Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami ?
Terbayang kami maju dan berdegap hati
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tingga tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai
Belum bisa memperhitungkan arti empat sampai lima ribu nyawa
Kami Cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi
Taufiq Ismail Dalam Karyanya KITA ADALAH PEMILIK SAH REPUBLIK INI
Tidak ada pilihan lain
Kita harus berjalan terus Karena berhenti atau mundur Berarti hancur
Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian tanpa harga Akan maukah kita duduk satu meja Dengan para pembunuh tahun yang lalu
Dalam setiap kalimat yang berakhiran “Duli Tuanku?”
Tidak ada lagi pilihan lain Kita harus berjalan terus
Kita adalah manusia bermata sayu yang di tepi jalan
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara Di pukul banjir, gunung api, kutuk dan hama Dan bertanya –tanya inikah yang namanya merdeka?
Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus berjalan terus GUGUR
Karya W.S. Rendra
Ia merangkak
Di atas bumi yang dicintainya
Tiada kuasa lagi menegak
Telah ia lepaskan dengan gemilang
Pelor terakhir dari bedilnya
Ke dada musuh yang merebut kotanya
Ia merangkak
Di atas bumi yang dicintainya
Ia sudah tua
Luka-luka dibadannya
Bagai harimau tua
Susah payah maut menjeratnya
Matanya bagai saga
Menatap musuh pergi dari kotanya
Sesudah pertempuran yang gemilang itu
Lima pemuda mengangkatnya
Diantaranya anaknya
Ia menolak
Dan tetap merangkak
Menuju kota kesayangannya
Ia merangkak
Di atas bumi yang dicintainya
Belum lagi selusin tindak
Maut pun menghadangnya
Ketika anaknya memegang tangannya
Ia berkata :
“Yang berasal dari tanah
Kembali rebah pada tanah,
Dan aku pun berasal dari tanah
Tanah ambarawa yang kucinta
Kita bukanlah anak jadah
Karna kita punya bumi kecintaan
Bumi yang menyusui kita
Dengan mata airnya.
Bumi kita adalah tempat pautan yang sah
Bumi kita adalah kehormatan
Bumi kita adalah jua dari jiwa
Ia adalah bumi nenek moyang
Ia adalah bumi waris yang sekarang
Ia adalah bumi waris yang akan dating.”
Hari pun berangkat malam
Bumi berpeluh dan terbakar
Kerna api menyala di kota Ambarawa
Orang tua itu kembali berkata:
“lihatlah, hari telah fajar!
Wahai bumi yang indah
Kita akan berpelukan buat selama-lamanya!
Nanti sekali waktu
Seorang cucuku
Akan menancapkan bajak
Di bumi tempatku berkubur
Kemudian akan ditanamnya benih
Dan tumbuh dengan subur
Maka ia pun berkata:
“Alangkah gemburnya tanah disini!”
Hari pun lengkap malam
Ketika munutup matanya
MENATAP MERAH PUTIH Karya Sapardi Djoko Damono
Menatap merah putih melambai dan menari-nari di angkasa
Kibarannya telah banyak menelan korban Nyawa dan harta benda
Berkibarnya merah putih yang menjulang tinggi di angkasa
Selalu teriring senandung lagu Indonesia Raya
Dan tetesan air mata
Dulu, ketika masa perjuangan pergerakan kemerdekaan Untuk mengibarkan merah putih Harus di awali dengan pertumpahan darah
Pejuang yang tak pernah merasa lelah
Untuk berteriak : Merdeka!
Menatap merah putih adalah perlawanan
Melawan angkara murka Membinasakan penindas dari negeri tercinta Indonesia
Menatap merah putih adalah bergolaknya darah
Demi membela kebenaran dan azazi manusia Menumpas segala penjajahan Di atas bumi pertiwi
Menatap merah putih adalah kebebasan
Yang musti dijaga dan dibela Kibarannya di angkasa raya Berkibarlah terus merah putihku Dalam kemenangan dan kedamaian