Waktu terus berlalu mengantarku kepada hari-hari yang penuh duri dan luka
Doa-doamu selalu ku rasa dalam setiap lorong-lorong jalan hidupku
Nasihatmu juga tak pernah tanggal menuntunku disetiap gulita langkahku
Ongkos transfermu juga selalu menjadi penyelamat kala perutku mulai kering
Namun jika uangmu bisa membeli waktumu
Aku rela tidak jajan satu hari atau lama-lamanya satu minggu
Agar aku bisa berjumpa denganmu dan tak bersusah payah menghindari rasa linu di dada
Agar aku merasakan lagi betapa hangatnya senja yang bersinar dari pelukmu
Haruskah aku membeli waktumu, Ayah
Aku juga tak mampu melihat betapa lusuhnya wajah Ibu
Kala dia duduk di tepian teras dengan membawa sapu ijuk bekas debu-debu
Dari sinar matanya terlihat jelas wajah kekasihnya yang juga ia rindukan
Lebar senyumnya yang tak selebar cakrawala semestinya
Layaknya siang yang ditinggal matahari dicumbu sepi
Aku kira ibu lebih paham dari apa yang dirasa anak-anaknya
Jika benar apakah hati seorang Ayah lebih luas dan tabah
Jika kami yang di rumah hanya rindu seorang Ayah
Jika seorang Ayah di perantauan lebih terpukul merindukan anak, istri, dan keluarga besar
Keluarga adalah pohon rindang paling komplit lengkap dengan akar yang kokoh
Daun yang tak pernah kering dihujam matahari
Bunga yang terus bermekaran dikala semua layu dan tandus
Ranting-ranting yang tak pernah patah diterpa burung dan tupai
Buah yang tak akan busuk digerumuti ulat dan larva
Pohon yang mengindahkan seluruh tubuh terlebih bagian hati
Pohon pemberi kehidupan bagi setiap penghuni
Barang siapa yang kehilangan keluarga maka ia akan pincang dan terseok-seok
Maka jagalah selalu keluarga dengan penuh cinta dan tata krama
Penuh syukur ku sambut saudaraku lahir bersama ribuan puisi yang datang dari tangisnya
Di pangkuanku ku catat seluruh gerak-gerik jari lentiknya yang berdansa lucu
Lalu ku kecup keningnya yang diiringi tawa dari Ibu dan Nenek
Suara keras tangismu yang menggema dari mulutmu membuat Ibu menjadi iba
Tak perlu kau jelaskan bahwa aku seharusnya menjadi laki-laki dewasa
Lalu pada akhirnya ku beranjak dewasa yang ku buat dari perasaanku sendiri
Oh sekarang kau wahai Adikku adalah juga milik ibuku
Buah hati yang juga tumbuh di selaksar pohon satu ranting bersamaku
Adikku sayang, bagaimana rasanya dikecup dan disayang oleh sedulur sendiri
Malam semakin larut malam semakin dingin rasakanlah pelukan hangat dari ibu wahai
Adikku
Rasakanlah sebelum kau kehilangan sebelum kau beranjak menjadi dewasa
Ku tuliskan sajak sejak kecil dari arah matahari terbit setiap pagi
Ku temukan anugerah paling puitis yang diberikan Tuhan dalam balutan doa dan harapan
Kala kita berbicara dengan bahasa kalbu berlimpah cahaya antara aku dengan kau adikku
Seterang senyummu yang menyala di ufuk kalbu lalu kau beranjak berjalan dan mulai
berbicara
Ketika malam menyentuh tubuhku aku begadang sedang kau asik dalam pelukan hangat
Cepatlah tumbuh menjadi buah yang indah dan murni yang dapat hidup tanpa membusuk
Apalagi yang harus ku katakan ketika nanti kau juga menjadi laki-laki dewasa seperti ku
Ada orang yang menghabiskan waktunya untuk memeluk dan menyusuimu
Ada juga orang yang tak pernah kering keringatnya untuk menghidupi keluarga tercinta
Ada juga yang selalu jadi arang yang terbakar kala api berkobar di sudut matamu
Lalu kau mulai merangkak di atas bumi yang dihuninya di bawah cakrawala sejati
Penuh syukur ku sambut engkau yang mulai bisa mandi sendiri
Saya senang melihatnya ketika bersikap lucu menjadi anak kecil yang polos
Tak jarang juga tingkahnya sangat menjengkelkan ketika ia mengadu kepada Ibu
Ketika itu aku berusaha menjadi seekor kucing yang sekarat di dalam rumah
Pasrah dan siap mengalah untuk kalah di hadapan derasnya omelan ibu
Tugas pertama seorang kakak adalah menjadi kucing sekarat yang siap kalah
Adikku ini adalah seorang anak kecil yang baik hatinya dan murni prasangka
Semakin hari aku semakin yakin kalau nasib Adikku akan lebih baik dari nasibku
Mungkin takdirmu juga yang melahirkanmu sebagai mutiara dari laut
Lalu sekarang ini aku sudah mempunyai semua mimpi seorang Adik semata wayang
Seorang kakak dituntut untuk menjadi arang yang selalu menyala dalam kobaran api
Sedang seorang adik bebas memilih mau jadi arang atau abu
Jika saya berkata sekarang, maaf jika masih terseok-seok dalam kobaran mimpimu
Siap berkorban dan hangus menjadi seorang kakak sejati di atas samudera kehidupan
mimpimu
Jadi adik jika capek tinggal bilang capek, ibarat kayu yang terbakar bebas memilih jadi
arang atau abu
Jadi kakak jika capek harus kuat, ibarat kayu yang terbakar harus tetap menyala dan hidup
Di balik jendela aku melihat mata seorang adik yang penuh dengan sarang dan diriku
Namun kesunyian mengaburkan ku dan pintu hati mula terbuka menujumu
Dalam perjalanannya, seorang adik jika ngantuk tinggal bilang ngantuk
Ibarat mata hari yang sudah mulai senja maka memilih tenggelam dan jadi malam yang
tenang
Sedang tugas seorang kakak jika ngantuk maka jangan sampai ngantuk
Ibarat matahari yang mulai senja dan mulai tenggelam harus berganti jadi bulan yang
menerangi malam
Tugas seorang kakak selanjutnya adalah menjadi tulang punggung penyambung nafkah
seorang ayah
Seperti ranting kayu yang mulai membesar dan siap menopang daun dan burung-burung
Tugas seorang kakak selanjutnya adalah menjadi imam kala Ayah jauh di rantau sana
Meredamkan kerinduan yang sunyi dalam rumah tanpa wajah
Rumah singgah dari segala hati yang patah
Kucing sekarat bagi adiknya yang menjemput kekalahan
Karang yang terus sabar digempur amarah ombak seorang Ayah dan Ibu
Menjadi mata uang perjudian bagi mimpi besar keluarga
Menjadi belati nyala api menghancurkan anjing liar yang merobek nama baik
Jangan sampai redup dan mati