Anda di halaman 1dari 198

Editor

CHANDRA
SETIAWAN
ASEPMULYANA

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia


2006

BAGIAN PERTAMA
I.

Kebebasan Beragama dan Melaksanakan AgamaKepercayaan Perspektif HAM


......halaman I
Oleh Chandra Setiawan

II.

Hubungan Agama dan Negara dalam Menjamin Kebebasan Beragama


......halaman 9
di Indonesia
Oleh John A. Titaley

HI.

Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan: Beberapa Catatan dari


Perspektif Islam
......halaman 29
Oleh M. Qasim Mathar

IV.

Hubungan Islam dan Negara dalam Menjamin Kebebasan Beragama


di Indonesia
......halaman 39
Oleh Siti Musdah Mulia

V.

Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia


Oleh Andreas A. Yewangoe

......halaman 61

VI.

Manifestasi Agama dalam Bingkai Persatuan


Oleh Fauzan Al-Anshari

......halaman 69

VII.

UU Kebebasan Beragama
Oleh M. Dawam Rahardjo

......halaman 75

VIII. Agama dan Kekerasan (atas nama) Agama


Oleh M.M. Billah

......halaman 83

IX. Peran Pemerintah dalam Penegakan Hak Beragama di Jatim


Oleh Djoko Surono

X.

......halaman 113

Peran Pemerintah dalam Penegakan Kebebasan Beragama dan Berke-percayamdi NTB


......halaman 123
Oleh Lalu Mahfud

BAGIAN KEDUA
Seri Diskusi di Enam kota

.....halaman I31

BAGIAN KETIGA
Kesepakatan dalam Seri Lokakarya di Enam Kota

......halaman 155

BAGlAN KEEMPAT
Rekomendasi

......halaman 175

BAGWV KELIMA
Penutup

......halaman 177

Lampiran
......halaman 178
Peserta Seminar dan Lokakarya Kebebasan Beragama
dan Berkepercayaan di Indonesia

KOMNAS HAM

iii

i dalam Pasal 71 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM dinyatakan bahwa pemerintah, sebagai pemegang mandat untuk
mewakili negara, mempunyai kewajiban dan bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan hak asasi
manusia. Kewajiban dan tanggung jawab itu hams diimplementasikan secara
efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial dan budaya, pertahanan
dan keamanan negara, serta bidang lain.
Pasal 100 UU yang sama menyatakan, setiap orang, kelompok, organisasi politik, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan
lainnya berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan
hak asasi manusia.
Sementara itu pada Pasal 75 W itu dinyatakan Komnas HAM bertujuan: mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM sesuai
dengan Pancasila, UUD 1945, dan Piagam PBB, serta Deklarasi Universal
HAM; dan meningkatkan perlindungan dan penegakkan HAM guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya, dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
Hak Kebebasan BeragamaIBerkepercayaan yang dijamin dalam Pasal
28 E ayat (1) & ayat (2) UUD 1945; Pasal29 ayat (2) UUD 1945; Pasal22 ayat
(1) & ayat (2) UU 3911999; Pasal18 W No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.
Dalam kenyataannya, Komnas HAM masih mendapatkan pengaduan
dari kelompok masyarakat yang beragama tertentu, seperti Islam (cq. Jemaat
Ahmadiyah Indonesia), yang mengalami tindakan kekerasan dari sekelompok
orang yang mengatasnamakan agama tertentu; Kristen-Katolik yang terkait
dengan penutupan tempat ibadah; Penghayat Kepercayaan yang terkait dengan
hak-hak sipil-nya tidak mendapat pelayanan dari Pemerintah.
KOMNAS HAM

Pemerintah, khususnya aparat keamanan, nampaknya belum bertindak


maksimal dalam menangani tindakan anarkis atas nama agama. Pemerintah
juga tidak melakukan penyelesaian sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, terutama kepada pihak yang diduga menjadi penggeraknya.
Kejadian di atas menunjukkan masih terdapat masalah, baik pada level
pemerintah maupun masyarakat, di dalam menjalankan perannya untuk memberikan jaminan kebebasan beragamaherkepercayaan temtama di dalam memanifestasikan/melaksanakankebebasan beragamaherkepercayaannya.
Untuk itu, Komnas HAM menyelenggarakan seri seminar dan lokakarya dengan tema, "Kebebasan Beragamaherkepercayaan di Indonesia dengan tujuan:
1.
melakukan sosialisasi tentang makna kebebasan beragamdberkepercayaan sesuai dengan UUD 1945, UU 39 Tahun 1999, dan Pasal 18-19
W No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional HakHak Sipil dan Politik;
2.
membangun saling pemahaman antarumat beragama tentang perlunya
toleransi dan saling menghoxmati serta memajukan HAM, khususnya
kebebasan beragamaherkepercayaan.
Seminar dan lokakarya dengan tema di atas telah berhasil dilaksanakan
dengan baik di berbagai kota, yakni Pangkal Pinang (Bangka-Belitung), Palu
(Sulawesi Tengah), Makassar (Sulawesi Selatan), Mataram (Nusa Tenggara
Barat), Surabaya (Jawa Timur), dan Jakarta.
Sebagai tindak lanjut hasil serangkaian Seminar dan Lokakarya di atas
diterbitkan sebuah buku seperti yang saat ini berada di tangan pembaca. Tujuan penerbitan buku ini adalah dalam rangka memperluas jangkauan sosialisasi dari hasil-hasil di atas, dan juga tentu saja diharapkan akan dapat menjadi
salah satu referensi penting bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah, DPR,
DPRD, DPD, lembaga yudikatif, aparat penegak hukum (polisi, jaksa), kalangan civil society, serta tokoh agama yang tergabung pada Forum Kerukunan
Umat Beragama (FKUB) yang difasilitasi pembentukannya oleh pemerintah di
semua propinsi dan kabupaten-kota di Indonesia.
Atas nama pribadi, dan komisioner penanggung jawab Hak-Hak atas
Kebebasan Pribadi, melalui kata pengantar buku ini, kami menyampaikan
terima kasih kepada para kontributor makalah (Siti Musdah Mulia, M. Qasim
Mathar, John Titaley, Yewangoe, Dawam Raharjo, Fauzan A1 Anshari, MM.
Billah, Djoko Surono, dan Lalu Mahfudz) serta beberapa narasumber lainnya
yang tidak membuat makalah sehingga tidak dapat dimasukkan dalam buku

ini. Di samping itu, tentu saja terima kasih kami sampaikan kepada moderator seminar, fasilitator lokakarya, peserta seminar dan lokakarya yang telah
berkontribusi dalam diskusi kelompok maupun pleno. Tak lupa kami sampaikan terima kasih kepada Ketua dan Wakil Ketua Komnas HAM, Ketua Subkomisi Hak-Hak Sipil dan Politik dan kolega sesama Anggota Komnas HAM
yang telah banyak membantu.
Terima kasih juga kami sampaikan kepada staf yang selama ini terlibat
langsung: Rima Purnama Salim, Asri Oktavianty, Eko Dahana, juga Hanggoro, dan pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Saya juga talc
lupa menyampaikan terima kasih kepada Asep yang telah menyiapkan draft
buku ini, sehingga memudahkan pekerjaan saya untuk mengeditnya. Terakhir,
terima kasih untuk pihak percetakan yang telah membantu mencetak buku ini
sehingga buku ini dapat terbit dan sampai ke tangan para pembaca.
Seperti pepatah mengatakan "tak ada gading yang tak retak", buku ini
masih mengandung kelemahan dan kekurangan. Untuk itu, kami harapkan kritik dan sarannya.
Atas segala kekurangan, kami mohon dibukakan pintu maaf, semoga
bermanfaat.

Chandra Setiawan

KOMNAS HAM

vii

BAGIAN PERTAMA

BERAGAMA
ATAUBERKEPERCAYAAN
KEBEBASAN

DAN

MELAKSANAKANNYA
DITINJAU DARI
PERSPEKTIF
HUKUM
DAN HAM
Oleh Chandra Setiawan

KOMNAS HAM

I KOMNAS HAM

I.

Pembuka

Setiap orang berhak atas kebebasan beragama atau berkepercayaan.


Konsekwensinya: tidak seorang pun boleh dikenakan pemaksaan yang akan
mengganggu kebebasannya untuk menganut atau memeluk suatu agama atau
kepercayaan pilihannya sendiri. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamalkepercayaannya, namun negara (cq. pemerintah)
wajib mengatur kebebasan di dalam melaksanakanlmenjalankan agama atau
kepercayaan agar pemerintah dapat menghormati, melindungi, menegakan dan
memajukan Hak Asasi Manusia (HAM) dan demi terpeliharanya keamanan,
ketertiban, kesehatan atau kesusilaan umum.
11.

Makna Kebebasan Beragama atau Berkepercayaan


Secara normatif, dalam perspektif HAM, hak kebebasan beragama atau berkeyakinan dapat disarikan ke dalam delapan komponen,
yaitu:
1.
Kebebasan Internal
Setiap orang mempunyai kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut
atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri
termasuk untuk berpindah agama atau kepercayaannya.
2.
Kebebasan Eksternal
Setiap orang memiliki kebebasan, secara individu atau
di dalam masyarakat, secara publik atau pribadi, untuk memanifestasikan agama atau kepercayaannya di dalam pengajaran,
pengamalamya clan peribadahannya.
3.
Tidak ada Paksaan
Tidak seorangpun dapat menjadi subyek pemaksaan yang
akan mengurangi kebebasannya untuk memiliki atau mengadopsi
suatu agama atau kepercayaan yang menjadi pilihannya.
4.
Tidak Diskriminatif
Negara berkewajiban untuk menghormati dan menjamin
kebebasan beragama atau berkepercayaan semua individu di
dalam wilayah kekuasaannya tanpa membedakan suku, warna
kulit, jenis kelamin, bahasa, agama dan keyakinan, politik atau

'

Kedeiapan komponen ini disarikan dari berbagai tnsmmen internasional yang memuat tentang kebebasan beragama atau
berkepercayaan seperti Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, pasal 18; Kovenan lnternasional Hak-Hak Sipil dan
Polik pasal 18.1. s.d. 18.4. dll. Lihat. Tore Lindholm, W. Cole Durham, Jr. Bahia G. Tahzib-Lie (ed), FaciliratingFreedom of
Religion orSelfef. A Desbwk. Netherfand, Marlinus Nijhoff Publishen, 2004, pp. m i i - xxxix

KOMNAS HAM

5.

6.

7.

8.

111.

pendapat, penduduk asli atau pendatang, asal-usul.


Hak dari Orang Tua dan Wali
Negara berkewajiban untuk menghormati kebebasan
orang tua, dan wali yang sah Cjika ada) untuk menjamin bahwa
pendidikan agama dan moral bagi anak-anaknya sesuai dengan
keyakinannya sendiri.
Kebebasan Lembaga dan Status Legal
Aspek yang vital dari kebebasan beragama atau berkeyakinan, bagi komunitas keagamaan untuk berorganisasi atau
berserikat sebagai komunitas. Oleh karena itu, komunitas keagamaan mempunyai kebebasan dalam beragama atau berkeyakinan, termasuk di dalamnya hak kemandirian di dalam
pengaturan organisasinya.
Pembatasan yang diijinkan pada Kebebasan Ekstemal
Kebebasan untuk memanifestasikan keagamaan atau
keyakinan seseorang hanya dapat dibatasi oleh undang-undang
dan kepentingan melindungi keselamatan dan ketertiban publik,
kesehatan atau kesusilaan umum atau hak-hak dasar orang lain.
Non-Derogability
Negara tidak boleh mengurangi kebebasan beragama
atau berkepercayaan dalam keadaan apa pun.

Jaminan Kemerdekaan beragama atau Berkepercayaan dalam konstitusi


dan Undang-Undang
1.
UUD 1945 Pasal28 E, ayat (1):
Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat
menurut agamanya. Ayat (2): Setiap orang berhak atas kebebasan
meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai
dengan hati nuraninya.
UUD 1945 pasal29 ayat (2):
2.
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
UUNo. 12Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Intemasional
3.
Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik Pasal 18 ayat (1):
Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan
dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau
menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan

1 KOMNAS HAM

4.

5.

kebebasan, baik secara individu maupun bersama-samadengan orang


lain, dan baikdi tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama
atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan
dan pengajaran. Pasal 18 ayat (2) Tidak seorang pun boleh dipaksa
sehingga mengganggu kebebasannyauntuk menganut atau menerima
suatu agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.
UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal22 ayat (1):
Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Pasal 22 ayat (2): Negara menjamin kemerdekaan setiap orang
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
UU No. IffNPSl1965, jo. UU No. 511969 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan danl atau Penodaan Agama, pada penjelasan
Pasal 1 berbunyi:
"Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah
Islam, Kristen, Kathollk, Hindu, Budha dan Khonghucu (Conhcius).
Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembanganAgama-agama
di Indonesia. Karena 6 macam Agama ini adalah agama-agama
yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali
mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh pasal29 ayat
2 UUD juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan
seperti yang diberikan oleh pasal ini". Namun perlu dicatat bahwa
penyebutan ke-6 agama tersebut tidaklah bersifat pembatasan yang
membawa irnplikasi pembedaan status hukum tentang agama yang
diakui dan tidak diakui melainkan bersifat konstatasi tentang agamaagama yang banyak dianut di Indonesia. Hal ini diperjelas oleh penjelasan UU itu sendiri yang menyatakan bahwa, "Ini tidak berarti bahwa
agama-agama lain seperti Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism di
larang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang
diberikan pasal 29 ayat (2) clan mereka dibiarkan adanya....". Perkataan "seperti" dalam penjelasan ini perlu digarisbawahi sebab
perkataan ini menunjukkan bahwa agama-agama yang disebutkan
hanyalah sekedar contoh tentang agama-agama di luar ke-6 agama
yang disebutkan dalarn UUI PNPSI No. 1 Tahun 1965.*

UU ini tidak memberi tempat terhadap eksistensi kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Undahg-Undang
ini memberi kewenangan kepada Pemerintah untuk 'mengekang' kebebasan beragama dan dalam praktik di
lapangan hanya 'menguntungkan'agama-agama besar yang dilayani Departemen Agama.

KOMNAS HAM

IV.

Kewenangan pemerintah mengatur kebebasan menjalankan agama atau kepercayaan


Berdasarkan yang tersirat Pasal 70 UU No. 39 tahun 1999
tentang HAM dan tersurat dalam UU No. 12 Tahun 2005, Pasal 18 ayat
(3)Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil
dan Politik, maka pemerintah dapat mengaturlmembatasi kebebasan
untuk menjalankan agama atau kepercayaan melalui Undang-Undang.
Beberapa contoh diberikan di bawah ini adalah elemen-elemen
yang dapat dimuat di dalam pengaturan tersebut: '
1.
Restriction For The Protection of Public Safety
Pembatasan kebebasan memanifestasikan agama di publik
dapat dilakukan pemerintah seperti pada musyawarah keagamaan,
prosesi keagamaan dan upacara kematian dalam rangka melindungi
kebebassli irldividu-individu(hidup, integritas, atau kesehatan) atau
kepemilikan.
2.
Restriction For The Protection of Public Order
Pembatasan kebebasan memanifestasikan agama dengan
maksud menjaga ketertiban umum, antara lain keharusan mendaftar
badan hukum organisasi keagamaan masyarakat, mendapatkan ijin
untuk melakukan rapat umum, mendirikan tempat ibadat yang diperuntukan umum. Pembatasan kebebasan menjalankan agama
bagi narapidana.
3.
Restriction For The Protection of Public Health
Pembatasan yang diijinkan berkaitan dengan kesehatan
publik dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada pemerintah
melakukan intervensi guna mencegah epidemi atau penyakit lainnya.
Pemerintahdiwajibkanmelakukanvaksinasi,pemerintahdapatmewajibkan petani yang bekerja secara harian untuk menjadi anggota askes
guna mencegah penularan penyakit TBC. Bagairnana pemerintah
hams bersikap seandainya ada ajaran agama tertentu yang melarang
diadakan transfusi darah atau melarang penggunaan helm pelindung
kepala? Contoh yang agak ekstrim adalah praktik mutilasi terhadap
kelamin perempuan dalam adat-istiadat tertentu di A&.
4.
Restriction For The Protection of Morals
Untuk justifikasi kebebasan memanifestasikan agama
atau kepercayaan yang terkait dengan moral dapat menimbulkan
Uraian yang lebih lengkap dapat dibaca tulimn. Manfred Nowak and Tanja Vospemik. Termissible ResMons on Freedom of
Relgion w Belief" yang dimuat dalam buku,"FaalitatingFredom of Religion w Belief. A Deskbook".Netherland. Maltinus Nijhoff
Publ~shen.2004. pp. 150-160

1 KOMNAS HAM

5.

kontroversi. Konsep moral merupakan turunan dari berbagai tradisi keagamaan, filsafat, dan sosial. Oleh karena itu,
pembatasan yang terkait dengan prinsip-prinsip moral tidak
dapat diambil hanya dari satu tradisi atau agama saja. Pembatasan
dapat dilakukan pemerintah bahkan untuk binatang tertentu
yang dilindungi oleh Undang-Undang untuk tidak disembelih
guna kelengkapan ritual aliran agama tertentu.
Restriction For The Protection of The (Fundamental) Rights
and Freedom of Others
5.1. Proselytism
Dengan adanya hukuman terhadap tindakan proselytism,
pemerintahmencampurikebebasanseseorangdidalammemanifestasikan agama mereka melalui aktivitas-aktivitas
misionaris di dalam rangka melindungi agar kebebasan
beragama orang lain untuk tidak dikonversikan.
5.2. Pemerintah berkewajiban membatasi manifestasi dari
agama atau kepercayaan yang membahayakan hakhak fundamental dari orang lain, khususnya hak untuk
hidup, kebebasan, integritas fisik dari kekerasan, pribadi,
perkawinan, kepemilikan, kesehatan, pendidikan, persamaan, melarang perbudakan, kekejaman dan juga hakhak kaum minoritas.

Penutup
Pemerintah sebagai penanggung jawab utama pelaksanaan HAM di
Indonesia hams memiliki kemauan dan kehendak yang kuat serta bersungguhsungguh dalam melaksanakan kewajiban moral dan hukum, khususnya di
dalam menjamin kebebasan beragama atau berkepercayaan. Negara Republik
Indonesia- hams melaksanakan UlJD dan Peraturan Perundang-Undangan
secara konsekwen, dan apabila membuat Undang-Undang bam hams dapat
menjamin hak-hak memanifestasikan beragama atau berkepercayaan tanpa
diskriminasi, termasuk di dalamnya pemenuhan hak-hak sipil setiap pemeluk
agama (apa pun agamanya) atau Penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, seperti kebebasan mencantumkan identitas agama atau kepercayaan
di dalam administrasi kependudukan (Kartu Keluarga, KTP), pencatatan
perkawinan bagi pemeluk agama atau kepercayaan oleh pemerintah (cq. KUA,
Kantor Catatan Sipil).

V.

KOMNAS HAM

1 KOMNAS HAM

Oleh John A. Titaley

KOMNAS HAM

10

\ KOMNAS HAM

1.

ema ini menunjukkan bahwa agama masih menjadi permasalahan ketika hendak ditempatkan dalam tataran yang lebih
luas dari individu menjadi tataran hidup bersama, terutama
dalam suatu masyarakat yang plural. Dia makin menjadi serius ketika dalam
tataran hidup bersama itu struktur formal, seperti negara dan pemerintahan,
hendak dikaitkan dengannya.
Serius, karena ketika struktur formal dilibatkan, politik, yang selalu
menjadi ciri struktur formal kehidupan bersama itu, mau tidak mau hams
terlibat juga, termasuk dalam kehidupan bersama. Padahal, agama adalah lembaga sosial yang berhubungan dengan kekuatan di luar diri manusia, yang
tidak terkendali oleh manusia.
Serius, karena ketika manusia sudah dapat berlindak mengatasnamakan
kekuatan tersebut, dia dapat muncul menjadi kekuatan yang sangat menakutkan.
Karenanya, dalam membahas tema ini terlebih dahulu akan dibahas hubungan
negara dan agama secara teoritik, baru mengkaji praktek hubungan tersebut di
Indonesia dan permasalahamya.
Hubungan Negara dan Agama dalam Perspektif Teoritik
J. Philip Wogaman, membedakan paling tidak empat tipe
hubungan negara dan agama, ~ a i t u : ~
*:
Teokrasi, yaitu suatu kehidupan bemegara yang di dalamnya
pemirnpin agama atau lembaga keagamaan tertentu mengendalikan
kehidupan bernegara lewat berbagai kebijakan kenegaraan dan
undang-undang untuk tujuan-tujuan agama tersebut. Wogaman
memberikan contoh terhadapteokrasi ini, antara lain dalam kehidupan
bangsa Ibrani kuno, tradisionalitas Tibet, kehidupan puritanisme
jaman kolonialisme Amenka, periode awal Mormonisme di Utah,
dalam batas-batas tertentu terjadi sekarang di Iran,Katolik abad pertengahan, juga jaman modem sebelum Vatican I1 dan Zionis Israel.
Erastianisme, yaitu suatu kehidupan bemegara yang di dalamnya
para pemimpin politik telah mengeksploitasi agama untuk
tujuan-tujuan negara. Tipe ini merupak& kebalikan dari tipe
pertama. Disebut Erastianisme karena mengrkuti pandangan
Thomas Erastus, teolog protestan Swiss Jerman abad XVI.
Bentuk kehidupan negara seperti ini, menurut Wogaman, terdapat
terutama di Jepang dengan Shintoisme-nya. Hal serupajuga dapat
0:.

J. Philip Wogaman, Christian Perspectiveson Politics: Revisedand Expanded. Louisville (Kentucky: Westminster
John Knox Press 2000). 250-2.

KOMNAS HAM

11

*:*

*:*

dilihat ketika Stalin pada awal PD I merangkul Gereja Orthodox


Russia. Yang paling nyata bentukini dapat dilihat dalam kehidupan
Gereja Anglikan di Inggris.
Pemisahan Gereja-Negara Yang Rusuh, yaitu suatu kehidupan
bernegara yang di dalamnya terjadi pemisahan yang sangat keras
antara gereja dan negara. Dalam kasus-kasus tertentu, kehidupan
keagamaan bahkan tidak diakui atau tidak diperbolehkan. Wogaman memberi contoh kasus antiklenkalisme abad XIX di Perancis.
Di negara-negara Marxis bahkan lebih ekstrim lagi, seperti yang
terjadi di Albania sebelurn berakhirnya Perang Dingin antara Barat
dan Uni Soviet. Dalam konstitusinya, Albania tidak mengakui
keberadaan agama dan memropagandakan atheisme.
Pemisahan Gereja-Negara Yang Ramah: yaitu suatu kehidupan
bemegara yang di dalamnya ada pemisahan yang tegas secara legal
antara kehidupan beragama dan kehidupan bemegara. Amerika
Serikat, oleh Wogaman, disebut sebagai contoh yang sangat jelas
untuk tipe ini. Tipe ini telah dijamin dalam konstitusi Amerika Serikat
dengan maksud untuk menjaga integritas dan independensi lembagalembaga keagamaan itu sendiri.

Tentu keempat tipe ini adalah keadaan ideal yang dapat digambarkan. Dalam
prakteknya sering terjadi campuran antara beberapa tipe. Terhadap tipe teokrasi,
Wogaman sangat tegas menolaknya. Bahkan Wogaman menyebutnya sebagai suatu
ilusi (khayalan), karena ketika agama berkeingman untuk menguasasi negara, yang
terjadi pada akhirnya adalah agamalah yang dipemlat negara untuk tujuan-tujuan
politik terter~tu.~
Jadi batas antara teokrasi dan emtianisme sangat tipis.
Ilusi lainnya adalah kesulitan membedakan mereka yang benar-benar
taat beragama atau hanya memperalat agama untuk tujuan-tujuan mereka
sendiri demi karier atau keuntungan diri sendiri.
Masalah lebih dalam lagi bagi Wogaman adalah masalah teologik.
Akibat dari teokrasi ini akan tercipta dua kelompok manusia dalam masyarakat,
yaitu mereka yang merasa memiliki kebenaran Yang Mutlak dan yang
tidak. Yang merasa memiliki kebenaran itulah yang memimpin yang Tidak.
Merekalah yang berhak menjadi presiden, menjadi anggota DPR, menteri,
gubernur, jenderal penuh dan sebagainya. Yang lain itu tidak boleh karena
tidak memiliki kebenaran (kafir).
Keadaan ini bisamengakibatkankelompokyang merasadiri benar itu bisa
5

12

lbid., 253-4.

1 KOMNAS HAM

#'

/
'
*

mencari keuntungan dari yang tidak memiliki kebenaran. Yang menyedihkan


lagi mereka berbuat demikian atas nama Yang Mutlak. Masalahnya, siapakah
manusia yang dapat memahami Yang Mutlak itu secara sempurna, sehingga
berani mengklaim bahwa dia memiliki kebenaran itu? Yang Mutlak itu
tidak akan pernah dipahami seorang manusia pun secara penuh. Karenanya,
mengatasnamakan Yang Mutlak dalam kehidupan keagamaan, sosial atau
politik merupakan sikap yang berlebihan.
Sudah tentu tipe ini juga akan menghasilkan diskriminasi berat suatu
negara atas warganya. Mendukung penuh pendidikan warga negaranya yang
agamanya sesuai dengan agama "resmi" mulai dari sekolah-sekolah agama pada
tingkat pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi sementara warga negara
lain yang tidak sama agamanya dengan agama "resmi" tidak didukung dengan
biaya negara adalah wujud diskriminasi negara. Suatu negara yang dengan
sadar melakukan diskriminasi dengan jalan merendahkan hakikat kemanusiaan
warganya sendiri karena latar belakang agamanya yang tidak sama dengan
agama "resmi" yang didukung negara itu, bukanlah negara yang besar.
Sehubungan dengan pelaksanaan HAM, maka sudah tentu tipe pertama,
kedua dan ketiga bukanlah bentuk hubungan negara dan agama yang baik.
Ketiganya dapat mengakibatkan pelanggaran HAM yang berat karena mengabaikan ekspresi beragama manusia yang beragam. Padahal, keragaman ekspresi
keagamaan itu merupakan hakikat manusia. Ketiga tipe itu juga bukanlah tipe
yang dapat menghasilkan suatu kehidupan bemegara yang demokratik karena
mengingkari kesamaan hak politik warga negaranya.
Dalam masyarakat yang pluralistik masalahnya menjadi semakin pelik
karena ada banyak orang yang mengakui mengenal dengan baik kehendak
Yang Mutlak, sehingga berani bertindak atas nama kehendak atau wahyu
Yang Mutlak. Kalau semua sama-sama benar, lalu yang mana yang hams
diacu? Dalam kerangka itulah selain keempat tipe seperti yang digambarkan
Wogaman, Rosseau pada abad XVIII memperkenalkan tipe yang lain, yaitu
yang disebutnya agama sipil."
Agama sipil adalah suatu kesetiaan warga suatu masyamkat yang terikat
pada kontrak sosial yang mereka bangun sendiri untuk mencapai bersama-sama
kehendak urnum mereka (general will), yaitu keadilan dan kesejahteraan bersama.
Kalau kehendak umum tersebut dipahami baik dan memiliki nilai transendental,
maka adalah tugas setiap warga negara untuk melakukan tugasnya dengan baik
sehingga berguna bagi sesamanya. Terhadap pernahaman imaniah seperti inilah
6

Jean Jacques Rousseau, 'The Social Contract,' Book IV dalam Robert Maynard Hutchins (ed). The Great Books
of the Western World Volume 38 (Chicago: Wtlliam Benton, 1952). 438-9.

KOMNAS HAM

13

pemerintah perlu mengatumya dalam berbagai aturan, bukan sebagai dogma, tetapi
sebagai suatu tuntutan sosial yang, tanpanya, seseomng tidak bisa menjadi warga
negara yang baik atau rakyat yang setia. Pemahaman imaniah seperti itu tidak sama
dengan agarna seseorang. Menumt Rousseau, terhadap agama seseorang tersebut
pemerintah sebaiknya tidak perlu ikut campur tangan mengurusnya.
Apa yang semula merupakan gagasan Rousseau itu kemudian dikembangkanRobertN. Bellah dari Arnerika Serikat(AS).Bellahmencobamemperkenalkan
istilah ini dalam tahun 1950-an. Dia menyebutnya sebagai agama sipil, sekalipun
pengertiannya berbeda sedikit dengan pengertian Rousseau. Baginya, agama
sipil Amerika itu adalah ketundukan bangsa Amerika pada prinsip-prinsip etis
yang transendental dan terhadap prinsip-prinsip etis tersebut bangsa itu dinilai.'
Pemikiran ini dikembangkannya dengan latar belakang Amerika Serikat yang
baru saja keluar dari PD I1 sebagai pemenang perang dan khawatir bahwa perasaan tersebut dapat membawa AS ke suatu kehidupan yang berbahaya bagi
bangsa-bangsa lain. Karenanya, dia mengatakan bahwa agama sipil AS tersebut
haruslah ditempatkan dalam perspektif agama sipil dunia supaya mendapatkan
maknan~a.~
Kelihatannya, kekhawatiran Bellah tersebut mulai mengkristal
dalam din AS di bawah pemerintahan George W. Bush.
Yang menarik dari perkembangan gagasan Bellah ini adalah adanya
tantangan yang sangat keras terhadap pandangannya itu, terutama dari lembagalembaga keagamaan, sehingga Bellah memutuskan untuk tidak mengembangkan
gagasan tersebut lebih lanjut. Keberatan terutama datang dari pandangan keagamaan
gereja-gereja di AS yang eksklusif.
John A. Coleman meneruskan pemikiran Bellah tentang agama sipil itu dengan
rumusan "seperangkat bentuk dan tindakan simbolik yang menghubungkan
manusia sebagai warga negara dan masyarakatnya dalam sejarah dunia dengan
kondisi-kondisi akhir keberadaanya (~ltimate)."~
Selanjutnya ia membedakan tiga
tipe jenis agama sipil.'"
1.

7
8
9
10

Kejumbuhan berkelanjutan, yaitu bentuk agama sipil yang jatuh sama


dengan institusi dalam masyarakatnya. Terhadap tipe ini ada dua model
yang terjadi, yaitu:
a.
Agama sipil yang disponsori oleh gereja (lembaga keagamaan)
Dalam tipe ini agamayang merupakan agamamayoritasmemRobert N. Bellah. Beyond Belief: Essays on Religion in A Post-Traditional World (New York: Harper and Row. 1970). 168
Ibid.. 186.
John A. Coleman, 'Civil Religion.' SaciologicalAnalysis, 31 (Summer 1970), 69.
lbid., 706.

14

1 KOMNAS HAM

b.

sa dapat mengembangkan sirnbol-simbol dan nilai-nilai keagamaannya. Masalah yang dapat muncul dengan tipe ini adalah kesulitan
kebebasan beragama dm sipil dari warga yang tidak sama agamanya.
Ia juga dapat menimbulkan masalah loyalitas warga yang agamanya
tidak sarna dengan agama "resrni". Dan tetakhir, bila agama "resmi"
tesebut adalah agarna yang sangat tradisional, maka perkembangan
masyarakatnya akan sangat lambat. Tipe ini mirip dengan tipe teokrasi
seperti yang digambarkan Wogarnan. Contoh yang dikemukakannya
untuk tipe ini adalah Spanyol dan Srilangka.
Agama sipil yang disponsori oleh negara.
Dalam tipe ini negaralah yang memaksakan bentuk keagamaan dalam kehidupan bernegaranya. Masalah yang muncul
dengan tipe ini adalah penolakan dari agama-agama yang sudah
ada. Contoh yang dikemukakannya adalah penyembahan kaisar di
kekaisaran Romawi dan Shintoisme di Jepang. Penolakan datang
dari Keyahudian dari Kekristenan di Romawi, sedangkan di Jepang
penolakan datang dari agama Buddha dan agama-agama lainnya.

Nasionalisme Sekular, yaitu bentuk agama sipil yang muncul karena


agama-agama yang adaterlalutradisional atau terlalu dekat hubungannya
dengan suatu rejim yang digantikan oleh rejim baru. Nasionalisme itu
befingsi sebagai "agama" bagi kehidupan negara tersebut dengan cara
memberi arah (destiny) dan nilai. Masalahnya, dengan agama sipil tipe
ini adalah dia hanya merupakan agama bagi segelintir elite ngara, seperti
yang terjadi di Turki sesudah revolusi Ataturk dan Perancis pada masa
revolusi Perancis yang menjadikan aka1 sebagai "agamamnya.Selain
itu juga penolakan dari agama yang ada terlalu besar, terutama ketika
agama-agama memiliki jaringan internasional yang kuat.

3.

Agama Sipil-Pemisahan, seperti yang terjadi di AS. Hal ini dimungkinkan karena adanya prinsip pemisahan yang tajam antara gereja dan
negara yang ada dalam konstitusi AS. Agama sipil itu tidaklah sama
dan juga tidak menggantikan Kristen Protestan atau Katolik dan
juga Keyahudian. Jadi, agama sipil yang dapat dilihat sebagai suatu
terobosan atas hubungan agama dan politik juga dibatasi oleh adanya
eksklusivisme agama.
Karena itu, suatu negara yang memiliki pluralitas agama hanya
akan bisa bertahan dan berlaku adil bagi setiap warganya, apabila dia
KOMNAS HAM

15

merupakan suatu negara demokratik yang dijalankan berdasarkan suatu


konstitusi yang diterima bersama oleh rakyatnya yang latar belakang
keagamaannya beragam.
Pertanyaan yang patut dikemukakan dalam situasi seperti itu
adalah apakah agama sejalan dengan demokrasi? Apakah agama memang dapat menjamin kehidupan manusia yang demokratik? Apakah
agama dan demokrasi dua ha1 yang dapat berlangsung bersamaan atau
sebaliknya? Untuk membahas pertanyaan-pertanyaan itu, pertama-tama
akan dibahas terlebih dahulu pengertian demokrasi.

Demokrasi dan masyarakat sipil:


Bentuk kehidupan negara yang menjamin HAM
Demokrasi berasal dari dua kata Yunani, yaitu demos dan kratein.
Demos berarti orang banyak dan kratein berarti memerintah. Jadi demokrasi
adalah suatu sistem politik yang di dalamnya oranglorang-orang dari suatu
negara memerintah melalui bentuk pemerintah yang mereka pilih. Dalam
sejarahnya, demokrasi pertama-tama muncul di Yunani terutama dalam
kehidupan di negara-kota. Dalam bentuk awalnya, demokrasi terjadi secara
langsung. Rakyat yang memiliki hak politik, terlibat langsung dalam pertemuanpertemuan publik dan memberikan suaranya yang turut menentukan kehidupan
bersama negara-kota itu. Ini bisa terjadi karena jumlah penduduk dalam suatu
negara-kota tidaklah banyak. Dalam perkembangannya kemudian, kehidupan
demokrasi berlangsung lewat penvakilan melalui wakil-wakil yang dipilih
rakyat banyak.
Dalam bentuk awalnya, demokrasi bukanlah hak semua rakyat, akan
tetapi terbatas pada orang-orang tertentu saja. Para budak dan perempuan tidak
termasuk pihak yang memiliki hak politik itu. Karena pengamh agama Yahudi dan
Kekristenan yang memberi perhatian kepada orang-orang tersisih dan kesamaan
semua manusia di hadapan Yang Mutlak, maka hak-hak politik itu diberikan pula
kepada semua orang, termasuk perempuan.
Demokrasi Yunani yang terbatas seperti di atas berkembang sampai
runtuhnyaRomawi.Padamasa Abad Pertengahan sebelumterjadinyaRenaissance
dan Refomasi, demokrasi pada dasamya tidak berkembang, terutama ketika
terjadinya era Kekristenan. Pada era tersebut, agama Kristen mendominasi
berbagai aspek kehidupan masyarakat, sehingga kebebasan manusia tidak
bisa berkembang seluas-luasnya. Gereja, terutama para pemimpinnya sangat
berpengaruh dalam menentukan arah kehidupan bermasyarakat. Teologi sebagai

16

1 KOMNAS HAM

suatu disiplin keilmuan lalu ditempatkan sebagai ratu dari Ilmu Pengetahuan.
Era ini dalam sejarah gereja disebut sebagai EraKonstantin (Constantinian
Era)." Padatahap itu, demokrasitidaklahberkembang.Kehidupan bermasyarakat
lebih berbentuk monarki-teokratik. Monarki karena para rajalah yang berkuasa
atas kehidupan banyak orang. Teokratik, dalam pengertian bahwa para raja yang
berkuasa itu dikuasai oleh para pemimpin agama (Gereja), sehingga mereka hams
menjalankan ajaran-ajaran agama (gereja) dalam kehidupan bermasyarakat.
Pada tahap itulah demokrasi tidak tenvujud.
Perubahan baru terjadi ketika kewenangan mutlak para pemimpin gereja
dipersoalkan oleh Reformasi yang dilakukan oleh Marthin Luther di Jerman pada
1517. Ketika kewenangan mutlak para pemimpin agama itu sudah diruntuhkan
dan diimbangi dengan masa Renaissance, yaitu masa perkembangan seni yang
mencerminkan kebebasan berekspresi manusia, maka dominasi agama (gereja)
terhadap kehidupan manusia mulai menyusut. Hal ini semakin diperkuat dengan
munculnya masa pencerahan, ketika manusia mulai menghargai kemampuan
aka1 (reason), ilmu pengetahuan, dan penghargaan terhadap kemanusiaan. Masa
ini dipahami sebagai masa baru setelah mereka melewati berabad-abad masa
kegelapan dan ketidaktahuan (ignorance). Pencerahan ini mendominasi abad 18
dan memuncak dengan Revolusi Perancis. Pada abad 19 dan 20, pencerahan
mewariskan sekularisme yang menghasilkan liberalisme dan sosialisme.
Berakhirnya dominasi agama (gereja) itu menandai berakhirnya era konstantin
dan bermulanya era demokrasi.
Perkembangan demokrasi di Eropa juga terjadi sehubungan de&an
semakin kuatnya kekuatan ekonomi warga masyarakat akibat revolusi industri.
Sebelumnya kalangan yang menjadi orang kaya di Eropa terutama adalah para
raja dan keluarga raja. Dengan revolusi industri, maka orang kaya sudah tidak
dapat dibatasi hanya pada para raja clan keluarga mereka saja, melainkanjuga pada
pengusaha yang sukses, terutama pengusaha wool di Inggris.
Akibat dari semakin kuatnya posisi ekonomi warga masyarakat itu, lalu
mereka merninta dilibatkan dalarn mengatur kehidupan bersama, dan tidak bisa
hanya menerima kekuasaan raja saja sebagaisatu-satunya penguasa dalam kehidupan
masyarakat, terutama dalam menetapkan pajak. Lahirlah parlemen sebagai badan
yang patut didengar oleh raja sebelum membuat kebijakan baru bagi rakyatnya.
Perjuangan melawan pemerintahan otokratik para raja di Inggris untuk pertama
kalinya terjadi melalui pemberontakan rakyat terhadap kekuasaan raja dalam proses
demokratik ini tahun 1642ketika raja Charles I menentang wewenang parlemen dan
11

Disebut Konstantinian,karena Kaisar Konstantin pada jaman Romawi menetapkan Kekristenan sebagai agama
resmi Negara. Akibatnya. Kekristenan dijadikan panduan kehidupan bersama.

KOMNAS HAM

17

akhimya dia hams dieksekusi (dihukum gatung) oleh parlemen, karena dianggap
menentang rakyat.
Pada pertengahan abad 20, hampir sernua negara di dunia telah menganut
sistemdemokrasiini,kecuali beberapa yang masih tinggal dalam bentukpemerintahan
yang lama. Sekalipun prakteknya belum terjadi seperti yang diharapkan, akan tetapi
secara prinsip mereka menyetujui sistem demoluasi ini. Persetujuan ini terjadi
karena demokrasi memiliki beberapa prinsip dasar yang disukai, yaitu kebebasan
individu yang memberikan kepada individu suatu kebebasan dan tanggung jawab
dalam mengembangkan karier dan kehidupan mereka sendiri; kesetaraan di depan
hukum dan hak memilih dan mendapat pendidiian secara universal. Hak-hak seperti
itu sudah dicantumkan dalam dokumen-dokumen besar seperti The Declaration of
Independence AS, The French Declaration of the Rights of Man and of the Citizen,
dan Atlantic Charter.'*
Demokrasi ini bisa berkembang dengan cepat selain didukung oleh
kekuatan ekonomi rakyat, terutama oleh pemikiran-pemikiran para filosof
terhadap kehidupan manusia, terutama pemikir dari Perancis seperti Montesquieu
dan Rosseau, dan Jefferson dan Madison di Amerika Serikat. Karenanya, untuk
memahami dengan baik pemikiran mereka tentang demokrasi, ada baiknya kita
sirnak pemikiran mereka, terutama Rosseau yang sangat cocok bagi konteks
Negara seperti Indonesia.
Rosseau mengatakan suatu kehidupan bersama manusia dapat terjadi
dalam dua wujud, yaitu wujud state of the nature (kehidupan secara alami) dan
civil statelsociety (kehidupan secara sipil, tidak alami akan tetapi disepakati
bersama-sama oleh manusia cara hidup bersama itu).I3 Dalam tahapan state
of the nature, kecenderungan yang terjadi adalah munculnya orang-orang kuat
tertentu yang berhasil menundukkan dan menguasai sesama manusia lainnya
dan memerintah sebagai raja atas sesamanya. Inilah yang menghasilkan
monarki yang berkepanjangan dalam sejarah umat manusia. Raja ini adalah
raja yang dipahami berkuasa atas manusia dan segala harta bendanya, sehingga
ia menjadi penguasa tunggal atas rakyatnya. Akibatnya, sesama manusianya
hanya bisa tunduk dan taat kepada sang raja itu dan manusia itu kehilangan
kebebasan individu dan hak atas harta bendanya. Manusia-manusia ini hanya
bisa jadi budak yang tak berdaya bagi sang raja. Dalam situasi seperti ini
jaminan kebebasan individu dan hak individualnya hilang sama sekali, dan
akhirnya hukum rimba yang berlaku.
Dalam civil(society) state, bentuk kehidupan bersama manusia yang tidak
12
13

18

Microsoft@Encart* Encyclopedia2003. Q 1993-2002 MicrosoffCorporation.All rights reserved


Jean Jacques Roussea. /bid., 393.

1 KOMNAS HAM

didasarkan atas kekuatan satu orang atau satu kelompok orang tertentu, tetapi
didasarkan pada penghargaan terhadap hak-hak individu untuk mendapatkan
kebebasan individunya dan kehidupan yang layak. Kehendak untuk mendapat
kehidupan yang layak itu disebutnya sebagai general will (kehendak umum).
General will inilah yang hams menjadi acuan kehdupan bersama itu. Untuk
menjamin tercapainya general will itu, manusia membuat kontrak sosial di antara
mereka sendiri untuk menyerahkan sebagian wewenang mereka kepada suatu
pemerintahan untuk mengatur dan menjamin kehidupan bersama itu. Pemberian
sebagian wewenang itu dilakukan lewat suatu proses demokrabk, yaitu melalui
pemberian suara kepada orang-orang tertentu yang dipercayai masyarakat.
Dalam pemberian suara (proses demokratik) itu ada kemunglunan terjadi suara
yang terbanyak. Suara terbanyak ini oleh Rosseau disebut sebagai the will of
all (kehendak kebanyakan).I4 The will of all ini sesuatu yang wajar saja dalam
suatu proses demokratik. Yang tidak boleh terjadi adalah bahwa the will of all
ini dianggap mewakili semua masyarakat, sehingga dinilai dapat menggantikan
the general will itu. The will of all tidak sama dengan general will, karena tidak
meliputi keinginan semua. Kalau ini yang terjadi, maka yang tercipta bukan lagi
civil state, tetapi state of the nature. Ini hukum rimba dalam bentuk kelompok,
bukan lagi individu sepertijaman monarki dulu. Kalau sudah terjadi hukum rimba,
maka proses dan bentuk kehidupan seperti itu tidak dapat lagi disebut demokratik.
Karena itu, demokrasi bukanlah bentuk kehidupan berdasarkan suara mayoritas
saja. Demokrasi adalah bentuk kehidupan bersama yang menjamin kebebasan dan
hak setiap individu, entah dia berada dalam kelompok mayoritas ataupun dalam
kelompok minoritas.
Demokrasi, dengan demikian, merupakan bentuk kehidupan bersama yang
menolak kesewenangan, entah yang muncul dalam diri individu (raja) ataupun juga
kelompok. Demokrasi bukanlah suatu majorocracy, pemerintahan yang dijalankan
sekedar berdasarkan perolehan suara mayoritas saja. Karenanya, setiap bentuk
mayoritas tidak selalu berarti baik dalam kehidupan demokrasi. Melalui kehidupan
yang demokratik hak asasi manusia dijarnin, karena tertuang dalam general will.
Masalahnya, apakah general will ini bisa bertahan apabila suatu will of all itu
didasarkan pada suatu agama yang mengklaim kebenamn itu?
Di situlah terletak ancaman kehidupan suatu negara demokratik. Fareed
Zakaria, editor majalah Newsweek, sangat mengkhawatirkan terciptanya otohtik
dan suatu proses demokrasi yang tidak sejalan dengan hakikat demolcrasi seperti
yang digambarkan Rousseau. Keraguannya muncul sehubungan dengan kuatnya

KOMNAS HAM

19

legitimasi agama yang eksklusif itu atas kehidupan manusia, sehingga melalui suatu
proses demokratikyang terlalu mengandalkanthe will of all, yang disebutnya sebagai
tirani mayoritas akan tercipta otokrat-otokrat agama.ls Dalarn kasus Indonesia, pada
awal reformasi, Fareed Zakaria mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia tidak
berkembang dengan baik karena ketidak~iapannya.'~
Tiga ha1 disebutkan sebagai
alasan utama, pertama, ketergantungan yang terlalu tinggi atas surnber daya alam.
Kedua, tidak adanya lembaga politik yang legitimate. Ketiga, PDB mash rendah
yaitu $2,650. Akibatnya, yang terjadi adalah wacana agama, padahal untuk menjadi
suatu negara demokratik yang stabil dibutuhkan PDB antara $3000 - $6000.''
Jadi demokrasi pun terancam oleh eksklusivisme agama. Hal ini wajar
saja, menurut Philip E. Hamrnond, karena setiap orang cenderung berusaha untuk
memberi makna dalam tindakan politiknya, terutarna dalam situasi pluralistik,
sehingga kehidupan politik pun tidak dapat dihindari dari pengamh agama.I8
Satu konsep terbaru yang dikembangkan dalam diskursus demokrasi
dan keragaman tuntutan HAM ini adalah multikulturalisme yang dikemukakan
oleh Charles Taylor.19 Dalam uraiannya, Taylor mengedepankan perlunya
penghargaan (recognition) terhadap keragaman budaya yang ada dalam suatu
masyarakat kalau kelangsungan masyarakat itu ingin dipertahankan. Namun pada bagian akhir uraiannya, ia juga sadar bahwa tantangan yang harus
dihadapi dalam upaya ini adalah sikap agama-agama yang ada terhadapnya.
Jadi, persoalan keadilan dan penghargaan atas keberadaan seorang manusia
akhirnya terpulangpadapemahaman manusia oleh agama. Sekalipunsudah dijamin
lewat konstitusi suatu negara (negara konstitusional), praktek dalam kehidupan
bersama selalu dipengaruhi oleh pandangan agama itu. Karenanya, pandangan
agama yang sangat eksklusif itu hams dibedah. Maksud pembedahan ini untuk
mengetahui benarkah pandangan agama seperti itu berasal dari Yang Mutlak atau
lebih merupakan pandangan manusia dalam lingkungan agama itu. Kalau ha1 ini
dapat dijawab, maka terbuka pintu bagi peninjauan kembali eksklusivisme agama
itu. Dengan demikian dapat dijawab pertanyaan mendasar, benarkah Yang Mutlak
telah dengan sengaja melakukan diskriminasi di antara manusia, baik antara
manusia-manusia dengan agama yang berbeda yang mempercayai Yang Mutlak
yang sama, maupun antara manusia-manusiayang beragama yang percaya kepada
Yang Mutlak dengan manusia yang tidak percaya kepada Yang Mutlak?
15
16
17
18
19

20

Fareed Zakaria. Masa Depan Kebebasan: Penyirnpangan Dernokrasidi Arnerika dan Negara Lain (Jakarta: Ina Publikatarna,
2003), 140.
Ibid., 137.
lbid., 75.
Robert N. Bellah and Phillip E. Hammond, Varieties of Civil Religion (San Francisco' Harper and Row. 1980). 122.
Prof. Tilaar telah menulis buku yang balk tentangnya. C f H.A R.Tilaar,Multikulturalisrne: Tanfangan-tantanganGlobal Masa
Depan dalam Transformas;PendidikanNasional (Jakarta: Grarnedia.2004) terutarna bab V.

1 KOMNAS HAM

Untuk itu, eksklusivisme Kekristenan yang berasal dari agama Yahudi


sebagai agama-agama Abrahamik perlu dikaji, terutama sebagaimana disaksikan dalam kitab suci mereka, yaitu Alkitab Ibrani.

Negara dan Agama di Indonesia


Ada satu bentuk hubungan antar agama yang sudah dikembangkan oleh
para pendiri bangsa kita ketika mereka membentuk dan mendirikan bangsa dan
negara Indonesia ini. Ketika itu mereka telah menemukan satu bentuk sikap
hubungan antaragama yang tidak eksklusif baik dalam varian inklusif maupun
pluralis. Sikap ini adalah sikap yang lain sama sekali dari berbagai varian
eksklusivisme itu. Penulis menyebutnya sebagai yang inklusif-transformatif.
Inklusif, karena dia mau menerima keberadaan agama lain, tidak merendahkan
atau meniadakan keberadaan agama yang lain. Transformatif, karena sikap ini
membuka din untuk berada bersama-sama dalam situasi menerima keberadaan
yang lainnya dan sedapat mungkin belajar bersama-sama. Sikap ini untuk
pertama kalinya dalam sejarah umat manusia terjadi dalam fenomena yang
bernama Indonesia ini.
Yang penulis maksudkan dengan sikap inklusif-transformatif ini terdapat
dalam keputusan para pendiri bangsa dalam Sidang PPKI tanggal 18Agustus 1945
ketika dalam Pembukaan UUD 1945 kata Allah disepakati untuk diubah menjadi
kata Tuhan?" Dengan dernikian rumusannya menjadi "Atas berkat rahmat Tuhan
Yang Maha Kuasa clan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaannya." Pertanyaan yang patut dikemukakan setelah perubahan itu
adalah, 'Tuhan siapakah yang dimaksudkan dalam rumusan itu?' Jawabannya
kalau dilihat dari keseluruhan naskah Pembukaan UUD itu tidak bisa lain dari
Tuhannya rakyat Indonesia, bukannya Tuhan siapa-siapa. Rakyat Indonesia itu
adalah rakyat yang yang terdiri dari berbagai suku bangsa dari Aceh sarnpai ke
Papua Barat, yang agamanya beragam yaitu Islam, Kristen Protestan, Kristen
Katolik, Hindu, Buddha dan juga Khonghucu serta berbagai agama lainnya. Usul
perubahan ini dilakukan oleh Ktut Pudja Oka dari Bali yang beragama Hindu,
sehingga kata Tuhan bisa juga menjadi bagian dan penghayatan keagarnaannya.
Kalau rurnusannya masih tetap menggunakan kata Allah, maka bagi seorang
Hindu, Allah itu asing baginya. Akan tetapi dengan kata Tuhan, maka Tuhan itu
20

Saafroedin Bahar. Ananda B. Kusuma dan N a ~ i Hudawati


e
(Tim Penyunfing). Risalah S&ng Badan Penyeljdik UsahaUsaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) - Panitra Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Me; 1945 - 22
Aguslus 1945. (Jakarta:Sekretariat Negara R.1.. 1995). 413-420.

KOMNAS HAM

21

lalu bisa menjadi bagian dari kehidupan beragamanya.


Berbeda halnya dengan posisi agama-agama tersebut di tempat lahir dan
berkembangnya agama-agama itu yang menciptakan semacam anak mas dari
antara agama-agama itu, di Indonesia semua adalah anak mas. Tidak ada satu pun
yang dapat mengklaim dirinya anak mas, sedangkan yang lainnya tidak. Semua
agama dengan para penganutnya adalah setara di hadapan Tuhan yang satu itu
sekali pun tradisi beragamanya berlainan. Para penganutnya semua adalah anakanak manusia yang sedang menghayati hubungannya dengan Tuhan yang satu itu
saja walaupun tradisinya bisa berbeda, karena latar belakang sejarah agamanya
yang berbeda. Perbedaan latar belakang sejarah dan ajaran ini lalu tidaklah
berarti agama itu berbeda. Penghayatan manusia terhadap Tuhannya itulah yang
berbeda. Tuhan tidak berbeda akan tetapi manusia dengan latar belakang sosial
dan budayanya yang berbeda itulah yang meghayatinya berbeda. Perbedaan
itu sangat wajar sekali karena manusia memang berbeda dan budayanya juga
berbeda. Menyamakannya adalah mustahil. Hanya di dalam perbedaan itulah
manusia menjadi kaya dan berkembang.
Di tempat lahir dan berkembangnyaagama-agamaitu,hubunganantaragama
adalah hubungan atas-bawah, hubungan subordinatif. Sedangkan dalam konteks
Indonesia hubungannya tidak bersifat atas-bawah akan tetapi sejajar, hubungan
koordinatif. Dalam hubungan ini, pastilah akan terjadi interaksi yang transforming
(mengubah). Adalah suatu kemustahilan apabila hubungan antardua individu bisa
terjadi tanpa transformasi. Hanya lewat transformasi sajalah bisa terjadi hubungan
(komunikasi). Dalam hubungan koordinatif ini semua sama kedudukan dan
perannya dan bersama-sama mengkoordinasi kekayaan tradisi agamanya masingmasing untuk melayani Tuhan yang satu dan sama itu saja. Dan bukannya tidak
mungkin dalam ko-ordinasi ini agama yang satu belajar dari kekayaan tradisi
agama yang lainnya.
Kalau ada yang mengemukakan pandangan "Semua agama sama baiknya,
akan tetapi agamakulah yang terbaik", menurut hemat penulis ha1 itu masih
bersifat eksklusif Mestinya pandangan itu berbunyi 'Semua agama sama baiknya,
akan tetapi yang cocok bagi penulis adalah agamaku.' Dalam konteks Indonesia
yang bersifat koordinatif itu, padangan tersebut lebih cocok daripada yang lainnya.
Dengan demikian,kekerasan berdasarkan agama tidak perlu terjadi lagi. Kehidupan
beragama haruslah muncul tanpa pemaksaan orang lain untuk mengikuti agama
kita, karena orang lain tak boleh dipaksa dalam bentuk apapun untuk mengikuti
agama kita. Kalau seseorang melihat perilaku beragama orang itu juga temyata
cocok baginya, maka mengkuti agama orang lain tidaklah dapat diartikan sebagai
kesalahan. Itu hak asasi seseorang.

22

1 KOMNAS HAM

Inilah kehidupan beragama yang hams dikembangkan dalam konteks


masyarakat Indonesia, karena semua orang Indonesia sudah menjadi bagian dari
rahmat Tuhan itu. Tidak boleh ada yang mengatakan hanya orang Indonesia
beragama tertentu saja yang sudah beroleh rahmat Tuhan sedangkan yang lainnya
tidak. Itu tidak Indonesiani. Karena semua orang Indonesia sudah berada di
bawah rahrnat Tuhan itu, maka hubungan antaragama hamslah diartikan sebagai
melaksanakan agamanya secara baik dan benar, supaya orang lain bisa melihat
ada kelebihan dari agamamu itu dan mereka bisa belajar dari tradisi kekayaaan
agamamu itu. Itu Indonesia.
Dengan demikian, ketika Indonesia dilahirkan, bangsa dan negara ini
tidak memiliki suatu pandangan eksklusif terhadap agama. Secara inklusif
dan transformatif dia memberi kebebasan, bahkan menjamin setiap warganya
untuk "beribadah menurut agama dan kepercayamya masing-masing."

Masalahnya, prakteknya bermasalah. Berikut ini beberapa masalah yang


dapat diidentifikasikan:
1.
Ketiadaan definisi agama yang jelas
Satu masalah besar bangsa ini adalah ketika dia hanya
'mengakui' lima dan kemudian menjadi enam agarna "resrni" di
Indonesia, yaitu Islam, Kristen (Protestan),(Kristen) Katollk, Hindu,
Buddha dan Khonghucu. Dasar pengakuannya tidak ada sama
sekali secara hukum. Menurut informasi yang penulis peroleh dari
Konsultasi Naskah Akademik R W Kemkunan Umat Beragama
yang diselenggarakan Litbang Departemen Agama @epag) di Jakarta
pada 2002, dasarnya hanya pada tulisan seseorangyang mengatakan
bahwa "agama yang banyak dianut bangsa in? adalah lima yang
menjadi enam itu. Masalahnya, bagaimana dengan agama-agama
yang dianut oleh bangsa Indonesia di luar kategori "yang banyak
dianut" itu? Kalau itu dasar yang dipakai, maka sudah tentu di luar
yang banyak itu juga hams diakui. Katakadah yang banyak itu 90%
dari bangsa ini, maka agama yang dianut oleh yang 10% sisanyajuga
harus diakui karena keberadaannya tidak ditolak secara legal. Kriteria
"yang banyak dianut" itu lemah secara legal untuk meniadakan
keberadaan di luar "yang banyak dianut" itu. Pelanggaran ini berarti
ada pelanggam hak asasi manusia. Pelanggaran hak asasi manusia
berarti telah terjadi diskriminasi, apalagi kalau diskriminasi itu
dilakukan oleh negara secara sengaja.
2.
Departemen Agama sebagai Wujud Intervensi Negara atas Agama
KOMNAS HAM

23

3.

24

Akibattidakjelasnyadefinisiagama yang diacu,makanegara


semakin jauh tersesat dalam menangani agama. Pembentukan
Depag oleh pemerintah Indonesia, menurut hemat penulis, adalah
wujud intervensi negara yang sangat besar terhadap kehidupan
beragama di Indonesia. Agama yang seharusnya menjadi hak
bebas setiap manusia dalam hubungan khususnya dengan yang
dipercayainya secara mutlak, telah diambil alih hubungan itu oleh
negara lewat pembentukan departemen agama.
Seharusnya, negara sama sekali tidak boleh mengurus
agama yang merupakan persoalan individu. Negara hanya boleh
mengurus individu yang menimbulkan masalah hukum akibat
urusan agamanya. Ketika hukum positif dilanggar oleh individu
dalam kehidupan beragamanya, di situlah negara masuk dalam
meluruskannya, kalau perlu menghukumnya.
Hukum yang dipakai di sini adalah hukum positif,
bukan hukum agama. Hukum agama hanya berlaku dalam
batasan kehidupan beragama. Akan tetapi apabila hukum agama
bertentangan dengan hukum positif, maka pada waktu itu juga
hukum agama itu harus tunduk kepada hukum positif. Hal ini
terjadi karena hukum positiflah yang hams diacu dalam menata
kehidupan bersama dalam suatu negara.
Hukum agama tidak dapat digunakan karena; (1) dia hanya
berlaku atas urnatnya sendiri; (2) Dia bukan fax dari Yang Mutlak.
HanyaYang Mutlak itu saja yangtahu hukumnya. Manusiatidak akan
pemah bisa mengetahui hukum itu secara pasti. Sehebat-hebatnya
pemahaman manusia dalam hubungannya dengan Yang Mutlak,
pemahamannya manusia akan selalu dibatasi oleh kemanusiaannya.
Karenanya, Yang Mutlak telah dimanusiakan oleh manusia. Padahal
keberadaan yang mutlak bahkan bisa melebihi dan melampaui keberadaan manusia. Karenanya, pemahaman manusia itu selalu terbatas.
Karenanya, negara masuk dalam ranah individu dalam
hubungan keagamaannya dengan Yang Mutlak, di situ negara telah
menjadi Yang Mutlak. Ini sangat berbahaya. Negara bisa menjadi
Yang Mutlak dan menjadi absolut. Kita kembali ke jaman monarki
absolut. Siapakah manusia yang bisa memahami Yang Mutlak?
Pengistimewaan satu agama oleh negara: wujud dislaiminasi negara
Ketika negara sudah mulai mengistirnewakan satu agarna
tertentu dan mengabaikan keberadaan agama-agamayang lain, rnaka

1 KOMNAS HAM

di situlah negara telah melakukan diskriminasi atas warganya sendiri.


Ketika negara telah menyelenggarakan suatu pendidikan berbasis
suatu agama tertentu saja mulai dari pendidikan dasar sarnpai pendidikan tinggi, sedangkan ha1 itu tidaklah berlaku pada agama lain,
maka negara sudah memberlakukan disikriminasi secara resmi.
Seharusnya ha1 seperti itu tidaklah terjadi.
Hal yang sama terjadi ketika negara mengistimewakan
simbol-simbol agama tertentu saja dalam kehidupan bernegara, sedangkan sirnbol-simbol agama-agama lain disingkukan. Misalnya,
dalam acara-acara kenegaraan, doa mestinya bisa juga dilakukan
secara bergiliran dari satu agama ke agama yang lainnya. Negara ini
milk semua agama, bukan satu agama saja.
Diskriminasi pada gilirannya hanya akan menghasilkan
ketidakadilan. Ketidakadilan kemudian akan menghasilkan ketidakpuasan, dan ketidakpuasan pada gilirannya akan menghasilkan
kehancuran, karena kebersamaan tidaklah ada sama sekali dalam
kehidupan bersama itu. Negara yang diskriminatif pada dasarnya
tidak akan bertahan lama, kecuali kalau dilakukan secara paksa
sebagai suatu negara otoriter.
Masalahnya, Indonesia bukanlah negara otoriter ketika
dilahirkan dulu. Dia dibentuk sebagai suatu negara demokratik yang
berdasarkan hukurn positif Dari sisi itu, maka dalam konteks teori
yang dikemukakan Wogaman, seharusnya Indonesia berada dalam
tipe hubungan terpisah yang bersahabat.
Karenanya, kalau kecenderungan tersebut di atas diteruskan,
maka Indonesia akan jatuh ke dalam bentuk negara yang teokratik.
Daftar masalah negara teokratik sangat panjang. Apalagi kalau
agama yang digunakan itu adalah agama yang bukan merupakan
jati diri bangsa Indonesia itu sendiri, dan lahirnya pun sudah beribu
tahun yang lampau dalam jaman yang sangat berbeda pula.
Persoalan tersebut hanya dapat diatasi bersama ketika kita dapat
merumuskan suatu definisi yang jelas tentang agama. Definisi agama yang
umum digunakan dalam studi keagamaan adalah definisi agama yang secara
ringkas dapat disebut sebagai definisi 4 Cs." Keempat Cs tersebut adalah
creed, code, cult dan community.
Creed kepercayaan tentang sesuatu yang secara mutlak dianggap
1.
21

Leonard Swidler,ard Paul Mc@es.The Sfudy of M g h h an& of GlobalDMkgm ( P h i l a : Tern* Univwsayhs.2WO).

KOMNAS HAM

25

2.

3.

4.

benar bagi kehidupan manusia. Kebenaran itu dapat berbentuk


dewa atau Tuhan atau Ilah, akan tetapi juga dapat berbentuk yang
bukan itu, seperti rnisalnya gagasan, kesenangan, dsbnya.
Code: pedoman tata tindak (perilaku) yang timbul akibat adanya
kepercayaan di atas. Maksudnya,tindakan manusia terjadi berdasarkan pemahaman atas kepercayaan di atas. Tindakan-tindakan ini
termasuk dalam kategori tindak etis.
Cult: upaya manusia untuk menyelaraskan dirinya dengan yang
dipercayai tadi, baik sebagai cara untuk memahami kehendak-Nya
atau memperbaiki kembali kesalahan manusia yang tidak sesuai
dengan kehendak kepercayaan tadi.
Communig: adanya kenyataan suatu umat (paguyuban) yang
terikat dalam kepercayaan, tindakan etik dan kultus tadi.

Kalau suatu institusi sosial memenuhi persyaratan keempat Cs itu, maka


institusi sosial itu adalah agama. Karena isi kepercayaan tadi dibedakan antara
kepercayaan terhadap dewa, ilah atau Tuhan (theos = Bhs. Yunani), dan yang
bukan, maka agama karenanya dapat dibedakan antara agama theistik (theistic
religion) dan agama non-theistik (non-theistic religion). Agama theistik seperti
Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, Perbegu, Aluk Tadolo, Kaharingan, Marapu,
dsbnya. Sedangkan agama non-theistik dapat dijumpai dalam agama-agama
seperti Buddha, Sosialisme, Komunisme, dsbnya.
Bagi agama theistik hams ditambahkan bahwa dewa, ialah atau Tuhan
yang benar ada itu pun tidak dapat dipahami oleh manusia sepenuhnya
karena keterbatasan manusiawi belaka. Karenanya dapat dimengerti bila Dia
itu dipahami sebagai dewa, ilah atau Tuhan atau apa pun. Ini semua adalah
hasil pemahaman (penafsiran) manusia belaka, karena Dia yang mutlak
itu ketika menyatakan din-Nya (mewahyu) selalu dipahami oleh manusia
dengan menggunakan simbol-simbol budayanya masing-masing. Karenanya
dapat dipahami kalau Dia yang mutlak itu di Israel disebut Yahweh, lalu di
Barat disebut Tritunggal, di Arab dipanggil Allah swt, di China disebut Tian,
di Bali bernama Sang Hyang Widi Wasa, di Toraja dinamai Puang Matua,
dsbnya. Ini semua nama-nama yang diberi manusia dalam keterbatasan
simbol kebudayaannya. Oleh karenanya, nama-nama itu adalah nama-nama
b u d a y a ~ i . Nama
~'
sejatinya hanya Dia sendiri yang tahu.
Dengan demikian, dapatkah manusia mengklaim bahwa dia dapat
22

26

John Hick. Gcd Has Many Names (Philadelphia: Westminster Press, 1982)

1 KOMNAS HAM

memahami Yang Mutlak akan tetapi misterius itu secara penuh? Tidak! Truth
claim manusia selalu dibatasi oleh budayanya. Karenanya klaim seperti itu
hams dikatakan sebagai partial truth. The whole truth hanya akan terjadi
setelah manusia berjumpa Dia dan hidup bersama Dia. Itu pun ada batasnya.
Ada batasnya, karena sama seperti seorang suami yang setelah hidup bersama
isterinya selama 30 tahun kemudian hams berpisah karena dia tidak dapat
sepenuhnya memahami siapa isterinya dan juga sebaliknya, apalagi manusia
dengan Dia yang misterius itu.
Penutup
Pertanyaan yang patut dikemukakan adalah, bisakah pemutlakanpemutlakan masa lampau itu dipertahankan dalam era seperti ini? Kalau masih
tetap mau dipertahankan, apakah itu realistik? Tidakkah sikap seperti itu hanya
akan menimbulkan ketegangan yang besar dalam kehidupan manusia yang
pada gilirannya akan menghancurkan kemanusiaan itu sendiri?

Bahar, Saafioedin, Ananda B. Kusuma dan Nannie Hudawati (Tim Penyunting).


1995. Risalah Sidang Bahn Peryelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) - Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 - 22 Agushcs 1945, dengan Kata Pengantar
oleh Taufik Abdullah. Jakarta: SekretariatNegara RI.
Berger, Peter L. (ed), 1999.The Desenrlarization of the World:Resurgent Religion
and World Politics. Washington DC-Grand Rapids Michigan: Ethics and
Public Policy Center-William B. Eerdmans Publishing Company.
Bellah, Robert N. 1970.BeyondBeliej Essays on Religion in A Post-Traditional
World. New York: Harper and Row.
Bellah, Robert N. and Phillip E. Harnmond. 1980. Varieties of Civil Religion.
San Francisco: Harper and Row.
Cobb, John B. Jr. 1982. Process Theology as Political Theology. ManchesterPhiladelphia: Manchester University Press-Wstmimster Press.
KOMNAS HAM

27

Coleman, John A. 1970. "Civil Religion", Sociological Analysis, 3 1.


Knitter, Paul. 2003. Satu Bumi Banyak Agama. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Microsofi@EncartaB Encyclopedia2003. O 1993-2002MicrosofiCorporation.
All rights reserved.
Pals, Daniel L. 200 1. Seven Theories of Re1igion.Yogyakarta:Qalam.
Rousseau, Jean Jacques. 1952. "The Social Contract". Book IV dari Robert
Maynard Hutchins (ed), The Great Books ofthe Western World Volume
38. Chicago: William Benton.
Swidler Leonard, and Paul Mojzes. 2000. The Study ofReligion in an Age of
Global Dialogue. Philadelphia: Temple University Press.
Tilaar, H.A.R. 2004. Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa
Depan dalam Transformasi Pendidkkan Nasional. Jakarta: Gramedia.
Wogaman, J. Philip. 2000. Christian Perspectives on Politics: Revised and
Expanded. Louisville, Kentucky: Westminster John Knox Press.

28

1 KOMNAS HAM

Oleh M. Qasim Mathar

idak diutus seorang rasul atau nabi, kecuali sedang terjadi krisis
kemanusiaan di dalam kehidupan umat manusia. Karena itu,
semua nabi dan rasul Tuhan adalah orang-orang atau pemimpin
yang diutus Tuhan ke tengah masyarakat ketika umat manusia berada di tengah
kehidupan yang sedang mengalami krisis. Pun, Nabi Muhammad diutus Tuhan
ketika masyarakat Arab pada jaman itu menghadapi krisis kemanusiaan.
Di antara krisis-krisis kemanusiaan yang terjadi pada masa itu adalah
perbudakan atas manusia dalam artinya yang sempuma. Perbudakan, bukan
hanya dalam makna penguasaan dan pemilikan manusia terhadap fisik manusia
yang lain, tetapi juga terhadapjiwa dan pikirannya. Karena itu, pada masa awal
kerasulan Muhammad di Mekah, fokus penantangan para elit kota dagang
terhadap Rasul Tuhan itu adalah pada prinsip persamaan manusia sebagai
makhluk Tuhan di muka bumi ini yang dibawa dalam ajaran Rasul tersebut.
Kasus penyiksaan dan perlawanan kaum budak, seperti yang dialami oleh
Bilal dan Yassir serta keluarganya, misalnya, merupakan fenomena penting
yang memastikan bahwa pada saat itu sedang dimulai suatu perubahan sosial
yang mendasar di dalam masyarakat di mana Muhammad diutus ke tengahtengah mereka.
Prinsip ajaran persamaan antar sesama manusia-yang
mendorong
perubahan mendasar pada struktur sosial masyarakat Arab ketika itu-oleh Nabi
Muhammad diletakkan pada sebuah titik sentral, yaitu bahwa "tiada idola selain
Idola" (perhatikan kata idola dengan huruf kecil dan huruf kapital). Atau, "yang
idola hanya Tuhan, bukan selain-Nya". Prinsip ini dikenal dalam Islam sebagai
kalimat tauhid, dengan ungkapan "la ilah illa Allah" (baca: la ilaha illallah).
Ciri-ciri Allah sebagai satu-satunya Idola, oleh al-Qur'an, disebutkan
antara lain: Dia tempat menaruh harapan, Dia bersih dari ketersambungan
biologis dengan makhluk, dan Dia unik karena tak satu pun serupa dengan-Nya.
Penulisngnya, dalam masa yang amat panjang-setelah kewafatan Muhammad
dan lewatnya masa awal Islam-pembahasan dan pemahaman terhadap kata
"ilah" luput dari perhatian. Akibatnya, perbudakan dalam berbagai bentuknya,
hingga ke bentuknya yang modem pada masa kini, kembali terjadi. Perbudakan
yang modem bisa sampai kepada tahap yang sangat halus dan canggih serta
tidak disadari oleh pelakunya.
KOMNAS HAM

31

Masalah perbudakan manusia atas manusia dalam arti fisik dan jiwa (akal
pikiran), tidak secara otomatis terjamin sekalipun seorang manusia hidup di sebuah
negara merdeka. Kemerdekaan, termasuk yang diproklamasikan oleh suatu bangsa,
belum menjadi jaminan bagi warga bangsa tersebut untuk benar-benar "berdiri
sama tegak dan duduk sama rendah" antar sesama warga. Perbudakan secara fislk,
boleh tidak tampak, namun secara jiwa (akal pikiran) terasa.
Dalam masyarakat bangsa-nasional
dan intemasional-bentuk
perbudakan seperti itu tidak mustahil terjadi. Karena itu, ketika semua pemujaan
dan pengabdian dipusatkan hanya kepada Tuhan, oleh Islam, maka semua selain
Dia tidak sakral. Hanya Dia yang sakral, selain-Nya profan. Pemyataan tersebut
penting karena semua bentuk perbudakan hanya munglun dilawan dengan sikap
tidak gampang tunduk kepada semua daya kekuatan yang ada pada manusia.
Atau, mengembalikan semua daya-kekuatan itu hanya kepada Tuhan. Prinsip ini
di dalarn Islam dikenal dengan ungkapan "la haw1 wa la quwwah illa bi Allah"
(tiada daya dan kekuasaan kecuali yang ada pada Allah). Dengan demikian,
keinginan untuk membebaskan diri dari berbagai bentuk pengungkungan
(perbudakan) menemukan momentumnya dari prinsip-prinsip keagamaan
tersebut. Karena itu, dapat juga dikatakan bahwa beragama adalah tunduk
dan patuh hanya kepada Tuhan, bukan kepada selain-Nya. Dengan kata lain,
beragama berarti menjadi makhluk yang merdeka dan bebas dari perbudakan
manusia atas manusia lainnya. Inilah sesungguhnya makna generik dari Islam.
Prinsip persamaan yang diajarkan oleh Islam, yang berhadapan dengan
perbudakan di antara sesama manusia, mengisyaratkan bahwa kemerdekaan
adalah bawaan manusia sejak kelahirannya, sedangkan perbudakan dan
pengungkungan adalah sesuatu yang muncul setelah manusia melakoni hidup.
Oleh karena itu, kemerdekaan bawaan sejak lahir adalah sesuatu yang amat
asasi bagi manusia. Sedang perbudakan dan pengungkungan atas manusia, jelas
menjadi lawan bagi kemerdekaan asasi manusia tersebut. Pembebasan manusia
dari hal-ha1 yang berlawanan dengan kemerdekaan asasinya, karenanya, menjadi
kewajiban dan tugas kemanusiaan.
Di antara kemerdekaan asasi yang dimiliki manusia ialah kebebasan untuk
beragama atau berkepercayaan. Bahkan, di dalarn Al-Qur'an, kitab suci kaum
muslimin, terdapat pemyataan kebebasan untuk tidak beriman. Pemyataan yang
dimaksud adalah ayat ke-29 dari surat ke-18 (Al-Kahf), yang berbunyi "Dan
katakanlah: Kebenaran datang dari Tuhanmu, maka siapa yang mau, silahkan

32

1 KOMNAS HAM

beriman, siapa yang mau, silahkan kuh. Sesungguhnya kami telah sediakan bagi
orang-orang zalim neraka yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka
meminta pertolongan niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi
yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah seburuk-buruk minuman dan
sejelek-jelek tempat istirahat".
Pada ayat tersebut, meskipun kepada Nabi Muhammad diminta untuk
menegaskan bahwa kebenaran itu datang dari Tuhan dan gambaran konsekuensi
kalau kebenaran yang ditegaskan itu diabaikan, namun Muhammad tidak diminta
untuk memaksakan kebenaran yang dinyatakannya. Ayat itu memberi ruang bagi
pilihan bebas manusia untuk menentukan beriman atau tidak, dengan kesadaran
terhadap konsekuensi dari masing-masing pilihan.
Semangat kebebasan menganut agama, apalagi pada level di bawah dari
kebebasan untuk tidak beriman, seperti sudah dijelaskan, tentu lebih mudah
dijumpai di dalam Islam. Kebebasan untuk tidak memilih Islam sebagai anutan,
misalnya,termaktub dalam beberapa pernyataan dalam al-Qur'an bahwa "Tidak ada
paksaan untuk (menganut) agama (Islam)" (al-Qur'an, swat 2: 256); "Untukmulah
agamamu, dan untukkulah agamaku" (al-Qur'an, surat 109: 6); "Maka berilah
peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan.
Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka" (al-Qur'an, surat 88: 21-22);
"Maka, disebabkan rahmat dari Allah-lah, engkau berlaku lemah-lembut terhadap
mereka. Sekiranya engkau berlaku keras lagi berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan din dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah
ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan (itu).
Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakkallahkepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepadaNya" (al-Qw'an, swat 3: 159). Demikianlah pernyataan-pernyataan kitab suci
seperti itu, tentu semakin menguatkan prinsip bahwa beragama hams merupakan
pilihan bebas, bukan paksaan.

Bagi orang yang memahami prinsip kebebasan beragama seperti diuraikan


di atas, tentu akan merasa lega ketika prinsip tersebut ditemukan dan dinyatakan
kembali oleh manusia, baik dalam bentuk perseorangan maupun kelompok atau
lembaga, baik dinyatakan oleh suatu negara atau bangsa maupun dinyatakan oleh
lembaga antarbangsa, seperti PBB, baik prinsip itu dinyatakan secara tersendiri
maupun dinyatakan secara bersama dengan prinsipprinsip asasi yang disebut
KOMNAS HAM

33

Hak-hak Asasi Manusia (HAM).


Adalah mengherankan ketika di negeri ini ada pihak atau lembaga yang
memaksa pihak lainnya untuk mengikuti ukuran keberagamaan yang dibuatnya
sendiri. Kejadian pahit dan menyakitkan akhir-akhir ini yang dialami oleh
Jemaat Ahmadiyah dan beberapa gereja di Indonesia, yang sudah diketahui
secara meluas, menunjukkan adanya pihak yang tidak menghormati prinsip
kebebasan beragama. Fatwa yang menyatakan kesesatan penganut agama
yang sama (Islam) merupakan fatwa yang menyesatkan karena melanggar
prinsip kebebasan beragama. Amat dipenulisngkan sikap tidak menghormati
kebebasan beragama dilakukan oleh pegiat dan lembaga keagamaan, seperti
FPI (Front Pembela Islam) dan M U (Majelis Ulama Indonesia). Padahal
teladan penghormatan kepada kebebasan beragama semestinya datang dari
pegiat dan lembaga keagamaan seperti itu.

Ada catatan mengenai beberapa pola yang biasa dipakai oleh rejim
penguasa Orde Baru yang merasa terganggu dengan prinsip hak-hak asasi
manusia, khususnya kebebasan berkumpul dan berekspresi. Pertama, mempersulit
atau tidak memberi ijin. Kedua, melarang atau mengganggu kegiatan yang sedang
berlangsung. Ketiga, mengusut pelaksana kegiatan setelah kegiatan berlangsung.
Keempat, membatasi fasilitas secara tidak adil terhadap pihak tertentu. Kelima,
mengerahkan massa ke sasaran. Keenam, mengeluarkan fatwa secara resmi dan
tertulis. Ketujuh, membolehkan dan memberi ijin, namun kegiatan dikerdilkan
sehingga menyimpang dari tujuan semula.
Sepadan dengan itu, terdapat pula catatan mengenai beberapa model
perlawanan terhadap pola yang dipakai rejim Orde Baru. Pertama, melaksanakan
kegiatan dengan mengabaikan kesulitan pemberian dan ketiadaan izin. Kedua,
menyamarkan kegiatan. Ketiga, melakukan kegiatan secara sembunyi. Keempat,
melakukan protes dan pengaduan ke pengadilan. Kelima, melakukan protes terbuka
ke khalayak. Keenam, melakukan kegiatan tandingan. Meski catatan pola penindasan
dm model perlawanan itu terjadi di masa Orde Baru, namun tidak mustahil pola dan
model tersebut terjadi dalarn ha1 prinsip kebebasan beragama dan berkepercayaan di
negeri ini pada masa sekarang.
Pola pertama (perizinan yang sulit), misalnya dapat terjadi dalam
pelaksanaan Peraturan Bersama Mendagri dan Menag Nomor 8 dan 9 tahun 2006
tentang Kerukunan Umat Beragama clan Pendirian Rumah Ibadah. Dalam kasus
penyerangan dan pengusiran, Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), fatwa MUI yang
menyatakan sesat terhadap JAI, penutupan rumah ibadah (gereja), serta kasus serupa

34

1 KDMNAS HAM

lainnya, pemerintah bukanlah pihak yang langsung menghadang hak asasi dalam
beragama, melainkan lembaga atau organisasi kemasyarakatan (FPI dan MUI).
Meski demikian, pemerintah setidaknya dipandang bersikap melakukan pembiaran
pelanggaran atas prinsip kebebasan beragama, hingga munculnya perlawanan atau
protes warga masyarakat lainnya terhadap tindakan dan sikap kedua ormas tersebut.
Sikap pemerintah yang mengambang dalam masalah kebebasan beragama pasti
mengundang kecemasan bagi warga masyarakat yang mengharapkan perlindungan
bagi ketenangan dan kenyarnanan beragama di negeri ini.
Perhatian pada kebebasan beragama semakin penting seiring dengan
kesadaran global akan arti penting HAM di masa sekarang. Perhatian itu juga
menjadi penting karena-selain pandangan bahwa seharusnya Islam memberi
landasan normatif terhadap HAM-terdapat pula pandangan lainnya di dalam
kalangan Islam yang menegaskan bahwa Islam tidak sejalan dengan gagasan dan
konsepsi HAM. Apakah masalah kebebasan beragama yang muncul akhir-akhir
ini didasarkan oleh pandangan yang disebut kedua tadi, masih harus dicermati.

Berdasarkan semua uraian ringkas di atas, penulis ingin menegaskan


bahwa, dalam perspektif Islam, kebebasan beragama dan berkepercayaan adalah
hak asasi setiap manusia. Ruang kebebasan itu diberikan begitu luas oleh Islam,
seiring dengan celaannya terhadap sikap memaksakan dan, atau, menghambat
keberagamaan seseorang atau sekelompok orang. Namun demikian, pada akhirakhir ini terjadi masalah kebebasan beragama di Indonesia yang dilakukan oleh
lembaga atau ormas keagamaan seiring dengan perlindungan yang menjadi
kewajiban pemerintah terhadap setiap warga belum sepenuhnya diberikan.
Dalam kondisi serupa itu, penting untuk mengenali pola-pola pengekangan HAM dan model perlawanan terhadapnya. Selain itu, juga penting untuk
mencermati setiap perundang-undangan dan perahran yang berpotensi
menghalangi kebebasan beragama. Karena wacana HAM kini mengglobal di
seluruh bagian planet ini, tidak kurang pentingnya untuk mencermati wacana
HAM secara keseluruhan agar kepentingan-kepentingan sempit, kerdil, dan
kelompok bangsa tertentu tidak mengotori prinsip-prinsip hakiki HAM, termas.uk
kebebasan beragama, dengan mendesakkan sesuatu nilai untuk menambah atau
mengurangi prinsip-prinsip hakiki HAM. Wacana tentang HAM, khususnya
tentang kebebasan beragama, tidak boleh tidak, harus berhubungan dengan
Islam, agama yang paling besar dianut di negeri ini, apalagi corak kepenganutan
KOMNAS HAM

35

umatnya tidak seragam, tapi beragam.


Akhirnya, harus diingatkan kepada setiap pejuang HAM untuk tidak
bersikap berlebih-lebihan. Sikap berlebih-lebihan pun dapat mengganggu
kepedulian orang terhadap HAM atau memberi dampak yang tidak diinginkan
oleh pejuang HAM itu sendiri.

A1 Araf, dkk. 2005. Perlindungan Terhadap Pembela Hak Asasi Manusia.


Jakarta: Imparsial.
Al-Khumais, Muhammad Abdurrahman. 2003. Kemusyrikan Menurut Madhab
Syajfi'i. Jakarta: Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia.
Al-Qahthani, Muhammad bin Husain bin Sa'id Alu Sufian. 2006. FatwaFatwa Pengeboman oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia. Bogor:
Pustaka Al-Inabah.
Al-Qaradhawi, Yusuf. 2005. Distorsi Sejarah Islam. Jakarta: Pustaka AlKautsar.
Aly, Bachtiar & Prasetyadji (editor). 2002. Telaah dan Pemikiran Indradi
Kusuma Diskriminasi Dalam Praktek. Jakarta: DPP-FKKB.
Azizy, Prof A. Qodri. Membangun Integritas Bangsa. Jakarta: Renaisan.
Az-Zuhaili, Muhammad. 2005. Moderat Dalam Islam. Jakarta: Akbar Media
Eka Sarana.
Dar, al-Muzhaffar Muhammad. 138 1H. Aqa 'id al-Imamiyah. Kairo: Murtadha
al-Sirr.
El-Muhtaj, Majda. 2005. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia.
Jakarta: Kencana.
Harb, Ali. 2006. Relatgtas Kebenaran. Yogyakarta: IRCiSoD.

Mahmud al-'Aqqad, Abbas. 1966. Haqaiq al-Islam wa Abathil Hushumih.


Kairo: Dar Qalam
Newman, Edwin S. 1979. Civil Liberty and Civil Rights. New York: Oceana
Pu blications, Edisi Keenam.
Nursi, Bediuzzaman Said. 2004. The Light of Belie$ Philipina: Eternity
Publications.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati
Kumpulan Lengkap Perundangan Hak Asasi Manusia. 2006. Yogyakarta:
Pustaka Yustisia.
A1 Quran.

KOMNAS HAM

37

Oleh Siti Musdah Mulia

KOMNAS HAM

39

40

1 KOMNAS HAM

I.

Diskursus Islam dan Negara


Pemikiran politik Islam kontemporer, khususnya dalam kajian
mengenai hubungan antara agama dan negara, ditemukan tiga pola
pemikiran, yaitu pola sekularis, tradisionalis, dan reformis.
Pola sekularis menyatakan bahwa Islam adalah agama hanya
mengatur hubungan manusia dengan Tuhan sehingga di dalamnya tidak
ditemukan aturan-aturan yang berkaitan dengan masalah kenegaraan.
Karena itu, aturan kenegaraan sepenuhnya merupakan wewenang manusia.
Pemikiran ini melahirkan bentuk negara yang memisahkan antara urusan
politik dan agama. Politik menjadi urusan publik atau negara, sedangkan
agama menjadi urusan pribadi.
Sebagai antitesis dari pemikiran sekularis, pola tradisionalis
menegaskan bahwa Islam adalah agama yang paripurna, yang di dalamnya
ditemukan semua aturan, termasuk aturan yang berkaitan dengan hidup
kenegaraan. Karena itu, umat Islam tidak perlu meniru aturan Barat, tetapi
hams kembali kepada aturan yang digariskan Islam. Ajaran Islam meliputi
urusan agama dan negara sekaligus (al-Islam din wa daulah). Karena
itu, menjadi kewajiban umat Islam untuk mendirikan negara Islam dan
melaksanakan syariat Islam secara kaffah dalam bentuk formalisasi hukum
Islam, baik &lam hukum keluarga (al-ahwal al-syakhsiyah) maupun dalam
hukum pidana (hudud).
Adapun pola reformis menolak kedua pendapat yang ekstrim
tersebut. Pola ini menegaskan bahwa Islam bukanlah agama yang
semata-mata mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi bukan
pula agama yang serba lengkap dalam arti ajarannya mencakup segala
aturan secara rinci, termasuk aturan mengenai hidup kenegaraan. Islam
cukup memberikan prinsip-prinsip dasar yang dapat dipedomani manusia
dalam mengatur perilaku dan hubungannya dengan sesama manusia
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Al-Qur'an dan Sunah tidak menyediakan aturan-aturan yang
langsung dan rinci mengenai paoalan kenegaraan, yang ada hanyalah
seperangkat tata nilai etika yang dapat dijadikan sebagai pedoman dasar
bagi pengaturan tingkah laku manusia dalam kehidupan dan pergaulan
dengan sesamanya, yang juga memadai untuk dijadikan landasan bagi
pengelolaan hidup bernegara." Seperangkat tata nilai etika dimaksud
adalah prinsip keadilan (al- 'adalah), kejujuran dan tanggung jawab (al-

23

Penjelasan lebih lanjut tetang ha1ini, lihat Siti Musdah Mulia. Negara Islam. PemikiranPoliik Haikal(Jakarta: Pararnadmna.2001).
h. 239242.

KOMNAS HAM

41

'amanah), kebebasan (al-hurriyah), persamaan (al-musawah), persaudaraan (al-ukhuwah), kemajemukan (al-ta'adudiyah), musyawarah
(al-syura 7, kedamaian (al-silm), dan kontrol sosial (amar ma'ruf nahy
mungkar). Mereka yang menganut pola pemikiran ini merasa tidak
perlu mendirikan negara Islam, juga tidak perlu menformalkan syariat
Islam dalam bentuk hukum positif. Bagi mereka yang terpenting adalah
merealisasikan nilai-nilai ideal Islam di semua bidang kehidupan,
termasuk dalam kehidupan politik.
Haikal, seorang pemikir politik sekaligus negarawan Mesir, lebih
rinci menjelaskan bahwa nilai-nilai etika dimaksud bersumber dari prinsip
tauhid. Perlunya prinsip tauhid diterapkan dalam pengelolaan hidup
b'ermasyarakat adalah untuk mewujudkan masyarakat yang bermoral
dan memiliki integritas rohani yang sempurna, dan secara bertahap dapat
mewujudkan pola hubungan antarmanusia dalam semangategalitarianisme.
lmplementasi tauhid dalam kehidupan bermasyarakat akan membuat
setiap individu dalam masyarakat menyadari jati diri mereka masingmasing sebagai hamba Allah SWT, memahami harkat dan martabat
kemanusiaannya sehingga, dengan demikian, mereka dapat terbebas dari
berbagai macam belenggu yang merusak martabat kemanusiaan, yang
pada gilirannya membuat mereka mampu mengembangkan potensinya
secara wajar dan layak. Sebab, tauhid pa& hakikatnya mendukung sistem
demokrasi, dan sebaliknya: menolak sistem totaliter, otoriter, dan tira~~ik?~
Tuntunan Al-Qur'an mengenai kehidupan bernegara tidaklah
menunjuk kepada suatu model tertentu. Soal negara dan pemerintahan
lebih banyak diserahkan kepada ijtihad umat Islam. Islam hanya
menggariskan prinsip-prinsip dasar yang hams dipedomani dalam
mengelola negara, yaitu prinsip persaudaraan, persamaan, dan kebebasan. Prinsip-prinsip tersebut mengacu kepada prinsip tauhid yang
merupakan ajaran inti dalam Islam. Prinsip persaudaraan sesama manusia membawa kepada timbulnya persatuan yang kokoh dan toleransi
beragama di antara warga negara yang majemuk, yang terdiri dari
berbagai suku dan agama.
Penerapan ajaran persaudaraan dalam kehidupan bemegara dimaksudkan agar para penguasa memperlakukan semua warga negaranya, tanpa
kecuali, sebagai saudam Sebaliknya,mereka tidak boleh berbuat sewenangwenang atau bersikap despotis terhadap rakyatnya. Prinsip persamaan
24

42

Ibid.. h. 63-76.

1 KOMNAS HAM

antarrnanusia melahirkan musyawarah dan keadilan. Di dalam mengambil


suatu keputusan kenegaraan yang penting, para penguasa hendaknya terlebih
dahulu bermusyawarah dengan wakil-wakil rakyat atau dengan orang-orang
yang dipandang ahli dalam bidang tersebut Selain itu, para penguasa juga
hendaknya memperlakukan ralojatnya secara adil tanpa mehhat jabatan dan
posisi, serta keturunan, kesukuan, dan kekayaan mereka. Bahkan, tanpa
membedakan antara yang muslim dan bukan muslim.
Memang benar bahwa salah satu karakteristik agama Islam
pada masa-masa awal kehadirannya, adalah kejayaan di bidang politik.
Penuturan sejarah Islam dipenuhi oleh kisah kejayaan (success story) itu
sejak Nabi Muhammad saw. benode Madinah) sampai masa-masa jauh
setelah beliau wafat. Tejalin dengan kejayaan politik itu kesuksesan yang
spektakuler dari ekspansi militer kaum muslim, khususnya yang terjadi di
bawah pimpinan para sahabat Nabi. Kenyataan historis tersebut menjadi
dasar bagi adanya pandangan bahwa Islam adalah agama yang terkait
erat dengan kenegaraan. Bahkan kelak, sesudah kaum muslim berkenalan
dengan Aryanisme Persia, muncul ungkapan bahwa "Islam adalah agama
dan negara" (al-Islam din wa daulah), yang mengisyaratkan keterkaitan
yang erat antara agama clan negara. Akan tetapi, sejarah juga mencatat
bahwa perpecahan, pertentangan, dan bahkan penumpahan darah dalam
tubuh umat Islam tejadi justru karena persoalan politik. Dimulai dengan
peristiwa pembunuhan Khalifah ketiga, Usman bin Affan yang kemudian
diikuti oleh pembunuhan pemimpin-pernimpin Islam lainnya serta pertentangan yang tiada hentinya di kalangan urnat sehingga melahirkan berbagai
aliran dan golongan. Karena itu, dapat dipahami mengapa sampai kini
belum ada kesepakatan pendapat mengenai konsep negara Islam.
Fakta-fakta historis menunjukkan adanya aneka ragam bentuk
pemerintahan dalam dunia Islam pada masa silam. Sekalipun tahap masa
Khulafaur Rasyidin dipandang pihak muslim sumi sebagai suri teladan
yang ideal sepanjang sejarah Islam,yang di dalarnnya agama dan kekuasaan
bersatu dalam pemerintahan yang berdasarkan hukum Islam. Akan tetapi,
realitas sepanjang pemerintahan Bani Umayyah (661-750) dan Bani
Abbas (750-1258) amat berbeda dengan tahap masa normatif itu. Realitas
sepanjang sejarah Islam berbentuk hgrnentasi de facto dalam imperium
Islam sejak tahun 850 M, begitupun watak dan kepentingan yang tidak
bercirikan Islam dari para penguasa Islam, sudah tidak memperlihatkan
eksistensi negara Islam yang ideal.
Tidak adanya satu konsep negara Islam yang disepakati seKOMNAS HAM

43

panjang sejarah membawa kepada timbulnya berbagai interpretasi


tentang apa yang disebut dengan negara Islam itu. Ketidaksepakatan
itu kelihatannya disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain bahwa
negara Islam yang didirikan Nabi di Madinah yang kemudian oleh
ulama dipandang ideal itu, ternyata tidak memberikan suatu model
yang terperinci. Kedua, bahwa pelaksanaan khilafah pada masa Bani
Umayyah dan Bani 'Abbas hanya memberikan satu kerangka mengenai
lembaga-lembaga politik dan perpajakan. Ketiga, bahwa pembahasan
mengenai rumusan ideal menyangkut hukum Islam dan teori politik
Islam hanya menghasilkan rumusan yang idealis dan teoretis dari suatu
masyarakat yang utopian, dan akibatnya hubungan agama dengan
negara dari masa ke masa menjadi subyek bagi keragaman interpretasi,
tak terkecuali di Indonesia sebagaimana akan diuraikan berikut.

44

Hubungan Islam dan Negara di Indonesia


Dalam konteks Islam dan negara, Indonesia merupakan kasus
yang unik. Sebab, meskipun merupakan negara yang berpenduduk
Muslim terbanyak di dunia, yakni lebih seperenam dari total Muslim
di dunia yang diprediksikan berjumlah 1,3 miliar, namun para pendiri
republik ini (the founding fathers) tidak memilih Islam sebagai dasar
negara. Mereka ternyata lebih memilih Pancasila sebagai dasar negara
dan pedoman dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Tentu saja
pilihan itu bukan tanpa alasan dan juga bukan pilihan yang mudah.
Rekaman sejarah mengenai perdebatan kelompok nasionalis sekuler dan
kelompok nasionalis Islam di konstituante pada 1945 menjelaskan ha1 itu
secara terang benderang.
Masalah hubungan Islam dan negara dalam konteks Indonesia
pertama kali muncul dalam perdebatan tentang weltanschauung (dasar
negara) di lingkungan BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia). Ketika itu, Dr. Rajiman Wedyoningrat selaku
ketua BPUPKI mempertanyakan tentang weltanschauung atau dasar negara
Indonesia yang akan dibentuk itu. Pertanyaan itu mendapatkan respon yang
beragam dari anggota BPUPKI, bahkan menimbulkan perdebatan panas
dalam sidang-sidang BPUPKI selanjutnya. Respon yang muncul terhadap
pertanyaan tersebut dipengaruhi oleh tiga ideologi: ideologi Islam, ideologi
kebangsaan, dan ideologi Barat sekuler.
Kelompok pendukung ideologi Islam mengusulkan agama Islam
menjadi dasar negara sekaligus juga menjadi agama resmi negam dan

1 KOMNAS HAM

konsekuensinya harus ada kewajiban negara menjalankan syariat Islam.


Bukan itu saja, juga mengusulkan agar presiden harus beragama Islam.
Sementara itu, kelompok ideologi kebangsaan mengusulkan prinsipprinsip
kebangsaan, persatuan Indonesia, kekeluargaan, kerakyatan, kemanusiaan
yang adil dan beradab, serta Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar
negara, bukan agama tertentu. Sebalknya, pengusung ideologi Barat sekuler
menghendakiadanyapemisahanyangtegas antaraurusannegaradan aga1na.2~
Perdebatan panjang seputar isu dasar negara tadi melahirkan dua kelompok
dalam BPUPKI: kelompok nasionalis sekuler dan nasionalis Islam. Menarik
dicatat bahwa meskipun penduduk beragama Islam di Indonesia jumlahnya
sangat besar, narnun pendukung kelompok nasionalis Islam dalam BPUPKI
hanya 25%.26Bahkan, perkman Sy&i Ma'arif hanya 20% atau sekitar 15
orang saja dari anggota BPUPKI yang menyuarakan aspirasi Islam bagi
dasar negara yang akan terbentuk ih2' Tidak heran jika keputusan BPUPKI
mengenai dasar negara adalah ideologi kebangsaan, bukan Islam.
Tank ulur kepentingan untuk menjadikan Islam sebagai dasarnegara
bukan hanya berlangsung di lembaga Konstituante tahun 1945 itu saja
melainkan berlangsung sepanjang sejarah republik ini, baik dalam bentuk
perjuangan membentuk negara Islam ataupun dalam bentuk perjuangan
mengembalikan atau memasukkan "tujuh kata" Piagam Jakarta ke dalam
berbagai even konstitusional-kenegaraan, seperti dalam Sidang Tahunan
MPR Tahun 2000 di era Reformasi ini. Bahkan, ada pula yang mencoba
memaksanya melalui gerakan ber~enjata.2~
Salah satu isu yang menjadi perdebatan hangat di dalam UUD 1945
adalah tentang kebebasan beragama seperti tercantum dalam pasal29 UUD
1945.Sejak rapat-rapat di BPUPKI tahun 1945 sampai sekarang perdebatan
itu tidak pemah surut. Rumusan pasal29 itupun selalu dipermasalahkan.
Rancangan UUD yang dihasilkan BPUPKI ayat pertama pasal29 berbunyi:
" Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Rumusan ini berubah dalam rapat PPKI
tanggal 18 Agustus 1945 menjadi: " Negara berdasar atas Ketuhanan
Yang Maha Esa". Rumusan inilah yang dipakai sampai sekarang, tidak
mengalami pembahan meskipun telah empat kali dilakukan amandemen
terhadap UUD 1945 tersebut (1999,2000,200 1, dan 2002).
25
26
27
28

AMW Pranarka. Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila (Jakarta: CSIS. 1988. h. 4748).
Endang SaifuddinAnshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, (Jakarta: Rajawali Pers,1986, h. 30).
Ahmad Syafii Ma'arif, Islam dan Masalah Kenagaraan, Studi Tentang Percaturan di Konstituante(Jakarta:
LPSES, 1996. h. 102.
M. Amien Rais, Islam dan Negara di Indonesia: MancariAkhir Pencarian, dalam Umar Basalim, Pro-Kontra
Piagam Jakarta di Era Refonnasi(Pustaka Indonesia Satu: Jakarta. 2002, h. XV-XVI).

KOMNAS HAM

45

Tidak berubahnya rumusan pasal 29 UUD 1945 tersebut bukan


berarti tidak ada upaya serius dari kalangan yang mengatasnamakan umat
Islam untuk mengubahnya. Rekaman perdebatan di sidang-sidang MPR
era Reformasi membuktikan ha1 itu secara jelas dan nyata. Rapat-rapat
PAH I BP MPR tahun 2000 mencatat ada tiga opsi usulan W i - h k s i
MPR berkaitan dengan Pasal29 tadi. Pertama, mempertahankan rumusan
pasal29 sebagaimana adanya tanpa perubahan apa pun; kedua, mengubah
ayat 1 pasal29 dengan memasukkan "tujuh kata" dalam Piagam Jakarta
kedalamnya; dan ketiga usulan yang berusaha mengambil jalan tengah
dari kedua usulan terdahulu, yakni dengan menambahkan satu ayat lagi
dari Pasal 29 tersebut yang bunyinya ada beberapa usulan di antaranya:
"Penyelenggara negara tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai, norrnanorma, dan hukum agama" (diusulkan oleh Golkar); "Negara.melarang
penyebaran faham-fahamyang bertentangan dengan KetuhananYangmaha
Esa" (diusulkan oleh partai PPP); dan "Tiap pemeluk agama diwajibkan
melaksanakan ajaran agamanya masing-masing" (diusulkan oleh Partai
Reformasi). Menarik dicatat di sini bahwa perdebatan di MPR tentang
pasal29 itu mencakup juga pengertian kepercayaan. Sejurnlah fraksi di
MPR seperti fraksi Partai Demokrasi Indonesia, fi-aksi Bulan Bintang
mengusulkan untuk menghapuskan kata-kata "kepercayaannya itu" dari
rumusan yang ada. Hasil dari perdebatan panjang di MPR dalam rangka
mengamandemen UUD 1945 menyimpulkan bahwa pada akhirnya Pasal
29 diputuskan untuk tetap kembali pada rumusan semula seperti ditetapkan
dalam sidang PPIUZ9
Pilihan para pendiri republik untuk menjadikan Pancasila sebagai
dasar negara, demikian pula dengan kenyataan hasil perdebatan di MPR
tahun 1999-2002 yang memilih untuk tetap mempertahankan bunyi
Pasal29 UUD 1945 menunjukkan bahwa pada umumnya para pernimpin
Islam Indonesia lebih memilih pola reformis, ketimbang pola sekuler
dan tradisional. Dengan pilihan itu yang dikehendaki sesungguhnya
adalah bagaimana menjadikan prinsip-prinsip ajaran agama yang sudah
terangkum di dalam Pancasila menjadi landasan berpijak di dalam
pengelolaan negara dan pemerintahan sehingga tenvujud sistem negara
atau sistem pemerintahan yang adil, terbuka, demokratis dan egalitarian.
Sistem yang islami itu dapat diwujudkan tanpa harus mendesakkan Islam
sebagai dasar ideologi negara dan juga tanpa harus mendesakkan Piagam
29

46

Sekretariat Jenderal MPR RI. Risalah Rapat-Rapat Panilia Ad Hoc BP MPR. Buku Kedua Jilid 3C (Jakarta. h. 546547).

1 KOMNAS HAM

Jakarta masuk ke dalam tubuh undang-undang dasar negara.

III.

Jaminan Islam Terhadap Kebebasan Beragama


Islam diyakini pemeluknya sebagai agama yang sempurna, di dalam
ajarannya sudah tercakup semua tuntunan bagi kehidupan manusia di muka
burni agar selamat dan bahagia menuju kehidupan akhirat yang lebih kekal
dan abadi. Para ulama membagi ajaran Islam dalam dua kategori; ajaran
dasar dan non-dasar. Ajaran dalam kategori pertama termaktub dalam kitab
secara absolut.
suci Al-Qur'an dan hadis Nabi yang diyakini kebena-ya
Teks-teks suci inilah yang bersifat sakral, mutlak dan tidak dapat diubah
dengan alasan apapun. Sedangkan ajaran non-dasar mengambil bentuk
hasil ijtihad para ulama dari sejak Nabi masih hidup sampai sekarang.
Sesuai dengan bentuknya, jenis ajaran kedua ini tidak bersifat mutlak dan
absolut, melainkan bersifat relatif, nisbi, dan bisa diubah. Ajaran nondasar itu banyak dijumpai dalam kitab fiqh, b b tafsir, dan kitab-kitab
keagamaan lainnya sejak zaman klasik Islam.
Selain itu, ajaran Islam juga terbagi ke dalam dua aspek: aspek
vertikal dan aspek horinzontal. Aspek vertikal merupakan ajaran Islam
yang berisi seperangkat kewajiban manusia kepada Tuhan, sementara
aspek horisontal merupakan ajaran yang mengatur hubungan antara sesama
manusia danjuga hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Penulisngnya
aspek horisontal itu sering tertutupi oleh aspek vertikal, sehingga dimensi
humanisme yang merupakan refleksi aspek horisontal Islam kurang
mendapat perhatian umat Islam. Akibatnya, wajah Islam dalam kehidupan
publik terkadang tidak humanis dan sering menimbulkan potensi konflik
di antara mereka. Agama lalu menjadi semacam alat untuk "memuaskan
Tuhan" ketimbang memanusiakan manusia sehingga keberagamaan
manusia tidak banyak membawa efek positif bagi manusia lainnya.
Inti ajaran Islam adalah tauhid, yakni mengajarkan kepada manusia
bahwa hanya ada satu pencipta, yaitu Allah swt. Selain Allah swt yang ada
hanyalah rnakhluk. Karena itu, hanya Allah swt yang mutlak disembah,
dipuji dan diagungkan serta tempat menggantungkan seluruh harapan dan
kebutuhan. Di antara makhluk ciptaan Allah swt rnanusialah makhluk yang
paling sempurna (Q.S. al-Isra', 17:70) dan karena itu makhluk lain paM
memberikan penghormatan kepadanya sebagai tanda pengabdian kepada Sang
Pencipta Manusia adalah makhluk yang bemartabat dan hams dihormati tanpa
membedakan m,suku bangsa, agarna, warna kulit., bahasa, jenis kelamin, dan
ikatan primordial lainnya. Yang mernbedakan di antara manusia hanyalah
KOMNAS HAM

47

prestasi takwanya (Q.S. al-Hujurat 49:13) dan bicara soal takwa hanya AUah
swt. yang mampu memberikan penilaian. Pandangan tauhid yang benar akan
mernbawa manusia kepadapola berketuhanan dan berkemanusiaan yang benar
atau hablun minallah dan hablun minannm.-'"
Berkaitan dengan relasi antar manusia, Nabi sudah mengimplementasikan prinsip-prinsip persamaan dan penghormatan kepada manusia
dalam masyarakat Madinah yang sangat heterogen sebagaimana tertuang
dalam Piagam Madinah. Piagam tersebut pada intinya menggarisbawahl
lima ha1 pokok sebagai dasar bagi kehidupan bermasyarakat dan bemegara,
yaitu prinsip persaudaraan dalam Islam, semua umat Islam yang berasal
dari berbagai latar belakang adalah bersaudara; prinsip saling menolong
dan melindungi, penduduk Madinah yang terdiri dari beragam suku,
agama, dan bahasa hams saling membantu dalam menghadapi lawan;
prinsip melindungi yang teraniaya; prinsip saling kontrol; dan yang tidak
kalah pentingnya adalah prinsip kebebasan beragama.
Prinsip-prinsip tersebut berakar dalam Al-Qur'an, seperti QS.
Al-Baqarah, 2:256 (tidak ada paksaan dalam beragama); al-Kafirun, 1-6
(pengakuan terhadap pluralisme agama); Yunus, 99 (larangan memaksa
penganut agama lain memeluk Islam); Ali Imran, 64 (himbauan kepada
ahli kitab untuk mencari titik temu dan mencapai kalimatun sawa'); dan
al-Mumtahanah, 8-9 (anjuran berbuat baik, berlaku adil, dan menolong
orang-orang non-Muslim yang tidak memusuhi dan tidak mengusir
mereka). Penulisngnya, ajaran Islam yang mengedepankan nilai-nilai
humanisme, pluralisme, dan inklusifisme itu tidak banyak disosialisasikan
di masyarakat sehingga tidak heranjlka wajah masyarakat Islam di berbagai
wilayah tampak sangar dan tidak bersahabat, sangat jauh dari potret yang
ditampilkan umat Islam generasi awal, khususnya di masa Nabi dan
Khulafa Rasyidin, yang penuh toleransi, persahabatan, dan persaudaraan.
Agar supayaajaranIslam lebih akomodatifterhadapkemaslahatan
manusia, Imam al-Ghazali (w. 1111 M) mencoba merumuskan tujuan
dasar syariat Islam atau yang disebutnya dengan maqashid al-syari'ah,
yaitu penghargaan terhadap lima kebebasan dasar manusia. Pertama,
kebebasan untuk hidup (hifz al-nafs). Kedua, kebebasan beropini dan
berekspresi (hifz al-aql). Ketiga, kebebasan menjaga kelangsungan
hidup (hifz an-nasl). Keempat, kebebasan memiliki properti (hifz almaal), dan kelima adalah kebebasan beragama (hifz ad-din). Kelima
30

48

Uraian yang lebih konprehensif rnengenai ha1 ini, lihat Siti Musdah Mulia. Muslimah Refonnis: Perempuan
Pernbaru Keagarnaan. (Bandung: Mizan. 2005).

1 KOMNAS HAM

hak kebebasan dasar itulah yang kemudian dikenal dengan al-kulliyah


al-khamsah. Artinya, seluruh keberagamaan manusia dibangun untuk
melindungi kelima hak kebebasan dasar tersebut. Oleh karena itu, jika
ditemukan ajaran agama yang bertentangan dengan pemeliharaan lima
hak dasar tadi, maka ajaran tersebut perlu direvisi dan diinterpretasi
ulang demi menjawab tuntutan kemaslahatan manusia.
Konsep al-Kulliyah al-Khamsah ini selanjutnya membawa kepada pentingnya melihat manusia sebagai sasaran sekaligus subyek hukum
dalam syariat Islam. Oleh karena itu, tidak berlebihanjika Ibnu al-Qayyim
al-Jawziyah, ahli fikih dari Mazhab Hanbali, merumuskan sebagai berikut:
Syariat Islam sesungguhnya dibangun untuk kepentingan manusia dan
tujuan-tujuan kemanusiaan yang universal, seperti kemashlahatan,
keadilan, kerahmatan, kebijaksanaan. Prinsip-prinsip inilah yang hams
menjadi acuan dalam pembuatan hukum dan juga hams menjadi inspirasi
bagi setiap pembuat hukum. Penyimpangan terhadap prinsip-prinsip
ini berarti menyalahi cita-cita hukum Islam itu sendiri." Pemyataan
yang tidak kurang tegasnya dilontarkan oleh Ibnu Rusyd: bahwa
kemashlahatan itu merupakan akar dari berbagai syariat yang ditetapkan
T ~ h a n . 3Bahkan,
~
Imddin ibn Abdissalam sampai kepada kesimpulan
bahwa seluruh ketentuan agama diarahkan sepenuhnya untuk memenuhi
kemaslahatan manusia.3'
Berkaitan dengan isu kebebasan beragama, realitas sosiologisumat
Islam menunjukkan gambaran yang sangat ironis. Betapa tidak, bahwa
prinsip kebebasan beragama yang dicontohkan secara gamblang oleh
Rasul dan sahabat-sahabatnya pada abad ke-7 menjadi asing di hampir
semua komunitas Islam. Tafsir mainstream yang dianut umat Islam
mengenai kebebasan beragama menyatakan mutlaknya larangan riddah
atau perpindahan agama. Seseorang yang telah menganut agama Islam
tidak diperkenankan berpindah agama (murtad) dan hukum bagi mereka
adalah halal darahnya dan juga tidak berhak mewarisi atau diwarisi.
Komunitas umat Islam di berbagai belahan bumi juga tidak familiar
dengan isu perkawinan beda agama dan bahkan memandang perilaku
perkawinan beda agama sebagai perilaku haram dan membahayakan
31

lbnu aMawim alJawz~yah.I'lan al-Muwaqqiin an Rabb aCAlamin. (Beirut: Dar al-Jil. T.T. Juz Ill, h. 3). Pandangan
serupa d~nyitakanluga oleh sederelan "lama yang sangat otorotaM d bldang fik~h,sepem ACGhazall (w 505H)
Fakhruddln
AW~ssalamlw 660 HO Nalmuddlnal-Tufi [w 716 H).lanu Talmlvan
- - ~a Razl fw 606 HI luuddln ~ b n
. (w
. 728
H.);Abu lshaq al-syatibl (w.
H.); dan Muhammad ib" Tahir a l - ~ s ~ u(w.
; 1393 H.). '
lbnu Rusyd, Fashl al-Maqal I Taqrir ma baina aCSyariat wa aCHikmah min aClftisha1aw Wujuh al-Nadharal-'Aqli wa
Hududal-Ta'wil.(Beirut: Dirasah al-Wihdah al-Arabiyah. 1999. h 125).
luuddin ibn Abdissalam. Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-An'am (Kairo: Dar al-Jil. T.T. h 72).

ii0

32
33

KOMNAS HAM

49

Islam. Meskipun pandangan ulama, baik mengenai hukum murtad


maupun waris beda agama, atau kawin beda agama sangat beragam,
namun pandangan yang mengemuka dianut mayoritas urnat Islam
Indonesia sebagaimana disebutkan tadi. Artinya, bangunan Islam seperti
dicontohkan Rasul dan para sahabatnya, khususnya berkenaan dengan
kebebasan beragama, tidak dikenal lagi pada masa sekarang, sungguh
menyedihkan.

IV.

50

Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia


Pertanyaan yang selalu muncul di masyarakat adalah apakah
kebebasan beragama mendapatkan jaminan di Indonesia? Jawaban
terhadap pertanyaan tadi bisa beragam, namun dilihat dari segi konstitusi,
jarninan kebebasan beragama di Indonesiasangatjelas dan tegas dinyatakan
dalam UUD 1945 pasal29 mengenai agama, yaitu 'Wegara berdasar atas
Ketuhanan Yang Maha Esa." "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu."
Prinsip kebebasan beragama dalam UUD 1945 tersebut pada
prinsipnya sejalan dengan Deklarasi Universal PBB tentang HAM
yang dalam pasal 18 dinyatakan: "Setiap orang berhak atas kebebasan
pikiran, hati nurani, dan agama, dalam ha1 ini termasuk kebebasan
berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan
agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya,
beribadat dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan
orang lain, di muka umum maupun sendiri."
Menarik dikaji bahwa sejak awal pembentukan negara Indonesia
telah dinyatakan perbedaan antara agama dan kepercayaan, seperti terbaca
dalam pasal29 (2) UUD 1945: "Negara menjarnin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu." Pernyataan inidapat diartikan
bahwa agama dan kepercayaan merupakan satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan. Namun, pemahaman seperti ini tentu saja tidak sesuai
dengan realitas empirik di masyarakat yang membedakan antara agama
dan kepercayaan. Penganut suatu agama tidak serta merta mau disebut
sebagai penganut kepercayaan, demikian pula sebaliknya. Pembedaan ini
menjadi semakin kuat setelah pemerintah mengakui aliran kepercayaan
sebagai entitas yang berdiri sendiri lepas dari agama. Dengan pengakuan
itu, berarti kelompok masyarakat yang beraliran kepercayaan memperoleh

1 KOMNAS HAM

pula pengakuan dan jaminan kebebasan melaksanakan ibadah sesuai


dengan kepercayaannya itu.
Akan tetapi, dalam perkembangannya, pemerintah tidak lagi
mengakui aliran kepercayaan sebagai suatu entitas yang berdiri sendiri
di luar agama, melainkan memandangnya sebagai budaya. Selanjutnya,
pemerintah mengajak, bahkan setengah mendesak para penganut a l i i
kepercayaan agar kembali ke agama induk mereka. Himbauan pemerintah
ini malah menimbulkan problem baru yang lebih krusial. Para penganut
aliran kepercayaan menolak dikembalikan ke induknya yang notabene
adalah lima agama yang ,,diakui" pemerintah, yaitu Islam, Katollk, Kristen,
Buddha, dan Hindu. Menurut mereka bagaimana mungkm agama mereka
akan dikembalikan ke induknya, jusm agama mereka itulah yang pantas
disebut sebagai agama induk di Indonesia. Sebab, kelima agama besar yang
,,diakui" pemerintah menurut mereka tidak lain hanyalah agama impor,
bukan agama asli penduduk Nusantara, agama mereka sudah lama eksis di
nusantara yang ketika itu belum menjadi Indonesia.
Untuk menunjang p e l h a a n pasal29 (2) UUD 1945itu pemerintah
kemudianmengeluarkanUUNO01/PNPS/1965ten~gunaan dan atau penodaan agama yang dikukuhkan menjadi UU oleh UU
No. 5/1969 tentang pemyataan berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan
Presiden sebagai Undang-Undang. Dalam pasall disebutkan, "Setiap orang
dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau
mengusahakan dukungan m u m , untuk melakukan penafsiran tentang
sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan
keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama
itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran
agama". Sekilas, aturan hukum ini mengingatkan kita untuk berslkap
hati-hati melemparkan tuduhan yang menodai komunitas agama, seperti
melontarkan sebutan "M'.
Artinya, aturan itu berlaku umum bagi segenap
komunitas agama dan kepercayaan atau penghayat Tapi, Penetapan Presiden ini, yang dikeluarkan oleh Presiden Soelcarno di awal Januari 1965
dan kemudian dikukuhkan oleh pemerintah Soeharto pada 1969, justru
bertujuan "mengamankan" agama-agama "resmi yang diakui" negara dari
tindakan penyimpangan dan penistaan dari kelompok-kelompok agama atau
kepercayaan lain, yang pada gilirannya juga untuk mengamankan stabilitas
kekuasaan negara. Maka di sinilah momen agama dan negara saling bertukar
tempat satu sarna lain dan saling mernperalat satu sama lain.
Dalam aturan itu, disebut larangan melakukan penafsiran atau
KOMNAS HAM

51

kegiatan yang "menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama". Ini


dijelaskan lebih jauh dalam bagian Penjelasan: "Penetapan Presiden ini
pertama-tama mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewenganpenyelewengan dari ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai
ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan".
Ini jelas menguntungkan kalangan agamawan (diwakili majelis-majelis
agama "resmi") yang diberi wewenang mengontrol bentuk-bentuk
kegiatan dan tafsir keagamaan. Dan wacana kemurnian dan kesahihan
tafsir yang benar jelas akan dijadikan dalih untuk mengontrol dan
mengendalikan sejauhmana praktik-praktik keagamaan yang dijalankan
seorang individu atau kelompok masyarakat menyimpang atau tidak
dari garis-garis pokok ajaran keagamaan atau yang dikatakan sebagai
induk agama.
Meski ada penyebutan agama Zoroaster, Khonghucu dan Taoisme
(dan tidak tegas mengakui secara legal hak-hak komunitas yang hidup di
Indonesia), selain kelima agama resmi yang ada, namun yang menjadi
korban pertama adalah kalangan penghayat kepercayaan yang diharuskan
kembali ke agama induknya, yakni salah satu dari lima agama yang
"diakui". Mereka, konsekuensinya, tidak mendapatkan pengakuan dan
pengabsahan terhadap segenap pemikahan dan peristiwa kelahiran anak
mereka. Perempuan tidak akan dianggap sebagai istri dari suaminya yang
sah, dan perempuan juga tidak akan dianggap sebagai ibu dari anak yang
dilahirkannya. Perempuan menjadi korban pertama dari kebijakan negara
yang diskriminatif dalam soal agama ini.
Korban berikutnya dari kebijakan negara dalam soal "agar jangan
sampai terjadi penyelewengan-penyelewengan dari ajaran-ajaran agama"
adalah komunitas agama lokal, seperti yang dialami komunitas Tolotang
(Sulawesi Selatan) dan komunitas Kaharingan (Kalirnantan),yang masingmasing diharuskan kembali ke agama induk mereka, yakni Hindu. Dalam
Surat Keputusan Departemen Agama tertanggal 16 Desember 1966 yang
ditandatangani oleh B.P. Mastra, selaku Direktur Djendral Bimbingan
Masyarakat Beragama Hindu Bali dan Buddha Departemen Agama saat
itu, disebutkan, berdasarkan SK No 2 Tahun 1966pemerintah menugaskan
Sdr. Makkatungeng untuk menjalankan tugas pengawasan, pengontrolan,
dan penilaian terhadap komunitas Tolotang, Sulawesi Selatan. Hasil
pengawasan dan penilaian ini kemudian dijadikan landasan penerbitan SK
baruNo 6 Tahun 1966yang menyebutkan: "menunjuk Sdr. Makkatungeng
untuk atas nama Direkstur Djendral Bimbingan Masyarakat Beragama

52

1 KDMNAS HAM

Hindu dan Buddha melakukan pernbinaan serta penyuluhan terhadap umat


Hindu Tolotang". Dalam menjalankan tugas ini Makkatungeng diwajibkan
untuk'melakukan kerjasama sebaik-baiknya dengan pemerintah setempat",
dan lalu "secara periodik menjampaikan laporan-laporan sebagai progress
report yang ditjapai dalam penugasan itu". Dengan SK ini pula komunitas
Tolotang dipaksakan menjadi Hindu seperti halnya penganut Hindu di Bali.
Misalnya harus beribadah di pura. Sampai pemah pejabat Departemen
Agarna wilayah Sulawesi Selatan mendatangi pemukiman masyarakat
adat Towani Tolotang dan mengajarkan cara bagaimana menjadi Hindu
yang baik, termasuk cara mendirikan pura. "Kami diharuskan benbadah di
pura, padahal apa yang disebut pura itu tidak dikenal dalam adat dm tradisi
kami," ujar Settiang Unga, putra La Unga Setti, tokoh adat Tolotang, yang
sempat hadir sebagai partisipan dalam satu pelatihan advokasi di Malino,
Sulawesi Selatan, Agustus 2003 lalu.
Berkaitan dengan komunitas Kaharingan, mereka diharuskan
kembali ke agama induk dan memeluk agama Hindu melalui Surat
Menteri Agama kepada Kakanwil Depag Kalimantan Tengah
no MAl203/1980 perihal Penggabungan atau Integrasi Penganut
Kaharingan ke dalam Agama Hindu.
Korban berikutnya yang mencuat belakangan ini adalah
Ahmadiyah. Di beberapa daerah, hak-hak mereka dibatasi, mulai
dari soal membangun tempat ibadah hingga ikut dalam ibadah haji
ke Mekkah. Bahkan, di Lombok, Tasikmalaya, dan di Kabupaten
Kuningan, Jawa Barat, mereka mengalami pengusiran dan pengrusakan
pemukiman dan tempat-tempat ibadah mereka. Ada jawaban yang
mengemuka ketika sejumlah NGO dan lembaga interfaith (termasuk
ICRP) yang tergabung dalam Working Group Anti Disknminasi Agama
dan Kepercayaan bersilaturahmi dengan sejumlah pejabat di lingkungan
pemerintah Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Juni 2003 lalu.
Sebagaimana pernah diberitakan beberapa bulan lalu, sejumlah
warga Ahrnadiyah di Desa Manis Lor, Kuningan, terganggu dengan
ulah sejumlah orang yang tidak menginginkan kehadiran mereka. Pihak
pemerintah kabupaten pun turun tangan. PAKEM (Pengawas Aliran
Kepercayaan Masyarakat) Kuningan turun tangan, dengan alasan
Ahmadiyah sudah meresahkan masyarakat. Pihak Departemen Agama
Kuningan juga ambil bagian bahwa Ahmadiyah mendakwahkan
ajaran yang berbeda dengan mayoritas umat. Maka pihak pemerintah
kabupaten Kuningan pun mengumpulkan sejumlah orang yang dianggap
KDMNAS HAM

53

tokoh agama dan masyarakat. Tanda tangan pun dikumpulkan, isinya


menolak kehadiran jamaah Ahmadiyah di wilayah Kuningan.
Sebagai turunan dari UU No 1JPNPSI tahun 1965 ini, ada
sejumlah aturan yang berkaitan dengan agama' yang semangatnya
hampir serupa, yakni membatasi kebebasan penduduk Indonesia dalam
soal agama.
ut sejumlah aturan-aturan tersebut:
Instruksi Menteri Agama RI no 4 tahun 1978 tentang
Kebijaksanaan mengenai Aliran-aliran Kepercayaan.
Instruksi Menteri Agama RI no 14 tahun 1978 tentang Tindak
Lanjut Instruksi Menteri Agama no 4 tahun 1978 tentang
Kebijaksanaan mengenai Aliran-aliran Kepercayaan.
Surat Menteri Agama kepada GubernurIKDH Tingkat I Jatim no
B15943178 tentang Masalah Menyangkut Aliran Kepercayaan.
Surat Keputusan Jaksa Agung RI no Kep. 089/J.A/9/1978 tentang
Larangan pengedarantpenggunaan Surat Kawin yang Dikeluarkan
oleh Yayasan Pusat Srati Dharma Yogyakarta.
Surat Menteri Agama kepada para GubernurKDH Tingkat I seluruh
Indonesia no B.W11215/1978 perihal Masalah Penyebutan Agama,
Perkawinan, Sumpah dan Penguburan Jenazah bagi Umat Beragama
yang dihubungkan dengan Aliran Kepercayaan.
Surat Edaran Menteri Dalam Negeri no 477174054 tentang
Petunjuk Pengisian Kolom Agama pada Lampiran Surat
Keputusan Menteri Dalam Negeri no 221a tahun 1975.
Surat Menteri Dalam Negeri kepada para GubernurIKDH
Tingkat I dan para Bupati/Walikotamadya seluruh Indonesia,
no 4771286/1980 tentang Pencatatan Perkawinan bagi para
Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan Yang MahaEsa.
Surat Kejaksaan Agung kepada Menteri Agama RI up. Dy en Bimas
Islam dan Urusan HajinoB-397D.I. 1980perihal Perkawinan antara
penganut Sapto Darmo di Daerah Kantor Kabupaten Bojonegoro.
Surat Menteri Agama kepada Menteri Dalam Negeri no
B.VIl5996l1980 perihal Perkawinan, Kartu Penduduk dan
Kematian para Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa.
RadiogramJTelegram Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri kepada Gubernur/KDH Tingkat I seluruh Indonesia

54

1 KOMNAS HAM

11.

12.

13.
14.

dan Kakanwil Departemen Agama seluruh Indonesia no


470.071/6380/SJ.MA/610/1980.
Keputusan Menteri Dalam Negeri no 221a tahun 1975 tentang
Pencatatan Perkawinan dan Perceraian.
Keputusan Jaksa Agung RI No.: KEP-108/J.A./5/1984 tentang
pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan
Masyarakat.
Instruksi Menteri Agama RI No. 4 tahun 1978 tentang
Kebijaksanaan Mengenai Aliran-Aliran Kepercayaan.
Instruksi Menteri Agama No 8 tahun 1979 tentang Pembinaan,
Bimbingan dan Pengawasan terhadap Organisasi dan Aliran
dalam Islam yang bertentangan dengan Ajaran Islam.34

Keseluruhan peraturan dan perundang-undangan tersebut


hams direvisi dengan mengacu kepada substansi ajaran semua agama
dan kepercayaan yang pasti selalu akomodatif terhadap nilai-nila
kemanusiaan universal. Selain itu, juga hams mengacu kepada spirit
kebebasan beragama sebagaimanatercantum dalam Pancasila,konstitusi
UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan sejumlah
kesepakatan internasional yang telah diratifikasi pemerintah, termasuk
Kovenan Hak-Hak Sipil Politik dan Kovenan Internasional Hak-Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya (diratifikasikan dengan UU No. 12 dan
No. 11 Tahun 2005). Hanya dengan cara itu masyarakat dan pemerintah
dapat mulai bekerja sama membangun kehidupan beragama yang sejuk,
damai, dan sejahtera yang di dalamnya terjamin kemerdekaan beragama
bagi setiap individu tanpa diskriminasi sedikit pun.
Meskipun Penjelasan Ketetapan MPR No. IIlMPW1978 tentang
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila menyebutkan:
"Kebebasan beragama adalah salah satu hak yang paling asasi di
antara hak-hak asasi manusia karena kebebasan beragama itu langsung
bersumber kepada martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Hak kebebasan beragama itu bukan pemberian negara atau golongan."
Akan tetapi, dalam implementasinya di masyarakat prinsip kebebasan
beragama sebagaimana tercantum dalam ketetapan MPR tersebut
tidak diakomodasikan dalam produk perundang-undangan yang lahir
kemudian.
31

Hasil kajian Tim Perurnus Hubungan Agama dan Negara, Kerjasama ICRP dan Komnas HAM. Jakarta 2004.
Naskah belum dipublikasikan.

K M N A S HAM

55

Semakin aneh lagi, dua dasawarsa berikutnya, lahir TAP MPR


No. II/MPR/1998 tentang GBHN. Pada penjelasan tentang Agama dan
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (TYME) menyebutkan
(butir 6): Penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dibina
dan diarahkan untuk mendukung terpeliharanya suasana kerukunan
hidup bermasyarakat. Melalui kerukunan hidup umat beragama dan
penganut kepercayaan kepada TYME terus dimantapkan pemahaman
bahwa kepercayaan terhadap TYME adalah bukan agama dan oleh
karena itu pembinaannya dilakukan agar tidak mengarah pada
pembentukan agama baru dan penganutnya diarahkan untuk memeluk
salah satu agama yang diakui oleh negara. Pembinaan penganut
kepercayaan terhadap TYME merupakan tanggung jawab pemerintah
dan masyarakat.
Jelas sekali bahwa Surat Edaran menteri dan TAP MPR di atas
bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama yang terkandung
dalam W D 1945. Prinsip UUD 1945 semestinya hanya memberikan
kewenangan kepada pemerintah mengambil langkah melalui perundangundangan untuk mengatur agar kebebasan beragama serta kebebasan
mengamalkan ajaran agama dan berdakwah jangan sampai mengganggu
keserasian dan kerukunan hidup beragama yang dikhawatirkan akan
membahayakan stabilitas politik dan kesinambungan pembangunan,
bukan membatasi definisi dan jumlah agama. Surat edaran Mendagri
tersebut mulai membatasi agama yang boleh dianut orang Indonesia,
yakni hanya pada lima agama, dan tidak mengakui agama dan
kepercayaan di luar kelima agama tadi. Bagi orang yang melihat
konstitusi menjamin kebebasan beragama secara menyeluruh tentu
menangkap adanya inkonsistensi dalam TAP tersebut. Namun bagi
kelompok lain, penetapan tersebut justru menjelaskan prinsip-prinsip
kemerdekaan sebagaimana diatur dalani pasal29 UUD 45.
Menarik bahwa dalam perkembangan berikutnya, pemerintah
mengeluarkan kebijakan baru mendukung kebebasan beragama melalui
TAP MPR Tahun 1998 No. XVII tentang HAM yang mengakui hak
beragama sebagai hak asasi manusia sebagai tertera pada pasal 13:
"Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu." Ketentuan
di atas sejalan dengan rumusan yang terdapat dalam UUD 1945.
Selanjutnya hak beragama ini diakui sebagai hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable)

56

1 KOMNAS HAM

sebagaimana dinyatakan dalam TAP MPR No. XVII Tahun 1998,


bab X mengenai Perlindungan dan Pemajuan HAM, pasal 37: "Hak
untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable).
TAP MPR tersebut menyebutkan ada 8 bentuk hak asasi manusia
yang diakui pemerintah sebagai hak yang tidak boleh diabaikan
dan dirampas oleh siapapun, termasuk oleh negara sekalipun, yaitu
hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak
keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan, dan
hak kesejahteraan. Selanjutnya, dalam ketetapan tersebut kebebasan
beragama dikelompokkan sebagai hak kemerdekaan sebagai tertuang
dalam pasal 13: Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Hak
beragama ini diperkuat lagi dengan pasal 17 yang menegaskan bahwa
hak ini termasuk dalam kategori hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable).Bahwa perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia, terutama
menjadi tanggung jawab pemerintah (pasal43).
Jaminan negara terhadap kemerdekaan beragama semakin kuat
dengan kehadiran UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM di mana pasal22
menyatakan: (1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu; (2)
Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masingmasing untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Lalu
berikutnya dalam empat kali amandemen UUD 1945, ketentuan mengenai
agama tidak mengalami perubahan sama sekali.
Paparan di atas membuktikan bahwa pemahaman pemerintah
terhadappasal29UUD 1945mengalamifluktuasidan terkesan inkonsistensi.
Hal itu boleh jadi disebabkan oleh penafsiran yang bias terhadap pasal
29 UUD 1945. Pasal29 (1) menegaskan bahwa negara Indonesia adalah
negara religius, yaitu berdasarkan atas Ketuhanan YME, sementara pada
ayat berikutnya tidak dijelaskan bahwa agama dan kepercayaan penduduk
yang dijamin oleh negara itu hams berdasarkan atas Ketuhanan YME.
Timbul persoalan, bagaimana hubungan antara ayat 1 clan 2 pasal
29. Apakah ayat 1 menjadi dasar pengakuan kebebasan beragama pada
KOMNAS HAM

57

ayat 2. Kalau benar, berarti kebebasan hanya diberikan kepada pemeluk


agama yang mengakui Ketuhanan YME, tidak kepada selainnya.
Konsekuensinya, negara akan melakukan pengawasan terhadap penduduk
perihal agama yang dipeluknya, dan jika tidak berdasar Ketuhanan YME,
maka kebebasan tersebut tidak akan dijamin oleh negara.
Lalu apa maknanya negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaamya itu (ayat 2). Akan tetapi,jikanegara
pada ayat 1 ditafsirkan sebagai sistem kekuasaan yang terorganisasikan
menurut UUD 1945, yang meliputi kekuasaan legislatif, eksekutif, dan
yudikatif, maka asas Ketuhanan YME adalah norma yang berlaku bagi
negara, bukan bagi penduduk. Artinya, pelaksanaan cabang-cabang
kekuasaan negara yang meliputi ketiga cabang pemerintahan tadi dan semua
produk hukum yang dihasilkannya hams selalu berdasarkan Ketuhanan
YME, artinya mempunyai nilai religius. Sementara ayat 2 memberikan
jaminan kemerdekaan kepada tiap-tiap penduduk untuk memeluk dan
menjalankan agama masing-masing. Penduduk dengan demikian dapat
menjalankan ajaran agamanya masing-masing dengan rasa aman karena
pemerintah berkewajiban menyediakan perangkat pelindung jika ada
gangguan. Tentu saja, perlindungan ini tidak bersifat mutlak, melainkan
diberikan dengan mempertimbangkan keberadaan agama lainnya yang
sama-sama mempunyai hak hidup di Indonesia. Jadi, tidak ada kontradiksi
antara ayat 1 dan 2 dalam pasal tersebut, yang pertama merupakan norma
bagi negara, sedangkan yang terakhir norma bagi penduduk.
Untuk itu, agar tidak terjadi penafsiran berbeda yang pada gilirannya
akan melahirkan produk undang-undang dan peraturan yang berbeda
sebagaimana disebutkan di atas, diperlukan penjelasan yang lebih konkret
mengenai konsep Ketuhanan Yang Maha Esa dan pola hubungan di antara
kedua ayat dalam pasal29 tersebut. Selain itu, perlu pula diperjelas cakupan
kebebasan beragama yang dirnaksudkan dalam konstitusi tersebut. Apakah
kebebasan beragama tersebut mencakup kebebasan untuk tidak menganut
agama atau kepercayaan apapun; kebebasan untuk memeluk agama di
luar dari lima agama yang dikenal di Indonesia; kebebasan berpindab
pindah agama atau kepercayaan; kebebasan untuk menganut pandangan
keagamaan yang berbeda dengan pandangan kelompok mainstream; dan
kebebasan menikah beda agama Tambahan bagi umat Islam adalah apakah
juga meliputi kebebasan untuk saling mewarisi di kalangan orang yang
berbeda agama, kebebasan untuk wakaf beda agama, dan seterusnya.

58

1 KOMNAS HAM

Sejumlah ketentuan berkaitan dengan agama seharusnya dibuat


sebagai bentuk implementasi dari pasal 29 UUD 1945. Ketentuan pasal
29 mengandung nilai dasar yang penerapannya memerlukan peraturan
perundangan yang tidak boleh bersifat mengerdilkan nilai dasar. Justru
sebaliknya, peraturan yang bernilai sebagai instrumental terhadap pelaksanaan UUD 1945 harus memberikan peluang bagi agama dan aliran
kepercayaan di Indonesia. Akan tetapi, dalam realitas empirik di masyarakat
dijumpai sejumlah isu agama yang menyalahi ketentuan UUD, di antaranya
isu perkawinan beda agama; hak pencatatan bagi perkawinan di luar lima
agama "resmi", isu penyiaran agama, isu aborsi dan keluarga berencana,
isu hak anak di luar nikah, dan isu gay dan lesbian.
Suatu langkah maju pemerintah pada bulan FebruariIMaret 2006
yang patut diberikan apresiasi adalah pelayanan atas agama Khonghucu
untukmendapatkan hak-hak sipil mereka. Pelayanan yang diberikan adalah
merupakan pengakuan resmi atas keberadaan agama Khonghucu adalah
amat penting karena berdampak pada pemenuhan hak-hak sipil warga
negara, seperti pencatatan perkawinan penganut Khonghucu di Kantor
Catatan Sipil, serta pencatatan kelahiran bagi an&-an& mereka.
Jika pemerintah telah mengeluarkan 'pengakuan' dalam bentuk
Surat Edaran tersebut, lalu apakah pemerintah juga akan mengeluarkan
surat serupa untuk komunitas agama dan kepercayaan lain yang jumlahnya
ratusanataumun~ribuandimasyarakat?Haliniseharusnyamenyadarkan
kita semua, terutama para penyelenggara negara bahwa intervensi negara
terhadap kehidupan beragama masyarakat sangat problematic dan justru
akan mempersulit tugas negara itu sendiri.

Penutup
Keseluruhan peraturan dan penmdang-undangan tersebut hams direvisi
dengan mengacu kepada substansi ajaran semua agama dan kepercayaan yang
pasti selalu akomodatif terhadap nilai-nila kemanusiaan universal. Selain itu,
juga harus mengacu kepada spirit kebebasan beragama sebagaimana tercantum
dalam Pancasila, konstitusi UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
dan sejumlah kesepakatan internasional yang telah diratifikasi pemerintah,
termasuk Kovenan Hak-Hak Sipil Politik dan Kovenan lnternasional HakHak Ekonomi, Sosial dan Budaya (diratifikasikan dengan UU No. 12 dan No.
11 Tahun 2005). Hanya dengan cara itu masyarakat dan pemerintah dapat
mulai bekerja sama membangun kehidupan beragama yang sejuk, damai,
dan sejahtera yang di dalamnya terjamin kemerdekaan beragama bagi setiap
V.

KOMNASHAM

59

individu tanpa diskriminasi sedikit pun. Negara hendaknya tidak melibatkan


diri dalam perdebatan mengenai konsep "agama" dan "kepercayaan". Definisi
tentang agama dan kepercayaan diserahkan saja kepada pemeluknya masingmasing. Sikap demikian sejalan dengan tidak dinyatakannya di dalam UUD
1945 salah satu agama atau kepercayaan sebagai agama atau kepercayaan
negara. Pemerintah tidak perlu menetapkan mana jenis agama dan kepercayaan
yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan.
Namun, tentu saja pemerintah memiliki hak pengawasan terhadap agama
atau kepercayaan yang dianut penduduk Indonesia, yakni dalam pengertian
pemerintah boleh melarang agama atau kepercayaan yang mengajarkan paham
atau ideologi yang membahayakan keamanan dan ketertiban masyarakat.
Akhirnya, himbauan kepada seluruh elemen bangsa, seluruh unsur civil
society: kelompok akademisi,korporasi, agamawan,budayawan dan seterusnya
agar membangun sinergi, bergandengan tangan, bahu membahu untuk
menegakkan hak dan prinsip kebebasan beragama di negeri ini melalui upayaupaya konkret sebagai berikut. Pertama, melakukan upaya-upaya rekonstruksi
budaya melalui jalur pendidikan, baik pendidikan formal, non-formal maupun
informal. Perlu sekali mengubah budaya masyarakat yang eksklusif, intoleran,
dan senang kekerasan menuju budaya inklusif,toleran, cinta damai dan pluralis.
Kedua, merevisi sejumlah undang-undang dan peraturan yang tidak kondusif
bagi terwujudnya kebebasan beragama di tanah air. Ketiga, melakukan upayaupaya reinterpretasi ajaran agama sehingga tersosialisasikan ajaran agama
yang membebaskan, yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan
menuju baldatun thayyibah wa rabbun ghahr (kehidupan bangsa yang damai
dan sejahtera). Wallahu a'lam bi as-shawab.

60

1 KOMNAS HAM

Oleh Andreas A. Yewangoe

KOMNAS HAM

61

62

1 KOMNAS HAM

I.

Kebebasan Beragama Adalah Hak Asasi Manusia


Dari berbagai konvensi, baik yang dimmuskan secara universal
maupun yang diterima oleh berbagai negara beradab, sangat jelas
dikemukakan bahwa kebebasan beragama dijamin bagi setiap orang
di dalam negara yang di dalamnya ia menjadi warganegara. Sebagai
demikian, kebebasan beragama bukanlah hak yang diberikan oleh
negara atau siapapun, tetapi melekat pada manusia.
Hak beragama, dengan demiluan, adalah hak asasi manusia. Di
dalam Konstitusi Republik Indonesia,kebebasan beragama ini dijunjung
tinggi (pasal 29 UUD 1945). Ini menegaskan, baik secara tersurat
maupun tersirat, bahwa setiap orang bebas untuk memilih agama yang
ia kehendaki, bebas menyatakannya di muka umum, dan bahkan bebas
untuk beralih agama, asalkan itu dilakukan tanpa tekanan dan paksaan.
Semua pernyataan normatif ini sesungguhnyamemberikanjaminan bagi
tegaknya sebuah negara yang anggota masyarakatnya sangat majemuk.
Sekali hak-hak ini dilanggar, maka akan goyahlah sendi-sendi yang
mempersatukan negara tersebut.
Negara (dan Pemerintah sebagai pengemban dari tugas negara)
berkewajiban menjamin kemerdekaan setiap warga-negara untuk memeluk
agama (dan kepercayaannya) itu. Maka pemerintah yang adil, adalah yang
memberikan kesempatan kepada sernua penganut agama yang berbeda
itu untuk mengekspresikan agama mereka, misalnya melalui ibadah, dan
berbagai kegiatan-kegiatan lainnya. Pemerintah tidak boleh, atas dasar
pendapat sebuah agama, menghakimi agama lainnya, bahkan aliran lain
di dalam agama itu sendiri. Prinsip ini juga menjamin adanya toleransi di
dalam masyarakat. Memang toleransi mestinya bersumber dari dalam
kedalamannya manusia. Tetapikalau ha1 itu tidak didukungoleh sikap negara
yang menjamin kebebasan itu, maka sikap toleran tidak akan terwujud.

11.

Di dalam Kenyataannya
Bagairnana mewujudkan yang normatif itu di dalarn kenyataan
kongknt, tidak selalu mulus. Selalu saja ada kesenjangan antara yang ideal
(das Sollen) dan yang nyata (das Sein). Ini tidak terhindarkan.Tetapi kita bisa
berusaha agar kesenjangan itu tidak terlampau lebar. Kita berusaha untuk
mendekatkan sedekat munglun antara yang normatif dan yang nyata itu.
Menarik untuk dicatat di sini, bahwa apa yang disebut kemkunan
otentik sesungguhnya telah lama tertanam di dalam masyarakat kita.
Secara khusus kita melihat ha1 itu di dalam masyarakat pedesaan. Di
KOMNAS HAM

63

dalam masyarakat pedesaan itu, kebiasaan kunjung-mengunjungi dalam


kaitan dengan hari-hari raya adalah lazim. Hampir tidak ada perasaan,
bahwa di dalam perkunjungan itu iman seseorang terhadap agamanya
akan terganggu. Demikian juga dengan kebiasaan tolong-menolong di
antara penganut agama-agama yang berbeda itu banyak kita saksikan.
Tolong-menolong dan perkunjungan itu tejadi sebagai ekspresi relasirelasi kemanusiaan yang wajar. Inilah wujud-nyata dari sebuah kerukunan
otentik. Sayang, kerukunan otentik ini mulai terusik. Hubungan antarumat
beragama terganggu, bahkan di beberapa tempat tejadi konflik, yang
kalaupun bukan sebuah kontlik agama, namun bernuansa agama. Maka
wajarlah, apabila orang bertanya, apakah orang-orang Indonesia sungguhsungguh toleran? Pertanyaan ini wajar ditanyakan, sebab sebagaimana
telah dikatakan, masyarakat Indonesia sangat terkenal kadar toleransinya
bukan saja di dalam negeri, tetapi juga di manca negara.
Pertanyaan itu misalnya diajukan oleh Muchamrnad Tolchah
(seorang mahasiswa pasca sarjana di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
dalam tulisan singkatnya di Jakarta Post (6 Desember 2005).j5 Ia
memang secara khusus menyoroti Islam, tetapi tidak ada salahnya
apabila pertanyaan ini juga diajukan kepada setiap penganut agama di
luar Islam. Ia secara etimologis memahami toleransi sebagai kemauan
danlatau kemampuan untuk membiarkan sesuatu yang kita sendiri tidak
suka atau setujui. Ini mengimplikasikan bahwa setiap orang berhak
untuk melakukan sesuatu sejauh yang dilakukan itu tidak mencederai
hak-hak orang lain. Pemahaman ini juga bisa diinterpretasikan bahwa
tidak ada seorangpun yang berhak memaksa seseorang lain melakukan
atau mempercayai apa yang ia sendiri lakukan dan atau percayai. Dengan
mencermati apa yang tejadi akhir-akhir ini di dalam masyarakat kita,
maka Muchamrnad Tolchah mengkonstatir bahwa yang sesungguhnya
ada, adalah pseudo tolerance. Artinya bukan toleransi yang sungguhsungguh. Ia melihat sebab-musabab timbulnya pseudo tolerance itu pada
penanganan negara oleh rezim Soeharto, ketika setiap orang dipaksa
untuk menghadiri indoktrinasi mengenai Pancasila, di mana termasuk
di dalamnya indoktrinasi mengenai kerukunan. Tetapi karena ha1 itu
dilakukan sebagai kewajiban, maka ketika Suharto jatuh, kenyataan
bahwa orang pura-pura toleran langsung tampil di depan kita.
Mungkin tidak semua uraian Muchammad Tolchah ini kita setujui.
Tulisan itu bejudul. 'Are Indonesians Truly Tolerant?"

64

1 KOMNAS HAM

Tetapi satu ha1 jelas, bahwa semangat kerukunan bukanlah sesuatu yang
instan. Juga bukan sesuatu yang dipaksakan. Ia adalah sesuatu yang
dibangun dan dibina dari bawah oleh para penganut agama-agama itu. Maka
kerukunan bukanlah sesuatu yang dibina secara indoktrinatip. Kerukunan
umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang
dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghomati, menghargai
kesetaraan dalam pengamalan agamanya dan kerjasama dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Maka untuk memeliharanya
dibutuhkan upaya bersama antar-umat beragama dan pemerintah.

In.

Relasi Antara Negara dan Agama


Kita masih terus bergumul mengenai bagaimana seharusnya
menunuskanrelasiyangpas antaranegmdan agama.Kitatidakmenghendaki
sebuah relasi di mana negm dan agama tercampur-baur saja Kalau itu
terjadi, maka yang dirugikan bukan saja agama, tetapi juga n e w Dalam
keadaan seperti ini sikap kritis agama terhadap penyelenggaraan negara tidak
mungkm dilakukan. Padahahya kita tahu, bahwa negara membutuhkan
sikap kritis itu guna mencegah negara menyeleweng dari tugasnya sebagai
pelindung dan pengayom masyarakat dan, sebagai demikian,mengupayakan
keadilan dan kesejahtem. Tetapi kita juga tidak menghendaki adanya
separasi total. Dalam keductukan seperti in, agama dan negara berjalan
sendiri-sendiri tanpa menyentuh satu sarna lain. Bagaimana menempatkan
relasi itu, bukan sebagai pencampurbauran dan separasi total, di Indonesia
dicari "penyelesaiannya" dalam b e Pancasila Indonesia,dikatakan, bukan
Negara agama,juga bukanNegm sekuler. Ini adalah perumusan negatif, yang
terpaksa dilakukan karena kita belum mampu merumuskannya secara positif.
Ketika kita mencanangkan berbagairencana "Pernbangunan Lima Tahun" di
era Orde Bam, khusus mengenai peranan agama dikatakan, bahwa agamaagama memberikan landasan moral, etk, dan spiritual bagi pembangunan
nasional sebagai pengamalan Pancasila. Inilah perurnusan yang pada waktu
itu dianggapbaik. Di sini agama-agama mempunyai peranan penting, namun
tidak dalam pengertian hukum-hukum agama dijadikan hukum positif Yang
mau ditekankan adalah bahwanilai-nilai agama (apapun agama itu) yang bisa
saja bersifat universal (misalnyanilai-nilai keadilan, persaudaraan, kerinduan
akan kesejahteraan baama,dan seterusnya) dapat dipakai sebagai landasan
bagi penyelenggaraan pembangunan agar, dengan demikian, pernbangunan
tidak diselewengkan ke arah yang tidak manusiawi (dehurnanisasi).
Bagaimana mengatur tugas dan kewajiban negara berhadapan
KDMNAS HAM

65

'

36

66

dengan (pengmut) agama-agama, merupakan pergumulan yang terusmenerus. Pertanyaan mendasar adalah, apakah negara berhak untuk
mencampuri urusan-urusan intern agama (menyangkut iman clan
kepercayaan, dan bagaimana mengekspresikannya). Jawaban standar
yang biasanya diberikan adalah, negara tidak mencampuri urusan internal
agama-agama. Urusan internal adalah urusan internal agama-agama. Tetapi
tidak terhindarkan, bahwa negara (sadar atau tidak) melampaui wewenang
itu. Penentuan adanya lima agama "resmi" saja di Indonesia, sebenamya
sudah merupakan campur tangan negara yang terlampau jauh. Negara
tidak berhak melakukan itu, apalagi kalau "kriteria" untuk menentukan
sebuah agama "resmi" atau tidak, tidak bebas dari "bias" agama tertentu.
Di Indonesia, penentuan itu didasarkan atas agama-agama "langit" (tradisi
Abrahamik). Dalam kaitan ini barangkali baik kita mencatat rumusan
William James. Ia memahami agama sebagai segala perasaan, tindakan,
dan pengalaman pribadi manusia dalam kesendiriannya, sejauh mereka
memahami diri mereka sendiri saat berhadapan dengan apapun yang
mereka anggap sebagai yang ilahi?6 Tentu saja penunusan William
James ini lebih mengarah kepada pengaiman psikologis seseorang dalam
berhadapan dengan yang dianggapnya ilahi. Namun dapat dipakai sebagai
rujukan untuk menghormati setiap orang yang mencoba mengekpsresikan
pengalaman agamanya, juga kalau pun pengungkapannya itu tidak selalu
cocok dengan knteria-kriteriayang ditetapkan (oleh negara). Sesungguhnya
pengalaman seseorang dengan Tuhan tidak dapat dihakimi oleh siapapun,
termasuk negara.
Dalam kaitan ini, perlu disinggung juga UU No.l/PNPS/1965
Tentang Penyalahgunaan danlatau Penodaan Agama. UU ini yang
didasarkan atas UU No. 5 Tahun 1969 memberi kewenangan (hampir)
"mutlak" kepada Departemen Agama untuk menentukan pokok-pokok
ajaran agama dan kegiatan keagamaan. Pertanyaannya adalah, tepatkah
Departemen Agama mempunyai kewenangan sebesar itu? Tentu saja masih
perlu dipertimbangkan alasan kehadiran departemen ini di dalam NKIU.
Sebagai demikian, kehadiran departemen ini adalah pengejawantahan
kehadirannegara,~ustrudengan demikian, ~ e ~ a ~ r n e s tidak
t i n ~berwenang
a
melakukan itu. Bukankah hak untuk mengekspresikan keberagamaan
seseorang bukan diberikan oleh siapapun? Yang berwenang adalah agamaagama itu sendiri. Maka, kalau ada "ajaran-ajm sesat" yang muncul di

William James, Pejumpaan Dengan Tuhan, Ragam Pengalaman Religius Manusia (Jakarta, 2004, p. 23)

I KOMNAS HAM

dalam agama-agama, bukanlah tugas negara untuk mencegahnya (atau


membubarkannya), tetapi adalah urusan internal agama-agarna yang
dijalankan dalam semangat pastoral dan diskusi yang terbuka dan jujur.
Lain halnya, apabila gerakan-gerakan itu telah mengganggu keamanan
negara, maka negara wajib mengambil tindakan, Tetapi tindakan yang
diambil itu hanya menyangkut aspek keamanannya, bukan ajarannya.
Negara tidak berhak membina umat beragama. Yang berhak
melakukan itu adalah umat itu sendiri.Negara hanya menyediakan ruang
(dengan penegakan hukum yang berkeadilan) agar umat beragama dapat
mengungkapkan keberagamaannya sebebas-bebasnya di dalam koridor
hukum yang berkeadilan itu sesuai dengan Konstitusi. Negara tidak
boleh mempersulit siapapun untuk melakukan ibadahnya. Mengenai
pembangunan rumah-rumah ibadah, tentu diperlukan izin. Tetapi
izin itu tidak berbeda dengan IMB yang juga diberikan kepada setiap
bangunan yang ada sesuai dengan Tata Kota dan perencanaannya.

KOMNAS HAM

67

Oleh Fauzan Al-Anshari

70

1 KOMNAS HAM

eberapa waktu yang lalu tiga tokoh elit ormas Islam secara
bergantian mengundang kami untuk membicarakan sejumlah isu
krusial menyangkut kehidupan beragama di Indonesia. Mereka
adalah KH Hasyim Muzadi (NU), KH Din Syamsuddin (Muhammadiyah),
dan KH Shalahuddin Wahid (ICMI). Selain penulis, juga hadir teman-teman
dari ormas lain. Isu krusial yang dibahas di antaranya adalah kasus Parung
(Ahmadiyah), kasus Cimahi (SKB 2 Menteri), dan fatwa MU1 tentang haramya
(sekularisme, pluralisme, dan liberalisme).
Ujung pembicaraan ketiga isu krusial tersebut belurn mencapai kesimpulan
bulat, sehingga masih dibutuhkan pendalarnan materi lebih Ianjut agar berbagai
akar permasalahan dapat dikupas secara tuntas. Namun ada satu kata sirnpul
yang disepakati bersama yaitu bahwa cara-cara kekerasan seperti eigenrichting
(main hakim sendiri) seharusnya secara optimal dihindarkan. Walaupun demikian
disadari pula bahwa eigenrichting itu muncul sebagai akibat tersumbatnya
mekanisme hukum yang ada.
Dialog dengan Jujur

Perbedaan persepsi terhadap sebuah istilah akan selalu ada sepanjang


jaman, apalagi yang menyangkut urusan publik. Di sinilah peran penguasa untuk
secara adil menjelaskan, mensosialisasikan, dan memfasilitasi kepentingan
semua rakyatnya dalam memanifestasikan keyakinan 'keberagamaan mereka
tanpa hams menimbulkan k o d i k antarumat beragama. Bila keberpihakan
sepihak, diskriminatif, dan sejenisnya yang dikembangkan pemerintah, maka
ha1 itu hanya akan berujung pada kekecewaan publik. Akhirnya, kekecewaan
itu tereskalasi dan terakumulasi oleh sejumlah persoalan lain seperti ekonomi,
politik, pendidikan, dan sebagainya sehingga rentan melahirkan kekacauan bila
disulut oleh provokasi.
Dialog antarumat beragama sudah sering dilakukan. Juga telah disadari
bahwa dialog menyangkut konsep teologis jelas tidak mungkin bertemu karena
memang dari akarnya keyakinan itu tumbuh berbeda. Karenanya, materi dialog
harus lebih ditekankan kepada aspek hubungan sosial antarumat beragama agar
tercipta kehidupan yang koeksistensi, simbiosis mutualisme, dan saling toleran
terhadap berbagai perbedaan. Di sinilah persoala~ya,bagaimana dialog mampu
menjembatani semua perbedaan yang ada sehingga tidak harus selalu diakhiri
dengan kekerasan.
Soal perpecahan bukanlah barang baru. Ia telah melanda sernua pemeluk
agama, padahal agama itu sendiri memerintahkan persatuan. Kalau merujuk
KOMNAS HAM

71

kepada hadits Nabi Muhammad SAW, umat Yahudi telah pecah menjadi 71
golongan, umat Nasrani 72 golongan, dan umat Islam akan pecah menjadi 73
golongan. Nabi saw pun menjelaskan bahwa dari urnat Yahudi akan masuk surga
1 golongan, dernikian pula umat Nasrani dan umat Islam (Hadits sahih riwayat
Ibnu Majah:3226). Selebihnya adalah golongan sesat yang akan masuk ke dalam
neraka. Ciri golongan yang selamat adalah mereka yang mengikuti Nabi yang
diturunkan kepada mereka.
Dari sinilah kemudian memunculkan klaim kebenaran masing-masing
yang tak berkesudahan hingga memutih tulang bumi. Sayangnya tidak semua
klaim itu menggunakan metodologi yang benar sehingga sering memunculkan
taklid buta clan pengakuan yang membabibuta pula. Kita hams menyadari, bahwa
pertarungan ideologi --baik yang bersumber dan ajaran agama maupun aliran
politik-- bahkan fisik di sejumlah tempat akan terus terjadi sepanjang masa. Yang
kita perlukan adalah segala upaya untuk meminimalisir kerusakan yang muncul
akibat persinggungan perbedaan maupun perselisihan tersebut sehingga tercipta
kehidupan yang harmonis seperti tergambar dalarn masyarakat madani.

Manifestasi Agama
Setiap ajaran agama menuntut pemeluknya menjalankan keyakinannya
itu dengan benar dan utuh. Islam menuntut umatnya untuk menerapkan
syariatnya secara komprehensif (kaaffah) sebagaimana tertera dalam surat
Al-Baqarah:208. Umat Islam juga meyakini bahwa agamanya adalah satusatunya yang diridhoi oleh Allah swt (QS. Ali Irnran:19). Karenanya, umat
Islam meyakini bahwa agama di luar Islam tidak akan diterima oleh Allah swt
(QS. Ali Irnran:85). Keyakinan demikian tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Penulis yakin, para pemeluk agama lain yang hidup sekarang ini juga
mempunyai klaim serupa dengan istilah-istilah yang juga memililu pengertian
sama dengan keyakinan umat Islam. Di sinilah dibutuhkan mekanisme hukum
yang adil yang diberlakukan oleh pemerintah agar keimanan umat beragama
tersebut dapat termanifestasikan dengan baik dan tercipta hubungan sosial
yang anggun.

Pendekatan HAM
Hak yang paling asasi bagi seluruh umat manusia menurut Islam adalah
hak menjalankan agama dengan aman, hak hidup Cjaminan keamanan jiwa),
jaminan keamanan aka1 (berpikir), hak jaminan keamanan berketurunan, dan

hak jaminan keamanan kepemilikan (harta). Kelima HAM yang paling esensial
ini hams dijamin keberlangsungannya oleh siapa pun yang berkuasa di negeri
ini tanpa terkecuali.
Urutan kelima hak tersebut menunjukkan nilai yang tertinggi: 1. agama 2.
jiwa 3 . akal 4. keturunan, clan 5. hark Harta boleh habis demi mempertahankan
eksistensi keturunan. Harta dan keturunan boleh hilang demi mempertahankan
akal. Harta, keturunan, dan akal lebih murah daripada nyawa, sehmgga boleh
dikorbankan untuknya. Harta, keturunan, akal, dan jiwa tidak ada bandingannya
dengan keyakinan agama, karena agamalah yang akan dibawa ke alam baka.
Harta, keluarga, akal, dan jiwa akan kita tinggal di dunia yang fana ini sebagai
peninggalan yang akan dilanjutkan oleh ahli waris.
Di sinilah pemerintah hams mampu melindungi kelima HAM yang paling
penting tersebut. Di sinilah Islam menurunkan syariatnya untuk melindungi
kelima HAM tersebut yang disebut HUDUD (batas-batas hukum Allah yang tidak
boleh dilanggar, QS. Annisa:14). Imam Syatibi menjelaskan dengan sangat baik
bahwa maksud diturunkannya syariat Islam (Maqashidus-Syariiiah) di antaranya
adalah untuk menjamin eksistensi kelima HAM tersebut sehingga manusia dapat
menjalankan agamanya dengan bak, aman jiwanya, sehat akalnya, tenteram
keluarganya, dan terjaga hartanya.
Untuk itu, pelanggaran terhadap kelima HAM tersebut telah ditetapkan
jenis hukumannya oleh Allah swt dan Rasul-Nya saw. Pelanggaran terhadap
jaminan beragama adalah pemurtadan atau pengingkaran (riddah) sehingga
pelanggarnya dihukum mati sebagaimana sunnah. Pelanggaran terhadap jiwa
clan keamanan umum adalah membuat kerusakan di muka bumi (hirabah atau
terorisme) sehingga dihukum mati, disalib, dipotong tangan dan kaki secara
bersilang, atau diusir dari negerinya (QS.Almaidah:33). Juga disyariatkan qisos
untuk menjamin hak hidup setiap orang, yakni dengan pembalasan, denda
(diyat), atau pemaafan (QS.Albaqarah:178-179).
Pelanggaran terhadap akal adalah dengan menenggak khamr (miras,narkoba,
dm sejenisnya), sehingga dihukum cambuk (QS.Almaidah:90-91) atau dihukum
mati sesuai sunnah. Sedangkan pelanggaran terhadap berketurunan adalah belzina,
sehingga pelakunya dihukum mati (rajam) bagi mereka yang sudah berkeluarga,
s e m i sunnah. Adapun yang belum menikah dihukum cambuk 100 kali dan
diasingkan selama satu tahun. Dan untuk menjaga kehormatan keluarga, maka para
penuduh zina hams mendatangkan ernpat orang saksi. (QS.Annisa:15). Terakhir,
pelanggaran terhadap harta dengan mencuri atau korupsi adalah dihukum potong
tangan atau dibunuh (QS.Almaidah:38).

KOMNAS HAM

73

Peran Negara
Untuk menjalankan Hudud hams melibatkan kekuasaan negara demi
menghindari kekacauan dalam masyarakat, termasuk aksi main hakun sendiri
yang membahayakan eksistensi seseorang. Oleh sebab itu, para ulama Salahs
Shaleh telah sepakat perlunya otoritas (kekuasaan) dan wilayah-secara defacto
maupun dejure-untuk menjalankan hukum ini. Artinya, tidak boleh sembarang
orang menjalankan Hudud, melainkan hams orang yang mempunyai otoritas dan
wilayah. Ini logis, sebab kalau semua orang boleh menghukum maka masyarakat
ini akan kacau balau. Yang berhak menentukan apakah seseorang itu melakukan
pelanggaran atau tidak adalah Mahkamah Syariah yang adil, kompeten, dan
kapabel.
Adapun pelanggaran hukum di luar masalah Hudud disebut Ta5zir
yang jenis hukumannya akan ditentukan oleh Mahkamah Syariah dengan jalan
ijtihad. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi sejumlah kejahatan kontemporer
yang mengancarn kelima HAM tersebut. Sedangkan masalah-masalah lain yang
menyangkut wilayah privat seperti ibadah ritual, pemikahan, dan sebagainya
tidak membutuhkan intervensi negara. Sehingga setiap orang bebas menjalankan
keyakinannya asalkan tidak mengganggu ketenteraman umum atau tindak pidana
yang membahayakan kelima HAM tersebut.

Pendekatan Konstitusi
UUD 45 pasal29 ayat 2 menegaskan bahwa negara menjamin kebebasan
warganya untuk beribadah menurut keyakinannya. Sejujurnya, selama ini umat
Islam yang mempakan penduduk mayoritas bangsa Indonesia (data KPU 2004
sebanyak 88,2% dari total penduduk) belum dapat menjalankan ibadah secara
utuh. Persoalannya, ibadah belum didefinisikan secara gamblang sehingga ada
sejumlah umat Islam yang salah menafsirkan pengertian ibadah, yakni hanya
menyangkut ritual saja. Sementara untuk mengums negara ajaran Islam justru
ditinggalkan, kecuali NAD yang diberi otonomi khusus menerapkan syariat
Islam secara utuh dalam bingkai NKRI.

74

1 KOMNAS HAM

VII

Oleh M. Dawam Rahardjo

KOMNAS HAM

75

76

1 KOMNAS HAM

ika pengertian negara sekuler dilawankan dengan negara agarna,


maka Indonesia bukan negara agarna melainkan negara sekuler.
Dalam negara sekuler seperti ini, negara tidak didasarkan kepada
suatu ideologi agama tertentu yang membentuk teokrasi. Namun sering juga
dkatakan bahwa Indonesia tidak sepenuhnya sekuler, karena dasar negara
Indonesia dalam konstitusinya adalah "Ketuhanan Yang Maha Esa." Tapi negara
tidak punya tugas misalnya melaksanakan syari'at Islam bagi pemeluknya,
seperti semula disebut dalam naskah Piagam Jakarta, pada kalimat "berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluknya".
Sementara itu warga negara mempunyai kebebasan untuk menjalankan
agama dan beribadah menurut agama dan keyakinan para pemeluknya masingmasing. Dengan demikian, Ketuhanan Yang Maha Esa berkedudukan sebagai
sumber moral yang dijadikan pedoman bagi sikap dan perilaku warga. Sistem
moral itu dapat digali dari ajaran-ajaran agama yang dipeluk masyarakat. Tapi
ajaran-ajaran agama itu hams melalui proses rasionalisasi dan obyektifikasi.
Tuhan di sini adalah Tuhan lintas agama. Dengan demikian, setiap agama punya
peranan dalam membangun moral bangsa.
Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu diikuti dengan ketentuan mengenai "kebebasan beragama dan menjalankan ibadah menurut agama dan
kepercayaan masing-masing". Di sini, berlaku asas pluralisme yang mengakui
kebenaran eksklusif masing-masing agarna, terutama dalam ha1 aqidah (creed)
dan peribadatan (cult). Kebebasan di sini berarti bahwa keputusan beragama
diletakkan pada tingkat individu. Inilah artinya, bahwa agama merupakan
persoalan individu dan bukan persoalan negara. Syariat Islam umpamanya
bisa dilaksanakan, tapi pada tingkat masyarakat, oleh para pemeluknya
sendiri. Inilah makna Sekularisme yang sebagaimana dikatakan oleh Talcott
Parson: mengembalikan agama kepada masyarakat dan bukan bersatu dengan
kekuasaan negara (kesatuan a1 din wa aldaulah). Hukum Agama yaitu syariat
tidak berkedudukan sebagai hukum positif, melainkan sebagai hukum voluntir
(voluntary law),meminjam istilah tokoh Masyumi, Sjafruddin Prawiranegara.
Jika melihat kepada sejarahnya, yaitu sejarah gereja Kristen dari mana
Sekularisme lahir, maka Liberalisme Agama, yang merupakan salah satu unsur
Sekularisme itu, berarti pula setiap individu, dalam memeluk dan menjalankan
agama, bebas dari otoritas keagamaan. Hal ini sejalan dengan ajaran Islam "La
rohbaniyah fi a1 Islam" (tidak ada otoritas keagamaan dalam Islam). Sebab
otoritas keagamaan selalu cenderung mengurangi kebebasan beragama dan
menjalankan ibadah menurut keyakinan individu. Sementara itu, iman tidak
KOMNAS HAM

77

bisa dipaksakan oleh otoritas apapun. Inilah makna "la ikrahaJi a1 din" (tidak
ada paksaan dalam agama). Di sinilah asas Liberalisme dan Pluralisme bertemu
dengan Sekularisme, yang sesungguhnya tidak bertentangan dengan agama,
termasuk Islam.
Kebebasan beragama, dengan dalil tidak ada paksaan dalam agama,
adalah prinsip yang sangat penting dalam Sekularisme dan hams dipahami
makna dan konsekuensinya, baik oleh negara maupun masyarakat. Oleh sebab
itu, prinsip ini perlu diwujudkan ke dalam suatu UU yang memayungi kebebasan
dalam keberagamaan. Maksud UU ini adalah, pertama, agar bisa membatasi
otoritas negara sehmgga tidak menimbulkan campur tangan negara dalam ha1
akidah (dasar-dasar kepercayaan) dan ibadah maupun syari'at agama (code)
pada umumnya. Kedua, di lain pihak memberikan kesadaran kepada setiap
warganegara akan hak-hak asasinya, dalam berpendapat, berkeyakinan dan
beragama. UU semacam itu hams mendefinisikan kebebasan beragama secara
lebih detil.
Pertama, kebebasan beragama berarti kebebasan untuk memilih agama
atau menentukan agama dan kepercayaan yang dipeluk, termasuk menganut
aliran kepercayaan apapun apalagi kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
serta kebebasan untuk melaksanakan ibadah menurut agama dan keyakinan
masing-masing. Kebebasan dalam arti ini paling banyak dipahami, namun tetap
mengandung masalah.
Mengapa ustad Usman Roy dari Malang, yang mengajarkan sholat
dwibahasa dituduh telah menodai agama, sehingga ia dibawa ke pengadilan dan
kelompok masyarakat tertentu mendesak pemerintah untuk menghukurnnya?
Padahal berdasarkan kebebasan agama dalam arti ini, seseorang boleh saja
melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinamya itu. Bagi Ustad Usman Roy,
melakukan sholat dengan bahasa yang dimengerti artinya, lebih baik daripada
membaca sesuatu yang tidak diketahui maknanya. Memang pandangan ini
bertentangan dengan pandangan otoritas keagamaan yang berpegang teguh pada
pendapat bahwa sholat itu hams dijalankan sebagaimana dicontohkan oleh nabi,
termasuk dalam memakai bahasa Arab. Tapi ustad Usman Roy punya pandangan
lain yang, walaupun dianggap menyimpang dari kesepakatan para ulama, namun
masuk aka1juga. Buktinya ada sejumlah orang yang mengikuti ajarannya. Apa
ha1 ini tidak diperbolehkan, padahal tidak sholatpun tidak dilarang? Apalagi
menurut Imam Besar Hanafi, sholat dengan bahasa setempat diperbolehkan.
Karena itu berdasarkan asas kebebasan menjalankan ibadah menurut keyakinan
masing-masing (individu), ustad Usman Roy clan pengikutnya, berhak memperoleh kebebasan beragama, dalam arti menjalankan ibadah yang sifatnya sangat

individual itu.
Kedua, kebebasan beragama berarti pula kebebasan untuk tidak beragama.
Walaupun UUD menyatakan bahwa "negara berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa" sebagai sila pertama dalam Pancasila, namun kebebasan beragama
juga berarti bebas untuk tidak percaya kepada Tuhan atau untuk berkeyakinan
atheis, seperti tokoh Hasan dalarn novel Ahdiat Kartamihardja "Atheis". Yang
penting keyakinan Atheis itu tidak menggangu orang lain, misalnya dengan
menunjukkan sikap antiagama atau merendahkan orang yang beragama atau
menghina Tuhan di muka umum. Orang Atheis bukan berarti tidak bermoral,
bahkan filsafat Atheisme bisa bersifat humanis, seperti ditunjukkan oleh filsafat
Eksistensialisme Sartre. Menurut orang atheis, Tuhan itu adalah ciptaan pikiran
manusia yang dimitoskan dan disucikan, sedangkan tidak beragama berarti bebas
dari mitos dan kredo (keimanan) yang disusun oleh manusia sendiri.
Ketiga, kebebasan beragama berarti juga kebebasan untuk berpindah
agama, artinya berpindah pilihan dari satu agama tertentu ke agama lain.
Berpindah agama tidak berarti murtad, melainkan menemukan kesadaran bam
dalam beragama. Apalagi murtad dianggap sebagai hukuman yang mengandung
konsekuensi, misalnya hams bercerai dari istri atau suami, sebagaimana pernah
dialami oleh Nasr Hamid Abu Zayd dan novelis perempuan Nawal El Sadawi di
Mesir, yang mengakibatkan Abu Zayd hams berpindah ke Negeri Belanda yang
sekuler dan menjamin kebebasan beragama. Berpindah agama juga tidak disebut
kafir, karena istilah kafir bukan berarti mempunyai agama lain, melainkan karena
menentang perintah Tuhan. Sebenarnya perpindahan agama ini harus dianggap
peristiwa biasa dan sering disambut oleh kalangan agama yang baru dipeluk,
sebagaimana nampak dalam penayangan orang-orang mu 'alaf (orang yang baru
memeluk agama Islam) atau pemberian zakat kepada mu'alaf yang seringkali
sebelumnya memeluk agama lain.
Keempat, kebebasan beragama berarti pula bebas untuk menyebarkan
agama (berdakwah), asal dilakukan tidak melalui kekerasan maupun paksaan
secara langsung maupun tidak langsung. Kegiatan untuk mencari pengikut,
dengan pembagian bahan makanan, beasiswa kepada anak-anak dari keluarga
miskin atau pelayanan kesehatan gratis dengan syarat hams masuk ke dalam
agama tertentu, adalah usaha yang tidak etis, karena bersifat merendahkan
martabat manusia, dengan "membeli" keyakinan seseorang. Namun program
bantuan semacam itu boleh dilakukan oleh suatu organisasi keagamaan,
asal tidak disertai syarat masuk agama tertentu. Kegiatan semacam itu akhirakhir ini banyak dilakukan di kalangan Muslim, temtama pada bulan puasa.
Karena itu pemberian bantuan kepada golongan miskin hams dengan motivasi
KOMNAS HAM

79

kemanusiaan, misalnya membantu masyarakat Aceh yang terkena bencana


Tsunami tidak dilarang, walaupun kegiatan itu mengundang simpati kepada
agama yang bersangkutan.
Kegiatan penyebaran agama dengan cara menawarkan iman dan
keselarnatan secara langsung dari orang ke orang atau dengan cara kunjungan
dari rumah ke rumah (door to door) dengan tujuan proselitasi adalah tindakan
yang tidak sopan dan sangat mengganggu, karena itu hams dilarang. Kegiatan
penyebaran agama, sebagai pewartaan, tidak dilarang, tetapi upaya Kristenisasi
atau Islamisasi sebagai proselitasi tidak diperkenankan. Apalagi Gereja Katholik
maupun Protestan sudah menyatakan bahwa upaya pengknstenan sebagai
proselitasi itu bertentangan dengan ajaran Kristen sendiri dan karena itu tidak
diperbolehkan.
Jika tata cara penyebaran agama bisa diatur, misalnya melalui kode
etik yang disusun oleh golongan agama yang bersangkutan, maka tidak akan
ada lagi tuduhan "Kristenisasi", "Islamisasi", atau "pemurtadan" terhadap
pendirian rurnah ibadah misalnya. Atas dasar tanpa kecurigaan dan semangat
untuk hidup rukun antara pemeluk agama yang berbeda, maka pendirian rumah
ibadah maupun penggunaan rurnah sebagai tempat ibadah tidak dilarang, asal
tidak melanggar peraturan tata kota, mengganggu lalu-lintas atau menimbulkan
gangguan lainnya. Dengan demikian, peraturan semacam SKB dua Menteri,
1969,yang khusus mengatur pendirian rumah ibadah, atau UU Kerukunan Antar
Umat Beragama, yang bernuansa politisasi agama, tidak diperlukan.
Ceramah-ceramah atau khotbah-khotbah, serta tulisan-tulisan, baik
berupa buku atau tulisan di majalah-majalah yang memicu konflik antarumat
beragama ataupun menodai suatu agama, atau membongkar kelemahan atau
"kepalsuan" suatu agama sebagaimana dilakukan terhadap jema'at Ahmadiyah,
atau mengobarkan semangat permusuhan, dilarang, karena kegiatan semacam
itu merupakan penyalahgunaan kebebasan beragama. Barangsiapa melanggar
bisa di bawa ke pengadilan. Di Perancis seorang pengkhotbah yang bemada
menghasut bisa ditangkap dan di bawa ke pengadilan.
Kelima, Atheisme sebagai paham yang dipropagandakan, yang bersifat
antiagama dan anti Tuhan hams dilarang oleh negara, karena bertentangan
dengan Pancasila, khususnya sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam rangka
Atheisme ini juga dilarang mencela dan menghina suatu agama, sebagaimana
diperbolehkan di negara-negara komunis yang berdasarkan Atheisme. Namun
tulisan yang berpandangan atheis, misalnya tulisan Marx, Freud atau Feurbach,
sebagai diskursus ilmiah, tidak dilarang, tapi boleh dibantah secara ilmiah pula.
Keenam, atas dasar kebebasan beragama dan pluralisme negara hams

bersikap adil terhadap semua agama. Suatu peraturan pemerintah yang bersifat
membendung penyebaran agama atau membatasi kegiatan beribadah, dianggap
bertentangan dengan UU. Sebagai konsekuensinya, pencantuman agama dalam
kartu identitas, misalnya, tidak diperlukan, karena bisa membuka peluang bagi
favoritisme dan diskriminasi yang menguntungkan agama yang dipeluk oleh
mayoritas penduduk atau berpengaruh di pemerintahan.
Ketujuh, negara hams memperbolehkan perkawinan antara dua orang
yang berbeda agama,jika ha1 itu sudah menjadi keputusan pribadi dan keluarga.
Yang penting adalah mencatatkan diri sebagai warga kepada lembaga pencatatan
sipil, bahwa dua orang anak manusia itu telah mengikat tali perkawinan untuk
selamanya. Dalam ha1 ini negara tidak mencampuri urusan prosedur pernikahan
berdasarkan ketentuan atau upacara agama apapun, keduanya melangsungkan
pernikahan, berdasarkan pilihan dan kesepakatan calon pengantin.
Otoritas agama boleh mengeluarkan fatwa yang menghararnkan perkawinan lintas agama, atau keluarga dan individu boleh menganggap haram pernikahan antara pemeluk agarna yang berbeda. Namun fatwa itu tidak mengikat
negara dan pandangan keluarga dan individu itu hanya berlaku pada dirinya
sendiri. Tentu saja, jika perkawinan itu ingin dinilai sakral dan dianggap sah
oleh agama, maka yang bersangkutan dianjurkan mengikuti tata-cara dari suatu
agama tertentu yang sudah memiliki tatacara baku berdasarkan suatu akidah
tertentu.
Di samping itu, negara harus melarang perjanjian pernikahan untukjangka
waktu tertentu (kawin mut'ah). Sebab jika perkawinan seperti itu diperolehkan,
maka akan terjadi kerancuan moral (moral hazard). Karena itu maka perjanjian
pernikahan yang dimaksud di situ adalah perjanjian pernikahan yang mengikat
sepasang manusia untuk seumur hidup atau selamanya, kecuali jika timbul
masalah yang menyebabkan perceraian yang diputuskan oleh pengadilan.
Kedelapan, dalarn pendidikan, setiap siswa atau mahasiswa diberi
hak untuk menentukan agama yang dipilih untuk dipelajari. Pilihan tidak
boleh berlaku otomatis menurut agama orang tua, walaupun orang tua bisa
mempengaruhi, bahkan menentukan pilihan anak-anaknya. Hak ini mencakup
pilihan untuk tidak mengikuti pelajaran agama tertentu. Namun minimal ada
keharusan bagi setiap siswa atau mahasiswa untuk mengikuti pelajaran budi
pekerti atau etika berdasarkan Pancasila, karena pelajaran itu penting bagi
pembentukan warga negara yang baik (good citizen). Ketentuan itu berlaku bagi
semua sekolah, baik negeri maupun swasta. Materi budi pekerti atau etika itu
sendiri bisa digali dari semua agama dan kepercayaan, baik dari dalam maupun
luar negeri. Sudah tentu, nilai-nilai yang diambil dari agama-agama itu harus
KOMNAS HAM

81

melalui proses rasionalisasi dan obyektfivasi sebelum dimasukkan ke adalam


pelajaran budi pekerti atau etika.
Kesembilan, dalam perkembangan hidup beragama, setiap warga berhak
untuk membentuk aliran keagamaan tertentu, bahkan mendirikan agama baru,
asal tidak menggangu ketenteraman umum dan melakukan praktek-praktek yang
melanggar hukum dan tata susila atau penipuan dengan kedok agarna. Kebebasan
itu berlaku pula bagi mereka yang ingin mendirikan perkumpulan untuk maksud
kesehatan atau kecerdasan emosional dan spiritual berdasarkan ajaran beberapa
agama, sesuai dengan pilihan anggota atau peserta, selama tidak mengharuskan
keimanan kepada suatu aqidah agama sebagai syarat.
Kesepuluh, negara maupun suatu otoritas keagamaan, jika ada, tidak
boleh membuat keputusan hukum (legal decision) yang menyatakan suatu
aliran keagamaan sebagai "sesat dan menyesatkan", kecuali jika aliran itu telah
melakukan praktek-praktek yang melanggar hukum dan tata susila. Namun
otoritas keagamaan bisa memberi penerangan dan bimbingan yang berkenaan
dengan ibadah, akidah dan syariat, tapi tidak mengikat siapapun, baik negara
maupun warga negara.

82

1 KOMNAS HAM

VIII

(pemecahan masalah ancaman kekerasan


terhadap kebebasan beragama)
oleh: M.M. Billah

KOMNAS HAM

83

84

1 KOMNAS HAM

I.

Pengantar
Setidaknya ada tiga masalah pokok yang akan dijawab oleh tulisan
ini, yaitu: (i) bagaimana hubungan antara agama dan hak asasi manusia;
(ii) bagaimana memecahkan masalah ancaman tindak kekerasan terhadap
kebebasan beragama; dan (iii) apakah perlu ada lembaga 'arbitrase' untuk
masalah agama. Penulis akan berusaha mengemukakan pokok pikiran
yang dapat memberikan sumbangan bagi pemecahan ketiga masalah yang
dikemukakan itu dari perspektif hak asasi manusia.
11.

Agama dan Hak Asasi Manusia


Agama adalah gejala sosial (dan juga gejala psikolog~kalY' karena agama
menekanan urnat ketika pemahaman dan pengetahuan mendalam tentang agama
dikembangkau, diajarkan, dan dilanggengkn Agama memberi perhatian pada
kondisi yang amat sulit semua orang di sepanjang waktu, tanpa memandang usia,
jenis kelamin, atau status di dalam masyadat. Konsep tentang supra-natural atau
lorong keselamatan dapat mengkat orang pada nilai-nilai kesucian yang ditentukan
dan pada kelompok sosial, atau bisa juga menawarkan kebijakan dan teknik yang
dapat dipergunakan orang untuk membebaskan dirinya dari kelompok-kelompok
dan nilai-nilai konternporer - agama dapat memberinya kebebasan untuk mencapai
nilai-nilai yang mentransendensikan tuntutan dari kehadiran sosial. Jadi agama
adalah bersifat sun&-sun&
pribadi dan sun&-sun&
sosial [Theodorson
& Theodorson,1970:344]. Para ilmuwan sosial merasa perlu mencoba memmuskan
berbagai takrif tentang agama, misalnya salah satu rumusan yang menyatakan bahwa
agama adalah kepercayaan pada kekuatan-kekuatan supra-natural (lihat Goody,l961)
wuper & Kuper, 1989:698-701]?8Dengan demiluan agama dipahami sebagai suatu
sistem kepercayaan, prahk, dan nilai-nilai filosofis yang berkepedulian dengan
ketentuan-ketentuan dari yang suci, pemahaman hidup, dan penyelamatan dari d a h
keberadaan manusia [Theodorson & Theodorson, 1970:344].
Di dalam sosiologi, ada dua pendekatan pada takrif tentang agama. Pertama,
adalah takrif agama dalam hngsi sosialnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh
Durkheim (1912), bahwa agama adalah sebuah sistem keyakinan dan upacara (rituals) dengan mengacu kepada yang suci yang mengikat orang bersama ke dalam
37

35

Dan sudut pandang psikolcgis agama d'takrifKan sebagai 'segala perasaan. Indakan, dan pengalaman pribadi manusia dalam
kesendiriannya, sejauh mereka rnemahami din mweka sendiri saat bemadapan dengan apapun yang mereka anggap sebagai
yang ilahi [William James. Pejumpaan dengan Tuhan, raga. PengalamanRelig~usManusia. Jakarta,ZM)4:23. dikutip dan makalah
Andreas A Yewangce. Agama dan Negara: Poliik Negara dalam MelindungiKebebasanBeragama dan Berkeyakinandi Indonesia,
makalah seminar nasianal yang diselenggarakanoleh Komnas HAM dan ICRP, Ycgyakarta 13 Desembw 2 W .
Persoalan definisi ienis In1terletak pada kesulitan membedakanantara penqetahuan'natural' dan 'supra-natural'. Sebaqai mntoh.
keyakinan bahwa . & o r a n g hams menghormatiayah dan jbunya biidisebut sebagai kepercayaan natural atau s u ~ ~ r a l ?
Karena ha1In1mengacu kepada makhluk emplris, mengapatidak bisa dijustifikasi berdasarkanpertimbanganpmktik mumi?

KOMNAS HAM

85

kelompok ~osial?~
Pendekatan kedua, menalai&an agarna sebagai setiap rangka~an
jawaban yang koheren pada dilema kemanusia - kelahuan, kesakitan atau
kematian - yang membuat dunia bermakna, sebagaimana pendapat Max Weber
dan ahli teologi Paul Tillich [Abercrombie etal., 1970:207].40Marx mernasukkan
agama ke dalam ideologi yang lebih luas, yang juga mencakup ide-ide seperti 'sisi
kebaikan' (rightness)dari perwingan dalam sistem kapitalis warx dan Engels 1939
(1845-6); Bl~ch,19891.
Berbeda dengan pendekatan sosiologis itu, pralchk empiris yang terjadi di
Indonesia dan pemerintah Indonesia menyatakan pengertian sendiri tentang agama.
Agama secara sepihak oleh pemerintah (sedikitnya sebag~anaparat negara) dan
sebagain kelompok-kelompok masyarakat diperlakukan sebagiil sistem kepercayaan
yang disusunberdasarkankitab suci, dan olehkarena itu mengandung ajaranyangjelas,
mempunyai nabi dan sudah barang tentu juga kitab suci. Itulah sebabnya seringkali
terdengar pendapat yang salah kaprah bahwa agama yang diakui pemerintah adalah
agama-agama: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budhisme [cf Sitompul,2005].
Pendekatan sosiologis dan prakhk empiris di Indonesia itu memiliki implikasi yang
be&&,
karena rnisalnya agama-agarna lokal yang dipmMkh dan banyak pula
pemeluknyadi Indonesia- yang dalampendekatansosiologisterrnasukdalamkategori
agama - tidak diakui sebagai agama, dan oleh karena itu pengddnya mendapt
pbkukan yang bersifat diskriminat$ terutama dari (aparat, birokrat) negam41
Dokumen hak asasi manusia tidak memberikan takrif terhadap kosakata
'agama', karena disamping pemikirau tentang 'agama' sulit diperikan &lam rumusan-legal, juga untuk menghmdari kontroversi filosofis dan ideologis. Hukum
hak asasi manusia intemasional memiliki sebuah katalog tentang hak dan alat-alat
yang digunakan untuk melindungi hak-hak itu di bawah judul yang diyaitu
'kebebasan berpikir, b e r k a dan beragama' daripada menakrifkan kebebasan
itu sendiri. Lebih lanjut, kebanyakan kaidah intemasional yang dikembangkan
(bemifat) melindungi pengejawantahan atau ungkapan (ekspresi) dari kebebasan
beragama atau berkeyakinan mer,2004:65]. Di dalam ranah HAM, dikenal istilah
'hak-hak asasi manusia dasar' ('Basic Human Rights'), yaitu hak asasi manusia yang
pada umumnya dianggap amat perlu untuk memberikan keutamaan atau prioritas di
39
40

41

Dabm arb ini, beberapa ahli wsiologi telah memperluas pemikiran tentang agarna seraya memasukkan nasionalisme.
Perspektif mutakhir in1 dikritlk karena amat inklusif, karena hampir setiap kegiatan publik - sepak bola, misalnya - bka
memiliki akibat intearatif baoi kelomook sosial.
Dalam arti ini, agaGa adalah tanggapan manusia pada barang-barang yang menjadi kepeduliank i i pada akhirnya. lmplikasi
dari takrif ini adalah bahwa semua manusia adabh rdigius, karena k i i semw dihadapkan pada m l a h eksistensialdari
penyakif menua dan kematian.
Pdakuan dskrimtnatif dari negara a& pengikut a g m clan kqmayaan lokal sects sddn kelima agama yang ' d i i didmi'
ilu misalnya twydi dabm pemenuhan hak sipil para pengikut agamaagama lokal dan aliran kepmyaan ( d i i y a menyebut
agama bin yang 'diakui' di dalam KIP, meski sebenarnya Wak rnemeluk agama yang 'diakul' m, hak untuk d i i di dabm
catatan sipil atau KUA ketika yang befsangkutanmelakukan pemikahan. clan ketika anak mereka lahir dari pemikahan itu).

86

1 KOMNAS HAM

dalam hukurn dan kebijakan baik di tingkat nasional maupun internasional. Hak-hak
itu adalah hak yang memastikan kebutuhan primer material dan non-material dari
manusia untuk bisa mengarahkannya ke keberadaan (manusia) yang bermartabat.
Meskipun tidak ada daftar hak yang diterima secara mum tentang hak yang bersifat
dasar ini, akan tetapi termasuk di dalamnya adalah hak untuk hidup, hak atas makan,
papan, pelayanan medis, kebebasan dari penyiksaan, dan kebebasan beragama
(termasuk kebebasan berkeyakinan) [Conde,1999: 111. Hak-hak itu, dan juga secara
keseluruhan hak asasi manusia, didasarkan pada satu asas yang hndarnental yaitu
'martabat yang melekat pada manusia' [Groome, 1999:4].42
'Kebebasan' atau k e m e r d e k ~ i nadalah
~ ~ niiai utama dalam kehidupan
sekalipun tidak selamanya
politik Eropa yang senantiasa diagung-ag~ngkan~~
dipraktikkan. Arti penting kebebasan ini dapat dilihat pada ketentuan yang
mengatur hak-hak orang merdeka dan budak, di mana setiap orang yang tidak
memililu kebebasan, praktis tidak memiliki tempat di mata hukum. Prinsip
ini pula yang digunakan sebagai ukuran Eropa untuk menilai masyarakat sipil
di wilayah lain terutama Asia, dan dari ha1 itulah sering terjadi pertentangan
[Minogue,19891. Di belakang konsep 'kebebasan' (kemampuan untuk bertindak) itu terdapat gagasan tentang 'kebebasan kehendak' ('free-will'), yaitu
suatu ajaran yang menyatakan bahwa individu memiliki kebebasan memilih
dalam menentukan tindakannya dan bahwa kelakuannya tidaklah ditentukan
sebelumnya secara keseluruhan oleh faktor yang melampaui kendalinya."'
Takrif 'kebebasan' dalam perspektif HAM menyatakan bahwa 'kebebasan'
adalah 'kekuasaan atau kemampuan bertindak tanpa paksaan; ketiadaan kendala
(hambatan); kekuasaan untuk mernilih tindakan seseorang vis-a-vis negara',
42

43

44

Paragraf pertama dari DUHAM menyatakan: 'Menimbang bahwa penegakan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama
dan mutlak dari semua anggota keluarga manusia adalah dasar kemerdekaan, keadilan dan perdamian dunia' [Gunawan
Sumodiningrat dan lbnu Puma (ed.). Landasan Hukurn dan Rencana Aksi Nasional HAM di Indonesia 2094-2W9(Jakarta.
Deputi SekretarisWakil Presiden Republik Indonesia Bidang Kewilayahan. Kebangsaan, dan Kemanusiaan. 2004. p. 9)].
Di kalangan penduduk Yunani kuno konsep elutheria hanya dimiliki oleh pria dewasa sehingga hanya mereka pula yarg memiliki
tempat dalam kehidupan publik atau agora. Bagi bangsa Romawi kuno kebebasan dijelmakan sebagai konsepsi liberlas yang
menjadi kund status atau martabat seseorang. Aturan tentang kebebasan atau kemerdekaan bangsa Romaw kuno tersebut
dinyatakan dalam konstitusi mereka yang juga dijadikan sumber mot'vasi selama berabad-abad dalam menaklukkan bangsa la~n.
Ketika para tokoh humanis sip11di ltalla pada abad perlengahan mula1 memunculkan ide republik, Julius Caesar tampil sebagai
tnnnn lltama dslam membela nonsepslkehehasan ntmo yang menernpatkdn hangw R o m m sebagal penguasa [ hat Aaam Kdper
and Jess~caKuoer The Smal Scence Encnlooedrallondon 8 New Yo% Ro~tledae8 deaaan Paul 1989 DD 31451
Pada awal zamen modem di Eropa, konsepgi kebebasin menjadipokok pertentangaiantara lembaga-lembaga'monarkidan tmdisi
republik yang mulai muncul di masa itu. Maslng-masing pihak rnmiliki penafslran send~ritentang makna kebebasan. Bagi mereka
vana mendukuna m a r k l . kebebasan hanva berlaku dalam kehiiu~an~ribadlnamun tidak dalam kehidUDan DUblik. Sementara
hGgipara ilm-n polifk seperti Thomas~obbes,kebebasan adalah kutlak, roh hukum, dan harus dimiiiki oikh setiap indiiidu.
Dan pemikiran In1berkembanglah paham ~ndivlduallsmeyang menyatakan hahwa setiap lndwidu berhak mengejar kepentingannya
sendin. Kalangan yang mendukung ideide republik mengutamakan aspek moral kebebasan yarg mereka artikansebagai peluang
bagi siapa saja untuk bwparhsipasldalam kehidupan publlk. Tokoh-tokohnya banyak bermunwlandl Peranws khmusnya setelah
tejadinya revolusi. Sejak zaman Montesquieu para ilmuwan menilai kebebasan modem sebagai individualisme yang agak berbeda
dengan kebebasan sip11yang diagungkan pada masa-masa sebelumnya. Namun gagasan perlunya partislpasibagi semua p~hak
bdak pernah terlepas dari pemik~ran
polmk Empa sejak saat itu [Kuper 8 Kuper,1989:314-51.

KOMNAS HAM

87

yang seringkali dilihat di dalam arti 'kebebasan dasar' (ffitndamentalj-eedom7,46


yang menunjukkan suatu kebebasan yang sangat dibutuhkan secara mutlak bagi
pemeliharaan dan perlindungan atas martabat manusia di dalam masyarakat yang
terorganisasikan sebagai satu jenis perlindungan paling minimum yang dapat
diterima [Conde,1999:47]. Oleh karenanya dikenal 'Empat Kebebasan' ('Four
Freedom 7,47sebagaimana yang dikenalkan oleh F.D. Roosevelt, yaitu: kebebasan
ekspresi, kebebasan beribadah, kebebasan untuk berkeinginan, dan kebebasan dari
rasa takut.
Seyyed Hossein Nasr, seorang sufi dan ilmuwan Iran, sebagaimana
dikutip Reinders [1995],48 membedakan antara 'kebebasan (untuk) menjadi'
('j?eedom to be 7, yang ditandai oleh pengalaman 'keberadaan-diri yang asali'
berkaitan dengan mistikisme yang kepedulian utamanya adalah kebebasanpribadi - bukannya kebebasan politis --, dan 'kebebasan (untuk) bertindak'
('j?eedom to act 7 yang ada di dalam batas-batas yang dipaksakan oleh realitas
eksternal kepada inanusia [Reinder~,1995].~~
'Kebebasan pribadi' adalah
kebebasan mutlak ('absolute or infinite ji-eedom 7, yang terdapat di dalam
45

Ilmu4lmu Wl pada umumnya melihat kebkuan manush d w a n ~endekatandeteninislik dalam ar6 bahwa di dalam kdakxan ih
disebabkano&faktw-faktw budaya, sosial, pslkologikal,dan fi<&ikal, yang biasanya dianggap mdampaui pengendalianindiiual.
Pandangan ( n senngkal~dlan~t sebaga~WaN sangkalan abs uern~ngk~nan
dan kerna~ank b a s ,ebb bnjut. kebudayaan sxara
pam& ar senrgkal d l nat terulama seoagal cerslfalrnmbatasl kebeoasan ndMual membatasl KeaebasannyaUnNk cefindak mat
ka~aan
sosta ntlal-n~
a sank% harapan peran dsn Temp kebvdayaana ~ k mdapat
l
rnenyed~aKan<eceoasan6-a
orang dan uga
~ernbaiasanSelaln nu rnJdmL sosla rnernben~anMnaan
sau konsws vana temfifiaas~oan kenwdak cebas K h m v a a n
knyediakan konsepsikebebasan yaw awal kepada om&,
taw; kebud&aan oraw Wak mern~liki
mikjran atau asuirasi.
~ebuda~aan
juga menyediakan piiha&ilihan kepada c&.
Orarg (~ndNidu),
karena sifahya y r g Ida" kekayaan ragah dari
&p kebudayaan, mem~l~ki
lomng p~lthan
bndakanyang terbukabaginya.Sebagai tarnbahan, kehdupan budaya, soslal,dan psi&qkal
adalah arnat rurnt sehinacla kekakuan dan stabilitas kaidah sosral, dan satu ienis sWuklur keoribadian b h t u da~atmembuat tindakan
man- bdak domatis :an sederhana.M a p kombinasi perxlabman kekdupan teitentu ;ndrvdu adalah unlk.'~adas 4 u I k waktu,
dm (sMJ
mdwdu M a sebagal saw satuan dengan kektmzan bwbndak sesual dengan kehendak dan hasrat pnbad~Indwdu, sdaln
sebagal pmduk dan satu rangkalan anaslr frs~olcg~kal
ps!ko!qlkal, smal dan budaya yarg rum&juga berada sebagalenmas yang unlk
yang bemadapan defigan satu p d ~ b natas beragambndakan Jadl kemauan bebas dan satu Wk pandang soso!cgs bisa ladl dlllhat
sebagal kmungkmanu m k rnenyesualkan pada mbvasl dabm (Innet mombon) danpada tekanan ekstemal yarg s e w d~hadap
dl dalam memllth antara b m a m o~llhanvana dlsed~akanoleh kebudavaan Semua masvarakat dan kelommk beranaoaoan bahw
kdakuan indNldual adalah pakg ddak s&ra-pabl di bawah kendallnh. Tanpa anggakn atas kehendak'bebas dialm
;
harapan
soslal k h , kehdupan sosial barangkaliakan menydi Wak murghn. Kehdupan sosial rnenuntut keaslian(origi~lbs)dan inddualiis.
juga prediktab~litasdan konformttasm
n 8 Theodorson. 1969.161-21
Groorne mern~lah'kebebasan dasai ke dalam: (1) hak-hak dan perltndungan pribadi: dan (2) hakhak dan perlindungan di
dalam sistem kejahatan dan keadilan. Di dalam hak dan perlindungan pribadi termasuk: (i) kebebasan beragama; (ii) kebebasan
berpikir. (iii) kebebasan berekspresi; ('N) kebebasan pers; (v) kebebasan bersenkat: (vi) kebebasan bergerak; (vii) hak untuk
keh~dupanpribad~,(viii) hak untuk berkumpul: (IX) hak untuk berserikat:(x) hak atas pendidikan: (xi) hak untuk belpartisipasidalam
pemerintahan. Kebebasan berpikirdankebebasan beragama termasuk hak yang 'nondercgable'[DermotGroome, The Handbook
of Human Rights Investigation, Northborough, Massachusetts. Human Rights Press. 2001. p 61
'Empat Kebebasan' ini rnengacu ke pldato yang bersejarah Franklin Delano Roosevenpada Januari 1941, di mana ia menyatakan
bahwa eksistensi dari perdarnaian dunia dikaitkan dengan empat kebebasan yang esens~al.Kebebasan ini tenasuk 'freedom of
expression; freedom of worshtp: freedom from want (dalam ha1 in1adalah kepaslian atau keamanan ekonomi): freedom from fear
lcenauranaan Derseniataan).Pdalo ini kemudian meniadi satu dokurnen kund dl dalam uoava membentuk PBB dan memberikan
pertihung& dan peiajuaan HAM. Pidato itu dlbenkan sebelum AS terlibat dalam peran; dunia Il [H. Vctor Conde. A Handbook
oflntematonal Human R~ghtsTermimIosy, Linmln 8 London. University of Nebraska Press. 1999, p. 471.
bhat' Re~nders,Johannes S.. "Human Rights from me Perspective Of a Narrow Concept~onof Relig~ousMorality", dalam
Abdullahi A. An-Naim et.al.. Human R~ghtsand Religious Values: An Uneasy Relationship?, Amsterdam 8 Michigan, Ediion
Rodop~8 Wrlliam B. Eerdmans Publishing Company. 1995:7-9.
Reinders mengemukakanpandangan Nasr ini untuk menjelaskantafsiran Islam atas kebebasanmanusia. Akan tetapi Nasr dianggap
tidak melihat klitik yang luas atas kurangnya kebebasan ~ndtvulualdl dalam masyarakat Islam sway 6dak terdorong mendukung

deb-karena

46

47

48

49

88

1 KOMNAS HAM

dalam hukum dan kebijakan baik di tingkat nasional maupun internasional.Hak-hak


itu adalah hak yang memastikan kebutuhan primer material clan non-material dari
manusia untuk bisa mengarahkamya ke keberadaan (manusia) yang bermartabat.
Meskipun tidak ada daftar hak yang diterima secara mum tentang hak yang bersifat
dasar ini, akan tetapi termasuk di dalarnnya adalah hak untuk hidup, hak atas makan,
papan, pelayanan medis, kebebasan dari peny~ksaan,clan kebebasan beragama
(termasuk kebebasan berkeyakinan) [Conde,1999:11]. Hak-hak itu, dan juga secara
keseluruhan hak asasi manusia, didasarkan pada satu asas yang hdamental yaitu
'martabat yang melekat pada manusia' [Groome, 1999:4J4*
'Kebebasan' atau kemerdekaan4;' adalah nilai utama dalam kehidupan
sekalipun tidak selamanya
politik Eropa yang senantiasa diagung-agungl~an~~
dipraktikkan. Arti penting kebebasan ini dapat dilihat pada ketentuan yang
mengatur hak-hak orang merdeka dan budak, di mana setiap orang yang tidak
memiliki kebebasan, praktis tidak memiliki tempat di mata hukum. Prinsip
ini pula yang digunakan sebagai ukuran Eropa untuk menilai masyarakat sipil
di wilayah lain terutama Asia, dan dari ha1 itulah sering terjadi pertentangan
[Minogue,l989]. Di belakang konsep 'kebebasan' (kemampuan untuk bertindak) itu terdapat gagasan tentang 'kebebasan kehendak' ('fiee-will'), yaitu
suatu ajaran yang menyatakan bahwa individu memiliki kebebasan memilih
dalam menentukan tindakannya dan bahwa kelakuannya tidaklah ditentukan
sebelumnya secara keseluruhan oleh faktor yang melampaui k e n d a l i n ~ a . ~ ~
Takrif 'kebebasan' dalam perspektifHAMmenyatakanbahwa 'kebebasan'
adalah 'kekuasaan atau kemampuan bertindak tanpa paksaan; ketiadaan kendala
(hambatan); kekuasaan untuk memilih tindakan seseorang vis-a-vis negara',
42

43

44

Paragraf pertama dari DUHAM menyatakan: 'Menimbang bahwa penegakan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama
dan mutlak dari semua anggota keluarga manusia adalah dasar kemerdekaan, keadilan dan perdamian dunia' [Gunawan
Sumodiningrat dan lbnu Puma (ed.). Landasan Hukum dan Rencana Aksi Nasional HAM d i Indonesia 20062009 (Jakarta.
Depuli Sekretaris Wakil Presiden Republik Indonesia Bidang Kewilayahan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan. 2004, p. 9)].
Di kalangan penduduk Yunant kuno konsep elutheria hanya d~m~liki
oleh pna dewasa sehlngga hanya mereka pub yang memiliki
tempat dalam kehidupan publik atau agora. Bagi bangsa Romaw kuno kebebasan dijelmakan sebagai konsepsi libertas yang
menjadi kund status atau martabat seseorang. Aturan tentang kebebasan atau kemerdekaan bangsa Romawi kuno tersebut
dinvatakan dalam konstitusi mereka vana iuaa diiadikan sumber motjvasi selama berabad-abad dalam menaklukkan bawsa lain.
~ebkapara tokoh humanis sipil dl ~ta~~apada
abad pertengahan rnulai memunwlkan ide republik. Julius Caesar tampiliebagai
tokoh utama dalam membela konsepsl kebebasan kuno yang menempatkanbangsa Rornaw sebagai penguasa [IthatAdam Kuper
and Jessica Kuper. The Social Science Encycbpeda (London & New York: Routledge & Keagan Paul, 1989, pp.31651.
Pada awal zaman modem di Empa, konsepsikebebasan menjadipokok pertentangan antara lembaga-lembaga monarkidan Misi
republ~ky a y mulai munwl dl masa itu. Masing-masing pihak rnemiliki penafsiran sendtn tentang makna kebebasan. Bagi mereka
yang mendukung monarki, kebebasan hanya berlaku dalam keh~dupanpnbad~namun bdak dalam kehidupanpublik. Sementara
tw bagi para ilmuwan politik sepefi Thomas Hobbes, kebebasan adalah mutlak, mh hukum, dan haws d~m~liki
deh setiap i n d i i u .
Dan ownik~rantnt krkembanalah aha am lndivldual~smevarm menvatakan bahwa sebao l n d i ~ i berhak
d~
menqeiar kewntinaannva
send'in. Kalangan yang mendikuk idwde republlk men;luta"makG aspek moral kebebasan yang mereka aGkin sedagai &ua&
bagi stapa saja untuk berpamslpasl dalam keh~dupanpublik. Tokoh-tokohnya banyak bermunculan dl Peranus khususnya setelah
tejadinya revolusi. Sejak zaman Montesquieu para ilmuwan rnenilaikebebasan modem sebagai individualism yang agak berbeda
dengan kebebasan slpll yang diagungkan pada masa-masa sebelumnya. Namun gagasan perlunya pafislpasi bagi semua pihak
bdak pemah terlepas dan pernikiran politik Empa sejak saat ihr [Kuper & Kuper,1989:314-51.

KOMNAS HAM

87

yang seringkali dilihat di dalam arti 'kebebasan dasar' (@ndamentalJi.eedom7,46


yang menunjukkan suatu kebebasan yang sangat dibutuhkan secara mutlak bagi
pemeliharaan dan perlindungan atas martabat manusia di dalam masyarakat yang
terorganisasikan sebagai satu jenis perlindungan paling minimum yang dapat
diterirna [Conde,1999:47]. Oleh karenanya dikenal 'Empat Kebebasan' ('Four
Freedom 7," sebagaimana yang dikenalkan oleh F.D. Roosevelt, yaitu: kebebasan
ekspresi, kebebasan beribadah, kebebasan untuk berkeinginan, dan kebebasan dari
rasa takut.
Seyyed Hossein Nasr, seorang sufi dan ilmuwan Iran, sebagaimana
dikutip Reinders [1995],48 membedakan antara 'kebebasan (untuk) menjadi'
(yreedom to be 7 , yang ditandai oleh pengalaman 'keberadaan-diri yang asali'
berkaitan dengan mistikisme yang kepedulian utamanya adalah kebebasanpribadi -bukannya kebebasan politis -, dan 'kebebasan (untuk) bertindak'
(ffi-eedomto act 7 yang ada di dalam batas-batas yang dipaksakan oleh realitas
eksternal kepada inanusia [Reinders,19951.49 'Kebebasan pribadi' adalah
kebebasan mutlak ('absolute or injnite freedom 7 , yang terdapat di dalam
45

46

Ilmwlmu sasial pada umumnya M h a t Mkmn man& dengan pendekatan deterministik dabm ar6 bahwa di dalam kelakuan I
disebabkan &h faMw-faktw M a w . &I. osikdoaikal.dan fis~lwikal,vana biasanva d i a m a melam~aui
~
oenaendalian indiiual.
Pandanqan ini seringkal~dtantd skbaqal srdhr sanikatan atas keiunqinan dari kdnauani;el$s. ~ebihlaitd. kebudayaan secara
partikula?seiingkali &hat terutama sebagai betxifat membatasi kebebaian indiual, membatasi kebebasannkuntuk bertindak lewat
kaldah smal. nilaiilla~.sanksi. h a m n owan. dsb. Tetaoi. kebuda~andlkewl dawt menvedikan kebebasankexda orana dan lwa
pembatasan Selam IIU
~lmwlmusrmal membenkan rwngan bag1satu konsepsl yang temwdmikastdan kehendak bebas ~ebudayaan
menyedikan komepsl kebebasanyang awal kepadaorang deh karenatanpa kebudayaanorang Wak memlllh pemtk~ran
atau asptrasl
Kebudayaanjugs menyedikan pl~hanpllthan
kepada wang Orang (lndwldu) karena sfalnya y a y llnves dan kekayaan ragam dan
sebap kebudayaan memll~klororg p~l~han
bndakanyang W u k a baglnya Sebaga~tambahan kehldupanM a y a swal dan pslkokglkal
adalah amat rumt sehlnqqa kekakuandan stab~lltaskaldah soslal dan satu lenls sbuktur kepnbadlantertmtu dapat membuat bndakan
manusla bdak otwnas din sederhana Sebap kombmnas pengataman kehldupan teltem ~ n d ~ adalah
d u un~kPads satu mk warn,
dm (seM lndlvldu berada sebacla~satu sahtan denaan kekuasaan berhndak sesual deman kehendak dan hasrat Dnbadl l n d ~ d ud a m
sebaga;produkdati satu rangkaian anasirfiiclq;kal, psikologikal, sosial, dan budaya
rumit,juga bemda sebagai entitas yang unik
yang bemadapan dengan satu p~lihanatas beragam tindakan. Jadi kemauan bebas dan satu b'bk pandang soswlqis b~saydi dilihat
sebaga~kemungkinan untuk menyesuaikanpada mbvas~dalam (innet mornon) daripada
ekstemal yang segera dihadapi
dl dalam memil~hantara beragam p~fihanyang d i i a k a n okh kebudayaan. Semua masyarakat dan kelompok bwanggapan bahwa
kelakuan individual adabh pal~ngWak secara p a b l di bawah kendalinya. Tanpa anggapan atas kehendak bebas di dalam harapan
soslal Ma, kehiupanM I barangkali akan menjadi Wak mungkin. Kehldupansos$l menunM keaslim (originalitas) dan ~ndiualltas.
juga prediktabilitasdan konfwmitas[Theodason 8 Theodwson. 1969,161-21.
Groome memilah 'kebebasan d a d ke dalam. (1) hak-hak dan perllndungan pribadi: dan (2) hakhak dan perlindungan di
dalam sistem kejahatan dan kead~lan.Di dalam hak dan perllndungan pribaditermasuk: (i) kebebasanberagama; (ii) kebebasan
berpikir; (111)kebebasan berekspresi; (N) kebebasan pen; (v) kebebasan berserikat; (vi) kebebasan b e w e d ; (vii) hak untuk
kehidupan pribadi: (viil) hak untuk berkumpul; (ix) hak untuk berser~kat;(x) hak atas pendldikan: (xi) hak untuk berparhsipasidalam
oemerintahan. Kebebasan bem~kirdankebebasanberaaama termasuk hak van0 'nonderwable' IDermot Groome. The Handbook
~ u m a Rights
n
investigation,'Northborough.~assach;setts. Human ~ i g h ~k ; k s s2001.
,
p.61. '
'Empal Kebebasan' ini mengacu ke p~datoy a y bewarah Franklm Delano Rooseven pada Januari 1941, di mana ia menyatakan
bahwa ekslstens~dan perdamalan dunia dikaitkan dengan ernpat kebebasanyang esensial. Kebebasanini termasuk 'freedom of
expression: freedom of worship; freedom from want (dalam ha1 ini adalah kepastian atau keamanan ekonomi); freedom from fear
(penguranganpersenlataan) Piato mi kemudianmenladi satu dokumen kund dl dalam upaya membentuk PBB dan memberikan
pntnd.mgan dan pernapaan HAM P~datonu dlbenkan sebelum AS terltbat dalam Perang Dunla Il [h Ndor Cunde, A Handmk
of IntemaronalHuman Rohls Terminolwv. Llnmln 8 London. Unwersltv of hebraska Press 1999 D 471
Lihat: Reinden, ~ohannisS.. " ~ u m a r ~ i ~from
h t sthe ~ers~ectwe'0f
a Narrow Conception bf ~ e l i ~ i o uMoraliv,
s
dalam
Abdullahl A. An-Nalm et al Human Rights and Religious Values: An Uneasy Relationship?, Amsterdam 8 Michigan, Edition
Rodopi 8 William B. Eerdmans Publishing Company, 19957-9.
Reinders mengwnukakanpandangan Nasr ini untuk menjelaskan Wsiran Islam atas kebebasan manusia. Akan !etapi Nasrdianggap
tidak meiihat kribk yang luas atas kumngnya kebebasan mndiiual dl dalam masyarakat Islam seraya Wak tedorax~mendukung

bf

47

48
49

88

1 KOMNAS HAM

kehidupan spiritual, yang juga disebut sebagai 'kebebasan moral' (kebebasan


menentukan sendiri tanpa hambatan sebab-sebab eksternal), atau kebebasan
batin pada pikiran dan imaginasi. Kebebasan ini menjadi bagian dari apa yang
disebut sebagai 'forum internum' [Nowak & Vospernik,2004:147], yakni
ranah internal di mana kebebasan berpikir, berkesadaran, dan bergama atau
berkeyakinan dipandang mutlak.
Kebebasan beragama itu, selain tercantum di dalam DUHAM,So
tercantum juga di dalam dokumen-dokumen historis tentang HAM:'
khususnya di dalam Rights of Man France (1789), Bill of Rights USA (1791)
dan International Bill of Rights (1966). Pasal 2 DUHAM menyatakan bahwa:
'Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasanyang tercantum
di dalam Deklarasi ini tanpa perkecualian apapun, seperti ras, warna kulit,
jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang berlainan, asal mula
kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan
lain' (garis bawah dari MMB). Inti normatif dari kebebasan beragama atau
berkeyakinan itu disarikan ke dalam 8 anasir, yakni; (i) kebebasan internal;"
(ii) kebebasan eksternal;j3(iii) non-koersi (tanpa paksaaantnon-coercion),S4(iv)
(v) hak orang tua atau wali;" (vi)
tidak-diskriminatif (non-di~crirnination);~~

r e m i hukum di dalam Islam. Di dalam pandangan fooloh Nasr, modd normat3 bagi masyarakat lslam terletak pada 'Abad
K-sans
Islam, sehingga s?jarah adalah upaya ying sedang Mangsung untuk kembali pada kesadaran, kdtuatan, dan kejayaan
dari keadaan di masa lalu itu. Pada masa nab1 varm berakhir hirmaa keemwt khaliih sesudah nab1 wafat keadilan yaw lslami
k p a i bentuknya yang asli. Pada masama&pemerintahan di&&inasi
berikutnya hanyalah terjadi pembusukankkadilan dari
yang telah tejadi pada Abad Keemasan [lihat Nasr, S.H., 'The C o n q t and Reality of Freedom in lslam and Islamic Civilion.'
dalam A.S. Rosenbaum (ed.). 7'he Philosophy of Human Rghts - lntemabbnal Pempxfrfe. Westport. Connew Greenwwd
Press, 1980: 851011. Dengan dernikian Nasr memberikan watu pandangan yang leb~hbenifat retrospektif danpada yang ideal
prospektif.Konseps~
rehospekWatasatasjarahini d i m k oleh FwadZakana, searang profeswpada UniversrtasWII,sebagal tafsiran
konswvabf atas nak asasi manusla da am Islam, karena selatah dlanggap seoaga sejarah yang menurun Hasflnyaaoalan sJatu
erna ah am an hacasasl manLwad ddldrll c!nservabune lslam yanq bersbl stabs aalam arb bahwa ha1m omrunkandan yang c~no'
aan yang sucl secam asah dan sumDersumber n&um slam
Mas16(l~natZakana F Human Rghts n W Arab Woml The
Is amlc Content dalam P Rlmur (ed Phibsoph~m!Foundam of Human Rgnts Pam. UNESCO 1986 227.41 1
DUrlAM
rDeklaras1Lnrvem Hak Asas, Man~slsladalan kese~akatanlnternaslona varm dllanabtanaanloleh Dam ~ l h a k( ~ a r a )
- yang menjadi anggota PBB. Meskipun ~eklaras;~ t uberupa k k a k a t a n yang tidak minglkat secai hukum (not l&ally bindingj
dan Mak menyed~akanperlindungan yang dapat dipaksakan, akan tetapi me~pakanpemyataan definU yang pertama tentang
'hak asasi manusia' dan yang menyebutkan secara jelas hakhak rtu yang benifal un~ersal[Groome. 2001:4]..
Groome [2001:4] mendaffarenam dokumen historis, yam: (i)Magna Charta (1215). (ii) B~llof Rights England (1689); (iii) Rightsof
Man France (1789): (IV) Bill of Rlghts USA (1791): (v) Rlghts of Russian Pmple (1917); dan (VI) lntemahonal Bill of Rights (1966).
Yaitu bahwa setiap orang memlllk! hak atas kebebasan berp~kir,berkesadaran, dan beragama, termasuk kebebasan
memeluk, menerima, memelihara atau meNbah agama atau kepercayaanya.
Yaitu bahwa setiap orang memiliki hak atas kebebasan, baik sendiri-sendiri maupun di dengan liyan dalam komunitas, di
dalam ranah pribadi atau publik, untuk mewujudkan agama atau kepercayaannya di dalam pengajaran, praktik, bada ah.
Yaitu bahwa lidak seorangpun dapat dipaksa yang dapat mentsak atau melemahkan kebebasannya untuk memeluk atau
menerima agama atau kepercayaan yang menjadi pillhannya.
Yaitu bahwa Negara berkewajiban untuk melindungi dan memastikan semua individu di dalam wilayah kewenangannya
hak atas kebebasan beragarna atau berkeyaklnan tanpa membedakan ras. warna kul~t,jenis kelamin, bahasa, agama atau
keyakinan, politik atau pendapat lain. secara nas~onalatau wilayah asal, kepemtllkan atau status lainnya
Yaitu bahwa Negara berkewajiban menghormati kebebasan orang tua dan wali yang absah untuk menjamin pendidikan
agama dan moral anak-anak mereka sesuai dengan keyakinannya sendiri, dan memberikan perlindungan atas hak setiap
anak atas kebebasan beragama atau berkeyaklnan searah dengan pewbahan kemampuan dari anak.

50
..

51

52
53
54
55

56

\ - -

yak

KOMNAS HAM

89

kebebasan lembaga dan status h u k ~ m ;(vii)


~ ' batas-batas dari pembatasan yang
; ~ ~ sifat tak-dapat-ditangguhkan
diperbolehkan atas kebebasan e k ~ t e r n a l(viii)
(non-derogability) [Lindholm et.a1.,2004: xxxvi-i~]:~
lndonesia sebagai negara pihak yang menanda-tangani DUHAM, oleh
karena itu mengemban tanggung-jawab moral dan hukum6"untuk melaksanakan
kewajiban memenuhi hak kebebasan beragama, dan hak-hak lain yang tercantum
di dalam Piagam PBB tersebut!' UUD 1945, terutama setelah diamandemen
secara tegas pula mencanturnkan hak atas kebebasan beragama dan hak atas
berke~akinan~~
(dengan demikian 'kebebasan beragama' di Indonesia juga dan
telah menjadi hak konstitusional dari setiap warga negara Indonesia). Lebih lanjut
UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga menyatakan ha1 yang
~ a m a dan
, ~ ~bahkan di dalam penjelasannya disebutkan secara tegas dan jelas
bahwa hak itu dijamin 'tanpa adanya paksaan dari siapapun jugs.'@ Lebih dari itu
undang-undang ini juga menyatakan bahwa negara menjadi pihak yang terutama
bertanggung jawab atas pemenuhan hak-hak itu, dan hak asasi manusia lainn~a.6~
Pendek kata UU No. 3911999 itu menegaskan dan sekaligus meneguhkan dua
57

58
59
60

Yaitu bahwa satu segi yang penting dari kebebasan beragama atau berkeyakinan adalah kebebasan bagi komunitas
keaaamaan untuk memiliki kedudukan hak kelembaaaan auna menaaktual~sasikanhak-hak dan keDentinaan mereka
sebagai komunitas. Komunitas keagamaan sendiri mehliki kebebasa; beragama atau berkeyakinan, terma&k hak atas
otonomi dalam urusan mereka sendiri. Meski komunitas keagamaan blsa jadi tidak ingin memiltkt status hukum yang resmi.
akan teta~tsaat ini diakui secara luas bahwa mereka berhak untuk memilikl status hukum sebaoai baaian dari hak mereka
atas kebebasan beragama atau berkeyakinan dan khususnya sebagai satu segi dari kebebasan untuk mengejawantahkan
keyakinan keagamaan bukan hanya secara individual, akan tetapi juga benama liyan di dalam komunitas.
Yaltu bahwa kebebasan untuk mengejawantahkanagama atau keyaklnan seseorang bisa dilakukan hanya pada pembatasan
yang dlrumuskan oleh undang-undang dan yang perlu bagi perlindungan atas keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral
publik atau hak-hak fundamental dari I~yan.
Yaitu bahwa Negara sama sekali tidak boleh menangguhkan hak kebebasan bergama atau berkeyakinan, bahkan di dalam
masa darurat publik.
Tanggung-jawab moral berarti bahwa bangsa lndonesia dan semua individu anggota dari bangsa lndonesia terikat pada
ketentuan yang bersifat afirmatif ini, yakni bahwa mereka wajib menjadikan hak asasi manusia sebagai nilai dan asas
di dalam keh~dupanpribadi dan bermasyarakat. Kaidah-kaidah sosial di dalam masyarakat dan lingkungan yang lebih
kecil (misalnya lingkungan keluarga, ketetanggaan, dan kelompok-kelompok sosial) haruslah searah dengan kaidah hak
asasi manusia. ~ a n ~ ~ " n ~ - j ahukum
w a b dlmaksudkan negara secara imperatif haruslah menciptakan hukim positif yang
cocok fcomolv)
. . .. denaan hukum intemasional hak asasi manusia. atau denaan kata lain. semua ketentuan oerundanaundangan dari yang paling tlnggi, yaitu Undang-undang Dasar (Konstitusi), sampai dengan yang paling rendah di dalam
hukum tata-negara (tenasuk peraturan daerah) haruslah t~dakbertentangan dengan asas hak asasi manusia.
KonsMetan UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia secara tesurat menyatakan: 'bahwa bangsa Indonesia sebagai
anggota Perserikatan Bangsa-Bangsamengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung Gnggi dan melaksanakan
Deklarasi U n l v m l tentang Hak AMsi Manusia yang diietapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai tnstmmen
intemasional lainnya mengenai hak asasi manusla y a y telah dienma deh negara Repvblik Indonesia' (garis bawah dari MMB).
Pasal8E UUD 1945 (yang dtamandemen) menyatakan bahwa: (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya, memilih pendid~kandan pengalaran, memtl~hpekejaan, memllih kewarga-negaraan, memilih tempat tinggal di
wilayah negara dan mentnggalkannya serta behak kembali. (2) Sebap orang b&ak atas kebebasan meyakini kepemyaannya.
menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan ha6 nuranlnya (gans bawah dan MMB) [Sumodiningrat & Puma (ed ), 2004:9].
UU No. 3911999 pasal 22 menyatakan bahwa: (1) Settap orang bebas memeluk agamanya masingmasing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Lihat penjelasanPasal22 ayat (1) UU No. 3911999
Pasal8 UU No. 39H999 menyatakan bahwa: 'Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia
terutama menjadt tanggung jawab Pemerintah' Dalam ha1 kebebasan beragama, lebih lanjut Pasal 22 UU No.3911999
menyebutkan bahwa: (2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya maslng-maslng dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannyaitu.

61

62

63

64
65

90

I KOMNAS HAM

sisi dari satu mata uang yang sama, yaitu: (i) hak atas kebebasan beragama66
(berkeyakinan, termasuk keyakinan ideologis clan politik) dan beribadat menurut
agama dan keper~ayaannya;~~
(ii) kewajiban negara untuk menjamin kemerdekaan
setiap orangmemeluk agama dan beribadat (termasuk kewajiban untukmelindungi,
memajukan, menegakkan, dan memenuhi hak omndwarga negara).
Hak atas kebebasan beragama yang bersifat mutlak dan berada di dalam
forum internum merupakan wujud dari 'inner fi-eedom' Peedom to be) itu termasuk
hak yang 'non-derogable' [Gr0ome,2001:6],~~
artinya hak yang secara spesifik
dinyatakan di dalam perjanjian hak asasi manusia sebagai hak yang tidak bisa
ditangguhkan (pemenuhannya) oleh negara selama dalam keadaan bahaya, seperti
perang sipil atau invasi militer. Hak yang 'non-derogable' ini dikenal sebagai suatu
yang 'paling inti'" dari hak asasi manusia." Hak-hak 'non-derogable' ini selalu
hams dilaksanakan dan hams dihormati oleh negara pihak dalam keadaan apapun
[Conde,1999: 961.71Sedangkan hak untukmengekspresikan atau mengejawantahkan
agama atau keyakinan (misalnya hak menyebarkan ajaran agama atau keyakinan,
hak beribadah, hak mendirikan tempat ibadah) termasuk dalam hak untuk bertindak
(fkedom to act), menurut bebempa kovenan hak asasi manusia bersifat dapat
66

67
68
69

70

71

Dalam kategori 'kebebasan beragama' itu termasuk 'kebebasan berpindah agama'. Pasal 18 DUHAM menyatakan:
Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this right includes freedom to change his rel~qion
or belief, and freedom, either alone or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in
teachina. oractice. worshlo and observance faaris bawah dari MMB). Kebebasan bemindah aoama atau ke~ercavaantldak
t e r c a n t i di dalam UU NO. 3911999 tentang~akAsasi Manusia basal 22 (1) menyatakan-bahwa: 'setihp orang bebas
memeluk agamanya masing-maslng dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu'. Ada pendapat
yang lebih radikal yang menyatakan bahwa dalam istilah 'kebebasan beragama' itu terkandung arti 'kebebasan untuk
tidak beragama' dan bahkan 'kebebasan untuk tidak bertuhan'. Kosakata 'kepercayaan' ('belief) dimasukkan setelah
kosakata 'agama' ('religion') dalam rumusan pasal tenang kebebasan beragama untuk menghindari konfrontasi besar
yang d~motivasioleh pol~tikantara negara Barat dengan negara Komunis. Kosakata 'kepercayaan' itu dimaksudkan untuk
mengacu baik ke pandangan teistik maupun pandangan yang ateistik, agnost~k,rasionalistik, dan pandangan lain yang
memakzulkan agama dan kaidah-kaidah agama [lihat: Lerner. Nathan, 'The Nature and Minimum Standard of Freedom of
Rel~glonor Belief dalam Lindholm, Durham, Tahzieb-Lie. Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook. Leiden,
Martinus Nijhoff Publtsher. 2004:65].
Pasal23 (1) UU No. 3911999 menyatakan: 'Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyaikeyakinan poliiknya.'
Pasal4 (2) ICCPR menyebutkan: 'No derogation from Articles 6.7.8 (paragraphs 1 and 2). 11.15.16 I n d 18 may be made
under this provision'.
Core (Human) Rights adalah satu istilah yang tidak secara khusus ditakriRtan sebagai hak-hak asasi manusia mana yang 'inti.
Hak-hak inti ini memasukkan, misalnya, hak untuk hidup, kebebasan berbicara, dan hak bebas dari penyiksaan. Hak-hak itu
dianggap bersifat esensial bagi keberadaan manusia yang bemartabat. Gagasan 'hard core human rights' ini kurang lebih
sama denaan hak-hak vana bersifat 'nonderwable' IConde. A Handbook of lnfernabonaiHuman Riahts Teninoloav.
-. Lincoln
& ~ondon:universit~oi ~ebraskaPress. 199&26]. '
Gmome menyebutnya dengan 'fundamental rights' [lihat: Graome. Dennot, The Handbook of Human Rights Investigations:A
comprehensiveguide to the investigation and documentationof violent human rights abuses. Northborough.Massachusetts,
Human Rights Press. 2001:6].
Groome mencatat beberapa hak asasi yang dianggap 'non-derogable' yakni: (a) hak yang bersifat pribadi dan hak atas
perlindungan, temasuk. (i) perlindungan atas hak untuk hidup. (ii) perlindungan atas hak untuk tidak disiksa, (iii) hak
atas perlakuan hukum yang sama; (b) hak-hak pribadi dan kebebasan, termasuk: (iv) hak kebebasan beragama, (v) hak
atas kebebasan berpiklr; (c) hak dan perlindungan di dalam sistem keadilan pidana, termasuk yang berlaku sepanjang
waktu, yaitu: (vi) hak dan perlindungan berupa pelarangan atas 'double jeopardy'. (v) perlindungan berupa pelarangan
penerapan hukum 'ex-post facto'; dan perlindungan hak dari yang bersifat hukuman dan penahanan, yaitu: (viii) hak
perlindungan atas mereka yang dihukum mati. (ix) ) hak perlindungan dari penahanan karena kewajiban kontraktual
[lihat: Groome, Dermot, The Handbook of Human Rights Investigations:A comprehensive guide to the investigation and
documentationof violent human rights abuses. Northborough.Massachusetts.Human Rights Press, 2001:6].

KOMNAS HAM

91

ditangguhkan, diatur, dan dibatasi ('derogable,regulable, limitable3.72

III.

Kebebasan Bergama di Indonesia: (sebagian kecil) pengalaman


empiris dan fakta historis

Penulis, bisajadijugaorang lain atau bahkan semua orang, lahirbukan di ruang


hampa-budaya serta bukan dalam masyarakat yang nir-struktur was) sosial (classless
society), melainkan secara hlstoris dilahirkan oleh ibu penulis setelah beberapa
tahun ibu dan bapak penulis menikah secara sah menurut Islam di dalam tradisi
Islam-Jawa dan menurut aturan negara. Keluarga ibu-bapak tinggal di pemukiman
karnpung, di mana tidak satupun penduduknya beragama selain Islam - bahkan ibu
dan bapak penulis serta keluarga ibu dan bapak penulis dapat dianggap termasuk
santri yang saleh -,yang nyaris semua adalah santri seraya tetap menjalankan tradisi
Jawa, seperti slametan, secara sungguh-sungguh, meski ada sedikit yang abangan
dan berstatus ~ r i y a y i Bapak
. ~ ~ penulis seorang hafidz, orang yang hafal a1 Qur'an
30juz di luar kepala (yang dalam tradisi pesantren dianggap menduduki status yang
tinggi dan terhormat), yang sejak kelahirannya hingga masa kanak-kanak selesai
hidup di dalam masyarakat santri, sebelum memperoleh pendidikan utamanya di
beberapa pesantren di Jawa Timur sejak remaja hingga pemuda menjelang nlkah,
clan sesuai dengan perjalanan waktu memperoleh julukan kiyai dari lingkungannya.
Selain memberikan pelajaran mengaji kepada para santrinya baik lelaki maupun
perempuan di sore atau malam hari, bapak juga bekerja sebagai pegawai negeri di
Departemen Agama sejak awal tahun 1950-an, dengan jabatan terakhir, sebelum
pensiun di akhir tahun 1970-an, Kepala Pengadilan Agama Kabupaten Semarang
dan Kotamadya Salatiga. Eyang (ibu dan bapak dari ibu penulis) penulis keduanya
haji, bahkan eyang kakung (bapak dari ibu penulis) diceriterakan pergi menjalankan
ibadah haji ke negeri Arab sebanyak tujuh kali seraya berdagang (yang dianggap
dibenarkan oleh ajaran Islam). Demikian juga eyang penulis dari garis bapak,
yang bukan hanya haji akan tetapi - berbeda dengan eyang kakung dari garis
ibu yang disamping berdagang juga bekerja sebagai pegawai Departemen Agama
72

73

92

Klausulpembatasan hak kebebasan untuk mengejawantahkan atau mengekspresikan agama atau keyakinan itu dapat ditemukan
di dalam pasal 18 (3) Kovenan lntemasional tentang Hak Sipil dan ~ o k (international
k
Covenan i n C i l and Political Rights1
ICCPR): 'Freedom to manifest one's relioion or beliefs mav be subied onlv to such limaationa as are orecn'bed bv law and are
necessary to protect public safety, order, health, or morals &me fundamental rights and freedom of OW&. Juga daiat diimukan
dalam Konvensi Empa tentang Hak Asasi Manusia (Eumpen Convention on Human R~ghts)pasal9 (2); dan Konvens~Amenka
tentang Hak Asasi Manusia (Amencan Convention on Human Rights) Pasal 12 (3) [lihat. Nowak. Manfredand Vospemik. Tanja,
Pen~ssibleRlstrichons on Freedom of Religion or Belief, dalam Lindholm. Durham. T a h z i b b (eds.), Fadliiting Freedom of
Relig~onor Belief: A Desk Book. Leaen, Marbnus Nijhoff Publisher. 20041.
Konsep varian keagamaan santri, abangan, priyayi dikenalkan oleh antopalog Amerika terkenal Clifford Geertz. Hasil keja
peneltian lapangan yang kemudian dibukukan dengan judul The Religion of Java menjadi semacam 'kitab sud' bagi mahasiswa
anbopologi yang rnelakukan kaj~antentang Jawa [lihat: Geertz.Clifford, The Re1;gkm ofJava. New Ywk 8 London, The Free Press
8 Coll~er-Maanillan
LimRed. 19691.

1 KOMNAS HAM

dengan jabatan terakhir na'ib atau kepala KUA-, juga berstatus sebagai pamong
desa. Penulis diajar mengaji oleh bapak penulis sendii, baik mengaji (membaca
dan menghafalkan) al Qur'an maupun mengaji beberapa kitab kuning seperti kitab
sulam & s h a h @tab dasar tentang syari'ah atau hukum Islam), selain diajar dan
diharuskan mendirikan shalat lima waktu secara tertib dan disiplin, dan melakukan
puasa di setiap bulan ramadlan. Pada saat penulis disunat, diadakan upacara slametan
dan khataman (penulis hams melafalkan hafalan al Qur'an penulis tanpa melihat
tulisan di mushaf sebanyak sekitar sepuluh surat dalam al Qur'an) yang merupakan
pernyataan bahwa penulis telah menyelesaikan pelajaran mengaji a1 Qur'an.
Cerita nyata ini bisa diteruskan dan dirinci lebih lanjut, akan tetapi
pertanyaanlpersoalannyaadalah: apakah penulis (dan juga semua individu lain)
di dalam sejarah penulis dan dalam kenyataan empiris memiliki kebebasan
memilih agama ketika penulis (dan individu lain) lahir, berada, dan berkembang
di dalam batas-batas struktur kebudayaan dan struktur sosial, atau secara lebih
umum apakah penulis (dan individu lain) memiliki kebebasan beragama, baik
yang bersifat internal maupun eksternal? Apakah kebebasan penulis (dan juga
semua individu lain) dalam ranah forum internum yang luasnya amat terbatas
sejauh yang disediakan oleh struktur budaya dan struktur sosial di dalam
mana penulis berada seperti itu (telah) memiliki kebebasan internal yang sama
dengan luasnya forum intemum yang penulis miliki pada penulis dewasa dan
matang setelah mengalami dan memiliki kontak (hubungan) yang lebih luas
dan sosialisasi dalam struktur kebudayaan dan struktur sosial yang beragam
dan bisa jadi juga lebih luas, atau kebebasan internal penulis memiliki lingkup
yang sama atau berbeda dengan kebebasan internal individu lain yang lahir
dan hidup di dalam struktur budaya dan struktur sosial yang lain?
Jika secara normatif ada ketentuan (di dalam DUHAM dan juga W
No. 3911999) bahwa 'setiap orang dilahirkan bebas', maka di dalam realitas
sosial-budaya sejatinya 'setiap orang dilahirkan di dalam struktur kebudayaan
dan struktur sosial tertentu' (ada orok-kecil dekil kurang gizi yang lahir dari
ibu proletariat 'ateistik atau agnostik' yang kelaparan dan tinggal di kampung
kumuh, sehingga proses kelahirannya 'amat alamiah' tetapi amat berisiko
tinggi karena tanpa bantuan dan peralatan medis yang memadai; disamping
ada pula bayi mungil-montok yang lahir dari ibu borjuis Islam atau Kristen
saleh yang kaya-raya dan tinggal di rumah 'gedongan' di daerah elitis yang
melahirkan anak-anaknya di rumah sakit mewah denganjaminan material yang
berlimpah; adakah orok-kecil dekil kurang-gizi atau bayi montok-mungil itu
memiliki kebebasan beragama sejak awal?). Pendek kata realitas menunjukkan
bahwa penulis dilahirkan sebagai Islam (dalam struktur kebudayaan santri), dan
KOMNAS HAM

93

pada kenyataannya lahir dalam klas bukan petani penggarap atau proletariat
(dalam struktur klas sosial pamong dan kapitalis pedagang), atau secara umum
mengarah ke kesimpulan praktis bahwa 'semua individu dilahirkan secara
tidak sama dan tidak bebas.'
Jadi pesan yang ingin penulis sampaikan lewat paparan di atas adalah:
kenyataan bahwa penulis beragama Islam bukanlah sejak awal secara sadar
penulis menjatuhkan pilihan agama penulis secara bebas Qadi pada titik awal
penulis beragama Islam, kepada penulis tidak dihadapkan pilihan-pilihan yang
dapat secara bebas penulis pilih, tetapi di lain pihak penulis pada saat dilahirkan
itu belum memiliki kemampuan untuk bebas memilih), atau dengan kata lain
setidaknya pada saat awal pilihan itu bagi penulis 'tidak ada kebebasan memilih
agama'. Pada titik ini keberagamaan Islam penulis, setidaknya pada awalnya,
ditentukan oleh keluarga dan lingkungan sosial-budaya penulis. Kesimpulan
seperti ini tampak searah dengan temuan para ahli sosiologi pendidikan, seperti
Colleman [1966], dan Bowles [1971a], serta Bowles & Gintis [1972]. Colleman
(1966) berpendapat bahwa latar-belakang keluarga jauh lebih penting dalam
mempengaruhiperilakumurid, meskipuntiga-serangkai(triumvirat)kelembagaan
'rumah, lingkungan, dan sekolah' akan berinteraksi dalam menentukan besarkecilnya pengaruh it^.'^ Mirip dengan tiga-serangkai kelembagaan Colleman itu,
meskipun paradigma dan pendekatannya berbeda, Bowles .dan Gintis (1977),
yang neo-Marxist kontemporer, melihat wujud triumvirat-kelembagaan itu
adalah 'keluarga, kerja, dan ~ e k o l a h ' Kenyataan
.~~
konkrit empiris-historis ini
memperlihatkan bahwa penulis 'tidak dilahirkan sama dengan individu lain'
dan 'penulis tidak mengenyam kebebasan memilih agama, setidaknya pada titik
awal keberagaman penulis' yang berlawanan dengan ketentuan normatif bahwa
'setiap orang memiliki hak atas kebebasan bergama'.
Penulis (antara lain) kuliah di Universitas Kristen Satya Wacana, yang
merniliki, menjaga, dan mengembangkan upacara keagamaan dan tradisi Kristiani
(berdoa, kebaktian), juga jadual kegiatan perkuliahan, yang praktik dan irama
kegiatannya tidak selalu searah, sama, dan bahkan kadangkala bertabrakan dengan
praktik dan irarna kegiatan sosial-keagamaan dalam tradisi santri, meskipun hams
dicatat dengan garis tebal bahwa tidak ada larangan resmi untuk menjalankan
ibadah non-kristiani, misalnya menjalankan shalat pada waktunya, tetapi pada saat
yang sama juga tidak ada upaya dan pihak universitas untuk menyelaraskan dua
74

75

94

Lihat Karabel, Jemme and Halsey, .A.H. (eds.). Powerandldeob~yin


Educahn, N&v York, Oxfwd Univeresii Press.1977.
Lihat Bowles. Samuel. Unequal Education and the Reproduction of the Social Division of Labor; juga Bowles. Samuel and
Gintis, Herbert, 1.0.in the U.S. Class Structure, dalam Karabel. Jerome and Halsey. .AH. (eds.). Power and Ideology in
Education. New York. Oxford Univeresity Press,1977

1 KOMNAS HAM

kepentingan yang berbeda it^.'^ Contoh kecil: jadwal kegiatan kuliah yang tidak
searah dengan waktu shalat dan saat berbuka puasa dalam bulan ramadlan, yang
dapat dan pasti menimbulkan ketegangan mahasiswa muslim dalam menentukan
pilihan yang dilematis: meninggalkan kegiatan akademis untuk melakukan
ibadah keagamaan dengan risiko kehilangan kesempatan inemperoleh peluang
dan informasi, atau tetap melanjutkan kegiatan akadernis dengan risiko menunda
atau mengabaikan kewajiban kegamaan yang mengakibatkan 'dosa' dan terkena
sanksi sosial dari komunitas keagamaan? Jika contoh yang penulis paparkan lebih
dulu berkaitan dengan Jfreedom to be ' yang bersifat internal, maka contoh terakhir
mernperlihatkan ketegangan dan batasan di dalam yeedom to act 'berkenaan dengan
pengejawantahan dan ekspresi keberagamaan. Hal yang kurang lebih sama bisa jadi
dialarni oleh murid-murid muslim (sekolah dasar sampai dengan menengah atas)
yang bersekolah di sekolah-sekolah Kristen (Katolik), atau sebaliknya.
Ketegangan-ketegangan semacam itu dapat saja dipersepsikan oleh
sebagian dari komunitas Islam dan para pemimpin agama Islam paling
sedilut sebagai wujud dari penggerusan (erosi) secara sistematis derajat
keberagamaan murid dan mahasiswa muslim dan bahkan bisa dilihat sebagai
upaya 'kristenisasi', yang gencar didengungkan pada tahun 1960-an dan 1970an. Tetapi benarkah ada 'kristenisasi'? Paling sedikit ada dua kemungkinan:
.Pertama, tidak ada kegiatan dan upaya 'kristenisasi.' Kemungkinan ini
bertentangan dengan anggapan bahwa agama Kristen adalah agama misi, dan
oleh karena itu kegiatan misionaris (antara lain kegiatan 'Pekabaran Injil')
adalah merupakan kegiatan yang hams dilakukan oleh gereja agar 'orang-orang
kafir menjadi beriman kepada Jesus.' Tetapi kendatipun misalnya kegiatan
nyata 'kristenisasi' itu tidak ada atau tidak dilakukan oleh gereja, 'ketakutan atas
upaya kristenisasi' (terutama dari sebagian para pemimpin komunitas Islam) itu
tampak nyata, sebagaimana ditunjukkan oleh berbagai upaya-tanding kelompok
Islam tertentu menangkal dan melawan 'kristenisasi' seperti misalnya upaya
untuk membentuk organisasi dan melakukan kegiatan 'misi I ~ l a m "pada
~ tahun
1960-an, juga ditunjukkan oleh latar-belakang lahirnya SKB No. l/BER/MDNMAGI1969 yang dianggap kontroversial, dan akhir-akhir ini pada parohan kedua
tahun 2005 munculnya 'Gerakan Anti Pemurtadan' di Jawa Barat yang terlibat di
dalam penutupan gereja. Hal ini mengingatkan kembali kepada pernyataan yang
amat terkenal dari Thomas bahwa "if men define situations as real, they are real
76

77

Ada kemungkinan alasan mengapa tindakan penyelarasan dua kepentingan yang berbeda itu, ketika orang
menyatakan bahwa Univenitas Kristen Satya Wacana adalah un~ersitasswasta (oleh karena itu dianggap
berhak membuat peraturan sendiri secara otonorn, dengan atau tanpa memperhatikan adanya kepentingan yang
berbeda), dan universitas Kristen (dan oleh karena itu agama dan keyakinan yang resmi adalah agama dan
keyakinan kristiani yang dianggap sah bila hanya mernperhatikan dan mengutamakan tradisi Kristiani).
Kantor pusat 'M~siIslam' itu berada di Jalan Kramat Raya, Jakarta.

KOMNAS HAM

95

in their consequences'; atau dengan kata lain tindakan yang disebutkan itu dapat
menjadi petunjuk yang h a t dari betapa nyatanya 'ketakutan atas knstenisasi' itu
ada di kalangan umat Islam, atau setidaknya di sebagian kalangan Islam.
Kedua, kegiatan 'kristenisasi' itu ada dan nyata, serta membawa berbagai
akibat. Jika demikian, adakah bukti-bukti empiris? Salah satu 'bukti empiris'
ditunjukkan oleh penelitian lapangan yang dilakukan oleh Prof. DR. Riaz Has~an,'~
yang pada tahun 1984-1985 menjadi dosen tamu di Universitas Gajah Mada.
Sebagian data dan kesimpulan yang dketengahkan antara lain sebagai berikut:
Keseluruhan penduduk muslim merosot dari 87,5% pada tahun 1970
menjadi 87,1% pada tahun 1980 [Hassan,1985: 1511;
Di Daerah Istimewa Yogyakarta sebagian besar penduduk provinsi ini
adalah Muslim (di semua kabupaten jurnlah muslim adalah 93% pada tahun 1983;
di kotamadya Yogyakarta hanya 80,3%). Akan tetapi dalam kurun waktu 1978
sampai dengan 1983 penduduk Muslim berkurang kira-kira 1,7%, sedangkan
penduduk Nasrani (Kristen dan Katolik) bertambah kira-kira 1,5%;
Antara tahun 1978 sampai dengan tahun 1983, jumlah penduduk DIY
naik 4,9%, di mana kenaikan penduduk Muslim sedikit di atas 8%, sedangkan
penduduk Kristen naik 48.9% dan Katolik naik 87,1% (kenaikan di kalangan
orang Hindu 20,3% dan Buddha 99,6%);
Data di sebuah desa di Kabupaten Sleman menunjukkan bahwa pada
tahun 1965, 100% penduduk beragama Islam, dan pada tahun 1984 penduduk
yang bergama Islam tinggal55%; sedangkan penduduk beragama Kristen pada
tahun 1965 tidak ada, dan pada tahun 1983 menjadi 44%;
Data pemilikan tanah dan ikatan keagamaan di desa sama yang
disebutkan itu menunjukkan bahwa dari 40 ha tanah di desa, penganut agama
Islam memiliki 3 1,6 ha (desa memiliki 8,4 ha) pada tahun 1965, tetapi pada
tahun 1984 hanya tinggal 16,2 ha yang dimiliki oleh penganut Islam; penganut
Kristen dan Katolik pada tahun 1965 tidak ada, tetapi pada tahun 1983 mereka
menguasai (memilki) 15,7 ha (desa pada tahun 1984 memiliki 8,l ha).
'Kristenisasi' tersebut, sebagaimana telah dikatakan, mendorong upaya-tanding 'Islamisasi' sebagaimana diungkapkan oleh media dan kegiatan
kelompok Islam, yang agamanya juga dianggap sebagai agama misi (dakwah).
'Tslamisasi' itu misalnya ditandai oleh:
o
Berdirinya organisasi 'Misi Islam' dan kegiatan yang dilakukan
oleh organisasi ini sejak tahun 1960-an;
o
Pada tahun 1990-an ketika struktur peluang politik sedikit terbuka
78

96

Lihat Hassan, Prot DR. Riaz. Islam: dari Konservatisme sampaiFuMamentalisme.Jakarta. Penerbii CV. Rajawali. 1985

1 KOMNAS HAM

yang disusul dengan lahirnya ICMI, muncul gejala yang disebut


sebagai 'Islamisasi birokrasi' yang kemudian dianggap memberi
sumbangan bagi munculnya ketegangan politis antara kelompok
Islam (ICMI) dengan kelompok Kristen, antara lain sebagaimana
yang terjadi di Ambon dan Poso, yang sampai sekarang belum
mereda secara tuntas.
o
Ditayangkannya rubrik 'mu'alaf di TV yang memberitakan
orang-orang yang beralih ke agama Islam, seraya memberikan
penghargaan dan pujian, serta mempropagandakannya;
Hassan [I9851 mencatat bahwa dengan tidak menyertakan provinsi
o
Timor Timur pada tahun 1970, dari 26 provinsi di Indonesia, 15
provinsi mencatat kenaikan jumlah penduduk Muslim,
Di DIY Hassan [I9851 juga mencatat antara tahun 1978 dan
o
1983jumlah penduduk Muslim naik sedikit di atas 8%.
Oleh karena itu sebagaimana sebagian muslim dan pernirnpin kelompok
Islam 'mengidap ketakutan atas (paranoia) kristenisasi', kelompok Kristenpun
mengalami ha1 yang serupa, setidaknya untuk sebagian (besar) orang Kristen.
Ketakutan (paranoia) ini menjadi sangat nyata, ketika terjadi tindakan ancaman
penutupan clan bahkan perusakan gereja di beberapa wilayah, seperti yang terjadi
di Jawa Barat. Ketakutan itu semakin beralasan ketika Kristen diidentikkan dengan
Barat, terutarna Amerika Serikat dan Inggris, setelah Bush 'mengomandokan' perang melawan Irak dan teroris menyusul serangan tragis terhadap menara kembar
WTC, yang kemudian dikenal sebagai tragedi 91 1. Kelompok Kristen dijadikan
'sasaran tembak' oleh kaum militan anti Barat. Ketakutan semacam itu seolahjuga
memperoleh 'pembenaran ilmiah' dari pemikiran Huntington [I9961 tentang '7;cle
Clash of Civilizations and the Remaking of World Order'.79
Pembatasan kebebasan beragama: bisakah?

Frasa 'kebebasan beragama' di dalam dokumen-dokumen hak asasi


manusia tidaklah berdiri sendiri melainkan selalu digandeng-rentengkan dengan
kebebasan lainnya, yaitu 'kebebasan berpikir, berkesadaran (berhati-nurani),
79

Tesis Huntington yang dianggap 'provokatf itu telah banyak memancingkontroveni dan kritik, yang kemudian mebimbulkan
kritk-balik dari Huntington seraya mempertahankan tesisnya. Huntington membangun 6 (enam) premise dasar yang
dijadikannya landasan dari kedua pokok pikirannya, yaRu: (i) kecenderungandan dlnamika internal 8 (delapan) peradaban
besar yang amat berbeda (Barat. Konfusius. Jepang, Islam, Hindu. Slavik, Ortodoks. Amerika Latin, dan Afrika) yang
b e ~ j u n gpada benturan antar-peradaban:(ii) potensi konflik akan mendom~nasi
dunia masa dat~ng,dan potensi konfllk yang
terbesar adalah antara peradaban Barat dengan koalisi Islam-Konfusius. yaitu antara hegemoni-arogansi Barat, intoleransi
Islam, dan fanatisme Konfusionls (lihat. Pengantar edisi tejemahan bahasa Indonesia 'Benturan Antar Peradaban'. Samuel
P. Huntington. Benturan Antar Peradabandan Masa Depan Politik Dunia, Yogyakarta. Penerbit Qalam.2002).

KOMNAS HAM

97

beragama atau berkeyakinan', yang terletak di ranah forum intemum dan


dianggap dan diperlakukan sebagai kebebasan mutlak. Sebagaimanatelah penulis
paparkan sebelumnya, inti normatif kebebasan beragama atau berkeyakinan
mengandung 8 anasir (kebebasan internal, kebebasan eksternal, non-coercion,
non-discrimination, hak orangtua dan wali, kebebasan kelembagaan dan status
legal, batas yang diperbolehkan bagi kebebasan eksternal, dan non-derogabilify).
Itu berarti bahwa 'kebebasan beragama atau berkeyakinan' (bersama dengan
kebebasan lain) yang merupakan matra internal dan terletak di dalam ranah
forum internum berifat mutlak dan tidak bisa ditangguhkan (non-derogable)
dalam keadaan apapun (darurat perang atau darurat publiklsipil), dan kapanpun.
Hal ini dinyatakan secara ekplisit di dalam ICCPR Pasal 18 (I), dan juga ECHR
Pasal9 (2), serta ACHR Pasal 12 (3) mow& & Vospemik,2004: 1481.
Lain halnya dengan kebebasan untuk mewujudkan, mengejawantahkan,
atau memanifetasikan agama atau keyakinan seseorang - misalnya tindakan
kebebasan menyebarkan agama atau keyakinan, melakukan ibadah, dan
mendirikan tempat ibadah - yang termasuk kebebasan bertindak (freedom
to act). Sebagaimana ditunjukkan oleh Ghanea et.al. [2004] kebebasan untuk
mengejawantahkan agama atau keyakinan (anasir ketujuh) diperbolehkan untuk
dibatasi, dan bersifat bisa diatur, atau ditangguhkan penikmatannya. Akan tetapi
penundaan penikmatan, pembatasan, atau pengaturan itu hanya boleh dilakukan
dengan undang-undang,serta alasanyang digunakanuntuk melakukanpenundaan
penikmatan, pembatasan, atau pengaturan itu adalah perlunya ada perlindungan
atas lima hal, yaitu: (i) public safety, (ii) public order, (iii) public health, (iv)
public morals; (v) protection of rights and freedom of others. Dengan demikian
tujuan utama dari tindakan penundaan penikmatan, pengaturan, atau pembatasan
itu adalah untuk menangkal ancaman terhadap keselamatan orang (kehidupan,
integritas, kesehatan mereka) atau kepemilikan mereka.xO
Seturut dengan ha1 itu, ihwal kebebasan mendirikan tempat ibadah dapat
dan dimungkinkan diatur oleh undang-undang, jika dikehendaki pengaturan itu
dilakukan oleh negara, dengan syarat tidak ada diskriminasi. Akan tetapi terbuka
pula kemungkinan diatur sendiri oleh masyarakat sipil (kelompok-kelompok
keagamaan, lembaga keagamaan) lewat kesepakatan yang dicapai melalui
perundingan, manakala masyarakat sipil telah matang dan mampu mengatur
dirinya sendiri, baik pada tingkat lokal maupun tingkat nasional.

80 Lihat Nowak. UN Covenant on Civil and Political Rights. 326.

98

1 KOMNAS HAM

IV.

Kekerasan (atas nama) Agama

Pengertian leksikal dari kata 'kekerasan' diutarakan secara berbeda


akan tetapi pada dasarnya di dalam kata itu
di dalam berbagai kamus:'
terkandung berbagai anasir sebagai berikut: (i) perbuatan (dari pelaku yang
ditujukan kepada liyan atau lawannya); (ii) penggunaan kekuatan (force) dan
kekuasaan (power)yang tidak adil; (iii) tujuan atau akibat dari perbuatan (yakni:
penderitaan liyan karena cedera atau mati; danlatau kerusakan fisik atau barang
lain). Wehr et.al. [I9941 menyatakan bahwa takrif atas 'kekerasan' cukup
mengandung kesulitan yang tak diharapkan. Bonderant [1988],82memahami
'kekerasan' sebagai 'penerapan kekuatan sedemikian rupa yang ditujukan
secara sengaja mencederai (cedera dipahami untuk menampung kesakitan
psikologikal dan juga fisikal') pada orang atau kelompok orang kepada siapa
kekerasan itu diterapkan. Sedangkan Bond [l 994],83mendefinisikan kekerasan
secara lebih sempit sebagai 'penggunaan kekuatan terhadap badan liyan, secara
melawan kehendak Iiyan itu, dan ditujukan untuk menyebabkan penderitaan
cedera fisikal atau kematian atas liyan itu'). Sharp, seorang ahli teori tentang
tindakan langsung non-kekerasan yang lainnya, juga mengeluarkan perusakan
kepemilikan dari definisinya tentang kekerasan, meskipun ia menyatakan
bahwa 'sabotase secara sungguh-sungguh akan memperlemah satu gerakan
[Wehr et.al., 1994:9].
tindakan non-kekera~an'~~
Bond [1994:66] membuat sketsa tentang mekanisme tindakan langsung
yang terwujud di dalam kekerasan, yaitu:
Penggunaan kekuatan fisikal seorang pelaku terhadap badan liyan
(dan sebaliknya), dan, sebagai hasil, badan liyan diharapkan menderita
cedera badan atau kematian. Dasar kekuasaannya adalah kekuatan
fisikal atau kekuatan, yang ditujukan pada badan lawan dengan cam: (i)
mengusir (dengan gerakan fisik) badan lawan, (ii) membuat tidak mampu
81

82

Lihat misalnya: Victoria Neufeldt and David B. Guralnik, Webster's New World Dictionary of American English. Cleveland 8
New York. 1988. p. 1490; AS Homby. Orford Advanced Leamefs Dictionary of Current English, London 8 Tokyo, Oxford
University Press. 1974, p. 976; Hugo F. Reading Dictionary of Social Science (Kamus Ilmu-ilmu Sosial). Jakarta, Penerbii
CV Rajawali, 1986, p. 457; Lukman Ali (ed.), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1996, p. 458, Yan
Pramadya Puspa. Kamus Hukum. Semarang, PenerbiiAneka Ilmu, 1977, p. 884; Tom Bottomore(ed.), A DictionaryofMamist
Thought. Oxford. Blackwell Reference. 1985, pp. 514-5.
Joan Bondurant. seorang tokoh non-kekerasan yang diikuti banyak orang lain, mendefinisikankekerasan sebagai '?he willful
application of force in such a way Ulat 11is intentionally injurious to the person or group against whom it is applied. [Here]
Injury IS understoodto lncldae psychotoglcalas well as phplcal narm L~hatBondurant Joan V Conqlsst of Vlolence The
Gandhran
Phrlosoohv
-~ , ,of Conflrcl (hew RevasedEd $on). Pnnceton. NJ. Pnnceton Unlversltv Press. 19881
will, and that is
Bond menyatakan bahwa 'kekerasan' adalah the 'use'& force against another's body, against that
expected to inR~ctphysical injury or death upon that person'. Lihat: Doug Bond. Nonv~olentDirect Act~onand the D i i o n of
Power', dalam Wehr et.al., Justice Withouf Violence, Boulder 8 London, Lynne Rienner Publisher, 1994, pp. 5479.
Sharp. The Pol~iicsof Nonvrolence Actron, Part Ill, p. 609.

83

84

KOMNAS HAM

99

(dengan mencederai) badan lawan, danlatau (iii) menghilangkan (dengan


membunuh) badan lawan, clan oleh karenanya merampas pihak lawan,
dan memberi kemarnpuan pelaku untuk secara langsung mempengaruhi
sasarannya.
Penggunaan paksaan atau ancaman dalam kekuatan fisikal.
Dasar kekuasaannya adalah kekuasaan fisikal atau kekuatan atau
kredibilitas dari ancaman. Paksaan itu diarahkan: (i) lewat badan lawan
danJatau pihak ketiga, pada lawan untuk mengakibatkan kesakitan
(dengan mencederai atau membunuh lawan atau pihak ketiga), (ii)
untuk mempengaruhi kepentingan lawan.
Sedangkan sasaran dari tindak kekerasan ditujukan, menurut Goldhamer
& Shils [1939], adalah: (i) badan (manusia), (ii) keinginan, (iii) lingk~ngan.8~

Ada berbagai sebab mengapa tindak kekerasan terjadi. Dalam kajian


peristiwa kekerasan evolusioner di Nikaragua, Wehr & Nepstadt [I9941
mengidentifikasi setidaknya tiga faktor yang menjadi sebab, yaitu: (i)
pembagian ideologis yang tajam yang berkembang dengan cepat setelah
jatuhnya Somosa pada tahun 1979; (ii) destabilisasi politik dan ekonomi dari
luar (kebijakan AS mendorong Sandinista keluar); dan (iii) berlangsungnya
secara terus menerus militerisasi pada periode 1980-1988.86 Sedangkan
Boulding [1994], yang bertolak dari premise bahwa 'kekerasan dimulai dari
mencatat bahwa: (i) rasa keperkasaan atau ketidakdalam pikiran orang':'
berdayaan (powerlessness); (ii) ketidak-berdayaan yang mengarah kepada
keterasingan (alienasi) yang berkaitan erat dengan perasaan kebencian; (iii)
ketidak-percayaan dalam arti menjadi disalahkan; (iv) 'keagungan' (keyakinan
bahwa dirinya agung) yang menimbulkan hasrat untuk mendominasi dunia,
sehingga pengikisan kekuasaan yang terwujud di dalam 'keagungan' secara
perasaan
potensial mengarah ke tindak kekerasan. Dalam wacana Grams~ian?~
85
86
87

88

Goldhamer and Shils. 'Types of Power and Status'. The American Journal of Sociology 45 (2) September 1939): 171-182;
sebagaimana dikutip oleh Bond. Nonvilent Dtrect Action and the D i i s i o n of Power, dalarn Wehr et.al.. Justice Wdhout
Violence. Boulder & London. Lynne Rienner Publishe, 1994. pp. 65-6.
Lihat: Paul Wehr & Sharon Erickson Nepstad, 'Violence, Nonviolence, and Justiuce in Sandinista Nicaragua, dalam Wehr
et.al., Justice Without Violence, Boulder 8 London, Lynne Rlenner Publisher. 1994, pp. 81-98.
Boulding, mengutip pernyataan yang terkenal dari UNESCO. 'Wolence begins in the minds of men' (dan b i i diimbahkan
dalarn keadaan tertentu perempuan dan anak-anak), dan oleh karenanya hanya di dalam pikiran orang dan orang lain
kekerasan bisa dlhapuskan [lihat: Boulding,1994:454].
Untuk acuan tentang pikiran dan pandangan Grarnsu lihat: Gramsci. Antonio. Selections fmm the Prison Notebooks.
New York, International Publisher, 1975; Hams, David. Fmm Class Struggle to the Politics of Pleasure : The Effect
of Gramscisnism on Cultural Studies. London-New York, Routledge, 1992; Sassoon. Anne Showstack, Gramsci's
Politics. Sewnd Edition. Minneapolis. Univenity of Minnesota, 1987, A Model of Hegemonic Control, dalam Laitin, David
D., Hegemony and Culture : Politics and Religious Change among the Yoruba. Chtcago & London. The Univenlty of
Chicago Press. 1986; Antonlo Gramsci. Bab 7, dalam Bellamy, Richard. Modem Italian Social jheory :From Pareto
to the Present, edisi bahasa Indonesia :Teori Sosial Moderrn penpektif Itall. Jakarta, LPJES. 1990; Class.Culture and

100 /

KOMNAS HAM

'keagungan' dari satu klas di satu pihak, dan sebaliknya perasaan teralienasi
klas di pihak yang terpinggirkan, bertolak dari dominasi dan hegemoni. Jika
dominasi menggunakan kekuatan (fhrce) yang dilakukan oleh aparatus represi
negara (RSA= Repressive State Apparatus), maka hegemoni menggunakan
ideologi lewat 'kerelaan' ('consent') dengan alat aparatus ideologi negara
(ISA= Ideological State A p p a r a t ~ s ) . ~ ~
Munculnya tindak kekerasan dapat melahirkan kekerasan baru.
memaparkan
Boulding [1994], dengan mengutip persamaan Richard~on,~~
bahwa kekerasan A terhadap B meningkatkan kekerasan B terhadap A,
yang meningkatkan kekerasan A terhadap B, dan seterusnya, sampai terjadi
keseimbangan;atau sistem itu akan berubah secara radikal dengan penghilangan
atas satu pihak. Tetapi, kadangkala, ada perubahan radikal di dalam jati-diri
(identitas), ketika kedua belah pihak sarnpai ke kesadaran bahwa apa yang
mereka lakukan adalah konyol dan amat mahal bagi kedua pihak, hingga sistem
baru yang lebih terpadu terbentuk. Pengalaman empiris yang bertentangan
dengan persamaan Richardson itu terjadi di Polandia, sebagai mana yang
diamati oleh Zielonka [Burgess & Burgess, 19941. Kekerasan di Polandia,
menurut Zielonka, dijungkir-balikkan menjadi tindakan non-kekerasan atas
dasar tiga alasan: (i) pertimbangan taktis - mereka berpikir akan dicapai tujuan
yang diinginkan dengan jauh lebih sedikit kecelakaan yang menyebabkan
hilang nyawa; (ii) isue doktrinal (kekerasan lebih baik dihubungan secara
filosofis dengan tujuan pemerintahan sendiri dan partisipasi akar-rumput);
dan (iii) pertimbangan etis (non-kekerasan dianggap lebih baik mencerminkan
konsep cinta dan keadlian sosial Kristiani dari daripada kekera~an).~'
'Kekerasan (atas nama) agama' terasa mengandung paradoks, jika

89
90
91

Hegemony. Section 4, dalam Bennett, Martin. Mercer, and Woolacott, Culture, ldeology and Social Process. London,
B.T.Batsford Ltd.. 1987; Gramsci. Antonlo, dalam Bottomore. Tom, A Dictionary of Marxist Thought, Oxford. Blackwell
Reference, 1985; Gramsci, Antonio (1891-1937). dalam Kuper 8 Kuper, The Social Science Encyclopedia. London-New
York, Routledge. 1985; Hegemony and Consciousness: Everyday Form of Ideological Struggle, dalam Scott, James
C., Weapons of the Weak : Everyday Forms of Peasant Resistance. New Haven & London, Yale University Press.
1985,; Machiavelli, Gramsci dan Hegemoni. Bagian Il,dalam lrwan 8 Edriana. Pem~lu:Pelanggaran Azas Luber, Jakarta.
Penerb~tSlnar Harapan. 1995: Marxlsm and Sociology, Bab 7, [Culture and Domlnatlon: Gramsci and the concept of
hegemony] dalam Swingewood. Alan. A Short History of Sociological Thought, (second Edltlon). Hampshire-London,
Macmillan, 1991; Mengenal Konsep Gramsci. Bab 5. dalam Magnis-Suseno. Dr.Franz. Capita Selecta Diskursus
Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, Jakarta. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. 1993. Lukacs and Gramsci: False
Consciousness and Ideological Domlnatlon, dalam Collins, R.. Theoritical Sociology. San D~ego-NewYork. Harcourt
Brace Jovanovich, Publisher, 1988.
Llhat. Louis Althusser, Ideology and 1deoIogicalState Apparataus (Notes Towards and Investigation), dalam Hanhardt. John
G.. Video Culture: A Crifical Investigation. New Yo*. Vtsual Studies Workshop Press. 1986.
Richardson. Lewis B.. Arms and Insecurity, Chicago, Quadrangle Books. 1960 dan Statistics of Deadly Quarrels. Chicago,
Quadrangle Books. 1960.
Heidi Burgess & Guy Burgess. Justice Without Violence: Theomcal Synthesis, dalam Wehr et.al Justice Wfihoui Violence.
Boulder 8 London, Lynne Rienner Publisher, 1994. pp. 257- 290.

KOMNAS HAM

1 101

agama92diperlakukan sebagai suatu sistem yang menjadi salah satu sumber


dari hak asasi m a n ~ s i aAgama
. ~ ~ adalah suatu sistem kepercayaan (keyakinan),
praktek, dan nilai-nilai filosofis berkenaan dengan takrif atas 'yang suci',
keseluruhan dari hidup, dan penyelamatan dari masalah keberadaan manusia.
Agama secara esensial adalah sebuah lorong ke arah keselamatan yang
tradisional atau terlembagakan [Theodorson & Theodorson, 1970:344].
Boulding berpendapat bahwa semua agama-agama dunia memberi nilai
rendah atas kekerasan itu sendiri [Boulding,l994], dan Symonides lebih jauh
menyatakan bahwa agama, sebagaimana yang telah dikatakan, menjadi salah
satu sumber dari hak asasi manusia. Manusia dianggap memiliki kedudukan
yang tinggi (bahkan suci), oleh karena persamaan semua manusia di mata
Tuhan adalah perkembangan lebih lanjut dari ciptaan Tuhan. Akan tetapi di
pihak lain, secara umum agama mendesakkan pembatasan ketat pada kebebasan
individual, karena kebanyakan agama lebih menekankan kewajiban daripada
hak. Agama, dan sistem kepercayaan membantu menentukan tindakan tertentu
yang dianggap sebagai tidak adil dan tidak absah. Manakala tindakan dianggap
sebagai tidak absah, penolakan atau pemberontakan atas tindakan semacam itu
narnpaknya akan (dapat) terjadi. Agama dan sistem kepercayaan juga membantu
menentukan apakah penolakan yang terjadi akan berupa tindakan kekerasan atau
tidak. Beberapa sistem nilai memberikan pembenaran moral bagi penggunaan
kekerasan; sistem nilai lainnya tidak mendorong kekerasan dan memberi
batas pada tanggapan yang menggunakan kekerasan dan sebaliknya dapat
mengarahkan pada kampanye anti kekerasan lewat berpuasa ('mogok makan'
- seperti yang dilakukan oleh para korban SUTET --,berjalan berarak-arakan
menentang perang, penindasan, kebencian, kekerasan, dan campur-tangan
ekstemal [Burgess & Burgess, 19941. Penelitian Kazak tentang konflik di Palestina
mencatatpentingnya sistem kepercayaan dalam menentukan strategik ~ n f l i kKazak
.~~
92

93

Agama adalah suatu sistem kepercayaan (keyakinan), praktek, dan nilai-nilai filosofis berkenaan dengan takrif atas yang
suci, keseluruhan dari hidup, dan penyelamatan dari masalah keberadaan manusia. Agama secara esenslal adalah sebuah
lorong ke arah keselamatan yang tradlsional atau terlembagakan. Semua orang dl dalam semua masyarakat pada akhimya
hams menghadapl masalah keh~dupantertentu secara esensial sendiri, selain semua upaya liyan untuk membantu. Tradisi
keagamaan adalah hasil dari upaya manusia untuk mencoba menangkap dan mencerahkan kedalaman filosofis dan splntual
sehingga tersedia bagi lndlvidu ket~kaia menghadapi kehidupandan ketegangan, kekacauan, dan kerurnitan. Agama adalah
gejala soslal (dan juga gejala ps~kologikal)karena agama perlu menekankan persaudaraan di dalam pengembangan.
pengajaran, dan pemeliharaan agar tidak dilupakan atas penghayatan dan pengetahuan rel~gius.Jadi agama bersifat pribadi
dan juga sosial secara mendalam [Theodorson 8 Theodorson.1970, p. 3441.
Symonides ketika membahas 'Sumber-sumber dari Hak Asas1 Manusia' menyebutkan bahwa agama menjad~salah
sumbernya, meskipun ~stilahhak asasl manusia tidak ditemukan di dalam agama tradisional. Meski demikian, ia
berpendapat, bahwa teolog~menyediakandasar bagi teori hak asasi manusia yang mengalir dari hukum yang lebih tinggi
danpada negara dan yang sumbernya adalah Keberadaan Tertinggi, la menyebutkan bahwa, di dalam Pejanjian Lama,
Adam diciptakan dalam 'c~traTuhan' yang mengirnplikaslkanmanusia diber~n i b tlnggi. Demikianjuga di dalam al Qur'an.
dan Bhagavad Gita. Dengan kata lam setlap manusla dilihat sebagai yang suci [lihat: Janusz Symonides. Human Rights:
Concept and Standards. Aldershot 8 Burl~ngton.A s h g a t e UNESCO Publishing. 2000, p. 351.

102 1

KOMNAS HAM

menekankanbahwa 'Suatu pengujian atas pola ideologkal dan sosiopsikolo&l dari


kebudayaan yang berbeda menunjukkan bahwa setiap kebudayaan memajukan dan
mernberikan sikap dan kelakuan yang berbeda atas kekerasan dan bukan-kekerasan'
-19941.
Dengan demiluan, Kazak berpendapat, bebempa kebudayaan atau
sistem kepercayaan bisa mendorong tanggapan bukan-kekem (non-violent)
terhadap ketidak-adilan; yang lainnya bisa jadi mendorong (tanggapan) kekerasan.g5
Jadi, paling sedikit sebagaimana dipraktikkan, ada ketidak-sesuaian yang sung&sungguh antara berbagai praktik keagarnaan dengan lingkup hak asasi manusia yang
distrukturkan oleh PBB [Syrnonides, 2000:36].
Kekerasan di dalam praktik kehidupan keagamaan terlihat secara
empiris historis - dan bukan bersifat paradoksal seperti yang terjadi pada tataran
struktur-budaya -, dan bahkan seringkali direproduksi terns-menerns dari
satu generasi ke generasi berikutnya, sebagai contoh misalnya tradisi pengikut
Syi'ah dalam memperingati kematian cucu Nabi. Takrif 'jihad' yang terreduksi
hanya sebagai 'perang (fisik) di jalan Allah' seraya mengabaikan sisi lain dari
takrif itu, terns menerus direproduksi secara sosial, sehingga dapat ditemukan
banyak contoh tindak kekerasan dengan mengatas-namakan agama (Islam).
Kazak menjelaskan, di dalam khazanah intelektual Islam, jihad dapat berarti
penggunaan tindakan militer dan upaya untuk memperluas ranah Islam (yang
pada umumnya oleh Barat dianggap 'perang suci') atau dapat pula mengacu ke
suatu upaya moral dari pemurnian-diri." Kalau kekerasan pada tingkat komunitas
94

95

96

Lihat: Kazak. M. Amin. Belief System and Justice W&out Violence in the Middle East, dalam Burgess 8 Burgess (ed.) Justice
W ~ o uViolence.
t
Boulder 8 London. Lunne Rienner Publisher. 1994. pp. 217-32.
Kazak misalnya mel~hatbahwa d~sampingtingginya kekerasan yang dgunakan deh semua kelompdc agama utama di Timur
Tengah, Keknstenan dan Judaisme juga mengandung pembenaran yang kuat bagi penggunaan teknik bukan-kekerasan (nonviolent). 'Perlakukanlah liyan sebagalmana mereka memperlakukanmu' adalah perspesi dasar Kristen (kebudayaan Jawa
mengenal 'tepo sliro' atau tenggang rasa) yang ditejemahkan ke dalam didum bahwa 'kamu haws tidak menggunakankekefasan
terhadap liyan'. Hal yang sama ada juga pada Judaisme (agama Yahudi) 'meskipun Judatsme tidak menunM satu k o m m
pada hndakan bukan-kekerasan (nowv~olence)untuk mencapai pecsepsinya, agama itu secara tegas meniadakan penggunaan
kekerasan sehingga bndakan bukan-kekerasan (nowviolence) menjadi lebih sering bukan hanya sebagai satusatunya mra
mencapai kehidupanyang diarahkan pada kebenaran, keadilan, dan kedamaian' [Kazak.1994].
Di dalam Islam, hndakan melawan ketidak-adilanm u d lebih erat berkaitan dengan konsep jihad. Meski kcsakata jihad di Barat
dierjemahkm ke dalam 'perang sua, sebenamya ada dua kiblat maknanya di dalam teologi Islam. Satu kiblat benifat revolusioner.
yang memandarg ~ n a dsebaga suatu ahran cab-laku yang menglkut sernangat slam o oalam bertemp~ra1 jalan Tuhan Selama
oemcnntahan D1qas.1JmaVah 661-7491 KaLm rOlawanl aaalah salansah m n s M ~ s l ~pertama
m
yam nwq-q~nakan
Ihad sebaqa~
k r a revolusioner untuk &e&rangi ketidak-adilan. ~ = Khawarij
m
yakin bahwa pemimpin d i i & intuk -&nyerah hanya ~ a i a
keinginanTuhan dan secara ketat patuh pada hukumNya. Tanggung jmab ofang lslam adalah untuk bwtempur dan memakzulkan
pemtmpln brantk yang mernenntahhdak bwdasahan hukum lslam dan petunjuk al Qutan. Makna kedua yang senngkal dlbenkan
kepada jihad adalah yang lebih bersahabat yang amat bertentangandengan tgemahan yang lazirn dan ambigu sebagai 'perang
sua'. Menurutpandanganin~.j~had
dapat d~anggapsebagal sebuah perjuangan dl dalam din indlvdu yang menenmabeberapa bentuk
dari bimbingan spirih!al untuk mernumikand~n.Pardangan ini berarti bahwa istilah jihad di dalam lslam haws dipahami sebagai
penobkanatas keinginandindan kelakuan dan tindakan yang menggcda, dan juga jihad bdak perlu dihubungkan dengan kekerasan
di dabm upaya yarg sunggwwngguh mencapai kead~bndan kebenaran. Pada konsep jihad haws diberikan konotasi n u d , dan
bahwa tujuan akhimya adalah mengakhiri kekerasan sbudural. Sheik Mahmud Shalltit ~ , n ah11
g lslam yang terkemuka dan ahli
hukum pada Unrversitas Al Azhar rnemaparkannya secara gambling: 'Orang sehawsny. belajar dengan balk aturan-aturan Qur'an
M e n a a n dengan petempuran (pepwayan), sebahbab dan tujuannya,sehingga dengan dem~kinsampai kepada pengmlan
kearifan Qur'an dl dalam ha1 mi: penghormatannya pada kedamaian dan pandangan sebal~knyaterhadap pertumpahan darah dan
pembunuhan untuk tujuan dunia itu Gndiri dan keserakahan serta nafsu' [Kazak. i994:222].

KOMNAS HAM

1 103

dan masyarakat terjadi pada lingkungan (pendidikan) rumah, lingkungan


(sosial), dan (lingkungan pendidikan) sekolah - ketiga lingkungan itu disebut
sebagai 'tiga serangkai kelembagaan' ('triumvirat kelembagaan') [Karabel &
Halsey, 19771-seraya terus-menerus direproduksi secara sosial, demikianjuga
tindak 'kekerasan agama'. Praktek pemukulan (di lingkungan rumah, lingkungan
di luar rumah, dan lingkungan pendidikan) masih tetap terjadi:' sehingga tindak
kekerasan menjadi suatu hasil dari proses pembelajaran (learned behaviour).

Kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah

V.

Ajaran Ahmadiyah masuk ke wilayah Indonesia pada tahun 1922,


dan pada tahun 1929 berdiri organisasi Jemaat Ahmadiyah di Padang, dan
kemudian pada tahun 1932 juga di Jakarta. Keberadaan Jemaat Ahmadiyah
telah diakui sah secara hukum oleh pemerintah RI, dan dianggap sebagai badan
hukum berdasarkan ketetapan Menteri Kehakiman RI,9xdan juga terdaftar di
Departemen Agama pada tanggal 2 Maret 1970,99serta Departemen Sosial
pada tanggal 15 Mei 1970.1" Meskipun keberadaan Jemaat Ahmadiyah
secara hukum sah, akan tetapi pada kenyataan empiris dapat pula diternukan
kebi-jakad keputusan beberapa instansi pemerintah yang cenderung membatasi
dan helaran; keberadaan d a i kegiatan brganisasi itu.l0; Selain itu telah terjadi
peristiwa penyerangan terhadap Jemaat Ahrnadiyah di berbagai daerah.Io2
Pengalaman nyata masa anak-anak dan remaja dipukul orang tua karena tidak menjalankan shalat pada waktunya dapat
menjadi contoh empiris dari 'kekerasan agama' yang twjadi di lingkungan rumah. Praktek pe~sakantempat-tempat yang
dianggap sebaga~'tempat maksiat' oleh para remaja dan pemuda yang mengatas-namakan 'pemuda Islam' masih sering
terjadi. Di lingkungan 'sekolah' praktek tindak kekerasan seringkali terjadi dan ditujukan kepada siswa (taruna) baru terutama di
lingkungan sekolah pamong-prajadan militer serta polisi.
98 Lihat: Ketetapan Menteri Kehakiman RI No. JA.5123113 tanggal 13 Maret 1953. Ketetapan ini dimuat di dalam tambahan Berita
Negara RI tanggal 31/3-1953 No. 26.
99 Lihat: Surat DepartemenAgama RI No. 0461JH970tanggal 2 Maret 1970.
100 tihat: Surat Departemen Sosial RI No. D-Vi7Otanggal 15 Mei 1970.
101 Bwbwai tamraaoan atas Jemaat Ahmadiih adalah berum: (i) Fatwa MU1 Dl Aceh denaan no. 24Fatwa11984 yam menvatakan
~nrnaoyah &a an sesat dan rnenyesatkan (11)I,a m dl Sumatra Tim~rmengeluarkanGutusan tiasjl ~ u s ~ a w a r anoh 12yRns/
D1/19b'65 tah.n 1935 oahwa Ahmadlvah Qad~ankafir Imurtad), II
Munas II MJI denaan No 0YKcolM~nas~MUl1980
. 0, KeouNsan
,
menyatakan bahwa Ahmadiyah ada~ahjemaat dl luar 161am,sesat dan menyesatkan; (iv) Surat KIDab I sum& Utara No. 3561
MUSUN111984 tentang dukungan temadap Kepuhrsan MU1 Pusat tahun 1980: (v) Fatwa MU1 Datl I R~autanggal 7 Oktober 1994
bahwa ajaran Ahmadiyah Qadian berada di luar Isalm, dan dapat meresahkan masyarakat muslim; (vi) Keputusan NU tahun 1995
bahwa allran Ahmad~yahIndonesia menympangdan ajaran Islam; (v~i)Forum Ukhuwah lslamtyah lndones~a9FUll) pada tanggal 17
September 1994 menyatakan bahwa ajaran Ahamdiyah Qadian sudah ke luar dari akidah Islam. Selain 'tu terdapat pula berbagai
kepuhrsan sebagai berikut. (i) Keputusan Kajari Lombok limur No. Kep.llllPK32 2iL-2 111.3111183tanggal 21 Novembet 1983; (li)
Keoutusan Buoao KDH Tk.II Lombok limur No. Soswl X.223.315811983 tamaal7 November 1983: (iii) Keoutusan Bupati KDH Tk II
Lombok Barat No 35 Tahun 2001 (IV)KepuhrsanKejaksaanNegenSubang k Kep 01H12 JPKI 31ZPAKEM13H976 (v) Kepuhrsan
Kqaksaan Negen Sldenreng Rawang No Kep 172lN 3 16 3/2/1986 (n) Keputusan Kejaksaan Negen Sungal Penuh No OllJ 612 3/
DKS 3/4/1989 (VII) Keuutusan Kelaksaan NeqenTarakan No 11lM4 12 3DKS 3/12/1989 Surat Edaran Dlrektur Jendral Blmblngan
Masyarakat sbm dan Jrusan Hal No m ~ O i l ~ 9 9 targgal20
1a
Septmoer 1 W
107. Penvcranaan
119691
,
" rn tenad~d!daerandaemh Ill Surnatrd Trnur llahdn 19351 1 t l Medan (19641 I11.IClanlurI19641 IN) Kun~naan
(v) Nusa ~enggara'brat(1976): (n) ~alimantanTengah (i981). (MI) sdiwes~~ e i t a n(1981): (vi) klma&n b r a t jl98'1): (ci)
Surabaya (1981). (x) P a ~ n gBogor (1981); (xi) Riau (1990), (xii) Palembang (1990), (xiii) Sumatra Barat (1990); (xiv)limor Tmur
(1990); dan (xv) Jakarta (1990). Seranganserpa tejadi lagi pada awal milen~umkebga. (xvl) Panmr. Lombok limut(2002). (rvii)desa
Manis Lor, Kuningan (2002).dan (rviii) Tasikmalaya (2003). Serangan yang paling mutakhirtejadidi Palung. Bogor (Juli 2995).
97

104 KOMNAS HAM

Pada tahun 2002 telah terjadi penyerangan terhadap Jemaat Ahmadiyah


di Manis Lor, Kuningan, dan Pancor, Lombok Tirnur (NTB). Tim Pemantauan
yang dibentuk Komnas HAM'03 untuk menyelidiki peristiwa-peristiwa itu,
setelah melakukan kunjungan lapangan ke Tempat Kejadian Perkara (TKP) dan
mewawancarai korban serta saksi lain, mengambil kesimpulan awal bahwa: (i)
telah terjadi pelanggaran terhadap kebebasan beragama;'& (ii) terjadi pelanggaran
terhadap hak untuk tidak diganggu rumah kediaman;'05 (iii) terjadi pelanggaran
terhadap hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan
hak milik;Io6(iv) terjadi pelanggaran hak untuk mendapat pengakuan, jaminan,
perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta kepastian h~kum;'~'
(v)
terjadi pelanggaran hak untuk bebas bergerak, berpindah dan bertempat tinggal
di wilayah RI.'08
Pada bulan Juli 2005, terjadi peristiwa penyerangan terhadap Jemaat
Ahmadiyah yang sedang menyelenggarakan pertemuan tahunan di Kampus A1
Mubarok, Parung, Bogor. Tim Penyelidikan terhadap kasus ini telah dibentuk
oleh Komnas HAM, dan Tim ini telah melakukan kunjungan lapangan dan
wawancara dengan beberapa orang saksi korban di pihak Jemaat Ahrnadiyah.
Meskipun belum sampai ke kesimpulan tuntas, dari perkunjungan awal ini Tim
telah melihat indikasi terjadinya pelanggaran HAM, sebagaimana yang pernah
terjadi di Pancor, Lombok Timur, dan Manis Lor, Kuningan pada tahun 2002.

VI.

Pemecahan masalah Penggunaan Kekerasan vs. Kebebasan Beragama

Ancaman tindak kekerasan terhadap kebebasan beragama bukan saja secara


konkrit, empiris-historis telah dan memang terjadi, akan tetapi tampak pula terus
berulang-terjadi,
baik di negeri ini, maupun di negeri-negeri lain. Wujud nyata dari
.
ancaman dan juga tindakan itu di Indonesia antara lain terjadi pada tahun 2005,
yaitu penyerangan terhadap jema'at Ahmadiyah, perusakan gereja di Jawa Barat.
Setidaknya terbuka dua tindakan yang bisa (dan perlu) dilakukan, jika dilihat dari
dua sisi yang berbeda, yakni sisi (i)perjanjian dan hukum intemasional bahwa
negara adalah termasuk di dalam para pihak yang menanda-tangani deklarasi
dan konvensi internasional, sisi (ii) masyarakat sipil yang berkepentingan dan
berkepedulian terhadap martabat manusia, terutama bilamana masyarakat sipil
103 Tim ini dibentuk oleh Sidang Paripuma Komnas HAM dan diietapkan dengan Sumt Keputusan Komnas HAM No.
26/Komnas HAMN11112003 tanggal 14 Agustus 2003.
104 UU No. 39 tahun 1999 Pasal22 ayat (1) dan (2).
105 UU No. 39 tahun 1999 Pasal31 ayat (1) dan (2).
106 UU No. 39 tahun 1999 Pasal29 ayat (1).
107 UU No. 39 tahun 1999 Pasal3 ayat (2)
108 UU No. 39 tahun 1999 Pasal27 ayat (1).

KOMNAS HAM

1 105

sudah menunjukkan tingkat kematangannya di dalam mengatur-dirinya sendiri.

Sisi Negara.
Tindak kekerasan, dengan alasan (motif) apapun (termasuk di dalamnya kekerasan atas nama agama) adalah bertentangan dengan hak asasi
manusia (Pasal 5 DUHAM;'09 Pasal 4 UU No.3911999; Pasal 8 dan 9 UU
No. 26/2000),110dan oleh karena itu termasuk di dalam kategori tindakan
'pelanggaran hak asasi manusia.' Pelanggaran hak asasi manusia ditakrifkan
secara berbeda oleh berbagai penulis dan telah lama menjadi perdebatan. Di
dalam wacana tradisional, pelanggaran hak asasi manusia terutama dilihat
sebagai tanggung-jawab negara, di dalam konteks kewajibannya terhadap
warga negara. Conde [I 999: 1561 bahkan secara tegas menyatakan bahwa
'kegagalan suatu negara, yang secara legal berkewajiban mematuhi kaidah hak
asasi manusia internasional, adalah satu bentuk pelanggaran hak asas manusia
(oleh negara)'."' Setidaknya ada tiga kewajiban utama negara berkenaan
dengan hak asasi manusia, dan oleh karena itu juga berkenaaan dengan
(kewajibannya mencegah adanya tindak kekerasan), yakni: (i) kewajiban
untuk menghormati: kewajiban menghargai ini menuntut negara, dan semua
organ dan agen (aparat)-nya, untuk tidak bertindak apapun yang melanggar
integritas individu atau kelompok atau pelanggaran pada kebebasan mereka,
termasuk tindak kekerasan dengan alasan apapun; (ii) kewajiban untuk
melindungi: kewajiban untuk melindungi menuntut negara dan agen (aparat)nya melakukan tindakan yang memadai guna melindungi warga individu dari
pelanggaran hak-hak individu atau kelompok, termasuk pencegahan atau
pelanggaran atas penikmatan kebebasan mereka, yakni pencegahan tindak
kekerasan; (iii) kewajiban untuk memenuhi: kewajiban untuk memenuhi ini
menuntut negara melakukan tindakan yang memadai untuk menjamin setiap
orang di dalam peluang yurisdiksinya untuk memberi kepuasan-kepadamereka
109 DUHAM Pasal 5 rnenyatakanbahwa: Tdak seorangpun boleh disiksa atau dipedakukan secara keiarn, memveroleh wrlakuan
atau dlhukrn secara bdak manuslaw alau dlr~ndahkanrnartabatnya
110 UU No 3911999Pam14 rnenvalakan Hak u n t ~ kh auo han untL1t~dakd,slksa hak kebsbasan ~nbad!olklran dan hab nuranl
hak beragama hak untuk bdak dlperbudak, hak untuk d ~ a k usebagal
~
pnbad~dan persarnaandl iadapanrhukum,dan hak untuk
t
hakasasl manuslayang bdakdapatd~kurangldalam keadaanapa pun
bdak dltuntut atas dasar hukum yang berlaku s u ~adalah
dan oleh siapapun.,
111 Berbagai ah11y a y mendukung padapat ini, antara lain rnenyatakan bahwa: '...&nggamn
hak asasi manusia dilakukan oleh
nqlara ewat agwcagennya (polls anqkatanbersenlata dan sebap orang yang berbndak oengan kewe~ngan
dan negara)m n h n
m ~ d uErmlsn 8 Stduklon 11997 41 r~srnband~rmkan
t a m Itu derman taknf bndakan kelanatan vaw Satu bndaon kaahatan
(knm~nal)adayah satu tindakan ;tau tinbakan-tindakai yang dllakukan oleh seswrang atau lebih yaibenifat melukai aiau rkwsak
masyarakat dan telah dilarang oleh hukum domesbk negara' (English 8 Stapleton, 1997:4].'Satu kegagalan dari sah! negara atau
pihak lam yang secara legal berkewajiban untuk patuh pada satu normalka~dahhak asas1 rnanusia intemashal. Kegagalan untuk
rnenjalankan kewajiban adalah pelanggaran atas kewaj~banh.'Pelanggaran' d'gunakan secara bergantian dengan lstilah 'breach'
(pelanggaran hukum, &ran, kewajlban. kesepakatan)atassah!kewajiban' [Conde,l999.156].

106 1

KOMNAS HAM

yang memerlukan yang telah dikenal di dalam instrumen hak asasi dan tidak
dapat dipenuhi oleh upaya pribadi, termasuk menjamin setiap orang dan
kelompok untuk tidak dikenai tindak kekerasan.
Bertolak dari segi kewajiban Negara itu, maka dapat dikatakan bahwa negara
harus menghentikan tindakan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukannya
sendiri secara tidak langsung (by omission) dan yang dilakukannya secam langsung
(by commission lewat apparatus represi negara). Dengan kata lain, berkenaan
dengan masalah kekerasan (atas nama) agama, pemecahan tindak kekerasan
(yang mengatas-namakan) agama bisa dihentikan clan ditiadakan manakala negara
menghentikan tindakan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukannya sendiri
dengan cara 'menegakkan hukum' (law enforcement) secara impartial, terutama
hukum hak asasi manusia dan hukum pidana. Dengan berbuat dan berkelakuan
seperti itu, maka bukan saja pelaku tindak kekerasan akan (dan perlu) diadili,
dan dihukurn berdasarkan aturan perundang-undangan yang berlaku, akan tetapi
sekaligus negara, sebagai para pihak, juga patuh pada hukurn intemasional hak asasi
manusia, dan juga taat-asas (konsisten) dengan pernyataannya sendiri untuk secara
moral clan hukurn bertanggung-jawab melaksanakan HAM."* Sebagai tarnbahan,
jika tindak kekerasan itu dilakukan meluas danlatau sisternatis, maka negara harus
melaksanakan pengadilan pelanggaran berat atas hak asasi manusia (sebagaimana
diatur oleh UU No. 2612000) secara sungguh-sungguh dan juga impartial.
Sisi Masyarakat Sipil.

Tindak kekerasan adalah bentuk nyata dari tindakan pelanggaran


hak asasi manusia yang bertentangan dengan hukum positif di Indonesia
(UU No. 3911999; UU No. 2612000) dan juga bertentangan dengan hukum
internasional hak asasi manusia. Tindakan itu bukan hanya dapat dilakukan
oleh negara, akan tetapi juga oleh individu dan kelompok orang [Pasal 1 butir 6
UU N0.39119991.~'~
Masalah tindakan kekerasan individu danlatau kelompok
(yang mengatas-namakan) agama dapat (dan perlu) diatasi atau dipecahkan
lewat dua cara, yaitu pencegahan, dan penghukuman.
Pencegahan dilakukan dengan cara bukan hanya melakukan 'penguatan
112 Konsideran UU No. 3911999 menyatakan bahwa: '...bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa
mengemban tanggung-jawab moral dan hukum untuk menjunjung bnggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang
H a k ~ s a s~l a n u s ...
~ dst:.
a
113 Pasal 1 butir 7 UU No. 3911999 menyatakan bahwa: 'Pelanggaran hak asasi manusia adalah setnp perbuatan seseorilng atau
kelompok orang termasuk aparat negara baik d i b maupun Wak disengaja aiau kelalaian yang secara melawan hukum
mengurangi, ninghalangl,membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia sesewang aiau kelompolc orang yang dijamin deh
undangundang ini, dan l&k rnendapatkan, atau dikhawatirkan Mak akan memperdeh penyelasaiinhukum yang adil dan benar,
Masarkan n-denisme hukum yang berlaku.'

KDMNAS HAM

1 107

dan pengembangan' masyarakat sipil dan para individu anggotanya, melainkan


juga terlebih dulu melakukan 'pencerahan, penyadaran' masyarakat sipil. Hal
yang disebut terakhir ini dapat dilaksanakan dengan memfasilitasi 'proses
sosialisasi individu warga masyarakat (sipil)' sejak dini (pada masa kanakkanak, remaja, muda) hingga dewasa, sehingga nilai dan asas-asas hak asasi
manusia terbatinkan (terinternalisasi)dengan baik di dalam diri setiap individu.
Proses semacam itu dilakukan di dalam tiga-serangkai kelembagaan yaitu
pendidikan di dalam keluarga, pendidikan di sekolah dan lembaga pendidikan
lain, serta di tempat kerja. Di sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan perlu
diupayakan secara sungguh-sungguhmemasukkan nilai dan asas-asas hak asasi
manusia ke dalam tiga hal, yaitu: kurikulum, buku-buku (bahan) pelajaran,
dan dalam hubungan guru-murid di dalam proses pembelajaran. Upaya ini
ditegakkan di atas dalil bahwa 'jika setiap individu membatinkan nilai dan
asas hak asasi manusia, maka ia tidak akan melakukan tindak kekerasan.'
Jika ha1 ini benar dan sudah terpenuhi, maka masyarakat sipil dengan segenap
anasirnya cukup matang untuk melakukan segala tindakan yang berekeadaban
(termasuk misalnya perlu atau tidaknya lembaga 'arbitrase') yang diperlukan
untuk mengatasi kasus atau peristiwa tindak kekerasan (atas nama) agama.
Penghukuman atas tindak kekerasan dilakukan terhadap para pelakunya
tanpa pandang bulu (impartial). Upaya ini didasarkan pada pra-anggapan bahwa:
(i) isi hukum positif menyatakan bahwa kekerasan adalah kejahatan; (ii) hukum
positif memandang bahwa setiap pelaku tindak kekerasan (kejahatan) perlu
dihukum; dan (iii) tidak ada peraturan perundangan tentang tindak kekerasan yang
saling bertentangan; serta (iv) penegak hukum memililu integritas yang tinggi
dan bersikap impartial. Jika pra-anggapan itu tidak benar, maka upaya awal yang
hams dilakukan adalah 'reformasi hukum' yang meliputi (i) isi hukum, (ii) struktur
hukum, clan (iii) kebudayaan hukum, berkenaan dengan tindak kekerasan.
Arbitrase (?)

Arbitrase adalah istilah generik bagi penyelesaian persengketaan ( d k p te resolution) yang melibatkan pihak ketiga sebagai referral yang, setelah

memberikan peluang kepada para pihak yang bersengketa menyajikan bukti-bukti


dan argumentasi mereka, memberikan keputusan atas persengketaan. Arbitrase
ini amat umum digunakan di AS untuk menggambarkan suatu proses yang
memberikan keputusan (ajudikatzz yang bersifat pribadi, sukarela, dan biasanya
mengkat yang diambil oleh kesepakatan bersama dari para pihak yang bersengketa
untuk memecahkan persengketaan yang ada atau yang akan terjadi. Menurut Yam

108 1

KOMNAS HAM

[1999:28], istilah arbitrase sulit ditakrifkan karena istilah itu telah digunakan
secara longgar untuk menunjukkan banyak proses yang tak bisa dibandingkan
yang hanya memiliki unsur sama yaitu keputusan pihak ketiga. Meski demikian
Yam memberikan contoh beberapa takrif atas arbitrme, di antaranya adalah:
'sebuah proses di mana pihak ketiga yang netral atau panel, yang disebut arbitrator
atau panel arbitrase, mengambil keputusan yang dapat saja mengkat atau tidak
mengikat dengan mempertimbangkan fakta dan argumen yang disajikan oleh para
pihak yang bersengketa'.
Jika tindakan kekerasan - termasuk kekerasan (atas nama) agama
- diperlakukan sebagai tindak kejahatan (pidana) dan oleh karena itu juga
tindak pelanggaran hak asasi manusia, sebagaimana yang telah dipaparkan di
atas, dan jika tindak (kekerasan) itu dikaitkan dengan pengertian pokok dari
arbitrase, maka muncul pertanyaan yang memerlukan jawaban, yaitu: apakah
tindak kekerasan (atas nama) agama yang adalah tindak pidana dan juga
tindak pelanggaran hak asasi manusia adalah tindakan persengketaan yang
dapat dipecahkan dengan proses arbitrase? Apakah korban tindak kekerasan
(atas nama agama) bersedia secara sukarela untuk 'berunding' dengan pelaku
tindak kekerasan (kesulitan akan muncul manakala korban tindak kekerasan
itu meninggal)? Bagaimana melakukan arbitrase jika pelaku tindak kekerasan
itu adalah 'apparatus represi negara' (dalam ha1 ini siapa pihak ketiga yang
.
dianggap netral)?
Dalam konteks pelanggaran hak asasi manusia, tersedia mekanisme
penyelesaian. Jika tindak kekerasan (atas nama) agama itu tidak termasuk di
dalam kategori pelanggaran berat hak asasi manusia, maka penyelesaiannya
mengiktui proses pengadilan atas tindak pidana biasa, di mana penyelidikan atas
peristiwa itu menjadi kewenangan Komnas HAM, sedangkan penyidikannya
di bawah kewenangan polisi, dan penuntut umumnya adalah kejaksaan, dan
peristiwa itu diadili di pengadilan negeri. Manakala tindak kekerasan (atas
nama) agama itu bersifat meluas atau sistematis, sehingga masuk di dalam
kategori pelanggaran berat HAM, maka penyelesaiannya lewat pengadilan
HAM jika peristiwanya terjadi sesudah UU No. 2612000 diundangkan; dan
lewat pengadilan HAM ad hoc manakala peristiwanya terjadi sebelum UU
No. 2612000 diundangkan. Di dalam ha1 ini Komnas HAM bertindak sebagai
penyelidik pro yustisia, Kejaksaan Agung bertindak sebagai penyidik dan
penuntut umum di dalam proses pengadilan pelanggaran berat HAM. Akan
tetapi dalam ha1 peristiwa yang disebut terakhir ini juga tersedia tatacara
penyelesaian lewat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,tanpa lewat pengadilan
pelangaran berat HAM.
KOMNAS HAM

1 109

Paparan itu ingin memperlihatkan telah tersedia tatacara penyelesaian


tindak kekerasan (atas nama) agama lewat ketentuan hukum positif di
Indonesia. Persoalan empiris historisnya adalah: apakah lembaga-lembaga
penegak hukum yang terkait dengan masalah tindak kekerasan (atas nama)
agama itu memiliki kemauan (willingness) dan kemampuan (ability) yang
memadai untuk menjalankan tugas legalnya secara impartial agar tercapai
penyelesaian yang adil. Sayangnya, kenyataan empiris menunjukkan keadaan
yang sebaliknya, sebagaimana dibebaskannya para terdakwa pelanggaran
berat HAM dari tuntutan dalam pengadilan pelanggaran HAM dan pengadilan
ad hoc pelanggaran berat HAM.

Ali (ed.), Lukman, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1996.
Althusser, Louis, "Ideology and Ideological State Apparatuses" (Notes Towards
an Investigation), dalam Hanhart, John G., Video Culture: A Critical
Investigation, New York, Visual Studies Workshop Press, 1986.
An-Naim et.al., Abdullahi, Human Rights and Religious Values: An Uneasy
Relationship? Amsterdam, Editions Rodopi, 1995.
Bauberot, Jean, "The Place of Religion in Public Life: The Lay Approach", dalam
Lindholm, Durham, Tahzib-Lie (eds.), Facilitating Freedom ofReligionor
Belie$ A Desk Book, Leiden, Martinus Nijhoff Publisher, 2004.
Bagus, Lorens, Kamus FiL@at, Jakarta, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2000.
Bhaskar, Roy, The Possibility of Naturalism: A Philosop/ycal Critique of
the Contemporary Human Science, New York & London, Harvester
Wheatsheaf, 1989.
Bowles, Samuel, "Unequal Education and the Reproduction of the Social Division
of Labor" dalam Karabel, Jerome and Halsey, .A.H. (eds.), Power and
Ideology in Education, New York, Oxford Univeresity Press,1977.
Bowles, Samuel and Gintis, Herbert, "I.Q. in the U.S. Class Structure", dalam
Karabel, Jerome and Halsey, .A.H. (eds.), Power and Ideology in
Education, New York, Oxford Univeresity Press,1977.
Burgess, Paul Wehr and Burgess, Guy, Justice Without Violence, Boulder &
London, Lynne Roenner Publisher, 1994.
Cohen, Jean L. and Arato, Andrew, Civil Society and Poltical Theory,
Cambridge & london, The MIT Press, 1994.
Conde, H. Victor, A Handbook of International Human Rights Terminology,
Lincoln & London, University of Nebraska Press, 1999.

1 10 1

KOMNAS HAM

Elster, John (ed.), Karl Marx: A Reader, Cambrigde & New York, Cambridge
University Press, 1989.
Geertz, Clifford, The Religion of Java, New York & London, The Free Press
& Collier-Macmillan Limited, 1969.
Gramsci, Antonio, Selections Ji-om the Prison Notebooks, London & New
York, Lawrence & Wishart and International Publisher, 1975.
Groome, Dermot, The Handbook of Human Rights Investigation, Northborough,
Massachusetts,Human Rights Press, 2001.
Hassan, Prof. DR. Riaz, Islam: dari Konservatisme sampai Fundamentalisme,
Jakarta, Penerbit CV. Rajawali, 1985.
Hornby, AS, Oxford Advanced Learner's Dictionary of Current English,
London & Tokyo, Oxford University Press, 1974.
Huntington, Samuel P., Benturan Peradaban dun Masa Depan Politik Dunia,
Yogyakarta, Qalam, 2002.
Karabel, Jerome and Halsey, .A.H. (eds.), Power and Ideology in Education,
New York, Oxford Univeresity Press,1977.
Kuper, Adam and Kuper, Jessica, The Social Science Encyclopedia, London &
New York, Routledge & Keagan Paul, 1989.
Lemer, Nathan, 'The Nature and Minimum Standard of Freedom of Religion
or Belief dalam Lindholm, Durham, Tahzieb-Lie, Facilitating Freedom
of Religion or Belie$ A Deskbook, Leiden, Martinus Nijhoff Publisher,
2004.
Lindholm, Durham, Tahzib-Lie (eds.), Facilitating Freedom of Religion or
Belief A Desk Book, Leiden, Martinus Nijhoff Publisher, 2004.
McHugh, P., Defining the Situation: The organization of meaning in social
interaction, Indianapolis, Bobbs-Merril,l968.
Minogue, Kenneth, "Freedom", dalam Kuper & Kuper (eds.), The Social
Science Encyclopedia, London & New York, Routledge, 1989.
Nasr, S.H., 'The concept and Reality of Freedom in Islam and Islamic
Civilization,' dalam A.S. Rosenbaum (ed.), The Philosophy oh Human
Rights -International Perspective, Westport, Connecticut, Greenwood
Press, 1980.
Neufeldt, Victoria, and Guralnik, David B., Webster's New World Dictionary
of American English, Cleveland & New York, Webster's New World,
1988.
Nowak, Manfred and Vospernik, Tanja, "Permissible Ristrictions on Freedom
of Religion or Belief', dalam Lindholm, Durham, Tahzib-Lie (eds.),
Facilitating Freedom of Religion or Belie$ A Desk Book, Leiden,
KOMNAS HAM

1 11 1

Martinus Nijhoff Publisher, 2004.


Podopridoga, Roma, "Freedom of Religion and Belief and Discretional State
Approval of Religious Activity", dalam Lindholm, Durham, TahzibLie (eds.), Facilitating Freedom of Religion or Belie8 A Desk Book,
Leiden, Martinus Nijhoff Publisher, 2004
Reading, Hugo F., Dictionary of Social Science (Kamus Ilmu-ilmu Sosial),
Jakarta, Penerbit CV Rajawali, 1986.
Reinders, Johannes S., "Human Rights from the Perspective Of a Narrow
Conception of Religious Morality", dalam Abdullahi A. An-Naim
et.al., Human Rights and Religious Values: An Uneasy Relationship?,
Amsterdam & Michigan, Edition Rodopi & William B. Eerdmans
Publishing Company, 1995.
Ritzer, George, Sociology: A Multiple Paradigm Science, Boston, Allyn and
Bacon, 1975a.
-------, "Sociology: A Multiple Paradigm Science", AmericanSociologist 10:
156-167.
Sumodiningrat,Gunawan dan Purna, Ibnu (ed.),Landasan Hukum dun Rencana
Aksi Nasional HAMdi Indonesia 2004-2009, Jakarta, Deputi Sekretaris
Wakil Presiden Republik Indonesia Bidang Kewilayahan, Kebangsaan,
dan Kemanusiaan, 2004.
Theodorson, George A. and Theodorson, Achilles G., A Modem Dictionary of
Sociology, New York, Thomas Y. Crowell, 1969.
Thomas, W.I. dan Znaniecki, Florian di dalam The Polish Peasant in Europe
and America (Vol. I , University of Chicago Press, Chicago, 1918).
Titaley, Prof. DR. John A., "Agama dan Negara: Politik Negara dalam
Melindungi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia",
makalah seminar nasional yang diselenggarakan oleh Komnas HAM
dan ICRP di Yogyakarta 13 Desember 2004.
Yarn, Douglas H. (ed.), Dictionary of Conflict Resolution, San Francisco,
Jossey-Bass Publisher, 1999.
Yewangoe, Andreas A., "Agama dan Negara: Politik Negara dalam Melindungi
Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia", makalah
seminar nasional yang diselenggarakan oleh Komnas HAM dan ICRP,
Yogyakarta 13 Desember 2004.
Zakaria, F., 'Human Rights in the Arab World: The Islamic Content,' dalam
P. Ricour (ed.), Philosophical Foundation of Human Rights, Paris,
UNESCO, 1986.

112

1 KDMNAS HAM

oleh: Djoko Surono

114 1

KOMNAS HAM

Pendahuluan
Sebagaimana kita maklumi bahwa bangsa Indonesia terdiri dari berbagai
suku, bahasa, adat istiadat, clan agama, sehingga bisa dikatakan bangsa Indonesia
merupakan masyarakat yang majemuk. Mereka tersebar dalam ribuan pulau dan
persebaran penduduk di pulau tersebut tidak merata. Ada pulau yang relatif kecil
dengan penduduk yang sangat padat, seperti Pulau Jawa yang luasnya hanya sekitar
6,89% tapi dihuni oleh 59,99% penduduk, dan sebaliknya ada Irian Jaya yang
luasnya 21,99% tapi hanya dihuni oleh 0,92% penduduk Indonesia. Kepadatan
penduduk di Pulau Jawa perkilometer persegi adalah 818 jiwa, sedangkan Irian
Jaya untuk luas yang sama hanya dihuni oleh 4 jiwa saja.
Di samping keanekaragaman suku bangsa dan tidak meratanya persebaran
penduduk, bangsa Indonesia juga menganut berbagai agama dan Islam sebagai
penganut agarna mayoritas. Dalam sensusBPS disebutkanprosentaseIslam 87,21%,
Kristen 6,04%, Katholik 3,58%, Hindu 1,83%, Buddha 1,02%, dan lainnya 0,32%
dari seluruhjumlah penduduk Indonesia.
Persebaran penganut agama di antara pulau-pulau tersebut juga tidak
merata. Penganut agama Islam mayoritas berdiam di Jawa, Sumatera, Madura,
Kalimantan, Sulawesi, Lombok, Sumbawa, dan pulau-pulau di Maluku Utara.
Penganut Kristen mayoritas menghuni Pulau Irian, sedangkan penganut Katholik
mayoritas berada di Pulau Flores, dan Agama Hindu berada di Pulau Bali.
Keanekaragaman suku,bahasa, adat istiadat, dan agama tersebut merupakan
satu kenyataan yang hams kita syukun sebagai kekayaan bangsa. Namun di
samping itu, pluralitas atau keanekaragaman juga dapat mengandung kerawanankerawanan yang dapat memunculkan konflik-konflik kepentingan antarkelompok
yang berbeda tersebut. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk
menggalang persatuan clan kesatuan bangsa.
A.

B.

Kebebasan Beragama dalam Peraturan Perundang-undangan


1.
UUD 1945
Dalam UUD 1945 Pasal29 ayat 1 dan 2 tentang agarna d i s e b b
Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa
a.
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
b.
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
2.
Ketetapan MPR
a.
Kebebasan Beragama
Dengan rumusan sila Ketuhanan Yang Maha Esa
seperti pada bab I1 angka 1 tidak berarti bahwa negara me-

b.

1 16 1

KOMNAS HAM

maksa agama atau suatu kepercayaan terhadap Tuhan YME


sebab agama dan kepercayaan terhadap Tuhan YME itu
berdasarkan keyakinan, sehingga tidak dapat dipaksakan
dan memang agama dan kepercayaan terhadap Tuhan YME
itu sendiri tidak memaksa setiap manusia untuk memeluk
dan menganutnya.
Pancasila dan UUD 1945 menjamin kemerdekaan
tiaptiap penduduk untukmemeluk agamanyamdan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannnya itu.
Kebebasan agama merupakan salah satu hak yang paling
asasi di antara hak-hak asasi manusia karena kebebasan
m a m a itu langsung bersumber kepada martabat manusia
sebagai makhluk ciptaan Tuhan, hak kebebasan beragama
bukan pemberian Negara atau bukan pemberian golongan.
Kerukunan Hidup Beragama
Dengan sila Ketuhanan YME, bangsa Indonesia
menyatakan kepercayaan dan ketakwaan terhadap Tuhan
YME. Olehkarenanya,manusiaIndonesiapercayadantakwa
kepada Tuhan YME sesuai agama dan kepercayaannya
masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab.
Di dalamkehidupanmasyarakatIndonesiadikembangkan sikap saling hormat menghomati dan kerjasama antara
pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang
berbeda-beda, sehingga selalu dapat dibina kerukunan hidup
di antara umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan
YME.
Sadar bahwa agama dan kepercayaan terhadap
Tuhan YME adalah masalah yang menyangkut hubungan
pribadi dengan Tuhan YME, maka dikembangkanlah sikap
saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai
dengan agama dan kepercayaannya itu dengan orang lain.
Kerukunan antarumat beragama pada saat ini sedang
mengalami ujian berat mengingat persoalan-persoalan bangsa dan umat beragama telah terganggu dengan terjadinya
konflik yang melanda beberapa wilayah, antara lain NAD,
Poso, clan Ambon. Hal ini tidak boleh dibiarkan sedemikian
rupa sebab persoalan bisa menjalar ke daerah-daerah yang

lain, yang pada giliramya akan mengancam timbulnya


disintegrasi bangsa.
Kecenderungan disintegrasi bangsa yang muncul
belakangan ini bukan semata-mata disebabkan oleh faktor perbedaan ideologi dan keyakinan agama, namun
lebih didorong adanya ketidakpuasan masyarakat dalam
penyelesaian kasus-kasus ekonomi, sosial, dan politik.
Sentralnya adalah kondisi yang kurang adil dan kurang
proporsional dalam penyelesaian konflik-konflik sosial
dalam masyarakat luas, namun beberapa fakta di lapangan
telah terjadi konflik yang melibatkan umat beragama.

C.

Kebijakan Pemerintah tentang Agama di Indonesia


Negara Indonesia bukan negara teokrasi dan bukan negara
1.
sekuler
Negara Pancasila bukan negara agama
a.
Negara kita bukan negara agama. Kita tidak mengenal apa yang disebut sebagai agama negara. Kita tidak
memilih agama-agama yang ada menjadi agama-agama
yang resmi dan agama-agama yang tidak resmi, agamaagama yang diakui dan agama-agama yang tidak diakui.
Negara kita menjamin sepenuhnya kemerdekaan
beragama. Negara kita bukan negara agama, sehingga
ideologi negara kita tidak bersumber dan suatu agama
tertentu. Kemerdekaan beragama merupakan salah satu hak
yang paling asasi dan berasal dari Tuhan sendiri dm sama
sekali bukan berasal dari Negara.
b.
Negara Pancasila
Sebagaimana dikatakan Menteri Agama RI pada
Sidang Raya X Gereja-Gereja di Indonesia tanggal 21
Oktober 1984 di Ambon, Maluku:
"... Negara Pancasila bukanlah negara sekuler.
Paham sekularisme dalam politik pmktis adalah penolakan
terhadap campur tangan negara atau pemerintah dalam
kehidupan beragarna dari para warga negaranya. Sedangkan
dalarn negara Pancasila, pemerintah s e w langsung ikut
serta dalam pemupukan kesejahteraan rohani para warganya
dan dalam pengamanan kerukunan antarumat beragama".

c.

2.

1 18 1

Negara menjamin pengamalan agama


Sebagaimana sambutan Presiden Soeharto pada
upacara pembukaan Muktamar Muhammadiyah ke-41
pada 7 Desember 1985 di Stadion Sriwedari, Surakarta:
". .. usaha kita memantapkan Pancasila sebagai
ideologi nasional sama sekali tidak dimaksudkan untuk
mengurangi peranan agama dalam kehidupan bangsa kita,
bahkan justru untuk lebih memberinya landasan yang
h a t dan kukuh. Hal ini perlu saya tegaskan sebab mash
ada anggapan bahwa usaha untuk memantapkan Pancasila
sebagai ideologi nasional itu adalah usaha menggeser
kedudukan agama. Saya ingin tegaskan bahwa anggapan
ini sama sekali tidak benar. Pancasila bukanlah tandingan
agama. Pancasila mendasari kehidupan kita bersama
dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bemegara yang tidak
mungkm diatur berdasarkan nilai-nilai suatu suku, suatu
agama, suatu ras atau golongan. Pancasila tidaklah mengatur
ha1 yang terdalam dalam hidup pribadi kita, seperti masalah
iman dan beribadat luta kepada Allah SWT, sebaliknya
Pancasila justru menjamin pengamalannya dengan sebaikbaiknya".

Kebebasan beragama yang bertanggung jawab


a
Pemerintah dan umat beragama bertanggung jawab dalam
pembinaan kehidupan beragama
Hendaklah didasari bahwa tanggungjawab pembinaan kehidupan beragama tidaklah semata-mata dipikulkan
pada bahu pemerintah. Umat beragama sendirilah yang
pertarna-tama dan terutama harus mernikul tanggung jawab
itu. Pemerintah lebih berperan sebagai kekuatan penunjang
dan memberikan kesempatan agar pelaksanaan ibadah dan
amal agama itu dapat berjalan dengan tenang dan tenteram.
Adalah tidak benar dan tidak pada tempatnya apabila
pejabat pemerintah mempersulit atau menghalang-halangi
kegiatan keagamaan. Hal ini tidak boleh te~jadidalam negara
kita yang berdasarkan Pancasila. Akan tetapi, sebaliknya,
alat-alat negara memang tidak boleh berdiam diri apabila
ada unsur-unsur yang menyalahgunakan keleluasaan beriba-

KOMNAS HAM

b.

D.

dah suatu agama dengan melakukan kegiatan yang dapat


menimbulkan keonaran dalam masyarakat.
Oleh karena itu, saling pengertian dan saling kerjasama antarpejabat pernerintah dan pemuka agama hendaknya terus dibina. Tanpa saling pengertian dan kerjasama antara kedua unsur itu, sukar dibayangkan untuk
berhasil terciptanya kebebasan beragama.
Pemerintahmemberidanmendorongtumbuhnya kehidupan keagamaan yang sehat
Terhadap agama dan kepercayaan terhadap Tuhan
YME, negara diwajibkan menjamin kemerdekaan tiap
tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya
itu. Karenanya, menjadi kewajiban pemerintah untuk memberi kesempatan dan mendorong timbulnya kehidupan
keagamaan yang sehat di negeri ini.

Menyikapi Tumbuhnya Berbagai Aliran Sempalan


Sesuai dengan Penetapan Presiden RI No. 1 tahun 1965 tentang
pencegahan penyalahgunaan dan atau menodaan agama, pasal 1:
"Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau
melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatankegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana
menylmpang dari pokok-pokok ajaran agama itu".
Selanjutnya pada penjelasan Penpres tersebut disebutkan: "Dengan kata-kata 'di muka umum' dimaksudkan apa yang diartikan
dengan kata itu dalam kita undang-undang hukum pidana. Agamaagama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia adalah Islam, Kristen,
Katholik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Kecuali agama-agama
tersebut mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh pasal29 ayat 2
UUD 1945, mereka juga mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan
seperti diberikan oleh pasal ini. Hal ini bukan berarti bahwa agamaagama lain, seperti Yahudi, Zaratustra, Shinto, Taoisme, dilarang di
Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti apa yang diberikan
oleh Pasal29 ayat 2 dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan

perundangan yang lain dan tidak menyimpang dari pook ajaran agama
tersebut.
E.

120 1

Langkah-langkah strategis dalam upaya memantapkan kerukunan


hidup umat beragama
Dewasa ini bangsa Indonesia sedang mengalami ujian berat
dengan adanya krisis multideminesionalyang berkepanjangan.Persoalanpersoalan bangsa dan umat beragama telah terganggu dengan terjadinya
konflik yang melanda beberapa wilayah antara lain NAD, Poso, dan
Ambon, yang apabila dibiarkan akan mengancam integrasi bangsa. Oleh
karena itu, pemantapan kerukunan umat beragama perlu diupayakan
dalam bentuk memperkuat dasar kerukunan internal dan antarumat
beragama. Semua elemen perlu membangun harmoni sosial dan persatuan
nasional dengan mendorong seluruh umat beragama untuk hidup rukun,
kebersamaan, dan toleransi. Semua pihak perlu menciptakan kehidupan
beragama yang kondusif dalam rangka memantapkan pendalaman
dan penghayatan agama serta pengamalan agama yang mendukung
bagi pembinaan kerukunan hidup intern dan antarumat beragama,
menempatkan cinta kasih dalam kehidupan umat beragama dengan cara
menghilangkan rasa saling curiga terhadap pemeluk agama lain sehingga
akan tercipta suasana kerukunan yang manusiawi serta menyadari bahwa
perbedaan adalah suatu realita dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh
sebab itu, hendaknya ha1 ini dijadikan mosak yang dapat memperindah
fenomena kehidupan beragama.
Adapunlangkah strategisyang hams diambildalammemantapkan
kerukunan hidup umat beragama, diarahkan kepada empat strategi yang
mendasar, yaitu:
1.
Para pembina formal, termasuk aparatur pemerintah dan para
pembina nonformal, yakni tokoh agama dan tokoh masyarakat
merupakan komponen penting dalam pembinaan kerukunan
antarumat beragama.
Masyarakat umat beragama di Indonesia yang sangat heterogen
2.
perlu ditingkatkan sikap mental dan pemahaman terhadap ajaran
agama serta tingkat kedewasaan berpikir agar tidak menjurus ke
sikap primordial.
Peraturan pelaksanaan yang mengatur kerukunan hidup urnat
3.
beragama perlu dijabarkan dan disosialisasikan agar bisa dimengerti
oleh seluruh lapisan masyarakat. Dengan dernikian diharapkan
KOMNAS HAM

4.

F.

tidak terjadi kesalahpahaman dalam penerapan, baik oleh aparat


maupun masyarakat, akibat adanya kekurangan informasi atau
salah pengertian diantara sesama urnat beragama.
Perlu adanya pemantapan h g s i terhadap wadah-wadah musyawarah antarumat beragama untuk menjembatani kerukunan antar umat
beragama. Dalam upaya memantapkan kerukunan hidup antarumat
beragama, ha1 yang cukup serius kita perhatikan, yaitu h g s i
pemuka agama atau tokoh agama atau tokoh masyarakat. Diakui
secarajujur bahwa masyarakat kita yang religius memandang bahwa pemuka agama atau tokoh masyarakat adalah figur yang dapat
diteladani dan dapat membirnbing, sehingga apa yang diperbuat
oleh mereka akan dipercaya dan diikuti secara taat dan loyal.

Kesimpulan dan Penutup


Dari paparan yang sangat sederhana di atas, dapat kami simpulkan sebagai berikut:
1.
Bahwa keanekaragaman suku, bangsa, adat istiadat, dan agarna
merupakan suatu kenyataanyang hams disyukuri sebagaikekayaan
bangsa. Di samping itu, pluralitas dapat mengandung kerawanan
yang dapat memunculkan konflik kepentingan antarkelompok
yang berbeda.
2.
Bahwa negara menjamin kebebasan bagi tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama
dan kepercayannya itu (Pasal29 ayat 2 ULTD 1945).
Bahwakebebasan
beragamayang dimaksudkanadalahkebebasan
3.
yang bertanggung jawab, mengikuti peraturan perundangan
yang berlaku.
Negara Indonesia adalah bukan negara teokrasi dan bukan
4.
negara sekuler.
Supaya hubungan intern dan antarumat beragama dengan
5.
pemerintah bisa berjalan dengan harmonis, diperlukan upayaupaya strategis dalam membina kerukunan umat beragama.

KOMNAS HAM

I 121

PERAN
PEMERINTAH
DALAM
PENEGAKAN
KEBEBASAN BERAGAMA
DAN BERKEPERCAYAAN
DI NTB
oleh: Lalu Mahfud

Pendahuluan

Kebebasan beragama merupakan bagian integral dari HAM. Kebebasan


beragama merupakan hak asasi warga negara Indonesia yang dilindungi
konsitusi negara, yaitu UUD 1945. Oleh karena itu, hak ini juga merupakan
hak sipil setiap warga negara yang hams dilindungi oleh negara.
Indonesia bukan negara agama (persisnya teokrasi Islam). Islam juga
bukan merupakan agama resmi negara, meski lebih dari 87 persen penduduk
Indonesia memeluk agama Islam. Sebaliknya,kini ada enam agama yang diakui
negara setelah Khonghucu belum lama ini juga diakui pemerintah. Sebelumnya
ada lima agama yang diakui negara, yaitu Islam, Katholik, Protestan, Hindu,
dan Buddha.
Kebebasan beragama diyakini sebagai salah satu hak dasar yang secara
kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng. Oleh
karena itu, hak ini harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh
diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.
Meskipun demikian, kebebasan beragama yang bertanggung jawab,
harus dijalani oleh setiap manusia tanpa perlu adanya komitmen bersama untuk
melaksanakannya. Sebab itulah ciri manusia beragama, makhluk Tuhan yang
mampu mengetahui antara yang hak dan kewajiban yang hams dilakukannya.
Kebebasan yang bertanggungjawab adalah kebebasan yang tidak menimbulkan
kemgian atau kecelakaan bagi orang lain, sekaligus menghargai dan melindungi
kebebasan yang bertanggung jawab, termasuk adalah kebebasan beragama.
Kebijakan Pemerintah tentang Kebebasan Beragama

Kebebasan beragama di dalam negara RI telah diatur dalam peraturan


pemndang-undangan, sebagaimana tercantum dalam Pasal28E ayat 1 dan 2 dan
Pasal 29 ayat 2 UUD 1945. Hak atas kebebasan beragama adalah sah karena
sesuai dengan perintah konstitusi.
Kebebasan beragama merupakan salah satu hak yang paling asasi
di antara hak-hak asasi manusia karena kebebasan beragama itu langsung
bersumber kepada martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Kebebasan beragama bukan pemberian negara atau pemberian golongan.
Memahami tafsiran-tafsiran paham kebebasan beragama di Indonesia,
ada empat dasar normatif yang dijadikan acuan hubungan agama dan negara di
Indonesia,pertama, diakui bahwa Indonesia adalah negara berdasarkan Ketuhanan
YME. Pandangan ini merupakan pengakuan bahwa negara tidak menganut suatu

pandangan teologis tertentu, apalagi pengakuan atas suatu bentuk ritual dan
ekspresi simbolik keagamaan. Fungsi Pancasila hanyalah common platform (titik
temu) dari berbagai ekspresi keagamaan yang ada dan hidup di Indonesia.
Kedua, negara menjamin kemerdekaan beragama. Pengakuan ini
merupakan pengakuan atas martabat manusia. Karena itu, kemerdekaan beragama
bukan pemberian, tetapi ia merupakan sesuatu yang inheren dalam kemanusiaan
seseorang yang hams diakui keberadaaannya. Menghargai kebebasan beragama
berarti menghargai martabat kemanusiaan seseorang. Negara tidak berhak
memaksakan suatu paham, baik dalam ha1 keyakinan, pelaksanaan ibadah, maupun
pilihan kelembagaan agama.
Ketiga, negara berkewajiban melayani kehidupan beragama warga
negaranya secara adil tanpa diskriminasi. Di sini, tuntutan moral kepada negara
adalah memberikan dorongan kepada semua agama yang ada untuk tumbuh dan
berkembang, sehingga agama-agama yang ada bisa menjadi kekuatan legitimatif
sekaligus bisa menjalankan fungsi kritisnya dalam kehidupan bermasyarakat dan
bemegara di Indonesia ini, hingga tumbuhlah religiusitas dalam masyarakat.
Negara sebenarnya tidak bertanggung jawab atas perkembangan
religiusitas masyarakat, karena ha1 itu adalah tanggung jawab setiap agama.
Tetapi negara wajib mendorongnya. Di satu segi negara hams melayani
agama-agama untuk pertumbuhan religiusitasnya, di sisi lain negara tidak
boleh mencampuri masalah-masalah intern keagamaan umat beragama.
Pemerintah sangat berkepentingan dengan pembangunan kehidupan
beragama. Akan tetapi tidak berarti bahwa pemerintah akan mencampuri masalah
intern keagamaan, baik yang menyangkut keyakinan, pemahaman, maupun
ajaran agama. Peran pemerintah dalam ha1 ini hanya memberikan pelayanan dan
fasilitas agar kegiatan keagamaan berjalan dengan aman dan tenteram.
Terhadap pembinaan kehidupan beragama, tanggung jawab tidak
serta-merta dipikul secara penuh oleh pemerintah. Umat beragama menjadi
ujung tombak pertama dan terutama yang memikul tanggung jawab itu.
Pemerintah memosisikan dirinya sebagai kekuatan penunjang dan memberikan
kesempatan agar pelaksanaan ibadah masing-masing beragama berjalan
dengan semestinya.
Ada dua ha1 pokok yang perlu dicermati menyangkut pembangunan
di bidang agarna, yaitu adanya peningkatan pernahaman, pengamalan, dan
pelayanan keagamaan kepada masyarakat. Dengan adanya peningkatan
pemahaman, maka masyarakat akan didorong untuk meningkatkan wawasan
keberagamaannya dari sekedar ritual dan seremonial kepada pemahaman
agama sebagai landasan moral dan etos kerja. Dengan peningkatan pemahaman

itu, masyarakat akan dilepaskan dari pemahaman agama yang simbolik semata
menjadi pemahaman agama yang substansi. Pada tataran tersebut, pola
kehidupan masyarakat yang majemuk tidak menjadi hambatan bagi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Peningkatan pelayanan oleh pemerintah terhadap kehidupan keagamaan
akan mendorong masyarakat untuk memeroleh pemberdayaan. Umpan baliknya
adalah masyarakat menjadi bersikap proaktif terhadap program pembangunan.
Tugaskedua pembangunan bidang agama adalahmenciptakankemkunan
hidup urnat beragama. Kerukunan hidup umat beragama berarti perihal hidup
mkun, yaitu hidup dalam suasana baik dan damai, tidak bertengkar, bersatu
hati dan bersepakat antammat yang berbeda-beda agamanya, atau antaraumat
dalam satu agama.
Pemerintah dan masyarakat berkewajiban membangun kemkunan
hidup umat beragama melalui profesi masing-masing. Pemerintah bertugas
mempersiapkan sarana dan fasilitas untuk mendukung gerakan menuju
kehidupan yang mkun ini. Lebih dari itu, pemerintah berkewajiban
untuk mengintegrasikan pesan-pesan kemkunan terhadap setiap program
pembangunan. Tokoh masyarakat hendaknya tems memelihara kearifan
lokal yang hidup dan berkembang di dalam setiap aktifitas masyarakat karena
dengan cara itulah, secara turun-temurun, dapat mewujudkan kerukunan sosial
itu sekalipun berbeda agama maupun etnis.
Potret Kehidupan Beragama di NTB

Secara geografis, wilayah NTB terdiri dari dua pulau besar, yaitu Pulau
Lombok dan Pulau Sumbawa. Selain itu juga dikelilingi ratusan pulau kecil,
di antara pulau-pulau kecil yang terkenal adalah Gili Air, Gili Meno, dan Gili
Trawangan yang menjadi daerah tujuan wisata terkenal di propinsi ini.
Luas wilayah keseluruhan adalah 49.320 km2, terdiri atas daratan 20.153,07
km2 dan lautan 29.159,04 km2. Dua pulau besar, yaitu pulau Lombok memiliki
luas wilayah daratan 4.738,70 km2 (23,51%) dan Pulau Surnbawa 15.414,37 km2
(76,49%). Propinsi ini secara administatif dibagi atas sembilan wilayah kabupatenl
kota, yaitu Kota Mataram, Kab. Lombok Barat, Kab. Lombok Tengah, Kab.
Lombok Timur, Kab. Sumbawa Barat, Kab. Sumbawa, Kab. Dompu, Kab. Bima,
dan Kota Bima Pulau Lombok memiliki posisi yang strategis, yang secara geogmfis
di dalamnya terletak kota Mataram sebagai ibukota propinsi.
Penduduk propinsi NTB berdasarkan data 2005 berjumlah 4.084.409 jiwa.
Berdasarkan perhitungan data statistik penduduk menurut umur, penduduk di

propinsi ini tergolong penduduk usia muda. Dilihat dari segi persebaran penduduk,
Pulau Lombok merupakan wilayah yang paling padat penduduknya disertai dengan
tingkat keragaman etnis yang relatif besar. Besarnya tingkat keragaman etnis itu
tidak hanya karena faktor irnigran dari Jawa, Bali, Sulawesi ataupun pulau lainnya,
melainkan lantaran masyamkat NTB sendiri terdiri atas berbagai etnis yang cukup
besar. Di antara suku-suku yang terkemuka, yaitu suku Sasak, Sumbawa, Bima,
Dompu, dan Mbojo. Di antara suku-suku tersebut, suku Sasak merupakan suku
mayoritas di Lombok dan merupakan suku asli pribumi.
Dilihat dari prosentase komposisi penduduk berdasarkan agama,
sebagian besar penduduk di propinsi NTB mayoritas beragama Islam, yaitu
3.942.066 jiwa (96,5%). Sejumlah 10.541 jiwa (0,26%) memeluk agama
Protestan, 9.498 jiwa (0,23%) pemeluk Katholik, 107.519 jiwa (2,63%)
beragama Hindu, serta pemeluk Buddha berjumlah 14.386jiwa (0,35%). Dari
prosentase tersebut diketahui mayoritas penduduk di propinsi ini beragama
Islam dan hampir menyebar merata di seluruh wilayah.
Potret kehidupan beragama di NTB tergolong baik karena masingmasing agama bisa melaksanakan agamanya dengan baik tanpa hambatan dan
gangguan pihak lain. Kerukunan hidup antarumat beragama bisa tenvujud
dengan baik walaupun dalam skala kecil pernah terjadi konflik antarumat
beragama.
Secara objektif, kondisi kerukunan di tengah masyarakat NTB
tergolong baik. Hubungan antarumat beragama bisa berjalan baik dan di
kalangan tokoh agama juga terjalin dialog. Islam sebagai agama mayoritas di
daerah ini, pemeluknya mampu memelihara k e h n a n dengan menghargai
umat lain yang minoritas. Dengan berbagai kegiatan sosial, mulai dari tingkat
desa hingga propinsi, hubungan umat beragama bisa terpelihara dengan baik.
Disadari atau tidak, keberhasilan dalam membangun kerukunan di daerah ini
disebabkan adanya kemauan saling menghargai antarpenganutagama yang satu
dengan lainnya. Karena adanya keyakinan bahwa semua agama mengajarkan
perdamaian yang akan menuju pada kerukunan.
Yang tak kalah pentingnya adalah kesadaran di tengah masyarakat
bahwa lewat pemahaman keagamaan yang baik, maka tumbuhlah nilai-nilai
kearifan dan norma kerukunan di tengah masyarakat. Selain dari sumber
ajaran agama, nilai-nilai kearifan dan norma kerukunan yang terbina di
tengah masyarakat NTB selama ini didukung oleh faktor budaya masyarakat,
yang mengutamakan nilai-nilai kerukunan, yang diwujudkan dengan saling
menghargai dan menghormati, bisa menerima perbedaan pendapat dan bisa
melakukan musyawarah agar tidak sampai terjadi konflik antarsesama.

Kebebasan Beragama di NTB


Negara hams melindungi setiap orang atas agama yang dipeluknya
maupun dalam menjalankan kegiatan ibadahnya. Dan tidak seorang pun boleh
dirampas untuk memeluk suatu agama atau kepercayaannya. Dalam hak-hak
asasi manusia, salah satunya hak atas kebebasan beragama, termasuk dalam
kategori hak-hak yang tidak boleh ditunda atau dikurangi pemenuhannya,
bukan saja dalam keadaan damai bahkan dalam keadaan perang sekalipun.
Memeluk suatu agama dan menjalankan ibadah adalah hubungan seseorang
dengan Tuhannya.
Tak hanya komunitas internasional saja yang memerintahkan perlindungan
hak atas kebebasan beragama tersebut, tetapi juga dilindungi oleh konsitusi NKRI
sebagaimana tercantum dalam Pasal28E ayat 1 dan 2 dan Pasal29 ayat 2 UUD
1945.. Hak atas kebebasan beragama adalah sah karena sesuai dengan perintah
konstitusi.
Dengan menggunakan dasar konstitusi, setiap orang berhak memeluk
suatu agama sesuai dengan keyakinannya. Dengan konstitusi pulalah negara
wajib melindungi setiap pemeluk agama tanpa membeda-bedakan seseorang
dengan lainnya. Pemerintah dan aparat penegak hukum hams dioperasikan
sesuai dengan konstitusi. Begitu pula apa yang tejadi di daerah NTB,
pemerintah memberikan kesempatan yang luas bagi seluruh penganut agama
untuk menjalankan ajaran agamanya, tanpa ada kekhawatiran akan diusik oleh
penganut agama lain.
Meskipun demikian, kadang tejadi persinggungan antarintern umat
beragama, seperti tejadi pada kelompok Salafi. Persinggungan terjadi lebih
disebabkan karena adanya perbedaan pemahaman terhadap ajaran agama dan
cara mengamalkannya. Khusus mengenai Jemaat Ahrnadiyah, selama kurang
lebih 20 tahun terakhir, masyarakat di daerah ini tidak menerima keberadaan
Jemaat Ahmadiyah karena ajarannya dianggap melenceng dari Islam. Hal ini
diperkuat oleh Keputusan Munas I1 MU1 pada 1980jo. Keputusan Fatwa MU1
No. 11/MunasVIIMUI/15/2005 tentang Aliran Ahmadiyah, yang menetapkan
bahwa aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta
orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam).
Menyikapi ha1 tersebut, rapat Muspida NTB tanggal 25 Maret 2006
mengusulkan kepada pemerintah agar organisasi dan ajaran Ahmadiyah
dilarang hidup dan berkembang di wilayah NTB. Keputusan yang diambil
oleh Muspida ini lebih ditekankan pada terciptanya keamanan dan ketertiban

di wilayah NTB. Pemerintah bukannya tidak melindungi Jemaah Ahmadiyah,


perlindungan yang diberikan kepada Jemaat Ahmadiyah terlihat dari
ditempatkannya Jemaah Ahmadiyah dalam wilayah khusus yang diberikan
pengamanankhusus pula. Hal ini dikarenakanmasyarakat tidak dapat menerima
keberadaan Jemaat Ahmadiyah di wilayah mereka. Berkaitan dengan ha1 ini,
ketertiban dan keamanan di tengah masyarakat menjadi pertimbangan khusus
Pemda, yakni dengan mengusulkan kepada pemerintah Pusat agar organisasi
dan ajaran Ahmadiyah dilarang dan berkembang di wilayah NTB.

BAGIAN KEDUA

KOMNAS HAM

1 131

Kk

ebebasan Beragama dan berkepercayaan di Indonesia menjadi


persoalan penting satu-dua tahun belakangan ini, tindakan
ekerasan atas nama agama dari satu kelompok masyarakat
tertentu terhadap kelompok masyarakat lain terjadi, sehinggaterjadi pengusiran,
penutupan secara paksa terhadap rumah yang telah biasa digunakan sebagai
tempat ibadah oleh kelompok masyarakat yang berlainan agama. Di samping
itu masih ada umat beragama yang belum dilayani oleh Departemen Agama.
Penghayat Kepercayaan yang hak-hak sipilnya belum dilayani. Hal ini
menunjukkan negara belum dapat menjalankan apa yang diamanatkan oleh
konstitusi dan perundang-undangan secara maksimal.
Berangkat dari kasus-kasus yang ada, setidaknya ada tiga tema yang
menjadi pokok bahasan: pertama, relasi antara negara dengan agama; kedua,
sejauh mana negara dapat ikut mengatur ranah keagamaan; ketiga, bagaimana
peran yang seharusnya dimainkan masyarakat agar tercipta sikap saling
menghormati dan menghargai antarpemeluk agama?
Ketiga tema di atas menjadi pokok bahasan Seminar dan Lokakarya
berseri yang diselenggarakan Kompas HAM di enam kota, yaitu Pangkal
Pinang, Makassar, Mataram, Surabaya, Palu, dan Jakarta. Acara ini ditujukan
untuk membangun pemahaman yang sama mengenai konflik horisontal yang
bernuansa agama. Acara ini juga mencoba memberikan penyadaran terhadap
aparat pemerintah dan masyarakat atas kenyataan bahwa di Indonesia hidup
tidak hanya enam agama saja, tapi juga agama dan kepercayaan lainnya,
seperti Tao, Baha'i, Sikh, Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Sunda
wiwitan, dan sebagainya. Sen semiloka ini juga diharapkan berkontribusi
untuk menjawab tantangan penegakan dan perlindungan HAM, khususnya
kebebasan beragama atau berkepercayaan di Indonesia.
Acara ini mengundang para pemuka agama dan kepercayaan (Islam,
Kristen, Katollk, Hindu, Buddha,Khonghucu, Baha'i, Sikh,agama dan kepercayaan
lainnya), organisasi lintasagama, serta aparatur pemerintah (Departemen Dalam
Negeri, Departemen Agama, Kejaksaan Negeri, Pengadilan Negeri, Departemen
Hukum dan HAM, Pemerintah Daerah, kepolisian, dan Kantor Catatan Sipil).
Rangkaian acara ini melahirkan banyak catatan, terutama dialog
antarpeserta dan narasumber yang terlalu penting untuk diabaikan, walaupun
tidak bisa semuanya dapat ditampilkan. Bagian ini bermaksud memotret proses
diskusi dan dialog yang berkembang antara peserta dan narasumber.

Pangkal Pinang: Dari definisi Agama Sampai Atheisme


Dalam acara di Pangkal Pinang yang diselenggarakan 26 Mei 2006,
KOMNAS HAM

133

bertindak sebagai narasumber adalah Chandra Setiawan dari Kornnas HAM,


Siti Musdah Mulia dari ICRP, dan Mulyadi Hazairin dari Kantor Wilayah
(Kanwil) Departemen Agama (Depag) Propinsi Bangka Belitung. Berikut
adalah tanya-jawab yang berlangsung antara peserta dengan narasumber yang
berkembang mulai dari definisi agama sampai atheisme.

Peserta 1:
Apadefinisi agama?Penanyajugatertarikpemaparanmengenaidogmatisme
agama. Bagaimana praktek agama yang lebih baik tanpa meninggalkan dogma?
Musdah:
Definisi agama hams disesuaikan dengan penghayatan masingmasing. Menurut pemakalah pribadi, agama adalah seperangkattuntunan
yang mampu menjinakkan hal-ha1 yang liar di dalam diri manusia.
Apabila ada manusia yang menyatakan bahwa dirinya beragama, maka
ia hams mempunyai kemampuan menjaga relasinya dengan sesama
manusia. Dewasa ini banyak orang yang memperlihatkan dirinya
beragama, namun hanya melaksanakan relasi dengan Tuhan tanpa
memedulikan relasi sosial dengan manusia lainnya.
Tidak semua ajaran kemanusiaan berdasarkan dogmatisme dan
ajaran agama tidak dapat dijadikan alasan untuk menghalangi relasi
manusia dengan manusia lainnya. Di dalam agama terdapat fungsi
integratif, namun di dalam realitas sosial justru fungsi disintegratif yang
lebih menonjol. Hal inilah yang menjadi persoalan di dalam masyarakat
kita. Di dalam masalah sekte-sekte, memang menjadi sebuah kewajaran
jika seorang penganut agama menginginkan penganut lainnya seperti dia.
Maka timbul pandangan bahwa orang lain kafir karena beragama lain.
Pendapat-pendapat yang menghakirni agama lain seharusnya dikikis.
Agama sudah bercampur dengan masalah politik. Kondisi
ini mengakibatkan konflik-konflik sosial bernuansa agama, bahkan
antarumat di dalam agama yang sama dengan memberikan stigma
negatif terhadap aliran lain. Di Indonesia, kasus yang masih hangat
adalah perusakan dan pengusiran terhadap masjid dan rumah Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang dinyatakan Majelis Ulama Indonesia
(MUI) sebagai aliran yang sesat. Padahal vonis sesat atau lurusnya
sebuah ajaran agama adalah hak prerogatif Tuhan.
Untuk mengatasi ha1 ini, penting untuk membangun pendidikan
agama tanpa mengangkat simbol-simbol agama. Meski ha1 ini tidak

134 1

KOMNAS HAM

mudak-karena agama diajarkan secara formal-namun ha1 itu bukan


mustahil untuk dilakukan.Pengajaran agama harus kritis danrasional.Untuk
itu, kita harus memulai dengan mendekonstruksi budaya feodal, intoleran,
dan eksklusif. Negara juga hams memberikan koridor bagi perlindungan
seluruh agama melalui peratwan-peraturan (tanpa memasukkan unsurunsur politik), serta membangun apa yang disebut mutual understand'ig
di dalam masyarakat.
Peserta 2:
Bagairnana dengan aksi sebagian anggota masyarakat yang membatalkan
pendirian tempat ibadah umat Hindu di Sumatera Barat? Komnas HAM perlu
memberikan penyadaran di Sumatera Barat mengenai pluralisme.
Chandra:
Keputusan Bersama Menteri Agama (Menag) dan Menteri Dalam
Negeri (Mendagri) No. Ol/Ber/Mdn-Mag11969 seolah-olah memberikan
kewenangankepada masyarakatuntuk melakukan tindakan tertentu dalam
pendirian tempat ibadat agama lain. Aturan itu kini sudah diganti dengan
Peraturan Bersama Menag dan Mendagri Nomor: 91 8 tahun 2006 yang
menanggungkan kewajiban kepada pemerintah jika syarat dukungan dari
sebanyak 60 orang dari warga setempat tidak terpenuhi.
Mulyadi:
Benturan antarumat dalam pendirian rumah ibadah tidak akan
terjadi jika masing-masing pihak menuruti aturan mainnya. Ketika
tempat ibadah didirikan oleh umat yang lokasi tempat tinggalnya
berada di luar lingkungan rumah ibadah itu, maka pemerintah hams
turun tangan mengatur masalah ini.
Peserta 3:
Bagaimana keberadaan orang tidak beragama atau atheisme di
Indonesia?
Chandra:
Dalam perspektif HAM tidak ada masalah apakah seseorang
itu menganut atau tidak menganut agama apapun. Penganut atheisme
seharusnya diijinkan hidup di Indonesia sepanjang tidak mengganggu
kebebasan beragama dan berkepercayaan orang lain.

KOMNAS HAM

( 135

Mulyadi:
Keharusan memiliki agama diwajibkan oleh undang-undang.
Menganut agama juga berdampak pada pengaturan kehidupan orang
itu sendiri, misalnya mengenai warisan dan sebagainya.
Peserta 4:
Apa langkah Komnas HAM berkaitan dengan pendidikan agama bagi
nonmuslim di sekolah yang rata-rata muridnya muslim?
Chandra:
Pendidikan agama merupakan hak bagi siswa yang ingin
mempelajarinya. Jaminan itu makin dikuatkan ketika pemerintah
Indonesia meratifikasi Kovenan Internasional Hak Sip01 dan Kovenan
Internasional Hak Ekosob yang di dalamnya terdapat perlindungan atas
hak untuk memperoleh pendidikan.
Walaupun ada ketentuan sekolah wajib memberikan pendidikan
agama bagi semua muridnya, tetapi jika memang jumlah muridnya tidak
signifikan, maka hams dimaklumi bila sarana pendidikan agama tidak
disediakan. Hal itu tidak berarti bahwa sekolah itu dapat melarang muridnya
belajar agama di luar sekolah. Pemerintah wajib menyediakan guru agama
itu, clan bukan sekolahnya.
Peserta 5:
Bagaimana mewujudkan mutual understanding di dalam masyarakat?
Musdah:
Upaya terbaik adalah membangun kesepahaman di antara umat
beragama itu sendiri. Musdah menyatakan ha1 itu tidak mudah, tetapi tetap
hams dilakukan. Bahkan sudah ada sekolah yang dipimpin oleh Chandra
Setiawan (Il3II Jakarta, ed) yang menyediakan kelas-kelas untuk mempelajari
berbagai agama Hal ini dilakukan untuk memunculkan kesadaran bagi
mahasiswanya untuk memahami agama lainnya dengan membuang
stereotipe yang suclah tertanam sebelumnya. Penulis berharap ada follow
up setelah acara serniloka untuk membangun agama yang berguna bagi
kemanusiaan. Penulis juga berharap Forum Kerukunan Umat Beragama
menjaga kemurniannya. Pembentukan FKUB bukan suatu tindakan politk
sementara serta digunakan untuk kepentingan politik praktis.

Peserta 6:
Mengapa ketika terjadi tindakan anarkis oleh sekelompok anggota
masyarakat, negara tidak menjadi wasit, bahkan seolah-olah berpihak pada
pelaku tindakan anarkis ini? Apa yang dilakukan Komnas HAM dalam kasus
semacam ini?
Chandra:
Pemerintah terkadang bersikap "banci" dengan tidak melakukan
proses hukum pada pelaku pelanggar hukum. Komnas HAM sendiri sudah
berulang kali mendesak pemerintah untuk menindak pelakunya sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku. Komnas HAM sudah berulang
kali membenkan penyuluhan kepada pihak kepolisian untuk memberikan
perlindungan hukum dan penegakkan proses hukum kepada para pelaku
tindakan anarkis atas nama agama.
Makassar: dari Pembiaran Negara sampai Fatwa MU1
Seminar yang diselenggarakan di Makassar, 14 Juli 2006, ini dihadiri
oleh sekitar 100 orang peserta. Pembahasan berkisar pada beberapa persoalan
kunci, mulai dari pembiaran aparat pemerintah terhadap aksi anarkisme sampai
wacana HAM versus agama.
Selain Chandra Setiawan dari Komnas HAM, narasumber lain dalam
acara ini adalah Umar Haris dari Kantor Depag Sulawesi Selatan dan Qasim
Mathar dari Universitas Islam Negeri Makassar. Di samping itu ada peserta
yang cukup aktif, yaitu Muhammad Dahlan Yusuf dari penvakilan MUI.
Berikut rekaman dialog antara peserta dan narasumber yang berlangsung.
Peserta 1:
Pihak kejaksaan dan kepolisian telah melakukan pelanggaran atas
kebebasan beragama. Contohnya kasus Ahmadiyah di Bulukumba dan Jeneponto
(Sulsel), kasus kristenisasi di Kajang, dan kasus sholat bersiul. Pada kasus-kasus
itu kepolisian menggantung masalah, contohnya dalam kasus Ahmadiyah pihak
aparat menyegel tempat Ahrnadiyah, karena ada unjuk rasa dari sejumlah anggota
masyarakat. Di Bulukumba, Bupati memimpin sendiri penyegelan mesjid dan
rumah Ahmadiyah serta rumah orang yang dituduh melakukan kristenisasi.
Pada kasus sholat bersiul, polisi bahkan langsung menangkap pihak-pihak yang
dianggap pelaku.
Apa yang dilakukan aparat menjadi aneh karena tindakan terlarang
dalam aturan nasional adalah memaksakan suatu agama kepada orang lain,
KOMNAS HAM

1 137

sedangkan kedua korban di atas tidak pernah melakukan pemaksaan yang


dimaksud. Setelah tempat ibadah mereka disegel, penyelesaian atas kasuskasus itu pun tidak jelas. Bagaimana sebenarnya wewenang pemerintah dan
kepolisian dalam melindungi kebebasan beragama dan berkepercayaan ini.
Apa yang sudah dilakukan Depag dalam menanggapi kasus-kasus seperti ini.
Umar Haris:
Dalam kasus Bulukumba, Depag tidak turut serta dalam penentuan
kebijakan pemerintah daerah. Namun hams dilihat bahwa ha1 itu bukan
pemaksaan agama, tetapi merupakan pendidikan agar yang bersangkutan
dapat membaca A1 Qur'an. Perm Depag diarahkan untuk melaksanakan
tugas pokoknya, yaitu memberikan pengayoman, pembimbingan, dan
memberikan petunjuk bagi umat beragama untuk melaksanakan agamanya
Tidak ada upaya Depag untuk melecehkan agama tertentu.
Peserta 2:
Apakah fatwa MUI-yang menyatakan Ahmadiyah adalah aliran sesat
dan meminta pemerintah membubarkan Ahmadiyah-telah melanggar HAM?
Mengapa Komnas HAM membiarkan MUI mengeluarkan fatwa? Bagaimana
keberadaan Amidhan-salah
satu Ketua MUI-sebagai anggota Kornnas
HAM?
Chandra:
Komnas HAM tidak masuk ke dalam substansi suatu ajaran
agama. Komnas HAM hanya melakukan pemantauan dan ikut serta
memberikan perlindungan terhadap hak beragama setiap orang di
Indonesia. Komnas HAM tidak bisa menyatakan suatu ajaran agama
itu sesat atau tidak. Untuk kasus Ahrnadiyah, Komnas HAM telah
melakukan penyelidikan dan membuat pernyataan pers yang mengutuk
tindakan penyerangan terhadap Ahmadiyah. Komnas HAM juga telah
mengirimkan surat kepada Presiden dan aparat terkait atas kasus
Ahmadiyah.
Fatwa MUI itu tidak legal binding. Jadi MU1 mempunyai hak untuk
mengeluarkan fatwa tersebut. Aparat pemerintah seharusnya bertindak
sesuai dengan aturan yang menjunjung tinggi HAM. Tentang Amidhan yang
menjadi anggota Komnas HAM, dia dipilih oleh DPR melaluifit andpropert
test. Keanggotaan Amidhan &lam Komnas HAM tidak perlu diiawatirkan
karena apabila ada pandangan Amidhan yang bertolak dengan HAM tidak

138

1 KOMNAS HAM

akan memengaruhi pendapat 19 anggota Kornnas HAM lainnya.


Muhammad Dahlan Yusuf:
MU1 ditugaskanpemerintah untuk membuat fatwa. Kewenangan
untuk melaksanakan fatwa tersebut ada di tangan pemerintah. MU1
sendiri tidak benvenang memaksakan pelaksanaan fatwanya. MUI
mewakili umat Islam untuk berhubungan dengan pemerintah. Jadi tidak
betul apabila MU1 yang disalahkan saat MU1 membuat fatwa, karena
memang ada Majelis Fatwa di dalam MU1 yang terdiri dari ulamaulama besar yang bertugas mengkaji kitab-kitab.
Qasim Mathar:
Masalah penyesatan oleh MUI hams diteliti iagi. Apa yang
seharusnya dikritisi adalah materi dari fatwa MUI, bukan mengkntisi
kewenangan MUI dalam membuat fatwa. MU1 seharusnya juga
mempelajari ucapan Rasul yang melarang orang menyerang orang lain,
rnisalnya tindakan sekelompok warga yang menyerang Ahmadiyah,
padahal Ahmadiyah sendiri tidak melakukan tindakan yang merugkin
masyarakat.
Peserta 4:
Ada konflik antara wacana HAM dan agama. Agama adalah aturan dari
Tuhan, sedangkan DUHAM mempakan buatan manusia. Menumt DUHAM
seseorang bisa berpindah agama, padahal Tuhan melarang umat-Nya berganti
agama, karena jika ha1 itu dilakukan, maka orang itu menjadi kafir dan masuk
neraka. Sehamsnya HAM mengkaji kewajiban asasi manusia, bukan hanya dari
segi haknya saja.
Chandra:
Menganut agama mempakan hak seseorang. Hak ini tetap
dibatasi kewajiban berupa keharusan menghormati kebebasan beragama
dan berkepercayaan orang lain. Kebebasan beragama mempakan hakhak yang tidak dapat dihapus dan ditunda pemenuhannya termasuk hak
untuk berpindah agama.
Peserta 5:
Mengapa bisa muncul peraturan daerah (perda) yang mengatur urusanurusan privat, misalnya kemampuan seseorang membaca A1 Qur'an dijadikan

ukuran untuk kenaikan pangkat?

Muhammad Dahlan Yusuf:


Gubemur Sulawesi Selatan memang sedang melaksanakan program
memberantas buta aksara A1 Qur'an. Hal ini dilihat dari akibatnya adanya
ketidakpahaman urnat Islam terhadap isi A1 Qur'an, terbukti dengan adanya
berbagai aliran sesat di Indonesia.
Peserta 6:
Apa langkah yang dilakukan Depag dalam menangani konflik antarumat
beragama? Komnas HAM mestinya melakukanjemput bola dalam mengupayakan
perlindungan HAM di Indonesia, tidak hanya bertindak sebagai pemadam
kebakaran saja. Komnas HAM juga seharusnya melakukan pengkajian atas semua
aturan yang melanggar HAM. Kornnas HAM sebaiknya tidak berlindung di balik
keterbatasan kewenangannya sebagaimana diatur UU.
Umar Haris:
Penulis tidak melihat kodik sosial yang terjadi selama ini sebagai
masalah agama. Kodik-kodik itu lebih kental unsur pidananya. Oleh
karena itu, Depag tidak benvenang mengurus konflik tersebut. Tentang
penutupan rumah ibadah, sebagai pengayom seluruh umat beragama,
Depag sendii tidak membenarkan tindakan ini.
Chandra:
Sejak awal Komnas HAM sudah menyatakan SKB 2 Menteri
Tahun 1969 itu potensi membuat masyarakat melanggar HAM dan
Pemerintah terlibat di dalamnya. Sedangkan Peraturan Bersama Menag
dan Mendagri yang belum lama ini dikeluarkan hams dipandang
bersifat sementara mengisi kekosongan hukum. Apabila hendak
membatasi kebebasan di dalam melaksanakan agama atau kepercayaan
haruslah dibuat terlebih dahulu W yang tidak melanggar HAM. Dalam
kenyataan kewenangan Komnas HAM memang sebatas memberi
rekomendasi kepada Pemerintah maupun DPR agar Undang-Undang
yang dihasilkan tidak bersifat diskriminatif dan tidak bertentangan
dengan UU 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Peserta 7:
Tindakan FPI hams dilihat secara utuh. Penulis tidak setuju dengan

140

1 KOMNAS HAM

tindakan anarkis, tetapi juga hams dilihat soal penegakan hukum atas para
pedagang minuman keras.
Chandra:
Kebebasan juga mempunyai batasan, yaitu tidak mengganggu
kebebasan orang lain. Aktivitas FPI jelas diijinkan, namun saat aktivitas
tersebut merusak atau mengganggu kebebasan orang lain, maka aktivitas
itu hams dilarang.
Qasim:
Seandainya pun mereka punya alasan atas tindakan itu, apakah
kemudian ha1 itu memberikan kewenangan bagi kelompok itu untuk
bertindak anarkis? Jelas, tindakan anarkis tersebut tidak dibenarkan AlQuran .
Peserta 8:
Penulis dari perwakilan agama Hindu menanyakan soal kebebasan
memilih agama bagi anak-anak yang belum mampu menentukan pilihan secara
matang. Apakah tidak lebih baik ditetapkan saja agama seseorang sesuai
dengan agama orang tuanya?
Chandra:
Awalnya memang orang tua atau wali yang sah berhak menjamin
pendidikan agama bagi anaknya sesuai dengan agama orangtuanya.
Namun memang setelah dewasa orang tersebut berhak memilih
agamanya.
Qasim:
Pikiran dari seseorang tidak dapat dibatasi, karena pikiran
itu adalah pemberian Tuhan sendiri untuk membedakan manusia
dengan mahluk lainnya. Namun di dalam Islam sendiri memang ada 3
pendapat mengenai pembatasan pikiran ini, yaitu: (i) tidak mengijnkan
perkembangan pemikiran; (ii) mengijinkan perkembangan pikiran
sesuai jaman; (iii) mengijinkan namun hams ada batas yang tegas. la
memberikan contoh, saat seorang sahabat Rasul yang mempunyai anak
yang ingin pindah agama, Rasul menerima ayat yang mengajarkan
bahwa "tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam".

KOMNAS HAM

141

Mataram: Pertentangan tentang Ahmadiyah Mendominasi


Di Mataram, pembahasan seminar yang diselenggarakan 11 Agustus
2006 itu lebih banyak didominasi oleh pro dan kontra mengenai Ahmadiyah.
Dalam seminar yang dihadiri sekitar 150 orang itu menghadirkan Akmaludin
dariKanwi1Depag NusaTenggaraBarat (NTB), Lalu Arpan dari Kesbanglinmas
Kabupaten Lombok Barat (Lobar), Siti Musdah Mulia dari ICRP yang juga
staf ahli Menag, dan Chandra Setiawan dari Komnas HAM.
Berikut rekaman dialog antara peserta dan narasumber yang berlangsung.
Peserta 1:
Pernyataan Akrnaludin dari Kanwil Depag tidak netral dan menjadikan
fatwa MU1 sebagai dasar hukum. Jika Ahmadiyah dianggap melanggar hukum
seharusnya sudah dibawa ke pengadilan. Putusan Pengadilan Negeri Mataram
adalah NO (tidak diterima), artinya bukan menolak gugatan, tetapi menyatakan
bahwa gugatan Ahmadiyah melalui Pengadilan Negeri Mataram tidak tepat,
lebih tepat apabila diajukan kepada Mahkamah Agung.
Akmaludin:
Fatwa MU1 menjadi pedoman pengambilan kebijakan mengenai
Ahmadiyah karena MU1 adalah partner kerja Depag. MUI sebetulnya
tidak terlalu ekstrim terhadap Ahmadiyah. Fatwa MU1 tersebut lebih
mempakan ajakan untuk kembali ke jalan yang tidak menyimpang. Di
dalam agama Islam memang banyak sekali pendapat yang berbeda,
namun di dalam penelitian Depag ditemukan bukti bahwa ajaran
Ahmadiyah berbeda dengan ajaran Islam yang sehamsnya. Oleh karena
itu, jika Ahmadiyah masih ingin dinyatakan sebagai Islam, maka
sebaiknya kembali ke ajaran yang benar.
Peserta 2:
Apakah kewajiban negara melindungi HAM terkait dengan masalah hutang
luar negeri? Apakah a& kepentingan asing?
Chandra:
Hal itu tidak benar. Seminar ini dilakukan untukmensosialisasikan
kebebasan beragama sebagai salah satu tema HAM, dan bukan

kepentingan negara asing yang memberikan hutang kepada negara. Hak


Asasi Manusia merupakan kebutuhan manusia itu sendiri, bukan karena
adanya tekanan dari negara lain. Jika tekanan itu pun ada, maka ha1 itu
adalah urusan negara, dan bukan masalah Komnas HAM. Komnas HAM
hanya bertugas mengupayakan perlindungan HAM bagi warga negara
supaya makin kokoh.
Peserta 3:
Komnas HAM sebaiknya lebih memperhatikan masalah pelanggaran
hak ekosob, seperti munculnya busung lapar, dan bukan hanya masalah
Ahmadiyah.
Musdah:
Tingginya angka busung lapar di NTB merupakan tanggung
jawab Pemda NTB. Pemda NTB lebih sibuk membuat perda-perda
tentang syariah, tetapi tidak membuat perda tentang busung lapar.
Padahal penanganan busung lapar yang cepat juga merupakan tindakan
pengamalan agama Islam yang bagus.
Ctiandra:
Hak-hak ekosob termasuk hak-hak yang ditangani Komnas
HAM.
Peserta 4:
Penulis mempertanyakan Kesbanglinmas mengenai SK Bupati yang
mengusirwargafimadiyahdariwilayahnya. Bupati seharusnyamemperhatikan
aturan hukum, termasuk UUD 1945, yang menjamin kebebasan beragama dan
berkepercayaan dalam tindakannya. Kesbanglinmas seperti mewakili Islam,
padahal penulis tidak merasa memberikan kuasa.
Lalu:

Kesbanglinmas ini adalah institusi untuk melaksanakan SK


Bupati yang menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah sesat. Jadi sebaiknya
Ahrnadiyah tidak membuat masalah. Selarna belajar tentang Islam tidak
menemukan ajaran yang mempercayai adanya Nabi terakhir, yaitu Mirza
Ghulam Ahmad. Apabila Ahmadiyah ingin menjadi agama baru ha1 ini
lebih baik.

KOMNAS HAM

1 143

Akrnaludin:
Apabila sudah mengakui dirinya Islam, maka saat ada satu titik
yang tidak disepakati sebaiknya diadakan pertemuan untuk menyelesaikan
masalah. Kanwil Depag NTB siap menjadi fasilitator. Pihak Ahmadiyah
seharusnya mengeluarkan kemampuannya untuk menegaskan kepada
MU1 bahwa Ahmadiyah tidak berbeda dari ajaran Islam. Demikian juga
dengan komunitas Salafi. Sikap kontra terjadi karena kemapanan berpikir
masyarakat diusik.
Musdah:
Perdebatan dua kubu dalam diskusi tentang Ahmadiyah
disebabkan oleh ketidakpahaman mengenai konsep kenabian dan sikap
tabayyun (memeriksa ulang). Persoalan tentang Ahmadiyah ini juga
akan selesai ketika negara bertindak sebagai wasit saat terjadi, dan
tidak melakukan intervensi atas akidah warga negaranya. Pada bagian
lain, negara seharusnya mampu membangun pendidikan agama yang
kritis, dan tidak doktrinal. Ajaran agama selama ini disampaikan hanya
mengenai haram atau halal, baik atau salah, dan tidak diajarkan bahwa
ada sejumlah perbedaan yang mesti dihormati di dalam ajaran agama.
Kelompok-kelompok yang bertentangan sebaiknya saling berhubungan,
saling mendengar, dan menerima perbedaan yang ada.
Peserta 5:
Komnas HAM seharusnya untuk turun ke lapangan dan tidak hanya
mengadakan seminar. Komnas HAM sebaiknya memperhatikan soal lainnya
karena masalah di NTB tidak hanya soal Ahmadiyah.
Chandra:
Seminar ini merupakan forum penyatuan wacana. Perdebatan
ini akan dibawa ke dalam lokakarya keesokan harinya. Seminar ini
bukan titipan Ahmadiyah, tetapi merupakan program Komnas HAM
yang sudah direncanakan dan diselenggarakan di berbagai daerah.
Peserta 6:
Umat Islam berhak membela kepercayaannya saat ajaran Islam
dilecehkan. Apabila Ahmadiyah menyatakan dirinya sebagai agama baru,
maka Ahmadiyah tidak akan dipermasalahkan.

144 KOMNAS HAM

Musdah:
Perubahan budaya yang intolerans menjadi tolerans adalah suatu
upaya yang sulit, namun ha1 itu dapat dimulai dari komunitas kecil, yaitu
keluarga. Penulis merasa tergelitik dengan resistensi yang sangat h a t
dari masyarakat NTB terhadap Ahmadiyah, padahal di daerah-daerah
lain tempat acara yang sama dilaksanakan, persoalan Ahmadiyah tidak
muncul sebagai wacana dominan.
Peserta 7:
Penulis merupakan wakil dari kelompok yang dirugkan oleh Komnas
HAM. Dalam masalah Ahmadiyah, sebaiknya Komnas HAM bertindak sebagai
fasilitator saja antara MUI clan Ahmadiyah. Komnas HAM membuat polisi takut
bertindak.
Chandra:
Jika merasa dirugikan Komnas HAM, sebaiknya menuntut
Komnas HAM melalui jalur hukum, karena Komnas HAM bukan
lembaga yang kebal hukum. Chandra tidak yakin bahwa polisi takut
kepada Komnas HAM, karena polisi mempunyai aturan yang mengatur
tentang protabnya. Tidak mudah menyatakan poIisi melakukan
pelanggaran HAM begitu saja. Apabila sudah sesuai dengan ketentuan
hukum dan aturan yang dibuat, polisi tidak dapat dinyatakan melakukan
pelanggaran HAM.
Peserta 8:
Tidak sepakat dengan tulisan Musdah. Umat Islam di NTB bersedia
hidup dengan agama lain, tetapi bukan dengan Ahmadiyah, karena Ahmadiyah
tidak mau mengakui dirinya sebagai agama sendiri. Apakah Musdah bersedia
anak perempuannya menikah dengan pria nonrnuslim?
Musdah:
Ketika saya menjadi Ketua Komisi Pengkajian MU1 Pusat,
penulis telah berulang kali berdiskusi dengan sesama anggota, dan
tidak pemah muncul fatwa tentang masalah kesesatan dari suatu ajaran.
Tentang pernikahan pasangan beda agama, lelaki Islam diijinkan
menikah dengan wanita nonmuslim yang ahli kitab. Bukankah
sebenamya wanita muslim dapat menikah dengan pria nonrnuslim yang
ahli kitab? Islam adalah agama terbaik, namun paham itu tidak dapat
KOMNAS HAM

1 145

dipaksakan kepada putri saya, sehingga apabila dia ingin menikah


dengan pria nonmuslim, saya akan menerimanya.

Surabaya: dari PNPS sampai Penghayat Kepercayaan


Seminar yang diselenggarakan di Surabaya pada 25 Agustus 2006 ini
dihadiri oleh sekitar 80 peserta. Djoko Surono selaku Kakanwil Depag Jatim,
Qasim Mathar dari Universitas Islam Negeri Makassar, dan Chandra Setiawan
dari Komnas HAM menjadi narasumber dalam acara ini. Berikut tanya jawab
yang berlangsung mulai UU No. 11PNPSl tahun 1965 sampai topik mengenai
penghayat kepercayaan.
Peserta 1:
PNPS bukan bagian dari dasar hukum di Indonesia. Lagi pula
PNPS tersebut bukan menetapkan agama yang diakui negara, tetapi hanya
menyebutkan agama yang hidup di Indonesia. Seharusnya dasar hukumnya
adalah TAP MPR atau UUD.
Djoko Surono:
Depag masih menggunakan PNPS sebagai dasar hukum untuk
bertindak. Di dalam PNPS tersebut memang tidak mengatur agama
resmi negara, tetapi menyebutkan agama yang dianut oleh penduduk
Indonesia.
Chandra:
Dasar hukum tentang HAM, termasuk kebebasan Beragama
dan Kepercayaan, adalah UUD 1945, TAP MPR, UU No. 39 Tahun
1999, UU No. 12 Tahun 2005, dan juga termasuk DUHAM yang sudah
diterima oleh bangsa Indonesia. Ada juga UU No. 11 PNPSI Tahun
1965. Mahkamah Konstitusi menyatakan UU No. 11 PNPSI Tahun 1965
tersebut masih berlaku dan mengikat, sehingga UU yang bersangkutan
masih berlaku. Oleh karena itu, Depag kini melayani enam agama, yaitu
Islam, Protestan, Katholik, Hindu, Budha, dan Khonghucu.
Pemerintah merupakan bagian dari negara, sehingga hams
tunduk pada peraturan negara. Depag sebagai perangkat yang dibuat oleh
pemerintah tidak dapat melaksanakan kegiatan yang bertentangan dengan
peraturan Indonesia, apalagi terhadap UU. Pemerintah tidak diberikan
kewenangan untuk membatasi jumlah agama yang hidup di Indonesia.

146 KOMNAS HAM

Peserta 2:
Kebebasan beragama bukan bebas menganut agama apapun, tetapi
menganut agama yang diresmikan negara. Masalah agama adalah urusan
pemerintah pusat sehingga pemerintah daerah tidak dapat bertindak sendiri.
Qasim Mathar:
Kehendak untuk beragama atau tidak itu merupakan urusan
individu yang bersangkutan dengan Tuhan. Tidak ada keharusan
pengaturan dari pemerintah. Apabila pemerintah diberikan kewenangan
mengatur, maka akan terjadi pengaturan atas hal-ha1 yang seharusnya
tidak diatur oleh pemerintah. Masyarakat Indonesia sendiri sangat
majemuk, sehingga seharusnya pemerintah bersikap sebagai wasit
saja.
Peserta 3:
Masalah kebebasan beragama berkaitan dengan masalah Ahmadiyah.
Ahrnadiyah adalah salah satu organisasi Islam, perbedaannya hanya pada nabi
Imam Mahdi yang sudah diakui keberadaannya oleh Ahmadiyah. Hal ini sesuai
dengan sabda Rasulullah Muhammad saw yang menyatakan adanya khalifah
yang akan membina umat dengan mengacu kepada kenabian. Nabi yang
akhirnya diakui oleh Ahmadiyah adalah nabi umati yang tidak membawakan
ajaran baru.
Qasim Mathar:
Paham keagamaan tidak dapat diseragamkan. Di dalam satu
agama saja, banyak sekali perbedaan atas ajarannya. Kalau mau
konsisten, MU1 seharusnya menyebut Syiah sebagai aliran sesat karena
rukun imannya berbeda dengan kelompok Islam lainnya. Tetapi MUI
tidak dapat melakukannya akan berurusan dengan satu negara besar,
yaitu Iran. Ahmadiyah sendiri tidak mempunyai negara, sehingga maka
lebih mudah untuk dinyatakan sesat.
Peserta 4:
Bagaimana dengan kepercayaan kepada Tuhan YME?
Djoko Surono:
Berketuhanan YME merupakan hak asasi dari individu masingmasing. Apabila ada ajaran yang menyimpang, maka sudah seharusnya
KOMNAS HAM

1 147

diluruskan dan dikembalikan ke ajaran pokok dari agama besarnya.


Namun apabila ternyata masalah yang dikemukakan merupakan isu,
Depag bersedia membuka pemahaman bersama.
Aliran kepercayaan termasuk ke dalam kebudayaan, dan menjadi
bagian dari wewenang Departemen Pariwisata dan Kebudayaan,
sedangkan Depag hanya mengurusi dan membina agama-agama yang
dipeluk secara luas di Indonesia, Islam, Protestan, Katholik, Hindu,
Budha, dan Khonghucu.
Chandra:
Untuk masalah penghayat, sebenarnya W D 1945 sudah
mengakui eksistensinya. Memang pelayanannya masih bermasalah,
akibatnya umat penghayat dilayani oleh Departemen Parawisata
dan Kebudayaan. Kornnas HAM sendiri sebenarnya telah menyurati
Menteri Agama untuk memberikan ruang bagi pelayanan terhadap
penghayat, karena antara agama dan kepercayaan itu saling berkaitan.
Selain itu, banyak masalah yang dihadapi oleh penghayat menyangkut
perlindungan atas hak-hak sipilnya. Namun ada satu celah dari RUU
Administrasi Kependudukan yang memberikan tempat bagi penganut
kepercayaan untuk mencatatkan dirinya di Kantor Catatan Sipil.
Peserta 5:
Bagaimana dengan pernikahan beda agama?
Chandra:
Sebenarnya pemerintah wajib mencatatkan pernikahan tersebut
dan tidak berwenang melarang perkawinan yang dilakukan oleh
warganya. Untuk sah atau tidaknya pernikahan menurut agama adalah
urusan agama yang terkait, bukan masalah pemerintah. Pemerintah
wajib melindungi anak dan istri yang ada dalam perkawinan tersebut.
Jika pernikahan beda agama tidak dicatatkan, maka anak dan istri dari
pernikahan itu akan kehilangan banyak hak, misalnya hak waris dari
bapak/suaminya.
Peserta 6:
Penulis, penganut kepercayaan terhadap Tuhan YME, mengusulkan
agar aturan-aturan yang berkenaan dengan agama dihapus saja, misalnya KTP
yang hams menyebutkan agama yang dianut pemegang KTP.

148 KOMNAS HAM

Qasim Mathar:
Pencantuman agama di dalam KTP sebenarnya tidak bermasalah,
karena ini merupakan bagian dari kehidupan bernegara. Namun menjadi
masalah ketika ada agama yang tidak dapat dicantumkan di dalam KTP
tersebut. Pemerintah wajib mengatur masalah ini, yaitu memberikan
identitas sipil kepada seluruh warganya dari berbagai agama manapun
tanpa pembatasan.
Peserta 7:
Bagaimana sikap polisi yang hanya menjadi penonton saat FPI
menyerang kelompok lain, padahal tindakan FPI dapat dinyatakan sebagai
pelanggaran HAM?
Chandra:
Pendapat bahwa tindakan FPI tersebut melanggar HAM adalah
benar. Narnun tindakan ini juga dikategorikan sebagai tindakan pidana,
sehingga menjadi kewenangan dan kewajiban polisi untuk menyelidiki dan
menyidik. Untuk saling meningkatkan profesionalisme masing-masing,
Komnas HAM telah mengadakan MoU dengan POLRI.
Kasus dengan basis keagamaan diakui memang masih sering terjadi,
maka inilah gunanyaupayauntukmelakukanpenguatan civil society. Selain
itu, mental aparat memang harus diperbailu dalam melayani warganya.
Tugas ini memang menjadi tugas Komnas HAM, tetapi masyarakat juga
tidak bisa lepas,jadi merupakan tanggung jawab bersarna.
Qasim Mathar:
Ajaran yang dinyatakan sebagai ajaran Rasulullah ternyata tidak
selalu sama dengan ajaran aslinya. Misalnya ada Hadist yang berbunyi,
"Apabila melihat adanya kemungkaran, maka ubah dengan tanganmu.
Jika tidak bisa, maka dengan lidah, dan bila tidak bisa, maka jangan
mengikuti". Hadits ini benar adanyadan tidakpernah adaajaran Rasul yang
membagikan tongkat untuk memukul lawannya yang berbeda pendapat.
Sebenarnya yang dimaksudkan 'tangan' di sini adalah kekuasaan, bukan
tangan yang mengangkat tongkat untuk memukul lawan.
Peserta 8:
Penulis mempertanyakan pernyataan Kanwil Depag bahwa kondisi di
Jawa Timur sangat baik, padahal banyak sekali kasus keagamaan, misalnya
KOMNAS HAM

149

sholat dua bahasa di Malang dan YKNCA di Probolinggo. Sebaiknya Depag


dan MU1 mengubah cara kerjanya.

Djoko Surono:
Depag sendiri sebenarnya hanya berwenang melakukan pelayanan
dan pembinaan, sedangkan kewenangan mengenai larangan suatu aliran
itu ada di tangan Kejaksaan Agung berdasarkan masukan dari ulama
atau tokoh agama yang bersangkutan. Mengenai kasus di Jawa Tirnur itu
sebenamyamerupakan efek dari suatu penyebaran ajarannyakepadaumum.
Penegak hukum benvenang melaksanakantugasnya untuk mengembalikan
ketenteraman kehidupan umat beragama. Di sini letak campur tangan
pemerintah tersebut. Selama tidak mengganggu kehidupan beragama dan
berbangsa, maka pemerintah tidak akan melakukan intervensi apapun.
Chandra:
Perdebatan tentang keberadaan Depag sebenarnya tergantung
kebutuhan Indonesia sendiri. Hal ini sebaiknya dibahas di dalam
lokakarya esok hari. Tetapi sebagai masukan, mungkin ada baiknya
Depag mereposisi tugas dan kewenangannya. Sebenarnya agama dan
kepercayaan tidak membutuhkan pengakuan dari suatu negara. Hak
beragama ini merupakan wilayah privat, negara tidak benvenang
mengatur pemikiran dan keyakinan warganya.
Palu: dari PBM sampai Piagam Madinah
Di Palu, seminar yang diselenggarakan pada 11 September 2006
lebih banyak didominasi oleh wacana soal Peraturan Bersama Menteri
tentang pendirian tempat ibadah. Dihadiri oleh sekitar 120 peserta, acara ini
mendatangkan Abdul Aziz M Godal selaku Kakanwil Depag Sulawesi Tengah,
Qasim Mathar dari Universitas Islam Negeri Makassar, dan Chandra Setiawan
dari Komnas HAM menjadi narasumber dalam acara ini.
Peserta 1:
Bagaimana pandangan Komnas HAM terhadap Peraturan Bersama
Menteri (PBM)? Apakah ha1 itu melanggar HAM?
Chandra:
Peraturan Bersama Menteri (PBM) tidak melanggar HAM,
karena PBM tersebut merupakan petunjuk pelaksanaan suatu

150 /

KOMNAS HAM

kewajiban dari pemerintah. Tentang pemberdayaan FKUB, sebenamya


pemerintah hanya memfasilitasinya saja. Untuk syarat pendirian rumah
ibadah, jika syarat ijin dari 60 orang tersebut tidak dapat dipenuhi,
maka pemerintah wajib menyediakan lahan lain untuk pendirian rumah
ibadah bagi penganut atau jemaah tersebut. PBM menjadi pedoman
dalam melindungi kebebasan beragama warganya.

Peserta 2:
Penulis mempertanyakan keberpihakan Qasim terhadap Ahmadiyah.
Jika satu aliran sesat dibiarkan, maka akan tumbuh berbagai aliran sesat.
Gasim Yamani:
Di dalam ajarannya, Ahmadiyah telah mengacaukan ajaran
Islam. Di dalam Al-Qur'an dijelaskan bahwa ajaran agama telah
berakhir di tangan Nabi Muhammad. Jika ada ajaran yang mengganggu
kepercayaan orang lain, maka ha1 ini sudah melanggar hak asasi
manusia.
Qasim Mathar:
Di dalam peta Islam bukan hanya ada Sunni dan Syiah, dapat
ditambah dengan Ahmadiyah. Hal ini hams dilakukan, karena Jemaah
Ahmadiyah telah mencapai dua juta orang. Saat Islam dikaji, timbul
masalah karena kesepahaman tidak muncul di antara umat Islam sendiri.
Dilihat dari Rukun Iman, khususnya iman kepada semua rasul dan
seluruh kitab Allah, terlihat bahwa Ahmadiyah percaya semua rukun
ini. Perbedaannya: mereka percaya Mirza Gulam Ahmad sebagai nabi
setelah Muhammad, namun Gulam tidak membawa ajaran baru.

Peserta 3:
Dalam kasus Selena, masalah agama menyebabkan rumah-rumah
warga fkfena dikosongkan oleh kelompok tertentu. Pernyataan sesat dikaitkan
dengan ajaran Madi yang disebut-sebut sebagai Imam Mahdi, padahal warga
Selena sendiri menolak tudingan tersebut. Upacara yang dilakukan hanyalah
upacara adat setempat, yaitu upacara tolak bala, bukan bagian dari ajaran
agama tertentu.
Chandra:
Masalah itu masuk ke dalam wilayah kriminal, suatu tindak
KOMNAS HAM

1 151

pidana. Maka pihak yang benvenang menangani masalah ini adalah


polisi. Pernyataan Menteri Agama bahwa tentang kasus Selena sesat
adalah pernyataan yang kebablasan karena pernyataan seperti itu
hams melewati suatu penelitian yang cukup rumit. Di pihak lain, ritual
kepercayaan merupakan hak bagi setiap penganutnya sepanjang tidak
ada pelanggaran HAM dalam pelaksanaan ritualnya, misalnya adanya
korban manusia yang dijadikan tumbal.
Peserta 4:
Apakah ideologi komunis termasuk suatu kepercayaan, jika benar:
mengapa komunis dinyatakan sebagai golongan tidak beragama?
Chandra:
Komunisme bukan merupakan kepercayaan, tetapi paham.
Indonesia sudah mengijinkan orang yang hendak mempelajarinya,
namun tidak diijinkan sebagai paham yang diwujudkan secara aktual,
penyebarannya di larang.
Gasirn Yamani:
Saya ingin bertanya kepada Komnas HAM mengenai adanya
pengakuan terhadap seseorang yang tidak beragama dan hanya bertuhan.
Padahal berdasarkan UUD 1945, warga negara Indonesia hams beragama.
Adakah aturan yang menyatakan warga negara boleh tidak beragama?
Chandra:
Tidak ada peraturan yang mewajibkan seseorang untuk beragama,
namun seseorang berhak untuk memeluk dan melaksanakan agama yang
diyakininya. Untuk aliran kepercayaan, memang dinyatakan bahwa
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa bukan agama, tetapi
merupakan bagian dari sejarah Indonesia. Mereka sudah lebih lama hidup
dan dilindungi oleh negara.
Peserta 5:
Suatu ajaran dapat dilaksanakan apabila tidak mengganggu ajaran pokok.
Apa yang dimaksud kategori "mengganggu"?
Gasirn Yarnani:
Apabila ada ajaran b a r - terhadap-agama yang sudah final, jelas

152 1

KOMNAS HAM

ha1 tersebut sangat mengganggu. Masalah akidah merupakan ha1 yang


jelas sudah final. Masalah yang diijinkan untuk diperdebatkan adalah
masalah sosial.
Qasim Mathar:
Saya tidak terlalu mengerti dengan kategori "mengganggu",
karena saya sendiri tidak pemah merasa terganggu oleh agama dan ajaran
agama lain. Yang hams diingat adalah sebaiknya masing-masing individu
tidak merasa lebih pintar terhadap agama orang lain.
Pendapat bahwamasalah akidah sudah final adalah pendapat yang
salah, karena masalah akidah ini justru lebih sering diotak-atik, bahkan
tidak ada penafsir Al-Qur'an yang menyatakan bahwa pemahaman
akidah sudah final, karena pemahaman tersebut berdasarkan penafsiran
yang sangat tergantung pribadi dan kondisi saat itu. Bahwa apa yang
final dalam Islam adalah aturan tertulis, yaitu ayat-ayatnya sendiri,
namun persepsi atas rumusan A1 Qur'an tidak pernah final.
Peserta 6:
Benarkah pelaksanaan ibadah haji diatur di Indonesia agar gerakan
Islam dapat dipantau?
Chandra:
Pengaturan ibadah haji oleh Depag tidak masalah, karena sejak
awal Depag didinkan untuk melakukan pelayanan terhadap agama-agama
yang ada di Indonesia. Namun memang ada masalah ketika Depag hanya
melayani enam agama saja. Saat ini ada RUU Adrninistrasi Kependudukan
yang diharapkan menjadi pedoman dalam pelaksanaan pencatatan sipil
bagi seluruh warga Indonesia tanpa melihat agama atau kepercayaan yang
dianut.
Peserta 7:
Jaminan atas kebebasan beragama dapat dilihat dari aturan pendirian rumah
ibadah di &lam PBM. Misalnya, bagaimana ketika ada niat mendirikan gereja di
dalam lingkungan yang mayoritas Islam dan dapat ijin dari mayoritas warga tetapi
ada satu orang yang tidak setuju sehingga pendirian tersebut dilarang? PBM juga
menyulitkan pendirian rumah ibadah bagi penganut agama Buddha yang umatnya
sedikit di semua lingkungan.

KOMNAS HAM

1 153

Chandra:
Di sinilah perlunya memanfaatkan keberadaan FKUB secara
maksimal dengan menunjuk penvakilan agamanya, sehingga dapat
dilaksanakan suatu diskusi atau musyarawah mengenai pendirian
rumah ibadah umum (bukan rumah ibadah keluarga). Syarat jumlah
umat tergantung situasi dan tempatnya juga. Mengenai masalah sudah
adanya ijin dari masyarakat sekitar, dan kemudian ada satu orang yang
tidak setuju yang mengakibatkan Walikota tidak jadi menerbitkan
ijinnya, maka ha1 ini dapat diajukan keberatannya.
Qasim Mathar:
Pembangunan rumah ibadah memang tidak dapat dilakukan oleh
seorang warga, namun diatur oleh pemerintah. Namun apabila pemerintah
makin mengatur agama, maka justru makin menyulitkan kehidupan
beragama itu sendiri.
Peserta 8:
Apa peran Komnas HAM dalam ratifikasi instrumen internasional
tentang HAM. Bagaimana dengan perjanjian Islam yang seharusnya diakui
oleh dunia, misalnya Perjanjian Madinah?
Chandra:
Ratifikasi instrumen HAM internasional bukan kewenangan
Komnas HAM. Dan merupakan kewenangan badan legislatif Indonesia.
Ratifikasi terhadap ICCPR dan ICESCRjustru terjadi bukan diakibatkan
desakan Komnas HAM semata, melainkan merupakan syarat dari
perjanjian Helsinski antara RILGAM. Kita sebaiknya tidak pesimis
atas kehidupan HAM di Indonesia. Seharusnya kita semua turut dalam
berupaya mengedepankan perlindungan kebebasan beragama.
Qasim Mathar:
Piagam Madinah sebenarnya tidak perlu diratifikasi karena
sebenarnya nilai Piagam itu atau A1 Qur'an tidak memerlukan
aktualisasi seperti itu. Apa yang hams dilakukan adalah pemahaman
dan pelaksanaan atas nilai-nilai itu.

154 KOMNAS HAM

BAGIAN KETIGA

156

1 KOMNAS HAM

okakarya yang diselenggarakan Komnas HAM ini merupakan


kegiatan yang terangkai dengan acara Seminar dan Lokakarya
berseri yang diselenggarakan Komnas HAM di enam kota
sepanjang tahun 2006. Peserta lokakarya yang berjumlah sekitar 30 orang
diambil dari sebagian peserta seminar sehari sebelumnya, kecuali di Jakarta.
Dalam lokakarya dilaksanakan diskusi terarah mengenai tema Kebebasan
Beragama dan Berkepercayaan. Para peserta dibagi menjadi dua kelompok,
yaitu Kelompok Peran Pemerintah dan Kelompok Peran Masyarakat untuk
membicarakan dan mencarikan solusi dalam menjawab persoalan mengenai
jaminan kebebasan beragama atau berkepercayaan di Indonesia. Bahan-bahan
yang menjadi rujukan peserta, antara lain Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(DUHAM), Kovenan Intemasional tentang Hak Sipil dan Politik, UUD 1945,
W No. 39 Tahun 1999,W No. 12 Tahun 2005, dan Peraturan Bersama Menteri
Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 atau No 8 Tahun 2006.
Kedua Kelompok ini dipandu oleh beberapa fasilitator, antara lain
Chandra Setiawan (Komnas HAM), Siti Musdah Mulia (ICRP), Qasim Mathar,
Eko Dahana, dan. Rrn. Johanes Hariyanto. Sebagai panduan, kepada kedua
kelompok ini diajukan masing-masing sebanyak 10-11 pertanyaan untuk
dibahas dan dijawab secara kelompok.
Adapun 11 pertanyaan untuk kelompok Peran Pemerintah, adalah
sebagai berikut:
1.
Apa makna dari negara menjamin kebebasan beragama?
2.
Dalam masalah keberadaan agama di Indonesia, apakah pemerintah
berhak mengatur jumlah agama yang hidup di Indonesia?
3.
Dalam melaksanakan kebebasan beragamalberkepercayaan, hal-ha1 apa
saja pemerintah dapat mengatur?
4.
Apa yang dirnaksud dengan keamanan masyarakat (public safety)? dan
berikan sebanyak mungkin contohnya.
5.
Apa yang dimaksud dengan ketertiban umum (public order)? dan
berikan sebanyak mungkin contohnya.
6.
Apa yang dimaksud dengan kesehatan masyarakat (public health)? dan
berikan sebanyak mungkin contohnya.
7.
Apa yang dimaksud dengan etika dan moral masyarakat? dan berikan
sebanyak mungkin contohnya
8.
Apa yang dimaksud dengan hak dan kebebasan mendasar orang lain?
Dan berikan contohnya?
9.
Dalam lingkup relasi antar agama dan negara, upaya apa saja yang
dibutuhkan agar negara dapat menjamin kebebasan beragama?

Apakah anda setujul tidak setuju adanya Undang-Undang tentang


Kebebasan Menjalankan AgamaIKepercayaan? Berikan alasan sebanyak
mungkin?
Apakah keberadaan Departemen Agama itu pentingl tidak penting di dalam
menjamin Kebebasan Beragama di Indonesia? Mengapa? Jelaskan!
Untuk kelompok Peran masyarakat, diajukan 10 pertanyaan untuk
didiskxsikan secara kelompok, yaitu
Sebutkan sebanyak mungkin kerugian yang munglun timbul sebagai
1.
akibat tidak adanya toleransi di dalam beragama!
Sebutkan sebanyak mungkin keuntungan yang di dapat sebagai akibat
adanya toleransi di dalam beragama!
Sebutkan sebanyak mungkin penyebab dari sikap tidak toleran terhadap
agama orang lain!
Sebutkan sebanyak mungkin ayat-ayat htab suci atau petuah adat yang
biasanya atau dapat ditafsirkan sebagai anjuran untuk bertoleransi
kepada agama orang lain!
Apa saja komitrnen bersama yang dapat dijadikan pedoman agar jalinan
hubungan antar umat beragama dan etnis dapat berlangsung harmonis?
Sebutkanajaran-ajaranagama yang bersifat universal yang perlu diamalkan
agar penghormatan dan penegakkan hak asasi manusia dapat terlaksana
dengan baik!
Sebutkan sebanyak mungkin etika pergaulan yang penting hams dijaga
dalam konteks rnasyarakat majemuk!
Dalam kaitan pendirian tempat ibadah agar dapat diterima masyarakat
setempat persyaratan apa saja yang hams terpenuhi?
Apakah anda setuju untuk mendirikan satu rumah ibadat harus ada
sedikitnya 90 orang penganut agama yang bersangkutan? Jelaskan
alasan setuju atau tidak setuju anda masing-masing?
Apakah anda setuju perlu dukungan masyarakat setempat yang beragama
lain di dalam mendirikan suatu tempat ibadat? Kalau jawaban setuju,
berapa jumlah orang yang hams memberikan dukungan tersebut? Kalau
tidak setuju, jelaskan alasan ketidaksetujuannya!

Kelompok Peran Pemerintah


I.

Jaminan Negara atas Kebebasan Beragama


Para peserta lokakarya di enam kota menyimpulkan bahwa

warga negara memilikikebebasan mutlak untuk memilih, memeluk,


bahkan berpindah agama, menjalankan agama, serta beribadah sesuai ajaran agama atau kepercayaanyang tidak bertentangandengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut para peserta
di Jakarta, kebebasan beragama mencakup kebebasan memilih
agama, kebebasan tidak beragama, kebebasan pindah agama, keluar
dari agama. Negara wajib menjamin seluruh cakupan kebebasan
beragama ini. Negara tidak boleh mengintervensi warganya di
dalam memilih agama atau kepercayaan tertentu.
Kebebasan itu harus dijamin secarapenuh dan dilaksanakan
secara konsisten oleh negara melalui sebuah undang-undang.
Menurut para peserta, negara hams pula memberikan perlindungan
secara adil dan bersikap tegas terhadap pemaksaan terhadap agama
tertentu. Ketegasan itu juga hams muncul ketika ada kelompokkelompok yang mengancam kebebasan beragama dengan
mernrosesnya secara hukum. Negara berkewajiban memberikan
rasa aman bagi setiap warga negara untuk menjalankan aktifitas
agama atau kepercayaannya.
Para peserta di Jakarta merumuskan makna jaminan
kebebasan beragama dan berkepercayaan itu tercermin dalam
tiga hal, yaitu:
a.
Pemerintah menjamin kebebasan setiap orang untuk
memilih keyakinannya.
Pemerintah menjamin kebebasan setiap orang untuk
b.
menentukan atau menafsirkan keyakinan masing-masing
Pemerintah memperlakukan semua warga negara secara
c.
setara tanpa membedakan agama atau kepercayaannya
Lebih jauh, para peserta di Mataram menyatakan negara
harus memfasilitasi semua agama atau kepercayaan yang dipeluk
warga negaranya agar dapat berkembang secara wajar. Hal itu
bisa ditunjukkan dengan memberikan pelayanan prima, seperti
menyediakan guru agama, mencatat pemikahan, memfasilitasi
pendirian rumah ibadah, dan memberikan subsidi-subsidi kepada
lembaga-lembaga keagamaan. Di Makassar, peserta menunjukkan
bahwa jaminan kebebasan itu juga hams berlaku juga bagi para
tahanan.
Bukan hanya agama, negarajuga hams menjamin kehidupKOMNAS HAM

159

an aliran kepercayaan dan memberikan keleluasaan dalam


menjalankan ajaran agama atau kepercayaan. Ketika terjadi
konflik, negara semestinya tidak memihak salah satu agarna atau
kepercayaan dan bertindak menjadi penengah yang adil. Namun
intervensi oleh negara haram dilakukan terhadap urusan aqidah
atau keyakinan dari suatu agama atau kepercayaan.
11.

Pengaturan Jumlah Agama


Hampir seluruh peserta lokakarya sepakat bahwa
pemerintah tidak berhak mengatur jumlah agama yang hidup
di Indonesia. Sebagian peserta beralasan bahwa beragama dan
berkepercayaan merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun, seperti
dijamin Pasal28 i UUD 1945 dan Pasal4 UU No. 3911999.
Peserta lainnya berpikir bahwa keberadaan agama
sesuai dengan keberadaan pemeluknya. Pemerintah sendiri,
menurut sebagian peserta, berkewajiban menyampaikan kepada
masyarakat tentang agama-agama yang dianut di Indonesia.

111.

Pengaturan Menjalankan Agama


Meskipun para peserta sepakat bahwa pemerintah tidak
boleh melakukan intervensi dalam ha1 aqidah atau keyakinan,
dalam ha1 praktik menjalankan agama, para peserta setuju bahwa
pemerintah perlu mengatur sepanjang praktik itu bertentangan
dengan moral masyarakat, kesehatan, keamanan masyarakat,
ketertiban umum, dan hak-hak dan kebebasan dasar orang lain.
Salah satu peserta di Pangkal Pinang menyatakan
pemerintah selalu mendapatkan kewenangan untuk mengatur
hal-ha1 yang berhubungan dengan agama, seperti RUU APP,
namun pemerintah sebenarnya tidak pernah melaksanakan
semua UU yang sudah dibuatnya dengan baik. Peserta ini lebih
setuju apabila masalah agama diserahkan kepada komunitas
agama itu sendiri.
Pengaturan itu meliputi pendirian tempat ibadah,
pendidikan agama, penyebaran agama dengan menggunakan
fasilitas publik, dan perkawinan. Semua pengaturan itu, kata
peserta, hams diatur dengan UU. Para peserta di Palu melihat
bahwa pemerintah boleh menetapkan hari-hari libur keagamaan,

sensus penduduk yang memuat kolom agama, memfasilitasi


FKUB, dan mengetahui penggunaan dana bantuan luar negeri
untuk kelompok agama atau kepercayaan.
Intervensi pemerintah juga dimungkinkan untuk
menjaga rasa aman warganya dalam menjalankan agama atau
kepercayaan. Pemerintah juga boleh mengatur ketertiban dan
kelancaran pelaksanaan ajaran agama dan membantu sarana dan
prasarana pendidikan keagamaan yang ada di Indonesia.

IV.

Keamanan Masyarakat (public safety)


Menurut para peserta, keamanan masyarakat (publicsqfety)
adalah keadaan bebas dari rasa takut, gangguan, dan ancaman
fisik dan psikis sehingga dapat melaksanakan kegiatannya seharihari. Praktik ajaran agama tidak boleh mengganggu keamanan
masyarakat. Masyarakat harm bebas dari intimidasi atau gangguan
dalam menjalankan agama atau kepercayaan
Beberapa contoh yang mengancam keamanan masyarakat
disodorkan para peserta, antara lain melakukan penyerangan tempat
beribadah kelompok lain, menutup rurnah ibadah, menyebarkan
ancaman, kebencian dan berita yang menghasut, mengintirnidasi
melalui media apapun, dan mengintimidasi kelompok lain.
Pemerintah hams mengamankan tempat-tempat ibadah dan tempat
tinggal dari penyerangan kelornpok-kelompok tertentu. Pemerintah
hams bertindak adil dan tegas terhadap para pengganggu keamanan
masyarakat, termasuk milisi-milisi sipil yang dikaitkan dengan
simbol-simbol agama tertentu.

V.

Ketertiban Umum (public order)


Tentang bahwa Ketertiban Umum (public order),
para peserta mendefinisikan sebagai Ketaatan masyarakat
yang bersesuaian dengan norma-norma budaya dan tata tertib
hukum.
Ada beberapa kegiatan keagamaan yang bisa mengganggu
ketertiban umum, antara lain:
Menutup jalan umum tanpa adanya ijin
a.
Melakukan arak-arakan yang mengganggu ketertiban
b.
lalu-lintas
KOMNAS HAM

161

Menggunakan fasilitas umum atau jalan raya tanpa ijin


pihak benvenang
Membunyikan pengeras suara yang berlebihan dan tidak
d.
.sesuai dengan jadwal praktik keagamaan
Melakukan tindakan yang bertentangan dengan budaya
e.
setempat dan hukum di tempat umum
f.
Mengadakan fund raising di jalan
g.
Ketertiban penjualan hewan sembelihan
Untuk melindungi ketertiban umum menyangkut
pelaksanaan ajaran agama,perlu ada beberapa ha1yang diatur,antara
lain ijin kegiatan keagamaan di tempat umum, ijin pendirian tempat
ibadah untuk urnum, dan ijin pendirian organisasi keagamaan.
c.

VI.

Kesehatan Masyarakat (public health)


Apa yang dimaksud dengan Kesehatan Masyarakat? Para
peserta menunjuk Kesehatan Masyarakat sebagai suatu keadaan
kehidupan masyarakat yang terbebas dari penyakit menular,
terjaminnya udara, air, dan lingkungan yang bersih dan sehat,
tersedianya sarana dan prasarana kesehatan yang terjangkau.
Pelaksanaan ajaran agama atau kepercayaan bisa dibatasi
ketika mengganggu kesehatan masyarakat. Misalnya ada ritual
agama yang menghendaki kematian atau bagian tubuh manusia
sebagai bagian dari upacaranya. Ada juga ajaran yang melarang
transhsi darah, transplantasi organ tubuh, dan pemakaian helm,
kasus sunat terhadap perempuan yang bisa membahayakan
keselamatan dan kesehatan perempuan tersebut. Para peserta
di Jakarta menambahkan bahwa pemerintah harus mengatur
penyembelihan binatang atau menggunakan tumbuhan tertentu
yang dianggap sakral oleh kelompok lain, tetapi dianggap biasa saja
oleh kelompok agama atau kepercayaan lain.
Salah seorang peserta mengingatkan bahwa pemerintah
hanya dapat mengatur hak-hak yang bersifat publik dengan tetap
menjamin adanya penghormatan terhadap hak asasi orang lain.

VII.

Etika dan Moral Masyarakat


Dalam diskusi yang hangat, para peserta lokakarya di enam
kota hampir sepakat mendefinisikan Etika dan Moral masyarakat
sebagai nilai-nilai yang berlaku dan diakui oleh masyarakat

setempat yang tidak bertentangan dengan hukum dan HAM.


Pembatasan atas praktik ajaran agama dimunglankan ketika ritual
agama mengganggu etika dan moral masyarakat setempat, jadi
tidak bersifat nasional.
Beberapa contoh atas ha1 ini, antara lain aturan tentang
pemakaian binatang langka yang dilindungi dalarn sekte tertentu,
"kawin lari" bersama (yersyaratannya sudah diketahui pada
masyarakat tersebut) sehingga direstui dalam hukum adat tertentu,
dapat dianggap tidak melanggar hukum; Penyebaran agama yang
dilakukan secara tidak etis dan tidak bermora1;Ritual agama yang
bertentangan dengan agama dan moral masyarakat, seperti ritual
seks bebas; Pemerintah berwenang mengatur agar tidak terjadi
pencitraan buruk terhadap golongan keyakinan tertentu melalui
media massa.

VIII. Hak dan Kebebasan Dasar Orang Lain


Apa saja hak dan kebebasan dasar orang lain yang tidak
boleh diganggu oleh praktik dan pelaksanaan ajaran agama atau
kepercayaan?
Setelah para peserta berdiskusi, mereka menyimpulkan
bahwa hak dan kebebasan mendasar orang lain adalah hak-hak dan
kewajiban sebagairnana yang diatur di dalam UU No. 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, antara lain hak hidup, hak
beragama, hak memperoleh keturunan, hak atas rasa aman

IX.

Dalam lingkup relasi antar agama dengan negara, upaya


yang dibutuhkan agar negara dapat menjamin kebebasan
beragama:
a.
Negara tidak terlalujauh mencampuri persoalan kehidupan keagamaan. Negara hanya berfungsi sebagai peredam
konflik apabila ada pelanggaran pidana terhadap hukum
negara;
b.
Negara tidak melakukan preferensi ataupun marginalisasi
terhadap paham-paham keagamaan manapun (agama,
kepercayaan, keyakinan);
c.
Negara dapat melakukan tindakan khusus untuk melin-

dungi kelompok minoritas, masyarakat adat dan yang


termarginalisasi

X.

Undang-Undang Kebebasan Menjalankan AgamaIKepercayaan


Para peserta lokakarya di enam kota pa& umurnnya menyetujui adanya sebuah undang-undang yang mengatur kebebasan
menjalankan agama atau kepercayaan. Tujuannya agar pelaksanaan
ajaran agama tidak mengganggu keamanan masyarakat, ketertiban
umum, kesehatan masyarakat, etika dan moral masyarakat, dan hak
dan kebebasan dasar orang lain.
Persetujuan itu diberikan dengan melihat banyaknya konflik
bemuansa agama karena tiadanya pengaturan praktik menjalankan
ajaran agama atau kepercayaan. Kasus-kasusnya biasanya berkaitan
dengan pendirian tempat ibadah, penyebaran agama, penyerangan
oleh kelompok tertentu terhadap kelompok agama atau kepercayaan
tertentu. Pelayanan hak-hak sipil yang tidak dikaitkan dengan
agama tertentu yang dilayani Departemen Agama. Beberapa
peserta lokakarya di berbagai kota juga menilai keberadaan UU ini
sangat mendesak. UU ini menjadi pegangan hukurn yang kuat bagi
aparat penegak hukum di &lam menegakkan hukurn apabila terjadi
konflik yang bemuansa agama.

XI.

Keberadaan Depag dalam menjamin Kebebasan Beragama


Para peserta lokakarya pada umurnnya menganggap
penting atau mash diperlukan keberadaan Depag dalam menjamin
kebebasan beragama atau kepercayaan di Indonesia. Untukitu, peran
Depag hams diperkuat, terutama dalam ha1 sosialisasi pengaturan
kerukunan hidup antarumat beragama dalam aturan-aturan hukurn
positif, pelayanan kepentingan agama atau kepercayaan, fasilitasi
pendidikan agama, penyediaan sarana dan prasarana keagamaan,
fasilitator dialog antaragama, dan mediator dalam konflik
interagama atau antaragama.
Para peserta juga melihat bahwa Depag perlu melakukan
revitalisasi terkait dengan fungsi fasilitasi, pelayanan, dan
regulasi yang diembannya, meliputi:

a.
b.
c.

d.
e.

Pelayananyang adil kepada semuaagamadankepercayaan


apapun sesuai kebutuhan dan kemampuannya
Struktur organisasi tidak berdasarkan pada penvakilan
agama, tetapi pada fungsi
Bebas dari intrik politik dan pengaruh dari agama
tertentu
Mediator dalam kehidupan antarumat beragama dan
antaragama.
Menjadi juru penerang tentang makna kebebasan
beragama yang sebenamya.

B. Kelompok Peran Masyarakat Sipil


I.

Kerugian Intoleransi Beragama atau Berkepercayaan


Para peserta lokakarya melihat bahwa masyarakat yang
tidak toleran dalam kehidupan beragama akan mengalami
banyak kerugian. Kerugian-kerugian itu, antara lain:
a.
Permusuhan antarumat beragama meningkat
Rawannya konflik horisontal bemuansa agama
b.
Muncul kesenjangan antara pemeluk agama mayoritas
c.
dan minoritas
Rapuhnya tali ikatan sosial masyarakat
d.
Rawan pelanggaran HAM, terutama hak beragama dan
e.
berkeyakinan
f.
Aktivitas sosial terganggu
g.
Rusaknya citra agama tertentu
Terusimya kelompok penganut agama tertentu dari
h.
lingkungannya.
Pembekuan ajaran dan aktifitas keagamaan
i.
Hilangnya kekeluargaan dan gotong royong di dalam
j.
masyarakat

11.

Keuntungan akibat adanya toleransi di dalam beragama


atau berkepercayaan
Ada banyak keuntungan yang bisa dipetik masyarakat
dan bangsa yang menjunjung tinggi toleransi di dalarn beragama.
Keuntungan-keuntungan itu, menurut para peserta lokakarya, antara
lain:

Integritas sebagai bangsa terjamin


Hak-hak asasi warga negara terpenuhi
Terciptanya kehidupan yang harmonis antarkelompok
masyarakat.
tali ikatan sosial masyarakat sangat h a t
Adanya kebersamaan dalam kehidupan sehari-hari
Terjalin kekeluargaan yang baik meski berbeda agama
Program pemerintah dan masyarakat mudah
dilaksanakan
Terpelihara fasilitas beribadah
Stabilitas sosial terjamin
Penyiaran agama terselenggara dengan aman tanpa
curiga
Terjalinnya kerjasama antarumat beragama
Hilangnya saling mencurigai di antara sesama masyarakat
Meminimalisir konflik horisontal
Terciptanya rasa aman, nyaman, dan damai
lebih mudah menerima nilai-nilai bersama.
Peserta dari Jakarta memberi catatan kritis terhadap "kata
toleransi", apabila diselewengkan dari makna hakikinya, maka
tidak mustahil bertoleransi itu sendiri bisa membawa kerugian
antara lain:
a.
mendorong sehlarisasi/sekularisme (dianggap bertentangan dengan pendalaman keagamaan, karena kecenderungan menolak hal-ha1 yang transenden);
b.
menimbulkan apatisme (kehilangan kekritisan terhadap
fenomena sosial);
c.
dari sisi internal, ada kesan bahwa unsur "pembeda"
menjadi ha1 yang tidak penting, ada degradasi keyakinan
keberagamaan (sehingga hakekat beragama menjadi diabaikan);
d.
mengancam identitas kegamaan dari masing-masing
agama;
e.
semakin banyak orang pindah agama ("sekedar berganti
cara makan");
f.
tejadi konsolidasi dari kelompok agama besar, dominan,

mapan, resmi dan mainstream sehingga terbentuk


pembelaan diri yang berlebihan.

III.

Sebab-sebab Sikap Intoleran


Sikap-sikap tidak toleran terhadap penganut agama atau
kepercayaan lain disebabkan oleh beberapa kondisi atau ha1 ha1 yang tidak boleh dilakukan oleh pemeluk agama dalam
rangka membangun toleransi di dalam kehidupan beragama.
Para peserta lokakarya merumuskan belasan situasi yang
menyebabkan seseorang atau suatu kelompok tidak memiliki
toleransi terhadap agama atau kepercayaan lain, yaitu:
a.
Fanatisme agama yang berlebihan
b.
Rendahnya pendidikan
c.
Minimnya pemahaman akan toleransi antarumat
beragama
Politisisasi agama untuk tujuan politik
d.
Minimnya pengetahuan agama sendiri maupun agama
e.
orang lain
Adanya klaim kebenaran sepihak dengan menyalahkan
yang lain
Mengukur agama lain dengan standar agamanya secara
sempit
Metode dakwah yang agitatiflprovokatif.
Kegagalan pemerintah mengakomodasi kebebasan beragama
Dominasi agama tertentu dalam masyarakat atau kehidupan politik
Tersumbatnya komunikasi antarkelompok keagamaan
pemimpin agama yang merasa agamanya paling benar
dan menganggap agama orang lain salah.
Kebijakan yang tidak mempromosikan kebebasan
beragama dan berkepercayaan.
Pemaksaan dalam pengindukan ke "agama-agama resmi"
Disknminasi dalam pekerjaan dan pelayanan publik
lainnya.
"menanyakan" faham keagamaan seseorang
"menghakimi" kalangan yang berbeda: atheis, sesat,
murtad.

IV.

Dalil Agama atau Adat tentang Toleransi


Dalam waktu yang relatif pendek, para peserta lokakarya
berhasil menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
fasilitator, termasuk dalil-dalil yang ada di semua agama atau
kepercayaan yang mendorong munculnya sikap-sikap toleran
antarpemeluk agama dan kepercayaan.
Adapun dalil-dalil yang dikemukakan antara lain adalah
sebagai berikut:
1.
Islam
o
QS: Al-Baqoroh:256
o
QS: Al-Kafirun: "Agamamu adalah agamamu dan
agamaku adalah agamaku"
o
QS: 49 ayat 13 (persaudaraan)
o
QS: An-Nisaa ayat 1 (penciptaan manusia)
o
QS: 88 ayat 21-22 (tentang kasih)
o
QS: 3 ayat 159
o
QS: 109 ayat 6
o
QS. Ali Imron (laa ikrooha fiddiin, tak ada paksaan
dalam beragama)
o
QS: Al-Maidah ayat 2
o
QS. Yunus : 99: "Dan jikalau Tuhanrnu menghendah, tentulah beriman semua orang yang
dimuka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu
hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi
orang-orang yang beriman semuanya".
o
Al-Quran: "Janganlah kamu mengolok-olok kaum
yang lain, mungkin saja kaum yang kalian olokolok itu lebih baik daripada kamu".

2.

168

1 KOMNAS HAM

Katholik dan Protestan


o
Kitab Galatia: "Kasihilah sesama manusia seperti
kamu mengasihi dirimu sendiri"
o
Injil Matius 22:37 - 40 (Hukum Kasih)
o
Advent - Matius 7 : 12- Advent: "Apa yang kamu
kehendaki supaya orang lain perbuat padamu,
perbuatlah demikian juga, karena inilah isi kitab
hukum taurat dan kitab para nabi"
Matius: "Jika kamu mengampuni saudaramu,
o

kamu hams mengampun 70 kali 7 kali"

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

Hindu
Tri Hita Karana ( Parahyangan, Pawongan, Peo
lemahan)
Tat Twam Asi artinya "Aku adalah Kau, Kau
o
adalah Aku" maksudnya saya memandang orang
lain seperti dirinya sendiri
Buddha
o
Kitab Falisuta dan Kalarnasuta, yang diambil
adalah dari prasasti Kalingga Raja Asoka: "Jangan
mencela agama lain karena dengan mencela agama
lain, berarti telah mencela atau mengubur agamanya
sendiri"
Sikap Brahma Vihara: "Cinta Kasih, Welas Asih,
o
rasa simpati dan keseimbangan batin"
o
Angutara Nikaya: ''mencela atau menjelekkan
ajaran orang lain sama halnya menggali lubang
kubur bagi agamanya sendiri"
Khonghucu
o
"Di empat penjuru lautan, semua manusia bersaudara"
o
"Seseorang yang berbudi luhur, walaupun berbeda, akan dapat hidup harmonis. Namun apabila
rendah budinya, walaupun sama, tidak akan dapat
hidup harmonis"
Petuah : "Ura'ngi Rua, Kaluppai Rua (Ingatlah
Kejahatan kepada orang lain dan ingat kebaikan orang
- orang kepadamu serta lupakanlah kebaikanmu kepada
orang lain serta lupakan pula kejahatan orang kepadamu
(Falsafah Bugis - Makassar)"
Sipakatau, Sipakainge, Sipatokkong, Sipakalebbi dan
Sipakarennu;
Misa' Kada Dipotuo Pantan Kada Dipomate yaitu
"Bersatu Kita Teguh Bercerai Kita Runtuh" (falsafah
Toraja);
To kamase-masea artinya "saling mengasihi sesama
manusia" (Kajang)

10.

"Umaku langi, indoku dunia, tasi katuvuaku, sakaya


banuaku" artinya bapakku langit, mamaku bumi, laut
tempat hidupku, perahu mmahku. Maksud pepatah Palu
ini adalah seluruh umat manusia bersaudara.

V.

Komitmen Harmonisasi Antarumat Beragama


Menurut para peserta lokakarya di enam kota, komitmen
bersama yang dapat dijadikan pedoman agar jalinan hubungan
antar umat beragama dan etnis dapat berlangsung harmonis
sudah ada dalam berbagai nilai dan norma yang berlaku di
masyarakat kita. Adapun komitmen itu tertuang dalam:
a.
Pancasila
b.
UUD'45 pasal28 E dan 29
c.
Aktualisasi semboyan Bhinneka Tunggal Ika
d.
Berbagai semboyan dan mot0 bangsa, antara lain
"Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh", "Berdiri sama
tinggi duduk sama rendah"
Sikap-sikap yang tumbuh dalam masyarakat, seperti
e.
saling menghargai dan gotong royong.
Teladan tokoh agama yang inklusif dan toleran
f.
Keputusan forum bersama antarumat beragama atas prag.
karsa masyarakat sendiri
Memberikan "khotbah" yang tidak memprovokasi perh.
bedaan, tetapi lebih menekankan "kemaslahatan" yang
dapat memberikan kepada masyarakat melalui kompetensi, kemampuan, moralitas..
i.
Menciptakan rasa aman, mendorong kesejahteraan,
keadilan, kebebasan dan penghargaan atas martabat
manusia tanpa diskriminasi.

VI.

Ajaran Agama yang Mendukung HAM


Sebenarnyapada setiap ajaran agama dan kepercayaan ada
seman yang bersifat universal dan mendukung penghormatan dan
penegakan hak asasi manusia. Para peserta menemukan begitu
banyak ajaran-ajaran yang iahir dari agama atau kepercayaan
yang menopang pemajuan HAM, antara lain:
a.
Cinta kasih
b.
Keadilan

Humanisme
Hak hidup
Hak berkeluarga dan bereproduksi
Yang mengajarkan perdamaian;
Berbuat baik kepada siapa saja dengan tulus hati;
Yang berbuat baik akan mendapatkan kebaikan juga.
Kesamaan martabat manusia
Amar ma'ruf nahi munkar.

W. Etika Pergaulan dalam Masyarakat Majemuk


Para peserta lokakarya merumuskan etika pergaulan yang
hams dijaga dalam konteks masyarakat majemuk. Adapun etika
tersebut, antara lain:
a.
Saling menghormati
Bersedia minta maaf bila secara sengaja atau pun tidak
b.
sengaja telah terlanjur bertutur kata, bersikap dan
berperilaku yang menyinggung perasaan umat agamal
kepercayaan lain.
Gotong royong
c.
Sopan santun
d.
e.
Bersimpati, berempati
Tolong menolong
f.
g.
Silahturahmi
h.
Musyawarah
i.
Rendah hati
j.
Jujur
k.
Bersikap arif dan bijaksana
1.
Sipakatau
m.
Sipakalebbi
n.
Sipatokkong
o.
Sipakarennu

VIII. Syarat Pendirian Tempat Ibadah


Konflik sosial bernuansa agama tak jarang disebabkan
oleh hal-ha1 yang bersifat teknis, misalnya ijin pendirian tempat
ibadah. Bagaimana tempat ibadah harus didirikan agar bisa
diterima masyarakat setempat? persyaratan apa saja yang hams
terpenuhi? Para peserta lokakarya berdiskusi dan menghasilkan

beberapa simpulan, yaitu:


a.
Adanya komunikasi dan dialog dengan masyarakat
sekitar.
b.
Terpenuhinya syarat formal yang berkaitan dengan status
tanah dan bangunan, perijinan, dan tata ruang.
c.
Terpenuhi syarat formal dalam pendirian rumah ibadah
sesuai peraturan yang berlaku (Peraturan Bersama
Menteri Agama dan Mendagri), yaitu adanya jamaah
sebanyak 90 jiwa dan disetujui oleh 60 jiwa dari
masyarakat setempat.
d.
Tidak dimaksudkan untuk melakukan kegiatan konversi
terselubung (lebih ditujukan kepada pembinaan umat).
e.
Tidak mengganggu ketertiban umum
f.
Rekomendasi Fomm Kerukunan Umat Beragama
g.
Rekomendasi Departemen Agama, KabupatenKota
h.
Adanya komunikasi intensif dengan stakeholders lokal
i.
Sesuai dengan kebutuhan umatlpenganutlpengikut
Tersedianya lahan parkir yang cukup
j.

IX.Syarat 90 orang untuk Pendirian Tempat Ibadah


Jawaban para peserta lokakarya agak kurang konsisten
ketika menjawab pertanyaan: Setujukah Anda jika untuk
mendirikan satu rumah ibadat hams ada sedikitnya 90 orang
penganut agama yang bersangkutan? Ketika pada poin
sebelumnya ditanyakan tentang syarat pendirian tempat ibadah,
peserta menjawab sesuai dengan Peraturan Bersama Menteri
(PBM). Dalam PBM yang bam disebutkan bahwa hams ada 90
orang pemeluk agama yang bersangkutan jika di suatu tempat
akan dibangun tempat ibadah.
Para peserta sontak tidak menyetujui ketentuan PBM
bahwa harus ada 90 orang untuk dapat mendirikan sebuah
rumah ibadah. Para peserta beralasan setiap pemeluk agama
berhak mendapatkan fasilitas ibadah yang layak dan angka itu
sulit dipenuhi oleh kelompok agama minoritas. Di Makassar,
ada juga peserta yang setuju karena tanpa syarat ini, maka akan
berdiri tempat-tempat ibadah yang berpotensi menimbulkan
perang simbol. Di Surabaya, para peserta menyatakan tidak
setuju dengan syarat ini, alasan ketidaksetujuan ini ada empat:

a.
b.
c.
d.

Angka yang sulit untuk pemeluk minoritas


Dapat menjadi pemicu munculnya prasangka agama.
Kondisi geografis tiap wilayah berbeda
Bertentangan dengan prinsip-prinsip kebebasan beragama
dan berkepercayaan.
Di Jakarta Peserta tidak setuju dengan alasan sebagai
berikut:
Konsep ibadat dan mmah ibadat setiap kelompok agama
adalah berbeda-beda, apalagi secara prinsip, jumlah yang
sedikit tidak boleh diartikan bahwa mereka tidak boleh
mendirikan mmahltempat ibadat mereka sendiri
Banyak situs keagamaan yang mengalami perubahan
makna akibat intervensi yang dilakukan kekuasaan, baik
secara sengaja ataupun karena kekurangan pemahaman
(misalnya menjadi situs purbakala, kemudian digali
untuk mencari harta karunnya; atau pohon besar yang
dirawat seorang kepercayaan yang menghargai alam,
kemudian dianggap tahyul dan pohonnya ditebang). Hal
itu menunjukkan bahwa fimgsi tempat ibadat sering salah
ditempatkan dan karenanya lebih baik untuk dikembalikan
saja kepada realitas bermasyarakat.
Para peserta sependapat rekomendasi Komnas HAM
yang mengatakan Peraturan Bersama Menteri bersifat sementara
dan lebih ditujukan untuk mengisi kekosongan hukum. Mereka
mendesak agar UU tentang Kebebasan Melaksanakan Beragama,
Berkeyakinan, dan Berkepercayaan segera dirumuskan.

X.

Dukungan 60 orang untuk Pendirian Tempat Ibadah


Maraknya penutupan rumah ibadah oleh masyarakat
setempat membuat prihatin banyak kalangan, termasuk Komnas
HAM. Dalam lokakarya ini, kepada para peserta disodorkan
pertanyaan: "Perlukah dukungan masyarakat setempat yang
beragama lain di dalam mendirikan suatu tempat ibadat? Kalau
jawaban setuju, berapa jumlah orang yang harus memberikan
dukungan tersebut?"
Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, peserta terbagi
dua kelompok: setuju clan tidak setuju. Kelompok yang setuju
menyatakan perlu dukungan masyarakat tanpa penetapan jumlah

penganutnya dan mempermudah jumlah yang dipersyaratkan.


Kelompok ini juga meminta agar kata "persetujuan" diganti
dengan "pemberitahuan".
Kelompok yang tidak setuju menyatakan bahwa pendirian
tempat ibadah tidak memerlukan dukungan masyarakat setempat
karena beberapa hal, yaitu:
d.
Sulit untuk bisa mencapai angka tersebut, karena faktor
pemahaman agama yang sempit (fanatisme)
e.
Kepadatan penduduk yang berbeda
f.
Kondisi geografis tiap wilayah berbeda
Dapat menjadi pemicu munculnya prasangka agama
g.
h.
Bertentangan dengan prinsip-prinsip kebebasan beragama
dan berkepercayaan

174

1 KOMNAS HAM

BAGIAN KEEMPAT

an serangkaian Seminar dan Lokakarya disampaikan rekomendasi


kepada berbagai pihak sebagai berikut:
Perlu diupayakan terus-menerus dari berbagai pihak untuk melakukan
penguatan terhadap masyarakat Sipil guna memiliki modal kultural
memasuki dunia yang multikulturalisme;
Diperlukan reposisi peran negara, terutama Departemen Agama di
dalam menjamin kebebasan beragama atau berkepercayaan ;
Pelurusan legal formal dengan melakukan pencabutan atau koreksi
semua peraturan atau perundang-undangan yang masih diskriminatif
terhadap pemeluk agama atau kepercayaan;
Menghindari politik yang dijalankan hanya berdasarkan pemahaman
sempit keagamaan;
Mendorong amandemen UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, agar
Komnas HAM tidak sekedar memberikan rekomendasi "kosong".
Perlu tindakan nyata dari pengambil keputusan dan pemerintahan,
termasuk peran Komnas HAM untukmenyelesaikan persoalanmendasar
terkait dengan kekerasan atas nama agama atau kepercayaan.
Perlu memasukkan tolok ukur mengenai kualitas keagamaan yang tidak
didasarkan kepada kuantitasjumlah rumah ibadat ataujumlah umat semata,
tapi kepada sumbangannya kepada kernanusiaan dan peradaban.
Sudah dirasakan mendesak ada inisiatif DPR dan atau Pemerintah
untuk membuat UU tentang Kebebasan Menjalankan Agama atau
Kepercayaan.
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 /
8 bersifat sementara untuk mengisi kekosongan hukum.

176

I KOMNAS HAM

BAGIAN KELIMA

an proses seminar dan lokakarya yang telah dilaksanakan di


berbagai kota tersebut diharapkan para peserta memahami
(rana kognitif) tentang makna sebenarnya dari kebebasan
beragama atau berkepercayaan sesuai dengan UUD 1945, UU No. 39 tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia,
UU No 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak
Sipil Politik, khususnya pasal 18. Sedangkan dari proses interaksi pada acara
lokakarya (banyak menyentuh rana afektif) yang telah mampu menghasilkan
sejumlah kesepakatan diharapkan menumbuhkan kesadaran, terjadinya
perubahan atau kemantapan berperilaku peserta untuk saling menghormati
perbedaan, bertoleransi secara jujur antar umat beragamd berkepercayaan
dan pada gilirannya mampu mengimplementasikannya dalam kehidupan
sehari-hari yang tercermin dari sikap menghormati dan memajukan Hak
Asasi Manusia, khususnya hak kebebasan beragamd berkepercayaan di
lingkungannya masing-masing. Dengan membaca buku ini khususnya bagi
peserta seminar dan lokakarya dari berbagai kota dan para pembaca yang
tidak termasuk orang yang terlibat dalam proses seminar dan atau lokakarya
tentang Kebebasan Beragamd Berkepercayaan yang diselenggarakan Komnas
HAM (cq. Penanggung Jawab atas Hak-Hak Kebebasan Pribadi, Sub Komisi
Sipil Politik) dapat memetik manfaat dari buku ini dan mudah-mudahan dapat
dijadkan pedoman bagi keperluan sosialisasi tentang kebebasan beragama/
berkepercayaan demi tercapainya masyarakat yang aman, damai, tentram dan
penuh keharmonisan.
. KOMNAS HAM

177

Peserta Seminar dan Lokakarya


Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia
Komnas HAM
Palu, 11-12 September 2006
Kelompok Peran Masyarakat
Anggota:
Gulsharn Khan A - Guru
- Imam Sofyan - PSKP HAM
- Jeis Monteson S. - Suara Pembaruan;
- Loddy Surentu - BKS Pemuda Gereja Sulawesi Tengah;
- Nudin Rajaide - AMASUTA,
- Supardi Lasaming - WALHI Sulteng;
- Jayadin - YPR;
- Baith Halim - LPKP 65;
- Zaiful - YMPP;
- Endi - Salena;
- Azriadi Bachry - LPS HAM;
Erwan A. Siara - AMASUTA;
- Udin - FPM Dongi-dongi;
Jusanto - Biro Kumdang Prop. Sulteng;
- Kismar - PSKP HAM;
- Abdul gafur - Komunitas Adata Tae;
- Marjianto - Bimas Buddha, Dep. Agama;
- Rusman Anno Cartenz -JARI;
Gustaf Goerge - Lex Pepardi;
- Erna Dwi Lidiawati
Kelompok Peran Pemerintah
Anggota:
- Mahfud Masuara - YTM
Imran Zamrud - LPKP
- Rein Alow - Advent
- Abubakar A.K - Polri

Muh. Jumain - Pers


Jamaludin Haz - PWRI Palu
Dzrhniar - Bantara
Marsam - Magabudhi
Zulkifli - Salena
Tamin S - Salena
Agustani - Salena
Hans - Salena
Mursid S - Kontras
Alam - Mercusuar
Nawawi - GPMI
M Ridwan Lapasere - AJI Palu
Irpan Supu - RA. DPD RI

Surabaya, 25-26 Agustus 2006


Kelompok Peran Masyarakat
Anggota:
- Drs. H. Akhmad Bisri Mustaqim, MH - Pengadilan Agama Surabaya
- Syafiudin Budiman, SIP - DPP IMM
- Heri Tjahyono - FKPS
- Djulaikah Suwarsono - Persada
- Go Shee Hing - Forum Komunikasi Tionghoa
Tetty Maria Rosari S. - Wanita Katolik DPD Jatim
Drs. Budi Wijaya, S.E. - Khonghucu-MATAKIN
- Sri Sugeng Pujiatmiko, SH - PW NU Jatim
- Suwidji - Ahmadiyah
- Ust. Drs. M. Sjaichul Islam, SH. MH - MU1 Jatim
- Syuhada Endrayono, SH - Dewan Mesjid
- Choirul Mahfbd, S. Ag - LKAS Surabaya
- Asep Sutiyono - POLDA
Kelompok Peran Pemerintah
Anggota :
Hendy prayogo - PSMTI
- Nur Asiyah Ika N - DPP IMM
- Nur Ulwiyah - PW Muslimat NU Jatim
Hasnawi Haris - UNAIR

KOMNAS HAM

179

Alim Honoaryo - Tri Dharma JATIM


Nur A Firmansyah - Ahmadiyah
Henny-PUT1
Drs. Ghufkon Sulaiman, SH.MH - Pengadilan Agama Surabaya
Obet - Forum Lintas Agama
Mariyam Baharuddin - Muslimat NU JATIM
Fitriana U.D - LKAS Surabaya
Veridiana Chandra Sekar - Justice and Peace Keuskupan
Ma'sum Ahmad - Ahmadiyah
Drs. Abdullah Mustaim - Dinas Kependudukan
SMT Rosos - Badan Ketahanan Pangan
Ir. Nanik Yuniarti - Diskanut

Pangkal Pinang, 26-27 Mei 2006


Kelompok Peran Masyarakat
Anggota:
- AM. Harris Munandar - STIE Pertiba
- Ayuna Disyanah - Islam
- Yohanes - Protestan
- Donna Sita Daveria - Protestan
- Anne M Hutabarat - Protestan
- NG Min Hie - Khonghucu
- Zulmiyadi - PN Pangkal Pinang
- Henry Kurniawan - Khonghucu
- A.M Haris Munandar - S T E Pertiba
- Bambang Sutrisno - AMIK Atma Luhur
- Perayana - Islam
- Elayana - POLMAN Timah
- I Wayan Rana - Hindu
- Nyoman Citra - Hindu
Kelompok Peran Pemerintah
Anggota:
- Syarihddin, S. Ag - Kanwil Depag Bangka Belitung
- Ade Indra - POLMAN Timah
- Kunto Karyadi, SH Khonghucu
- Pastur Stefanus Tomeng Kelen, Pr - Katholik
-

Pastur Servasius Samuel - Katholik


Guantoro - Khonghucu
Budiyanto, SE - Buddha
Sutriyono - Kesbanglinmas Bangka Belitung
M Subhan, SST - POLMAN Timah
Karsan, S.Ag - Buddha
Parjiono - Buddha
Ahmad Chairullah - Kesbanglinmas Bangka Belitung

Makassar, 13-14 Juli 2006


Kelompok Peran Masyarakat
Anggota:
- Tommy - WALUBI
- M.T. Meijer - GPIB
Abdul Rauf Rachman - Mesjid A1 Habib
- H.M. Dahlan Yusuf - MUVPemda Prop. Sulsel
- Jacob Ngeljazetan - Gereja Katholik Mamajang
- Irza Rasyid Ali - JAI Makassar
- Mubarikah - JAI Makassar
- Muhammad Diantong - JAI Jeneponto
- Ahyar Anwar - ICMI Muda
- M. Taufik - WALHI
- Zulkifli Aspan - FH Unhas
- Pdt. Duma Tonda - Gereja Tonda
- H.M. Saiful - DPP IMM
- Andi Nilawati - SKU Perintis Nusantara
- Ishak Ngeljarat - FKKB
- Frengky Fonso - WALUBI Sulsel
- H.A. Hamim Naum, SH - PWM Sulsel
- Romi Librayanto, SH., MH - FH Unhas
- Nasrul Kadir - LePHAS
Ibnu Abas Ali - HMI Cab Makassar Timur
- Arnriyanto - LePHAS
- Sabri Sulaiman - DPD HTI
- Saifuddin Al-Mughniy - GPIII LKIS
- Muhammad Yusuf Sahide, SH - Sekjen LIPPI
- Hasdy, Ssi - DPD WALUBI

M. Akbar - IPNU

Kelompok Peran Pemerintah


Anggota:
- Nasrum - Kontras Sulawesi wil Sulsel
- Syaeful Uyun - JAI Sulsel
- Anton Obey - FKKB
Nurdin Juddah - PT Agama Makassar
- Murtiyono Yusuf Ismail - JAI Bulukumba
- Azis Fatimah -Forum Pembela Pancasila
- M. Yusuf M. Abdullah - Forum Pembela Pancasila
- KH Bakri Wahid - Yay. Majelis Kajian Islam
- Diaraya - Fak. MIPA Unhas
- Drs. H. Darwis Muhdina - Univ. Muhammadiyah Makassar
- M. Hasbi Abdullah - LBH Makassar
- H. Abbas Saleng - DPP IMM
H.L. Burhanuddin - A1 Irsyad A1 Islamiyah
- Zainal Abiain, BA - Majelis Suro KPPSI
Leonardus - WALUBI Makassar
- Darmayasa - PHDI Sulawesi Selatan
- Abdul Rahman - Bagian Agama Biro KAPP
- Yonggris - WALUBI Sulsel
Abdul Bahtiar, SH - Kejaksaan Tinggi Sulsel
- Alirnuddin A. Lajju - DPD HTI Sulsel
Yansor Djayasitorus - GPIB Mangngamaseang
- H.S. Wikarsa - Katholik
Mataram, 11-12 Agustus 2006
Kelompok Peran Masyarakat
Anggota:
- Johan Bachri - UNRAM
- Jonar Siahaan - ANTARA
- Romo Rosarius - Paroki St. Maria
- Sofyan - POLRES Mataram
- Samsul Hadi Idris - KASTA
- Haji M. Natsir Abdullah - UNRAM
Sudarma - Tokoh Adat Wetu Telu

182

1 KOMNAS HAM

Husni Thamrin - RP3


Ahmad Muhlis Firdaus - Ahmadiyah
Sahirman - IPNU NTB
Andi M - LARD Mataram
Taufik H - KRAK
Ahmad Jumaidi - Jemaah Salafi
Soeryadi Hidayat - IRM
Lalu Martayadi - YLBHR
Yohyanes M. Vas - PMKRI Mataram
M Fihirudin - BEM Unram
Kristoforus P. Ng, Nengah Sutame - PMKRI
Rudy Hidayat - Lombok Post

Kelompok Peran Pemerintah


Anggota:
- Syamsir Ali - Ahmadiyah
- Surya Jaya - LBH APIK NTB
- Mawardi - Polres Mataram
- Firman Syah - PP Darul Arnan
- Taufiqurrahman - LARD Mataram
- Salahudin - Le-SAD
- Abdul Rasyid - BORGOL
Syukri Alwaro - KRAK
- IGD., Kusmiadi - PHDI
- Samsul Hadi - GARDA
- Marta Dinata - VDIB-NTB
Jakarta, 7 November 2006
Kelompok Peran Masyarakat
Vera Wenny S - KWI
Asmin Fransiska - FH Unika Atmajaya
Purwandono - Kompkal
Annur Rofiq
M. Ali Safa'at - MK
Ari Masyhuri - GANDHI
Christine Ari Kristyorini
Weinata Sairin - PGI

KOMNAS HAM

183

Wayan Suwira Satria


Tuti Ekawati - Budidaya
Teguh
Evi Douren - UPLIFT Internasional
AA Sudirman - Penghayat Kepercayaan
Erick Barus
Suma Mihardja - Pokja Konsorsium Capil
Kelompok Peran Pemerintah
Djohan Effendi - ICRP
A Mubarik Ahrnad - Jemaat Ahmadiyah Indonesia
dr. Wahyono Rahardjo - Ketua FKUB
Xs. Djaengrana Ongawijaya - MATAKIN
Vitalis Jenarus - Sunspirit
Bonifasius Gunung - Sunspirit
Mardian Wibowo - Mahkamah Konstitusi
Antonio da Silva (Castro)
Engkus Ruswana - Budidaya
Taheri Noor - Komnas HAM
Drs. Sudirman - Dir. C Baintelkam POLRI
Prof. Dr.HM. Ridwan Lubis, Litbang Depag
Drs. Rusli, SH., MM. - WALUBI

Chandra Setiawan, saat ini tercatat sebagai Komisioner Hak atas Kebebasan
Pribadi, Komnas HAM (2002-2007). Pria kelahiran Pangkal Pinang, 8 April
1961, ini menamatkan S3 pada Jurusan Manajemen Pendidikan Universitas
Negeri Jakarta dengan predikat cumlaude pada 2001. Selain menjabat sebagai
Rektor IBII (2001-Agustus 2006), ia juga menjadi anggota presidium Majelis
Tinggi Agama Khonghucu Indonesia. Ketua I1 ICRP ini dipercaya sebagai
Ambassador for Peace dari The Interreligious and International Federation for
World Peace (IIFWP).
Pdt. John A Titaley, lahir di Sorong, Irian Jaya, 19 Juni 1950. Guru besar Ilmu
Teologi pada PPS Sosiologi Agama UKSW dan guru besar luar biasa pada CRCS
UGM ini menamatkan studi pada Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya
Wacana, Salatiga tahun 1976. Saat ini Titaley bertempat tinggal di Salatiga.

M. Qasim Mathar, lahir di Makassar, 21 Agustus 1947.Pria yang menamatkan


pendidikan S3 di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, ini sehari-hari mengajar
di Universitas Islam Negeri Salahuddin Makassar. Ia juga bergabung
dengan organisasi Komunitas Indonesia untuk Demokrasi dan berdomisili di
Makassar.
Pdt. Andreas A. Yewangoe, lahir di Sumba, 3 1 Maret 1945. Pendeta beranak
dua ini sejak kecil memang bercita-cita untuk menjadi pendeta. Selain
menjadi Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, pendeta yang
menamatkan S3 di Vrije Universiteit, Amsterdam, ini juga aktif di Yayasan RS
PGI Cikini, MPK, dan Akademi Leimena.
Fauzan Al Anshari, lahir di Yogyakarta, 2 September 1966. Lelaki yang
memilih berdomisili di kawasan Jakarta Tirnur ini menempuh pendidikannya
di Jurusan Aqidah Filsafat, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. la melanjutkan
pendidikan Pascasarjana pada Program Magister Manajemen STIE IPWI
Jakarta. Saat ini Fauzan duduk sebagai Ketua Departemen Data dan Informasi
Majelis Mujahidin Indonesia (MMI).
Siti Musdah Mulia, menamatkan S3 pada 1997 di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Dosen Pengembangan modern dalam Dunia Islam untuk program S3
KOMNAS HAM

185

di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, ini juga menjadi staf ahli pada Depag RI.
Doktor kelahiran Bone, 3 Maret 1958, ini punya beragam aktivitas lain, antara
lain tercatat sebagai Sekretaris Jenderal Indonesian Conference on Religion
and Peace (ICRP).
Dawam Raharjo, lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada. Lelaki
kelahiran Solo ini turut membidani lahirnya Ikatan Cendekiawan Muslim seIndonesia (ICMI) pada 1990. Ia menjadi wakil ketua Dewan Pakar pada periode
pertama, dilanjutkan sebagai Ketua ICMI Pusat pada periode berikutnya.
Mantan Rektor Universitas 45 (Unisma) Bekasi ini juga aktif di Lembaga
Studi Agama dan Filsafat dan Internasional Institute of Islamic Thought.
MM. Billah, saat ini masih tercatat sebagai Komisioner Hak atas Keyakinan
Politik, Komnas HAM. Pria kelahiran 21 Juli 1945 ini menamatkan S2 di
Universitas Indonesia pada 1995. Selain dikenal sebagai konsultan atau
fasilitator, salah satu pendiri KontraS ini juga menangani penelitian dan
evaluasi beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat.
Djoko Surono, pegawai negeri sipil berpangkat Penatdl11 d. Saat ini menjabat
Kasubag Hukmas dan KUB Kanwil Depag Jatim. Pria yang lahir di Boyolali,
21 Mei 1959, ini berdomisili di bilangan Tagesangan, Surabaya.

186

I KOMNAS HAM

Anda mungkin juga menyukai