Identitas Novel
Sutan Takdir Alisjahbana (STA) merupakan salah satu tokoh pembaharu Indonesia
yang berpandangan liberal. Berkat pemikirannya yang cenderung pro-modernisasi
sekaligus pro-Barat, STA sempat berpolemik dengan cendekiawan Indonesia
lainnya. STA sangat gelisah dengan pemikiran cendekiawan Indonesia yang anti-
materialisme, anti-modernisasi, dan anti-Barat. Menurutnya, bangsa Indonesia
haruslah mengejar ketertinggalannya dengan mencari materi, memodernisasi
pemikiran, dan belajar ilmu-ilmu Barat.
1
STA melakukan modernisasi Bahasa Indonesia sehingga dapat menjadi bahasa
nasional yang menjadi pemersatu bangsa. Ia yang pertama kali menulis Tata Bahasa
Baru Bahasa Indonesia (1936) dipandang dari segi Indonesia, yang mana masih
dipakai sampai sekarang.
Sutan Takdir Alisjahbana menulis novel ini karena membahas tentang perjuangan
dan segala permasalahan yang dihadapi oleh wanita pada masa itu untuk mencapai
cita-citanya. Untuk di baca para wanita muda masa kini agar tahu bagaimana
keadaan kaum wanita masa lalu. Selain itu secara tidak langsung dapat
meningkatkan minat para generasi muda terhadap kesusastraan lama Indonesia
yang menjadi perintis sastra modern Indonesia sekarang.
Novel ini menceritakan tentang dua orang kakak beradik yang memiliki karakter
sangat berbeda. Tuti, sang kakak, adalah seorang wanita yang sangat idealis. Ia juga
anggota organisasi pergerakan wanita, Putri Sedar namanya. Tuti sering berorasi
meneriakkan hak-hak wanita yang pada saat itu masih jauh dari unsur emansipasi.
Apapun yang dilakukan olehnya harus berdasarkan pemikiran yang matang dan
lugas, Tuti adalah seseorang yang sangat serius dan tegas.
Berbeda dengan Tuti, Maria, sang adik, adalah seorang wanita yang manis, ceria
dan sangat keibuan. Ia juga sering mengambil keputusan berdasarkan perasaannya
saja. Yang menurut Tuti, adalah tindakan ceroboh. Maria lebih perasa, lebih
menyukai hal-hal feminim, seperti bunga dan novel-novel bertemakan cinta.
Saat sedang berekreasi untuk mengisi liburan di hari Minggu, mereka bertemu
dengan Yusuf, seorang pemuda intelektual yang sedang menempuh pendidikannya
sebagai dokter. Pertemuan di hari Minggu itu berlanjut hingga pada suatu pagi
Yusuf yang sedang mengayuh sepeda menuju Sekolah Tabib Tinggi, tempatnya
menempuh pendidikan dokter, bertemu dengan Maria yang juga sedang mengayuh
sepeda menuju H.B.S. Carpentier, tempatnya menuntut ilmu. Sejak saat itu, mereka
sering membuat janji untuk bertemu. Yusuf pun sering mengunjungi kediaman
Maria dan Tuti untuk bertemu dengan Maria. Sampai akhirnya, Yusuf dan Maria
saling jatuh cinta, hubungan mereka akhirnya semakin serius, hingga menjadi
sepasang kekasih.
Hubungan Yusuf dan Maria juga mendapat lampu hijau dari R. Wiriaatmaja, ayah
Maria. Hingga mereka memutuskan untuk bertunangan, hubungan mereka sangat
harmonis. Melihat kemesraan antara Yusuf dan Maria, Tuti sebenarnya iri. Apalagi,
mengingat pertunangannya dengan Hambali yang putus ditengah jalan. Namun
tetap saja, ia tak mau memiliki kekasih apalagi suami jika tak sesuai dengan kriteria
dan pilihan hatinya.
Suatu hari, Maria tiba-tiba terserang Malaria, suhu tubuhnya tak stabil. Ia juga
sering memuntahkan darah. Keadaannya membuat Ayah dan Kakaknya khawatir,
selain khawatir akan keadaannya, mereka juga khawatir jika Maria akan bernasib
sama dengan Ibunya yang meninggal karena penyakit semacam itu.
Ditengah keadaan adiknya yang sedang memburuk itu, Tuti juga dibingungkan
dengan perilaku Supomo, temannya yang mengajar di sekolah yang sama
dengannya. Supomo menyatakan cintanya kepada Tuti, dan berniat untuk
mempersuntingnya. Walaupun Tuti kagum kepadanya, namun ia tidak yakin untuk
menerima permintaan Supomo. Akhirnya, Tuti memutuskan untuk menolak
permintaan Supomo karena tidak ingin mengingkari prinsipnya. Ia juga tak ingin
mengecewakan Supomo karena jika ia menerimanya, ia hanya menikah karena
malu akan usianya yang sudah dua puluh tujuh tahun tetapi belum bersuami, bukan
3
karena ia juga mencintai Supomo. Ia menjelaskan semuanya lewat surat, seperti
Supomo yang juga menulis surat untuk meyakinkan Tuti akan pengakuan cintanya.
Keadaan Maria yang semakin memburuk mengharuskannya untuk menjalani rawat
inap di Central Burgerlijk Ziekenhius di Pacet, Sindanglaya, Jawa Barat. Ayah,
kakak, dan kekasihnya, bergantian untuk menjenguknya karena mereka semua
masih sibuk dan tak mungkin meninggalkan aktifitasnya di Jakarta untuk
menemaninya disana dalam waktu yang tidak bisa ditentukan.
Hingga tiba saatnya liburan bulan Desember, Tuti dan Yusuf berjanji untuk
menjenguk Maria setiap hari dengan menginap di rumah saudaranya di
Sindanglaya. Maria tentu sangat senang, walau malarianya belum hilang ditambah
dengan tbc yang memperparah keadaannya.
Keadaannya yang semakin memburuk membuatnya selalu teringat akan kematian,
ia merasa hidupnya sudah tak lama lagi. Hingga akhirnya, ia berpesan kepada Tuti
dan Yusuf untuk hidup bersama dan saling mencintai. "Alangkah berbahagia saya
rasanya di akhirat nanti, kalau saya tahu, bahwa kakandaku berdua hidup rukun dan
berkasih-kasihan seperti kelihatan kepada saya dalam beberapa hari ini..." begitulah
pesan terakhir dari Maria yang tertulis di halaman 150 buku ini.Firasat Maria benar-
benar terjadi, ia meninggal dunia. Untuk menghormati Maria, Tuti dan Yusuf pun
akhirnya memutuskan untuk menikah.
E. Sinopsis Novel
Novel ini menceritakan tentang dua orang kakak beradik yang memiliki karakter
sangat berbeda. Tuti, sang kakak, adalah seorang wanita yang sangat idealis. Ia juga
anggota organisasi pergerakan wanita, Putri Sedar namanya. Tuti sering berorasi
meneriakkan hak-hak wanita yang pada saat itu masih jauh dari unsur emansipasi.
Apapun yang dilakukan olehnya harus berdasarkan pemikiran yang matang dan
lugas, Tuti adalah seseorang yang sangat serius dan tegas.
Berbeda dengan Tuti, Maria, sang adik, adalah seorang wanita yang manis, ceria
dan sangat keibuan. Ia juga sering mengambil keputusan berdasarkan perasaannya
saja. Yang menurut Tuti, adalah tindakan ceroboh. Maria lebih perasa, lebih
menyukai hal-hal feminim, seperti bunga dan novel-novel bertemakan cinta.
Saat sedang berekreasi untuk mengisi liburan di hari Minggu, mereka bertemu
dengan Yusuf, seorang pemuda intelektual yang sedang menempuh pendidikannya
sebagai dokter. Pertemuan di hari Minggu itu berlanjut hingga pada suatu pagi
Yusuf yang sedang mengayuh sepeda menuju Sekolah Tabib Tinggi, tempatnya
menempuh pendidikan dokter, bertemu dengan Maria yang juga sedang mengayuh
sepeda menuju H.B.S. Carpentier, tempatnya menuntut ilmu. Sejak saat itu, mereka
sering membuat janji untuk bertemu. Yusuf pun sering mengunjungi kediaman
Maria dan Tuti untuk bertemu dengan Maria. Sampai akhirnya, Yusuf dan Maria
5
saling jatuh cinta, hubungan mereka akhirnya semakin serius, hingga menjadi
sepasang kekasih.
Hubungan Yusuf dan Maria juga mendapat lampu hijau dari R. Wiriaatmaja, ayah
Maria. Hingga mereka memutuskan untuk bertunangan, hubungan mereka sangat
harmonis. Melihat kemesraan antara Yusuf dan Maria, Tuti sebenarnya iri. Apalagi,
mengingat pertunangannya dengan Hambali yang putus ditengah jalan. Namun
tetap saja, ia tak mau memiliki kekasih apalagi suami jika tak sesuai dengan kriteria
dan pilihan hatinya.
Suatu hari, Maria tiba-tiba terserang Malaria, suhu tubuhnya tak stabil. Ia juga
sering memuntahkan darah. Keadaannya membuat Ayah dan Kakaknya khawatir,
selain khawatir akan keadaannya, mereka juga khawatir jika Maria akan bernasib
sama dengan Ibunya yang meninggal karena penyakit semacam itu.
Ditengah keadaan adiknya yang sedang memburuk itu, Tuti juga dibingungkan
dengan perilaku Supomo, temannya yang mengajar di sekolah yang sama
dengannya. Supomo menyatakan cintanya kepada Tuti, dan berniat untuk
mempersuntingnya. Walaupun Tuti kagum kepadanya, namun ia tidak yakin untuk
menerima permintaan Supomo. Akhirnya, Tuti memutuskan untuk menolak
permintaan Supomo karena tidak ingin mengingkari prinsipnya. Ia juga tak ingin
mengecewakan Supomo karena jika ia menerimanya, ia hanya menikah karena
malu akan usianya yang sudah dua puluh tujuh tahun tetapi belum bersuami, bukan
karena ia juga mencintai Supomo. Ia menjelaskan semuanya lewat surat, seperti
Supomo yang juga menulis surat untuk meyakinkan Tuti akan pengakuan cintanya.
Keadaan Maria yang semakin memburuk mengharuskannya untuk menjalani rawat
inap di Central Burgerlijk Ziekenhius di Pacet, Sindanglaya, Jawa Barat. Ayah,
kakak, dan kekasihnya, bergantian untuk menjenguknya karena mereka semua
masih sibuk dan tak mungkin meninggalkan aktifitasnya di Jakarta untuk
menemaninya disana dalam waktu yang tidak bisa ditentukan.
Hingga tiba saatnya liburan bulan Desember, Tuti dan Yusuf berjanji untuk
menjenguk Maria setiap hari dengan menginap di rumah saudaranya di
Sindanglaya. Maria tentu sangat senang, walau malarianya belum hilang ditambah
dengan tbc yang memperparah keadaannya.
Keadaannya yang semakin memburuk membuatnya selalu teringat akan kematian,
ia merasa hidupnya sudah tak lama lagi. Hingga akhirnya, ia berpesan kepada Tuti
dan Yusuf untuk hidup bersama dan saling mencintai. "Alangkah berbahagia saya
rasanya di akhirat nanti, kalau saya tahu, bahwa kakandaku berdua hidup rukun dan
berkasih-kasihan seperti kelihatan kepada saya dalam beberapa hari ini..." begitulah
pesan terakhir dari Maria yang tertulis di halaman 150 buku ini.Firasat Maria benar-
benar terjadi, ia meninggal dunia. Untuk menghormati Maria, Tuti dan Yusuf pun
akhirnya memutuskan untuk menikah.
Keunggulan
a. Segi Fisik :
– Sampul dan gambarnya menarik
– Kertasnya berkualitas baik karena menggunakan kertas HVS
b. Segi Isi :
7
G. Analisis Unsur Intrinsik
- Alur : Maju
- Latar
1. Lapangan tennis .
“Tempat bermain tennis , yang dilindungi oleh pohon- pohon kelepa
disekitarnya, masih sunyi” (hal .1 , paragraf 1 )
2. Minangkabau
“Sesungguhnya ibunya orang kampung, dan selamanya tinggal di
kampung saja, tapi sebabkasihan kepada anak , ditinggalkannyalah
rumah gedang di Koto Anau, dan tinggallah ia bersama-sama dengan
Hanafi di Solok.” ( halaman 23, paragraf 3 )
“Maka tiadalah ia segan -segan mengeluarkan uang buat mengisi rumah
sewaan di Solok itu secara yang dikehendaki oleh anaknya .” (halaman
23, paragraf 4 )
3. Betawi
“Dari kecil Hanafi sudah di sekolahkan di Betawi ”(hal. 23, paragraph
1)
“Sekarang kita ambil jalan Gunung Sari, Jembatan Merah Jakarta,
Corrie!” (halaman 103 , Paragraf 2)
4. Semarang
“Pada keesokan harinya Hanafi sudah dating pula ke rumah tumpangan
itu , dan bukan buatan sedih hatinya, demikian mendengar bahwa Corrie
sudah berangkat . Seketika itu ia berkata hendak menurutkan ke
Semarang .” (halaman 186 , paragraf 8)
5. Surabaya
“Di Surabaya mereka menumpang semalam di suatu pension kecil,
mengaku nama Tuan dan Nona Han.” ( halaman 144 , paragraf 1 )
- Penokohan
9
malu yang tinggi.
4. Ibu Hanafi ( Mariam) : Seorang ibu yang rela berjuang demi hidup
anaknya.Ia berusaha memenuhi semua biaya pendidikan
anaknya.Buk Mariam selalu sabar dalam menghadapi anaknya yang
durhaka.Namun, Ibu Hanafi adalah ibu yang pemaaf.Dia tetap
memaafkan semua kesalahan Hanafi, yang telah durhaka padanya.
5. Ayah Corrie ( Tuan du Bussee) : Ayah Corrie memiliki sikap yang
sopan, ramah terhadap semua orang, dan menghormati budaya orang
Timur walaupun ia orang Barat.Namun dia selalu mengucilkan diri
dari masyarakat setempat.Ayah Corrie kemudian meninggal pada
saat Corrie di Betawi.
6. Syafei : Anak Hanafi dengan Rapiah. Syafei adalah anak yang masih
lugu.Dia tidak tahu apa-apa mengenai ayah dan ibunya.
7. Nyonya Van Dammen : Nyonya yang berbaik hati memberi tempat
persembunyian untuk Corrie,agar dapat menghindar dari
Hanafi.Nyonya Van Damme juga saying terhadap Corrie.
8. Tante Lien : Tetangga Corrie pada saat dia menikah dengan
Hanafi.Tante Lien adalah pribumi asli Betawi yang berkebiasaan
latah.
9. Tuan Direktur : Direktur bank tempat Corrie bekerja setelah pergi
meninggalkan rumah karena perkara rumah tangga.Tuan Direktur
ini menaruh hati pada Corrie.
10. Piet : Sahabat Hanafi yang menasihati Hanafi pada saat Corrie pergi
meninggalkannya.
11. Tuan Administratur : Orang yang berbaik hati menemani Hanafi di
Semarang dan menyediakan kursi, minuman-dan makanan pada saat
Hanafi semalaman di Kuburan Corrie.
12. Pembantu Corri
13. Buyung : Orang membantu Hanafi dan Ibunya,berwatak lugu dan
penurut.
14. Simin : Pembantu di rumah Corrie, yang berwatak lugu,dan sabar.
15. Tukang Pos yang mengantar surat untuk Rapiah.
- Amanat :
1. Kita harus mampu menghormati budaya orang lain atau bangsa lain.
2. Kita harus membatasi diri dalam bergaul,janganlah kita lupa daratan
dan terbawa arus.
3. Jangan sampai kita juga mengikuti budaya asing dan melupakan
budaya sendiri.
4. Segala sesuatu yang kita lakukan dan kita jalani dengan
menggunakan kekerasan dan emosional,maka kehancuran dan
kegagalan yang kita dapatkan/alami. Janganlah durhaka pada
orangtua.
11
Adat istiadat pada saat itu tidak memperbolehkan seorang wanita
atau pria yang berbeda bangsa bersatu dalam cinta atau saling mencinta.
Dan hormati orang tua kita karena apa yang dikehendaki akan berbuah
manis pada diri kita.
- Nilai sejarah
13
Karya sastra yang dihasilkan diantaranya yaitu; Salah Asuhan
(novel, 1928, difilmkan Asrul Sani, 1972)Pertemuan Jodoh (novel,
1933)Surapati (novel, 1950)Robert Anak Surapati(novel, 1953)
Terjemahannya yaitu; Don Kisot (karya Cerpantes, 1923)Tom
Sawyer Anak Amerika (karya Mark Twain, 1928)Sebatang Kara (karya
Hector Melot, 1932)Tanah Airku (karya C. Swaan Koopman, 1950.
I. Unsur Kebahasaan
“tapi dengan tak sengaja, kalam itu sudah menari nari ke tempat yang
bukan-bukan, sudah menyatakan kesedihan hati yang tak berbukan-
bukan.” (halaman 50 paragraf 13)
“tak ada dalam sangka hanadi bahwa burung merpati itu sudah terbang
membumbung dan hendak lenyak ke langit hijau (halaman 52 paragraf
21)
“keadaan kami kedua seolah-olah disiram dengan air es” (halaman 148
paragraf 4)
“oh sukalah corrie bagai dipukul dipalu” (halaman 179 paragraf 37)
15
“waktu corrie sedang menghadapi meja tulis, dan menarilah jari-
jarinya diatas mesin itu” (halamaan 190 paragraf 35)
- Idiom (Ungkapan)
“buah hati” (halaman 102 paragraf 18), (halaman 159 paragraf 50)
17
“hendak mengukir langit” (halaman 251 paragraf 53)\
- Pribahasa
“bermain hapi hangus, bermain air basah” (halaman 176 paragraf 41)
J. Kesimpulan
19
perkawinan campur antar bangsa pun bukan lah sesuatu hal yang tabu
lagi.
Oleh karena kemampuan dan keberanian Abdoel Moeis itu, salah
asuhan merupakan novel rekomendasi untuk dibaca dan diartikan
sebagai perjuangan rahasia bangsa Indonesia. Pesan dalam novel ini
memperkuat agar globalisasi tidak menghilangkan kebudayaan
tradisional.
K. Saran
saran dari saya selaku penganalisis adalah, bahwa novel karya abdoel moeis ini
sudah bagus dan baik isinya, dengan penggambaran cerita yang baik dan tertata,
membuat novel ini menghasilkan efek tegang, getir dan mengejutkan baik di akhir
ataupun di setiap Babnya. Novel ini mengandung amanat dan unsur sosial yang
baik, mengangkat kebenturan budaya yang lain dari biasanya, dimana nilai-nilai
tradisi modern yang bertentangan di masukkan dan menjadi tema yang mencolok
namun dapat di nikmati. Namun menurut saya adalah, alangkah lebih baiknya jika
novel ini di tulis dengan lebih meencolok dan telanjang sehingga kesan sindiran
lebih kuat dibanding roman lainnya, secara novel ini mengangkat kisah adat yang
menyimpang pada masa itu.
TUGAS RESENSI DAN ANALISIS NOVEL SASTRA KLASIK
BAB IV
21
DISUSUN OLEH :
XII IPA 5
JL. JERUK RAYA KOMPLEK SUKATANI PERMAI KEL. SUKATANI KEC. TAPOS
KOTA DEPOK