Anda di halaman 1dari 7

Sajak Subagio Sastrowardoyo

Sajak Subagio Sastrowardoyo

Kampung
Kalau aku pergi ke luar negeri, dik
karena hawa di sini sudah pengap oleh
pikiran-pikiran beku.
Hidup di negeri ini seperti di dalam kampung
di mana setiap orang ingin bikin peraturan
mengenai lalu lintas di gang, jaga malam dan
daftar diri di kemantren.
Di mana setiap orang ingin jadi hakim
dan berbincang tentang susila, politik dan agama
seperti soal-soal yang dikuasai.
Di mana setiap tukang jamu disambut dengan hangat
dengan perhatian dan tawanya.
Di mana ocehan di jalan lebih berharga
dari renungan tenang di kamar.
Di mana curiga lebih mendalam dari cinta dan percaya.

Kalau aku pergi ke luar negeri, dik


karena aku ingin merdeka dan menemukan diri.

Sajak Yang Dewasa


sajak yang dewasa
sudah tak peduli
apakah aku menangis atau ketawa
di muka cermin
aku tak mengenal lagi
ia bayangan siapa
setiap hendak kutangkap
ia lolos dari dekap
tak mau menampung rasa
di luar jamah
ia sebagian dari semesta
satu dengan suara manusia
setelah ia dewasa
aku tak punya kuasa
maka kubiarkan dia berjalan merdeka

Salam Kepada Heidegger


Sajak tetap rahasia
bagi dia yang tak pernah
mendengar suara nyawa.
Kata-kata tersembul dari alam lain
di mana berkuasa sakit, mati
dan cinta. Kekosongan harap
justru melahirkan ilham
yang timbul-tenggelam dalam arus
mimpi. Biarlah terungkap sendiri
makna dari ketelanjangan bumi.
Masih adakah tersisa pengalaman
yang harus terdengar dalam bunyi?
Sajak sempurna sebaiknya bisu
seperti pohon, mega dan gunung
yang hadir utuh tanpa bicara

Ambarawa 1989
Sebelum tidur istriku menyulam
di bawah lampu temaram. Sebuah bunga
biru dengan latar kelabu yang akan diberi
pigura dan digantungkan di dinding.
Aku menyempatkan diri mengikuti
berita terakhir di koran yang belum
dapat kubaca pagi hari.
Kami sudah lupa bahwa di kota ini
pernah terjadi revolusi dengan kekejaman
dan kematian. Keluarga lari mengungsi
ke gunung dan aku turut bergerilya
mengejar Belanda. Berapa peluru sudah
kutembakkan di malam buta menyerang
musuh yang menghadang dengan senjata.
Pikiran tegang selalu oleh cemas
dan curiga.
Kini peperangan hanya terjadi di roman
petualangan yang kubaca dan yang kulihat
di layar TV, jauh entah di negeri mana.
Nampak tak nyata dan hampir tak bisa
dipercaya.
Ah, biarlah kedamaian berlanjut
begini. Semua — bunga, dinding, lampu,
kuri, istri — terliput dalam kabut
puisi. Suling mengalun menembus
malam. Aku tak tahan lagi melihat darah.
GENESIS

Oleh :
Subagyo Sastrowardoyo
pembuat boneka
yang jarang bicara
dan yang tinggal agak jauh dari kampung
telah membuat patung
dari lilin
serupa dia sendiri
dengan tubuh, tangan dan kaki dua
ketika dihembusnya napas di ubun
telah menyala api
tidak di kepala
tapi di dada
–aku cinta–kata pembuat boneka
baru itu ia mengeluarkan kata
dan api itu
telah membikin ciptaan itu abadi
ketika habis terbakar lilin,
lihat, api itu terus menyala
HAIKU

Oleh :
Subagyo Sastrowardoyo
malam rebah
di punggung
sepiku
gigir gunung
susut di kaca
hari makin surut
dan bibir habis kata:
dinda, di mana, siapa
tangan terkepal
terhenyak di meja
JENDERAL LU SHUN

Oleh :
Subagyo Sastrowardoyo
Jenderal Lu Shun kewalahan. Ia tidak dapat menyelesaikan puisinya. Ia baru menulis dua dari
empat baris pantun Cina, tetapi fantasinya seperti tersekat dalam kata-kata kosong tak berarti.
Maka ia keluar dari tendanya dan memerintahkan perwiranya mengumpulkan bala tentaranya.”Kita
serang dusun itu di lembah dan bunuh penduduknya.”
Perwira itu masih mencoba mengingatkannya:”Tetapi Jenderal, ini malam hari dan orang tak boleh
berperang waktu musuh sedang tidur. Hanya perampok dan pengecut yang menyerang musuh di
malam hari.”
“Aku butuhkan ilham,” seru Jenderal Lu Shun, “dan aku tak peduli apa siang atau malam. Aku
butuhkan kebengisan untuk menulis puisi.”
Kemudian ia naik kudanya yang beringas dan mendahului pasukan-pasukannya menyerbu ke
lembah. Diayunkan pedang dan dicincang penduduk dusun yang tidak berjaga, sehingga puluhan
laki-laki, perempuan dan anak-anak terbunuh oleh tangannya. Ia sungguh menikmati perbuatan itu,
dan sehabis melihat dengan gairah darah mengalir dan tubuh bergelimpangan di sekelilingnya, ia
kembali ke tendanya. “Jangan aku diusik sementara ini,” pesannya kepada seluruh bala tentaranya.
Di
dalam keheningan malam ia kemudian menulis puisinya.
Ia menulis tentang langit dan mega, tentang pohon bambu yang merenung di pinggir telaga. Burung
bangau putih mengepakkan sayapnya sesekali di tengah alam yang sunyi. Suasana hening itu
melambangkan cintanya kepada seorang putri dan rindunya kepada dewa yang bersemayam di atas
batu karang yang tinggi.
Itu semua ditulis dalam pantun Cina yang empat baris panjangnya.
KATA

Oleh :
Subagyo Sastrowardoyo
Asal mula adalah kata
Jagat tersusun dari kata
Di balik itu hanya
ruang kosong dan angin pagi
Kita takut kepada momok karena kata
Kita cinta kepada bumi karena kata
Kita percaya kepada Tuhan karena kata
Nasib terperangkap dalam kata
Karena itu aku
bersembunyi di belakang kata
Dan menenggelamkan
diri tanpa sisa
KEHARUAN

Oleh :
Subagio Sastrowardoyo
Aku tak terharu lagi
sejak bapak tak menciumku di ubun.
Aku tak terharu lagi
sejak perselisihan tak selesai dengan ampun.
Keharuan menawan
ktika Bung Karno bersama rakyat
teriak “Merdeka” 17 kali.
Keharuan menawan
ketika pasukan gerilya masuk Jogja
sudah kita rebut kembali.
Aku rindu keharuan
waktu hujan membasahi bumi
sehabis kering sebulan.
Aku rindu keharuan
waktu bendera dwiwarna
berkibar di taman pahlawan
Aku ingin terharu
melihat garis lengkung bertemu di ujung.
Aku ingin terharu
melihat dua tangan damai berhubung
Kita manusia perasa yang lekas terharu

Pustaka dan Budaja,


Th III, No. 9,
1962
Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air

KUBU

Oleh :
Subagio Sastrowardoyo
Bagaimana akan bergembira kalau pada detik ini
ada bayi mati kelaparan atau seorang istri
bunuh diri karena sepi atau setengah rakyat terserang
wabah sakit – barangkali di dekat sini
atau jauh di kampung orang,
Tak ada alasan untuk bergembira selama masih
ada orang menangis di hati atau berteriak serak
minta merdeka sebagai manusia yang terhormat dan berpribadi –
barangkali di dekat sini atau jauh di kampung orang.
Inilah saatnya untuk berdiam diri dan berdoa
untuk dunia yang lebih bahagia atau menyiapkan senjata
dekat dinding kubu dan menanti.
Daerah Perbatasan,
Jakarta : Budaya Jaya, 1970
Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air

Anda mungkin juga menyukai