Anda di halaman 1dari 6

Puisi Wajib

"Pahlawan Tak Dikenal" 


karya Toto Sudarto Bachtiar

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring


Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang

Dia tidak ingat bilamana dia datang


Kedua lengannya memeluk senapang
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur sayang

wajah sunyi setengah tengadah


Menangkap sepi padang senja
Dunia tambah beku di tengah derap dan suara merdu
Dia masih sangat muda

Hari itu 10 November, hujan pun mulai turun


Orang-orang ingin kembali memandangnya
Sambil merangkai karangan bunga
Tapi yang nampak, wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnya

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring


Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata : aku sangat muda
PUISI PUISI PILIHAN

1946 : LARUT MALAM SUARA SEBUAH TRUK


Karya : Taufik Ismail

Sebuah Lasykar truk


Masuk kota Salatiga
Mereka menyanyikan lagu
'Sudah Bebas Negeri Kita'

Di jalan Tuntang seorang anak kecil


Empat tahun terjaga :
'Ibu, akan pulangkah Bapa,
dan membawakan pestol buat saya ?'

2
"Gugur" 
karya W.S Rendra

Ia merangkak Hari pun berangkat malam


di atas bumi yang dicintainya Bumi berpeluh dan terbakar
Tiada kuasa lagi menegak Kerna api menyala di kota Ambarawa
Telah ia lepaskan dengan gemilang
pelor terakhir dari bedilnya Orang tua itu kembali berkata :
Ke dada musuh yang merebut kotanya “Lihatlah, hari telah fajar !
Wahai bumi yang indah,
Ia merangkak kita akan berpelukan buat selama-lamanya !
di atas bumi yang dicintainya Nanti sekali waktu
Ia sudah tua seorang cucuku
luka-luka di badannya akan menacapkan bajak
di bumi tempatku berkubur
Bagai harimau tua kemudian akan ditanamnya benih
susah payah maut menjeratnya dan tumbuh dengan subur
Matanya bagai saga Maka ia pun berkata :
menatap musuh pergi dari kotanya -Alangkah gemburnya tanah di sini!”

Sesudah pertempuran yang gemilang itu Hari pun lengkap malam


lima pemuda mengangkatnya ketika menutup matanya.
di antaranya anaknya
Ia menolak
dan tetap merangkak
menuju kota kesayangannya

Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Belumlagi selusin tindak
mautpun menghadangnya.
Ketika anaknya memegang tangannya
ia berkata :
” Yang berasal dari tanah
kembali rebah pada tanah.
Dan aku pun berasal dari tanah
tanah Ambarawa yang kucinta
Kita bukanlah anak jadah
Kerna kita punya bumi kecintaan.
Bumi yang menyusui kita
dengan mata airnya.
Bumi kita adalah tempat pautan yang sah.
Bumi kita adalah kehormatan.
Bumi kita adalah juwa dari jiwa.
Ia adalah bumi nenek moyang.
Ia adalah bumi waris yang sekarang.
Ia adalah bumi waris yang akan datang.”
Karawang - Bekasi

Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi


tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi


Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami 

Kami sudah coba apa yang kami bisa


Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan


Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan


atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi


Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami


Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat


Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami


yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi 
W.S. Rendra: Doa Seorang Serdadu Sebelum Perang
Tuhanku,
Wajah-Mu membayang di kota terbakar
dan firman-Mu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal
Anak menangis kehilangan bapa
Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia
Apabila malam turun nanti
sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara
Waktu itu, Tuhanku,
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku menusukkan sangkurku
Catetan TH. 1946
Karya: Chairil Anwar

Ada tanganku, sekali akan jemu terkulai,


Mainan cahaya di air hilang bentuk dalam kabut,
Dan suara yang  kucintai ‘kan berhenti membelai.
Kupahat batu nisan sendiri dan kupagut.

Kita -anjing diburu- hanya melihat sebagian dari sandiwara sekarang


Tidak tahu romeo & Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang
Lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu
Keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat .

Dan kita nanti tiada sawan lagi diburu


Jika bedil sudah disimpan , Cuma kenangan berdebu.
Kita memburu arti atau disertakan kepada anak
Lahir sempat.karena itu jangan mengerdip, tatap dan penamu asah,
tulis karena kertas gersang,
tenggorokan kering
sedikit mau basah !

1946

Anda mungkin juga menyukai