Dosen
Disusun oleh:
ILMU PEMERINTAHAN
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat
tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih terhadap bantuan dari
pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun
materinya.
Kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman untuk
para pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca
praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kami yakin masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan
pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
KATA PENGANTAR…………………………………………………… i
DAFTAR ISI……………………………………………………………… ii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………… 1
1.3 Tujuan……………………………………………………………. 1
2.1
BAB III PENUTUP…………………………………………………
3.1 Kesimpulan………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………….
BAB I
PENDAHULUAN
Siyasah adalah satu dari cabang dari mu‟amalah. Mu‟amalah adalah salah satu cabang
syari‟ah yang mengatur tata hubungan manusia dengan sesama dalam kehidupan dunia. Islam
sebagai agama yang syamil (komprehensif) dan kamil (sempurna) tidak luput dalam
memperhatikan permasalahan kenegaraan, agar penyelenggaraan kehidupan bernegara dapat
berjalan dengan damai dan baik. Ilmu tentang kenegaraan masuk kedalam siyasah yang di
dalamnya terdapat aturan yang terkait dengan urusan pemerintahan, baik ke dalam maupun
keluar (dalam hubungan internasional).
Hubungan antara agama dan negara atau politik masih menjadi perbincangan di kalangan
ulama, pemikir Muslim, maupun gerakan Islam. Perbedaan pendapat tentang masalah ini
masih terus terjadi dan dimungkinkan akan berlangsung lama.
Dalam masa modern-kontemporer, posisi dan hubungan antara Islam dan negara setidaknya
terdiri dari tiga bentuk. Pertama, pemisahan antara agama dan politik yang bahkan disertai
ideologi politik sekuler yang tidak bersahabat dengan agama (religiously unfriendly-
secularism), seperti Turki. Kedua, pemisahan yang disertai ideologi yang bersahabat dengan
agama (religiously friendly ideology), seperti Indonesia. Bentuk kedua ini juga dapat disebut
sebagai akomodasi antara negara dan agama. Ketiga, penyatuan agama dengan negara, seperti
Arab Saudi, yang dapat juga disebut sebagai teokrasi.
1.3 Tujuan
PEMBAHASAN
Kota Madinah adalah kota hijrah Rasulullah untuk melanjutkan perjuangan dakwah setelah
dakwah di Kota Mekah semakin sulit. Cobaan dan siksaan oleh orang-orang Quraisy kepada
umat Islam semakin tak terbendung. Bukan karena alasan menyerah, tetapi berdasarkan
perintah Allah untuk berhijrah sebagaimana disebut dalam An Nisa sebagai berikut.
Hijrahnya Rasulullah ke Kota Madinah tentu memerlukan solusi agar dakwah Islam dapat
terlaksana dengan baik dan aman mengingat masyarakat Kota Madinah yang majemuk.
Kedatangan Rasulullah pun disambut positif.
komposisi penduduk Kota Madinah terbagi menjadi tiga golongan besar, yaitu golongan
Muslim (terdiri dari Kaum Muhajirin dan Anshar), Musyrikin (terdiri dari banyak suku kecil
dan didominasi dua suku terbesar, suku „Aus dan Khazraj), dan golongan Yahudi (terdiri dari
banyak suku, di Madinah suku terbesar mereka adalah Banu Nadhir, Banu Quraizhah, dan
Banu Qainuqa).
Disamping kondisi masyarakat Kota Madinah yang majemuk, Madinah diwarnai peperangan
antar suku. Peperangan antar dua suku besar Madinah, „Aus dan Khazraj, konflik dua suku
Arab tersebut dengan suku-suku Yahudi, juga perselisihan antara Yahudi dengan Yahudi.
Mereka semua saling berebut pengaruh masyarakat Madinah untuk menjadi penguasa kota itu
Kehidupan politik masyarakat Arab yang berbasis suku ashabiyyat (solidaritas yang
menumbuhkan sikap loyalitas kepada kesatuan suku, solidaritas antara anggota suku diikat
oleh pertalian darah), memunculkan semangat eksklusivisme pada setiap suku, sehingga
mereka mudah terpecah belah dan bermusuhan serta tiap-tiap suku tidak mempunyai
keprihatinan sosial terhadap suku lain
Agama dan keyakinan masyarakat Madinah juga terbagi menjadi tiga golongan besar, yaitu
Islam, Paganisme, dan Yahudi. Realitas yang sering terjadi adalah masing-masing pemeluk
agama mengklaim bahwa agama yang
diyakininya yang paling benar. Perdebatan seputar masalah keagamaan sering terjadi dan
seakan tidak ada habisnya. Keadaan ini mempertemukan ketauhidan dengan agama pagan
yang poliestik (mempercayai banyak Tuhan).
Keadaan Madinah yang diisi banyak pertikaian antar suku dan perdebatan agama
menyebabkan kondisi politik Madinah berada pada kondisi kekosonga kepemimpinan.
Masyarakat Madinah sudah menginginkan perdamaian sampai umat Islam masuk ke Madinah
pada 622 M. Dengan diprakasai oleh Rasulullah dan didukung oleh semua golongan
masyarakat, disepakatilah sebuah perjanjian bersama di antara mereka. Perjanjian tersebut
dikenal dengan nama Piagam Madinah. Piagam Madinah dipandang sebagai keberhasilan
Nabi Muhammad mendirikan sebuah Negara dengan adanya konstitusi yang pertama bagi
sebuah negara Islam.
Abu Juhaifa bertanya kepada Ali bin Abi Thalib r.a.: “Apakah ada wahyu selain dalam
Kitab Allah? Jawab Ali: “Saya tidak mengetahui kecuali faham yang diberikan Allah dalam
Al Quran dan apa yang ada dalam shahifah ini (Piagam Madinah). Apa yang ada dalam
shahifah itu? Jawab Ali: tentang diat, tebusan tawanan, dan seorang muslim yang tidak
dibunuh lantaran membunuh orang kafir.7 Untuk waktu kapan Piagam Madinah itu dibuat
ada beberapa pendapat, tetapi disimpulkan bahwa pembuatannya diperkirakan sebelum
terjadinya Perang
Badar pada tahun pertama hijrah.
Konsep negara dan pemerintahan merupakan suatu ijtihad yang merefleksikan adanya
penjelajahan pemikiran spekulatif rasional dalam rangka mencari landasan intelektual bagi
fungsi dan peranan negara serta pemerintahan sebagai faktor instrumental bagi pemenuhan
kepentingan dan kesejahteraan rakyat baik lahir maupun batin.
Abu Hamid al Gazzali dalam suatu karyanya yang berjudul, al Iqtisad fi al I’tiqad
menegaskan bahwa antara kekuasaan politik dan agama mempunyai saling ketergantungan
yang sangat erat. Sehubungan dengan persoalan ini, al Gazzali menulis sebagai berikut.
“Agama merupakan dasar, dan sultan adalah penjaganya. Sesungguhnya kekuasaan (sultan)
itu hukumnya merupakan keniscayaan (daruri) bagi ketertiban dunia dan ketertiban dunia
merupakan keniscayaan bagi keberhasilan di akhirat. Hal itu merupakan tujuan yang
sebenarnya dari para nabi. Oleh sebab itu, keharusan adanya imam merupakan salah satu
bentuk keniscayaan agama yang tidak bisa diabaikan”. Berdasarkan ungkapan tersebut, dapat
disimpulkan bahwa kekuasaan politik dan agama terdapat ketergantungan.
Al Gazzali menyatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat berdiri
sendiri dan membutuhkan orang lain karena ada beberapa faktor yaitu, kebutuhan akan
keturunan demi kelangsungan hidup manusia, keniscayaan perlunya bantuan orang lain
(tolong-menolong) dalam pengadaan bahan makanan, pakaian, dan pendidikan anak.
Berdasarkan hal tersebut, al Gazzali mengajukan teori pembentukan kebutuhan hidup yang
menurutnya, merupakan faktor utama pembentukan sebuah negara.
Dalam kajian historis, pembicaraan hubungan antara agama dan negara dalam Islam
selalu terjadi dalam suasana yang stigmatis. Ini disebabkan, pertama, hubungan agama
dan negara dalam Islam adalah yang paling.
Salah satu pemikir berpengaruh di dunia Islam, Ibnu Khaldun, membagi proses
pembentukan kekuasaan politik (siyâsah) atau pemerintahan menjadi tiga jenis. Pertama,
politik atau pemerintahan yang proses pembentukannya didasarkan atas naluri politik
manusia untuk bermasyarakat dan membentuk kekuasaan. Kedua, politik atau pemerintahan
yang proses pembentukannya didasarkan atas pertimbangan akal semata dengan tanpa
berusaha mencari petunjuk dari cahaya ilahi. Ia hanya ada dalam spekulasi pemikiran para
filosof. Ketiga, politik atau pemerintahan yang proses pembentukannya dilakukan dengan
memperhatikan kaidah-kaidah agama yang telah digariskan oleh shari‟ah. Politik ini
didasarkan atas keyakinan bahwa Tuhan sebagai pembuat syari‟ah adalah yang paling
tahu maslahat yang diperlukan manusia agar mereka bisa bahagia di dunia dan akhirat.
Ibnu Khaldun menyebut jenis yang pertama dengan sebutan al-mulk al-thabi’iy, yang
kedua dengan sebutan al-siyâsah al- madaniyah dan yang ketiga dengan sebutan alsiyasah
al-diniyah atau syar’iyyah. Pada perkembangan berikutnya, kajian kajian tentang negara
dan kaitannya dengan agama, selalu mendapat porsi lebih khusus. Inilah yang
menyebabkan munculnya kesepakatan para ulama yang mewajibkan adanya
pemerintahan, mekipun kajian klasik dan kontemporer punya pendapat yang beragam
mengenai bentuk pemerintahan itu. Kewajiban ini didasarkan pada :
a. Ijma shahabat,
b. Menolak bencana yang ditimbulkan oleh keadaan yang kacau balau akibat tidak adanya
pemerintahan,
Konsep negara bangsa yang diterapkan di Indonesia yaitu sebagai negara yang religiously
friendly ideology, dimana agama bersahabat dengan negara, agama tidak sebagai bentuk
negara, tetapi agama tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan bernegara. Agama Islam adalah
agama yang dipeluk sekitar 88% penduduk Indonesia. Islam tidak menjadi agama resmi,
tetapi jika dilihat pada dasar negara Indonesia, Pancasila sila pertama, “Ketuhanan Yang
Maha Esa” menunjukkan bahwa Indonesia meletakkan agama pada tempat yang sangat
terhormat.
Realitas Islam politik, harus diakui, menjadi semakin rumit dengan adanya semangat
“Kebangkitan Islam”, yang juga melanda banyak kalangan Muslimin
“baru” terhadap Islam. Hasilnya, cita, aspirasi, realitas, dan praksis politik Islam/Muslim
sejak kejatuhan Soeharto dari kekuasaannya kian terlibat dalam konteks dan pertarungan kian
intens, yang pada gilirannya membuat ekspresi Islam politik menjadi semakin terfragmentasi.
Meningkatnya penggunaan simbolisme dan konsep agama dalam politik Indonesia dewasa
ini-seperti terakhir terlihat kembali dalam Pilpres 2014 antara pasangan Prabowo-Hatta
melawan Jokowi-JK dengan seluruh parpol dan pemilih pendukung masing-masing-sekali
lagi membuktikan agama tetap dianggap kalangan politik tertentu sebagai potensi penting
untuk mengarahkan perkembangan politik
Harus diakui, di Indonesia hampir tidak mungkin mencegah keterlibatan agama dalam
politik. Namun, Indonesia sudah memiliki jalan tengah di antara dua kutub ekstrem yaitu
Pancasila dan UUD 1945 termasuk berbagai amandemennya yang memberikan tempat
khusus kepada agama.
Jika kembali ke pembahasan tentang Piagam Madinah, dapat disimpulkan bahwa Piagam
Madinah merupakan kontrak sosial yang didasarkan pada perjanjian masyarakat Madinah
yang majemuk/heterogen. Piagam Madinah juga menyatakan metode dalam memecahkan
persoalan antar etnis/kelompok secara damai tanpa memaksa untuk memeluk satu agama,
satu bahasa, dan satu budaya. Hal tersebut terjadi tidak terlepas dari keberhasilan Rasulullah
Muhammad sebagai pemimpin yang diplomatis.
Sebagaimana Piagam Madinah, Pancasila juga memiliki sejarah tersendiri. Nilai-nilai
Pancasila diangkat dan dirumuskan secara formal oleh para pendiri negara, dan dijadikan
sebagai dasar negara Republik Indonesia. Proses formal tersebut dilakukan dalam sidang-
sidang Panitia Persiapan Kemedekaan Indoensia (PPKI) pertama, sidang Panitia 9, sidang
BPUPKI kedua, serta akhirnya disahkan secara yurudis sebagai dasar negara RI. Sejarah
perjuangan bangsa Indonesia untuk membentuk negara sangat erat kaitannya dengan jati diri
bangsa Indonesia. Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, serta keadilan. Nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya sudah dihayati dalam kehidupan sehari-hari sebagai pandangan
hidup masyarakat. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka untuk memahami Pancasila secara
komprehensif dan integral terutama dalam kaitannya dengan pembentukan watak bangsa
(nation and character building) yang akhirakhir ini menunjukkan adanya dekadensi/degradasi,
menjadi sangat penting
Pancasila dalam konteks Indoensia tentu saja sangat berhubungan dengan realitas
masyarakatnya yang sangat plural. Pancasila lahir dari situasi dan kondisi
“masyarakat bineka”, dan masih akan terus bergulat dalam kebinekaan itu. Oleh karena itu,
kebinekaan itu juga perlu diinterpretasi ulang mengikuti semangat zamannya.
Umat Islam sebagai mayoritas penduduk negeri ini sebagian masih bercitacita
mengembalikan tujuh kata pada sila pertama Pancasila sebagaimana tercantum dalam Piagam
Jakarta. Sebagian lain, berjuang menegakkan syariat
Islam sebagai dasar negara. Sebagian lagi, menolak mentah-mentah bukan hanya Pancasila,
bahkan juga bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan hendak menggantikannya
dengan khilafah Islamiyyah dan syariat Islam.
Umat Islam yang kontribusinya terhadap berdirinya negara-bangsa Indonesia dan lahirnya
dasa negara , Pancasila tidak dapat diragukan lagi sedang mengalami krisis kepercayaan.
Kelompok ekstrem yang jumlahnya minoritas bahkan menyebut Pancasila dan tiga pilar
lainnya-UUD 1945, NKRI, dan
Bhinneka Tunggal Ika-sebagai ideologi “thagut” yang harus dimusnahkan. Sementara yang
lainnya mengusung Tauhid Hakimiyah sebagaimana dipahami
Jamaah Islamiyah (JI) yang mengharuskan negara ini menjadi “Negara Islam” dan syariat
Islam sebagai dasar dan konstitusi negara. Untuk mencapai tujuan mereka, kelompok NII
menyatakan pemberontakan (bughat) terhadap pemerintahan yang sah dan melakukaan
perampokan (fai’) untuk membiayai perjuangan mereka.
Sesungguhnya Pancasila jika diaplikasikan dan dipahami dengan baik dapat berlaku seperti
halnya Piagam Madinah yang dapat menjadi kontrak sosial masyarakat yang bersifat
heterogen seperti di Indonesia. Umat beragama dapat menjalankan ibadah sesuai dengan
agama dan kepercayaan masing-masing dengan damai tanpa ada paksaan untuk ikut dalam
satu agama terwujud dalam sila pertama Pancasila. Empat sila berikutnya adalah perwujudan
dari sila pertama pada empat ranah kehidupan.
Sila kedua adalah bentuk pengejawantahan Ketuhanan pada level hubungan dan relasi
antarmanusia. Sila ini menyatakan prinsip “kesatuan kemanusiaan” karena mereka berasal
dari satu Pencipta dan nenek moyang yang sama, egalitarianisme (persamaan kemanusiaan
dan relasi dalam kesetaraan), dan menolak etnosentrisme (dominasi ras dan diskriminasi) atas
nama apa pun yang menjadi antitesis (kemusyrikan) atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sila persatuan mengejawantahkan spirit “integrasi dan kesatuan” seluruh tingkat kebinekaan
bangsa baik dalam hal multiagama, multikultur, dan multietnik dalam ketunggalan sebagai
bangsa, dan sekaligus integral dan bersatu dalam keanekaragaman. Sila ini tegas menolak
vhauvinisme etnik kapan dan di manapun, karena sikap tersbut sangat berpotensi melahirkan
ketegangan dan konflik, serta memperparah situasi konflik dan ketegangan yang sudah ada.
Sila keadilan sosial mencerminkan suatu upaya membumikan “Keadilan Tuhan” pada domain
keadilan distributif, komutatif, dan legal yang terukur secara kuantitatif maupun kualitatif.
Distribusi kesejahteraan bagi seluruh rakyat dikatakan adil jika melibatkan partisipasi mereka
dalam pemerataan sumber daya alam dan lingkungan berdasarkan asas kekeluargaan dan
gotong-royong. Keadilan bersifat komutatif yang menghendaki penghargaan atas martabat
dan hak-hak manusia. Karena itu, Pancasila menolak segala bentuk ektremitas baik dalam
bentuk individualisme maupun kolektivisme
Pancasila secara teologis filosofis menunjukkan secara terang benderang bahwa ada
hubungan antara hablun min Allah dan hablun min al-na. Kesalehan orang beriman sebagai
hamba Allah bermuara dan berdampak pada relasi sosialhorizontal.
Dapat disimpulkan bahwa Pancasila pada hakikatnya dapat dipandang sebagai wajah Tauhid
Sosial yang termanifestasi dalam kehidupan sosial-politik. Pancasila merupakan bagian dari
sistem ideologi yang memiliki dasar-dasar teologi dan filosofi Islam yang nilai-nilainya dapat
diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pemeluk islam di Indonesia pada dasarnya mempunyai cita-cita, dan harapan
dalam terbentuknya negara islam hal ini dilihat dari dalam konteks negara-bangsa
di Indonesia modern. Keinginan ini menjadi wacana yang dilakukan oleh
kelompok islam modernis maupun tradisionalis. Kedua kelompok tersebut
menginginkan negara Indonesia dibangun dengan corak islam, hal ini dipengaruhi
oleh nasionalisme Indonesia yang digelorakan dalam revolusi religiusitas islam.
dilihat dari prinsipnya corak islam tersebut berbentuk suatu tatanan negara islam
yang dapat menciptakan keadilan, membentuk moral politik yang luhur,
menekankan demokrasi permusyawaratan dan mengutamakan toleransi tanpa
pemaksaan agama.
3.2 Saran
Demikian makalah yang dapat kelompok kami susun, kami menyadari bahwa
didalamnya terdapat kekurangan, oleh karena itu kritik serta saran yang
membangun, kami harapkan untuk menjadikan makalah ini menjadi lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.academia.edu/27758586/
PIAGAM_MADINAH_DAN_EKSISTENSI_NEGARA_BANGSA
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=275078&val=7148&t
itle=PIAGAM%20MADINAH%20SEBAGAI%20PILAR%20DASAR%2
0KERUKUNAN%20MASYARAKAT%20MADINAH
https://www.academia.edu/12630474/PIAGAM_MADINAH_PERJANJIA
N_SYAMILAH_PERTAMA_DI_DUNIA_PADA_AWAL_PERADABA N_ISLAM