Anda di halaman 1dari 6

2.1.

Partikularisme

2.1.1. Pengertian Partikularisme Secara Umum


Partikularisme berasal dari kata partikular yang artinya bagian.[1] Ada beberapa pendapat

dari berbagai bidang tentang pengertian partikular. Menurut Peter Salim, kata partikular dalam

bentuk kata sifat ialah pribadi, individu, tertentu, khusus, luar biasa, istimewa, pemilih, dan sangat

hati-hati. Partikular biasanya dipakai untuk suatu hal atau kualitas tertentu yang dianggap lain dari

yang lain.[2] Menurut Vivian Ridler, ia adalah seorang dosen di Biritania, ia mengatakan bahwa

partikular ialah milik, bagian, bukan universal. Dalam bidang matematika, partikular ialah nomor
khusus, masing-masing komponen atau faktor dari nomor.[3] Menurut James W. Fowler, ia

adalah seorang psikolog dan teolog Amerika Serikat. Ia mengatakan bahwa yang partikular itu

merupakan sesuatu yang terikat dalam waktu, bersifat konkret dan lokal.[4] Menurut Ali

Mudhofir yang adalah seorang filsuf mengatakan bahwa partikular ialah istilah yang pada

umumnya digunakan untuk menunjukkan sifat sebagian yang dilawankan dengan sifat universal.

Tetapi partikular kadang-kadang digunakan searti dengan perorangan (individual).[5] Menurut

Lorens Bagus, ia adalah seorang filsuf Indonesia. Menurutnya, pengertian partikular ialah, 1)

anggota individual dari suatu kelompok yang kontras dengan ciri-ciri yang melukiskan anggota-

anggota kelompok itu. 2) “beberapa” yang bertentangan dengan “semua”. 3) dalam metafisika,

suatu kesatuan individual yang ada, yang saling berhubungan dengan kesatuan-kesatuan

lainnya.[6] Dan menurut P. F. Strawson yang juga adalah seorang filsuf, mendapat perbedaan

antara partikular dan individualis. Ia mengatakan tidak semuanya yang individual merupakan

partikular, tetapi semua partikular ialah individual.[7] Sehingga dapat disimpulkan bahwa

partikular adalah bagian yang bersifat pribadi, tertentu atau istimewa maka dianggap lain dari yang

lain. Partikular berlawanan dengan sikap universal sehingga partikular dapat digambarkan dengan

pengelompokan.

Partikularisme berarti sistem yang mengutamakan kepentingan pribadi (diri-sendiri) di atas


kepentingan umum; aliran politik, ekonomi, atau kebudayaan yang mementingkan daerah atau
kelompok khusus; sukuisme. [8] Di tingkat budaya, menurut Kenneth C. Laudon dan Jane P.

Laudon, partikularisme (particularism), adalah penilaian dan tindakan berdasarkan yang sempit

atau berdasarkan karakteristik pribadi, dalam bentuk apa pun (agama, kebangsaan, etnis,

regionalisme, posisi geopolitik) yang menolak konsep dasar dari suatu kultur global bersama dan

menolak dimasukinya pasar domestik oleh barang dan jasa asing. Perbedaan dalam beberapa

kebudayaan menghasilkan perbedaan dalam ekspektasi sosial, politik, dan pada akhirnya aturan

hukumnya. Partikularisme membuat pendapat dan melakukan kegiatan berdasarkan batasan atau

karakteristik personal dalam segala bentuk (agama, bangsa, suku, kedaerahan, letak
geogrefis).[9]Di dalam Kamus Bisnis dikatakan bahwa partikularisme (particularism) adalah

sebuah perspektif budaya yang berorientasi dan menggunakan berbagai standar evaluatif yang

didasarkan pada hubungan dan situasi.[10] Oleh karena itu, partikularisme dapat dikatakan sebuah

paham yang menyatakan penilaian dan tindakan berdasarkan pribadi, menolak konsep dasar

bersama dan yang menggunakan evaluasi berdasarkan hubungan dan situasi sehingga dapat

dikatakan suatu sistem yang mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan umum.

2.2 Latar Belakang Partikularisme

2.2.1 Agama (Keyakinan)


Raja Yosia melakukan reformasi terhadap bangsa Israel, puncaknya pada tahun

kedelapanbelas dari pemerintahannya, yaitu tahun 622 sM. Dia menghapuskan semua kultus dan

kebiasaan kafir, baik dari Asyur maupun dari orang-orang Kanaani dan membunuh para nabinya

termasuk imam-imam, sida-sida dan para pelacur dari kedua jenis kelamin. Dia juga melarang

kebiasaan-kebiasaan seperti ilmu sihir dan ramalan. Tetapi pusat dari semua tindakan Raja Yosua

ialah memusatkan semua ibadah umum dan korban di Yerusalem. Dia mengundang para imam

datang ke Yerusalem dan melaksanakan jabatan mereka di Bait Suci.[50]

Selain raja Yosia, nabi Ezra dan Nehemia berusaha untuk mebaharui kehidupan beragama,
sosial dan ekonomi dari bangsa Ibrani yang berakar dari rasa kebangsaan nasionalis akan tradisi
nenek moyang bangsa Ibrani (Neh. 2:3) dan perhatian yang tulus mempertahankan reputasi nama

Yahweh di tengah-tengah perlawanan orang-orang kafir (bnd. Ezra 9: 1-15; Neh. 1: 4-11). Dalam

kitab ini, membuktikan kebenaran sejarah yang praktis dari periode pemulangan umat Ibrani, serta

menitikberatkan tema-tema keagamaan (termasuk ketaatan kepada perjanjian, kemurnian agama,

pemisahan diri dari orang-orang asing, dan lain sebagainya). Hal ini ditujukan kepada banyak dari

pelanggaran-pelanggaran yang sama terhadap perjanjian Allah yang dicela oleh nabi-nabi pasca

pembuangan, termasuk kelesuan rohani dan penyembahan yang salah, ketidakadilan sosial,

perceraian, kawin campur dengan perempuan-perempuan asing, mengabaikan persepuluhan,


kebobrokan moral, dan penyalahgunaan kekuasaan pada pihak para imam.[51]

Pemimpin Israel seperti Ezra mengambil tindakan keras untuk mencegah masyarakat

Yahudi yang kecil supaya tidak ditelan atau melebur ke dalam masyarakat Palestina pada

umumnya. Tetapi akibat keputusannya itu membantu perkembangan Yudaisme kearah

keeksklusifan. Dasar tindakan itu ialah suatu konsep kemurnian dara, berdasarkan keyakinan

bahwa Israel merupakan “benih suci” yang dipilih TUHAN sendiri. Sehingga, partisipasi dalam

ibadat kepada TUHAN terbatas kepada mereka yang lahir dari bangsa Yahudi. Dengan demikian,

keeksklusivan menjadi suatu sumber kekuatan. Hal tersebut membuat Israel menjadi terisolasi dari

dunia sekitar, sampai menjadi suatu sektarian. Bukan hanya itu saja, hubungan kaum Yahudi

dengan kaum Samaria juga semakin renggang, terdapat suatu “jurang” yang tidak dapat

dijembatani antara Yerusalem dengan Betel dan mencegah hubungan kontak dengan kaum

Samaria terkhusus pada masa pembuangan.[52] Yosua, Ezra dan Nehemia melakukan

pembaharuan tersebut atas dasar kemurnian keyakinan umat Israel supaya tidak menyembah

berhala seperti bangsa sekitarnya.

2.2.2 Sosial
Ezra dan Nehemia adalah tokoh pembaharuan perjanjian dalam masyarakat pasca
pembuangan. Seruan untuk pembaharuan rohani dan keadilan sosial yang dilakukan oleh kedua
pembaharu ini dimaksudkan untuk memperbaiki perlakuan kejam dan berbagai perilaku tak

senonoh di antara sisa-sisa Israel yang kembali, dan menanamkan harapan serta mendorong

semangat juang umat itu. Ketaatan pada ketetapan-ketetapan perjanjian Allah merupakan prasyarat

yang wajib untuk memperoleh berkat-berkat TUHAN dan pemulihan Israel sebagai milik

kepunyaan-Nya yang khusus. Pesan yang mereka sampaikan ialah pemeliharaan Allah yang

menguasai semua kegiatan manusia demi kepentingan “umat pilihan-Nya” (Ezra 7:9; Nehemia

2:8). Penekanan khusus pada kemurnian agama dan keterpisahan sosial dalam masyarakat kini

menolong untuk mempertahankan identitas umat Ibrani sebagai satu “umat yang terpisah”, karena
nasionalisme yang dinamis yang dikatikan dengan kemerdekaan politik dari periode pra

pembuangan hanya tinggal kenangan.[53]

Partikularisme di Yehuda sesudah pembuangan di Babylon menjadi kuat sekali, sebab

pengalaman pahit yang dialami Yehuda dengan bangsa-bangsa lain. Pembuangan ke Babylon

dilihat dan diakui sebagai hukuman Allah karena dosa bangsa-Nya, terutama dosa sinkretisme.

Sinkretisme ini adalah hasil dari pergaulan Israel dengan bangsa-bangsa kafir. Oleh karena itu

sesudah masa pembuangan di Babylon, mereka berusaha mencegah, agar bangsa Yehuda tidak

jatuh kembali ke dalam sinkretisme itu. Dengan demikian maka sejak saat itu mereka bersifat

tertutup dan partikularistis dan menarik diri dari pergaulan dengan bangsa-bangsa lain.[54]

2.2.3 Budaya
Pada tahun yang ke-12 pemerintahan Yosia, ia mulai merusakkan semua patung berhala

dan membongkar segala bukit pengorbanan. Berhala-berhala yang ditemukan di Yerusalem

dibakar dekat sungai Kidron. Imam-imam berhala yang diangkat oleh raja yang digantikannya

semuanya dipecatnya. Patung Asyera yang didirikan di dalam Bait Suci dibongkarnya dan semua

pelacuran keagamaan yang dilakukan di dalam Bait Suci dibasmi dan dilarangnya. Mezbah-

mezbah di atas sotoh untuk penyembahan matahari, bulan dan bintang-bintang dihancurkan.
Bukit-bukit pengorbanan dihancurkan. Di Betel, ia membakar tulang-tulang imam-imam berhala

di atas mezbah, sesuai dengan firman Tuhan (1 Raj. 13:2)[55]

Yosia membuat ikatan perjanjian baru di hadapan hadirat Allah, “hanya kepada Tuhan saja

kita akan sujud menyembah dan taat akan firman yang melandasi perjanjian itu, sebagai mana

tercantum dalam kitab ini”. Dalam 2 Raja-raja 22-25, sang raja mewujudkan firman itu dalam

perbuatan: patung-patung allah dimusnahkan, tiang-tiang pemujaan menjadi abu. Enyahlah segala

yang berbau kafir. Kuda-kuda yang dipersembahkan oleh raja-raja Yehuda kepada matahari harus

disingkirkan dari lapangan, batu-batuan yang dianggap keramat dihancurkan, dan para imam
dibunuh di atas mezbahnya masing-masing. “Enyahlah segala ilah itu, hanya Tuhan saja yang akan

kita sembah!” semuanya itu ilah belaka. Itu tidak berarti bahwa keberadaannya disangkal,

sebaliknya keberadaannya itu tidak berlaku bagi seorang Israel yang benar. [56]

2.2.4 Politik
Israel terorganisasi secara politik oleh suatu struktur kesukuan.[57] Sebelum pembuangan,

Israel mempunyai suatu jati diri nasional, kebebasan politik di negerinya sendiri yang beribu

kota Yerusalem, raja sendiri yang berasal dari keturunan Daud, dan Bait Suci di mana mereka

yakin dapat bertemu dengan Allah secara khusus. Pembuangan telah menghancurkan semuanya

itu. Tanpa Negara, kemerdekaan, Bait Suci, atau raja, komunitas pasca-pembuangan mencari jati

diri baru, yang masih ada kaitannya dengan Israel di masa lalu namun sesuai dengan lingkungan

yang sudah berubah secara drastis.

Keanggotaan dalam komunitas baru itu hanya terbatas bagi mereka yang telah dimurnikan

melalui pengalaman pembuangan dan mereka yang berusaha mempertahankan kemurnian serta

keunikan mereka dengan memisahkan diri dari orang asing. Kemurnian darah menjadi sangat

penting, dan perkawinan dengan orang asing dianggap sebagai ancaman terhadap integritas

komunitas baru mereka. Keberatan atas perkawinan dengan orang asing terungkap lewat
keyakinan bahwa yang serba suci perlu dipisahkan. Keterpisahan fisik dari bangsa dan barang yang
tidak dipersembahkan kepada TUHAN. Kebijakan eksklusif dari periode restorasi perlu dilihat

dalam konteks komunitas yang sedang mempertahankan diri menghadapi persoalan identitas yang

muncul akibat pengalaman pembangunan.[58]

Posisi bangsa Israel bukan saja sebagai umat Allah tetapi juga bangsa Allah. Sebutan ini

memperlihatkan bahwa Israel tidak semata-mata merupakan suatu komunitas agama saja

melainkan juga merupakan suatu komunitas politik. Keadaan ini dapat dilihat terutama ketika

bangsa Israel berada dalam keadaan tertindas dan terjajah oleh kekuatan-kekuatan asing.[59]

Anda mungkin juga menyukai