Anda di halaman 1dari 15

PROF.

HAMID FAHMY ZARKASYI


Cerminan Imbangnya Kekayaan Turats dan Penguasaan
Wacana Kontemporer

Oleh : Ust. Mohammad Syam’un Salim

dicetak :

Center of Intellectual Santri


2022
2
Sekitar tahun 2009 kali pertama saya bertemu dan mendengar secara
langsung Dr. Hamid, setelah sebelumnya hanya mendengar cerita, tentang
liberalisme dan studi kebaratan (occidental studies) yang menjadi concern beliau
sejak lama. Seperti khasnya, narasi yang beliau bangun—tidak pernah tidak—selalu
tentang peradaban, Islamic worldview, tradisi keilmuan dalam Islam dan tantangan
pemikiran. Sebuah studi yang menyasar tema-tema cukup serius dan berat. Selain
sulit, ia juga butuh penguasaan diskursus Islam dan Barat secara berimbang. Di luar
itu, pemikiran adalah medan dakwah yang tidak banyak dilalui para da’i, bukan pula
kajian ringan ala budaya pop yang digemari banyak orang.

Kekuatan Literasi dan Orasi

Tidak seperti ustadz kebanyakan, Prof. Hamid, bagi saya, adalah seorang
figur akademisi tulen. Meskipun begitu, beliau bukanlah tipikal cerdik cendekia
yang menyendiri di menara gading. Saya sebut demikian, karena beliau adalah
salah satu dari sekian banyak akademisi yang punya kemampuan berbicara dan
menulis sama baiknya. Ini berbeda sekali dengan cerdik cendikia pada umumnya,
yang menonjol di satu sisi tapi lemah di sisi yang lain. Ada yang kuat berbicara
berjam-jam tanpa teks, tapi tidak punya karya tulis, bahkan tidak bisa menulis
dengan argumentatif apalagi analitis. Dalam fiqh dakwah kemampuan seperti ini
sangat baik, tapi tidak cukup. Sebab bagi akademisi yang punya tingkat kuriositas
tinggi, suatu permasalahan lebih mengena bila dijawab melalui media tulisan.
Begitu pula sebaliknya, ada yang kuat menulis, tetapi tidak berbunyi ketika
dihadapkan pada realitas umat yang terkadang hobi untuk mendengar. Jadi
kemampuan menulis dan berbicara seharusnya memang tidak untuk
dipertentangkan, karena sama-sama punya andil di medannya masing-masing.
Mungkin karena kemampuan yang komplit ini, pesan dakwah beliau bisa
dibilang diterima hampir di setiap lapisan masyarakat. Dari yang paling awam
hingga akademisi yang menghendaki pembahasan secara daqīq. Prof. Hamid bisa
berbicara dan menulis secara populis, dengan terlebih dahulu bercerita,
membentangkan kisah-kisah, dan memperbanyak contoh-contoh. Tapi ketika
menyasar pada tataran akademis, beliau bisa sangat fasih menjelaskannya secara

3
konseptual, teoritis sampai pada basis terdalam: langsung dari sumber primernya.
Sebagai contoh, ketika menyinggung konsepsi agama di Barat, beliau memulainya
dengan sebuah cerita renyah dan kontekstual di sana: sepak bola di Barat sebagai
“its like religion”, atau dengan kisah bule yang terus mempersoalkan Tuhan. Ada
juga penjelasan beliau tentang Timur dan Barat, tapi didahului dengan cerita mesin
photocopy di perpustakaan yang macet. Lihatlah beberapa paragraf yang saya
kutip dari karya beliau, Misykat, sebagai berikut:
Benar, ketika elemen-elemen Barat yang anti Kristen dipinjam anak-anak
muda Muslim, maka mulut yang membaca syahadat itu akan mengeluarkan pikiran
ateis. Tuhan yang Maha Kuasa, bisa menjadi “Tuhan yang Maha lemah”, al-Qur’an
yang suci dan sakral tidak beda dengan karya William Shakespeare, karena ia
sama-sama keluar dari mulut manusia (Misykat, hal. 32).
Sebuah penjabaran sederhana tanpa sedikitpun kehilangan konteks. Kutipan
menarik lainnya:
…muridnya, Herman Cohen, pun berpikir sama. “Tuhan hanya sekadar ide,”
katanya. Tuhan hanya Nampak dalam bentuk mitos yang tidak pernah wujud. Tapi
anehnya ia mengaku mencintai Tuhan. Lebih aneh lagi ia bilang “kalau saya
mencintai Tuhan, maka saya tidak memikirkanNya lagi”. Hatinya ke kanan,
pikirannya ke kiri. Pikirannya tidak membimbing hatinya, dan cintanya tidak
melibatkan pikirannya (Misykat, hal. 43).
Sungguh paragraf yang indah. Paragraf lain tidak kalah menariknya. Untuk yang ini,
selain menjelaskan sebuah muatan konsep dengan bahasa sederhana, juga berhasil
menyentil kesadaran pembacanya:
Sebagai contoh seorang mahasiswa yang menulis di tembok kampusnya “Yang
permanen adalah perubahan”. Esok harinya mahasiswa yang kurang kritis
menorehkan tanda kali (baca: silang, red) pas di tengah tulisan itu, tanda
penolakan. Lusanya mahasiswa cerdas menulis di tembok lain, “Yang berubah tidak
pernah permanen”. Di kampus lain seorang mahasiswa liberal-atheis menulis
kalimat di tembok fakultas filsafat sebuah kampus negeri, “Tuhan telah mati kata
Nietzsche”. Mahasiswa yang tidak setuju dan marah menulis komentar, “Yang nulis
goblok”. Tapi esoknya mahasiswa yang cerdas menorehkan coretan di bawahnya
“Nietzsche telah mati, kata Tuhan” (Misykat, hal. xix). Paragraf yang satir tetapi
tidak kehilangan bobot logika.
4
Di buku baru beliau bertajuk Minhaj: Berislam dari Ritual hingga Intelektual
juga disuguhkan hal yang kurang lebih serupa. Tidak seperti tipikal buku Islamic
Studies yang membebek Barat dan mencurigai karya besar para ulama, Minhaj
justru dengan percaya diri mengangkat sisi-sisi turāts yang terlupakan dengan
bahasa yang lebih mudah dicerna. Prof. Hamid dalam karyanya ini (Minhaj) berhasil
menggugah kesadaran kita, juga memberi pertanyaan penting, sudah sejauh mana
keislaman dan keimanan kita berada? Islam dan Iman yang sudah inheren dalam
diri seorang Muslim, nyatanya perlu dipertanyakan kembali, sambil perlahan-lahan
membawanya ke tingkat yang lebih tinggi yaitu pada ranah intelektual atau
worldview.
Pada akhirnya, karya beliau ini mampu menjawab kegelisahan umat akan
pertanyaan, bagaimana mungkin seorang yang pergi haji berkali-kali, bisa terjerat
kasus korupsi? Bagaimana mungkin negara dengan penduduk Muslim terbesar
malah disebut sebagai negara terbelakang dan tertinggal? Sebagaimana pula yang
ditanyakan oleh Syaikh Muhammad Basuni Imran (1885-1976), seorang ulama dari
Sambas Pontianak kepada Amir Syakib Arslan (1869-1946) “limādzā ta’akhkhara al-
muslimūn wa taqaddama ghayruhum?”. Di luar itu, ada satu kutipan menarik dari
buku Minhaj ini yang mempersoalkan musibah: sesuatu yang akhir-akhir ini dekat
dengan kita. Tulis Prof. Hamid:
Caranya (bersyukur dalam menghadapi ujian) mudah, jika anda miskin,
kesabarannya adalah tidak mencuri; bagi seorang perjaka, kesabarannya adalah
tidak berzina; bagi orang kaya, kesabarannya adalah tidak sombong dan
menghamburkan harta dst. Orang kaya yang bersyukur akan memberi, orang
miskin yang syukur akan makan yang halal, orang perjaka yang syukur akan tetap
taat beribadah (Minhaj, hal. 268).
Selain dalam bentuk yang sedikit populis, Prof. Hamid juga acapkali
membicarakan persoalan umat dalam mimbar akademis yang serius tanpa
kehilangan kosa kata dan jati dirinya sebagai seorang Muslim. Persis seperti yang
diungkapkan oleh Hamka, bahwa seorang Muslim harus berpihak kepada
kebenaran (maksudnya: kepada Islam). Beliau mampu memformulasikan
pemahaman tentang agama di Barat dengan apik, tanpa mengurangi bobot
ilmiahnya. Sekadar menyebut contoh, dalam makalahnya bertajuk “Agama dalam
Pemikiran Barat Modern dan Modern” tanpa canggung beliau mengutip beberapa

5
sumber penting seperti Akbar S. Ahmed, Ernest Gellner, Dafid Griffin, Huston
Smith, Nietzsche, Wittgenstein, Heidegger dan lain-lain. Dalam makalahnya, Prof.
Hamid memperkenalkan Barat lewat mulut orang-orang Barat sendiri. Beliau
mengutip komentar Hugh J. Silverman tentang Postmodern yang bercirikan:
meminggirkan (to marginalize), membatasi (delimit), dan mengesampingkan
(decentre) kerja-kerja yang telah dilakukan oleh modernis, untuk menjelaskan
karakter dari postmodernisme; hingga menyitir penjelasan Habermas, James E.
Crimmins tentang karakteristik agama di Barat yang disandingkan dengan mitos
(sesuatu yang irrasional dan takhayul) selain bercirikan desakralisasi yang oleh
Weber disebut sebagai disenchantment.
Kemampuan literasi dan orasi yang sama baiknya ini, ditopang dengan
bacaan beliau yang sangat luas. Belum lagi perjalanan intelektual beliau yang juga
tidak mudah untuk diikuti. Beliau belajar di Barat, termasuk berguru secara
langsung kepada seorang cendekiawan karismatik yang disegani: Syed Muhammad
Naquib al-Attas. Maka, ketika Prof. Hamid berbicara mengenai Barat dengan segala
macam diskursus yang mengelilinginya, akan terdengar proporsional, tepat, dan
sangat otoritatif. Rasanya perlu dicetak tebal, bahwa dengan kemampuan dan
perjalanan intelektual beliau yang ‘sangat Barat’ tadi, tidak membuatnya buta arah,
bersikap inferior, membebek, kehilangan sikap kritis apalagi kehilangan identitas,
nilai dan cara pandang terhadap dunia sebagai seorang Muslim. Ini berkebalikan
dari beberapa orang yang justru memilih apresiatif secara taken for granted
terhadap Barat, tanpa sedikitpun disertai daya kritis dan telaah berimbang.

Turāts sebagai Basis Worldview Islam

Selain literatur Barat, kemampuan bacaan Prof. Hamid pada kitab-kitab


turāts bukan pengecualian. Istimewanya, bacaan-bacaan tersebut tidak berdiri
secara mandiri, melainkan beliau hubung-kaitkan pada persoalan kontemporer,
menjawab problem keumatan dalam wacana pemikiran. Untuk yang satu ini,
semakin sedikit lagi orang yang mampu dan dapat melakukannya. Beberapa orang
hanya fokus pada turāts tanpa sekalipun berusaha menyelesaikan problem umat,
apalagi dalam konteks ghazwul fikr. Atau kebalikannya. Problem kontemporer

6
dikuasai dengan baik, tapi bingung mencari pijakan yang mestinya diambil dari
tradisi intelektual Islam. Munculnya paham-paham menyimpang seperti
sekularisme, pluralisme agama, kesetaraan gender, hermeneutika, dekonstruksi
syariah dan lain sebagainya adalah sedikit dari contoh fenomena ini. Paham-paham
tadi tumbuh subur dan bahkan sampai pada titik paling menyedihkan, diapresiasi
dan dibesarkan oleh kalangan santri sendiri atau sekurangnya oleh alumni
perguruan tinggi Islam negeri. Terlihat anomali, sebab dua kalangan ini harusnya
berada di garda terdepan memperjuangkan Islam, akan tetapi malah apresiatif, dan
secara tidak langsung, memilih berseberangan dengan apa yang diyakininya.
Pada titik ini, Prof. Hamid seakan menghadirkan gelanggang baru,
mengklarifikasi paham-paham menyimpang tersebut, sembari memperkenalkan
khazanah turāts yang kaya konsep. Di mana kekayaan konsep tersebut bisa
digunakan untuk menjawab persoalan umat manusia. Prof. Hamid mencontohkan
bahwa seperti segala bentuk wacana psikologi modern bisa dijawab dengan
tasawuf, atau ekonomi konvensional bisa didudukkan lewat pemahaman yang
benar terlebih dahulu, terkait persoalan harta, rizki, uang dan seterusnya. Maka
sudah menjadi keharusan bagi seorang Muslim untuk menjadikan worldview Islam
sebagai basis cara pandang dalam memandang realitas. Worldview Islam sendiri
sebagaimana yang sering Prof. Hamid jelaskan adalah bangunan konsep-konsep
kunci yang itu disarikan dari khazanah intelektual Islam, di mana konsep-konsep
tersebut saling berkait erat antara satu dengan yang lain.
Jadi, bila diterangkan dengan lebih panjang lagi, struktur bangunan
worldview Islam itu dimulai dari struktur konsep-konsep kunci, yaitu konsep Tuhan,
Agama, Wahyu, Kenabian, Penciptaan, dan lain-lain. Konsep-konsep kunci ini
digunakan sebagai poros/basis dari konsep lainnya; seperti konsep ilmu, konsep
manusia, konsep nilai, konsep dunia, konsep kehidupan, dan seterusnya. Semua
konsep ini saling berelasi satu dengan yang lain. Sekadar menyebut contoh: ketika
konsep ilmu bersinggungan dengan konsep manusia, muncul konsep (baru)
pendidikan; ketika konsep manusia berelasi dengan konsep nilai, muncul konsepsi
berkenaan politik; konsep ilmu ketika dihubungkaitkan dengan konsep kehidupan,
menghasilkan konsep teknologi. Begitu seterusnya. Dari penjabaran ini, Prof.
Hamid memberikan gambaran sederhana tentang worldview Islam, bahwa bila
diucapkan akan berbunyi, “setiap kata (dalam wahyu) mengandung makna, setiap
makna mengandung konsep dan setiap konsep saling terkait antara satu dengan

7
yang lain”. Dengan ungkapan lain, keterkaitan konsep dan memusatkan konsep
tersebut kepada konsep Tuhan adalah harga yang tidak bisa ditawar dalam
worldview Islam.
Perlu dicatat, kesepaduan konsep lalu mendudukkannya dengan mula-mula
menelaah bahasa adalah pintu utama kerja Islamisasi Ilmu. Banyak yang mengira
bahwa Islamisasi Ilmu ialah upaya apologetis, dengan menyebutnya sebagai usaha
ayatisasi, atau yang paling umum terbaca, hanya sekadar labelisasi semata.
Muncullah permisalan yang kurang tepat—bahkan pejorative—seperti: motor
Islam, mobil Islam, pesawat Islam, dan seterusnya. Bagi Prof. Hamid, pemahaman
ini keliru—bila tidak disebut sebagai ngawur. Sebab Islamisasi Ilmu menyasar pada
cara pandang terhadap dunia, contohnya: worldview. Artinya, yang diislamkan
adalah worldview saintis yang telah diisi oleh konsep-konsep Barat, sebagaimana
yang sempat dijelaskan di muka. Lagi pula ada perbedaan mendasar antara objek
ilmu (yaitu realitas), produk ilmu (misal: pesawat, motor) dengan ilmu itu sendiri.
Mengutip Prof. Hamid “al-‘ilmu fi suḍūr lā fi sutūr” ilmu ada di dalam jiwa/pikiran,
bukan di motor, apalagi pesawat.
Selain itu, karena bermain dalam tataran konsep dan turut membentuk
worldview, Islamisasi Ilmu justru memperkaya keduanya. Sebagai contoh: terma
Allah di zaman Arab jahiliyyah dipahami dengan terlalu transenden sehingga sulit
untuk digapai. Alhasil, Allah mereka anggap tidak mempunyai keterkaitan dengan
kehidupan sehari-hari. Maka wajar bila mereka tidak mengenal konsep hari akhir,
alam akhirat, dan seterusnya. Scope ilmu mereka menjadi terbatas kepada apa-apa
yang ada di dunia saja. Di sinilah, al-Qur’an mengoreksi dan
mentransformasikannya—yang awalnya terbatas hanya pada dunia semata—
kepada dunia dan akhirat sekaligus; dan secara otomatis Allah menjadi dipahami
sebagai Dzat yang transenden dan imanen dalam satu waktu. Begitu juga konsep
manusia, yang mulanya dipahami hanya sebagai manusia semata, diperkaya
maknanya menjadi “khalifatullah” a special creation. Jadi, Islamisasi justru
memperkaya dengan memberikan penjelasan lebih kongkrit dan jelas, dari apa-apa
yang sebelumnya terbatas dan kabur. Oleh sebab itu, Islamisasi tidak akan jauh dari
penelaahan kembali ‘bahasa’, menempatkan konsep-konsep dalam worldview—
yang oleh al-Attas disebut ru’yatul islām li al-wujūd—ke tempat yang tepat.

8
Sebagai realisasi kongkritnya, bisa disimak disertasi Prof. Hamid yang
membahas kausalitas (sebab-akibat) dalam kacamata Imam al-Ghazali. Disertasi ini
secara khusus mengklarifikasi hal penting pada isu sebab-akibat yang sejak zaman
Aristoteles, Neo platonic bahkan hingga filsuf Muslim paripatetik, diyakini bersifat
pasti. Artinya, kausalitas terjadi tanpa campur tangan Tuhan. Penelitian Prof.
Hamid pada persoalan kausalitas ini dalam rangka mengembalikan konsep Tuhan
sebagai basis utama dari konsep-konsep yang lain—dalam hal ini adalah konsep
kausalitas untuk melihat realitas dan ilmu secara adil—di mana sebelumnya, Tuhan
tidak punya andil di dalamnya. Itulah sebabnya judul dari disertasi beliau tertulis,
al-Ghazali’s Concept of Causality: with Reference to His Interpretations of Reality
and Knowledge. Sebuah judul yang mengisyaratkan akan kritik terhadap sains
modern yang menghilangkan jejak Tuhan dalam melihat realitas dan mekanisme
kerja alam.
Pandangan ini, dalam telaah Prof. Hamid, memiliki konsekuensi yang tidak
sederhana bila dilihat dari kacamata worldview Islam. Pandangan yang
memutlakkan kausalitas tanpa campur tangan Tuhan akan memandang segala hal
secara sekuler dan dikhotomis. Akibatnya, alam semesta dilihat secara mandiri dan
terbebas dari jejak Tuhan. Persis seperti iklan air minum “atas kebaikan alam, kita
bisa menikmati kemurnian air”—lagi-lagi, Prof. Hamid memberikan permisalan
yang sederhana namun kontekstual yang kali ini cukup jenaka—maknanya, air yang
mestinya tidak lepas dari kehendak Tuhan, tiba-tiba dilepaskan dengan
menyebutnya sebagai ‘kebaikan alam’. Slogan yang diucapkan iklan itu seperti
terdengar baik-baik saja, namun sebetulnya menyisakan lubang yang menggiring
manusia pada (minimal) sekulerisme tahap awal, untuk selanjutnya
bertransformasi menjadi pandangan lain yang khas Barat.
Penelitian dalam disertasinya ini, Prof. Hamid menggali khazanah turāts
lewat karya-karya Imam al-Ghazali untuk selanjutnya digunakan dalam melihat
fenomena kausalitas di alam raya. Hasil dari penelitian ini menyebutkan bahwa
Imam al-Ghazali merangkum teori kausalitasnya kepada apa yang disebut sebagai
stages of causal creation: tingkatan sebab-akibat dalam penciptaan. Pertama,
bahwa Tuhan telah meletakkan sebab-sebab kemudian diarahkan kepada akibat
dengan sangat bijaksana. Kedua, Tuhan juga meletakkan sebab-sebab secara
absolut, mendasar, fix dan stabil: al-asbābul-kulliyah al-aṣliyyah al-thābitah al-
mushtarakah. Ini bisa dicontohkan dengan api yang membakar tidak mungkin

9
dapat berubah secara ekstrim menjadi mendinginkan. Di sini lain, Tuhan
menetapkan ketetapan yang berlaku universal untuk sebab-sebab yang absolut
secara terus-menerus: al-waḍ’u al-kulli li-l asbāb al-kulliyah al-dā’imah. Ketiga,
bahwa sebab-sebab melibatkan pengarahan Tuhan, tawjīh, determinasi qadar,
melalui proporsinya. Dengan ungkapan lain, sebab-akibat bukanlah sebuah
kepastian, tergantung pada proporsinya. Sebagai misal: kertas itu bisa dibakar oleh
api, apabila kertasnya kering, bila basah, kertas tidak akan terbakar.
Permisalan di atas diperkuat dengan argumentasi lain dari Imam al-Ghazali.
Seorang yang buta kemudian ia dioperasi lalu bisa melihat. “Apa yang membuatnya
bisa melihat?”, tanya Imam al-Ghazali. Maka jawaban pertama adalah “matanya”.
Tapi bila ditanyakan kembali, “Apakah ia bisa melihat ketika ia diletakkan pada
ruangan yang gelap gulita?” Jawabnya, tentu tidak. Artinya, di sini mata bukan satu-
satunya penyebab seorang itu dapat melihat. Ada sebab lain, yaitu cahaya. Makna
lainnya, ada sekian banyak sebab yang membawa pada akibat. Dan salah satu
sebab dari sekian banyak akibat itu adalah Tuhan. Argumen Imam al-Ghazali,
sebagaima yang diterangkan Prof. Hamid itu semakin menarik, ketika al-Ghazali
kembali memperlihatkan bahwa hubungan kausalitas yang (dianggap) pasti itu
tidak dapat dibuktikan secara logis atupun empiris. Buktinya, kita tidak bisa
membuktikan secara pasti bahwa api melakukan pembakaran pada kertas. Secara
empiris kita tidak bisa memastikan hal itu.
Api sendiri tidak bisa dikatakan sebagai pelaku, sebab ia adalah benda mati.
Api tidak memiliki ilmu. Buktinya, api tidak memiliki kehendak untuk berbuat. Ia
membakar apa saja yang ia lewati. Hal serupa juga bisa kita lihat pada fenomena
gempa bumi, tsunami, dan lain sebagainya. Mengapa bencana tersebut seperti
memilih daerah tertentu? Dalam hal ini, Aceh, Palu, bukan daerah lain? Bagi Imam
al-Ghazali, pertanyaan ini bisa dijawab bahwa segala hal tersebut bisa terjadi
“disebabkan oleh kehendak Tuhan”. Ringkasnya, apa yang ingin dijelaskan oleh
Prof. Hamid dalam disertasinya itu adalah dengan misi untuk meletakkan Tuhan
dalam tata tertib alam semesta. Bahwa prinsip kausalitas yang dirumuskan oleh
Imam al-Ghazali dapat menjadi sumbangsih penting dalam khazanah sains Islam.
Selama ini sains Islam lebih sering mengikuti sains modern, yang terlihat
menghilangkan unsur ketuhanan. Di sini, apa yang selalu ditekankan beliau; bahwa
turāts harusnya digunakan untuk menjawab problem keumatan kontemporer

10
bukan suatu penekanan yang kosong dari realisasi. Dan ini tergambar jelas pada
uraian disertasi beliau.
Konsepsi yang rumit dan daqīq soal kausalitas tadi diuraikan dalam penjelasan yang
lebih mudah lagi oleh Prof. Hamid. Simak salah satu kutipan dalam buku Minhaj
berikut:
Tidak perlu heran jika sebab tidak membawa akibat, atau akibat terjadi
tanpa sebab. Dalam al-Qur’an dikisahkan bahwa api tidak membakar Nabi Ibrahim
As., tanpa oksigen Nabi Yunus As. bisa hidup dalam perut ikan paus, Ashabul Kahfi
tidak mati meskipun tidur 300 tahun lamanya, dan seterusnya. Dalam kehidupan
sehari-hari ada pedagang barang yang sama, yang satu sukses dan yang lain gagal.
Dalam suatu peristiwa gempa bumi, beberapa hancur runtuh rata dengan tanah,
sementara bangunan masjid tetap utuh. Apakah gempa bumi bisa memilih-milih?
(Minhaj, hal. 10).
Sebuah pertanyaan akhir yang menohok, bagi siapapun yang menuhankan sains.
Uraian demi uraian ini sebetulnya sudah cukup menggambarkan
keberhasilan Prof. Hamid dalam usaha Islamisasi Ilmu. Sebab hasil dari penelitian
beliau hingga karya-karya yang dihasilkan berhasil memperkaya konsep dari yang
semula terbatas dan minim: terlepas dari unsur ketuhanan, menjadi kaya dengan
jalinan konsep yang lain, termasuk menegaskan posisi konsep Tuhan atas konsep-
konsep yang lain. Selain dari pada itu, kerja-kerja ilmu yang Prof. Hamid kerjakan
mencontohkan kepada kita semua bagaimana seharusnya akademisi Muslim
memaksimalkan kutub at-turāts, bagaimana cara kita berhadap-hadapan dengan
Barat secara benar dengan memaksimalkan kerja intelektualitas dan daya ilmiah
secara serius.
Jika tradisi turāts dan ideologi kontemporer ini pemahamannya terpisah oleh
jarak dan dianggap tidak memiliki relevansi, maka tugas kita adalah menjembatani
keduanya, sehingga kita tidak salah paham dan bertindak sewenang-wenang pada
keduanya. Dengan ungkapan lain, apa-apa yang populer dan menjadi pegangan
Barat saat ini, bisa dilawan atau sekurang-kurangnya dijawab lewat kekayaan
khazanah intelektual Islam yang sebetulnya lebih kaya dan sophisticated (baca:
canggih). Kerja-kerja serius dalam ranah ilmu yang beliau contohkan seperti inilah
yang membuat saya dengan yakin menyebut Prof. Hamid sebagai akademisi tulen.
Akademisi dalam arti yang sebenarnya.
11
Ilmu Sebagaimana Dirinya

Dari pengalaman dan kemampuan Prof. Hamid ini, sebetulnya akan terbaca
dengan mudah bagaimana kami, santri-santrinya, mendapat pengalaman belajar—
baik langsung maupun tidak—yang bisa dikatakan tidak mudah. Kami sering sekali
mendengar penekanan dari beliau, hampir di setiap perkumpulan bahwa “saya
(Prof. Hamid) tidak pernah kompromi soal kualitas”. Dan benar! Pengalaman kami
ketika bolak-balik mengajukan paper tugas akhir Program Kaderisasi Ulama (PKU),
merevisi tugas-tugas perkuliahan secara ketat dan berlapis-lapis, me-review
proposal tesis sampai pada titik jenuh, hingga pemeriksaan dan koreksian bab per
bab dalam tesis secara seksama membenarkan hal itu. Ini semua adalah bukti sahih
akan kecermatan dan komitmen beliau untuk tidak bermain-main dalam mengajar.
Masih terbayang jelas di kepala kami, bagaimana setiap sowan ke Prof.
Hamid perasaan mendadak tegang. Lebih-lebih hampir tidak ada kisah paper tanpa
koreksi di hadapan beliau. Sudah jadi makanan sehari-hari paper kami disebut
khutbah Jum’at: maksudnya, tidak disertai analisa dan argumentasi yang cukup.
Pengalaman lainnya, ketika diskusi kami disebut kebatinan: maksudnya apa yang
kita sampaikan dan tanyakan tidak berbasis pada bacaan yang cukup, telaah yang
dalam dan diskusi yang panjang. Paper–paper yang kami tulis juga seringkali beliau
sebut “tidak analitis”,”kurang argumentasi”,”miskin referensi” hingga disebut
“tidak layak”. Pada sisi ini, semakin membuktikan lagi sosok Prof. Hamid sebagai
akademisi tulen. Sebab kerja-kerja akademisi idealnya memang harus setekun dan
sedetil itu. Dengan keterbatasan waktu yang beliau punya, semua hal tadi masih
beliau lakukan secara serius.
Iklim akademis yang sedemikian rupa juga dibentuk oleh Prof. Hamid lewat
serangkaian fasilitas yang beliau penuhi. Seperti menyediakan asrama yang
nyaman untuk kami tinggali, perpustakaan yang cukup lengkap, tenaga pengajar
yang pakar di bidangnya, waktu luang beliau untuk diskusi sepanjang waktu, hingga
suasana ilmiah yang dibentuk lewat serangkaian kurikulum yang juga beliau susun
sendiri. Berkenaan buku rujukan, beliau bermurah hati meminjamkan koleksi
pribadinya untuk kami baca ketika kesulitan mencari referensi. Bahkan sudah jadi
rahasia umum, beliau juga membelikan buku kepada siapapun yang membutuhkan
dengan syarat mengembalikanya ke perpustakaan. Hatta mencarikan beasiswa

12
untuk kami kuliah beliau lakukan dengan senang hati. Dari sini muncullah—saya
sebut—trilogi intelektual yang beliau tekankan berkali-kali, yaitu membaca,
berdiskusi, dan menulis.
Rumusan Prof. Hamid ini saya rasa tepat sekali untuk dilakukan. Membaca
adalah harga mati untuk siapapun yang ingin menghidupkan tradisi ilmu. Tapi
membaca saja tidaklah cukup. Ia harus disertai dengan diskusi-diskusi: brain
storming. Diskusi berfungsi sebagai pengantar pemahaman, mengklarifikasi dan
menguji bacaan, selain tentu juga untuk memperluas dan menajamkan prespektif.
Karena dengan diskusi, kita dipertemukan dengan bacaan lain, prespektif dari
pemahaman yang berbeda. Tetapi, membaca dan berdiskusi juga masih kurang—
tanpa ingin menyebutkan tidak berguna—bila tidak menghasilkan tulisan. Sebab
dengan tulisan, pemahaman atas bacaan yang telah didiskusikan akan semakin
kuat dan mendalam. Selain fungsi utamanya sebagai pengantar ide dan gagasan
agar dikenal lebih luas, tulisan juga bisa menjadi media paling signifikan untuk amal
jariyah ilmu: ‘ilmun yuntafa’u bih. Mengutip Imam al-Ghazali: “kalau kamu bukan
anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka menulislah”.
Tetapi, trilogi intelektual ini masih perlu penambahan lagi, yaitu mendasari
ketiganya dengan keimanan yang kokoh. Bahwa kerja-kerja intelektual bertujuan,
selain untuk mempertebal iman dan takwa juga sebagai sarana dakwah, “li hadmi
sharī’ah wa li iqāmati ad-dīn”. Itulah mengapa hampir setiap karya Prof. Hamid—
sekurang-kurangnya—memiliki dua bentuk: nafy (negasi) dan ithbāt (afirmasi).
Yang pertama berbentuk kritik atas paham-paham asing yang tidak dikenal di
dalam tradisi intelektual Islam; yang kedua berbentuk tawaran konsep, yang
sebetulnya tidak baru dalam tradisi Islam, namun tidak banyak diketahui.
Kesadaran ini penting untuk dibangun, sebab apa guna kepintaran jika tidak untuk
memperkokoh aqidah dan menambah hidayah, juga tidak untuk berkomitmen
kepada kebenaran? Sebagaimana hadīth Nabi Saw. yang dikutip oleh Imam al-
Ghazali dalam Iḥyā: “man izdāda ‘ilman wa lam yazdad hudan, lam yazdad minallāh
illā bu’dan”. Dalam pendahuluan Maqāşid Falāsifah, doa Imam al-Ghazali bisa kita
jadikan pegangan: Allāhumma innī akhlaṣtu niyyah fī ṭalabi-l ḥaqq fa dullanī ‘alaih
wa khallinī min al-hawā. Imam al-Ghazali mengajarkan kita arti meluruskan niat,
kehati-hatian, berusaha menjauhi kezaliman terhadap diri sendiri, orang lain dalam
berilmu dan beramal dan yang paling penting, berkomitmen kepada kebenaran.

13
Oleh sebab itu, belajar adalah by a mission. Serangkaian usaha manusia agar
dapat meletakkan sesuatu pada tempatnya, selain tentu bertujuan untuk
mengetahui secara tepat arti wujud yang sebenarnya. Persis seperti apa yang
dikatakan oleh Habib Muhammad bin Abdullah al-‘Aydrus, bahwa “true knowledge
is like fruit tree; it’s not planted except for the purposes of bearing fruits. The fruit
of knowledge is correct action.” Ini yang secara terus-menerus ditekankan Prof.
Hamid pada kami, santri-santrinya, yang minim ilmu dan terkadang labil secara
intelektual. Dari itu juga Prof. Hamid memperkenalkan kekayaan khazanah
intelektual Islam dan Barat dengan ‘memaksa’ kami untuk membaca karya-karya
mereka sebanyak mungkin, membuat resume, resensi, mini paper yang terstruktur
dalam tugas-tugas pekanan dan bulanan. Efeknya, kami jadi merasa semakin
bodoh. Dan seiring berjalannya waktu, tugas-tugas dari Prof. Hamid tersebut yang
membuat kami semakin sadar akan perbedaan antara ḥaqq dan bāṭil yang sudah
sedemikian terangnya.
Selain sebagai bukti kerja-kerja ilmu tadi, apa yang dilakukan Prof. Hamid
ini—sepanjang pengetahuan saya—juga sebagai realisasi dari şilatul ‘ilm,
persaudaraan yang berlandaskan pada ilmu. Sekeras dan seterang apapun
perbedaan bila dinaugi oleh semangat mencari ilmu, semuanya akan cair dan
berakhir dengan kegembiraan. Di situ tidak ada perebutan kepentingan, tidak
terjadi saling caci-maki, tidak terpikir pula untuk berselisih secara ekstrim. Maka
bila ditulis dalam bentuk kalimat yang tidak seberapa panjang, apa yang kami
rasakan di bawah pengajaran Prof. Hamid adalah rasa sebenarnya dari menuntut
ilmu. Ilmu sebagaimana dirinya, bukan sebagaimana yang lain. Bahwa ilmu bukan
semata-mata baris-baris atau larik-larik yang ada di buku-buku itu, tapi ia adalah
apa yang ada di dalam jiwa dan hati. Orang boleh punya deretan gelar, tapi belum
tentu disertai jiwa yang bersih dan adab yang luhur, sebab ilmu yang sebenarnya
ada di dalam hati.
Dari Prof. Hamid kami belajar arti “teliti dahulu sebelum membeli”.
Maksudnya adalah senantiasa kritis kepada konsep, nilai, manifesto, bahkan
jargon-jargon tertentu yang datang dari sumber manapun. Bacaan harus luas,
tetapi daya nalar dan kritis jangan sampai kalah luas, apalagi tertinggal di belakang.
Dari beliau kami juga belajar bahwa makalah ilmiah, skripsi bahkan tesis sejatinya
bukanlah semata-mata mengenai deadline dan janji bimbingan dengan dosen
pembimbing. Bukan tentang laporan beratus-ratus halaman dengan kumpulan

14
istilah-istilah yang sulit dipahami. Bukan juga tentang pamer bacaan yang
melimpah. Namun mengenai tanggung jawab dan kerja keras. Ilmu pengetahuan
yang sejati bukanlah perkara main-main, ia adalah kerja-kerja iman. Persis seperti
yang pernah diungkapkan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas:“Education at
(ISTAC) is not only about finishing coursework and writing a dissertation, but more
importantly of becoming a proper Muslim intellectual who profoundly knows the
various fundamental problems facing our society and can develop the right
framework and strategy to solve them. Our goal is to serve Islam sincerely and
correctly”.
Kini dari ketekunan, kesabaran, juga komitmen yang sudah lama beliau
pupuk, Prof. Hamid berhasil sampai pada garis Guru Besar bidang Filsafat Islam—
sesuatu yang, bagi saya pribadi, atas dedikasi, karya juga kecintaannya pada ilmu,
sebetulnya garis tersebut sudah beliau raih bahkan satu dekade yang lalu. Semoga
Prof. Hamid senantiasa dikaruniai kesehatan hingga dapat menjalankan tugas
keulamaannya dengan sebaik-baiknya. Dan semoga kita dapat meneladani
kezuhudannya dalam keseharian dan komitmennya terhadap kebenaran. Tahniah
Prof. Hamid.

Ciputat, 13 Februari 2022

Sumber :
https://insists.id/prof-hamid-cerminan-imbangya-kekayaan-turats-dan-
penguasaan-wacana-kontemporer/

15

Anda mungkin juga menyukai