. Soal Mas Budi,
sudah aku SMS agar ia tak menjemputku pagi ini di halte yang biasa. Aku hari ini mau sendiri,
mau lebih cepat tiba di kantor. Akan tetapi, setibanya aku di lokasi tempat halte bus itu berada,
aku tak melihat halte bus itu berdiri, melainkan halte bus itu telah roboh ke tanah dengan atap
yang hancur berkeping-keping. Sedangkan di bawah halte yang roboh itu berserakan pecahan
kaca mobil. Pot-pot bunga yang berada di samping halte itu tak luput berantakan seperti terkena
benturan yang cukup keras. Aku melihat selembar plastik sebagai alas untuk berjualan koran
nenek Peni tampak tertindih atap halte yang sudah tak karuan bentuknya. Orang-orang
berkerumun saling membicarakan perihal kejadian yang sebenarnya. Seorang wartawan sedang
memotret dari beberapa sudut..
" Ada kejadian apa, Bang? Apa ada demo kemarin sampai-sampai halte bus dirobohkannya?"
tanyaku memancing untuk sekadar mencari tahu.
"Halte bus ini kemarin siang, diseruduk bus kota yang supirnya ugal-ugalan."
Aku terkejut, " Ada yang ketabrak, Bang?"
"Tiga orang meninggal seketika!" ungkap wartawan itu. Aku tambah penasaran.
"Penumpang bus, atau pejalan kaki yang meninggal?" kejarku.
"Dua orang calon penumpang yang sedang menunggu bus, dan satu lagi seorang nenek-nenek
yang sedang berjualan koran di bawah halte itu," jelas si wartawan sambil memotret bagianbagian lain. Napasku terasa sesak. Tubuhku mendadak gemetar.
Oh, betapa malang masib nenek penjual koran itu, renungku. Nenek Peni yang baru kukenal tapi
telah bercerita banyak tentang anak dan cucunya. Sedangkan aku belum sedikitpun bercerita
kepadanya tentang diriku yang setiap hari menunggu lelaki bermobil sedan yang sering
menjemputku di halte bus itu.
Nenek Peni keburu dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Rasanya, seperti ada yang ikut lepas
setelah mendengar nenek Peni meninggal. Entah itu apa. Dan di mana Mas Budi, apakah dia
telah menemukan 'jalan lain' lagi untuk mengatasi diriku yang semakin terpuruk di dalam
penantian. Sepertinya, aku harus lebih teliti dan berhati-hati setelah tahu bahwa hidup ini penuh
dengan misteri. ****
Jakarta , 2003/2005