Anda di halaman 1dari 8

PRAJURIT JAGA MALAM

Karya Chairil Anwar

Waktu Jalan…

Aku tidak tahu apa nasib waktu

Pemuda-pemuda yang lincah, yang tua tua

Keras, bermata tajam

Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya kepastian

Ada disisiku selama menjaga daerah mati ini

Aku suka pada mereka yang berani hidup

Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam

Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu

Waktu jalan…

Aku tidak tahu apa apa nasib waktu!


KARAWANG-BEKASI

Karya Chairil Anwar

Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi

Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi

Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami ?

Terbayang kami maju dan berdegap hati

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kami mati muda. Yang tingga tulang diliputi debu

Kenang, kenanglah kami

Kami sudah coba apa yang kami bisa

Tapi kerja belum selesai

Belum bisa memperhitungkan arti empat sampai lima ribu nyawa

Kami Cuma tulang-tulang berserakan

Tapi adalah kepunyaanmu

Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan

Atau tidak untuk apa-apa

Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata

Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami


Menjaga Bung Karno

Menjaga Bung Hatta

Menjaga Bung Syahrir

Kami sekarang mayat

Berilah kami arti

Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami

Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu

Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi


Taufiq Ismail Dalam Karyanya
KITA ADALAH PEMILIK SAH REPUBLIK INI

Tidak ada pilihan lain


Kita harus berjalan terus
Karena berhenti atau mundur
Berarti hancur

Apakah akan kita jual keyakinan kita


Dalam pengabdian tanpa harga
Akan maukah kita duduk satu meja
Dengan para pembunuh tahun yang lalu

Dalam setiap kalimat yang berakhiran “Duli Tuanku?”


Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus berjalan terus

Kita adalah manusia bermata sayu yang di tepi jalan


Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara
Di pukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya –tanya inikah yang namanya merdeka?

Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan


Dan seribu pengeras suara yang hampa suara

Tidak ada lagi pilihan lain


Kita harus berjalan terus
GUGUR

Karya W.S. Rendra

Ia merangkak

Di atas bumi yang dicintainya

Tiada kuasa lagi menegak

Telah ia lepaskan dengan gemilang

Pelor terakhir dari bedilnya

Ke dada musuh yang merebut kotanya

Ia merangkak

Di atas bumi yang dicintainya

Ia sudah tua

Luka-luka dibadannya

Bagai harimau tua

Susah payah maut menjeratnya

Matanya bagai saga

Menatap musuh pergi dari kotanya

Sesudah pertempuran yang gemilang itu

Lima pemuda mengangkatnya

Diantaranya anaknya

Ia menolak

Dan tetap merangkak

Menuju kota kesayangannya

Ia merangkak

Di atas bumi yang dicintainya

Belum lagi selusin tindak

Maut pun menghadangnya


Ketika anaknya memegang tangannya

Ia berkata :

“Yang berasal dari tanah

Kembali rebah pada tanah,

Dan aku pun berasal dari tanah

Tanah ambarawa yang kucinta

Kita bukanlah anak jadah

Karna kita punya bumi kecintaan

Bumi yang menyusui kita

Dengan mata airnya.

Bumi kita adalah tempat pautan yang sah

Bumi kita adalah kehormatan

Bumi kita adalah jua dari jiwa

Ia adalah bumi nenek moyang

Ia adalah bumi waris yang sekarang

Ia adalah bumi waris yang akan dating.”

Hari pun berangkat malam

Bumi berpeluh dan terbakar

Kerna api menyala di kota Ambarawa

Orang tua itu kembali berkata:

“lihatlah, hari telah fajar!

Wahai bumi yang indah

Kita akan berpelukan buat selama-lamanya!

Nanti sekali waktu

Seorang cucuku

Akan menancapkan bajak

Di bumi tempatku berkubur

Kemudian akan ditanamnya benih

Dan tumbuh dengan subur


Maka ia pun berkata:

“Alangkah gemburnya tanah disini!”

Hari pun lengkap malam

Ketika munutup matanya


MENATAP MERAH PUTIH
Karya Sapardi Djoko Damono

Menatap merah putih melambai dan menari-nari di angkasa


Kibarannya telah banyak menelan korban
Nyawa dan harta benda

Berkibarnya merah putih yang menjulang tinggi di angkasa


Selalu teriring senandung lagu Indonesia Raya

Dan tetesan air mata


Dulu, ketika masa perjuangan pergerakan kemerdekaan
Untuk mengibarkan merah putih
Harus di awali dengan pertumpahan darah

Pejuang yang tak pernah merasa lelah


Untuk berteriak : Merdeka!

Menatap merah putih adalah perlawanan


Melawan angkara murka
Membinasakan penindas dari negeri tercinta Indonesia

Menatap merah putih adalah bergolaknya darah


Demi membela kebenaran dan azazi manusia
Menumpas segala penjajahan
Di atas bumi pertiwi

Menatap merah putih adalah kebebasan


Yang musti dijaga dan dibela
Kibarannya di angkasa raya
Berkibarlah terus merah putihku
Dalam kemenangan dan kedamaian

Anda mungkin juga menyukai