CHANDRA
SETIAWAN
ASEPMULYANA
BAGIAN PERTAMA
I.
II.
HI.
IV.
V.
......halaman 61
VI.
......halaman 69
VII.
UU Kebebasan Beragama
Oleh M. Dawam Rahardjo
......halaman 75
......halaman 83
X.
......halaman 113
BAGIAN KEDUA
Seri Diskusi di Enam kota
.....halaman I31
BAGIAN KETIGA
Kesepakatan dalam Seri Lokakarya di Enam Kota
......halaman 155
BAGlAN KEEMPAT
Rekomendasi
......halaman 175
BAGWV KELIMA
Penutup
......halaman 177
Lampiran
......halaman 178
Peserta Seminar dan Lokakarya Kebebasan Beragama
dan Berkepercayaan di Indonesia
KOMNAS HAM
iii
i dalam Pasal 71 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM dinyatakan bahwa pemerintah, sebagai pemegang mandat untuk
mewakili negara, mempunyai kewajiban dan bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan hak asasi
manusia. Kewajiban dan tanggung jawab itu hams diimplementasikan secara
efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial dan budaya, pertahanan
dan keamanan negara, serta bidang lain.
Pasal 100 UU yang sama menyatakan, setiap orang, kelompok, organisasi politik, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan
lainnya berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan
hak asasi manusia.
Sementara itu pada Pasal 75 W itu dinyatakan Komnas HAM bertujuan: mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM sesuai
dengan Pancasila, UUD 1945, dan Piagam PBB, serta Deklarasi Universal
HAM; dan meningkatkan perlindungan dan penegakkan HAM guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya, dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
Hak Kebebasan BeragamaIBerkepercayaan yang dijamin dalam Pasal
28 E ayat (1) & ayat (2) UUD 1945; Pasal29 ayat (2) UUD 1945; Pasal22 ayat
(1) & ayat (2) UU 3911999; Pasal18 W No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.
Dalam kenyataannya, Komnas HAM masih mendapatkan pengaduan
dari kelompok masyarakat yang beragama tertentu, seperti Islam (cq. Jemaat
Ahmadiyah Indonesia), yang mengalami tindakan kekerasan dari sekelompok
orang yang mengatasnamakan agama tertentu; Kristen-Katolik yang terkait
dengan penutupan tempat ibadah; Penghayat Kepercayaan yang terkait dengan
hak-hak sipil-nya tidak mendapat pelayanan dari Pemerintah.
KOMNAS HAM
ini. Di samping itu, tentu saja terima kasih kami sampaikan kepada moderator seminar, fasilitator lokakarya, peserta seminar dan lokakarya yang telah
berkontribusi dalam diskusi kelompok maupun pleno. Tak lupa kami sampaikan terima kasih kepada Ketua dan Wakil Ketua Komnas HAM, Ketua Subkomisi Hak-Hak Sipil dan Politik dan kolega sesama Anggota Komnas HAM
yang telah banyak membantu.
Terima kasih juga kami sampaikan kepada staf yang selama ini terlibat
langsung: Rima Purnama Salim, Asri Oktavianty, Eko Dahana, juga Hanggoro, dan pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Saya juga talc
lupa menyampaikan terima kasih kepada Asep yang telah menyiapkan draft
buku ini, sehingga memudahkan pekerjaan saya untuk mengeditnya. Terakhir,
terima kasih untuk pihak percetakan yang telah membantu mencetak buku ini
sehingga buku ini dapat terbit dan sampai ke tangan para pembaca.
Seperti pepatah mengatakan "tak ada gading yang tak retak", buku ini
masih mengandung kelemahan dan kekurangan. Untuk itu, kami harapkan kritik dan sarannya.
Atas segala kekurangan, kami mohon dibukakan pintu maaf, semoga
bermanfaat.
Chandra Setiawan
KOMNAS HAM
vii
BAGIAN PERTAMA
BERAGAMA
ATAUBERKEPERCAYAAN
KEBEBASAN
DAN
MELAKSANAKANNYA
DITINJAU DARI
PERSPEKTIF
HUKUM
DAN HAM
Oleh Chandra Setiawan
KOMNAS HAM
I KOMNAS HAM
I.
Pembuka
'
Kedeiapan komponen ini disarikan dari berbagai tnsmmen internasional yang memuat tentang kebebasan beragama atau
berkepercayaan seperti Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, pasal 18; Kovenan lnternasional Hak-Hak Sipil dan
Polik pasal 18.1. s.d. 18.4. dll. Lihat. Tore Lindholm, W. Cole Durham, Jr. Bahia G. Tahzib-Lie (ed), FaciliratingFreedom of
Religion orSelfef. A Desbwk. Netherfand, Marlinus Nijhoff Publishen, 2004, pp. m i i - xxxix
KOMNAS HAM
5.
6.
7.
8.
111.
1 KOMNAS HAM
4.
5.
UU ini tidak memberi tempat terhadap eksistensi kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Undahg-Undang
ini memberi kewenangan kepada Pemerintah untuk 'mengekang' kebebasan beragama dan dalam praktik di
lapangan hanya 'menguntungkan'agama-agama besar yang dilayani Departemen Agama.
KOMNAS HAM
IV.
1 KOMNAS HAM
5.
kontroversi. Konsep moral merupakan turunan dari berbagai tradisi keagamaan, filsafat, dan sosial. Oleh karena itu,
pembatasan yang terkait dengan prinsip-prinsip moral tidak
dapat diambil hanya dari satu tradisi atau agama saja. Pembatasan
dapat dilakukan pemerintah bahkan untuk binatang tertentu
yang dilindungi oleh Undang-Undang untuk tidak disembelih
guna kelengkapan ritual aliran agama tertentu.
Restriction For The Protection of The (Fundamental) Rights
and Freedom of Others
5.1. Proselytism
Dengan adanya hukuman terhadap tindakan proselytism,
pemerintahmencampurikebebasanseseorangdidalammemanifestasikan agama mereka melalui aktivitas-aktivitas
misionaris di dalam rangka melindungi agar kebebasan
beragama orang lain untuk tidak dikonversikan.
5.2. Pemerintah berkewajiban membatasi manifestasi dari
agama atau kepercayaan yang membahayakan hakhak fundamental dari orang lain, khususnya hak untuk
hidup, kebebasan, integritas fisik dari kekerasan, pribadi,
perkawinan, kepemilikan, kesehatan, pendidikan, persamaan, melarang perbudakan, kekejaman dan juga hakhak kaum minoritas.
Penutup
Pemerintah sebagai penanggung jawab utama pelaksanaan HAM di
Indonesia hams memiliki kemauan dan kehendak yang kuat serta bersungguhsungguh dalam melaksanakan kewajiban moral dan hukum, khususnya di
dalam menjamin kebebasan beragama atau berkepercayaan. Negara Republik
Indonesia- hams melaksanakan UlJD dan Peraturan Perundang-Undangan
secara konsekwen, dan apabila membuat Undang-Undang bam hams dapat
menjamin hak-hak memanifestasikan beragama atau berkepercayaan tanpa
diskriminasi, termasuk di dalamnya pemenuhan hak-hak sipil setiap pemeluk
agama (apa pun agamanya) atau Penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, seperti kebebasan mencantumkan identitas agama atau kepercayaan
di dalam administrasi kependudukan (Kartu Keluarga, KTP), pencatatan
perkawinan bagi pemeluk agama atau kepercayaan oleh pemerintah (cq. KUA,
Kantor Catatan Sipil).
V.
KOMNAS HAM
1 KOMNAS HAM
KOMNAS HAM
10
\ KOMNAS HAM
1.
ema ini menunjukkan bahwa agama masih menjadi permasalahan ketika hendak ditempatkan dalam tataran yang lebih
luas dari individu menjadi tataran hidup bersama, terutama
dalam suatu masyarakat yang plural. Dia makin menjadi serius ketika dalam
tataran hidup bersama itu struktur formal, seperti negara dan pemerintahan,
hendak dikaitkan dengannya.
Serius, karena ketika struktur formal dilibatkan, politik, yang selalu
menjadi ciri struktur formal kehidupan bersama itu, mau tidak mau hams
terlibat juga, termasuk dalam kehidupan bersama. Padahal, agama adalah lembaga sosial yang berhubungan dengan kekuatan di luar diri manusia, yang
tidak terkendali oleh manusia.
Serius, karena ketika manusia sudah dapat berlindak mengatasnamakan
kekuatan tersebut, dia dapat muncul menjadi kekuatan yang sangat menakutkan.
Karenanya, dalam membahas tema ini terlebih dahulu akan dibahas hubungan
negara dan agama secara teoritik, baru mengkaji praktek hubungan tersebut di
Indonesia dan permasalahamya.
Hubungan Negara dan Agama dalam Perspektif Teoritik
J. Philip Wogaman, membedakan paling tidak empat tipe
hubungan negara dan agama, ~ a i t u : ~
*:
Teokrasi, yaitu suatu kehidupan bemegara yang di dalamnya
pemirnpin agama atau lembaga keagamaan tertentu mengendalikan
kehidupan bernegara lewat berbagai kebijakan kenegaraan dan
undang-undang untuk tujuan-tujuan agama tersebut. Wogaman
memberikan contoh terhadapteokrasi ini, antara lain dalam kehidupan
bangsa Ibrani kuno, tradisionalitas Tibet, kehidupan puritanisme
jaman kolonialisme Amenka, periode awal Mormonisme di Utah,
dalam batas-batas tertentu terjadi sekarang di Iran,Katolik abad pertengahan, juga jaman modem sebelum Vatican I1 dan Zionis Israel.
Erastianisme, yaitu suatu kehidupan bemegara yang di dalamnya
para pemimpin politik telah mengeksploitasi agama untuk
tujuan-tujuan negara. Tipe ini merupak& kebalikan dari tipe
pertama. Disebut Erastianisme karena mengrkuti pandangan
Thomas Erastus, teolog protestan Swiss Jerman abad XVI.
Bentuk kehidupan negara seperti ini, menurut Wogaman, terdapat
terutama di Jepang dengan Shintoisme-nya. Hal serupajuga dapat
0:.
J. Philip Wogaman, Christian Perspectiveson Politics: Revisedand Expanded. Louisville (Kentucky: Westminster
John Knox Press 2000). 250-2.
KOMNAS HAM
11
*:*
*:*
Tentu keempat tipe ini adalah keadaan ideal yang dapat digambarkan. Dalam
prakteknya sering terjadi campuran antara beberapa tipe. Terhadap tipe teokrasi,
Wogaman sangat tegas menolaknya. Bahkan Wogaman menyebutnya sebagai suatu
ilusi (khayalan), karena ketika agama berkeingman untuk menguasasi negara, yang
terjadi pada akhirnya adalah agamalah yang dipemlat negara untuk tujuan-tujuan
politik terter~tu.~
Jadi batas antara teokrasi dan emtianisme sangat tipis.
Ilusi lainnya adalah kesulitan membedakan mereka yang benar-benar
taat beragama atau hanya memperalat agama untuk tujuan-tujuan mereka
sendiri demi karier atau keuntungan diri sendiri.
Masalah lebih dalam lagi bagi Wogaman adalah masalah teologik.
Akibat dari teokrasi ini akan tercipta dua kelompok manusia dalam masyarakat,
yaitu mereka yang merasa memiliki kebenaran Yang Mutlak dan yang
tidak. Yang merasa memiliki kebenaran itulah yang memimpin yang Tidak.
Merekalah yang berhak menjadi presiden, menjadi anggota DPR, menteri,
gubernur, jenderal penuh dan sebagainya. Yang lain itu tidak boleh karena
tidak memiliki kebenaran (kafir).
Keadaan ini bisamengakibatkankelompokyang merasadiri benar itu bisa
5
12
lbid., 253-4.
1 KOMNAS HAM
#'
/
'
*
Jean Jacques Rousseau, 'The Social Contract,' Book IV dalam Robert Maynard Hutchins (ed). The Great Books
of the Western World Volume 38 (Chicago: Wtlliam Benton, 1952). 438-9.
KOMNAS HAM
13
pemerintah perlu mengatumya dalam berbagai aturan, bukan sebagai dogma, tetapi
sebagai suatu tuntutan sosial yang, tanpanya, seseomng tidak bisa menjadi warga
negara yang baik atau rakyat yang setia. Pemahaman imaniah seperti itu tidak sama
dengan agarna seseorang. Menumt Rousseau, terhadap agama seseorang tersebut
pemerintah sebaiknya tidak perlu ikut campur tangan mengurusnya.
Apa yang semula merupakan gagasan Rousseau itu kemudian dikembangkanRobertN. Bellah dari Arnerika Serikat(AS).Bellahmencobamemperkenalkan
istilah ini dalam tahun 1950-an. Dia menyebutnya sebagai agama sipil, sekalipun
pengertiannya berbeda sedikit dengan pengertian Rousseau. Baginya, agama
sipil Amerika itu adalah ketundukan bangsa Amerika pada prinsip-prinsip etis
yang transendental dan terhadap prinsip-prinsip etis tersebut bangsa itu dinilai.'
Pemikiran ini dikembangkannya dengan latar belakang Amerika Serikat yang
baru saja keluar dari PD I1 sebagai pemenang perang dan khawatir bahwa perasaan tersebut dapat membawa AS ke suatu kehidupan yang berbahaya bagi
bangsa-bangsa lain. Karenanya, dia mengatakan bahwa agama sipil AS tersebut
haruslah ditempatkan dalam perspektif agama sipil dunia supaya mendapatkan
maknan~a.~
Kelihatannya, kekhawatiran Bellah tersebut mulai mengkristal
dalam din AS di bawah pemerintahan George W. Bush.
Yang menarik dari perkembangan gagasan Bellah ini adalah adanya
tantangan yang sangat keras terhadap pandangannya itu, terutama dari lembagalembaga keagamaan, sehingga Bellah memutuskan untuk tidak mengembangkan
gagasan tersebut lebih lanjut. Keberatan terutama datang dari pandangan keagamaan
gereja-gereja di AS yang eksklusif.
John A. Coleman meneruskan pemikiran Bellah tentang agama sipil itu dengan
rumusan "seperangkat bentuk dan tindakan simbolik yang menghubungkan
manusia sebagai warga negara dan masyarakatnya dalam sejarah dunia dengan
kondisi-kondisi akhir keberadaanya (~ltimate)."~
Selanjutnya ia membedakan tiga
tipe jenis agama sipil.'"
1.
7
8
9
10
14
1 KOMNAS HAM
b.
sa dapat mengembangkan sirnbol-simbol dan nilai-nilai keagamaannya. Masalah yang dapat muncul dengan tipe ini adalah kesulitan
kebebasan beragama dm sipil dari warga yang tidak sama agamanya.
Ia juga dapat menimbulkan masalah loyalitas warga yang agamanya
tidak sarna dengan agama "resrni". Dan tetakhir, bila agama "resmi"
tesebut adalah agarna yang sangat tradisional, maka perkembangan
masyarakatnya akan sangat lambat. Tipe ini mirip dengan tipe teokrasi
seperti yang digambarkan Wogarnan. Contoh yang dikemukakannya
untuk tipe ini adalah Spanyol dan Srilangka.
Agama sipil yang disponsori oleh negara.
Dalam tipe ini negaralah yang memaksakan bentuk keagamaan dalam kehidupan bernegaranya. Masalah yang muncul
dengan tipe ini adalah penolakan dari agama-agama yang sudah
ada. Contoh yang dikemukakannya adalah penyembahan kaisar di
kekaisaran Romawi dan Shintoisme di Jepang. Penolakan datang
dari Keyahudian dari Kekristenan di Romawi, sedangkan di Jepang
penolakan datang dari agama Buddha dan agama-agama lainnya.
3.
Agama Sipil-Pemisahan, seperti yang terjadi di AS. Hal ini dimungkinkan karena adanya prinsip pemisahan yang tajam antara gereja dan
negara yang ada dalam konstitusi AS. Agama sipil itu tidaklah sama
dan juga tidak menggantikan Kristen Protestan atau Katolik dan
juga Keyahudian. Jadi, agama sipil yang dapat dilihat sebagai suatu
terobosan atas hubungan agama dan politik juga dibatasi oleh adanya
eksklusivisme agama.
Karena itu, suatu negara yang memiliki pluralitas agama hanya
akan bisa bertahan dan berlaku adil bagi setiap warganya, apabila dia
KOMNAS HAM
15
16
1 KOMNAS HAM
suatu disiplin keilmuan lalu ditempatkan sebagai ratu dari Ilmu Pengetahuan.
Era ini dalam sejarah gereja disebut sebagai EraKonstantin (Constantinian
Era)." Padatahap itu, demokrasitidaklahberkembang.Kehidupan bermasyarakat
lebih berbentuk monarki-teokratik. Monarki karena para rajalah yang berkuasa
atas kehidupan banyak orang. Teokratik, dalam pengertian bahwa para raja yang
berkuasa itu dikuasai oleh para pemimpin agama (Gereja), sehingga mereka hams
menjalankan ajaran-ajaran agama (gereja) dalam kehidupan bermasyarakat.
Pada tahap itulah demokrasi tidak tenvujud.
Perubahan baru terjadi ketika kewenangan mutlak para pemimpin gereja
dipersoalkan oleh Reformasi yang dilakukan oleh Marthin Luther di Jerman pada
1517. Ketika kewenangan mutlak para pemimpin agama itu sudah diruntuhkan
dan diimbangi dengan masa Renaissance, yaitu masa perkembangan seni yang
mencerminkan kebebasan berekspresi manusia, maka dominasi agama (gereja)
terhadap kehidupan manusia mulai menyusut. Hal ini semakin diperkuat dengan
munculnya masa pencerahan, ketika manusia mulai menghargai kemampuan
aka1 (reason), ilmu pengetahuan, dan penghargaan terhadap kemanusiaan. Masa
ini dipahami sebagai masa baru setelah mereka melewati berabad-abad masa
kegelapan dan ketidaktahuan (ignorance). Pencerahan ini mendominasi abad 18
dan memuncak dengan Revolusi Perancis. Pada abad 19 dan 20, pencerahan
mewariskan sekularisme yang menghasilkan liberalisme dan sosialisme.
Berakhirnya dominasi agama (gereja) itu menandai berakhirnya era konstantin
dan bermulanya era demokrasi.
Perkembangan demokrasi di Eropa juga terjadi sehubungan de&an
semakin kuatnya kekuatan ekonomi warga masyarakat akibat revolusi industri.
Sebelumnya kalangan yang menjadi orang kaya di Eropa terutama adalah para
raja dan keluarga raja. Dengan revolusi industri, maka orang kaya sudah tidak
dapat dibatasi hanya pada para raja clan keluarga mereka saja, melainkanjuga pada
pengusaha yang sukses, terutama pengusaha wool di Inggris.
Akibat dari semakin kuatnya posisi ekonomi warga masyarakat itu, lalu
mereka merninta dilibatkan dalarn mengatur kehidupan bersama, dan tidak bisa
hanya menerima kekuasaan raja saja sebagaisatu-satunya penguasa dalam kehidupan
masyarakat, terutama dalam menetapkan pajak. Lahirlah parlemen sebagai badan
yang patut didengar oleh raja sebelum membuat kebijakan baru bagi rakyatnya.
Perjuangan melawan pemerintahan otokratik para raja di Inggris untuk pertama
kalinya terjadi melalui pemberontakan rakyat terhadap kekuasaan raja dalam proses
demokratik ini tahun 1642ketika raja Charles I menentang wewenang parlemen dan
11
Disebut Konstantinian,karena Kaisar Konstantin pada jaman Romawi menetapkan Kekristenan sebagai agama
resmi Negara. Akibatnya. Kekristenan dijadikan panduan kehidupan bersama.
KOMNAS HAM
17
akhimya dia hams dieksekusi (dihukum gatung) oleh parlemen, karena dianggap
menentang rakyat.
Pada pertengahan abad 20, hampir sernua negara di dunia telah menganut
sistemdemokrasiini,kecuali beberapa yang masih tinggal dalam bentukpemerintahan
yang lama. Sekalipun prakteknya belum terjadi seperti yang diharapkan, akan tetapi
secara prinsip mereka menyetujui sistem demoluasi ini. Persetujuan ini terjadi
karena demokrasi memiliki beberapa prinsip dasar yang disukai, yaitu kebebasan
individu yang memberikan kepada individu suatu kebebasan dan tanggung jawab
dalam mengembangkan karier dan kehidupan mereka sendiri; kesetaraan di depan
hukum dan hak memilih dan mendapat pendidiian secara universal. Hak-hak seperti
itu sudah dicantumkan dalam dokumen-dokumen besar seperti The Declaration of
Independence AS, The French Declaration of the Rights of Man and of the Citizen,
dan Atlantic Charter.'*
Demokrasi ini bisa berkembang dengan cepat selain didukung oleh
kekuatan ekonomi rakyat, terutama oleh pemikiran-pemikiran para filosof
terhadap kehidupan manusia, terutama pemikir dari Perancis seperti Montesquieu
dan Rosseau, dan Jefferson dan Madison di Amerika Serikat. Karenanya, untuk
memahami dengan baik pemikiran mereka tentang demokrasi, ada baiknya kita
sirnak pemikiran mereka, terutama Rosseau yang sangat cocok bagi konteks
Negara seperti Indonesia.
Rosseau mengatakan suatu kehidupan bersama manusia dapat terjadi
dalam dua wujud, yaitu wujud state of the nature (kehidupan secara alami) dan
civil statelsociety (kehidupan secara sipil, tidak alami akan tetapi disepakati
bersama-sama oleh manusia cara hidup bersama itu).I3 Dalam tahapan state
of the nature, kecenderungan yang terjadi adalah munculnya orang-orang kuat
tertentu yang berhasil menundukkan dan menguasai sesama manusia lainnya
dan memerintah sebagai raja atas sesamanya. Inilah yang menghasilkan
monarki yang berkepanjangan dalam sejarah umat manusia. Raja ini adalah
raja yang dipahami berkuasa atas manusia dan segala harta bendanya, sehingga
ia menjadi penguasa tunggal atas rakyatnya. Akibatnya, sesama manusianya
hanya bisa tunduk dan taat kepada sang raja itu dan manusia itu kehilangan
kebebasan individu dan hak atas harta bendanya. Manusia-manusia ini hanya
bisa jadi budak yang tak berdaya bagi sang raja. Dalam situasi seperti ini
jaminan kebebasan individu dan hak individualnya hilang sama sekali, dan
akhirnya hukum rimba yang berlaku.
Dalam civil(society) state, bentuk kehidupan bersama manusia yang tidak
12
13
18
1 KOMNAS HAM
didasarkan atas kekuatan satu orang atau satu kelompok orang tertentu, tetapi
didasarkan pada penghargaan terhadap hak-hak individu untuk mendapatkan
kebebasan individunya dan kehidupan yang layak. Kehendak untuk mendapat
kehidupan yang layak itu disebutnya sebagai general will (kehendak umum).
General will inilah yang hams menjadi acuan kehdupan bersama itu. Untuk
menjamin tercapainya general will itu, manusia membuat kontrak sosial di antara
mereka sendiri untuk menyerahkan sebagian wewenang mereka kepada suatu
pemerintahan untuk mengatur dan menjamin kehidupan bersama itu. Pemberian
sebagian wewenang itu dilakukan lewat suatu proses demokrabk, yaitu melalui
pemberian suara kepada orang-orang tertentu yang dipercayai masyarakat.
Dalam pemberian suara (proses demokratik) itu ada kemunglunan terjadi suara
yang terbanyak. Suara terbanyak ini oleh Rosseau disebut sebagai the will of
all (kehendak kebanyakan).I4 The will of all ini sesuatu yang wajar saja dalam
suatu proses demokratik. Yang tidak boleh terjadi adalah bahwa the will of all
ini dianggap mewakili semua masyarakat, sehingga dinilai dapat menggantikan
the general will itu. The will of all tidak sama dengan general will, karena tidak
meliputi keinginan semua. Kalau ini yang terjadi, maka yang tercipta bukan lagi
civil state, tetapi state of the nature. Ini hukum rimba dalam bentuk kelompok,
bukan lagi individu sepertijaman monarki dulu. Kalau sudah terjadi hukum rimba,
maka proses dan bentuk kehidupan seperti itu tidak dapat lagi disebut demokratik.
Karena itu, demokrasi bukanlah bentuk kehidupan berdasarkan suara mayoritas
saja. Demokrasi adalah bentuk kehidupan bersama yang menjamin kebebasan dan
hak setiap individu, entah dia berada dalam kelompok mayoritas ataupun dalam
kelompok minoritas.
Demokrasi, dengan demikian, merupakan bentuk kehidupan bersama yang
menolak kesewenangan, entah yang muncul dalam diri individu (raja) ataupun juga
kelompok. Demokrasi bukanlah suatu majorocracy, pemerintahan yang dijalankan
sekedar berdasarkan perolehan suara mayoritas saja. Karenanya, setiap bentuk
mayoritas tidak selalu berarti baik dalam kehidupan demokrasi. Melalui kehidupan
yang demokratik hak asasi manusia dijarnin, karena tertuang dalam general will.
Masalahnya, apakah general will ini bisa bertahan apabila suatu will of all itu
didasarkan pada suatu agama yang mengklaim kebenamn itu?
Di situlah terletak ancaman kehidupan suatu negara demokratik. Fareed
Zakaria, editor majalah Newsweek, sangat mengkhawatirkan terciptanya otohtik
dan suatu proses demokrasi yang tidak sejalan dengan hakikat demolcrasi seperti
yang digambarkan Rousseau. Keraguannya muncul sehubungan dengan kuatnya
KOMNAS HAM
19
legitimasi agama yang eksklusif itu atas kehidupan manusia, sehingga melalui suatu
proses demokratikyang terlalu mengandalkanthe will of all, yang disebutnya sebagai
tirani mayoritas akan tercipta otokrat-otokrat agama.ls Dalarn kasus Indonesia, pada
awal reformasi, Fareed Zakaria mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia tidak
berkembang dengan baik karena ketidak~iapannya.'~
Tiga ha1 disebutkan sebagai
alasan utama, pertama, ketergantungan yang terlalu tinggi atas surnber daya alam.
Kedua, tidak adanya lembaga politik yang legitimate. Ketiga, PDB mash rendah
yaitu $2,650. Akibatnya, yang terjadi adalah wacana agama, padahal untuk menjadi
suatu negara demokratik yang stabil dibutuhkan PDB antara $3000 - $6000.''
Jadi demokrasi pun terancam oleh eksklusivisme agama. Hal ini wajar
saja, menurut Philip E. Hamrnond, karena setiap orang cenderung berusaha untuk
memberi makna dalam tindakan politiknya, terutarna dalam situasi pluralistik,
sehingga kehidupan politik pun tidak dapat dihindari dari pengamh agama.I8
Satu konsep terbaru yang dikembangkan dalam diskursus demokrasi
dan keragaman tuntutan HAM ini adalah multikulturalisme yang dikemukakan
oleh Charles Taylor.19 Dalam uraiannya, Taylor mengedepankan perlunya
penghargaan (recognition) terhadap keragaman budaya yang ada dalam suatu
masyarakat kalau kelangsungan masyarakat itu ingin dipertahankan. Namun pada bagian akhir uraiannya, ia juga sadar bahwa tantangan yang harus
dihadapi dalam upaya ini adalah sikap agama-agama yang ada terhadapnya.
Jadi, persoalan keadilan dan penghargaan atas keberadaan seorang manusia
akhirnya terpulangpadapemahaman manusia oleh agama. Sekalipunsudah dijamin
lewat konstitusi suatu negara (negara konstitusional), praktek dalam kehidupan
bersama selalu dipengaruhi oleh pandangan agama itu. Karenanya, pandangan
agama yang sangat eksklusif itu hams dibedah. Maksud pembedahan ini untuk
mengetahui benarkah pandangan agama seperti itu berasal dari Yang Mutlak atau
lebih merupakan pandangan manusia dalam lingkungan agama itu. Kalau ha1 ini
dapat dijawab, maka terbuka pintu bagi peninjauan kembali eksklusivisme agama
itu. Dengan demikian dapat dijawab pertanyaan mendasar, benarkah Yang Mutlak
telah dengan sengaja melakukan diskriminasi di antara manusia, baik antara
manusia-manusia dengan agama yang berbeda yang mempercayai Yang Mutlak
yang sama, maupun antara manusia-manusiayang beragama yang percaya kepada
Yang Mutlak dengan manusia yang tidak percaya kepada Yang Mutlak?
15
16
17
18
19
20
Fareed Zakaria. Masa Depan Kebebasan: Penyirnpangan Dernokrasidi Arnerika dan Negara Lain (Jakarta: Ina Publikatarna,
2003), 140.
Ibid., 137.
lbid., 75.
Robert N. Bellah and Phillip E. Hammond, Varieties of Civil Religion (San Francisco' Harper and Row. 1980). 122.
Prof. Tilaar telah menulis buku yang balk tentangnya. C f H.A R.Tilaar,Multikulturalisrne: Tanfangan-tantanganGlobal Masa
Depan dalam Transformas;PendidikanNasional (Jakarta: Grarnedia.2004) terutarna bab V.
1 KOMNAS HAM
KOMNAS HAM
21
22
1 KOMNAS HAM
23
3.
24
1 KOMNAS HAM
KOMNAS HAM
25
2.
3.
4.
26
John Hick. Gcd Has Many Names (Philadelphia: Westminster Press, 1982)
1 KOMNAS HAM
memahami Yang Mutlak akan tetapi misterius itu secara penuh? Tidak! Truth
claim manusia selalu dibatasi oleh budayanya. Karenanya klaim seperti itu
hams dikatakan sebagai partial truth. The whole truth hanya akan terjadi
setelah manusia berjumpa Dia dan hidup bersama Dia. Itu pun ada batasnya.
Ada batasnya, karena sama seperti seorang suami yang setelah hidup bersama
isterinya selama 30 tahun kemudian hams berpisah karena dia tidak dapat
sepenuhnya memahami siapa isterinya dan juga sebaliknya, apalagi manusia
dengan Dia yang misterius itu.
Penutup
Pertanyaan yang patut dikemukakan adalah, bisakah pemutlakanpemutlakan masa lampau itu dipertahankan dalam era seperti ini? Kalau masih
tetap mau dipertahankan, apakah itu realistik? Tidakkah sikap seperti itu hanya
akan menimbulkan ketegangan yang besar dalam kehidupan manusia yang
pada gilirannya akan menghancurkan kemanusiaan itu sendiri?
27
28
1 KOMNAS HAM
idak diutus seorang rasul atau nabi, kecuali sedang terjadi krisis
kemanusiaan di dalam kehidupan umat manusia. Karena itu,
semua nabi dan rasul Tuhan adalah orang-orang atau pemimpin
yang diutus Tuhan ke tengah masyarakat ketika umat manusia berada di tengah
kehidupan yang sedang mengalami krisis. Pun, Nabi Muhammad diutus Tuhan
ketika masyarakat Arab pada jaman itu menghadapi krisis kemanusiaan.
Di antara krisis-krisis kemanusiaan yang terjadi pada masa itu adalah
perbudakan atas manusia dalam artinya yang sempuma. Perbudakan, bukan
hanya dalam makna penguasaan dan pemilikan manusia terhadap fisik manusia
yang lain, tetapi juga terhadapjiwa dan pikirannya. Karena itu, pada masa awal
kerasulan Muhammad di Mekah, fokus penantangan para elit kota dagang
terhadap Rasul Tuhan itu adalah pada prinsip persamaan manusia sebagai
makhluk Tuhan di muka bumi ini yang dibawa dalam ajaran Rasul tersebut.
Kasus penyiksaan dan perlawanan kaum budak, seperti yang dialami oleh
Bilal dan Yassir serta keluarganya, misalnya, merupakan fenomena penting
yang memastikan bahwa pada saat itu sedang dimulai suatu perubahan sosial
yang mendasar di dalam masyarakat di mana Muhammad diutus ke tengahtengah mereka.
Prinsip ajaran persamaan antar sesama manusia-yang
mendorong
perubahan mendasar pada struktur sosial masyarakat Arab ketika itu-oleh Nabi
Muhammad diletakkan pada sebuah titik sentral, yaitu bahwa "tiada idola selain
Idola" (perhatikan kata idola dengan huruf kecil dan huruf kapital). Atau, "yang
idola hanya Tuhan, bukan selain-Nya". Prinsip ini dikenal dalam Islam sebagai
kalimat tauhid, dengan ungkapan "la ilah illa Allah" (baca: la ilaha illallah).
Ciri-ciri Allah sebagai satu-satunya Idola, oleh al-Qur'an, disebutkan
antara lain: Dia tempat menaruh harapan, Dia bersih dari ketersambungan
biologis dengan makhluk, dan Dia unik karena tak satu pun serupa dengan-Nya.
Penulisngnya, dalam masa yang amat panjang-setelah kewafatan Muhammad
dan lewatnya masa awal Islam-pembahasan dan pemahaman terhadap kata
"ilah" luput dari perhatian. Akibatnya, perbudakan dalam berbagai bentuknya,
hingga ke bentuknya yang modem pada masa kini, kembali terjadi. Perbudakan
yang modem bisa sampai kepada tahap yang sangat halus dan canggih serta
tidak disadari oleh pelakunya.
KOMNAS HAM
31
Masalah perbudakan manusia atas manusia dalam arti fisik dan jiwa (akal
pikiran), tidak secara otomatis terjamin sekalipun seorang manusia hidup di sebuah
negara merdeka. Kemerdekaan, termasuk yang diproklamasikan oleh suatu bangsa,
belum menjadi jaminan bagi warga bangsa tersebut untuk benar-benar "berdiri
sama tegak dan duduk sama rendah" antar sesama warga. Perbudakan secara fislk,
boleh tidak tampak, namun secara jiwa (akal pikiran) terasa.
Dalam masyarakat bangsa-nasional
dan intemasional-bentuk
perbudakan seperti itu tidak mustahil terjadi. Karena itu, ketika semua pemujaan
dan pengabdian dipusatkan hanya kepada Tuhan, oleh Islam, maka semua selain
Dia tidak sakral. Hanya Dia yang sakral, selain-Nya profan. Pemyataan tersebut
penting karena semua bentuk perbudakan hanya munglun dilawan dengan sikap
tidak gampang tunduk kepada semua daya kekuatan yang ada pada manusia.
Atau, mengembalikan semua daya-kekuatan itu hanya kepada Tuhan. Prinsip ini
di dalarn Islam dikenal dengan ungkapan "la haw1 wa la quwwah illa bi Allah"
(tiada daya dan kekuasaan kecuali yang ada pada Allah). Dengan demikian,
keinginan untuk membebaskan diri dari berbagai bentuk pengungkungan
(perbudakan) menemukan momentumnya dari prinsip-prinsip keagamaan
tersebut. Karena itu, dapat juga dikatakan bahwa beragama adalah tunduk
dan patuh hanya kepada Tuhan, bukan kepada selain-Nya. Dengan kata lain,
beragama berarti menjadi makhluk yang merdeka dan bebas dari perbudakan
manusia atas manusia lainnya. Inilah sesungguhnya makna generik dari Islam.
Prinsip persamaan yang diajarkan oleh Islam, yang berhadapan dengan
perbudakan di antara sesama manusia, mengisyaratkan bahwa kemerdekaan
adalah bawaan manusia sejak kelahirannya, sedangkan perbudakan dan
pengungkungan adalah sesuatu yang muncul setelah manusia melakoni hidup.
Oleh karena itu, kemerdekaan bawaan sejak lahir adalah sesuatu yang amat
asasi bagi manusia. Sedang perbudakan dan pengungkungan atas manusia, jelas
menjadi lawan bagi kemerdekaan asasi manusia tersebut. Pembebasan manusia
dari hal-ha1 yang berlawanan dengan kemerdekaan asasinya, karenanya, menjadi
kewajiban dan tugas kemanusiaan.
Di antara kemerdekaan asasi yang dimiliki manusia ialah kebebasan untuk
beragama atau berkepercayaan. Bahkan, di dalarn Al-Qur'an, kitab suci kaum
muslimin, terdapat pemyataan kebebasan untuk tidak beriman. Pemyataan yang
dimaksud adalah ayat ke-29 dari surat ke-18 (Al-Kahf), yang berbunyi "Dan
katakanlah: Kebenaran datang dari Tuhanmu, maka siapa yang mau, silahkan
32
1 KOMNAS HAM
beriman, siapa yang mau, silahkan kuh. Sesungguhnya kami telah sediakan bagi
orang-orang zalim neraka yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka
meminta pertolongan niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi
yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah seburuk-buruk minuman dan
sejelek-jelek tempat istirahat".
Pada ayat tersebut, meskipun kepada Nabi Muhammad diminta untuk
menegaskan bahwa kebenaran itu datang dari Tuhan dan gambaran konsekuensi
kalau kebenaran yang ditegaskan itu diabaikan, namun Muhammad tidak diminta
untuk memaksakan kebenaran yang dinyatakannya. Ayat itu memberi ruang bagi
pilihan bebas manusia untuk menentukan beriman atau tidak, dengan kesadaran
terhadap konsekuensi dari masing-masing pilihan.
Semangat kebebasan menganut agama, apalagi pada level di bawah dari
kebebasan untuk tidak beriman, seperti sudah dijelaskan, tentu lebih mudah
dijumpai di dalam Islam. Kebebasan untuk tidak memilih Islam sebagai anutan,
misalnya,termaktub dalam beberapa pernyataan dalam al-Qur'an bahwa "Tidak ada
paksaan untuk (menganut) agama (Islam)" (al-Qur'an, swat 2: 256); "Untukmulah
agamamu, dan untukkulah agamaku" (al-Qur'an, surat 109: 6); "Maka berilah
peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan.
Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka" (al-Qur'an, surat 88: 21-22);
"Maka, disebabkan rahmat dari Allah-lah, engkau berlaku lemah-lembut terhadap
mereka. Sekiranya engkau berlaku keras lagi berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan din dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah
ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan (itu).
Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakkallahkepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepadaNya" (al-Qw'an, swat 3: 159). Demikianlah pernyataan-pernyataan kitab suci
seperti itu, tentu semakin menguatkan prinsip bahwa beragama hams merupakan
pilihan bebas, bukan paksaan.
33
Ada catatan mengenai beberapa pola yang biasa dipakai oleh rejim
penguasa Orde Baru yang merasa terganggu dengan prinsip hak-hak asasi
manusia, khususnya kebebasan berkumpul dan berekspresi. Pertama, mempersulit
atau tidak memberi ijin. Kedua, melarang atau mengganggu kegiatan yang sedang
berlangsung. Ketiga, mengusut pelaksana kegiatan setelah kegiatan berlangsung.
Keempat, membatasi fasilitas secara tidak adil terhadap pihak tertentu. Kelima,
mengerahkan massa ke sasaran. Keenam, mengeluarkan fatwa secara resmi dan
tertulis. Ketujuh, membolehkan dan memberi ijin, namun kegiatan dikerdilkan
sehingga menyimpang dari tujuan semula.
Sepadan dengan itu, terdapat pula catatan mengenai beberapa model
perlawanan terhadap pola yang dipakai rejim Orde Baru. Pertama, melaksanakan
kegiatan dengan mengabaikan kesulitan pemberian dan ketiadaan izin. Kedua,
menyamarkan kegiatan. Ketiga, melakukan kegiatan secara sembunyi. Keempat,
melakukan protes dan pengaduan ke pengadilan. Kelima, melakukan protes terbuka
ke khalayak. Keenam, melakukan kegiatan tandingan. Meski catatan pola penindasan
dm model perlawanan itu terjadi di masa Orde Baru, namun tidak mustahil pola dan
model tersebut terjadi dalarn ha1 prinsip kebebasan beragama dan berkepercayaan di
negeri ini pada masa sekarang.
Pola pertama (perizinan yang sulit), misalnya dapat terjadi dalam
pelaksanaan Peraturan Bersama Mendagri dan Menag Nomor 8 dan 9 tahun 2006
tentang Kerukunan Umat Beragama clan Pendirian Rumah Ibadah. Dalam kasus
penyerangan dan pengusiran, Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), fatwa MUI yang
menyatakan sesat terhadap JAI, penutupan rumah ibadah (gereja), serta kasus serupa
34
1 KDMNAS HAM
lainnya, pemerintah bukanlah pihak yang langsung menghadang hak asasi dalam
beragama, melainkan lembaga atau organisasi kemasyarakatan (FPI dan MUI).
Meski demikian, pemerintah setidaknya dipandang bersikap melakukan pembiaran
pelanggaran atas prinsip kebebasan beragama, hingga munculnya perlawanan atau
protes warga masyarakat lainnya terhadap tindakan dan sikap kedua ormas tersebut.
Sikap pemerintah yang mengambang dalam masalah kebebasan beragama pasti
mengundang kecemasan bagi warga masyarakat yang mengharapkan perlindungan
bagi ketenangan dan kenyarnanan beragama di negeri ini.
Perhatian pada kebebasan beragama semakin penting seiring dengan
kesadaran global akan arti penting HAM di masa sekarang. Perhatian itu juga
menjadi penting karena-selain pandangan bahwa seharusnya Islam memberi
landasan normatif terhadap HAM-terdapat pula pandangan lainnya di dalam
kalangan Islam yang menegaskan bahwa Islam tidak sejalan dengan gagasan dan
konsepsi HAM. Apakah masalah kebebasan beragama yang muncul akhir-akhir
ini didasarkan oleh pandangan yang disebut kedua tadi, masih harus dicermati.
35
KOMNAS HAM
37
KOMNAS HAM
39
40
1 KOMNAS HAM
I.
23
Penjelasan lebih lanjut tetang ha1ini, lihat Siti Musdah Mulia. Negara Islam. PemikiranPoliik Haikal(Jakarta: Pararnadmna.2001).
h. 239242.
KOMNAS HAM
41
'amanah), kebebasan (al-hurriyah), persamaan (al-musawah), persaudaraan (al-ukhuwah), kemajemukan (al-ta'adudiyah), musyawarah
(al-syura 7, kedamaian (al-silm), dan kontrol sosial (amar ma'ruf nahy
mungkar). Mereka yang menganut pola pemikiran ini merasa tidak
perlu mendirikan negara Islam, juga tidak perlu menformalkan syariat
Islam dalam bentuk hukum positif. Bagi mereka yang terpenting adalah
merealisasikan nilai-nilai ideal Islam di semua bidang kehidupan,
termasuk dalam kehidupan politik.
Haikal, seorang pemikir politik sekaligus negarawan Mesir, lebih
rinci menjelaskan bahwa nilai-nilai etika dimaksud bersumber dari prinsip
tauhid. Perlunya prinsip tauhid diterapkan dalam pengelolaan hidup
b'ermasyarakat adalah untuk mewujudkan masyarakat yang bermoral
dan memiliki integritas rohani yang sempurna, dan secara bertahap dapat
mewujudkan pola hubungan antarmanusia dalam semangategalitarianisme.
lmplementasi tauhid dalam kehidupan bermasyarakat akan membuat
setiap individu dalam masyarakat menyadari jati diri mereka masingmasing sebagai hamba Allah SWT, memahami harkat dan martabat
kemanusiaannya sehingga, dengan demikian, mereka dapat terbebas dari
berbagai macam belenggu yang merusak martabat kemanusiaan, yang
pada gilirannya membuat mereka mampu mengembangkan potensinya
secara wajar dan layak. Sebab, tauhid pa& hakikatnya mendukung sistem
demokrasi, dan sebaliknya: menolak sistem totaliter, otoriter, dan tira~~ik?~
Tuntunan Al-Qur'an mengenai kehidupan bernegara tidaklah
menunjuk kepada suatu model tertentu. Soal negara dan pemerintahan
lebih banyak diserahkan kepada ijtihad umat Islam. Islam hanya
menggariskan prinsip-prinsip dasar yang hams dipedomani dalam
mengelola negara, yaitu prinsip persaudaraan, persamaan, dan kebebasan. Prinsip-prinsip tersebut mengacu kepada prinsip tauhid yang
merupakan ajaran inti dalam Islam. Prinsip persaudaraan sesama manusia membawa kepada timbulnya persatuan yang kokoh dan toleransi
beragama di antara warga negara yang majemuk, yang terdiri dari
berbagai suku dan agama.
Penerapan ajaran persaudaraan dalam kehidupan bemegara dimaksudkan agar para penguasa memperlakukan semua warga negaranya, tanpa
kecuali, sebagai saudam Sebaliknya,mereka tidak boleh berbuat sewenangwenang atau bersikap despotis terhadap rakyatnya. Prinsip persamaan
24
42
Ibid.. h. 63-76.
1 KOMNAS HAM
43
44
1 KOMNAS HAM
AMW Pranarka. Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila (Jakarta: CSIS. 1988. h. 4748).
Endang SaifuddinAnshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, (Jakarta: Rajawali Pers,1986, h. 30).
Ahmad Syafii Ma'arif, Islam dan Masalah Kenagaraan, Studi Tentang Percaturan di Konstituante(Jakarta:
LPSES, 1996. h. 102.
M. Amien Rais, Islam dan Negara di Indonesia: MancariAkhir Pencarian, dalam Umar Basalim, Pro-Kontra
Piagam Jakarta di Era Refonnasi(Pustaka Indonesia Satu: Jakarta. 2002, h. XV-XVI).
KOMNAS HAM
45
46
Sekretariat Jenderal MPR RI. Risalah Rapat-Rapat Panilia Ad Hoc BP MPR. Buku Kedua Jilid 3C (Jakarta. h. 546547).
1 KOMNAS HAM
III.
47
prestasi takwanya (Q.S. al-Hujurat 49:13) dan bicara soal takwa hanya AUah
swt. yang mampu memberikan penilaian. Pandangan tauhid yang benar akan
mernbawa manusia kepadapola berketuhanan dan berkemanusiaan yang benar
atau hablun minallah dan hablun minannm.-'"
Berkaitan dengan relasi antar manusia, Nabi sudah mengimplementasikan prinsip-prinsip persamaan dan penghormatan kepada manusia
dalam masyarakat Madinah yang sangat heterogen sebagaimana tertuang
dalam Piagam Madinah. Piagam tersebut pada intinya menggarisbawahl
lima ha1 pokok sebagai dasar bagi kehidupan bermasyarakat dan bemegara,
yaitu prinsip persaudaraan dalam Islam, semua umat Islam yang berasal
dari berbagai latar belakang adalah bersaudara; prinsip saling menolong
dan melindungi, penduduk Madinah yang terdiri dari beragam suku,
agama, dan bahasa hams saling membantu dalam menghadapi lawan;
prinsip melindungi yang teraniaya; prinsip saling kontrol; dan yang tidak
kalah pentingnya adalah prinsip kebebasan beragama.
Prinsip-prinsip tersebut berakar dalam Al-Qur'an, seperti QS.
Al-Baqarah, 2:256 (tidak ada paksaan dalam beragama); al-Kafirun, 1-6
(pengakuan terhadap pluralisme agama); Yunus, 99 (larangan memaksa
penganut agama lain memeluk Islam); Ali Imran, 64 (himbauan kepada
ahli kitab untuk mencari titik temu dan mencapai kalimatun sawa'); dan
al-Mumtahanah, 8-9 (anjuran berbuat baik, berlaku adil, dan menolong
orang-orang non-Muslim yang tidak memusuhi dan tidak mengusir
mereka). Penulisngnya, ajaran Islam yang mengedepankan nilai-nilai
humanisme, pluralisme, dan inklusifisme itu tidak banyak disosialisasikan
di masyarakat sehingga tidak heranjlka wajah masyarakat Islam di berbagai
wilayah tampak sangar dan tidak bersahabat, sangat jauh dari potret yang
ditampilkan umat Islam generasi awal, khususnya di masa Nabi dan
Khulafa Rasyidin, yang penuh toleransi, persahabatan, dan persaudaraan.
Agar supayaajaranIslam lebih akomodatifterhadapkemaslahatan
manusia, Imam al-Ghazali (w. 1111 M) mencoba merumuskan tujuan
dasar syariat Islam atau yang disebutnya dengan maqashid al-syari'ah,
yaitu penghargaan terhadap lima kebebasan dasar manusia. Pertama,
kebebasan untuk hidup (hifz al-nafs). Kedua, kebebasan beropini dan
berekspresi (hifz al-aql). Ketiga, kebebasan menjaga kelangsungan
hidup (hifz an-nasl). Keempat, kebebasan memiliki properti (hifz almaal), dan kelima adalah kebebasan beragama (hifz ad-din). Kelima
30
48
Uraian yang lebih konprehensif rnengenai ha1 ini, lihat Siti Musdah Mulia. Muslimah Refonnis: Perempuan
Pernbaru Keagarnaan. (Bandung: Mizan. 2005).
1 KOMNAS HAM
lbnu aMawim alJawz~yah.I'lan al-Muwaqqiin an Rabb aCAlamin. (Beirut: Dar al-Jil. T.T. Juz Ill, h. 3). Pandangan
serupa d~nyitakanluga oleh sederelan "lama yang sangat otorotaM d bldang fik~h,sepem ACGhazall (w 505H)
Fakhruddln
AW~ssalamlw 660 HO Nalmuddlnal-Tufi [w 716 H).lanu Talmlvan
- - ~a Razl fw 606 HI luuddln ~ b n
. (w
. 728
H.);Abu lshaq al-syatibl (w.
H.); dan Muhammad ib" Tahir a l - ~ s ~ u(w.
; 1393 H.). '
lbnu Rusyd, Fashl al-Maqal I Taqrir ma baina aCSyariat wa aCHikmah min aClftisha1aw Wujuh al-Nadharal-'Aqli wa
Hududal-Ta'wil.(Beirut: Dirasah al-Wihdah al-Arabiyah. 1999. h 125).
luuddin ibn Abdissalam. Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-An'am (Kairo: Dar al-Jil. T.T. h 72).
ii0
32
33
KOMNAS HAM
49
IV.
50
1 KOMNAS HAM
51
52
1 KDMNAS HAM
53
54
1 KOMNAS HAM
11.
12.
13.
14.
Hasil kajian Tim Perurnus Hubungan Agama dan Negara, Kerjasama ICRP dan Komnas HAM. Jakarta 2004.
Naskah belum dipublikasikan.
K M N A S HAM
55
56
1 KOMNAS HAM
57
58
1 KOMNAS HAM
Penutup
Keseluruhan peraturan dan penmdang-undangan tersebut hams direvisi
dengan mengacu kepada substansi ajaran semua agama dan kepercayaan yang
pasti selalu akomodatif terhadap nilai-nila kemanusiaan universal. Selain itu,
juga harus mengacu kepada spirit kebebasan beragama sebagaimana tercantum
dalam Pancasila, konstitusi UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
dan sejumlah kesepakatan internasional yang telah diratifikasi pemerintah,
termasuk Kovenan Hak-Hak Sipil Politik dan Kovenan lnternasional HakHak Ekonomi, Sosial dan Budaya (diratifikasikan dengan UU No. 12 dan No.
11 Tahun 2005). Hanya dengan cara itu masyarakat dan pemerintah dapat
mulai bekerja sama membangun kehidupan beragama yang sejuk, damai,
dan sejahtera yang di dalamnya terjamin kemerdekaan beragama bagi setiap
V.
KOMNASHAM
59
60
1 KOMNAS HAM
KOMNAS HAM
61
62
1 KOMNAS HAM
I.
11.
Di dalam Kenyataannya
Bagairnana mewujudkan yang normatif itu di dalarn kenyataan
kongknt, tidak selalu mulus. Selalu saja ada kesenjangan antara yang ideal
(das Sollen) dan yang nyata (das Sein). Ini tidak terhindarkan.Tetapi kita bisa
berusaha agar kesenjangan itu tidak terlampau lebar. Kita berusaha untuk
mendekatkan sedekat munglun antara yang normatif dan yang nyata itu.
Menarik untuk dicatat di sini, bahwa apa yang disebut kemkunan
otentik sesungguhnya telah lama tertanam di dalam masyarakat kita.
Secara khusus kita melihat ha1 itu di dalam masyarakat pedesaan. Di
KOMNAS HAM
63
64
1 KOMNAS HAM
Tetapi satu ha1 jelas, bahwa semangat kerukunan bukanlah sesuatu yang
instan. Juga bukan sesuatu yang dipaksakan. Ia adalah sesuatu yang
dibangun dan dibina dari bawah oleh para penganut agama-agama itu. Maka
kerukunan bukanlah sesuatu yang dibina secara indoktrinatip. Kerukunan
umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang
dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghomati, menghargai
kesetaraan dalam pengamalan agamanya dan kerjasama dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Maka untuk memeliharanya
dibutuhkan upaya bersama antar-umat beragama dan pemerintah.
In.
65
'
36
66
dengan (pengmut) agama-agama, merupakan pergumulan yang terusmenerus. Pertanyaan mendasar adalah, apakah negara berhak untuk
mencampuri urusan-urusan intern agama (menyangkut iman clan
kepercayaan, dan bagaimana mengekspresikannya). Jawaban standar
yang biasanya diberikan adalah, negara tidak mencampuri urusan internal
agama-agama. Urusan internal adalah urusan internal agama-agama. Tetapi
tidak terhindarkan, bahwa negara (sadar atau tidak) melampaui wewenang
itu. Penentuan adanya lima agama "resmi" saja di Indonesia, sebenamya
sudah merupakan campur tangan negara yang terlampau jauh. Negara
tidak berhak melakukan itu, apalagi kalau "kriteria" untuk menentukan
sebuah agama "resmi" atau tidak, tidak bebas dari "bias" agama tertentu.
Di Indonesia, penentuan itu didasarkan atas agama-agama "langit" (tradisi
Abrahamik). Dalam kaitan ini barangkali baik kita mencatat rumusan
William James. Ia memahami agama sebagai segala perasaan, tindakan,
dan pengalaman pribadi manusia dalam kesendiriannya, sejauh mereka
memahami diri mereka sendiri saat berhadapan dengan apapun yang
mereka anggap sebagai yang ilahi?6 Tentu saja penunusan William
James ini lebih mengarah kepada pengaiman psikologis seseorang dalam
berhadapan dengan yang dianggapnya ilahi. Namun dapat dipakai sebagai
rujukan untuk menghormati setiap orang yang mencoba mengekpsresikan
pengalaman agamanya, juga kalau pun pengungkapannya itu tidak selalu
cocok dengan knteria-kriteriayang ditetapkan (oleh negara). Sesungguhnya
pengalaman seseorang dengan Tuhan tidak dapat dihakimi oleh siapapun,
termasuk negara.
Dalam kaitan ini, perlu disinggung juga UU No.l/PNPS/1965
Tentang Penyalahgunaan danlatau Penodaan Agama. UU ini yang
didasarkan atas UU No. 5 Tahun 1969 memberi kewenangan (hampir)
"mutlak" kepada Departemen Agama untuk menentukan pokok-pokok
ajaran agama dan kegiatan keagamaan. Pertanyaannya adalah, tepatkah
Departemen Agama mempunyai kewenangan sebesar itu? Tentu saja masih
perlu dipertimbangkan alasan kehadiran departemen ini di dalam NKIU.
Sebagai demikian, kehadiran departemen ini adalah pengejawantahan
kehadirannegara,~ustrudengan demikian, ~ e ~ a ~ r n e s tidak
t i n ~berwenang
a
melakukan itu. Bukankah hak untuk mengekspresikan keberagamaan
seseorang bukan diberikan oleh siapapun? Yang berwenang adalah agamaagama itu sendiri. Maka, kalau ada "ajaran-ajm sesat" yang muncul di
William James, Pejumpaan Dengan Tuhan, Ragam Pengalaman Religius Manusia (Jakarta, 2004, p. 23)
I KOMNAS HAM
KOMNAS HAM
67
70
1 KOMNAS HAM
eberapa waktu yang lalu tiga tokoh elit ormas Islam secara
bergantian mengundang kami untuk membicarakan sejumlah isu
krusial menyangkut kehidupan beragama di Indonesia. Mereka
adalah KH Hasyim Muzadi (NU), KH Din Syamsuddin (Muhammadiyah),
dan KH Shalahuddin Wahid (ICMI). Selain penulis, juga hadir teman-teman
dari ormas lain. Isu krusial yang dibahas di antaranya adalah kasus Parung
(Ahmadiyah), kasus Cimahi (SKB 2 Menteri), dan fatwa MU1 tentang haramya
(sekularisme, pluralisme, dan liberalisme).
Ujung pembicaraan ketiga isu krusial tersebut belurn mencapai kesimpulan
bulat, sehingga masih dibutuhkan pendalarnan materi lebih Ianjut agar berbagai
akar permasalahan dapat dikupas secara tuntas. Namun ada satu kata sirnpul
yang disepakati bersama yaitu bahwa cara-cara kekerasan seperti eigenrichting
(main hakim sendiri) seharusnya secara optimal dihindarkan. Walaupun demikian
disadari pula bahwa eigenrichting itu muncul sebagai akibat tersumbatnya
mekanisme hukum yang ada.
Dialog dengan Jujur
71
kepada hadits Nabi Muhammad SAW, umat Yahudi telah pecah menjadi 71
golongan, umat Nasrani 72 golongan, dan umat Islam akan pecah menjadi 73
golongan. Nabi saw pun menjelaskan bahwa dari urnat Yahudi akan masuk surga
1 golongan, dernikian pula umat Nasrani dan umat Islam (Hadits sahih riwayat
Ibnu Majah:3226). Selebihnya adalah golongan sesat yang akan masuk ke dalam
neraka. Ciri golongan yang selamat adalah mereka yang mengikuti Nabi yang
diturunkan kepada mereka.
Dari sinilah kemudian memunculkan klaim kebenaran masing-masing
yang tak berkesudahan hingga memutih tulang bumi. Sayangnya tidak semua
klaim itu menggunakan metodologi yang benar sehingga sering memunculkan
taklid buta clan pengakuan yang membabibuta pula. Kita hams menyadari, bahwa
pertarungan ideologi --baik yang bersumber dan ajaran agama maupun aliran
politik-- bahkan fisik di sejumlah tempat akan terus terjadi sepanjang masa. Yang
kita perlukan adalah segala upaya untuk meminimalisir kerusakan yang muncul
akibat persinggungan perbedaan maupun perselisihan tersebut sehingga tercipta
kehidupan yang harmonis seperti tergambar dalarn masyarakat madani.
Manifestasi Agama
Setiap ajaran agama menuntut pemeluknya menjalankan keyakinannya
itu dengan benar dan utuh. Islam menuntut umatnya untuk menerapkan
syariatnya secara komprehensif (kaaffah) sebagaimana tertera dalam surat
Al-Baqarah:208. Umat Islam juga meyakini bahwa agamanya adalah satusatunya yang diridhoi oleh Allah swt (QS. Ali Irnran:19). Karenanya, umat
Islam meyakini bahwa agama di luar Islam tidak akan diterima oleh Allah swt
(QS. Ali Irnran:85). Keyakinan demikian tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Penulis yakin, para pemeluk agama lain yang hidup sekarang ini juga
mempunyai klaim serupa dengan istilah-istilah yang juga memililu pengertian
sama dengan keyakinan umat Islam. Di sinilah dibutuhkan mekanisme hukum
yang adil yang diberlakukan oleh pemerintah agar keimanan umat beragama
tersebut dapat termanifestasikan dengan baik dan tercipta hubungan sosial
yang anggun.
Pendekatan HAM
Hak yang paling asasi bagi seluruh umat manusia menurut Islam adalah
hak menjalankan agama dengan aman, hak hidup Cjaminan keamanan jiwa),
jaminan keamanan aka1 (berpikir), hak jaminan keamanan berketurunan, dan
hak jaminan keamanan kepemilikan (harta). Kelima HAM yang paling esensial
ini hams dijamin keberlangsungannya oleh siapa pun yang berkuasa di negeri
ini tanpa terkecuali.
Urutan kelima hak tersebut menunjukkan nilai yang tertinggi: 1. agama 2.
jiwa 3 . akal 4. keturunan, clan 5. hark Harta boleh habis demi mempertahankan
eksistensi keturunan. Harta dan keturunan boleh hilang demi mempertahankan
akal. Harta, keturunan, dan akal lebih murah daripada nyawa, sehmgga boleh
dikorbankan untuknya. Harta, keturunan, akal, dan jiwa tidak ada bandingannya
dengan keyakinan agama, karena agamalah yang akan dibawa ke alam baka.
Harta, keluarga, akal, dan jiwa akan kita tinggal di dunia yang fana ini sebagai
peninggalan yang akan dilanjutkan oleh ahli waris.
Di sinilah pemerintah hams mampu melindungi kelima HAM yang paling
penting tersebut. Di sinilah Islam menurunkan syariatnya untuk melindungi
kelima HAM tersebut yang disebut HUDUD (batas-batas hukum Allah yang tidak
boleh dilanggar, QS. Annisa:14). Imam Syatibi menjelaskan dengan sangat baik
bahwa maksud diturunkannya syariat Islam (Maqashidus-Syariiiah) di antaranya
adalah untuk menjamin eksistensi kelima HAM tersebut sehingga manusia dapat
menjalankan agamanya dengan bak, aman jiwanya, sehat akalnya, tenteram
keluarganya, dan terjaga hartanya.
Untuk itu, pelanggaran terhadap kelima HAM tersebut telah ditetapkan
jenis hukumannya oleh Allah swt dan Rasul-Nya saw. Pelanggaran terhadap
jaminan beragama adalah pemurtadan atau pengingkaran (riddah) sehingga
pelanggarnya dihukum mati sebagaimana sunnah. Pelanggaran terhadap jiwa
clan keamanan umum adalah membuat kerusakan di muka bumi (hirabah atau
terorisme) sehingga dihukum mati, disalib, dipotong tangan dan kaki secara
bersilang, atau diusir dari negerinya (QS.Almaidah:33). Juga disyariatkan qisos
untuk menjamin hak hidup setiap orang, yakni dengan pembalasan, denda
(diyat), atau pemaafan (QS.Albaqarah:178-179).
Pelanggaran terhadap akal adalah dengan menenggak khamr (miras,narkoba,
dm sejenisnya), sehingga dihukum cambuk (QS.Almaidah:90-91) atau dihukum
mati sesuai sunnah. Sedangkan pelanggaran terhadap berketurunan adalah belzina,
sehingga pelakunya dihukum mati (rajam) bagi mereka yang sudah berkeluarga,
s e m i sunnah. Adapun yang belum menikah dihukum cambuk 100 kali dan
diasingkan selama satu tahun. Dan untuk menjaga kehormatan keluarga, maka para
penuduh zina hams mendatangkan ernpat orang saksi. (QS.Annisa:15). Terakhir,
pelanggaran terhadap harta dengan mencuri atau korupsi adalah dihukum potong
tangan atau dibunuh (QS.Almaidah:38).
KOMNAS HAM
73
Peran Negara
Untuk menjalankan Hudud hams melibatkan kekuasaan negara demi
menghindari kekacauan dalam masyarakat, termasuk aksi main hakun sendiri
yang membahayakan eksistensi seseorang. Oleh sebab itu, para ulama Salahs
Shaleh telah sepakat perlunya otoritas (kekuasaan) dan wilayah-secara defacto
maupun dejure-untuk menjalankan hukum ini. Artinya, tidak boleh sembarang
orang menjalankan Hudud, melainkan hams orang yang mempunyai otoritas dan
wilayah. Ini logis, sebab kalau semua orang boleh menghukum maka masyarakat
ini akan kacau balau. Yang berhak menentukan apakah seseorang itu melakukan
pelanggaran atau tidak adalah Mahkamah Syariah yang adil, kompeten, dan
kapabel.
Adapun pelanggaran hukum di luar masalah Hudud disebut Ta5zir
yang jenis hukumannya akan ditentukan oleh Mahkamah Syariah dengan jalan
ijtihad. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi sejumlah kejahatan kontemporer
yang mengancarn kelima HAM tersebut. Sedangkan masalah-masalah lain yang
menyangkut wilayah privat seperti ibadah ritual, pemikahan, dan sebagainya
tidak membutuhkan intervensi negara. Sehingga setiap orang bebas menjalankan
keyakinannya asalkan tidak mengganggu ketenteraman umum atau tindak pidana
yang membahayakan kelima HAM tersebut.
Pendekatan Konstitusi
UUD 45 pasal29 ayat 2 menegaskan bahwa negara menjamin kebebasan
warganya untuk beribadah menurut keyakinannya. Sejujurnya, selama ini umat
Islam yang mempakan penduduk mayoritas bangsa Indonesia (data KPU 2004
sebanyak 88,2% dari total penduduk) belum dapat menjalankan ibadah secara
utuh. Persoalannya, ibadah belum didefinisikan secara gamblang sehingga ada
sejumlah umat Islam yang salah menafsirkan pengertian ibadah, yakni hanya
menyangkut ritual saja. Sementara untuk mengums negara ajaran Islam justru
ditinggalkan, kecuali NAD yang diberi otonomi khusus menerapkan syariat
Islam secara utuh dalam bingkai NKRI.
74
1 KOMNAS HAM
VII
KOMNAS HAM
75
76
1 KOMNAS HAM
77
bisa dipaksakan oleh otoritas apapun. Inilah makna "la ikrahaJi a1 din" (tidak
ada paksaan dalam agama). Di sinilah asas Liberalisme dan Pluralisme bertemu
dengan Sekularisme, yang sesungguhnya tidak bertentangan dengan agama,
termasuk Islam.
Kebebasan beragama, dengan dalil tidak ada paksaan dalam agama,
adalah prinsip yang sangat penting dalam Sekularisme dan hams dipahami
makna dan konsekuensinya, baik oleh negara maupun masyarakat. Oleh sebab
itu, prinsip ini perlu diwujudkan ke dalam suatu UU yang memayungi kebebasan
dalam keberagamaan. Maksud UU ini adalah, pertama, agar bisa membatasi
otoritas negara sehmgga tidak menimbulkan campur tangan negara dalam ha1
akidah (dasar-dasar kepercayaan) dan ibadah maupun syari'at agama (code)
pada umumnya. Kedua, di lain pihak memberikan kesadaran kepada setiap
warganegara akan hak-hak asasinya, dalam berpendapat, berkeyakinan dan
beragama. UU semacam itu hams mendefinisikan kebebasan beragama secara
lebih detil.
Pertama, kebebasan beragama berarti kebebasan untuk memilih agama
atau menentukan agama dan kepercayaan yang dipeluk, termasuk menganut
aliran kepercayaan apapun apalagi kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
serta kebebasan untuk melaksanakan ibadah menurut agama dan keyakinan
masing-masing. Kebebasan dalam arti ini paling banyak dipahami, namun tetap
mengandung masalah.
Mengapa ustad Usman Roy dari Malang, yang mengajarkan sholat
dwibahasa dituduh telah menodai agama, sehingga ia dibawa ke pengadilan dan
kelompok masyarakat tertentu mendesak pemerintah untuk menghukurnnya?
Padahal berdasarkan kebebasan agama dalam arti ini, seseorang boleh saja
melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinamya itu. Bagi Ustad Usman Roy,
melakukan sholat dengan bahasa yang dimengerti artinya, lebih baik daripada
membaca sesuatu yang tidak diketahui maknanya. Memang pandangan ini
bertentangan dengan pandangan otoritas keagamaan yang berpegang teguh pada
pendapat bahwa sholat itu hams dijalankan sebagaimana dicontohkan oleh nabi,
termasuk dalam memakai bahasa Arab. Tapi ustad Usman Roy punya pandangan
lain yang, walaupun dianggap menyimpang dari kesepakatan para ulama, namun
masuk aka1juga. Buktinya ada sejumlah orang yang mengikuti ajarannya. Apa
ha1 ini tidak diperbolehkan, padahal tidak sholatpun tidak dilarang? Apalagi
menurut Imam Besar Hanafi, sholat dengan bahasa setempat diperbolehkan.
Karena itu berdasarkan asas kebebasan menjalankan ibadah menurut keyakinan
masing-masing (individu), ustad Usman Roy clan pengikutnya, berhak memperoleh kebebasan beragama, dalam arti menjalankan ibadah yang sifatnya sangat
individual itu.
Kedua, kebebasan beragama berarti pula kebebasan untuk tidak beragama.
Walaupun UUD menyatakan bahwa "negara berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa" sebagai sila pertama dalam Pancasila, namun kebebasan beragama
juga berarti bebas untuk tidak percaya kepada Tuhan atau untuk berkeyakinan
atheis, seperti tokoh Hasan dalarn novel Ahdiat Kartamihardja "Atheis". Yang
penting keyakinan Atheis itu tidak menggangu orang lain, misalnya dengan
menunjukkan sikap antiagama atau merendahkan orang yang beragama atau
menghina Tuhan di muka umum. Orang Atheis bukan berarti tidak bermoral,
bahkan filsafat Atheisme bisa bersifat humanis, seperti ditunjukkan oleh filsafat
Eksistensialisme Sartre. Menurut orang atheis, Tuhan itu adalah ciptaan pikiran
manusia yang dimitoskan dan disucikan, sedangkan tidak beragama berarti bebas
dari mitos dan kredo (keimanan) yang disusun oleh manusia sendiri.
Ketiga, kebebasan beragama berarti juga kebebasan untuk berpindah
agama, artinya berpindah pilihan dari satu agama tertentu ke agama lain.
Berpindah agama tidak berarti murtad, melainkan menemukan kesadaran bam
dalam beragama. Apalagi murtad dianggap sebagai hukuman yang mengandung
konsekuensi, misalnya hams bercerai dari istri atau suami, sebagaimana pernah
dialami oleh Nasr Hamid Abu Zayd dan novelis perempuan Nawal El Sadawi di
Mesir, yang mengakibatkan Abu Zayd hams berpindah ke Negeri Belanda yang
sekuler dan menjamin kebebasan beragama. Berpindah agama juga tidak disebut
kafir, karena istilah kafir bukan berarti mempunyai agama lain, melainkan karena
menentang perintah Tuhan. Sebenarnya perpindahan agama ini harus dianggap
peristiwa biasa dan sering disambut oleh kalangan agama yang baru dipeluk,
sebagaimana nampak dalam penayangan orang-orang mu 'alaf (orang yang baru
memeluk agama Islam) atau pemberian zakat kepada mu'alaf yang seringkali
sebelumnya memeluk agama lain.
Keempat, kebebasan beragama berarti pula bebas untuk menyebarkan
agama (berdakwah), asal dilakukan tidak melalui kekerasan maupun paksaan
secara langsung maupun tidak langsung. Kegiatan untuk mencari pengikut,
dengan pembagian bahan makanan, beasiswa kepada anak-anak dari keluarga
miskin atau pelayanan kesehatan gratis dengan syarat hams masuk ke dalam
agama tertentu, adalah usaha yang tidak etis, karena bersifat merendahkan
martabat manusia, dengan "membeli" keyakinan seseorang. Namun program
bantuan semacam itu boleh dilakukan oleh suatu organisasi keagamaan,
asal tidak disertai syarat masuk agama tertentu. Kegiatan semacam itu akhirakhir ini banyak dilakukan di kalangan Muslim, temtama pada bulan puasa.
Karena itu pemberian bantuan kepada golongan miskin hams dengan motivasi
KOMNAS HAM
79
bersikap adil terhadap semua agama. Suatu peraturan pemerintah yang bersifat
membendung penyebaran agama atau membatasi kegiatan beribadah, dianggap
bertentangan dengan UU. Sebagai konsekuensinya, pencantuman agama dalam
kartu identitas, misalnya, tidak diperlukan, karena bisa membuka peluang bagi
favoritisme dan diskriminasi yang menguntungkan agama yang dipeluk oleh
mayoritas penduduk atau berpengaruh di pemerintahan.
Ketujuh, negara hams memperbolehkan perkawinan antara dua orang
yang berbeda agama,jika ha1 itu sudah menjadi keputusan pribadi dan keluarga.
Yang penting adalah mencatatkan diri sebagai warga kepada lembaga pencatatan
sipil, bahwa dua orang anak manusia itu telah mengikat tali perkawinan untuk
selamanya. Dalam ha1 ini negara tidak mencampuri urusan prosedur pernikahan
berdasarkan ketentuan atau upacara agama apapun, keduanya melangsungkan
pernikahan, berdasarkan pilihan dan kesepakatan calon pengantin.
Otoritas agama boleh mengeluarkan fatwa yang menghararnkan perkawinan lintas agama, atau keluarga dan individu boleh menganggap haram pernikahan antara pemeluk agarna yang berbeda. Namun fatwa itu tidak mengikat
negara dan pandangan keluarga dan individu itu hanya berlaku pada dirinya
sendiri. Tentu saja, jika perkawinan itu ingin dinilai sakral dan dianggap sah
oleh agama, maka yang bersangkutan dianjurkan mengikuti tata-cara dari suatu
agama tertentu yang sudah memiliki tatacara baku berdasarkan suatu akidah
tertentu.
Di samping itu, negara harus melarang perjanjian pernikahan untukjangka
waktu tertentu (kawin mut'ah). Sebab jika perkawinan seperti itu diperolehkan,
maka akan terjadi kerancuan moral (moral hazard). Karena itu maka perjanjian
pernikahan yang dimaksud di situ adalah perjanjian pernikahan yang mengikat
sepasang manusia untuk seumur hidup atau selamanya, kecuali jika timbul
masalah yang menyebabkan perceraian yang diputuskan oleh pengadilan.
Kedelapan, dalarn pendidikan, setiap siswa atau mahasiswa diberi
hak untuk menentukan agama yang dipilih untuk dipelajari. Pilihan tidak
boleh berlaku otomatis menurut agama orang tua, walaupun orang tua bisa
mempengaruhi, bahkan menentukan pilihan anak-anaknya. Hak ini mencakup
pilihan untuk tidak mengikuti pelajaran agama tertentu. Namun minimal ada
keharusan bagi setiap siswa atau mahasiswa untuk mengikuti pelajaran budi
pekerti atau etika berdasarkan Pancasila, karena pelajaran itu penting bagi
pembentukan warga negara yang baik (good citizen). Ketentuan itu berlaku bagi
semua sekolah, baik negeri maupun swasta. Materi budi pekerti atau etika itu
sendiri bisa digali dari semua agama dan kepercayaan, baik dari dalam maupun
luar negeri. Sudah tentu, nilai-nilai yang diambil dari agama-agama itu harus
KOMNAS HAM
81
82
1 KOMNAS HAM
VIII
KOMNAS HAM
83
84
1 KOMNAS HAM
I.
Pengantar
Setidaknya ada tiga masalah pokok yang akan dijawab oleh tulisan
ini, yaitu: (i) bagaimana hubungan antara agama dan hak asasi manusia;
(ii) bagaimana memecahkan masalah ancaman tindak kekerasan terhadap
kebebasan beragama; dan (iii) apakah perlu ada lembaga 'arbitrase' untuk
masalah agama. Penulis akan berusaha mengemukakan pokok pikiran
yang dapat memberikan sumbangan bagi pemecahan ketiga masalah yang
dikemukakan itu dari perspektif hak asasi manusia.
11.
35
Dan sudut pandang psikolcgis agama d'takrifKan sebagai 'segala perasaan. Indakan, dan pengalaman pribadi manusia dalam
kesendiriannya, sejauh mereka rnemahami din mweka sendiri saat bemadapan dengan apapun yang mereka anggap sebagai
yang ilahi [William James. Pejumpaan dengan Tuhan, raga. PengalamanRelig~usManusia. Jakarta,ZM)4:23. dikutip dan makalah
Andreas A Yewangce. Agama dan Negara: Poliik Negara dalam MelindungiKebebasanBeragama dan Berkeyakinandi Indonesia,
makalah seminar nasianal yang diselenggarakanoleh Komnas HAM dan ICRP, Ycgyakarta 13 Desembw 2 W .
Persoalan definisi ienis In1terletak pada kesulitan membedakanantara penqetahuan'natural' dan 'supra-natural'. Sebaqai mntoh.
keyakinan bahwa . & o r a n g hams menghormatiayah dan jbunya biidisebut sebagai kepercayaan natural atau s u ~ ~ r a l ?
Karena ha1In1mengacu kepada makhluk emplris, mengapatidak bisa dijustifikasi berdasarkanpertimbanganpmktik mumi?
KOMNAS HAM
85
kelompok ~osial?~
Pendekatan kedua, menalai&an agarna sebagai setiap rangka~an
jawaban yang koheren pada dilema kemanusia - kelahuan, kesakitan atau
kematian - yang membuat dunia bermakna, sebagaimana pendapat Max Weber
dan ahli teologi Paul Tillich [Abercrombie etal., 1970:207].40Marx mernasukkan
agama ke dalam ideologi yang lebih luas, yang juga mencakup ide-ide seperti 'sisi
kebaikan' (rightness)dari perwingan dalam sistem kapitalis warx dan Engels 1939
(1845-6); Bl~ch,19891.
Berbeda dengan pendekatan sosiologis itu, pralchk empiris yang terjadi di
Indonesia dan pemerintah Indonesia menyatakan pengertian sendiri tentang agama.
Agama secara sepihak oleh pemerintah (sedikitnya sebag~anaparat negara) dan
sebagain kelompok-kelompok masyarakat diperlakukan sebagiil sistem kepercayaan
yang disusunberdasarkankitab suci, dan olehkarena itu mengandung ajaranyangjelas,
mempunyai nabi dan sudah barang tentu juga kitab suci. Itulah sebabnya seringkali
terdengar pendapat yang salah kaprah bahwa agama yang diakui pemerintah adalah
agama-agama: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budhisme [cf Sitompul,2005].
Pendekatan sosiologis dan prakhk empiris di Indonesia itu memiliki implikasi yang
be&&,
karena rnisalnya agama-agarna lokal yang dipmMkh dan banyak pula
pemeluknyadi Indonesia- yang dalampendekatansosiologisterrnasukdalamkategori
agama - tidak diakui sebagai agama, dan oleh karena itu pengddnya mendapt
pbkukan yang bersifat diskriminat$ terutama dari (aparat, birokrat) negam41
Dokumen hak asasi manusia tidak memberikan takrif terhadap kosakata
'agama', karena disamping pemikirau tentang 'agama' sulit diperikan &lam rumusan-legal, juga untuk menghmdari kontroversi filosofis dan ideologis. Hukum
hak asasi manusia intemasional memiliki sebuah katalog tentang hak dan alat-alat
yang digunakan untuk melindungi hak-hak itu di bawah judul yang diyaitu
'kebebasan berpikir, b e r k a dan beragama' daripada menakrifkan kebebasan
itu sendiri. Lebih lanjut, kebanyakan kaidah intemasional yang dikembangkan
(bemifat) melindungi pengejawantahan atau ungkapan (ekspresi) dari kebebasan
beragama atau berkeyakinan mer,2004:65]. Di dalam ranah HAM, dikenal istilah
'hak-hak asasi manusia dasar' ('Basic Human Rights'), yaitu hak asasi manusia yang
pada umumnya dianggap amat perlu untuk memberikan keutamaan atau prioritas di
39
40
41
Dabm arb ini, beberapa ahli wsiologi telah memperluas pemikiran tentang agarna seraya memasukkan nasionalisme.
Perspektif mutakhir in1 dikritlk karena amat inklusif, karena hampir setiap kegiatan publik - sepak bola, misalnya - bka
memiliki akibat intearatif baoi kelomook sosial.
Dalam arti ini, agaGa adalah tanggapan manusia pada barang-barang yang menjadi kepeduliank i i pada akhirnya. lmplikasi
dari takrif ini adalah bahwa semua manusia adabh rdigius, karena k i i semw dihadapkan pada m l a h eksistensialdari
penyakif menua dan kematian.
Pdakuan dskrimtnatif dari negara a& pengikut a g m clan kqmayaan lokal sects sddn kelima agama yang ' d i i didmi'
ilu misalnya twydi dabm pemenuhan hak sipil para pengikut agamaagama lokal dan aliran kepmyaan ( d i i y a menyebut
agama bin yang 'diakui' di dalam KIP, meski sebenarnya Wak rnemeluk agama yang 'diakul' m, hak untuk d i i di dabm
catatan sipil atau KUA ketika yang befsangkutanmelakukan pemikahan. clan ketika anak mereka lahir dari pemikahan itu).
86
1 KOMNAS HAM
dalam hukurn dan kebijakan baik di tingkat nasional maupun internasional. Hak-hak
itu adalah hak yang memastikan kebutuhan primer material dan non-material dari
manusia untuk bisa mengarahkannya ke keberadaan (manusia) yang bermartabat.
Meskipun tidak ada daftar hak yang diterima secara mum tentang hak yang bersifat
dasar ini, akan tetapi termasuk di dalamnya adalah hak untuk hidup, hak atas makan,
papan, pelayanan medis, kebebasan dari penyiksaan, dan kebebasan beragama
(termasuk kebebasan berkeyakinan) [Conde,1999: 111. Hak-hak itu, dan juga secara
keseluruhan hak asasi manusia, didasarkan pada satu asas yang hndarnental yaitu
'martabat yang melekat pada manusia' [Groome, 1999:4].42
'Kebebasan' atau k e m e r d e k ~ i nadalah
~ ~ niiai utama dalam kehidupan
sekalipun tidak selamanya
politik Eropa yang senantiasa diagung-ag~ngkan~~
dipraktikkan. Arti penting kebebasan ini dapat dilihat pada ketentuan yang
mengatur hak-hak orang merdeka dan budak, di mana setiap orang yang tidak
memililu kebebasan, praktis tidak memiliki tempat di mata hukum. Prinsip
ini pula yang digunakan sebagai ukuran Eropa untuk menilai masyarakat sipil
di wilayah lain terutama Asia, dan dari ha1 itulah sering terjadi pertentangan
[Minogue,19891. Di belakang konsep 'kebebasan' (kemampuan untuk bertindak) itu terdapat gagasan tentang 'kebebasan kehendak' ('free-will'), yaitu
suatu ajaran yang menyatakan bahwa individu memiliki kebebasan memilih
dalam menentukan tindakannya dan bahwa kelakuannya tidaklah ditentukan
sebelumnya secara keseluruhan oleh faktor yang melampaui kendalinya."'
Takrif 'kebebasan' dalam perspektif HAM menyatakan bahwa 'kebebasan'
adalah 'kekuasaan atau kemampuan bertindak tanpa paksaan; ketiadaan kendala
(hambatan); kekuasaan untuk mernilih tindakan seseorang vis-a-vis negara',
42
43
44
Paragraf pertama dari DUHAM menyatakan: 'Menimbang bahwa penegakan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama
dan mutlak dari semua anggota keluarga manusia adalah dasar kemerdekaan, keadilan dan perdamian dunia' [Gunawan
Sumodiningrat dan lbnu Puma (ed.). Landasan Hukurn dan Rencana Aksi Nasional HAM di Indonesia 2094-2W9(Jakarta.
Deputi SekretarisWakil Presiden Republik Indonesia Bidang Kewilayahan. Kebangsaan, dan Kemanusiaan. 2004. p. 9)].
Di kalangan penduduk Yunani kuno konsep elutheria hanya dimiliki oleh pria dewasa sehingga hanya mereka pula yarg memiliki
tempat dalam kehidupan publik atau agora. Bagi bangsa Romawi kuno kebebasan dijelmakan sebagai konsepsi liberlas yang
menjadi kund status atau martabat seseorang. Aturan tentang kebebasan atau kemerdekaan bangsa Romaw kuno tersebut
dinyatakan dalam konstitusi mereka yang juga dijadikan sumber mot'vasi selama berabad-abad dalam menaklukkan bangsa la~n.
Ketika para tokoh humanis sip11di ltalla pada abad perlengahan mula1 memunculkan ide republik, Julius Caesar tampil sebagai
tnnnn lltama dslam membela nonsepslkehehasan ntmo yang menernpatkdn hangw R o m m sebagal penguasa [ hat Aaam Kdper
and Jess~caKuoer The Smal Scence Encnlooedrallondon 8 New Yo% Ro~tledae8 deaaan Paul 1989 DD 31451
Pada awal zamen modem di Eropa, konsepgi kebebasin menjadipokok pertentangaiantara lembaga-lembaga'monarkidan tmdisi
republik yang mulai muncul di masa itu. Maslng-masing pihak rnmiliki penafslran send~ritentang makna kebebasan. Bagi mereka
vana mendukuna m a r k l . kebebasan hanva berlaku dalam kehiiu~an~ribadlnamun tidak dalam kehidUDan DUblik. Sementara
hGgipara ilm-n polifk seperti Thomas~obbes,kebebasan adalah kutlak, roh hukum, dan harus dimiiiki oikh setiap indiiidu.
Dan pemikiran In1berkembanglah paham ~ndivlduallsmeyang menyatakan hahwa setiap lndwidu berhak mengejar kepentingannya
sendin. Kalangan yang mendukung ideide republik mengutamakan aspek moral kebebasan yarg mereka artikansebagai peluang
bagi siapa saja untuk bwparhsipasldalam kehidupan publlk. Tokoh-tokohnya banyak bermunwlandl Peranws khmusnya setelah
tejadinya revolusi. Sejak zaman Montesquieu para ilmuwan menilai kebebasan modem sebagai individualisme yang agak berbeda
dengan kebebasan sip11yang diagungkan pada masa-masa sebelumnya. Namun gagasan perlunya partislpasibagi semua p~hak
bdak pernah terlepas dari pemik~ran
polmk Empa sejak saat itu [Kuper 8 Kuper,1989:314-51.
KOMNAS HAM
87
Ilmu4lmu Wl pada umumnya melihat kebkuan manush d w a n ~endekatandeteninislik dalam ar6 bahwa di dalam kdakxan ih
disebabkano&faktw-faktw budaya, sosial, pslkologikal,dan fi<&ikal, yang biasanya dianggap mdampaui pengendalianindiiual.
Pandangan ( n senngkal~dlan~t sebaga~WaN sangkalan abs uern~ngk~nan
dan kerna~ank b a s ,ebb bnjut. kebudayaan sxara
pam& ar senrgkal d l nat terulama seoagal cerslfalrnmbatasl kebeoasan ndMual membatasl KeaebasannyaUnNk cefindak mat
ka~aan
sosta ntlal-n~
a sank% harapan peran dsn Temp kebvdayaana ~ k mdapat
l
rnenyed~aKan<eceoasan6-a
orang dan uga
~ernbaiasanSelaln nu rnJdmL sosla rnernben~anMnaan
sau konsws vana temfifiaas~oan kenwdak cebas K h m v a a n
knyediakan konsepsikebebasan yaw awal kepada om&,
taw; kebud&aan oraw Wak mern~liki
mikjran atau asuirasi.
~ebuda~aan
juga menyediakan piiha&ilihan kepada c&.
Orarg (~ndNidu),
karena sifahya y r g Ida" kekayaan ragah dari
&p kebudayaan, mem~l~ki
lomng p~lthan
bndakanyang terbukabaginya.Sebagai tarnbahan, kehdupan budaya, soslal,dan psi&qkal
adalah arnat rurnt sehinacla kekakuan dan stabilitas kaidah sosral, dan satu ienis sWuklur keoribadian b h t u da~atmembuat tindakan
man- bdak domatis :an sederhana.M a p kombinasi perxlabman kekdupan teitentu ;ndrvdu adalah unlk.'~adas 4 u I k waktu,
dm (sMJ
mdwdu M a sebagal saw satuan dengan kektmzan bwbndak sesual dengan kehendak dan hasrat pnbad~Indwdu, sdaln
sebagal pmduk dan satu rangkalan anaslr frs~olcg~kal
ps!ko!qlkal, smal dan budaya yarg rum&juga berada sebagalenmas yang unlk
yang bemadapan defigan satu p d ~ b natas beragambndakan Jadl kemauan bebas dan satu Wk pandang soso!cgs bisa ladl dlllhat
sebagal kmungkmanu m k rnenyesualkan pada mbvasl dabm (Innet mombon) danpada tekanan ekstemal yarg s e w d~hadap
dl dalam memllth antara b m a m o~llhanvana dlsed~akanoleh kebudavaan Semua masvarakat dan kelommk beranaoaoan bahw
kdakuan indNldual adalah pakg ddak s&ra-pabl di bawah kendallnh. Tanpa anggakn atas kehendak'bebas dialm
;
harapan
soslal k h , kehdupan sosial barangkaliakan menydi Wak murghn. Kehdupan sosial rnenuntut keaslian(origi~lbs)dan inddualiis.
juga prediktab~litasdan konformttasm
n 8 Theodorson. 1969.161-21
Groorne mern~lah'kebebasan dasai ke dalam: (1) hak-hak dan perltndungan pribadi: dan (2) hakhak dan perlindungan di
dalam sistem kejahatan dan keadilan. Di dalam hak dan perlindungan pribadi termasuk: (i) kebebasan beragama; (ii) kebebasan
berpikir. (iii) kebebasan berekspresi; ('N) kebebasan pers; (v) kebebasan bersenkat: (vi) kebebasan bergerak; (vii) hak untuk
keh~dupanpribad~,(viii) hak untuk berkumpul: (IX) hak untuk berserikat:(x) hak atas pendidikan: (xi) hak untuk belpartisipasidalam
pemerintahan. Kebebasan berpikirdankebebasan beragama termasuk hak yang 'nondercgable'[DermotGroome, The Handbook
of Human Rights Investigation, Northborough, Massachusetts. Human Rights Press. 2001. p 61
'Empat Kebebasan' ini rnengacu ke pldato yang bersejarah Franklin Delano Roosevenpada Januari 1941, di mana ia menyatakan
bahwa eksistensi dari perdarnaian dunia dikaitkan dengan empat kebebasan yang esens~al.Kebebasan ini tenasuk 'freedom of
expression; freedom of worshtp: freedom from want (dalam ha1 in1adalah kepaslian atau keamanan ekonomi): freedom from fear
lcenauranaan Derseniataan).Pdalo ini kemudian meniadi satu dokurnen kund dl dalam uoava membentuk PBB dan memberikan
pertihung& dan peiajuaan HAM. Pidato itu dlbenkan sebelum AS terlibat dalam peran; dunia Il [H. Vctor Conde. A Handbook
oflntematonal Human R~ghtsTermimIosy, Linmln 8 London. University of Nebraska Press. 1999, p. 471.
bhat' Re~nders,Johannes S.. "Human Rights from me Perspective Of a Narrow Concept~onof Relig~ousMorality", dalam
Abdullahi A. An-Naim et.al.. Human R~ghtsand Religious Values: An Uneasy Relationship?, Amsterdam 8 Michigan, Ediion
Rodop~8 Wrlliam B. Eerdmans Publishing Company. 1995:7-9.
Reinders mengemukakanpandangan Nasr ini untuk menjelaskantafsiran Islam atas kebebasanmanusia. Akan tetapi Nasr dianggap
tidak melihat klitik yang luas atas kurangnya kebebasan ~ndtvulualdl dalam masyarakat Islam sway 6dak terdorong mendukung
deb-karena
46
47
48
49
88
1 KOMNAS HAM
43
44
Paragraf pertama dari DUHAM menyatakan: 'Menimbang bahwa penegakan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama
dan mutlak dari semua anggota keluarga manusia adalah dasar kemerdekaan, keadilan dan perdamian dunia' [Gunawan
Sumodiningrat dan lbnu Puma (ed.). Landasan Hukum dan Rencana Aksi Nasional HAM d i Indonesia 20062009 (Jakarta.
Depuli Sekretaris Wakil Presiden Republik Indonesia Bidang Kewilayahan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan. 2004, p. 9)].
Di kalangan penduduk Yunant kuno konsep elutheria hanya d~m~liki
oleh pna dewasa sehlngga hanya mereka pub yang memiliki
tempat dalam kehidupan publik atau agora. Bagi bangsa Romaw kuno kebebasan dijelmakan sebagai konsepsi libertas yang
menjadi kund status atau martabat seseorang. Aturan tentang kebebasan atau kemerdekaan bangsa Romawi kuno tersebut
dinvatakan dalam konstitusi mereka vana iuaa diiadikan sumber motjvasi selama berabad-abad dalam menaklukkan bawsa lain.
~ebkapara tokoh humanis sipil dl ~ta~~apada
abad pertengahan rnulai memunwlkan ide republik. Julius Caesar tampiliebagai
tokoh utama dalam membela konsepsl kebebasan kuno yang menempatkanbangsa Rornaw sebagai penguasa [IthatAdam Kuper
and Jessica Kuper. The Social Science Encycbpeda (London & New York: Routledge & Keagan Paul, 1989, pp.31651.
Pada awal zaman modem di Empa, konsepsikebebasan menjadipokok pertentangan antara lembaga-lembaga monarkidan Misi
republ~ky a y mulai munwl dl masa itu. Masing-masing pihak rnemiliki penafsiran sendtn tentang makna kebebasan. Bagi mereka
yang mendukung monarki, kebebasan hanya berlaku dalam keh~dupanpnbad~namun bdak dalam kehidupanpublik. Sementara
tw bagi para ilmuwan politik sepefi Thomas Hobbes, kebebasan adalah mutlak, mh hukum, dan haws d~m~liki
deh setiap i n d i i u .
Dan ownik~rantnt krkembanalah aha am lndivldual~smevarm menvatakan bahwa sebao l n d i ~ i berhak
d~
menqeiar kewntinaannva
send'in. Kalangan yang mendikuk idwde republlk men;luta"makG aspek moral kebebasan yang mereka aGkin sedagai &ua&
bagi stapa saja untuk berpamslpasl dalam keh~dupanpublik. Tokoh-tokohnya banyak bermunculan dl Peranus khususnya setelah
tejadinya revolusi. Sejak zaman Montesquieu para ilmuwan rnenilaikebebasan modem sebagai individualism yang agak berbeda
dengan kebebasan slpll yang diagungkan pada masa-masa sebelumnya. Namun gagasan perlunya pafislpasi bagi semua pihak
bdak pemah terlepas dan pernikiran politik Empa sejak saat ihr [Kuper & Kuper,1989:314-51.
KOMNAS HAM
87
46
Ilmwlmu sasial pada umumnya M h a t Mkmn man& dengan pendekatan deterministik dabm ar6 bahwa di dalam kelakuan I
disebabkan &h faMw-faktw M a w . &I. osikdoaikal.dan fis~lwikal,vana biasanva d i a m a melam~aui
~
oenaendalian indiiual.
Pandanqan ini seringkal~dtantd skbaqal srdhr sanikatan atas keiunqinan dari kdnauani;el$s. ~ebihlaitd. kebudayaan secara
partikula?seiingkali &hat terutama sebagai betxifat membatasi kebebaian indiual, membatasi kebebasannkuntuk bertindak lewat
kaldah smal. nilaiilla~.sanksi. h a m n owan. dsb. Tetaoi. kebuda~andlkewl dawt menvedikan kebebasankexda orana dan lwa
pembatasan Selam IIU
~lmwlmusrmal membenkan rwngan bag1satu konsepsl yang temwdmikastdan kehendak bebas ~ebudayaan
menyedikan komepsl kebebasanyang awal kepadaorang deh karenatanpa kebudayaanorang Wak memlllh pemtk~ran
atau asptrasl
Kebudayaanjugs menyedikan pl~hanpllthan
kepada wang Orang (lndwldu) karena sfalnya y a y llnves dan kekayaan ragam dan
sebap kebudayaan memll~klororg p~l~han
bndakanyang W u k a baglnya Sebaga~tambahan kehldupanM a y a swal dan pslkokglkal
adalah amat rumt sehlnqqa kekakuandan stab~lltaskaldah soslal dan satu lenls sbuktur kepnbadlantertmtu dapat membuat bndakan
manusla bdak otwnas din sederhana Sebap kombmnas pengataman kehldupan teltem ~ n d ~ adalah
d u un~kPads satu mk warn,
dm (seM lndlvldu berada sebacla~satu sahtan denaan kekuasaan berhndak sesual deman kehendak dan hasrat Dnbadl l n d ~ d ud a m
sebaga;produkdati satu rangkaian anasirfiiclq;kal, psikologikal, sosial, dan budaya
rumit,juga bemda sebagai entitas yang unik
yang bemadapan dengan satu p~lihanatas beragam tindakan. Jadi kemauan bebas dan satu b'bk pandang soswlqis b~saydi dilihat
sebaga~kemungkinan untuk menyesuaikanpada mbvas~dalam (innet mornon) daripada
ekstemal yang segera dihadapi
dl dalam memil~hantara beragam p~fihanyang d i i a k a n okh kebudayaan. Semua masyarakat dan kelompok bwanggapan bahwa
kelakuan individual adabh pal~ngWak secara p a b l di bawah kendalinya. Tanpa anggapan atas kehendak bebas di dalam harapan
soslal Ma, kehiupanM I barangkali akan menjadi Wak mungkin. Kehldupansos$l menunM keaslim (originalitas) dan ~ndiualltas.
juga prediktabilitasdan konfwmitas[Theodason 8 Theodwson. 1969,161-21.
Groome memilah 'kebebasan d a d ke dalam. (1) hak-hak dan perllndungan pribadi: dan (2) hakhak dan perlindungan di
dalam sistem kejahatan dan kead~lan.Di dalam hak dan perllndungan pribaditermasuk: (i) kebebasanberagama; (ii) kebebasan
berpikir; (111)kebebasan berekspresi; (N) kebebasan pen; (v) kebebasan berserikat; (vi) kebebasan b e w e d ; (vii) hak untuk
kehidupan pribadi: (viil) hak untuk berkumpul; (ix) hak untuk berser~kat;(x) hak atas pendldikan: (xi) hak untuk berparhsipasidalam
oemerintahan. Kebebasan bem~kirdankebebasanberaaama termasuk hak van0 'nonderwable' IDermot Groome. The Handbook
~ u m a Rights
n
investigation,'Northborough.~assach;setts. Human ~ i g h ~k ; k s s2001.
,
p.61. '
'Empal Kebebasan' ini mengacu ke p~datoy a y bewarah Franklm Delano Rooseven pada Januari 1941, di mana ia menyatakan
bahwa ekslstens~dan perdamalan dunia dikaitkan dengan ernpat kebebasanyang esensial. Kebebasanini termasuk 'freedom of
expression: freedom of worship; freedom from want (dalam ha1 ini adalah kepastian atau keamanan ekonomi); freedom from fear
(penguranganpersenlataan) Piato mi kemudianmenladi satu dokumen kund dl dalam upaya membentuk PBB dan memberikan
pntnd.mgan dan pernapaan HAM P~datonu dlbenkan sebelum AS terltbat dalam Perang Dunla Il [h Ndor Cunde, A Handmk
of IntemaronalHuman Rohls Terminolwv. Llnmln 8 London. Unwersltv of hebraska Press 1999 D 471
Lihat: Reinden, ~ohannisS.. " ~ u m a r ~ i ~from
h t sthe ~ers~ectwe'0f
a Narrow Conception bf ~ e l i ~ i o uMoraliv,
s
dalam
Abdullahl A. An-Nalm et al Human Rights and Religious Values: An Uneasy Relationship?, Amsterdam 8 Michigan, Edition
Rodopi 8 William B. Eerdmans Publishing Company, 19957-9.
Reinders mengwnukakanpandangan Nasr ini untuk menjelaskan Wsiran Islam atas kebebasan manusia. Akan !etapi Nasrdianggap
tidak meiihat kribk yang luas atas kumngnya kebebasan mndiiual dl dalam masyarakat Islam seraya Wak tedorax~mendukung
bf
47
48
49
88
1 KOMNAS HAM
r e m i hukum di dalam Islam. Di dalam pandangan fooloh Nasr, modd normat3 bagi masyarakat lslam terletak pada 'Abad
K-sans
Islam, sehingga s?jarah adalah upaya ying sedang Mangsung untuk kembali pada kesadaran, kdtuatan, dan kejayaan
dari keadaan di masa lalu itu. Pada masa nab1 varm berakhir hirmaa keemwt khaliih sesudah nab1 wafat keadilan yaw lslami
k p a i bentuknya yang asli. Pada masama&pemerintahan di&&inasi
berikutnya hanyalah terjadi pembusukankkadilan dari
yang telah tejadi pada Abad Keemasan [lihat Nasr, S.H., 'The C o n q t and Reality of Freedom in lslam and Islamic Civilion.'
dalam A.S. Rosenbaum (ed.). 7'he Philosophy of Human Rghts - lntemabbnal Pempxfrfe. Westport. Connew Greenwwd
Press, 1980: 851011. Dengan dernikian Nasr memberikan watu pandangan yang leb~hbenifat retrospektif danpada yang ideal
prospektif.Konseps~
rehospekWatasatasjarahini d i m k oleh FwadZakana, searang profeswpada UniversrtasWII,sebagal tafsiran
konswvabf atas nak asasi manusla da am Islam, karena selatah dlanggap seoaga sejarah yang menurun Hasflnyaaoalan sJatu
erna ah am an hacasasl manLwad ddldrll c!nservabune lslam yanq bersbl stabs aalam arb bahwa ha1m omrunkandan yang c~no'
aan yang sucl secam asah dan sumDersumber n&um slam
Mas16(l~natZakana F Human Rghts n W Arab Woml The
Is amlc Content dalam P Rlmur (ed Phibsoph~m!Foundam of Human Rgnts Pam. UNESCO 1986 227.41 1
DUrlAM
rDeklaras1Lnrvem Hak Asas, Man~slsladalan kese~akatanlnternaslona varm dllanabtanaanloleh Dam ~ l h a k( ~ a r a )
- yang menjadi anggota PBB. Meskipun ~eklaras;~ t uberupa k k a k a t a n yang tidak minglkat secai hukum (not l&ally bindingj
dan Mak menyed~akanperlindungan yang dapat dipaksakan, akan tetapi me~pakanpemyataan definU yang pertama tentang
'hak asasi manusia' dan yang menyebutkan secara jelas hakhak rtu yang benifal un~ersal[Groome. 2001:4]..
Groome [2001:4] mendaffarenam dokumen historis, yam: (i)Magna Charta (1215). (ii) B~llof Rights England (1689); (iii) Rightsof
Man France (1789): (IV) Bill of Rlghts USA (1791): (v) Rlghts of Russian Pmple (1917); dan (VI) lntemahonal Bill of Rights (1966).
Yaitu bahwa setiap orang memlllk! hak atas kebebasan berp~kir,berkesadaran, dan beragama, termasuk kebebasan
memeluk, menerima, memelihara atau meNbah agama atau kepercayaanya.
Yaitu bahwa setiap orang memiliki hak atas kebebasan, baik sendiri-sendiri maupun di dengan liyan dalam komunitas, di
dalam ranah pribadi atau publik, untuk mewujudkan agama atau kepercayaannya di dalam pengajaran, praktik, bada ah.
Yaitu bahwa lidak seorangpun dapat dipaksa yang dapat mentsak atau melemahkan kebebasannya untuk memeluk atau
menerima agama atau kepercayaan yang menjadi pillhannya.
Yaitu bahwa Negara berkewajiban untuk melindungi dan memastikan semua individu di dalam wilayah kewenangannya
hak atas kebebasan beragarna atau berkeyaklnan tanpa membedakan ras. warna kul~t,jenis kelamin, bahasa, agama atau
keyakinan, politik atau pendapat lain. secara nas~onalatau wilayah asal, kepemtllkan atau status lainnya
Yaitu bahwa Negara berkewajiban menghormati kebebasan orang tua dan wali yang absah untuk menjamin pendidikan
agama dan moral anak-anak mereka sesuai dengan keyakinannya sendiri, dan memberikan perlindungan atas hak setiap
anak atas kebebasan beragama atau berkeyaklnan searah dengan pewbahan kemampuan dari anak.
50
..
51
52
53
54
55
56
\ - -
yak
KOMNAS HAM
89
58
59
60
Yaitu bahwa satu segi yang penting dari kebebasan beragama atau berkeyakinan adalah kebebasan bagi komunitas
keaaamaan untuk memiliki kedudukan hak kelembaaaan auna menaaktual~sasikanhak-hak dan keDentinaan mereka
sebagai komunitas. Komunitas keagamaan sendiri mehliki kebebasa; beragama atau berkeyakinan, terma&k hak atas
otonomi dalam urusan mereka sendiri. Meski komunitas keagamaan blsa jadi tidak ingin memiltkt status hukum yang resmi.
akan teta~tsaat ini diakui secara luas bahwa mereka berhak untuk memilikl status hukum sebaoai baaian dari hak mereka
atas kebebasan beragama atau berkeyakinan dan khususnya sebagai satu segi dari kebebasan untuk mengejawantahkan
keyakinan keagamaan bukan hanya secara individual, akan tetapi juga benama liyan di dalam komunitas.
Yaltu bahwa kebebasan untuk mengejawantahkanagama atau keyaklnan seseorang bisa dilakukan hanya pada pembatasan
yang dlrumuskan oleh undang-undang dan yang perlu bagi perlindungan atas keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral
publik atau hak-hak fundamental dari I~yan.
Yaitu bahwa Negara sama sekali tidak boleh menangguhkan hak kebebasan bergama atau berkeyakinan, bahkan di dalam
masa darurat publik.
Tanggung-jawab moral berarti bahwa bangsa lndonesia dan semua individu anggota dari bangsa lndonesia terikat pada
ketentuan yang bersifat afirmatif ini, yakni bahwa mereka wajib menjadikan hak asasi manusia sebagai nilai dan asas
di dalam keh~dupanpribadi dan bermasyarakat. Kaidah-kaidah sosial di dalam masyarakat dan lingkungan yang lebih
kecil (misalnya lingkungan keluarga, ketetanggaan, dan kelompok-kelompok sosial) haruslah searah dengan kaidah hak
asasi manusia. ~ a n ~ ~ " n ~ - j ahukum
w a b dlmaksudkan negara secara imperatif haruslah menciptakan hukim positif yang
cocok fcomolv)
. . .. denaan hukum intemasional hak asasi manusia. atau denaan kata lain. semua ketentuan oerundanaundangan dari yang paling tlnggi, yaitu Undang-undang Dasar (Konstitusi), sampai dengan yang paling rendah di dalam
hukum tata-negara (tenasuk peraturan daerah) haruslah t~dakbertentangan dengan asas hak asasi manusia.
KonsMetan UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia secara tesurat menyatakan: 'bahwa bangsa Indonesia sebagai
anggota Perserikatan Bangsa-Bangsamengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung Gnggi dan melaksanakan
Deklarasi U n l v m l tentang Hak AMsi Manusia yang diietapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai tnstmmen
intemasional lainnya mengenai hak asasi manusla y a y telah dienma deh negara Repvblik Indonesia' (garis bawah dari MMB).
Pasal8E UUD 1945 (yang dtamandemen) menyatakan bahwa: (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya, memilih pendid~kandan pengalaran, memtl~hpekejaan, memllih kewarga-negaraan, memilih tempat tinggal di
wilayah negara dan mentnggalkannya serta behak kembali. (2) Sebap orang b&ak atas kebebasan meyakini kepemyaannya.
menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan ha6 nuranlnya (gans bawah dan MMB) [Sumodiningrat & Puma (ed ), 2004:9].
UU No. 3911999 pasal 22 menyatakan bahwa: (1) Settap orang bebas memeluk agamanya masingmasing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Lihat penjelasanPasal22 ayat (1) UU No. 3911999
Pasal8 UU No. 39H999 menyatakan bahwa: 'Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia
terutama menjadt tanggung jawab Pemerintah' Dalam ha1 kebebasan beragama, lebih lanjut Pasal 22 UU No.3911999
menyebutkan bahwa: (2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya maslng-maslng dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannyaitu.
61
62
63
64
65
90
I KOMNAS HAM
sisi dari satu mata uang yang sama, yaitu: (i) hak atas kebebasan beragama66
(berkeyakinan, termasuk keyakinan ideologis clan politik) dan beribadat menurut
agama dan keper~ayaannya;~~
(ii) kewajiban negara untuk menjamin kemerdekaan
setiap orangmemeluk agama dan beribadat (termasuk kewajiban untukmelindungi,
memajukan, menegakkan, dan memenuhi hak omndwarga negara).
Hak atas kebebasan beragama yang bersifat mutlak dan berada di dalam
forum internum merupakan wujud dari 'inner fi-eedom' Peedom to be) itu termasuk
hak yang 'non-derogable' [Gr0ome,2001:6],~~
artinya hak yang secara spesifik
dinyatakan di dalam perjanjian hak asasi manusia sebagai hak yang tidak bisa
ditangguhkan (pemenuhannya) oleh negara selama dalam keadaan bahaya, seperti
perang sipil atau invasi militer. Hak yang 'non-derogable' ini dikenal sebagai suatu
yang 'paling inti'" dari hak asasi manusia." Hak-hak 'non-derogable' ini selalu
hams dilaksanakan dan hams dihormati oleh negara pihak dalam keadaan apapun
[Conde,1999: 961.71Sedangkan hak untukmengekspresikan atau mengejawantahkan
agama atau keyakinan (misalnya hak menyebarkan ajaran agama atau keyakinan,
hak beribadah, hak mendirikan tempat ibadah) termasuk dalam hak untuk bertindak
(fkedom to act), menurut bebempa kovenan hak asasi manusia bersifat dapat
66
67
68
69
70
71
Dalam kategori 'kebebasan beragama' itu termasuk 'kebebasan berpindah agama'. Pasal 18 DUHAM menyatakan:
Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this right includes freedom to change his rel~qion
or belief, and freedom, either alone or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in
teachina. oractice. worshlo and observance faaris bawah dari MMB). Kebebasan bemindah aoama atau ke~ercavaantldak
t e r c a n t i di dalam UU NO. 3911999 tentang~akAsasi Manusia basal 22 (1) menyatakan-bahwa: 'setihp orang bebas
memeluk agamanya masing-maslng dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu'. Ada pendapat
yang lebih radikal yang menyatakan bahwa dalam istilah 'kebebasan beragama' itu terkandung arti 'kebebasan untuk
tidak beragama' dan bahkan 'kebebasan untuk tidak bertuhan'. Kosakata 'kepercayaan' ('belief) dimasukkan setelah
kosakata 'agama' ('religion') dalam rumusan pasal tenang kebebasan beragama untuk menghindari konfrontasi besar
yang d~motivasioleh pol~tikantara negara Barat dengan negara Komunis. Kosakata 'kepercayaan' itu dimaksudkan untuk
mengacu baik ke pandangan teistik maupun pandangan yang ateistik, agnost~k,rasionalistik, dan pandangan lain yang
memakzulkan agama dan kaidah-kaidah agama [lihat: Lerner. Nathan, 'The Nature and Minimum Standard of Freedom of
Rel~glonor Belief dalam Lindholm, Durham, Tahzieb-Lie. Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook. Leiden,
Martinus Nijhoff Publtsher. 2004:65].
Pasal23 (1) UU No. 3911999 menyatakan: 'Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyaikeyakinan poliiknya.'
Pasal4 (2) ICCPR menyebutkan: 'No derogation from Articles 6.7.8 (paragraphs 1 and 2). 11.15.16 I n d 18 may be made
under this provision'.
Core (Human) Rights adalah satu istilah yang tidak secara khusus ditakriRtan sebagai hak-hak asasi manusia mana yang 'inti.
Hak-hak inti ini memasukkan, misalnya, hak untuk hidup, kebebasan berbicara, dan hak bebas dari penyiksaan. Hak-hak itu
dianggap bersifat esensial bagi keberadaan manusia yang bemartabat. Gagasan 'hard core human rights' ini kurang lebih
sama denaan hak-hak vana bersifat 'nonderwable' IConde. A Handbook of lnfernabonaiHuman Riahts Teninoloav.
-. Lincoln
& ~ondon:universit~oi ~ebraskaPress. 199&26]. '
Gmome menyebutnya dengan 'fundamental rights' [lihat: Graome. Dennot, The Handbook of Human Rights Investigations:A
comprehensiveguide to the investigation and documentationof violent human rights abuses. Northborough.Massachusetts,
Human Rights Press. 2001:6].
Groome mencatat beberapa hak asasi yang dianggap 'non-derogable' yakni: (a) hak yang bersifat pribadi dan hak atas
perlindungan, temasuk. (i) perlindungan atas hak untuk hidup. (ii) perlindungan atas hak untuk tidak disiksa, (iii) hak
atas perlakuan hukum yang sama; (b) hak-hak pribadi dan kebebasan, termasuk: (iv) hak kebebasan beragama, (v) hak
atas kebebasan berpiklr; (c) hak dan perlindungan di dalam sistem keadilan pidana, termasuk yang berlaku sepanjang
waktu, yaitu: (vi) hak dan perlindungan berupa pelarangan atas 'double jeopardy'. (v) perlindungan berupa pelarangan
penerapan hukum 'ex-post facto'; dan perlindungan hak dari yang bersifat hukuman dan penahanan, yaitu: (viii) hak
perlindungan atas mereka yang dihukum mati. (ix) ) hak perlindungan dari penahanan karena kewajiban kontraktual
[lihat: Groome, Dermot, The Handbook of Human Rights Investigations:A comprehensive guide to the investigation and
documentationof violent human rights abuses. Northborough.Massachusetts.Human Rights Press, 2001:6].
KOMNAS HAM
91
III.
73
92
Klausulpembatasan hak kebebasan untuk mengejawantahkan atau mengekspresikan agama atau keyakinan itu dapat ditemukan
di dalam pasal 18 (3) Kovenan lntemasional tentang Hak Sipil dan ~ o k (international
k
Covenan i n C i l and Political Rights1
ICCPR): 'Freedom to manifest one's relioion or beliefs mav be subied onlv to such limaationa as are orecn'bed bv law and are
necessary to protect public safety, order, health, or morals &me fundamental rights and freedom of OW&. Juga daiat diimukan
dalam Konvensi Empa tentang Hak Asasi Manusia (Eumpen Convention on Human R~ghts)pasal9 (2); dan Konvens~Amenka
tentang Hak Asasi Manusia (Amencan Convention on Human Rights) Pasal 12 (3) [lihat. Nowak. Manfredand Vospemik. Tanja,
Pen~ssibleRlstrichons on Freedom of Religion or Belief, dalam Lindholm. Durham. T a h z i b b (eds.), Fadliiting Freedom of
Relig~onor Belief: A Desk Book. Leaen, Marbnus Nijhoff Publisher. 20041.
Konsep varian keagamaan santri, abangan, priyayi dikenalkan oleh antopalog Amerika terkenal Clifford Geertz. Hasil keja
peneltian lapangan yang kemudian dibukukan dengan judul The Religion of Java menjadi semacam 'kitab sud' bagi mahasiswa
anbopologi yang rnelakukan kaj~antentang Jawa [lihat: Geertz.Clifford, The Re1;gkm ofJava. New Ywk 8 London, The Free Press
8 Coll~er-Maanillan
LimRed. 19691.
1 KOMNAS HAM
dengan jabatan terakhir na'ib atau kepala KUA-, juga berstatus sebagai pamong
desa. Penulis diajar mengaji oleh bapak penulis sendii, baik mengaji (membaca
dan menghafalkan) al Qur'an maupun mengaji beberapa kitab kuning seperti kitab
sulam & s h a h @tab dasar tentang syari'ah atau hukum Islam), selain diajar dan
diharuskan mendirikan shalat lima waktu secara tertib dan disiplin, dan melakukan
puasa di setiap bulan ramadlan. Pada saat penulis disunat, diadakan upacara slametan
dan khataman (penulis hams melafalkan hafalan al Qur'an penulis tanpa melihat
tulisan di mushaf sebanyak sekitar sepuluh surat dalam al Qur'an) yang merupakan
pernyataan bahwa penulis telah menyelesaikan pelajaran mengaji a1 Qur'an.
Cerita nyata ini bisa diteruskan dan dirinci lebih lanjut, akan tetapi
pertanyaanlpersoalannyaadalah: apakah penulis (dan juga semua individu lain)
di dalam sejarah penulis dan dalam kenyataan empiris memiliki kebebasan
memilih agama ketika penulis (dan individu lain) lahir, berada, dan berkembang
di dalam batas-batas struktur kebudayaan dan struktur sosial, atau secara lebih
umum apakah penulis (dan individu lain) memiliki kebebasan beragama, baik
yang bersifat internal maupun eksternal? Apakah kebebasan penulis (dan juga
semua individu lain) dalam ranah forum internum yang luasnya amat terbatas
sejauh yang disediakan oleh struktur budaya dan struktur sosial di dalam
mana penulis berada seperti itu (telah) memiliki kebebasan internal yang sama
dengan luasnya forum intemum yang penulis miliki pada penulis dewasa dan
matang setelah mengalami dan memiliki kontak (hubungan) yang lebih luas
dan sosialisasi dalam struktur kebudayaan dan struktur sosial yang beragam
dan bisa jadi juga lebih luas, atau kebebasan internal penulis memiliki lingkup
yang sama atau berbeda dengan kebebasan internal individu lain yang lahir
dan hidup di dalam struktur budaya dan struktur sosial yang lain?
Jika secara normatif ada ketentuan (di dalam DUHAM dan juga W
No. 3911999) bahwa 'setiap orang dilahirkan bebas', maka di dalam realitas
sosial-budaya sejatinya 'setiap orang dilahirkan di dalam struktur kebudayaan
dan struktur sosial tertentu' (ada orok-kecil dekil kurang gizi yang lahir dari
ibu proletariat 'ateistik atau agnostik' yang kelaparan dan tinggal di kampung
kumuh, sehingga proses kelahirannya 'amat alamiah' tetapi amat berisiko
tinggi karena tanpa bantuan dan peralatan medis yang memadai; disamping
ada pula bayi mungil-montok yang lahir dari ibu borjuis Islam atau Kristen
saleh yang kaya-raya dan tinggal di rumah 'gedongan' di daerah elitis yang
melahirkan anak-anaknya di rumah sakit mewah denganjaminan material yang
berlimpah; adakah orok-kecil dekil kurang-gizi atau bayi montok-mungil itu
memiliki kebebasan beragama sejak awal?). Pendek kata realitas menunjukkan
bahwa penulis dilahirkan sebagai Islam (dalam struktur kebudayaan santri), dan
KOMNAS HAM
93
pada kenyataannya lahir dalam klas bukan petani penggarap atau proletariat
(dalam struktur klas sosial pamong dan kapitalis pedagang), atau secara umum
mengarah ke kesimpulan praktis bahwa 'semua individu dilahirkan secara
tidak sama dan tidak bebas.'
Jadi pesan yang ingin penulis sampaikan lewat paparan di atas adalah:
kenyataan bahwa penulis beragama Islam bukanlah sejak awal secara sadar
penulis menjatuhkan pilihan agama penulis secara bebas Qadi pada titik awal
penulis beragama Islam, kepada penulis tidak dihadapkan pilihan-pilihan yang
dapat secara bebas penulis pilih, tetapi di lain pihak penulis pada saat dilahirkan
itu belum memiliki kemampuan untuk bebas memilih), atau dengan kata lain
setidaknya pada saat awal pilihan itu bagi penulis 'tidak ada kebebasan memilih
agama'. Pada titik ini keberagamaan Islam penulis, setidaknya pada awalnya,
ditentukan oleh keluarga dan lingkungan sosial-budaya penulis. Kesimpulan
seperti ini tampak searah dengan temuan para ahli sosiologi pendidikan, seperti
Colleman [1966], dan Bowles [1971a], serta Bowles & Gintis [1972]. Colleman
(1966) berpendapat bahwa latar-belakang keluarga jauh lebih penting dalam
mempengaruhiperilakumurid, meskipuntiga-serangkai(triumvirat)kelembagaan
'rumah, lingkungan, dan sekolah' akan berinteraksi dalam menentukan besarkecilnya pengaruh it^.'^ Mirip dengan tiga-serangkai kelembagaan Colleman itu,
meskipun paradigma dan pendekatannya berbeda, Bowles .dan Gintis (1977),
yang neo-Marxist kontemporer, melihat wujud triumvirat-kelembagaan itu
adalah 'keluarga, kerja, dan ~ e k o l a h ' Kenyataan
.~~
konkrit empiris-historis ini
memperlihatkan bahwa penulis 'tidak dilahirkan sama dengan individu lain'
dan 'penulis tidak mengenyam kebebasan memilih agama, setidaknya pada titik
awal keberagaman penulis' yang berlawanan dengan ketentuan normatif bahwa
'setiap orang memiliki hak atas kebebasan bergama'.
Penulis (antara lain) kuliah di Universitas Kristen Satya Wacana, yang
merniliki, menjaga, dan mengembangkan upacara keagamaan dan tradisi Kristiani
(berdoa, kebaktian), juga jadual kegiatan perkuliahan, yang praktik dan irama
kegiatannya tidak selalu searah, sama, dan bahkan kadangkala bertabrakan dengan
praktik dan irarna kegiatan sosial-keagamaan dalam tradisi santri, meskipun hams
dicatat dengan garis tebal bahwa tidak ada larangan resmi untuk menjalankan
ibadah non-kristiani, misalnya menjalankan shalat pada waktunya, tetapi pada saat
yang sama juga tidak ada upaya dan pihak universitas untuk menyelaraskan dua
74
75
94
1 KOMNAS HAM
kepentingan yang berbeda it^.'^ Contoh kecil: jadwal kegiatan kuliah yang tidak
searah dengan waktu shalat dan saat berbuka puasa dalam bulan ramadlan, yang
dapat dan pasti menimbulkan ketegangan mahasiswa muslim dalam menentukan
pilihan yang dilematis: meninggalkan kegiatan akademis untuk melakukan
ibadah keagamaan dengan risiko kehilangan kesempatan inemperoleh peluang
dan informasi, atau tetap melanjutkan kegiatan akadernis dengan risiko menunda
atau mengabaikan kewajiban kegamaan yang mengakibatkan 'dosa' dan terkena
sanksi sosial dari komunitas keagamaan? Jika contoh yang penulis paparkan lebih
dulu berkaitan dengan Jfreedom to be ' yang bersifat internal, maka contoh terakhir
mernperlihatkan ketegangan dan batasan di dalam yeedom to act 'berkenaan dengan
pengejawantahan dan ekspresi keberagamaan. Hal yang kurang lebih sama bisa jadi
dialarni oleh murid-murid muslim (sekolah dasar sampai dengan menengah atas)
yang bersekolah di sekolah-sekolah Kristen (Katolik), atau sebaliknya.
Ketegangan-ketegangan semacam itu dapat saja dipersepsikan oleh
sebagian dari komunitas Islam dan para pemimpin agama Islam paling
sedilut sebagai wujud dari penggerusan (erosi) secara sistematis derajat
keberagamaan murid dan mahasiswa muslim dan bahkan bisa dilihat sebagai
upaya 'kristenisasi', yang gencar didengungkan pada tahun 1960-an dan 1970an. Tetapi benarkah ada 'kristenisasi'? Paling sedikit ada dua kemungkinan:
.Pertama, tidak ada kegiatan dan upaya 'kristenisasi.' Kemungkinan ini
bertentangan dengan anggapan bahwa agama Kristen adalah agama misi, dan
oleh karena itu kegiatan misionaris (antara lain kegiatan 'Pekabaran Injil')
adalah merupakan kegiatan yang hams dilakukan oleh gereja agar 'orang-orang
kafir menjadi beriman kepada Jesus.' Tetapi kendatipun misalnya kegiatan
nyata 'kristenisasi' itu tidak ada atau tidak dilakukan oleh gereja, 'ketakutan atas
upaya kristenisasi' (terutama dari sebagian para pemimpin komunitas Islam) itu
tampak nyata, sebagaimana ditunjukkan oleh berbagai upaya-tanding kelompok
Islam tertentu menangkal dan melawan 'kristenisasi' seperti misalnya upaya
untuk membentuk organisasi dan melakukan kegiatan 'misi I ~ l a m "pada
~ tahun
1960-an, juga ditunjukkan oleh latar-belakang lahirnya SKB No. l/BER/MDNMAGI1969 yang dianggap kontroversial, dan akhir-akhir ini pada parohan kedua
tahun 2005 munculnya 'Gerakan Anti Pemurtadan' di Jawa Barat yang terlibat di
dalam penutupan gereja. Hal ini mengingatkan kembali kepada pernyataan yang
amat terkenal dari Thomas bahwa "if men define situations as real, they are real
76
77
Ada kemungkinan alasan mengapa tindakan penyelarasan dua kepentingan yang berbeda itu, ketika orang
menyatakan bahwa Univenitas Kristen Satya Wacana adalah un~ersitasswasta (oleh karena itu dianggap
berhak membuat peraturan sendiri secara otonorn, dengan atau tanpa memperhatikan adanya kepentingan yang
berbeda), dan universitas Kristen (dan oleh karena itu agama dan keyakinan yang resmi adalah agama dan
keyakinan kristiani yang dianggap sah bila hanya mernperhatikan dan mengutamakan tradisi Kristiani).
Kantor pusat 'M~siIslam' itu berada di Jalan Kramat Raya, Jakarta.
KOMNAS HAM
95
in their consequences'; atau dengan kata lain tindakan yang disebutkan itu dapat
menjadi petunjuk yang h a t dari betapa nyatanya 'ketakutan atas knstenisasi' itu
ada di kalangan umat Islam, atau setidaknya di sebagian kalangan Islam.
Kedua, kegiatan 'kristenisasi' itu ada dan nyata, serta membawa berbagai
akibat. Jika demikian, adakah bukti-bukti empiris? Salah satu 'bukti empiris'
ditunjukkan oleh penelitian lapangan yang dilakukan oleh Prof. DR. Riaz Has~an,'~
yang pada tahun 1984-1985 menjadi dosen tamu di Universitas Gajah Mada.
Sebagian data dan kesimpulan yang dketengahkan antara lain sebagai berikut:
Keseluruhan penduduk muslim merosot dari 87,5% pada tahun 1970
menjadi 87,1% pada tahun 1980 [Hassan,1985: 1511;
Di Daerah Istimewa Yogyakarta sebagian besar penduduk provinsi ini
adalah Muslim (di semua kabupaten jurnlah muslim adalah 93% pada tahun 1983;
di kotamadya Yogyakarta hanya 80,3%). Akan tetapi dalam kurun waktu 1978
sampai dengan 1983 penduduk Muslim berkurang kira-kira 1,7%, sedangkan
penduduk Nasrani (Kristen dan Katolik) bertambah kira-kira 1,5%;
Antara tahun 1978 sampai dengan tahun 1983, jumlah penduduk DIY
naik 4,9%, di mana kenaikan penduduk Muslim sedikit di atas 8%, sedangkan
penduduk Kristen naik 48.9% dan Katolik naik 87,1% (kenaikan di kalangan
orang Hindu 20,3% dan Buddha 99,6%);
Data di sebuah desa di Kabupaten Sleman menunjukkan bahwa pada
tahun 1965, 100% penduduk beragama Islam, dan pada tahun 1984 penduduk
yang bergama Islam tinggal55%; sedangkan penduduk beragama Kristen pada
tahun 1965 tidak ada, dan pada tahun 1983 menjadi 44%;
Data pemilikan tanah dan ikatan keagamaan di desa sama yang
disebutkan itu menunjukkan bahwa dari 40 ha tanah di desa, penganut agama
Islam memiliki 3 1,6 ha (desa memiliki 8,4 ha) pada tahun 1965, tetapi pada
tahun 1984 hanya tinggal 16,2 ha yang dimiliki oleh penganut Islam; penganut
Kristen dan Katolik pada tahun 1965 tidak ada, tetapi pada tahun 1983 mereka
menguasai (memilki) 15,7 ha (desa pada tahun 1984 memiliki 8,l ha).
'Kristenisasi' tersebut, sebagaimana telah dikatakan, mendorong upaya-tanding 'Islamisasi' sebagaimana diungkapkan oleh media dan kegiatan
kelompok Islam, yang agamanya juga dianggap sebagai agama misi (dakwah).
'Tslamisasi' itu misalnya ditandai oleh:
o
Berdirinya organisasi 'Misi Islam' dan kegiatan yang dilakukan
oleh organisasi ini sejak tahun 1960-an;
o
Pada tahun 1990-an ketika struktur peluang politik sedikit terbuka
78
96
Lihat Hassan, Prot DR. Riaz. Islam: dari Konservatisme sampaiFuMamentalisme.Jakarta. Penerbii CV. Rajawali. 1985
1 KOMNAS HAM
Tesis Huntington yang dianggap 'provokatf itu telah banyak memancingkontroveni dan kritik, yang kemudian mebimbulkan
kritk-balik dari Huntington seraya mempertahankan tesisnya. Huntington membangun 6 (enam) premise dasar yang
dijadikannya landasan dari kedua pokok pikirannya, yaRu: (i) kecenderungandan dlnamika internal 8 (delapan) peradaban
besar yang amat berbeda (Barat. Konfusius. Jepang, Islam, Hindu. Slavik, Ortodoks. Amerika Latin, dan Afrika) yang
b e ~ j u n gpada benturan antar-peradaban:(ii) potensi konflik akan mendom~nasi
dunia masa dat~ng,dan potensi konfllk yang
terbesar adalah antara peradaban Barat dengan koalisi Islam-Konfusius. yaitu antara hegemoni-arogansi Barat, intoleransi
Islam, dan fanatisme Konfusionls (lihat. Pengantar edisi tejemahan bahasa Indonesia 'Benturan Antar Peradaban'. Samuel
P. Huntington. Benturan Antar Peradabandan Masa Depan Politik Dunia, Yogyakarta. Penerbit Qalam.2002).
KOMNAS HAM
97
98
1 KOMNAS HAM
IV.
82
Lihat misalnya: Victoria Neufeldt and David B. Guralnik, Webster's New World Dictionary of American English. Cleveland 8
New York. 1988. p. 1490; AS Homby. Orford Advanced Leamefs Dictionary of Current English, London 8 Tokyo, Oxford
University Press. 1974, p. 976; Hugo F. Reading Dictionary of Social Science (Kamus Ilmu-ilmu Sosial). Jakarta, Penerbii
CV Rajawali, 1986, p. 457; Lukman Ali (ed.), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1996, p. 458, Yan
Pramadya Puspa. Kamus Hukum. Semarang, PenerbiiAneka Ilmu, 1977, p. 884; Tom Bottomore(ed.), A DictionaryofMamist
Thought. Oxford. Blackwell Reference. 1985, pp. 514-5.
Joan Bondurant. seorang tokoh non-kekerasan yang diikuti banyak orang lain, mendefinisikankekerasan sebagai '?he willful
application of force in such a way Ulat 11is intentionally injurious to the person or group against whom it is applied. [Here]
Injury IS understoodto lncldae psychotoglcalas well as phplcal narm L~hatBondurant Joan V Conqlsst of Vlolence The
Gandhran
Phrlosoohv
-~ , ,of Conflrcl (hew RevasedEd $on). Pnnceton. NJ. Pnnceton Unlversltv Press. 19881
will, and that is
Bond menyatakan bahwa 'kekerasan' adalah the 'use'& force against another's body, against that
expected to inR~ctphysical injury or death upon that person'. Lihat: Doug Bond. Nonv~olentDirect Act~onand the D i i o n of
Power', dalam Wehr et.al., Justice Withouf Violence, Boulder 8 London, Lynne Rienner Publisher, 1994, pp. 5479.
Sharp. The Pol~iicsof Nonvrolence Actron, Part Ill, p. 609.
83
84
KOMNAS HAM
99
88
Goldhamer and Shils. 'Types of Power and Status'. The American Journal of Sociology 45 (2) September 1939): 171-182;
sebagaimana dikutip oleh Bond. Nonvilent Dtrect Action and the D i i s i o n of Power, dalarn Wehr et.al.. Justice Wdhout
Violence. Boulder & London. Lynne Rienner Publishe, 1994. pp. 65-6.
Lihat: Paul Wehr & Sharon Erickson Nepstad, 'Violence, Nonviolence, and Justiuce in Sandinista Nicaragua, dalam Wehr
et.al., Justice Without Violence, Boulder 8 London, Lynne Rlenner Publisher. 1994, pp. 81-98.
Boulding, mengutip pernyataan yang terkenal dari UNESCO. 'Wolence begins in the minds of men' (dan b i i diimbahkan
dalarn keadaan tertentu perempuan dan anak-anak), dan oleh karenanya hanya di dalam pikiran orang dan orang lain
kekerasan bisa dlhapuskan [lihat: Boulding,1994:454].
Untuk acuan tentang pikiran dan pandangan Grarnsu lihat: Gramsci. Antonio. Selections fmm the Prison Notebooks.
New York, International Publisher, 1975; Hams, David. Fmm Class Struggle to the Politics of Pleasure : The Effect
of Gramscisnism on Cultural Studies. London-New York, Routledge, 1992; Sassoon. Anne Showstack, Gramsci's
Politics. Sewnd Edition. Minneapolis. Univenity of Minnesota, 1987, A Model of Hegemonic Control, dalam Laitin, David
D., Hegemony and Culture : Politics and Religious Change among the Yoruba. Chtcago & London. The Univenlty of
Chicago Press. 1986; Antonlo Gramsci. Bab 7, dalam Bellamy, Richard. Modem Italian Social jheory :From Pareto
to the Present, edisi bahasa Indonesia :Teori Sosial Moderrn penpektif Itall. Jakarta, LPJES. 1990; Class.Culture and
100 /
KOMNAS HAM
'keagungan' dari satu klas di satu pihak, dan sebaliknya perasaan teralienasi
klas di pihak yang terpinggirkan, bertolak dari dominasi dan hegemoni. Jika
dominasi menggunakan kekuatan (fhrce) yang dilakukan oleh aparatus represi
negara (RSA= Repressive State Apparatus), maka hegemoni menggunakan
ideologi lewat 'kerelaan' ('consent') dengan alat aparatus ideologi negara
(ISA= Ideological State A p p a r a t ~ s ) . ~ ~
Munculnya tindak kekerasan dapat melahirkan kekerasan baru.
memaparkan
Boulding [1994], dengan mengutip persamaan Richard~on,~~
bahwa kekerasan A terhadap B meningkatkan kekerasan B terhadap A,
yang meningkatkan kekerasan A terhadap B, dan seterusnya, sampai terjadi
keseimbangan;atau sistem itu akan berubah secara radikal dengan penghilangan
atas satu pihak. Tetapi, kadangkala, ada perubahan radikal di dalam jati-diri
(identitas), ketika kedua belah pihak sarnpai ke kesadaran bahwa apa yang
mereka lakukan adalah konyol dan amat mahal bagi kedua pihak, hingga sistem
baru yang lebih terpadu terbentuk. Pengalaman empiris yang bertentangan
dengan persamaan Richardson itu terjadi di Polandia, sebagai mana yang
diamati oleh Zielonka [Burgess & Burgess, 19941. Kekerasan di Polandia,
menurut Zielonka, dijungkir-balikkan menjadi tindakan non-kekerasan atas
dasar tiga alasan: (i) pertimbangan taktis - mereka berpikir akan dicapai tujuan
yang diinginkan dengan jauh lebih sedikit kecelakaan yang menyebabkan
hilang nyawa; (ii) isue doktrinal (kekerasan lebih baik dihubungan secara
filosofis dengan tujuan pemerintahan sendiri dan partisipasi akar-rumput);
dan (iii) pertimbangan etis (non-kekerasan dianggap lebih baik mencerminkan
konsep cinta dan keadlian sosial Kristiani dari daripada kekera~an).~'
'Kekerasan (atas nama) agama' terasa mengandung paradoks, jika
89
90
91
Hegemony. Section 4, dalam Bennett, Martin. Mercer, and Woolacott, Culture, ldeology and Social Process. London,
B.T.Batsford Ltd.. 1987; Gramsci. Antonlo, dalam Bottomore. Tom, A Dictionary of Marxist Thought, Oxford. Blackwell
Reference, 1985; Gramsci, Antonio (1891-1937). dalam Kuper 8 Kuper, The Social Science Encyclopedia. London-New
York, Routledge. 1985; Hegemony and Consciousness: Everyday Form of Ideological Struggle, dalam Scott, James
C., Weapons of the Weak : Everyday Forms of Peasant Resistance. New Haven & London, Yale University Press.
1985,; Machiavelli, Gramsci dan Hegemoni. Bagian Il,dalam lrwan 8 Edriana. Pem~lu:Pelanggaran Azas Luber, Jakarta.
Penerb~tSlnar Harapan. 1995: Marxlsm and Sociology, Bab 7, [Culture and Domlnatlon: Gramsci and the concept of
hegemony] dalam Swingewood. Alan. A Short History of Sociological Thought, (second Edltlon). Hampshire-London,
Macmillan, 1991; Mengenal Konsep Gramsci. Bab 5. dalam Magnis-Suseno. Dr.Franz. Capita Selecta Diskursus
Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, Jakarta. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. 1993. Lukacs and Gramsci: False
Consciousness and Ideological Domlnatlon, dalam Collins, R.. Theoritical Sociology. San D~ego-NewYork. Harcourt
Brace Jovanovich, Publisher, 1988.
Llhat. Louis Althusser, Ideology and 1deoIogicalState Apparataus (Notes Towards and Investigation), dalam Hanhardt. John
G.. Video Culture: A Crifical Investigation. New Yo*. Vtsual Studies Workshop Press. 1986.
Richardson. Lewis B.. Arms and Insecurity, Chicago, Quadrangle Books. 1960 dan Statistics of Deadly Quarrels. Chicago,
Quadrangle Books. 1960.
Heidi Burgess & Guy Burgess. Justice Without Violence: Theomcal Synthesis, dalam Wehr et.al Justice Wfihoui Violence.
Boulder 8 London, Lynne Rienner Publisher, 1994. pp. 257- 290.
KOMNAS HAM
1 101
93
Agama adalah suatu sistem kepercayaan (keyakinan), praktek, dan nilai-nilai filosofis berkenaan dengan takrif atas yang
suci, keseluruhan dari hidup, dan penyelamatan dari masalah keberadaan manusia. Agama secara esenslal adalah sebuah
lorong ke arah keselamatan yang tradlsional atau terlembagakan. Semua orang dl dalam semua masyarakat pada akhimya
hams menghadapl masalah keh~dupantertentu secara esensial sendiri, selain semua upaya liyan untuk membantu. Tradisi
keagamaan adalah hasil dari upaya manusia untuk mencoba menangkap dan mencerahkan kedalaman filosofis dan splntual
sehingga tersedia bagi lndlvidu ket~kaia menghadapi kehidupandan ketegangan, kekacauan, dan kerurnitan. Agama adalah
gejala soslal (dan juga gejala ps~kologikal)karena agama perlu menekankan persaudaraan di dalam pengembangan.
pengajaran, dan pemeliharaan agar tidak dilupakan atas penghayatan dan pengetahuan rel~gius.Jadi agama bersifat pribadi
dan juga sosial secara mendalam [Theodorson 8 Theodorson.1970, p. 3441.
Symonides ketika membahas 'Sumber-sumber dari Hak Asas1 Manusia' menyebutkan bahwa agama menjad~salah
sumbernya, meskipun ~stilahhak asasl manusia tidak ditemukan di dalam agama tradisional. Meski demikian, ia
berpendapat, bahwa teolog~menyediakandasar bagi teori hak asasi manusia yang mengalir dari hukum yang lebih tinggi
danpada negara dan yang sumbernya adalah Keberadaan Tertinggi, la menyebutkan bahwa, di dalam Pejanjian Lama,
Adam diciptakan dalam 'c~traTuhan' yang mengirnplikaslkanmanusia diber~n i b tlnggi. Demikianjuga di dalam al Qur'an.
dan Bhagavad Gita. Dengan kata lam setlap manusla dilihat sebagai yang suci [lihat: Janusz Symonides. Human Rights:
Concept and Standards. Aldershot 8 Burl~ngton.A s h g a t e UNESCO Publishing. 2000, p. 351.
102 1
KOMNAS HAM
95
96
Lihat: Kazak. M. Amin. Belief System and Justice W&out Violence in the Middle East, dalam Burgess 8 Burgess (ed.) Justice
W ~ o uViolence.
t
Boulder 8 London. Lunne Rienner Publisher. 1994. pp. 217-32.
Kazak misalnya mel~hatbahwa d~sampingtingginya kekerasan yang dgunakan deh semua kelompdc agama utama di Timur
Tengah, Keknstenan dan Judaisme juga mengandung pembenaran yang kuat bagi penggunaan teknik bukan-kekerasan (nonviolent). 'Perlakukanlah liyan sebagalmana mereka memperlakukanmu' adalah perspesi dasar Kristen (kebudayaan Jawa
mengenal 'tepo sliro' atau tenggang rasa) yang ditejemahkan ke dalam didum bahwa 'kamu haws tidak menggunakankekefasan
terhadap liyan'. Hal yang sama ada juga pada Judaisme (agama Yahudi) 'meskipun Judatsme tidak menunM satu k o m m
pada hndakan bukan-kekerasan (nowv~olence)untuk mencapai pecsepsinya, agama itu secara tegas meniadakan penggunaan
kekerasan sehingga bndakan bukan-kekerasan (nowviolence) menjadi lebih sering bukan hanya sebagai satusatunya mra
mencapai kehidupanyang diarahkan pada kebenaran, keadilan, dan kedamaian' [Kazak.1994].
Di dalam Islam, hndakan melawan ketidak-adilanm u d lebih erat berkaitan dengan konsep jihad. Meski kcsakata jihad di Barat
dierjemahkm ke dalam 'perang sua, sebenamya ada dua kiblat maknanya di dalam teologi Islam. Satu kiblat benifat revolusioner.
yang memandarg ~ n a dsebaga suatu ahran cab-laku yang menglkut sernangat slam o oalam bertemp~ra1 jalan Tuhan Selama
oemcnntahan D1qas.1JmaVah 661-7491 KaLm rOlawanl aaalah salansah m n s M ~ s l ~pertama
m
yam nwq-q~nakan
Ihad sebaqa~
k r a revolusioner untuk &e&rangi ketidak-adilan. ~ = Khawarij
m
yakin bahwa pemimpin d i i & intuk -&nyerah hanya ~ a i a
keinginanTuhan dan secara ketat patuh pada hukumNya. Tanggung jmab ofang lslam adalah untuk bwtempur dan memakzulkan
pemtmpln brantk yang mernenntahhdak bwdasahan hukum lslam dan petunjuk al Qutan. Makna kedua yang senngkal dlbenkan
kepada jihad adalah yang lebih bersahabat yang amat bertentangandengan tgemahan yang lazirn dan ambigu sebagai 'perang
sua'. Menurutpandanganin~.j~had
dapat d~anggapsebagal sebuah perjuangan dl dalam din indlvdu yang menenmabeberapa bentuk
dari bimbingan spirih!al untuk mernumikand~n.Pardangan ini berarti bahwa istilah jihad di dalam lslam haws dipahami sebagai
penobkanatas keinginandindan kelakuan dan tindakan yang menggcda, dan juga jihad bdak perlu dihubungkan dengan kekerasan
di dabm upaya yarg sunggwwngguh mencapai kead~bndan kebenaran. Pada konsep jihad haws diberikan konotasi n u d , dan
bahwa tujuan akhimya adalah mengakhiri kekerasan sbudural. Sheik Mahmud Shalltit ~ , n ah11
g lslam yang terkemuka dan ahli
hukum pada Unrversitas Al Azhar rnemaparkannya secara gambling: 'Orang sehawsny. belajar dengan balk aturan-aturan Qur'an
M e n a a n dengan petempuran (pepwayan), sebahbab dan tujuannya,sehingga dengan dem~kinsampai kepada pengmlan
kearifan Qur'an dl dalam ha1 mi: penghormatannya pada kedamaian dan pandangan sebal~knyaterhadap pertumpahan darah dan
pembunuhan untuk tujuan dunia itu Gndiri dan keserakahan serta nafsu' [Kazak. i994:222].
KOMNAS HAM
1 103
V.
VI.
KOMNAS HAM
1 105
Sisi Negara.
Tindak kekerasan, dengan alasan (motif) apapun (termasuk di dalamnya kekerasan atas nama agama) adalah bertentangan dengan hak asasi
manusia (Pasal 5 DUHAM;'09 Pasal 4 UU No.3911999; Pasal 8 dan 9 UU
No. 26/2000),110dan oleh karena itu termasuk di dalam kategori tindakan
'pelanggaran hak asasi manusia.' Pelanggaran hak asasi manusia ditakrifkan
secara berbeda oleh berbagai penulis dan telah lama menjadi perdebatan. Di
dalam wacana tradisional, pelanggaran hak asasi manusia terutama dilihat
sebagai tanggung-jawab negara, di dalam konteks kewajibannya terhadap
warga negara. Conde [I 999: 1561 bahkan secara tegas menyatakan bahwa
'kegagalan suatu negara, yang secara legal berkewajiban mematuhi kaidah hak
asasi manusia internasional, adalah satu bentuk pelanggaran hak asas manusia
(oleh negara)'."' Setidaknya ada tiga kewajiban utama negara berkenaan
dengan hak asasi manusia, dan oleh karena itu juga berkenaaan dengan
(kewajibannya mencegah adanya tindak kekerasan), yakni: (i) kewajiban
untuk menghormati: kewajiban menghargai ini menuntut negara, dan semua
organ dan agen (aparat)-nya, untuk tidak bertindak apapun yang melanggar
integritas individu atau kelompok atau pelanggaran pada kebebasan mereka,
termasuk tindak kekerasan dengan alasan apapun; (ii) kewajiban untuk
melindungi: kewajiban untuk melindungi menuntut negara dan agen (aparat)nya melakukan tindakan yang memadai guna melindungi warga individu dari
pelanggaran hak-hak individu atau kelompok, termasuk pencegahan atau
pelanggaran atas penikmatan kebebasan mereka, yakni pencegahan tindak
kekerasan; (iii) kewajiban untuk memenuhi: kewajiban untuk memenuhi ini
menuntut negara melakukan tindakan yang memadai untuk menjamin setiap
orang di dalam peluang yurisdiksinya untuk memberi kepuasan-kepadamereka
109 DUHAM Pasal 5 rnenyatakanbahwa: Tdak seorangpun boleh disiksa atau dipedakukan secara keiarn, memveroleh wrlakuan
atau dlhukrn secara bdak manuslaw alau dlr~ndahkanrnartabatnya
110 UU No 3911999Pam14 rnenvalakan Hak u n t ~ kh auo han untL1t~dakd,slksa hak kebsbasan ~nbad!olklran dan hab nuranl
hak beragama hak untuk bdak dlperbudak, hak untuk d ~ a k usebagal
~
pnbad~dan persarnaandl iadapanrhukum,dan hak untuk
t
hakasasl manuslayang bdakdapatd~kurangldalam keadaanapa pun
bdak dltuntut atas dasar hukum yang berlaku s u ~adalah
dan oleh siapapun.,
111 Berbagai ah11y a y mendukung padapat ini, antara lain rnenyatakan bahwa: '...&nggamn
hak asasi manusia dilakukan oleh
nqlara ewat agwcagennya (polls anqkatanbersenlata dan sebap orang yang berbndak oengan kewe~ngan
dan negara)m n h n
m ~ d uErmlsn 8 Stduklon 11997 41 r~srnband~rmkan
t a m Itu derman taknf bndakan kelanatan vaw Satu bndaon kaahatan
(knm~nal)adayah satu tindakan ;tau tinbakan-tindakai yang dllakukan oleh seswrang atau lebih yaibenifat melukai aiau rkwsak
masyarakat dan telah dilarang oleh hukum domesbk negara' (English 8 Stapleton, 1997:4].'Satu kegagalan dari sah! negara atau
pihak lam yang secara legal berkewajiban untuk patuh pada satu normalka~dahhak asas1 rnanusia intemashal. Kegagalan untuk
rnenjalankan kewajiban adalah pelanggaran atas kewaj~banh.'Pelanggaran' d'gunakan secara bergantian dengan lstilah 'breach'
(pelanggaran hukum, &ran, kewajlban. kesepakatan)atassah!kewajiban' [Conde,l999.156].
106 1
KOMNAS HAM
yang memerlukan yang telah dikenal di dalam instrumen hak asasi dan tidak
dapat dipenuhi oleh upaya pribadi, termasuk menjamin setiap orang dan
kelompok untuk tidak dikenai tindak kekerasan.
Bertolak dari segi kewajiban Negara itu, maka dapat dikatakan bahwa negara
harus menghentikan tindakan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukannya
sendiri secara tidak langsung (by omission) dan yang dilakukannya secam langsung
(by commission lewat apparatus represi negara). Dengan kata lain, berkenaan
dengan masalah kekerasan (atas nama) agama, pemecahan tindak kekerasan
(yang mengatas-namakan) agama bisa dihentikan clan ditiadakan manakala negara
menghentikan tindakan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukannya sendiri
dengan cara 'menegakkan hukum' (law enforcement) secara impartial, terutama
hukum hak asasi manusia dan hukum pidana. Dengan berbuat dan berkelakuan
seperti itu, maka bukan saja pelaku tindak kekerasan akan (dan perlu) diadili,
dan dihukurn berdasarkan aturan perundang-undangan yang berlaku, akan tetapi
sekaligus negara, sebagai para pihak, juga patuh pada hukurn intemasional hak asasi
manusia, dan juga taat-asas (konsisten) dengan pernyataannya sendiri untuk secara
moral clan hukurn bertanggung-jawab melaksanakan HAM."* Sebagai tarnbahan,
jika tindak kekerasan itu dilakukan meluas danlatau sisternatis, maka negara harus
melaksanakan pengadilan pelanggaran berat atas hak asasi manusia (sebagaimana
diatur oleh UU No. 2612000) secara sungguh-sungguh dan juga impartial.
Sisi Masyarakat Sipil.
KDMNAS HAM
1 107
Arbitrase adalah istilah generik bagi penyelesaian persengketaan ( d k p te resolution) yang melibatkan pihak ketiga sebagai referral yang, setelah
108 1
KOMNAS HAM
[1999:28], istilah arbitrase sulit ditakrifkan karena istilah itu telah digunakan
secara longgar untuk menunjukkan banyak proses yang tak bisa dibandingkan
yang hanya memiliki unsur sama yaitu keputusan pihak ketiga. Meski demikian
Yam memberikan contoh beberapa takrif atas arbitrme, di antaranya adalah:
'sebuah proses di mana pihak ketiga yang netral atau panel, yang disebut arbitrator
atau panel arbitrase, mengambil keputusan yang dapat saja mengkat atau tidak
mengikat dengan mempertimbangkan fakta dan argumen yang disajikan oleh para
pihak yang bersengketa'.
Jika tindakan kekerasan - termasuk kekerasan (atas nama) agama
- diperlakukan sebagai tindak kejahatan (pidana) dan oleh karena itu juga
tindak pelanggaran hak asasi manusia, sebagaimana yang telah dipaparkan di
atas, dan jika tindak (kekerasan) itu dikaitkan dengan pengertian pokok dari
arbitrase, maka muncul pertanyaan yang memerlukan jawaban, yaitu: apakah
tindak kekerasan (atas nama) agama yang adalah tindak pidana dan juga
tindak pelanggaran hak asasi manusia adalah tindakan persengketaan yang
dapat dipecahkan dengan proses arbitrase? Apakah korban tindak kekerasan
(atas nama agama) bersedia secara sukarela untuk 'berunding' dengan pelaku
tindak kekerasan (kesulitan akan muncul manakala korban tindak kekerasan
itu meninggal)? Bagaimana melakukan arbitrase jika pelaku tindak kekerasan
itu adalah 'apparatus represi negara' (dalam ha1 ini siapa pihak ketiga yang
.
dianggap netral)?
Dalam konteks pelanggaran hak asasi manusia, tersedia mekanisme
penyelesaian. Jika tindak kekerasan (atas nama) agama itu tidak termasuk di
dalam kategori pelanggaran berat hak asasi manusia, maka penyelesaiannya
mengiktui proses pengadilan atas tindak pidana biasa, di mana penyelidikan atas
peristiwa itu menjadi kewenangan Komnas HAM, sedangkan penyidikannya
di bawah kewenangan polisi, dan penuntut umumnya adalah kejaksaan, dan
peristiwa itu diadili di pengadilan negeri. Manakala tindak kekerasan (atas
nama) agama itu bersifat meluas atau sistematis, sehingga masuk di dalam
kategori pelanggaran berat HAM, maka penyelesaiannya lewat pengadilan
HAM jika peristiwanya terjadi sesudah UU No. 2612000 diundangkan; dan
lewat pengadilan HAM ad hoc manakala peristiwanya terjadi sebelum UU
No. 2612000 diundangkan. Di dalam ha1 ini Komnas HAM bertindak sebagai
penyelidik pro yustisia, Kejaksaan Agung bertindak sebagai penyidik dan
penuntut umum di dalam proses pengadilan pelanggaran berat HAM. Akan
tetapi dalam ha1 peristiwa yang disebut terakhir ini juga tersedia tatacara
penyelesaian lewat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,tanpa lewat pengadilan
pelangaran berat HAM.
KOMNAS HAM
1 109
Ali (ed.), Lukman, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1996.
Althusser, Louis, "Ideology and Ideological State Apparatuses" (Notes Towards
an Investigation), dalam Hanhart, John G., Video Culture: A Critical
Investigation, New York, Visual Studies Workshop Press, 1986.
An-Naim et.al., Abdullahi, Human Rights and Religious Values: An Uneasy
Relationship? Amsterdam, Editions Rodopi, 1995.
Bauberot, Jean, "The Place of Religion in Public Life: The Lay Approach", dalam
Lindholm, Durham, Tahzib-Lie (eds.), Facilitating Freedom ofReligionor
Belie$ A Desk Book, Leiden, Martinus Nijhoff Publisher, 2004.
Bagus, Lorens, Kamus FiL@at, Jakarta, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2000.
Bhaskar, Roy, The Possibility of Naturalism: A Philosop/ycal Critique of
the Contemporary Human Science, New York & London, Harvester
Wheatsheaf, 1989.
Bowles, Samuel, "Unequal Education and the Reproduction of the Social Division
of Labor" dalam Karabel, Jerome and Halsey, .A.H. (eds.), Power and
Ideology in Education, New York, Oxford Univeresity Press,1977.
Bowles, Samuel and Gintis, Herbert, "I.Q. in the U.S. Class Structure", dalam
Karabel, Jerome and Halsey, .A.H. (eds.), Power and Ideology in
Education, New York, Oxford Univeresity Press,1977.
Burgess, Paul Wehr and Burgess, Guy, Justice Without Violence, Boulder &
London, Lynne Roenner Publisher, 1994.
Cohen, Jean L. and Arato, Andrew, Civil Society and Poltical Theory,
Cambridge & london, The MIT Press, 1994.
Conde, H. Victor, A Handbook of International Human Rights Terminology,
Lincoln & London, University of Nebraska Press, 1999.
1 10 1
KOMNAS HAM
Elster, John (ed.), Karl Marx: A Reader, Cambrigde & New York, Cambridge
University Press, 1989.
Geertz, Clifford, The Religion of Java, New York & London, The Free Press
& Collier-Macmillan Limited, 1969.
Gramsci, Antonio, Selections Ji-om the Prison Notebooks, London & New
York, Lawrence & Wishart and International Publisher, 1975.
Groome, Dermot, The Handbook of Human Rights Investigation, Northborough,
Massachusetts,Human Rights Press, 2001.
Hassan, Prof. DR. Riaz, Islam: dari Konservatisme sampai Fundamentalisme,
Jakarta, Penerbit CV. Rajawali, 1985.
Hornby, AS, Oxford Advanced Learner's Dictionary of Current English,
London & Tokyo, Oxford University Press, 1974.
Huntington, Samuel P., Benturan Peradaban dun Masa Depan Politik Dunia,
Yogyakarta, Qalam, 2002.
Karabel, Jerome and Halsey, .A.H. (eds.), Power and Ideology in Education,
New York, Oxford Univeresity Press,1977.
Kuper, Adam and Kuper, Jessica, The Social Science Encyclopedia, London &
New York, Routledge & Keagan Paul, 1989.
Lemer, Nathan, 'The Nature and Minimum Standard of Freedom of Religion
or Belief dalam Lindholm, Durham, Tahzieb-Lie, Facilitating Freedom
of Religion or Belie$ A Deskbook, Leiden, Martinus Nijhoff Publisher,
2004.
Lindholm, Durham, Tahzib-Lie (eds.), Facilitating Freedom of Religion or
Belief A Desk Book, Leiden, Martinus Nijhoff Publisher, 2004.
McHugh, P., Defining the Situation: The organization of meaning in social
interaction, Indianapolis, Bobbs-Merril,l968.
Minogue, Kenneth, "Freedom", dalam Kuper & Kuper (eds.), The Social
Science Encyclopedia, London & New York, Routledge, 1989.
Nasr, S.H., 'The concept and Reality of Freedom in Islam and Islamic
Civilization,' dalam A.S. Rosenbaum (ed.), The Philosophy oh Human
Rights -International Perspective, Westport, Connecticut, Greenwood
Press, 1980.
Neufeldt, Victoria, and Guralnik, David B., Webster's New World Dictionary
of American English, Cleveland & New York, Webster's New World,
1988.
Nowak, Manfred and Vospernik, Tanja, "Permissible Ristrictions on Freedom
of Religion or Belief', dalam Lindholm, Durham, Tahzib-Lie (eds.),
Facilitating Freedom of Religion or Belie$ A Desk Book, Leiden,
KOMNAS HAM
1 11 1
112
1 KDMNAS HAM
114 1
KOMNAS HAM
Pendahuluan
Sebagaimana kita maklumi bahwa bangsa Indonesia terdiri dari berbagai
suku, bahasa, adat istiadat, clan agama, sehingga bisa dikatakan bangsa Indonesia
merupakan masyarakat yang majemuk. Mereka tersebar dalam ribuan pulau dan
persebaran penduduk di pulau tersebut tidak merata. Ada pulau yang relatif kecil
dengan penduduk yang sangat padat, seperti Pulau Jawa yang luasnya hanya sekitar
6,89% tapi dihuni oleh 59,99% penduduk, dan sebaliknya ada Irian Jaya yang
luasnya 21,99% tapi hanya dihuni oleh 0,92% penduduk Indonesia. Kepadatan
penduduk di Pulau Jawa perkilometer persegi adalah 818 jiwa, sedangkan Irian
Jaya untuk luas yang sama hanya dihuni oleh 4 jiwa saja.
Di samping keanekaragaman suku bangsa dan tidak meratanya persebaran
penduduk, bangsa Indonesia juga menganut berbagai agama dan Islam sebagai
penganut agarna mayoritas. Dalam sensusBPS disebutkanprosentaseIslam 87,21%,
Kristen 6,04%, Katholik 3,58%, Hindu 1,83%, Buddha 1,02%, dan lainnya 0,32%
dari seluruhjumlah penduduk Indonesia.
Persebaran penganut agama di antara pulau-pulau tersebut juga tidak
merata. Penganut agama Islam mayoritas berdiam di Jawa, Sumatera, Madura,
Kalimantan, Sulawesi, Lombok, Sumbawa, dan pulau-pulau di Maluku Utara.
Penganut Kristen mayoritas menghuni Pulau Irian, sedangkan penganut Katholik
mayoritas berada di Pulau Flores, dan Agama Hindu berada di Pulau Bali.
Keanekaragaman suku,bahasa, adat istiadat, dan agama tersebut merupakan
satu kenyataan yang hams kita syukun sebagai kekayaan bangsa. Namun di
samping itu, pluralitas atau keanekaragaman juga dapat mengandung kerawanankerawanan yang dapat memunculkan konflik-konflik kepentingan antarkelompok
yang berbeda tersebut. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk
menggalang persatuan clan kesatuan bangsa.
A.
B.
b.
1 16 1
KOMNAS HAM
C.
c.
2.
1 18 1
KOMNAS HAM
b.
D.
perundangan yang lain dan tidak menyimpang dari pook ajaran agama
tersebut.
E.
120 1
4.
F.
KOMNAS HAM
I 121
PERAN
PEMERINTAH
DALAM
PENEGAKAN
KEBEBASAN BERAGAMA
DAN BERKEPERCAYAAN
DI NTB
oleh: Lalu Mahfud
Pendahuluan
pandangan teologis tertentu, apalagi pengakuan atas suatu bentuk ritual dan
ekspresi simbolik keagamaan. Fungsi Pancasila hanyalah common platform (titik
temu) dari berbagai ekspresi keagamaan yang ada dan hidup di Indonesia.
Kedua, negara menjamin kemerdekaan beragama. Pengakuan ini
merupakan pengakuan atas martabat manusia. Karena itu, kemerdekaan beragama
bukan pemberian, tetapi ia merupakan sesuatu yang inheren dalam kemanusiaan
seseorang yang hams diakui keberadaaannya. Menghargai kebebasan beragama
berarti menghargai martabat kemanusiaan seseorang. Negara tidak berhak
memaksakan suatu paham, baik dalam ha1 keyakinan, pelaksanaan ibadah, maupun
pilihan kelembagaan agama.
Ketiga, negara berkewajiban melayani kehidupan beragama warga
negaranya secara adil tanpa diskriminasi. Di sini, tuntutan moral kepada negara
adalah memberikan dorongan kepada semua agama yang ada untuk tumbuh dan
berkembang, sehingga agama-agama yang ada bisa menjadi kekuatan legitimatif
sekaligus bisa menjalankan fungsi kritisnya dalam kehidupan bermasyarakat dan
bemegara di Indonesia ini, hingga tumbuhlah religiusitas dalam masyarakat.
Negara sebenarnya tidak bertanggung jawab atas perkembangan
religiusitas masyarakat, karena ha1 itu adalah tanggung jawab setiap agama.
Tetapi negara wajib mendorongnya. Di satu segi negara hams melayani
agama-agama untuk pertumbuhan religiusitasnya, di sisi lain negara tidak
boleh mencampuri masalah-masalah intern keagamaan umat beragama.
Pemerintah sangat berkepentingan dengan pembangunan kehidupan
beragama. Akan tetapi tidak berarti bahwa pemerintah akan mencampuri masalah
intern keagamaan, baik yang menyangkut keyakinan, pemahaman, maupun
ajaran agama. Peran pemerintah dalam ha1 ini hanya memberikan pelayanan dan
fasilitas agar kegiatan keagamaan berjalan dengan aman dan tenteram.
Terhadap pembinaan kehidupan beragama, tanggung jawab tidak
serta-merta dipikul secara penuh oleh pemerintah. Umat beragama menjadi
ujung tombak pertama dan terutama yang memikul tanggung jawab itu.
Pemerintah memosisikan dirinya sebagai kekuatan penunjang dan memberikan
kesempatan agar pelaksanaan ibadah masing-masing beragama berjalan
dengan semestinya.
Ada dua ha1 pokok yang perlu dicermati menyangkut pembangunan
di bidang agarna, yaitu adanya peningkatan pernahaman, pengamalan, dan
pelayanan keagamaan kepada masyarakat. Dengan adanya peningkatan
pemahaman, maka masyarakat akan didorong untuk meningkatkan wawasan
keberagamaannya dari sekedar ritual dan seremonial kepada pemahaman
agama sebagai landasan moral dan etos kerja. Dengan peningkatan pemahaman
itu, masyarakat akan dilepaskan dari pemahaman agama yang simbolik semata
menjadi pemahaman agama yang substansi. Pada tataran tersebut, pola
kehidupan masyarakat yang majemuk tidak menjadi hambatan bagi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Peningkatan pelayanan oleh pemerintah terhadap kehidupan keagamaan
akan mendorong masyarakat untuk memeroleh pemberdayaan. Umpan baliknya
adalah masyarakat menjadi bersikap proaktif terhadap program pembangunan.
Tugaskedua pembangunan bidang agama adalahmenciptakankemkunan
hidup urnat beragama. Kerukunan hidup umat beragama berarti perihal hidup
mkun, yaitu hidup dalam suasana baik dan damai, tidak bertengkar, bersatu
hati dan bersepakat antammat yang berbeda-beda agamanya, atau antaraumat
dalam satu agama.
Pemerintah dan masyarakat berkewajiban membangun kemkunan
hidup umat beragama melalui profesi masing-masing. Pemerintah bertugas
mempersiapkan sarana dan fasilitas untuk mendukung gerakan menuju
kehidupan yang mkun ini. Lebih dari itu, pemerintah berkewajiban
untuk mengintegrasikan pesan-pesan kemkunan terhadap setiap program
pembangunan. Tokoh masyarakat hendaknya tems memelihara kearifan
lokal yang hidup dan berkembang di dalam setiap aktifitas masyarakat karena
dengan cara itulah, secara turun-temurun, dapat mewujudkan kerukunan sosial
itu sekalipun berbeda agama maupun etnis.
Potret Kehidupan Beragama di NTB
Secara geografis, wilayah NTB terdiri dari dua pulau besar, yaitu Pulau
Lombok dan Pulau Sumbawa. Selain itu juga dikelilingi ratusan pulau kecil,
di antara pulau-pulau kecil yang terkenal adalah Gili Air, Gili Meno, dan Gili
Trawangan yang menjadi daerah tujuan wisata terkenal di propinsi ini.
Luas wilayah keseluruhan adalah 49.320 km2, terdiri atas daratan 20.153,07
km2 dan lautan 29.159,04 km2. Dua pulau besar, yaitu pulau Lombok memiliki
luas wilayah daratan 4.738,70 km2 (23,51%) dan Pulau Surnbawa 15.414,37 km2
(76,49%). Propinsi ini secara administatif dibagi atas sembilan wilayah kabupatenl
kota, yaitu Kota Mataram, Kab. Lombok Barat, Kab. Lombok Tengah, Kab.
Lombok Timur, Kab. Sumbawa Barat, Kab. Sumbawa, Kab. Dompu, Kab. Bima,
dan Kota Bima Pulau Lombok memiliki posisi yang strategis, yang secara geogmfis
di dalamnya terletak kota Mataram sebagai ibukota propinsi.
Penduduk propinsi NTB berdasarkan data 2005 berjumlah 4.084.409 jiwa.
Berdasarkan perhitungan data statistik penduduk menurut umur, penduduk di
propinsi ini tergolong penduduk usia muda. Dilihat dari segi persebaran penduduk,
Pulau Lombok merupakan wilayah yang paling padat penduduknya disertai dengan
tingkat keragaman etnis yang relatif besar. Besarnya tingkat keragaman etnis itu
tidak hanya karena faktor irnigran dari Jawa, Bali, Sulawesi ataupun pulau lainnya,
melainkan lantaran masyamkat NTB sendiri terdiri atas berbagai etnis yang cukup
besar. Di antara suku-suku yang terkemuka, yaitu suku Sasak, Sumbawa, Bima,
Dompu, dan Mbojo. Di antara suku-suku tersebut, suku Sasak merupakan suku
mayoritas di Lombok dan merupakan suku asli pribumi.
Dilihat dari prosentase komposisi penduduk berdasarkan agama,
sebagian besar penduduk di propinsi NTB mayoritas beragama Islam, yaitu
3.942.066 jiwa (96,5%). Sejumlah 10.541 jiwa (0,26%) memeluk agama
Protestan, 9.498 jiwa (0,23%) pemeluk Katholik, 107.519 jiwa (2,63%)
beragama Hindu, serta pemeluk Buddha berjumlah 14.386jiwa (0,35%). Dari
prosentase tersebut diketahui mayoritas penduduk di propinsi ini beragama
Islam dan hampir menyebar merata di seluruh wilayah.
Potret kehidupan beragama di NTB tergolong baik karena masingmasing agama bisa melaksanakan agamanya dengan baik tanpa hambatan dan
gangguan pihak lain. Kerukunan hidup antarumat beragama bisa tenvujud
dengan baik walaupun dalam skala kecil pernah terjadi konflik antarumat
beragama.
Secara objektif, kondisi kerukunan di tengah masyarakat NTB
tergolong baik. Hubungan antarumat beragama bisa berjalan baik dan di
kalangan tokoh agama juga terjalin dialog. Islam sebagai agama mayoritas di
daerah ini, pemeluknya mampu memelihara k e h n a n dengan menghargai
umat lain yang minoritas. Dengan berbagai kegiatan sosial, mulai dari tingkat
desa hingga propinsi, hubungan umat beragama bisa terpelihara dengan baik.
Disadari atau tidak, keberhasilan dalam membangun kerukunan di daerah ini
disebabkan adanya kemauan saling menghargai antarpenganutagama yang satu
dengan lainnya. Karena adanya keyakinan bahwa semua agama mengajarkan
perdamaian yang akan menuju pada kerukunan.
Yang tak kalah pentingnya adalah kesadaran di tengah masyarakat
bahwa lewat pemahaman keagamaan yang baik, maka tumbuhlah nilai-nilai
kearifan dan norma kerukunan di tengah masyarakat. Selain dari sumber
ajaran agama, nilai-nilai kearifan dan norma kerukunan yang terbina di
tengah masyarakat NTB selama ini didukung oleh faktor budaya masyarakat,
yang mengutamakan nilai-nilai kerukunan, yang diwujudkan dengan saling
menghargai dan menghormati, bisa menerima perbedaan pendapat dan bisa
melakukan musyawarah agar tidak sampai terjadi konflik antarsesama.
BAGIAN KEDUA
KOMNAS HAM
1 131
Kk
133
Peserta 1:
Apadefinisi agama?Penanyajugatertarikpemaparanmengenaidogmatisme
agama. Bagaimana praktek agama yang lebih baik tanpa meninggalkan dogma?
Musdah:
Definisi agama hams disesuaikan dengan penghayatan masingmasing. Menurut pemakalah pribadi, agama adalah seperangkattuntunan
yang mampu menjinakkan hal-ha1 yang liar di dalam diri manusia.
Apabila ada manusia yang menyatakan bahwa dirinya beragama, maka
ia hams mempunyai kemampuan menjaga relasinya dengan sesama
manusia. Dewasa ini banyak orang yang memperlihatkan dirinya
beragama, namun hanya melaksanakan relasi dengan Tuhan tanpa
memedulikan relasi sosial dengan manusia lainnya.
Tidak semua ajaran kemanusiaan berdasarkan dogmatisme dan
ajaran agama tidak dapat dijadikan alasan untuk menghalangi relasi
manusia dengan manusia lainnya. Di dalam agama terdapat fungsi
integratif, namun di dalam realitas sosial justru fungsi disintegratif yang
lebih menonjol. Hal inilah yang menjadi persoalan di dalam masyarakat
kita. Di dalam masalah sekte-sekte, memang menjadi sebuah kewajaran
jika seorang penganut agama menginginkan penganut lainnya seperti dia.
Maka timbul pandangan bahwa orang lain kafir karena beragama lain.
Pendapat-pendapat yang menghakirni agama lain seharusnya dikikis.
Agama sudah bercampur dengan masalah politik. Kondisi
ini mengakibatkan konflik-konflik sosial bernuansa agama, bahkan
antarumat di dalam agama yang sama dengan memberikan stigma
negatif terhadap aliran lain. Di Indonesia, kasus yang masih hangat
adalah perusakan dan pengusiran terhadap masjid dan rumah Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang dinyatakan Majelis Ulama Indonesia
(MUI) sebagai aliran yang sesat. Padahal vonis sesat atau lurusnya
sebuah ajaran agama adalah hak prerogatif Tuhan.
Untuk mengatasi ha1 ini, penting untuk membangun pendidikan
agama tanpa mengangkat simbol-simbol agama. Meski ha1 ini tidak
134 1
KOMNAS HAM
KOMNAS HAM
( 135
Mulyadi:
Keharusan memiliki agama diwajibkan oleh undang-undang.
Menganut agama juga berdampak pada pengaturan kehidupan orang
itu sendiri, misalnya mengenai warisan dan sebagainya.
Peserta 4:
Apa langkah Komnas HAM berkaitan dengan pendidikan agama bagi
nonmuslim di sekolah yang rata-rata muridnya muslim?
Chandra:
Pendidikan agama merupakan hak bagi siswa yang ingin
mempelajarinya. Jaminan itu makin dikuatkan ketika pemerintah
Indonesia meratifikasi Kovenan Internasional Hak Sip01 dan Kovenan
Internasional Hak Ekosob yang di dalamnya terdapat perlindungan atas
hak untuk memperoleh pendidikan.
Walaupun ada ketentuan sekolah wajib memberikan pendidikan
agama bagi semua muridnya, tetapi jika memang jumlah muridnya tidak
signifikan, maka hams dimaklumi bila sarana pendidikan agama tidak
disediakan. Hal itu tidak berarti bahwa sekolah itu dapat melarang muridnya
belajar agama di luar sekolah. Pemerintah wajib menyediakan guru agama
itu, clan bukan sekolahnya.
Peserta 5:
Bagaimana mewujudkan mutual understanding di dalam masyarakat?
Musdah:
Upaya terbaik adalah membangun kesepahaman di antara umat
beragama itu sendiri. Musdah menyatakan ha1 itu tidak mudah, tetapi tetap
hams dilakukan. Bahkan sudah ada sekolah yang dipimpin oleh Chandra
Setiawan (Il3II Jakarta, ed) yang menyediakan kelas-kelas untuk mempelajari
berbagai agama Hal ini dilakukan untuk memunculkan kesadaran bagi
mahasiswanya untuk memahami agama lainnya dengan membuang
stereotipe yang suclah tertanam sebelumnya. Penulis berharap ada follow
up setelah acara serniloka untuk membangun agama yang berguna bagi
kemanusiaan. Penulis juga berharap Forum Kerukunan Umat Beragama
menjaga kemurniannya. Pembentukan FKUB bukan suatu tindakan politk
sementara serta digunakan untuk kepentingan politik praktis.
Peserta 6:
Mengapa ketika terjadi tindakan anarkis oleh sekelompok anggota
masyarakat, negara tidak menjadi wasit, bahkan seolah-olah berpihak pada
pelaku tindakan anarkis ini? Apa yang dilakukan Komnas HAM dalam kasus
semacam ini?
Chandra:
Pemerintah terkadang bersikap "banci" dengan tidak melakukan
proses hukum pada pelaku pelanggar hukum. Komnas HAM sendiri sudah
berulang kali mendesak pemerintah untuk menindak pelakunya sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku. Komnas HAM sudah berulang
kali membenkan penyuluhan kepada pihak kepolisian untuk memberikan
perlindungan hukum dan penegakkan proses hukum kepada para pelaku
tindakan anarkis atas nama agama.
Makassar: dari Pembiaran Negara sampai Fatwa MU1
Seminar yang diselenggarakan di Makassar, 14 Juli 2006, ini dihadiri
oleh sekitar 100 orang peserta. Pembahasan berkisar pada beberapa persoalan
kunci, mulai dari pembiaran aparat pemerintah terhadap aksi anarkisme sampai
wacana HAM versus agama.
Selain Chandra Setiawan dari Komnas HAM, narasumber lain dalam
acara ini adalah Umar Haris dari Kantor Depag Sulawesi Selatan dan Qasim
Mathar dari Universitas Islam Negeri Makassar. Di samping itu ada peserta
yang cukup aktif, yaitu Muhammad Dahlan Yusuf dari penvakilan MUI.
Berikut rekaman dialog antara peserta dan narasumber yang berlangsung.
Peserta 1:
Pihak kejaksaan dan kepolisian telah melakukan pelanggaran atas
kebebasan beragama. Contohnya kasus Ahmadiyah di Bulukumba dan Jeneponto
(Sulsel), kasus kristenisasi di Kajang, dan kasus sholat bersiul. Pada kasus-kasus
itu kepolisian menggantung masalah, contohnya dalam kasus Ahmadiyah pihak
aparat menyegel tempat Ahrnadiyah, karena ada unjuk rasa dari sejumlah anggota
masyarakat. Di Bulukumba, Bupati memimpin sendiri penyegelan mesjid dan
rumah Ahmadiyah serta rumah orang yang dituduh melakukan kristenisasi.
Pada kasus sholat bersiul, polisi bahkan langsung menangkap pihak-pihak yang
dianggap pelaku.
Apa yang dilakukan aparat menjadi aneh karena tindakan terlarang
dalam aturan nasional adalah memaksakan suatu agama kepada orang lain,
KOMNAS HAM
1 137
138
1 KOMNAS HAM
140
1 KOMNAS HAM
tindakan anarkis, tetapi juga hams dilihat soal penegakan hukum atas para
pedagang minuman keras.
Chandra:
Kebebasan juga mempunyai batasan, yaitu tidak mengganggu
kebebasan orang lain. Aktivitas FPI jelas diijinkan, namun saat aktivitas
tersebut merusak atau mengganggu kebebasan orang lain, maka aktivitas
itu hams dilarang.
Qasim:
Seandainya pun mereka punya alasan atas tindakan itu, apakah
kemudian ha1 itu memberikan kewenangan bagi kelompok itu untuk
bertindak anarkis? Jelas, tindakan anarkis tersebut tidak dibenarkan AlQuran .
Peserta 8:
Penulis dari perwakilan agama Hindu menanyakan soal kebebasan
memilih agama bagi anak-anak yang belum mampu menentukan pilihan secara
matang. Apakah tidak lebih baik ditetapkan saja agama seseorang sesuai
dengan agama orang tuanya?
Chandra:
Awalnya memang orang tua atau wali yang sah berhak menjamin
pendidikan agama bagi anaknya sesuai dengan agama orangtuanya.
Namun memang setelah dewasa orang tersebut berhak memilih
agamanya.
Qasim:
Pikiran dari seseorang tidak dapat dibatasi, karena pikiran
itu adalah pemberian Tuhan sendiri untuk membedakan manusia
dengan mahluk lainnya. Namun di dalam Islam sendiri memang ada 3
pendapat mengenai pembatasan pikiran ini, yaitu: (i) tidak mengijnkan
perkembangan pemikiran; (ii) mengijinkan perkembangan pikiran
sesuai jaman; (iii) mengijinkan namun hams ada batas yang tegas. la
memberikan contoh, saat seorang sahabat Rasul yang mempunyai anak
yang ingin pindah agama, Rasul menerima ayat yang mengajarkan
bahwa "tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam".
KOMNAS HAM
141
KOMNAS HAM
1 143
Akrnaludin:
Apabila sudah mengakui dirinya Islam, maka saat ada satu titik
yang tidak disepakati sebaiknya diadakan pertemuan untuk menyelesaikan
masalah. Kanwil Depag NTB siap menjadi fasilitator. Pihak Ahmadiyah
seharusnya mengeluarkan kemampuannya untuk menegaskan kepada
MU1 bahwa Ahmadiyah tidak berbeda dari ajaran Islam. Demikian juga
dengan komunitas Salafi. Sikap kontra terjadi karena kemapanan berpikir
masyarakat diusik.
Musdah:
Perdebatan dua kubu dalam diskusi tentang Ahmadiyah
disebabkan oleh ketidakpahaman mengenai konsep kenabian dan sikap
tabayyun (memeriksa ulang). Persoalan tentang Ahmadiyah ini juga
akan selesai ketika negara bertindak sebagai wasit saat terjadi, dan
tidak melakukan intervensi atas akidah warga negaranya. Pada bagian
lain, negara seharusnya mampu membangun pendidikan agama yang
kritis, dan tidak doktrinal. Ajaran agama selama ini disampaikan hanya
mengenai haram atau halal, baik atau salah, dan tidak diajarkan bahwa
ada sejumlah perbedaan yang mesti dihormati di dalam ajaran agama.
Kelompok-kelompok yang bertentangan sebaiknya saling berhubungan,
saling mendengar, dan menerima perbedaan yang ada.
Peserta 5:
Komnas HAM seharusnya untuk turun ke lapangan dan tidak hanya
mengadakan seminar. Komnas HAM sebaiknya memperhatikan soal lainnya
karena masalah di NTB tidak hanya soal Ahmadiyah.
Chandra:
Seminar ini merupakan forum penyatuan wacana. Perdebatan
ini akan dibawa ke dalam lokakarya keesokan harinya. Seminar ini
bukan titipan Ahmadiyah, tetapi merupakan program Komnas HAM
yang sudah direncanakan dan diselenggarakan di berbagai daerah.
Peserta 6:
Umat Islam berhak membela kepercayaannya saat ajaran Islam
dilecehkan. Apabila Ahmadiyah menyatakan dirinya sebagai agama baru,
maka Ahmadiyah tidak akan dipermasalahkan.
Musdah:
Perubahan budaya yang intolerans menjadi tolerans adalah suatu
upaya yang sulit, namun ha1 itu dapat dimulai dari komunitas kecil, yaitu
keluarga. Penulis merasa tergelitik dengan resistensi yang sangat h a t
dari masyarakat NTB terhadap Ahmadiyah, padahal di daerah-daerah
lain tempat acara yang sama dilaksanakan, persoalan Ahmadiyah tidak
muncul sebagai wacana dominan.
Peserta 7:
Penulis merupakan wakil dari kelompok yang dirugkan oleh Komnas
HAM. Dalam masalah Ahmadiyah, sebaiknya Komnas HAM bertindak sebagai
fasilitator saja antara MUI clan Ahmadiyah. Komnas HAM membuat polisi takut
bertindak.
Chandra:
Jika merasa dirugikan Komnas HAM, sebaiknya menuntut
Komnas HAM melalui jalur hukum, karena Komnas HAM bukan
lembaga yang kebal hukum. Chandra tidak yakin bahwa polisi takut
kepada Komnas HAM, karena polisi mempunyai aturan yang mengatur
tentang protabnya. Tidak mudah menyatakan poIisi melakukan
pelanggaran HAM begitu saja. Apabila sudah sesuai dengan ketentuan
hukum dan aturan yang dibuat, polisi tidak dapat dinyatakan melakukan
pelanggaran HAM.
Peserta 8:
Tidak sepakat dengan tulisan Musdah. Umat Islam di NTB bersedia
hidup dengan agama lain, tetapi bukan dengan Ahmadiyah, karena Ahmadiyah
tidak mau mengakui dirinya sebagai agama sendiri. Apakah Musdah bersedia
anak perempuannya menikah dengan pria nonrnuslim?
Musdah:
Ketika saya menjadi Ketua Komisi Pengkajian MU1 Pusat,
penulis telah berulang kali berdiskusi dengan sesama anggota, dan
tidak pemah muncul fatwa tentang masalah kesesatan dari suatu ajaran.
Tentang pernikahan pasangan beda agama, lelaki Islam diijinkan
menikah dengan wanita nonmuslim yang ahli kitab. Bukankah
sebenamya wanita muslim dapat menikah dengan pria nonrnuslim yang
ahli kitab? Islam adalah agama terbaik, namun paham itu tidak dapat
KOMNAS HAM
1 145
Peserta 2:
Kebebasan beragama bukan bebas menganut agama apapun, tetapi
menganut agama yang diresmikan negara. Masalah agama adalah urusan
pemerintah pusat sehingga pemerintah daerah tidak dapat bertindak sendiri.
Qasim Mathar:
Kehendak untuk beragama atau tidak itu merupakan urusan
individu yang bersangkutan dengan Tuhan. Tidak ada keharusan
pengaturan dari pemerintah. Apabila pemerintah diberikan kewenangan
mengatur, maka akan terjadi pengaturan atas hal-ha1 yang seharusnya
tidak diatur oleh pemerintah. Masyarakat Indonesia sendiri sangat
majemuk, sehingga seharusnya pemerintah bersikap sebagai wasit
saja.
Peserta 3:
Masalah kebebasan beragama berkaitan dengan masalah Ahmadiyah.
Ahrnadiyah adalah salah satu organisasi Islam, perbedaannya hanya pada nabi
Imam Mahdi yang sudah diakui keberadaannya oleh Ahmadiyah. Hal ini sesuai
dengan sabda Rasulullah Muhammad saw yang menyatakan adanya khalifah
yang akan membina umat dengan mengacu kepada kenabian. Nabi yang
akhirnya diakui oleh Ahmadiyah adalah nabi umati yang tidak membawakan
ajaran baru.
Qasim Mathar:
Paham keagamaan tidak dapat diseragamkan. Di dalam satu
agama saja, banyak sekali perbedaan atas ajarannya. Kalau mau
konsisten, MU1 seharusnya menyebut Syiah sebagai aliran sesat karena
rukun imannya berbeda dengan kelompok Islam lainnya. Tetapi MUI
tidak dapat melakukannya akan berurusan dengan satu negara besar,
yaitu Iran. Ahmadiyah sendiri tidak mempunyai negara, sehingga maka
lebih mudah untuk dinyatakan sesat.
Peserta 4:
Bagaimana dengan kepercayaan kepada Tuhan YME?
Djoko Surono:
Berketuhanan YME merupakan hak asasi dari individu masingmasing. Apabila ada ajaran yang menyimpang, maka sudah seharusnya
KOMNAS HAM
1 147
Qasim Mathar:
Pencantuman agama di dalam KTP sebenarnya tidak bermasalah,
karena ini merupakan bagian dari kehidupan bernegara. Namun menjadi
masalah ketika ada agama yang tidak dapat dicantumkan di dalam KTP
tersebut. Pemerintah wajib mengatur masalah ini, yaitu memberikan
identitas sipil kepada seluruh warganya dari berbagai agama manapun
tanpa pembatasan.
Peserta 7:
Bagaimana sikap polisi yang hanya menjadi penonton saat FPI
menyerang kelompok lain, padahal tindakan FPI dapat dinyatakan sebagai
pelanggaran HAM?
Chandra:
Pendapat bahwa tindakan FPI tersebut melanggar HAM adalah
benar. Narnun tindakan ini juga dikategorikan sebagai tindakan pidana,
sehingga menjadi kewenangan dan kewajiban polisi untuk menyelidiki dan
menyidik. Untuk saling meningkatkan profesionalisme masing-masing,
Komnas HAM telah mengadakan MoU dengan POLRI.
Kasus dengan basis keagamaan diakui memang masih sering terjadi,
maka inilah gunanyaupayauntukmelakukanpenguatan civil society. Selain
itu, mental aparat memang harus diperbailu dalam melayani warganya.
Tugas ini memang menjadi tugas Komnas HAM, tetapi masyarakat juga
tidak bisa lepas,jadi merupakan tanggung jawab bersarna.
Qasim Mathar:
Ajaran yang dinyatakan sebagai ajaran Rasulullah ternyata tidak
selalu sama dengan ajaran aslinya. Misalnya ada Hadist yang berbunyi,
"Apabila melihat adanya kemungkaran, maka ubah dengan tanganmu.
Jika tidak bisa, maka dengan lidah, dan bila tidak bisa, maka jangan
mengikuti". Hadits ini benar adanyadan tidakpernah adaajaran Rasul yang
membagikan tongkat untuk memukul lawannya yang berbeda pendapat.
Sebenarnya yang dimaksudkan 'tangan' di sini adalah kekuasaan, bukan
tangan yang mengangkat tongkat untuk memukul lawan.
Peserta 8:
Penulis mempertanyakan pernyataan Kanwil Depag bahwa kondisi di
Jawa Timur sangat baik, padahal banyak sekali kasus keagamaan, misalnya
KOMNAS HAM
149
Djoko Surono:
Depag sendiri sebenarnya hanya berwenang melakukan pelayanan
dan pembinaan, sedangkan kewenangan mengenai larangan suatu aliran
itu ada di tangan Kejaksaan Agung berdasarkan masukan dari ulama
atau tokoh agama yang bersangkutan. Mengenai kasus di Jawa Tirnur itu
sebenamyamerupakan efek dari suatu penyebaran ajarannyakepadaumum.
Penegak hukum benvenang melaksanakantugasnya untuk mengembalikan
ketenteraman kehidupan umat beragama. Di sini letak campur tangan
pemerintah tersebut. Selama tidak mengganggu kehidupan beragama dan
berbangsa, maka pemerintah tidak akan melakukan intervensi apapun.
Chandra:
Perdebatan tentang keberadaan Depag sebenarnya tergantung
kebutuhan Indonesia sendiri. Hal ini sebaiknya dibahas di dalam
lokakarya esok hari. Tetapi sebagai masukan, mungkin ada baiknya
Depag mereposisi tugas dan kewenangannya. Sebenarnya agama dan
kepercayaan tidak membutuhkan pengakuan dari suatu negara. Hak
beragama ini merupakan wilayah privat, negara tidak benvenang
mengatur pemikiran dan keyakinan warganya.
Palu: dari PBM sampai Piagam Madinah
Di Palu, seminar yang diselenggarakan pada 11 September 2006
lebih banyak didominasi oleh wacana soal Peraturan Bersama Menteri
tentang pendirian tempat ibadah. Dihadiri oleh sekitar 120 peserta, acara ini
mendatangkan Abdul Aziz M Godal selaku Kakanwil Depag Sulawesi Tengah,
Qasim Mathar dari Universitas Islam Negeri Makassar, dan Chandra Setiawan
dari Komnas HAM menjadi narasumber dalam acara ini.
Peserta 1:
Bagaimana pandangan Komnas HAM terhadap Peraturan Bersama
Menteri (PBM)? Apakah ha1 itu melanggar HAM?
Chandra:
Peraturan Bersama Menteri (PBM) tidak melanggar HAM,
karena PBM tersebut merupakan petunjuk pelaksanaan suatu
150 /
KOMNAS HAM
Peserta 2:
Penulis mempertanyakan keberpihakan Qasim terhadap Ahmadiyah.
Jika satu aliran sesat dibiarkan, maka akan tumbuh berbagai aliran sesat.
Gasim Yamani:
Di dalam ajarannya, Ahmadiyah telah mengacaukan ajaran
Islam. Di dalam Al-Qur'an dijelaskan bahwa ajaran agama telah
berakhir di tangan Nabi Muhammad. Jika ada ajaran yang mengganggu
kepercayaan orang lain, maka ha1 ini sudah melanggar hak asasi
manusia.
Qasim Mathar:
Di dalam peta Islam bukan hanya ada Sunni dan Syiah, dapat
ditambah dengan Ahmadiyah. Hal ini hams dilakukan, karena Jemaah
Ahmadiyah telah mencapai dua juta orang. Saat Islam dikaji, timbul
masalah karena kesepahaman tidak muncul di antara umat Islam sendiri.
Dilihat dari Rukun Iman, khususnya iman kepada semua rasul dan
seluruh kitab Allah, terlihat bahwa Ahmadiyah percaya semua rukun
ini. Perbedaannya: mereka percaya Mirza Gulam Ahmad sebagai nabi
setelah Muhammad, namun Gulam tidak membawa ajaran baru.
Peserta 3:
Dalam kasus Selena, masalah agama menyebabkan rumah-rumah
warga fkfena dikosongkan oleh kelompok tertentu. Pernyataan sesat dikaitkan
dengan ajaran Madi yang disebut-sebut sebagai Imam Mahdi, padahal warga
Selena sendiri menolak tudingan tersebut. Upacara yang dilakukan hanyalah
upacara adat setempat, yaitu upacara tolak bala, bukan bagian dari ajaran
agama tertentu.
Chandra:
Masalah itu masuk ke dalam wilayah kriminal, suatu tindak
KOMNAS HAM
1 151
152 1
KOMNAS HAM
KOMNAS HAM
1 153
Chandra:
Di sinilah perlunya memanfaatkan keberadaan FKUB secara
maksimal dengan menunjuk penvakilan agamanya, sehingga dapat
dilaksanakan suatu diskusi atau musyarawah mengenai pendirian
rumah ibadah umum (bukan rumah ibadah keluarga). Syarat jumlah
umat tergantung situasi dan tempatnya juga. Mengenai masalah sudah
adanya ijin dari masyarakat sekitar, dan kemudian ada satu orang yang
tidak setuju yang mengakibatkan Walikota tidak jadi menerbitkan
ijinnya, maka ha1 ini dapat diajukan keberatannya.
Qasim Mathar:
Pembangunan rumah ibadah memang tidak dapat dilakukan oleh
seorang warga, namun diatur oleh pemerintah. Namun apabila pemerintah
makin mengatur agama, maka justru makin menyulitkan kehidupan
beragama itu sendiri.
Peserta 8:
Apa peran Komnas HAM dalam ratifikasi instrumen internasional
tentang HAM. Bagaimana dengan perjanjian Islam yang seharusnya diakui
oleh dunia, misalnya Perjanjian Madinah?
Chandra:
Ratifikasi instrumen HAM internasional bukan kewenangan
Komnas HAM. Dan merupakan kewenangan badan legislatif Indonesia.
Ratifikasi terhadap ICCPR dan ICESCRjustru terjadi bukan diakibatkan
desakan Komnas HAM semata, melainkan merupakan syarat dari
perjanjian Helsinski antara RILGAM. Kita sebaiknya tidak pesimis
atas kehidupan HAM di Indonesia. Seharusnya kita semua turut dalam
berupaya mengedepankan perlindungan kebebasan beragama.
Qasim Mathar:
Piagam Madinah sebenarnya tidak perlu diratifikasi karena
sebenarnya nilai Piagam itu atau A1 Qur'an tidak memerlukan
aktualisasi seperti itu. Apa yang hams dilakukan adalah pemahaman
dan pelaksanaan atas nilai-nilai itu.
BAGIAN KETIGA
156
1 KOMNAS HAM
159
111.
IV.
V.
161
VI.
VII.
IX.
X.
XI.
a.
b.
c.
d.
e.
11.
III.
IV.
2.
168
1 KOMNAS HAM
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Hindu
Tri Hita Karana ( Parahyangan, Pawongan, Peo
lemahan)
Tat Twam Asi artinya "Aku adalah Kau, Kau
o
adalah Aku" maksudnya saya memandang orang
lain seperti dirinya sendiri
Buddha
o
Kitab Falisuta dan Kalarnasuta, yang diambil
adalah dari prasasti Kalingga Raja Asoka: "Jangan
mencela agama lain karena dengan mencela agama
lain, berarti telah mencela atau mengubur agamanya
sendiri"
Sikap Brahma Vihara: "Cinta Kasih, Welas Asih,
o
rasa simpati dan keseimbangan batin"
o
Angutara Nikaya: ''mencela atau menjelekkan
ajaran orang lain sama halnya menggali lubang
kubur bagi agamanya sendiri"
Khonghucu
o
"Di empat penjuru lautan, semua manusia bersaudara"
o
"Seseorang yang berbudi luhur, walaupun berbeda, akan dapat hidup harmonis. Namun apabila
rendah budinya, walaupun sama, tidak akan dapat
hidup harmonis"
Petuah : "Ura'ngi Rua, Kaluppai Rua (Ingatlah
Kejahatan kepada orang lain dan ingat kebaikan orang
- orang kepadamu serta lupakanlah kebaikanmu kepada
orang lain serta lupakan pula kejahatan orang kepadamu
(Falsafah Bugis - Makassar)"
Sipakatau, Sipakainge, Sipatokkong, Sipakalebbi dan
Sipakarennu;
Misa' Kada Dipotuo Pantan Kada Dipomate yaitu
"Bersatu Kita Teguh Bercerai Kita Runtuh" (falsafah
Toraja);
To kamase-masea artinya "saling mengasihi sesama
manusia" (Kajang)
10.
V.
VI.
Humanisme
Hak hidup
Hak berkeluarga dan bereproduksi
Yang mengajarkan perdamaian;
Berbuat baik kepada siapa saja dengan tulus hati;
Yang berbuat baik akan mendapatkan kebaikan juga.
Kesamaan martabat manusia
Amar ma'ruf nahi munkar.
a.
b.
c.
d.
X.
174
1 KOMNAS HAM
BAGIAN KEEMPAT
176
I KOMNAS HAM
BAGIAN KELIMA
177
KOMNAS HAM
179
M. Akbar - IPNU
182
1 KOMNAS HAM
KOMNAS HAM
183
Chandra Setiawan, saat ini tercatat sebagai Komisioner Hak atas Kebebasan
Pribadi, Komnas HAM (2002-2007). Pria kelahiran Pangkal Pinang, 8 April
1961, ini menamatkan S3 pada Jurusan Manajemen Pendidikan Universitas
Negeri Jakarta dengan predikat cumlaude pada 2001. Selain menjabat sebagai
Rektor IBII (2001-Agustus 2006), ia juga menjadi anggota presidium Majelis
Tinggi Agama Khonghucu Indonesia. Ketua I1 ICRP ini dipercaya sebagai
Ambassador for Peace dari The Interreligious and International Federation for
World Peace (IIFWP).
Pdt. John A Titaley, lahir di Sorong, Irian Jaya, 19 Juni 1950. Guru besar Ilmu
Teologi pada PPS Sosiologi Agama UKSW dan guru besar luar biasa pada CRCS
UGM ini menamatkan studi pada Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya
Wacana, Salatiga tahun 1976. Saat ini Titaley bertempat tinggal di Salatiga.
185
di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, ini juga menjadi staf ahli pada Depag RI.
Doktor kelahiran Bone, 3 Maret 1958, ini punya beragam aktivitas lain, antara
lain tercatat sebagai Sekretaris Jenderal Indonesian Conference on Religion
and Peace (ICRP).
Dawam Raharjo, lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada. Lelaki
kelahiran Solo ini turut membidani lahirnya Ikatan Cendekiawan Muslim seIndonesia (ICMI) pada 1990. Ia menjadi wakil ketua Dewan Pakar pada periode
pertama, dilanjutkan sebagai Ketua ICMI Pusat pada periode berikutnya.
Mantan Rektor Universitas 45 (Unisma) Bekasi ini juga aktif di Lembaga
Studi Agama dan Filsafat dan Internasional Institute of Islamic Thought.
MM. Billah, saat ini masih tercatat sebagai Komisioner Hak atas Keyakinan
Politik, Komnas HAM. Pria kelahiran 21 Juli 1945 ini menamatkan S2 di
Universitas Indonesia pada 1995. Selain dikenal sebagai konsultan atau
fasilitator, salah satu pendiri KontraS ini juga menangani penelitian dan
evaluasi beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat.
Djoko Surono, pegawai negeri sipil berpangkat Penatdl11 d. Saat ini menjabat
Kasubag Hukmas dan KUB Kanwil Depag Jatim. Pria yang lahir di Boyolali,
21 Mei 1959, ini berdomisili di bilangan Tagesangan, Surabaya.
186
I KOMNAS HAM