Anda di halaman 1dari 6

Artikel "Berislam dengan Santai"

Ceritanya, lepas isya Jumat malam lalu saya mengikuti kajian malam Sabtu yang rutin
diselenggarakan oleh takmir sebuah masjid di dekat kost saya. Dibandingkan biasanya, kajian
malam itu agak terlambat dimulai karena sepertinya ustad yang mengisi kajian belum hadir. Maka,
kami yang sudah hadir berusaha mencari kesibukan sembari menunggu sang ustad datang.
Beberapa jamaah tampak asyik mengobrol dengan rekan-rekannya. Ada pula yang mencoba
mengabadikan aktivitasnya melalui kamera telepon pintarnya. Sementara saya, hanya
menyaksikan saja apa yang mereka lakukan.

Di antara jamaah yang menunggu itu, ada pula anak-anak. Selain diikuti jamaah dewasa
dan remaja, kajian malam Sabtu yang saya datangi itu memang turut dihadiri oleh anak-anak.
Jumlahnya cukup lumayan. Dan di antara jamaah anak-anak itu ada sekelompok anak laki-laki,
sekitar empat atau lima anak, yang juga sedang berusaha mengisi waktu sampai pak ustad datang.
Mereka menunggu sambil berlomba menerbangkan pesawat kertas.

Setelah saya coba perhatikan, ternyata pesawat-pesawat kertas yang diterbangkan anak-
anak itu terbuat dari buletin mingguan yang terbit setiap hari Jumat. Ya, mereka memanfaatkan
sisa buletin yang dibagikan kepada jamaah salat Jumat.

Karena saya nganggur---rekan yang datang bersama saya tengah ngobrol dengan jamaah
lain---maka saya pun mencoba mengambil selembar sisa buletin itu. Kebetulan tumpukan buletin
itu juga tidak jauh dari tempat saya duduk. Saya pun membacanya.

Ternyata tulisan yang dimuat dalam buletin edisi kali ini cukup menarik, dalam pandangan
saya. Tulisan tersebut berisi tentang ajakan untuk berlemah lembut kepada sesama. Mungkin hal
yang membuat artikel tersebut menarik untuk saya adalah sebagian isinya "sesuai" dengan yang
selama ini ada dalam benak saya.

Artikel tersebut terinspirasi oleh pembicaraan sang penulis yang merupakan penganut
Islam dengan lawan bicaranya yang kebetulan non-Muslim. Mulanya mereka hanya berbicara hal
ringan. Lama-kelamaan, topik percakapan bergeser ke hal-hal yang berbau agama, termasuk sudut
pandang yang dirasakan oleh non-Muslim terhadap Islam serta hal-hal terkait Islam di Indonesia
yang belakangan kerap muncul di media massa, seperti tentang pimpinan partai berlabel Islam
yang korupsi, persekusi, hingga "kegiatan rutin" penutupan paksa warung yang masih buka pada
siang hari saat bulan Ramadhan.

Saya pun sesungguhnya sebagai Muslim turut bertanya-tanya tentang pemaksaan kehendak
yang dilakukan atas nama agama, misalnya tentang penutupan paksa warung-warung yang buka
pada siang hari selama Ramadhan. Benak saya juga tidak jarang mempertanyakan tentang tindakan
bom bunuh diri yang menyasar tempat ibadah umat lain atau fasilitas-fasilitas publik yang
ditujukan untuk dipakai bersama oleh semua warga tanpa dibatasi keyakinan apa yang dianut.

Apa memang harus seperti itu? Apa dahulu Rasululloh SAW dahulu mencontohkan
demikian? Setahu saya yang pemahaman agamanya masih sangat dangkal ini, Islam mengajarkan
cinta damai kepada semua makhluk dan agar bersikap ramah dan lemah lembut kepada sesama.

Pertanyaan-pertanyaan itu sebagian masih saya simpan dalam benak saya dan belum
sempat saya tanyakan. Dan buletin Jumat yang saya pegang malam itu sepertinya menjadi salah
satu cara Allah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang selama ini bersliweran di otak saya.

Tentu saja tulisan dalam buletin itu tidak menjadi satu-satunya patokan. Saya masih perlu
belajar banyak dan mengaji kepada orang-orang yang lebih dalam ilmu agamanya. Tetapi
setidaknya, tulisan itu membuat buletin Jumat yang saya pengang sembari menunggu kajian
dimulai malam itu cukup mengoda untuk saya bawa pulang, saya simpan, saya baca-baca ulang,
dan mungkin saya tunjukkan kepada teman saya yang lain saat kami berbicara topik serupa yang
diangkat dalam artikel.

Dan pagi ini otak saya kembali berputar. Meski (menurut saya) isi tulisannya cukup
menarik, buletin Jumat yang saya bawa pulang itu hanya beredar terbatas. Sangat disayangkan.
Buletin itu hanya disebarkan di masjid-masjid di daerah sekitar kost saya. Karena itu, saya
terinspirasi untuk meng-copy isinya dan menyebarkan secara lebih luas lagi secara online.

Alasan lain yang mendasari saya untuk menyebarkan isi buletin itu secara lebih luas adalah
ungkapan sang penulis artikel. Dalam salah satu kalimat artikel, penulis menyatakan bahwa
maksud dari tulisan yang ia buat adalah agar orang yang menjadi lawan bicaranya dapat
membacanya dan mendapat jawaban dari sudut pandang yang lebih baik serta jernih mengingat
selama pembicaraan penulis merasa bahwa banyak pertanyaan yang tidak ia jawab dengan baik
karena ia harus mendiskusikannya dengan gurunya. Semoga penulis artikel tidak keberatan dengan
apa yang saya lakukan ini.

Berikut saya tulisakan ulang artikelnya, persis seperti yang tercantum dalam Buletin Jumat
Masjid Jendral Sudirman Edisi 13 Jumat 20 Desember 2019/23 Rabi'ul Akhir 1441 H. Buletin ini
diterbitkan oleh Masjid Jendral Sudirman Press Yogyakarta.

Berislam dengan Santai

Oleh Shidqi Ni'am

Sebagai penjaga tempat cuci mobil, seringkali saya berhadapan dengan orang-orang baru dan tidak
tahu asal-usulnya. Penuh kejutan. Pernah beberapa kali diajak mengobrol seseorang dengan
pakaian necis, cerita ke sana ke mari, hingga akhirnya ia menceritakan kebusukan salah satu
pejabat top di kota ini (penulis tinggal di Jepara). Saya tidak perlu ambil pusing apakah cerita itu
benar atau tidak. Tugas saya adalah menjadi penjaga yang ramah dan sopan serta merespon baik
dalam setiap berinteraksi dengan pelanggan. Setidaknya itulah SOP yang diajarkan saat training.

Saya kebetulan berjenggot. Ya, berjenggot. Saya harus mengatakan demikian karena inilah awal
mula pemantik percakapan yang hendak saya ceritakan ini.

"Muslim, kan, mas?" Antara terkejut dan tidak. Tidak, karena menurut pengamatan bahwa
masyarakat bangsa kita hari-hari ini sedang hobi menanyakan soal agama orang lain apa. Terkejut,
dikarenakan tidak menyangka saya akan mendapati pertanyaan semacam itu. Dengan sedikit tidak
siap lantaran pertanyaan semacam itu, dengan cukup menganggukkan kepala sembari senyum saya
menjawabnya. Setelah mendapati jawaban, bapak pelanggan yang bertanya tersenyum sembari
menggerakkan tangannya ke bawah dagu seolah ia membelai jenggotnya, padahal dagunya mulus-
mulus saja dari bulu.

Taksiran saya, bapak pelanggan melakukan itu guna mengkonfirmasi pendapat yang ia anut adalah
benar, bahwa setiap orang Indonesia yang berjenggot pastilah seorang muslim. Duh, sungguh
asumsi yang tidak penting-penting amat bagi saya. Awalnya saya menaruh curiga, apakah akan
ada serangan cepat atau jurus lain yang mengharuskan saya menjawab dengan hati-hati? Bukan
apa-apa, takut salah saja. Soalnya saya sudah diasosiasikan dan sebagai wujud representasi seorang
muslim saat percakapan ini terjadi. Beban berat tentu saja.

Obrolan berlanjut dengan pertanyaan dasar seperti nama, pendidikan terakhir, dan alamat rumah.
Singkat cerita, ternyata bapak pelanggan yang bertanya itu tadi adalah non-muslim. Ya, memang
sejak awal saya tidak pernah menduga-duga orang si A agamanya apa dan Tuhan yang ia sembah.
Ranah privat yang sebaiknya kita tidak perlu ikut campur. Apalagi orang yang baru kita kenal.

Cucian mobil cukup sepi, hanya ada saya dan bapak tadi. Awalnya bapak ini hanya menanyakan
oli apa yang cocok untuk mobilnya. Namun, arah pembicaraan menjurus ke hal-hal yang berbau
agama dan sudut pandang yang dirasakan oleh non-muslim dari media sosial serta kejadian akhir-
akhir ini di Indonesia ke umat Islam.

Saya ringkaskan beberapa pertanyaan bapak tadi tentang Islam, apa yang ia pahami, kemudian ia
konfirmasi dan apa yang ia dapat dari hiruk pikuk informasi yang diperoleh di internet. Beberapa
saya jawab dengan hati-hati, lebih banyak tidak terjawab dengan baik karena harus saya konfirmasi
ke guru saya terlebih dahulu. Maksud tulisan ini tidak lebih agar semoga bapak pelanggan itu
membaca tulisan ini dan mendapatkan jawaban dengan sudut pandang lebih baik serta jernih.

Saya tidak menjawab banyak, hanya bahwa Islam yang saya pahami adalah Islam yang menjadikan
semua lini kehidupan ini ibadah. Dalam bentuk apa pun, seperti bekerja, bahkan tidur pun dinilai
ibadah terutama saat berpuasa.

Namun, masalahnya saat ini adalah ada kecenderungan bahwa ibadah itu ya hanya salat, puasa,
zakat, dan haji. Padahal ibadah mu'amalah, berhubungan baik dengan sesama manusia dan alam
juga sangatlah penting. Dalam salah satu hadis qudsi, Nabi Musa awalnya menyangka semua
ibadahnya termasuk salat dll itu diperuntukkan untuk Allah. Dengan tegas Allah mengatakan
ibadah tersebut untukmu bukan untuk Allah. Lalu, Nabi Musa menanyakan ibadah apa yang benar-
benar diperuntukkan untuk Allah? Yaitu memasukkan rasa senang, bahagia di hati orang lain.

Kenapa saat seorang muslim melakukan dosa kepada Allah, dia dicukupkan untuk melakukan
taubat, persoalan akan 'selesai'? Sedangkan jika kita memiliki persoalan serta masalah dengan
orang lain, untuk menebusnya tidak hanya cukup minta maaf kepada Allah, tapi juga harus minta
maaf kepada yang bersangkutan? Ini menjadikan kita harus selalu baik terhadap sesama.
Sebagaimana yang dikatakan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, "Jikalau orang tersebut bukan
termasuk saudaramu dalam agama, maka ia adalah saudaramu dalam kemanusiaan."

Banyak orang salah paham, dan cenderung mengabaikan, bahwa dalam Al Quran persentase ayat
yang membahas hukum tidak lebih dari 10% saja. selebihnya berkaitan dengan akhlak, yaitu
hubungan sesama manusia dan rahmat, yaitu menebar cinta serta kebaikan di bumi. Dan hukum-
hukum dalam Islam selalu berbasis pada nilai-nilai kebaikan sesama manusia.

Contohnya dalam salat, sekalipun rajin salat tapi korupsi, jahat dengan tetangga serta melakukan
perbuatan keji dan mungkar, maka salatnya tidaklah dianggap. Pun dengan sedekah, saat
membantu orang lain muncul perasaan ingin dilihat, riya, merasa lebih dari yang diberi, secara
otomatis pahalanya pun akan hangus.

Menyerukan kebaikan dengan cara yang baik pula

Pemahaman tentang hukum Islam---hitam putih---kini dominan tersaji dalam kajian-kajian


kekinian maupun di layar televisi. Durasi waktu yang terbatas bisa jadi pembahasan malah tidak
jadi tuntas. Walhasil, pemahaman hanya sejengkal, kemudian karena itu keburu menjadi garang
dan galak kepada orang-orang yang melanggar hukum secara ibadah ritual, tetapi longgar terhadap
hukum yang berdasarkan pada kepentingan sosial sesama manusia.

Bila didapati dalam tatanan sosial masyarakat, ada di antara mereka yang melakukan hubungan di
luar nikah, minum minuman keras, dengan gampangnya resah dan marah. Akan tetapi saat ada
ketua partai berlabel Islam korupsi, dana haji disalahgunakan dan sebagainya, meresponnya tidak
seheboh menghadapi orang maksiat tadi. Padahal dosanya korupsi berlipat-lipat lebih besar.

Menyusul pertanyaan lanjutan, kenapa orang-orang berisik tentang hukum-hukum tadi terlampau
sering bersliweran di media sosial? Padahal seorang yang beriman itu harusnya bicara hal-hal yang
baik. Bila apa yang dibicarakan itu tidak ada manfaatnya, sebaiknya diam. Itulah yang diajarkan
Baginda Nabi Muhammad SAW.

Semakin beriman seseorang, seharusnya ia paham betul bahwa Islam mengajarkan rendah hati,
tidak merasa paling suci, sadar kekurangan diri, dan ketika saat ini dipandang baik oleh orang
karena aibnya sedang ditutup rapat oleh Allah. Tidak ada alasan untuk berkoar-koar, sekalipun
dalam dakwah. Dakwah yang baik adalah dengan lemah lembut sebagaimana tergambar dalam Al
Quran saat Nabi Musa hendak bertemu Firaun. Kedatangan Nabi Musa harus dengan rahmat,
penuh pertimbangan, sekalipun yang ditemui adalah orang yang mengaku tuhan. Karena pada
dasarnya kewajiban kita hanya menyampaikan pesan dengan lemah lembut tanpa paksaan.

Pun dengan konsep amar ma'ruf nahi munkar. Beberapa kalangan yang sering diliput media,
melaksanakan konsep tersebut malah dengan paksaan dan kekerasan. Padahal niatnya adalah
menegakkan kebaikan, malah justru dengan keburukan dan mengganggu kestabilan sosial. Seperti
semena-mena menutup warung yang masih buka saat Ramadhan, persekusi, dan masih banyak
lagi.

Mengajak kebaikan dan mencegah keburukan keduanya diharuskan dengan cara yang baik. Harus
sangat baik. Teringat apa yang disampaikan oleh Gus Mus. Saat kita berdakwah, mengajak orang
melakukan kebaikan jangan sampai kalah dengan kernet bus. Kernet bus pandai sekali merayu,
membujuk seseorang agar sudi naik busnya. Kernet saja bisa sangat kreatif mengajak orang naik
bus, kok, ya, kita yang mengajak kebaikan malah kalah. Semua agama tentu mengajarkan cara
berpikir mendalam. Artinya kita meyakini masing-masing memeluk agama paling benar. Tetapi
harus lembut dan toleran dalam bersikap ke sesama.

Nabi Muhammad SAW sangatlah pribadi yang lemah lembut, dengan tutur kata yang santun.
Sebisa mungkin jangan menyakiti orang lain. Karena agama adalah perkara hati, dan tentu saja
tidak ada paksaan. Mendingan, berislam dengan santuy, dan tentunya mengikuti keteladanan
Rasulullah Muhammad SAW.

***

Anda mungkin juga menyukai