Ini rekaman curhat Gus Baha’ ketika diminta untuk mengisi mauidhah hasanah walimatul ursy ke
Magetan. Ini rekaman penting, karena jadwal, tujuan dakwah Gus Baha' dan pesan-pesan beliau
terekam jelas. Saya tulis sebisanya dulu. Belakangan diperbaiki.
***
Tidak, saya tidak terbiasa keluar. Semua ngaji saya itu mengaji istiqamah, membaca kitab. Jarang
keluar, apalagi acara sejenis itu, tidak pernah. Semua rekaman saya itu dari saya mengaji di sini
dan di Yogya. Saya ngaji umum itu bisa dihitung, baru enam atau tujuh kali,bersedia diundang
karena yang mengundang ada hubungan posisi lebih tua, seperti di Pasuruan Kyai Hamid. Saya
tidak pernah menerima undangan.
Tidak, saya tidak terbiasa keluar di acara seperti itu. Semua ngaji saya itu ngaji rutin, bukan ngaji
umum apalagi walimatul ursy. Tidak, tidak pernah.
Saya jarang keluar, kecuali ada kelas. Itu masih mungkin. Di Lirboyo saya punya jadwal setahun
sekali. Di Pak Quraish Shihab setahun sekali. Tapi juga di kelas, bukan acara sejenis itu. Di
Sidogiri, saya malah tiap bulan hingga saat ini. (karena) istri saya dari Sidogiri. Tiap bulan, saya
membaca kitab di sana. Kalau pengajian umum saya tidak pernah. Lalu, ada beberapa pengajian
yang di luar, tapi itu juga jarang. Itu di ikatan alumni Al-Anwar, kadang di Jepara, kadang di
Demak, tapi faktornya (karena itu) acara Sarang.
Di sini orang alim yang bersedia mengaji umum antara lain Gus Rojih (Ubab Maimoen), Gus
Qoyyum, Gus Wafi'. Saya tidak (bersedia), tapi untuk pengajian mengkhatamkan kitab ya lebih
banyak saya, (justru) karena tidak pernah keluar itu. Saya pernah mengkhatamkan Al-Hikam,
banyaklah. Anak-anak itu mendengar rekaman saya kan rekaman ngaji (kitab), bukan pengajian
umum.
KEMBALILAH KE ADAT ULAMA PENDAHULU: INGIN NGAJI DATANGLAH KE KYAI
Gus Zaid sebenarnya maunya mengundang saya, tapi saya agak keberatan (?), ribet. Saya itu
termasuk, apa ya, agak dengan tanda petik itu memang agak menentang adat "mencintai orang
alim" yang selalu ribet, tidak lebih praktis.
Sebenarnya kan seperti Mbah Moen mengajar, saya juga mengajar, Gus Mus juga. Tapi caranya
itu. Yang ribet itu mereka harus mengundang, bertemu. Saya termasuk orang yang nggak ridla.
Apa itu, tidak mood. Akhirnya saya juga ngotot, ngotot hanya mengaji di sini. Cuma ya untuk
silaturahim, mungkin beberapa saya silaturahim. Tapi ya waktunya terserah saya.🙂
Jadi ...
Juga banyak gus-gus dari Lirboyo, Ploso, karena tahu saya susah diundang, biasanya membawa
rombongan ke sini untuk mengaji, kadang minta sanad. Tapi karena mereka kadang-kadang ke sini
akhirnya ya saya silaturahim ke sana (ke tempatnya). Biasanya itu pun tidak mengaji umum.🙂
Umum di sini Rabu, tapi ngaji berurutan. Dengan Minggu, tapi tidak ada jam, karena satunya di
madrasah. Kamis di Sarang. Desember (2019) ini juga ada pengurus PBNU (bagian lembaga
dakwah) yang mengaji di sini. Terus saya pesan ke mereka: Adat-adat leluhur itu jangan
dihilangkan. Kalau ingin mengaji ya ke kyai. Jangan karena dia merasa PBNU, terus mengatur
ngaji kyai. 😊 Tapi ya nurut lho mereka.🙂
Akhirnya di Indonesia ini orang kaya bisa mengundang kyai. Orang miskin tidak bisa. Kalau
mengundang, pasti habis banyak. Makanya saya bilang, kalau mau ngaji datang saja. Di sini ngaji
Rabu banyak sekali: keluarga Lirboyo, kadang keluarga Syaikhona Kholil, banyak. Ya itu tad i:
barokahnya adalah mereka mulai efisien.
Lha ceramah umum itu kan ribet: menata panggung, panitia debatlah, wah ribet. Saya juga tidak
anti, tapi itu harus diminimalkan, menurut saya harus dikurangi sebanyak-banyaknya.
Saya kemarin diundang di Tebuireng, diajak masuk ke kamar pribadinya Mbah Hasyim. Di situ
da kitab-kitab yang sudah beliau selesaikan, ada yang belum beliau selesaikan.Ada yang ditulis
ketika masih muda, setengah tua, sampai fi nihayati amri sampai ketika beliau klimaks.
(Gus-gus keturunan Mbah Hasyim) itu minta,"Gus ini disortir kapan Mbah Hasyim punya
pendapat ini. Ini pendapat yang sudah beliau cabut, atau beliau sudah tamkin fokus yakin dengan
itu."
Satu kamar itu cucunya Mbah Hasyim semua, termasuk Gus Sholah. Jadi akhirnya alhamdulillah
naskah2 Mbah Hasyim itu terbuka (terungkap, perlu dilestarikan dan dikaji oleh ulama). Saya
bilang: Ini baru benar.
Kalau seperti saya diundang ngaji umum, Mbah Moen ngaji umum, Gus Mus pengajian umum?
Ya nggak apa-apa dituruti, tapi setahun sekali atau dua tahun sekali. Jadi akhirnya naskah2 Mbah
Hasyim itu bermanfaat. Itu barokahnya Gus Ishom. Semua acara2 di pondok besar itu kadang
nuwun sewu basa-basi.
Alhamdulillan nanti insyaallah Khaul Gus Dur, Khaul Mbah Hasyim, nanti tema utamanya
mengangkat kembali naskah-naskah leluhur. Saya memang dilibatkan. Jadi saya tahu. Semua gus-
gus yang alim-alim ngotot: saya, Gus Reza, Gus Kautsar, dll. Kalau tidak, habis kita.
Itu tadi, gara-gara kemarin ada peristiwa itu. Jadi ada naskahnya Mbah Hasyim, dipakai debat
dengan orang NU. Kubu sebelah pakai naskahnya Mbah Hasyim ... (?). 😆 Dan itu mungkin,
karena tadi. Beliau mungkin sedang marah terhadap adat tertentu, mungkin datang ke kampung
abangan, ada acara 7 hari mungkin sindhenan. Judulnya itu babu hurmati ihtifalil maulid ma’al
manhiyat (?) ... trus ma’al ma’asyi (?). Sebenarnya ada kata ma’a-nya. Jadi beliau menangi periode
itu, apalagi sekarang.
Mungkin beliau kecewa karena beliau orang alim, lalu kekecewaan itu ditulis dalam bahasa Arab.
Memang ulama-ulama dulu meski orang Indonesia, menulisnya bahasa Arab. Saya punya tulisan
tangannya Mbah Hasyim. Kan beliau teman mbah saya, di kitab-kitab mbah saya itu ada tulisan
tangan Mbah Hasyim.
Nah, karena keluarga sudah masyhur, sudah sibuk mengurus politik, pengajian, dll, warisan naskah
mulai hilang. Lucunya, di luar sana sekarang ada yang namanya ahli filologi, orang yang
menangani naskah-naskah kuno. Kan lucu. Di Mekah, di Belanda, di mana-mana, mereka punya
naskah-naskah ulama Indonesia, tapi para cucu penulisnya tidak punya. Itu akibat kebanyakan
pengajian umum.😆
Saya kemarin diundang di Termas. Saya bilang ke Gus ... saya mau datang asal disediakan
naskahnya Mbah Mahfud. Kalau nggak, saya nggak datang. Saya tunjukkan, saya yang bukan
cucunya saja punya naskah2 beliau. Akhirnya cucu2 beliau ngaji sama saya, ushul fiqh memakai
naskah yang tidak ada di Termas. Yang punya itu Mbah Moen, diberikan saya, karena Mbah Moen
cucu murid sama Kyai mahfud. Yang cucu gen tidak punya, cucu murid punya. Lucu kan. Kalau
siklus itu terus-menerus, bisa habis.
Tradisi (keluarga) sini ini sepuh. Wong Mbah Hasyim juga keturunan orang sini. Mbah Hasyim
min jadil am keturunan Mbah Sambu. Keluarga Tebuireng dengan keluarga sini juga hormat
karena induknya di sini. Yang keturunan laki-laki (Abu Sarwan ..). Cuma Mbah Hasyim itu
terkenalnya lewat Demak. Ya Demak dulu, Purwodadi Ngroto, sampai Jaka Tingkir.
Kan beliau pendatang di Rembang. Makanya sebagian naskah ya di sini. Alhamdulillah gus-gus
Jawa Timur itu sekarang responnnya luar biasa karena mereka ternyata capek juga menuruti acara
seremonial. Tadi ada direktur Semen Gresik datang ke sini, minta pengajian. Direktur itu, kalau
saya nuruti gaya yang memang gaya, tapi aku ngaji ngaji ae, nggak usah ngatur kyai. 😆