Anda di halaman 1dari 17

PAHLAWAN

Karya: NN

Di tengah jeritan dan siksaan

Hidup dalam kukungan dan ketakutan

Di bawah telunjuk-telunjuk pemaksaan

Kau Hadir…

Dengan jiwa membawa tuk merebut bangsa

Teriknya matahari, tak mampu membakar semangatmu

Dinginnya malam, tak mampu bekukan tekadmu

Meski musuh layangkan pedang

Dalam serbuan berjuta orang

Kau terus berjuang dalam medan pertempuran

Berlari merebut pertiwi, meraih mimpi untuk merdeka

Kau tak pernah merintih

Menahan perih dan letih

Bermandikan keringat, teteskan darah

Hingga ajal menjemput raga

Kini…

Kau telah pergi, jaman pun silih berganti

Namun.. namau akan selalu mewangi

Mengisi lemba-lembar sejarah


BAMBU RUNCING

Karya: NN

Mengapa engkau bawa padaku

Moncong bayonet dan sangkur terhunus

Padahal aku hanya ingin merdeka

Dan membiarkan Nyiur-nyiur derita

Musnah di tepian langit

Karena kau memaksaku

Bertahan atau mati

Dengan mengirim ratusan Bom

Yang engkau ledakkan di kepalaku

Aku terpaksa membela diri

Pesawat militermu jatuh

Di tusuk bambu runcingku

Semangat perdukaanmu runtuh

Kandas di Batu-batu cadas

Kota Surabaya yang panas


“Bung Tomo”

(Karya: Asty Kusumadewi)

Sutomo adalah nama aslimu

Bung Tomo adalah nama panggungmu

Kedua nama itu pahlawan negeriku

Semangat membara pejuang Indonesia merdeka

10 November pertempuran digencarkan

Kau adalah pembangkit semangat rakyat

Dengan pidatomu yang membara

Kau kobarkan semangatmu lewat kata kata

Terimakasih Bung Tomoku

Kau pahlawan pejuang kemerdekaan

Pahlawan nasional

Harum namamu di seluruh kalangan


“Jendral Soedirman”

(Karya: Asty Kusumadewi)

Engkau panglima besarku

Panglima TNI pertama negeriku

Berjiwa besar, tak pernah gentar

Melawan Belanda dengan penuh rasa juang

Purbalingga adalah tempat lahirmu

Yogyakarta menjadi istirahat terakhirmu

Baktimu untuk negeri luarbiasa

Jasamu untuk Indonesia sungguh jawara

Jenderalku..

Meninggal di usia muda sudahlah takdirmu

Gerilya adalah bentuk pengorbananmu

Sakit, perih, nyawa hilang adalah taruhanmu

Terimakasih Soedirman..

Pahlawan negeriku
Pahlawan bangsaku

Pahlawan tanah airku.


DIPONEGORO

Oleh : Chairil Anwar

Di masa pembangunan ini

tuan hidup kembali

Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti

Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.

Pedang di kanan, keris di kiri

Berselempang semangat yang tak bisa mati.

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu

Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti

Sudah itu mati.

MAJU
Bagimu Negeri

Menyediakan api.

Punah di atas menghamba

Binasa di atas ditindas

Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai

Jika hidup harus merasai

Maju

Serbu

Serang

Terjang
KRAWANG-BEKASI

Oleh : Chairil Anwar

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi

tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.

Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,

terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.

Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa

Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan

Tapi adalah kepunyaanmu

Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan

atau tidak untuk apa-apa,

Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata


Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami

Teruskan, teruskan jiwa kami

Menjaga Bung Karno

menjaga Bung Hatta

menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat

Berikan kami arti

Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami

yang tinggal tulang-tulang diliputi debu

Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi


DOA SEORANG SERDADU SEBELUM BERPERANG

Oleh : W.S. Rendra

Tuhanku,

WajahMu membayang di kota terbakar

dan firmanMu terguris di atas ribuan

kuburan yang dangkal

Anak menangis kehilangan bapa

Tanah sepi kehilangan lelakinya

Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini

tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia

Apabila malam turun nanti

sempurnalah sudah warna dosa

dan mesiu kembali lagi bicara

Waktu itu, Tuhanku,

perkenankan aku membunuh

perkenankan aku menusukkan sangkurku

Malam dan wajahku

adalah satu warna


Dosa dan nafasku

adalah satu udara.

Tak ada lagi pilihan

kecuali menyadari

-biarpun bersama penyesalan-

Apa yang bisa diucapkan

oleh bibirku yang terjajah ?

Sementara kulihat kedua lengaMu yang capai

mendekap bumi yang mengkhianatiMu

Tuhanku

Erat-erat kugenggam senapanku

Perkenankan aku membunuh

Perkenankan aku menusukkan sangkurku


GUGUR

Oleh : W.S. Rendra

Ia merangkak

di atas bumi yang dicintainya

Tiada kuasa lagi menegak

Telah ia lepaskan dengan gemilang

pelor terakhir dari bedilnya

Ke dada musuh yang merebut kotanya

Ia merangkak

di atas bumi yang dicintainya

Ia sudah tua

luka-luka di badannya

Bagai harimau tua

susah payah maut menjeratnya

Matanya bagai saga

menatap musuh pergi dari kotanya

Sesudah pertempuran yang gemilang itu

lima pemuda mengangkatnya


di antaranya anaknya

Ia menolak

dan tetap merangkak

menuju kota kesayangannya

Ia merangkak

di atas bumi yang dicintainya

Belumlagi selusin tindak

mautpun menghadangnya.

Ketika anaknya memegang tangannya

ia berkata :

” Yang berasal dari tanah

kembali rebah pada tanah.

Dan aku pun berasal dari tanah

tanah Ambarawa yang kucinta

Kita bukanlah anak jadah

Kerna kita punya bumi kecintaan.

Bumi yang menyusui kita

dengan mata airnya.

Bumi kita adalah tempat pautan yang sah.

Bumi kita adalah kehormatan.

Bumi kita adalah juwa dari jiwa.

Ia adalah bumi nenek moyang.

Ia adalah bumi waris yang sekarang.

Ia adalah bumi waris yang akan datang.”


Hari pun berangkat malam

Bumi berpeluh dan terbakar

Kerna api menyala di kota Ambarawa

Orang tua itu kembali berkata :

“Lihatlah, hari telah fajar !

Wahai bumi yang indah,

kita akan berpelukan buat selama-lamanya !

Nanti sekali waktu

seorang cucuku

akan menacapkan bajak

di bumi tempatku berkubur

kemudian akan ditanamnya benih

dan tumbuh dengan subur

Maka ia pun berkata :

-Alangkah gemburnya tanah di sini!”

Hari pun lengkap malam

ketika menutup matanya


Kita Adalah Pemilik Sah Republik Ini

Karya:Taufik ismail

Tidak ada pilihan lain,

Kita harus,

Berjalan terus,

Karena berhenti atau mundur,

Berarti hancur…

Apakah akan kita jual keyakinan kita,

Dalam pengabdian tanpa harga,

Akan maukah kita duduk satu meja,

Dengan para pembunuh tahun yang lalu,

Dalam setiap kalimat yang berakhiran,

Duli Tuanku ?…

Tidak ada lagi pilihan lain,

Kita harus,

Berjalan terus,

Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan,

Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh…

Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara,


Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama,

Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka,

Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan,

Dan seribu pengeras suara yang hampa suara…

Tidak ada lagi pilihan lain,

Kita harus,

Berjalan terus…
Benteng

Karya: Taufik ismail

Sesudah siang panas yang meletihkan,

Sehabis tembakan-tembakan yang tak bisa kita balas,

Dan kita kembali ke karnpus ini berlindung,

Bersandar dan berbaring, ada yang merenung…

Di lantai bungkus nasi bertebaran,

Dari para dermawan tidak dikenal,

Kulit duku dan pecahan kulit rambutan,

Lewatlah di samping Kontingen Bandung…

Ada yang berjaket Bogor. Mereka dari mana-mana,

Semuanya kumal, semuanya tak bicara,

Tapi kita tldak akan terpatahkan,

Oleh seribu senjata dari seribu tiran,

Tak sempat lagi kita pikirkan…

Keperluan-keperluan kecil seharian,

Studi, kamar-tumpangan dan percintaan,

Kita tak tahu apa yang akan terjadi sebentar malam,

Kita mesti siap saban waktu, siap saban jam…

Anda mungkin juga menyukai