Anda di halaman 1dari 7

BENIH LAHIRNYA AGAMA

Kajian oleh: Prof. Dr. Quraish Shihab


(Republika, 24 Juli 2020/3 Dzulhijjah 1441 H)

Agama adalah hubungan manusia dengan Tuhan. Ada beragam pendapat tentang
bagaimana lahirnya hubungan manusia dan Tuhan, benih lahirnya agama, serta mengapa
manusia beragama hingga muncul sebuah peradaban.
Prof. Dr. Quraish Shihab menjelaskan, ada pendapat yang tidak masuk akal tentang
benih lahirnya agama. Pendapat itu dikemukakan oleh Sigmund Freud. Freud mengemukakan
bahwa, agama itu bermula dari menyembah leluhur. Hal ini disebut juga Odipus Complex
yang dilatarbelakangi kecintaan seorang anak dan keinginan melampiaskan nafsu birahi pada
ibunya sehingga membuat anak itu sampai membunuh ayahnya. Kemudian, ada penyesalan
dalam diri anak tesebut hingga berujung penyembahan terhadap ayahnya yang dibunuh.
Menurut Quraish Shihab, pendapat itu sama sekali tidak masuk akal, terlebih
menjadikan orang yang sakit jiwa (pembunuh) sebagai dasar untuk, menjelaskan lahirnya
agama. Diantara pendapat yang popular tentang benih lahirnya agama adalah agama lahir
karena rasa takut. Menurut Quraish Shihab, di satu sisi pendapat tersebut memiliki kebenaran.
Rasa takut mendorong seseorang mendekat pada Tuhan yang kemudian orang tersebut
beragama. Namun, menurut Quraish Shihab, ada pendapat yang dikemukakan banyak pakar
Islam tentang benih lahirnya agama yang jauh lebih dalam daripada pendapat bahwa agama
lahir dari rasa takut.
Untuk menjelaskan pendapat ini, Quraish Shihab mengawalinya dengan membahas
bagaimana Adam ketika diciptakan dan berada di surga. Quraish menjelaskan, tidak ada
agama di surga ataupun pengenaan kewajiban untuk menjalankan suatu amal atau taklif.
Selain itu, Quraish Shihab mengatakan, jauh sebelum Nabi Adam diciptakan, Allah sudah
menetapkan bahwa Nabi Adam akan diturunkan ke bumi atau menjadi khalifah fil ardh. Hal
ini sekaligus membantah pernyataan Nabi Adam terusir dari surga. Sebab turunnya Nabi
Adam ke bumi sudah ditentukan jauh sebelum diciptakan.
"Allah menciptakan Adam, tapi Dia suruh dulu tinggal di surga supaya dia lihat dulu
bagaimana itu surga. Dia sudah kenal Tuhan. Dia kan sudah disuruh jangan dekati ini.
Disuruh, kamu tinggal di surga, lihat di surga bahagia. Banyak makanan, minuman, pakaian.
Tapi, di surga juga Allah mengingatkan Adam, hai Adam, itu musuhmu setan. Di surga itu kan
diingatkan," kata Quraish Shihab dalam kajian daring dalam akun resminya yang diunngah
beberapa hari lalu.
Keterangan tersebut dapat ditemukan dalam Al-Quran QS. Thaha ayat 117-119.
Menurut dia, dapat pula dipelajari QS Al-Waqi'ah ayat 25-26. Menurut Quraish Shihab, Allah
menetapkan Adam tinggal di surga agar dijadikan target untuk melaksanakan tugas-Nya di
bumi seakan Allah menyuruh Adam untuk membuat bayang-bayang surga di bumi. Manusia
harus berusaha sehingga tersedia sandang, pangan, papan, dan kebutuhan lainnya di bumi.
Manusia juga bertugas menciptakan kedamaian seperti di surga yang damai. Meski demikian,
Quraish menjelaskan, Adam melanggar peringatan Allah hingga akhirnya diturunkan ke bumi.
Menurut Quraish, ketika telah diturunkan ke bumi, ada proses yang dilalui Adam untuk
menemukan agama. Hal ini dapat ditemukan dalam Al-Quran. "Kami berfirman, turunlah
kamu semuanya dari surga itu. Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu maka barang
siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak
(pula) mereka bersedih hati." (QS. Al-Baqarah: 38).
Konsep Islam tentang benih lahirnya agama, dia mengatakan, bermula ketika Adam turun ke
bumi dan menemukan tiga hal, yakni kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Hal ini
membuatnya menemukan sesuatu yang memiliki kebenaran, kebaikan, dan keindahan yang
langgeng, kekal dan tidak rusak, serta tidak terbatas, yakni Allah SWT. (ed. a. syalaby ichsan)

Analisis Berdasarkan Referensi:


Pada Teori Pertama yang disampaikan oleh Quraish Shihab Tentang agama yang lahir
dengan awal menjadikan orang yang sakit jiwa (pembunuh) juga didukung oleh Teori
Sentimen Kemasyarakatan. “Teori Sentimen Kemasyarakatan”, berasal dari seorang sarjana
ilmu filsafat dan sosiologi bangsa Perancis bernama E. Durkheim, dan diuraikan olehnya
dalam bukunya Les Formes Elementaires de la Vie Religieuse (1912). Durkheim yang juga
menjadi amat terkenal dalam kalangan ilmu antropologi budaya, pada pangkalnya mempunyai
suatu celaan terhadap Tylor, serupa dengan celaan Marett tersebut di atas. Beliau beranggapan
bahwa alam pikiran manusia pada masa permulaan perkembangan kebudayaannya itu belum
dapat menyadari suatu faham abstrak “jiwa”, sebagai suatu substansi yang berbeda dari
jasmani. Kemudian Durkheim juga berpendirian bahwa manusia pada masa itu belum dapat
menyadari faham abstrak yang lain seperti perubahan dari jiwa menjadi ruh apabila jiwa itu
telah terlepas dari jasmani yang mati. Celaan terhadap teori animisme Tylor itu termaktub
dalam permulaan buku Les Formes Elementaires de la Vie Religieuse, tempat beliau
mengumumkan suatu teori yang baru tentang dasar-dasar agama yang sama sekali berbeda
dengan teori-teori yang pernah dikembangkan oleh para sarjana sebelumnya. Teori itu
berpusat kepada beberapa pengertian dasar, ialah :
a)      Makhluk manusia pada waktu ia pertama kali timbul di muka bumi, mengembangkan aktivitas
religi itu bukan  karena ia mempunyai  bayangan-bayangan abstrak tentang jiwa atau roh
dalam alam pikirannya, yaitu suatu kekuatan yang menyebabkan hidup dan gerak di dalam
alam, melainkan karena suatu getaran jiwa, suatu emosi keagamaan, yang timbul di dalam
alam jiwa manusia dahulu, karena pengaruh suatu rasa sentimen kemasyarakatan.
b)      Sentimen kemasyarakatan itu dalam batin manusia dahulu berupa suatu kompleks perasaan
yang mengandung rasa terikat, rasa bakti, rasa cintadan sebagainya terhadap masyarakatnya
sendiri, yang merupakan seluruh alam dunia di mana ia hidup.
c)      Sentimen kemasyarakatan yang menyebabkan timbulnya emosi keagamaan, yang sebaliknya
merupakan  pangkal daripada segala kelakuan keagamaan manusia itu, tentu tidak selalu
berkobar-kobar dalam alam batinnya. Apabila tidak dipelihara, maka sentimen
kemasyarakatan itu menjadi lemah dan latent, sehingga  perlu dikobarkan kembali. Salah satu
cara untuk mengobarkan kembali sentimen kemasyarakatan adalah dengan mengadakan suatu
kontraksi masyarakat artinya dengan mengumpulkan seluruh masyarakat dalam pertemuan-
pertemuan raksasa.
d)     Emosi keagamaan yang timbul karena rasa sentimen kemasyarakatan , membutuhkan suatu
obyek tujuan. Sifat apakah yang menyebabkan barang sesuatu hal itu menjadi obyek daripada
emosi keagamaan bukan terutama sifat luar biasanya, bukan pula sifat anehnya, bukan sifat
megahnya, bukan sifat ajaibnya, melainkan tekanan anggapan umum dalam masyarakat.
Obyek itu ada karena salah satu peristiwa kebetulan dalam sejarah  kehidupan sesuatu
masyarakat di masa lampau menarik perhatian banyak orang di dalam masyarakat. Obyek
yang menjadi tujuan emosi keagamaan itu juga mempunyai obyek yang bersifat keramat,
bersifat sacre, berlawanan dengan obyek lain yang tidak mendapat nilai keagamaan (ritual
value) itu, ialah obyek yang tak-keramat, yang profane.
e)       Obyek keramat sebenarnya tidak lain daripada suatu lambang masyarakat. Pada suku-suku
bangsa asli benua Australia misalnya, obyek keramat, pusat tujuan daripada sentimen-
sentimen kemasyarakatan, sering berupa sejenis binatang, tumbuh-tumbuhan, tetapi sering
juga obyek keramat itu berupa benda. Oleh para sarjana obyek keramat itu disebut totem.
Totem itu (jenis binatang atau obyek lain) mengonkretkan prinsip totem yang ada di
belakangnya, dan prinsip totem itu adalah suatu kelompok tertentu di dalam masyarakat,
berupa clan atau lain.
Pendirian-pendirian tersebut pertama di atas, ialah emosi keagamaan dan sentimen
kemasyarakatan, adalah menurut Durkheim, pengertian-pengertian dasar yang merupakan  inti
atau essence daripada tiap religi, sedangkan ketiga pengertian lainnya ialah kontraksi
masyarakat, kesadaran akan obyek keramat berlawanan dengan obyek takkeramat, dan totem
sebagai lambang masyarakat, bermaksud memelihara kehidupan daripada inti. Kontraksi
masyarakat, obyek keramat dan totem akan menjelmakan (a) upacara, (b) kepercayaan dan (c)
mitologi. Ketiga unsur tersebut terakhir ini menentukan bentuk lahir daripada sesuatu religi di
dalam sesuatu masyarakat yang tertentu. Susunan tiap masyarakat dari beribu-ribu suku
bangsa di muka bumi yang berbeda-beda ini telah menentukan adanya beribu-ribu bentuk
religi yang perbedaan-perbedaannya tampak lahir pada upacara-upacara, kepercayaan  dan
mitologinya (Koenjtaraningrat, 1972: 223-224).
Melihat dari Teori Sentimen Kemasyarakatan yang mengatakan bahwa kemunculan agama
berhubungan dengan bagaimana emosional, perasaan dan benda keramat yang disembah
sebagai bahan untuk mengatakan ketuhanannay. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatkan oleh
Quraish Shihab yang mengatakan dalam wacana di atas bahwa agama awalnya lahir dari
seorang anak yang mencintai ibunya lalu membunuh bapak serta benda yang sering disembah
oleh bapaknya tersebut.

Pada Teori Kedua yang disebut oleh Quraish Shihab yaitu diantara pendapat yang popular
tentang benih lahirnya agama adalah agama lahir karena rasa takut. Hal ini sesuai dengan
Teori Krisis dalam Hidup Individu. Pandangan ini berasal antara lain dari sarjana-sarjana
seperti M. Crawley dalam bukunya Tree of Life (1905), dan diuraikan secara luas oleh A. Van
Gennep dalam bukunya yang terkenal, Rites de Passages (1909). Menurut sarjana-sarjana
tersebut, dalam jangka waktu hidupnya manusia mengalami banyak krisis yang menjadi obyek
perhatiannya, dan yang sering amat menakutinya. Betapapun bahagianya hidup orang, ia
selalu harus ingat akan kemungkinan-kemungkinan timbulnya krisis dalam hidupnya. Krisis-
krisis itu yang terutama berupa bencana-bencana sakit dan maut, tak dapat dikuasainya dengan
segala kepandaian, kekuasaan, atau kekayaan harta benda yang mungkin dimilikinya. Dalam
jangka waktu hidup manusia, ada berbagai masa di mana kemungkinan adanya sakit dan maut
itu besar sekali, yaitu misalnya pada masa kanak-kanak, masa peralihan dari usia muda  ke
dewasa, masa hamil, masa kelahiran, dan akhirnya maut. Dalam  hal menghadapi masa krisis
serupa itu manusia butuh melakukan perbuatan untuk memperteguh imannya dan menguatkan
dirinya. Perbuatan-perbuatan serupa itu, yang berupa upacara-upacara pada masa-masa krisis
tadi itulah yang merupakan pangkal dari agama dan bentuk-bentuk agama yang tertua
(Koenjtaraningrat, 1972: 222-223).

Sedangkan Benih agama ketiga yaitu Konsep Islam yang mengatakan bahwa agama bermula
ketika Adam turun ke bumi dan menemukan tiga hal, yakni kebenaran, kebaikan, dan
keindahan. Juga didukung oleh Ayat Al-Quran.
1. QS. Al-Hijr: 28-29
 “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang
berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah
menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku,
maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud”
2. QS. Al-Isra’ Ayat 85
“Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan
sedikit”
3. QS. Al-Baqarah Ayat 31
“Dan Dia (Allah) mengajarkan Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnyaAdam
diajarkan oleh Allah swt berbagai nama-nama benda setelah unsur ruh ditiupkan
kedalam tubuhnya”
4. QS. Al Baqarah Ayat 32
“Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa
yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
5. QS Al Baqarah Ayat 33
“Allah berfirman: “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini”.
Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman:
“Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui
rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu
sembunyikan?”
6. “Kami berfirman: “Turunlah kamu semua dari surga itu! Kemudian jika datang
petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak
ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka mereka bersedih hati”.
Sesuai dengan rencana yang Allah sampaikan melalui surat Al Baqarah di ayat 30 yang
dikutip di atas, bahwa manusia adalah wakil Allah di muka bumi. Peristiwa larangan
dan pelanggaran nabi Adam dan istrinya Hawa terhadap aturan Allah di surga adalah
bagian dari proses pembelajaran yang diberikan Allah untuk mempersiapkan mereka
agar dapat menjalankan tugasnya di bumi. Kita sebagai manusia yang beriman kepada
Allah dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari kejadian tersebut dimana latar
belakang mengapa manusia diciptakan Allah adalah semata-mata untuk mewujudkan
rencana-Nya di muka bumi. Melalui perintah untuk melaksanakan shalat, Allah
mengingatkan manusia, bahwa mintalah petunjuk kepada-Nya untuk dapat memenuhi
fungsi manusia sebagai wakil-Nya di muka bumi.
Dari beberapa ayat Al-Qur’an di atas terlihat bahwa, awal manusia berada adalah karena
kehendak Allah SWT. Jadi jika Adam dan Hawa Pada akhirnya turun dari surga ke bumi dan
diperintahkan untuk ikut dan turut pada ajaran dari Allah SWT. Berikut juga beberapa bukti
bahwa Allah SWT. Selaku yang menurunkan Adam dan Hawa dari Surga adalah juga yang
menciptakan langit, bumi beserta isinya.
1. Aku tidak menghadirkan mereka (iblis dan anak cucunya) untuk menyaksikan
penciptaan langit dan bumi dan tidak (pula) penciptaan diri mereka sendiri; dan
tidaklah aku mengambil orang-orang yang menyesatkan itu sebagai penolong.”(Q.S.
Al-Kahfi [18] :51 )
Dalam ayat ini Allah SWT menerangkan kekuasaan-Nya, dan bahwa setan itu tidak
berhak untuk menjadi pembimbing atau pelindung bagi manusia. Setan itu tidak
mempunyai hak sebagai pelindung, tidak hanya disebabkan kejadiannya dari lidah api
saja tetapi juga karena mereka tidak mempunyai saham dalam menciptakan langit dan
bumi ini. Allah SWT menegaskan bahwa iblis dan setan-setan itu tidak dihadirkan
untuk menyaksikan penciptaan langit dan bumi ini, di kala Allah menciptakannya,
bahkan tidak pula penciptaan dari mereka sendiri, dan tidak pula sebagian mereka
menyaksikan penciptaan sebagian yang lain. Bilamana mereka tidak hadir dalam
penciptaan itu, bagaimana mungkin mereka memberikan pertolongan dalam
penciptaan tersebut.

Sumber:
Abdul Madjid et.al, al-Islam, Jilid I, Pusat Dokumentasi dan Publikasi Universistas
Muhammadiyah, Malang, 1989,
Mukti Ali, Agama, Universitas dan Pembangunan, Badan Penerbit IKIP, Bandung, 1971.
Taib Thahir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam, Wijaya, Jakarta, 1992, hlm. 112. Cf Nasrudin Razak,
Dienul Islam, PT al-Ma’arif, Bandung.
Abdul Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta,
1997.
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, UI Press, Jakarta, 1985.
Portable_Kamus_Besar_Bahasa_Indonesia (KBBI)
E.E Evans Pritchard ,Teori – Teori tentang Agama Primitif ,Jakarta : PT Djaya Pirusa , 1984.
Romdhon, et. al, Agama-agama di Dunia, IAIN Sunan Kalijaga , Press, Yogyakarta, 1988.
Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama Perspektif Ilmu Perbandingan Agama, CV
Pustaka Setia, Bandung.
Koenjtaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Dian Rakyat, Jakarta 1972.
Hilman Hadi Kusuma, Antropologi Agama Bagian I (Pendekatan Budaya Terhadap Aliran
kepercayaan, Agama Hindu, Buddha, Kong Hu Chu, di Indonesia), PT Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1993

Anda mungkin juga menyukai