Anda di halaman 1dari 10

Akhir-akhir ini banyak sekali kasus penculikan.

Dari anak-anak sampai orang dewasa, selalu saja ada


orang yang menghilang secara tiba-tiba. Salah satu kasus yang sedang dibicarakan diberita ini adalah satu
keluarga yang tiba tiba hilang. Para detektif meyakini penculikan ini sudah direncanakan oleh sang
pelaku. Sampai saat ini belum ditemukan korban maupun pelakunya. Berita itu selalu saja muncul setiap
Mia menyalakan TVnya.
“Membosankan,” gumam Mia, ia mematikan TVnya.
Mia tinggal sendirian di apartemen kumuhnya, dia tidak memiliki banyak uang untuk tinggal di
apartemen yang bagus. Padahal dia sudah bekerja, namun gajinya tidak seberapa, hanya cukup untuk
makan dan keperluan sehari-hari saja. Mia bekerja sebagai asisten toko DVD, walaupun hanya part time
karena ia masih bersekolah.
Hari ini adalah Hari Minggu. Mia berencana untuk pergi ke rumah temannya, Ashley, atau biasa
dipanggil Ash untuk mengerjakan tugas bersama-sama. Mia bersiap-siap dan langsung bergegas kesana.
Sampai disana, Mia memencet bel rumah Ash. Ash langsung membukakan pintunya dan Ia
mempersilahkan Mia masuk. “Selamat datang, Mia. Kamu mau aku buatkan minuman?”
“Ah tidak usah, aku hanya sebentar saja disini. Lagipula tugas yang akan kita bahas hanya sedikit.” Ujar
Mia malu-malu.
“Baiklah, ayo langsung saja kita kerjakan agar lebih cepat selesai.”
Terjadi keheningan antara keduanya. Mia dan Ash sama sekali tidak dekat, hanya sebatas teman sekelas.
Mereka berdua bingung bagaimana cara memulai diskusinya dan menghilangkan kecanggungan ini.
Ujung-ujungnya sama saja mereka mengerjakan tugasnya sendiri-sendiri tanpa berdiskusi.
“Mia?” akhirnya Ash buka suara untuk memecah kecanggungan ini. Namun Mia masih sibuk
mengerjakan tugasnya. “Mia?” Ash memanggilnya sekali lagi.
“Eh? Jadi daritadi kau memanggilku ya. Maaf aku terlalu fokus mengerjakan tugas.”
“Ah iya tidak apa-apa.”
“Kenapa kau memanggilku, apa kau butuh bantuan dalam mengerjakan tugas ini?”
“Sebenarnya ini hal lain sih, tapi aku ingin membicarakan ini denganmu.”
“Apa itu?”
“Aku melihat di berita akhir-akhir ini banyak sekali kasus penculikan. Seram sekali, bukan. Aku jadi
takut untuk keluar rumah.” Ash menunjukkan ekspreksi yang ketakutan. Mia terdiam sejenak.
“Aku sedih, karena temanku, Michelle adalah salah satu dari korban penculikan tersebut. Sepertinya
sudah lumayan lama dirinya menghilang.” Sambung Ash.
“Begitu ya, turut berduka. Semoga temanmu itu cepat ditemukan.” Balas Mia.
“Aku pernah mendengar biasanya penculik itu menjual organ tubuh sang korban lalu mereka akan
mendapat uang.”
“Mengerikan sekali.”
“Kasus yang ada diberita tadi pagi adalah kasus penculikkan sekeluarga. Michelle yang tadi aku
bicarakan menjadi korban dalam kasus ini, bukankah dia adik tirimu setelah ayahmu menikah dengan
wanita lain?” Setelah Ash menanyakan hal tersebut, Mia hanya terdiam. Ash merasa pertanyaannya agak
menyinggung Mia. Tapi akhirnya Mia menjawab. “Ah sebenarnya aku tidak terlalu dekat dengan
keluarga baruku itu, bahkan aku tidak mengenal mereka. Kau tahu sendiri kan sekarang aku tinggal
sendirian di apartemen. Aku tidak begitu ikut campur dengan urusan mereka. Ayahku juga sudah
meninggal 3 bulan setelah menikah dengan selingkuhannya itu. Dan ibuku… aku tidak tahu dia sekarang
dimana.” Mia menundukkan kepalanya.
“Mia.”
“Hm?”
“Aku meminta maaf jika pertanyaanku menyinggungmu tadi.”
“Tidak apa-apa kok, ngomong-ngomong tugasnya sudah selesai kan? Aku ingin pulang dulu ya.” Mia
merapihkan barang-barangnya dan pamit kepada Ash.
“Oke baiklah, hati-hati di jalan.” Ash melambaikan tangannya. Mia hanya tersenyum.
Sampai di apartemen, Mia membuka kunci pintunya. Ia mendengar jeritan seseorang dari suatu ruang di
apartemennya. Mia membuka ruangan tersebut. Ia menatap orang yang menjerit itu dengan tatapan tidak
suka. “Kalian sangat berisik.” Ucapnya datar.
“Lepaskan kami!! Apa maumu hah!!” kata seorang wanita yang sedang diikat di kursi. Disampingnya ada
tiga orang anak yang sedang menangis, memohon agar dilepaskan,Tampaknya salah satu dari mereka
masih seumuran dengan Mia.
“Tolong lepaskan kami dari sini, apa salah kami kepadamu?” Tanya si anak kedua, Michelle. Gadis itu
yang dibicarakan Ash tadi.
“Banyak.” Balas Mia singkat.
“Tempat ini sangat kotor. Menjijikkan.” ujar si sulung, Nadya.
Ya benar, mereka adalah keluarga yang dibicarakan di berita hari ini. Pelaku penculikkan itu adalah Mia
sendiri. Tapi Mia akan yakin bahwa dia tidak akan ketahuan oleh siapapun. Mia berjalan mendekat kearah
mereka berempat.
“Bagaimana jika kita melakukan sebuah permainan?” ucap Mia sambil melebarkan senyumannya.
“JANGAN MELAKUKAN HAL YANG TIDAK-TIDAK!” Teriak salah satu dari tiga anak tersebut, ia
adalah Ben, anak bungsu dari keluarga tersebut.
“Ini adalah permainanku, aku bebas untuk menentukan apa permainannya.”
“Bagaimana jika kita bermain petak umpet?” ujar Mia.
Mereka berempat terdiam masih dengan keadaan tubuh yang bergetar.
“3 detik tidak menjawab kita akan mulai permainannya.”
“1…2…3…” Tidak ada jawaban dari siapapun. “Baiklah kita mulai permainannya, aku akan menjelaskan
peraturannya.”
“Dipermainan ini ada peran yang disebut traitor. Tugas traitor adalah membunuh pemain lain yang
ditemuinya. Jika traitor tidak membunuh orang yang ditemuinya, maka aku yang akan membunuhnya.
Diantara kalian berempat hanya ada satu traitor. Intinya kalian semua harus sembunyi karena salah satu
dari kalian adalah traitor. Kalian harus selalu berjaga-jaga. Dan ingat, jangan pernah memberitahukan
peran kalian dalam permainan ini.” Jelas Mia. Mia tersenyum puas, akhirnya dia bisa melihat seseorang
dibunuh didepan matanya nanti.
“Semua harus ikut, kalau tidak akan kubunuh sekarang juga.”
Mereka berempat hanya pasrah dan mengangguk. Mia membisikkan satu persatu tentang peran mereka.
Setelah masing-masing mendapat peran, mereka diperintahkan untuk bersembunyi. Waktunya hanya 30
detik. “Selamat bermain.” Ucap Mia.
Mia mengetahui posisi mereka masing-masing, jika Mia mau bahkan biar dia saja yang membunuh
mereka semua. Tapi Mia masih mau menonton permainan ini. “Aku rasa aku memilih traitor yang tepat.”
Gumamnya.
Si anak bungsu, Ben Ia bersembunyi dibawah meja. Ia tidak tahu ingin bersembunyi dimana lagi. Ben
sangat panik. Jantungnya berdebar tak karuan. Ben sangat yakin dirinyalah yang akan ditemukan oleh
traitor pertamakali. Ia sangat takut.
“Ben…” tiba-tiba saja ia melihat seseorang berjalan kearahnya sambil membawa pisau lipat. Ben
berusaha untuk menenangkan dirinya. Padahal tinggal pasrah saja, keberadaannya saja sudah ketahuan
oleh si traitor. Cepat atau lambat dia akan mati.
Namun Ben merasa dirinya sudah aman, karena dia tidak melihat atau mendengar si traitor. Dia malah
berpindah tempat untuk bersembunyi. Dia merasa tidak aman bersembunyi di bawah meja, jadi ia hendak
pindah kedalam lemari.
“Kau ternyata bodoh sekali, ya.” Ucap si traitor, ia menancapkan pisau lipatnya ke tubuh Ben. Tubuhnya
ambruk ke lantai. Traitor merasa sangat puas karena sudah berhasil membunuh salah satu mangsanya.
Dan Ben, ia langsung meninggal saat itu juga.
Traitor kembali bersembunyi, mengendap-endap agar tidak ketahuan bahwa dirinyalah yang berperan
sebagai traitor. Ia ingin mencari pemain lain untuk dibunuh lagi. Ternyata benar, permainan ini sangat
seru. Traitor tampak menikmatinya.
Di tempat lain, ada seorang wanita yang katanya selingkuhan ayahnya Mia. Wanita itu bersembunyi di
dalam kamar mandi. Kamar mandi di apartemen Mia sangat kotor, wanita iitu sangat tidak suka berada
disini, namun bagaimana lagi? Menurutnya jika dia bersembunyi disini, dia tidak akan ditemukan oleh
siapapun. Dan ia terpaksa mematikan lampu agar tidak ada yang mengetahui bahwa dirinya sedang
bersembunyi disitu.
TOK TOK TOK
Wanita itu membelalakkan matanya. Pintu kamar mandi tempatnya bersembunyi diketuk oleh seseorang,
tidak lain si traitor. Ingin rasanya dia berteriak saat ini, dirinya sangat ketakukan. Bulu kuduknya
merinding.
“Aku tahu ada orang yang bersembunyi disini. Siapakah itu? Hahaha… Siapapun itu aku tidak peduli, aku
akan segera membunuhmu.” Kata traitor
“Kau mau keluar menyerahkan diri atau aku yang akan masuk kedalam kamar mandi.” Sang Ibu
menitikkan air mata, ia sangat mengenali suara itu. Ia tidak menyangka bahwa anaknya sendiri yang akan
membunuhnya.
“Eh, apa kau menangis?” “Cepat keluar, dalam hitungan kelima aku akan masuk dan langsung
membunuhmu.” Si traitor menghitung sampai 5, tidak ada jawaban. Ia membuka pintu kamar mandi dan
menusuk wanita itu dari depan. Traitor sedikit kaget, ternyata yang baru ia bunuh adalah ibunya sendiri.
Tapi bagaimana lagi? Itu adalah peraturan dari permainannya. Traitor hanya menjalankan tugasnya saja.
“Jadi tinggal satu orang yang belum ditemukan.” “Sudah kuduga permainan ini sangat menarik, kerja
bagus, traitor.” Kata Mia yang sedari tadi menonton permainan mereka.
Seorang gadis yang tampaknya sangat santai. Ia tidak begitu panik dibanding Ben dan sang Ibu tadi.
Gadis itu tahu, mau bersembunyi dimanapun, mau ditemukan selama apapun, dia pasti akan mati. Lebih
tepatnya dia hanya pasrah. Ia bersembunyi dibalik rak buku yang berdebu itu. Dirinya menahan diri ingin
bersin karena debu itu, namun tetap saja dia takut ditemukan oleh si traitor.
Gadis itu tidak bisa menahannya lagi, ia akan bersin sebentar lagi. “HATCHI!!” suara bersinnya
terdengar oleh traitor. Traitor dengan cepat menghampiri sumber suara itu.
“Ketemu.”
Ia hanya pasrah, ia tahu jaraknya dengan traitor hanya sekitar lima meter saja. Namun ia berusaha untuk
tetap santai. Jika ia panik si traitor pasti akan langsung membunuhnya.
“Aku tahu kamu dimana. Silahkan pilih antara kamu yang menyerahkan diri, atau aku yang
menghampirimu lalu membunuhmu.”
Tanpa berpikir panjang gadis itu keluar dari persembunyiannya. Ia kaget melihat sosok traitor
didepannya. Ia menatapnya tidak percaya dan menutup mulutnya, menahan tangis.
“Na-Nadya?” tubuhnya bergetar hebat, ia tak sanggup menahan ait matanya.
“Kau tega melakukan semua ini?”
“Itu sudah peraturan dari permainan ini, aku hanya harus menjalankan tugasku sebagai traitor.”
“T-Tunggu, a-aku masih t-tidak percaya, Nadya beneran tega melakukan semua ini.”
“Jangan banyak omong.” Dengan cepat, Nadya menancapkan pisau lipatnya ke perut adiknya itu,
Michelle. Ada rasa sedikit iba, Michelle adalah adik yang paling disayanginya. Tapi kali ini ia harus
egois. Ia lebih memilih untuk tetap hidup dengan membunuh keluarganya.
“Maaf.”
Mia menghampiri Nadya yang habis membunuh adiknya itu. Ia bertepuk tangan.
“Mia, mulai saat ini aku ingin bekerja sama denganmu.” Ucap Nadya. Mia terkaget, bagaimana salah satu
orang yang dia benci mengajaknya kerja sama.
“Huh, kerjasama untuk apa? Masalah ini sudah selesai bukan. Lagipula cepat atau lambat aku akan
membunuhmu juga.”
“Kau yakin? Apa polisi atau detektif tidak akan melakukan penyelidikan? Jika hal tersebut terjadi aku
bisa membantumu.”
“Aku tidak akan mempercayaimu begitu saja.” Mia meninggalkan Nadya dari tempat tersebut, ia hendak
ingin membersihkan mayat wanita itu, Michelle dan Ben.
“Tunggu, Mia. Kumohon, aku akan sungguh-sungguh membantumu.”
“Kenapa kau begitu ingin ikut campur dalam urusanku?”
“Jadi kau tidak senang jika aku membantumu? Aku bisa membantu membebaskanmu jika kau menjadi
tersangka.”
Mia menghela nafas, orang ini sangat berisik. Ia tidak peduli dengan apa yang dibicarakan oleh gadis
sebaya yang ada didepannya itu.
“Apakah aku bisa membantumu membersihkan mayat mereka? Dimana aku harus menaruhnya?” Tanya
Nadya, ia masih belum menyerah untuk membujuk Mia agar Ia bisa percaya dengannya dan bekerjasama.
Entahlah apa tujuan Nadya saat ini. Bisa saja Nadya memiliki rencana tersendiri.
“Tidak usah, aku akan menyembunyikannya sendirian. Dan kau, aku tidak akan membiarkan kau pergi
keluar. Kau tetaplah duduk diam diruangan itu. Jangan pernah keluar dari ruangan itu sebelum aku
mengizinkanmu.” Nadya hanya mengangguk pasrah, Sedangkan Mia, ia mengunci ruangan tersebut. Ia
hendak menghancurkan bagian tubuh mereka agar tidak ketahuan siapa yang telah terbunuh itu, namun
Mia tetap memastikan agar tidak meninggalkan jejak.
Beberapa hari kemudian…
Mia sedang merapihkan DVD keluaran baru ke rak yang ada di tokonya. Ya, dia sedang melakukan kerja
part timenya yaitu menjadi asisten toko DVD. Partner kerjanya, Emma menghampirinya. “Halo Mia, mau
pulang bareng gak?” tawar Emma. Mia tersenyum ke arah Emma, “Boleh aja.” Katanya.
“Aku penasaran dengan apartemenmu, bolehkah aku sekalian mengunjunginya?”
Mia teringat ada Nadya yang sedang dikunci disana. Namun Mia tetap menunjukkan wajah santainya,
“Ah, kayaknya lain kali aja, apartemenku itu sangat kotor, aku takut membuatmu tidak nyaman. Lagipula
setelah ini aku ingin mengerjakan tugas sekolahku dahulu.”
“Oh, begitu. Baiklah, setelah kau merapihkan semua ini kita jalan bersama kerumah masing-masing.
Kebetulan tempat tinggal kita searah. Aku tunggu diluar ya.”
“Ok.”
Mia merapihkan buku tersebut dengan cepat dan segera ia menyusul Emma didepan.
“Ayo kita pulang.”
Di tengah jalan, mereka melihat orang-orang berkerumunan, tampaknya sedang ada yang diinterogasi.
Karena mereka penasaran, akhirnya mereka menghampirinya. Mia kebingungan, ternyata itu adalah
rumah temannya, Ash. Kenapa tiba-tiba rumahnya dikerumuni banyak wartawan?
Mia dengan segera menghampiri Ash dan meninggalkan Emma.
“Mia? Kau ingin kemana?” Tanya Emma.
“Kau tunggulah disini sebentar.”
Ash terlihat sangat gelisah dan risih, rumahnya tiba-tiba dikerumuni banyak orang dan tiba-tiba saja dia
diinterogasi.
“Hey Ash, beritahu aku apa yang sedang terjadi disini.” ucap Mia, dirinya masih berusaha untuk
menenangkan Ash sambil mengelus-elus punggung Ash. “Kenapa ada banyak orang yang mengerumuni
rumah Ash, kalian pergilah!” tegas Mia. Akhirnya para wartawan itu pergi, mungkin mereka akan
kembali ke rumah Ash lain waktu, entahlah.
“Kau tidak apa apa?” Tanya Mia khawatir.
“Aku takut.” Kata Ash.
“Ada apa?”
“Aku menemukan 3 orang yang tubuhnya sudah hancur di hutan saat aku berjalan-jalan pagi tadi. Aku
jadi semakin takut, jangankan penculik, pembunuh saja sudah berkeliaran disekitar sini.” Jelas Ash.
Mia kaget. Bagaimana bisa? Padahal Mia sudah menyembunyikan mayat mereka. Mia terlalu ceroboh,
bisa-bisanya baru 3 hari pembunuhan itu langsung terungkap oleh temannya sendiri. Walaupun Ash
mungkin tidak tahu Mia yang melakukannya.
“Kau mau aku temani sampai besok?” tawar Mia
“Apakah itu merepotkanmu?”
“Tentu saja tidak, lagipula di apartemen aku sendiri jadi aku kesepian.”
Mia hendak keluar dari rumah Ash, ia ingin ke apartemen sebentar untuk mengambil baju dan
memastikan agar Nadya tidak kabur. “Terimakasih, Mia.” Ucap Ash.
Mia hanya tersenyum, ia kembali menghampiri Emma yang sedari tadi kebingungan menunggu di luar.
“Ada apasih?” Tanya Emma penasaran. “Ada seseorang yang menemukan mayat dihutan, namun
tubuhnya sudah hancur, mengerikan sekali ya?” ucap Mia. Emma bergidik ngeri.
“Bagaimana bisa ada pembunuh yang berkeliaran didaerah sini?”
“Entahlah, yang penting kita harus tetap berjaga-jaga.”
Karena apartemen Mia lebih dekat, jadi ia lebih dulu sampai daripada Emma. “Sampai jumpa besok,
Mia!” Emma melambaikan tangannya kearah Mia yang sudah ada di lantai 2 apartemen. “Sampai jumpa
Emma.”
Mia menutup pintu apartemennya dan kembali menguncinya. Lagi-lagi, ia mendengar suara dari ruangan
itu, tidak lain itu adalah suara Nadya. Mia membuka pintu ruangan tersebut.
“Mia.”
“Apa?”
“Sudah kubilang, kau itu sangat ceroboh, aku sudah mendengarnya kok, mayat ibuku dan adik-adikku
ditemukan oleh temanmu itu.”
“Lalu? Kau pikir aku tidak bisa menyelesaikan ini sendirian?”
“Tentu saja. Oleh karena itu, tolong izinkan aku ikut membantumu.”
“Kau meremehkanku?”
“Aku tahu kau akan bertindak sangat gegabah, apalagi temanmu yang bernama Ashley itu sudah tahu
tentang kasus ini. Ini bukan lagi kasus penculikkan, ini adalah pembunuhan.” Terjadi keheningan diantara
keduanya. Mia tidak membalas perkataan Nadya, ia sangat kesal, untuk apa Nadya harus ikut campur.
Jika Mia tertangkap juga tidak akan merugikan Nadya. Namun tetap saja, Mia tidak ingin dirinya
tertangkap, yang ia takuti saat ini adalah mendapat hukuman mati.
“Jika kau tidak mengizinkanku untuk membantuku, maka aku akan melaporkanmu.” Ancam Nadya. Mia
melotot ke arahnya, “Jadi kau mengancamku?” Mia mengambil pemukul baseball dikamarnya dan
menatap kearah Nadya, “Aku bisa saja membunuhmu sekarang juga.” Ucapnya.
“Mia, aku serius, aku benar-benar ingin membantumu. Tolong percayakan semua ini padaku.”
“Apa yang membuatku harus mempercayaimu?”
“Sudah kubilang, aku terlibat dalam kasus ini. Aku harus ikut menyelesaikan kasus ini lalu kita bisa
tenang.”
“Lalu setelah kasus ini selesai kau mau apa?! Aku tidak mungkin ingin bekerja sama dengan orang yang
aku benci. Kau itu telah merebut semuanya dariku, kau merebut ayahku, kau merebut kebahagiaanku,
sampai aku tidak punya apa-apa sekarang. Aku tahu ibumu, adik-adikmu bahkan kamu sendiri
memanfaatkan harta ayahku. Yang kalian pikirkan itu hanyalah harta. Dan aku sudah mengetahui
kalianlah yang membunuh ayahku. Kalian bilang bahwa ayah sudah hilang, enam bulan kemudian kasus
tersebut ditutup dan ayah dinyatakan hilang.” Nadya terdiam.
“Semuanya sudah terlambat, kasus pembunuhan ayah baru terungkap saat kasus telah ditutup dan ayah
dinyatakan hilang. Polisi pun tidak mau menerima informasi apa-apa lagi tentang itu. Seharusnya
kalianlah yang layak untuk mati.” Mia meluapkan semua emosinya. Nafasnya terengah-engah. Dia tidak
mau berdebat dengan Nadya lagi.
“Sudah diam saja, kau berbicara sekali lagi akan kubunuh.” Mia menutup pintu ruangan itu dan kembali
menguncinya.
Mia menyalakan TVnya. Seperti biasa, berita selalu muncul pertama dalam TVnya.
“Ditemukan mayat 1 orang dewasa dan 2 mayat remaja di sebuah hutan. Diduga kasus pembunuhan ini
memiliki sangkut paut dengan penculikan beberapa hari lalu.”
“Bagaimana mereka bisa menyimpulkan bahwa pembunuhan ini memiliki sangkut paut dengan
penculikan.”
Mia mematikan TVnya. Ia tersenyum lebar.
Di malam hari, sekitar pukul 7 malam, Mia bersiap-siap untuk kembali kerumah Ash. Ia sudah berjanji
akan menemaninya semalaman. Dirinya kembali mematikan semua lampu dan mengunci apartemennya.
Mia berjalan santai menuju kesana. Ditengah jalan, kedua netranya kembali melihat orang-orang yang
sedang berkerumun, banyak polisi yang berada disana. Lagi-lagi Mia bingung sekaligus penasaran,
sebenarnya apalagi yang terjadi? Mia sedikit takut jika itu berhubungan dengan kasus pembunuhannya
lagi, ternyata benar. Ia melihat mayat seorang perempuan yang lebih muda darinya — Michelle,
menggenggam sebuah kertas, Apakah itu sebuah petunjuk? Mia juga tidak mengetahuinya. Jantung Mia
berdegup kencang. Bisa dibilang kondisinya mulai terancam sekarang. Ternyata benar kata Nadya, ia
bertindak terlalu gegabah dan hanya memikirkan balas dendam. Mia akhirnya segera menghindar dari
kerumunan itu dan kembali ke tujuan awalnya yaitu pergi kerumah Ash.
“Apa aku harus meminta bantuan Nadya?” gumamnya.
Mia melangkahkan kakinya dengan cepat menuju ke rumah Ash. Sampai disana dia memencet bel rumah
Ash. Ash langsung membukakan pintunya. “Selamat datang kembali, Mia. Kau hanya menginap disini
semalaman kan?”
“Tentu saja.” Mia duduk di sofa menunggu Ash yang sedang melakukan sesuatu di dapur, mungkin ia
sedang menyiapkan minuman atau snack. Sembari menunggu Ash, Mia membuka ponselnya dan
memainkannya. Tak lama kemudian Ash datang sambil membawa teh dan beberapa snack. Ia
menaruhnya dimeja.
“Apakah itu ponsel barumu, Mia?” ponsel Mia menarik atensi Ash, sebelumnya ia tidak pernah melihat
Mia membawa ponsel. Mia mengangguk, “Ya, begitulah. Aku baru membelinya 3 hari yang lalu.”
“Kalau begitu, mau bertukar ID-Line tidak? Supaya aku bisa menghubungimu lebih mudah.”
“Tentu saja boleh, ini ID-Line ku.” Mia memperlihatkan ponselnya ke depan Ash, ia hendak membagikan
ID-Line nya kepada temannya itu.
“Terimakasih, Mia.” Ucap Ash, Mia hanya membalasnya dengan senyuman. “Apakah setelah ini kamu
akan segera tidur?” lanjutnya.
“Mungkin iya.”
Apakah kalian merasa aneh? padahal Mia tidak pernah dekat dengan Ash. Namun, mengapa Mia ingin
menginap kerumah Ash? Mengapa Ash mengizinkan Mia untuk menginap dirumahnya?
Sekitar pukul 3 pagi, Mia tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Sedangkan Ash, dia tidak tidur sedari tadi.
Saat terbangun, Mia melihat sebuah pelatuk yang ditodongkan kearahnya. Mia hanya tersenyum tipis.
“Aku sangat curiga, pelaku penculikan dan pembunuhan itu adalah kamu sendiri. Kau ingin menyerahkan
diri atau aku yang akan membunuhmu sekarang juga.” Ucap Gadis yang menodongkan pistol tersebut.
Siapa lagi kalau bukan Ash. Siapa sangka, ternyata Ash sendiri merupakan bagian dari tim detektif dan
ikut menangani kasus ini. Tujuan Ash memperbolehkan Mia untuk menginap yaitu untuk menetapkannya
sebagai tersangka atau malah membunuhnya sekarang juga. Ash sangat yakin Mia adalah dalang dibalik
semua ini, ia juga sudah mengumpulkan beberapa bukti.
“Yaaah… Padahal tujuanku kesini adalah untuk membunuhmu. Jadi aku sudah keduluan ya.” Mia tertawa
kecil. “Jadi kau menuduhku?” Mia melotot dan menatap Ash dengan tatapan tidak suka. Begitupun juga
Ash terhadap Mia.
DOR!! Ash menarik pelatuk yang sudah diarahkan kepada Mia tadi. Namun, Mia segera menghindarinya
dengan cepat, “Tidak kena.” Dan saat itu juga, Mia mengambil pelatuk yang ada ditangan Ash, ia
menodongkan benda tersebut tepat didepan kepala Ash.
“Kau telah menuduhku, memangnya apa buktinya jika aku pelakunya.”
“Kau sangat mencurigakan. Sejak hari pertama kau pergi kerumahmu, aku sudah mencurigaimu. Aku
tahu kau cepat-cepat pulang saat itu karena kau takut salah berbicara tentang kasus itu, kau takut kau
sendiri yang membocorkan tentang perbuatanmu itu. Padahal tugasmu belum selesai tapi kau memilih
untuk pulang. Dan saat pulang dari rumahku aku melihat dirimu sangat gelisah.”
“Hanya karena hal itu? Kau itu hanya berasumsi, jangan hanya menebak, aku perlu bukti.”
“Tidak hanya itu. Ponsel yang kau pakai, itu adalah ponsel salah satu dari korban. Aku berteman baik
dengan Michelle, itu adalah ponselnya. Michelle dan keluarganya meninggal 3 hari yang lalu, dan kau
mengatakan jika kau mendapat ponsel itu 3 hari yang lalu. Kau itu kelewat bodoh ternyata ya.”
“Memangnya hanya Michelle saja yang mempunyai ponsel itu?” Mia masih menentangnya. Sebenarnya
Ia sangat ketakutan, Ia panik sehingga tidak tahu apa yang harus ia katakan.
“Tidak mungkin, ponsel itu adalah keluaran lama sekitar 5 tahun yang lalu dan sudah tidak diperjual
belikan sejak 2 tahun yang lalu. Di toko manapun kau mencarinya, kau tidak akan pernah menemukannya
lagi. Sedangkan kau bilang, kau mendapatkan ponsel itu 3 hari yang lalu, sungguh tidak masuk akal.” Ash
memperjelas kata-katanya.
Mia mendecak sebal, “Tapi korban penculikan itu ada empat orang, sedangkan korban pembunuhan itu
ada tiga orang. Bagaimana kau bisa yakin jika kasus penculikkan itu memiliki sangkut paut dengan
pembunuhan tiga hari yang lalu?”
“Aku sempat menanyakan kepada Michelle 5 hari yang lalu, ia bilang ia masih hidup dan berada di
tempat yang tidak dikenalnya, saat aku hendak menanyakan ciri-ciri tempat tersebut, ponselnya mati
begitu saja. Dan sekarang, Michelle sudah mati dengan keadaan tubuh yang hancur, dapat disimpulkan
bahwa awal dari pembunuhan itu adalah penculikkan yang diberitakan 3 hari yang lalu. Namun kau tidak
membunuh salah satu dari mereka, aku curiga kau ingin bersekongkol dengannya.” Ash sangat yakin
dengan pernyataannya. Dia memiliki banyak bukti, sedangkan Mia, ia tidak tahu bagaimana cara
menentang Ash lagi. Mia memang kepikiran untuk bersekongkol dengan Nadya. Mia tidak membunuh
Nadya untuk berjaga-jaga jika dia membutuhkan bantuan Nadya suatu saat. Lagipula, Mia hanya ingin
memanfaatkan Nadya.
Ash menunjukkan sebuah benda yang ada dikantungnya. Foto sidik jari yang terdapat dileher korban.
“Aku baru saja menyelidiki hal ini 3 jam yang lalu. Sama persis seperti sidik jari milikmu. Sayang sekali,
rekan-rekanku belum kuberitahu tentang hal ini. Jadi jika aku yang mati sekarang, kau akan selamat.
Beruntung sekali, ya.” Mia
“Aku tidak menuduhmu sebagai pelaku, tapi mulai saat ini kau ditetapkan sebagai tersangka.”
“Jika memang aku pelakunya, memang kenapa?” balas Mia.
Mia aslinya tidak pintar untuk menyembunyikan perbuataannya, ia hanya terlalu naif. Yang dia pikirkan
hanyalah balas dendam kepada selingkuhan ayahnya dan anak-anaknya.
“Kau sangat mudah ditebak, Mia.” Ucap Ash. Mia segera menarik pelatuknya dan menembak Ash
sebanyak tiga kali. “Padahal hanya tinggal selangkah lagi aku bisa menangkapmu.” Itulah kata-kata
terakhir Ash. Darah segar bercucuran dari kepala Ash. Nafas Mia terengah-engah. Dia benar-benar
membutuhkan bantuan Nadya saat ini. Ia tidak bisa menyelesaikan ini sendirian.
“Selamat Tinggal, Ash.”
Ia mengubur mayat Ash dan menutup kuburannya dengan sempurna agar tidak ditemui oleh siapapun.
Sedari awal Mia melihat rumah Ash yang dikerumuni wartawan, kedua netranya tertuju kepada tim
detektif yang pernah ia lihat di TV. Dan awalnya, Ash menjawab pertanyaan-pertanyaan para wartawan
itu. Mia sangat yakin Ash adalah anggota dari tim detektif. Mia merasa Ash hanya akan menghalanginya
nanti, jadi langkah pertama yang Mia lakukan adalah membunuh Ash terlebih dahulu.
Setelah selesai membersihkan mayat Ash, Mia ingin kembali ke apartemennya dan memberitahu Nadya
akan rencana selanjutnya. Kali ini, ia sangat membutuhkan Nadya. Ia hendak bersekongkol dengan
Nadya.

Anda mungkin juga menyukai