Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

KEWARGANEGARAAN
“HUBUNGAN SIPIL-MILITER DAN AGAMA-NEGARA”
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Kewarganegaraan
Dosen pengampu : Sifaul Amin, M. H.

Disusun oleh :

1. Agung Adhi Saputro (33030210118)


2. Ndika Arya Susanto (33030210116)

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadiran Allah SWT Yang Maha Mendengar lagi Maha
Melihat dan atas segala limpahan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah ini sesuai dengan waktu yang telah
direncanakan. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada
baginda Nabi Besar Muhammad SAW beserta seluruh keluarga dan sahabatnya
yang selalu membantu perjuangan beliau dalam menegakkan Dinullah di muka
ini.
Dalam penulisan ini, tentunya banyak pihak yang telah memberikan
bantuan baik moril maupun materil. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan
ucapan terimakasih yang tiada hingga kepada rekan dan teman yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,
maka saran dan kritik yang konstruksif dari semua pihak sangat diharapkan demi
penyempurnaan selanjutnya. Hanya kepada Allah SWT kita kembalikan semua
urusan dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya
bagi penulis dan para pembaca pada umumnya, semoga Allah meridhoi dan
dicatat sebagai ibadah disisi-Nya, aamiin.

Penulis, 2 Maret 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI
COVER ................................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

A. Latar Belakang ........................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah...................................................................................... 3

C. Tujuan ......................................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 4

2.1 Pengertian Hubungan Sipil Dan Militer .............................................. 4

2.2 Karakteristik Hubungan Sipil Dan Militer .......................................... 6

2.3 Hubungan Agama Dengan Negara ....................................................... 7

BAB III PENUTUP ............................................................................................. 10

A. KESIMPULAN......................................................................................... 10

B. SARAN ...................................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 12

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hubungan sipil-militer dalam sebuah negara meruapakan faktor yang
sangat menetukan arah perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya
dalam membangun proses demokrasi dan ketahanan nasi suatu negara. Oleh
karenanya hubungan sipil-militer selalu menjadi perhatian, penelitian dan kajian
para peneliti, akademisi, pengamat politik dan militer secara terus menerus, baik
di negara maju maupun di negara berkembang. Pola hubungan sipil-militer di
berbagai negara juga berbeda-beda perbedaan itu terkait dengan sistem
pemerintahan yang diatur oleh suatu negera. Secara umum dalam sistem
pemerintahan demokratik Liberal, hubungan sipil-militer menganut pola
supremasi sipil. Sebaliknya dalam sistem pemerintahan otoritarian, pola hubungan
sipil-militer cenderung menganut pola supremasi militer.
Pada dekade 1950-an, selepas perang duni ll, banyak negara yang baru
lahir memilih menganut sistem pemerintahan yang demokratis dari pada yang
otoriter. Dengan menempatkan militer berada dibawah kontrol sipil demokratis.
Tetapi kejayaan demokratis di negara-negara baru ini tidak berumur panjang.
Sejak akhir 1950-an mengalami keguguran satu persatu dan digantikan oleh
meluasnya otoritarianisme. Pada dekade 1960-an hingga 1970-an sejarah telah
menunjukkan bahwa runtuhnya rezim demokratis dan digantikan pemerintahan
otoritarian yang menganut supremasi militer. Bangkitnya pemerintahan otoritarian
diawali dengan intervensi dan kudeta militer yang membuahkan dominasi militer
atas birokrasi sipil, parlemen, partai politik dan masyarakat sipil.1
Perjalanan sejarah bangsa Indonesia telah menemukan suatu formulasi yang
khas tentang hubungan negara dan agama, di tengah-tengah tipe negara
yang ada di dunia, yaitu negara skuler, negara ateis, dan negara teokrasi. Para
pendiri negara bangsa ini menyadari bahwa “kuasa materialis” negara Indonesia
adalah pada bangsa Indonesia sendiri. Bangsa Indonesia sejak zaman dahulu

1Ngasiman, Skripsi : "Hubungan Sipil-Milter Di Era Transisi Demokrasi" (Jakarta : UIN Syahid
Jakarta, 2008), hlm9.

1
adalah bangsa yang religus, yang mengakui adanya “Dzat Yang Maha Kuasa”,
yaitu Tuhan, dan hal ini merupakan suatu dasar ontologis bahwa manusia sebagai
warga negara adalah sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
Hubungan agama dan negara telah diperdebatkan sejak lama. Bahkan,
masalah ini dianggap pemicu pertama kalinya konflik intelektual dalam kaitannya
beragama dan bernegara. Dalam perkembangan peradaban manusia, agama
senantiasa memliki hubungan negara. Hubungan agama dan negara mengalami
pasang surut. Ada suatu masa di mana agama dekat dengan negara atau bahkan
menjadi negara agama atau sebaliknya pada masa-masa agama mengalami
ketegangan dengan negara, dalam perjalanannya hubungan antara agama dengan
negara, tertentu tidak dapat lepas dari pengaruh sosial budaya atau politik yang
melatarbelakanginya. Puncak hubungan negara dengan agama terjadi konsepsi
Kedaulatan Tuhan (theocracy) dalam pelaksanaannya diwujudkan dalam diri raja.
Kedaulatan Tuhan dan Kedaulatan Raja berhimpit satu sama lain sehingga raja
adalah absolut yang mengungkung peradaban manusia pada abad pertengahan.
Kondisi tersebut melahirkan gerakan sekulerisme yang berusaha memisahkan
institusi negara dari institusi agama, antara negara dengan Gereja.
Sejarah hubungan agama dan negara di Indonesia selalu mengalami
perdebatan yang tidak pernah usai semenjak negara ini didirikan pembahasan
mengenai hubungan negara dan agama sesungguhnya tidak saja berasal ketika
rapat Badan Penyelidik Usaha persiapan Kemerdekaan (BPUPK) negara
Indonesia. Tetapi sudah berlangsung bjauh hari di antara para pendiri bangsa.
Perbedaan pandangan mengenai hubungan negara dengan agama sudah dimulai
sejak sebelum kemerdekaan yakni perdebatan ideologis antar PNI dengan
tokohnya soekarno yang mewakili kelompok nasionalis skuler dengan kalangan
islam dengan Tokohnya HOS Cokroaminoto, Agus salim, Ahmad Hasan, dan M.
Natsir yang mewakili kelompok nasionalis Islam. 2

2Budiyono, Hubungan Negara Dan Agama Dalam Negara pancasila. Diakses dari
https://jurnal.fh.unila.ac.id/index.php/fiat/article/view/305/265#:~:text=Hubungan%20agama%2
0dan%20negara%20adalah,sedangkan%20negara%20menjamin%20kehidupan%20keagamaan

2
B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Hubungan Sipil Dan Militer?


2. Bagaimana Karakteristik Hubungan Sipil Dan Militer?
3. Bagaimana Hubungan Agama dan Negara?

C. Tujuan

Diharapkan kepada mahasiswa dan pembaca mampu memahami isi dari


rumusan-rumusan masalah sebagai topik inti dari pembahasan dalam karya tulis
berupa makalah ini, yang kemudian bisa dijadikan sebagai bahan referensi dan
pastinya semoga buah pikiran penulis ini bisa dijadikan sebagai pengetahuan yang
bermanfaat bagi para pembaca.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hubungan Sipil Dan Militer


Militer adalah strategi asal mulanya merupakan Seni Militer (Art of
Military), yaitu bagaimana menerapkan keterampilan pengerahan militer dalam
suatu peperangan atau pertempuran. Melalui berbagi kajian terhadap berbagai
pengalaman perang pada masa lalu, akhirnya menjadi Ilmu Militer (Military
Science), dan berlanjut menjadi Ilmu dan Seni Perang (Science and Art of War).
Menjadi Ilmu dan Seni Perang, karena disadari bahwa pengerahan sumber budaya
militer tersebut tidak cukup hanya berdasarkan keterampilan yang didapat dari
pengalaman saja atau “Seni”, namun juga berdasarkan kepada teori-teori dari hasil
kajian yang dilakukan selama ini. Perkembangan penamaan tersebut, yaitu mulai
dari “Strategi “, seni perang, dan menjadi Ilmu dan seni perang bila dirunut tidak
terlepas dari pembahasan kelembagaan di negara-negara Barat, terutama di
Amerika Serikat (AS) dan negara-negara di Eropa, termasuk di Indonesia yang
pada zaman kolonial Belanda dahulu disebut dengan Departemen van Orloog atau
Departemen Perang.
Ilmu Militer atau military science, didefinisikan sebagai : “The study of
the ways, means, as well as the how’s and whys, of military science seems a real
science like astronomy but after a war it seems more like astrology. Dia
mengatakan, bahwa : “sebelum perang militer kelihatannya benar-benar seperti
ilmu pengetahuan, seperti astoronomi, tetapi setelah perang militer seperti
“astrologi . “ Artinya ada perbedaan signifikan, antara sebelum perang dan setelah
perang.
The liang Gie, menulis tentang Ilmu Militer dalam Ensiklopedi Ilmu-ilmu
sebagai berikut :
• Cabang pengetahuan ilmiah yang mempelajari penggunaan sarana
angkatan bersenjata untuk memperjuangkan atau mempertahankan
kepentingan politik dari suatu negara. Pengetahuan ini memberikan
perhatian terhadap latihan dan pengelolaan angkatan bersenjata yang

4
meliputi angkatan darat, laut dan angkatan udara, penyebaran angkatan di
seluruh wilayah negara, pengadaan perbekalan, tata jenjang perintah
(komando) dari pucuk pimpinan yang tertinggi sampai anggota militer
terbawah, dan berbagai teori tentang siasat dam taktik perang. Disebut
pula bahwa military science sesungguhnya merupakan suatu ilmu
antarbidang, karena berkaitan erat dengan bidang-bidang pengetahuan
lainnya seperti Ilmu Bumi (dalam menyusun siasat pertahanan negara),
ilmu jiwa dalam pelatihan dan penempatan prajurit, ilmu kinsinyuran
(dalam pengadaan alat persenjataan), dan ilmu politik (untuk membangun
kekuatan nasional dalam hubungannya dengan negara-negara tetangga dan
percaturan politik antarbangsa). Ilmu Militer tidak semata-mata berkaitan
dengan perang saja, melainkan lebih banyak bertalian dengan pembinaan
kesentosaan negara berkaitan rakyatnya dan kekuatan nasional. 3
• Sipil merupakan bagian dari sistem administrasi kependudukan secara
keseluruhan yang terdiri atas sub sistem pendaftaran penduduk dan catatan
sipil. Keduanya mencakup hal asasi bagi semua manusia yang berada
dalam satu negara. Walaupun demikian, bukan berarti pendaftaran
penduduk identik dengan pencatatan sipil. Keduanya dapat dibangun
dalam satu sistem, keduanya juga dapat dikategorikan dalam pelayanan
publik. Akan tetapi, di antara keduanya terdapat perbedaan yang menonjol,
di mana pencatatan sipil memiliki aspek hukum yang membawa akibat
hukum yang luas bagi setiap warga negara.
• Banyak pihak yang merancukan pencatatan sipil sama dengan pencatatan
penduduk. Hal tersebut terbukti dalam keputusan Menteri Dalam Negeri
Nomor 54 Tahun 1999 tentang pedoman penyelenggaraan pendaftaran
penduduk (Kemendagri No. 54Tahun 1999) bawah pendaftaran adalah
kegiatan pendaftaran dan atau pencatatan data penduduk beserta
perubahannya, perkawinan, perceraian, kematian, dan mutasi penduduk,

3Budiyono, Hubungan Negara Dan Agama Dalam Negara pancasila. Diakses dari
https://jurnal.fh.unila.ac.id/index.php/fiat/article/view/305/265#:~:text=Hubungan%20agama%2
0dan%20negara%20adalah,sedangkan%20negara%20menjamin%20kehidupan%20keagamaan

5
penerbitan nomor induk kependudukan, nomor induk kependudukan
sementara, kartu keluarga, kartu tanda penduduk dan akta pencatatan
penduduk serta pengelolaan data penduduk, dan penyuluhan. Jelas, dari
definisi tersebut merancukan antara pendaftaran penduduk dan pencatatan
penduduk. Seolah-olah pengertian “penduduk” sama dengan “sipil”.
Menurut Kemendagri No. 54 Tahun 1999 tersebut, definisi penduduk
adalah setiap warga negara indonesia (WNI) dan warga negara asing
(WNA) pemegang ijin tinggal tetap di wilayah negara Republik Indonesia.
Pengertian “sipil “ bukan berarti penduduk semata, melaikan mencakup
hak-hak setiap warga negara yang mengkait status hukum sipil atau
keperdataan seseorang (warga negara). Bahkan status hukum tersebut
terkait pula dengan status kewarganegaraan seseorang.4

2.2 Karakteristik Hubungan Sipil Dan Militer


Dalam politik Indonesia menepati ruang interaksi studio hubungan sipil-
militer, partai politik, dan demokratisasi. Studi-studi yang menganggap refomasi
sebagai akhir dari spektrum politik otoritarianisme agama di mana sebelumnya
kelompok-kelompok radikal terus dipandang sebagai ancaman. Sebaliknya, akhir
otoritarianisme sering dipengaruhi oleh militer untuk membela kepentingan
mereka yang lebih sering dari pada tidak sipil. Beberapa karya penting mewakili
penjelasan ini. Studi yang berfokus pada hubungan sipil-militer selama masa
kepresidenan Abdurrahman Wahid ditemukan dalam karya-karya Bhakti dkk
(199) dan Anwar et al. (2002). Studi mereka menyimpulkan bahwa militer masih
tertarik untuk mempertahankan pengaruh politik mereka dalam prosedur
demokratis meskipun telah memutuskan untuk “melepaskan diri dari politik
praktis dan untuk fokus pada peningkatan kemampuan perangnya, terutama yang
terkait dengan pertahanan eksternal “ (Bradford, 2005:19) Studi-studi tentang
hubungan sipil-militer pada periode awal transisi menggemakan temuan serupa.
Transisi tidak diragukan lagi memengaruhi kepemimpinan militer, dan intervensi
para pemimpin politik ke lembaga militer pada tahap awal sangat penting
(Callahan, 1999). Singh(2009) berpendapat bahwa upaya mengembalikan militer
4Racmadi Usman, Hukum Pencatatan Sipil (Jakarta Timur : Sinar Grafika, 2019) Hlm. 1-2

6
ke barak mungkin tidak memberikan hasil yang diharapkan jika administrasi sipil
masih menghadapi masalah besar dalam mengendalikan keamanan domestik
sementara situasi sosial dan politik masih tidak stabil. Mengenai hal ini, Indonesia
memiliki situasi yang lebih dinamis dibandingkan dengan Thailand, misalnya,
mengingat faktor penting dari pembentukan aliansi bari yang diprakarsai oleh
militer yang dilengkapi dengan kekuatan sosial dan politik mereka (Hexiduk,
2011).5

2.3 Hubungan Agama Dengan Negara

Negara dan agama merupakan persoalan yang banyak menimbulkan


perdebatan (discourse) yang terus berkelanjutan di kalangan para ahli. Hal ini di
sebabkan perbedaan pandangan dalam menerjemahkan agama sebagai bagian dari
Negara, negara sendiri secara umum diartikan sebagi persekutuan hidup bersama
sebagai penjelmaan sifat kodrati manusia sebagai makhlik individu dan makhluk
social.Oleh karena itu, sifat dasar manusia tersebut merupakan sifat dasar Negara
pula, sehingga Negara sebagi manifestasi kodrat manusia secara horizontal dalam
hubungan manusia dengan manusia lain untuk mencapai tujuan bersama dengan
demikian, Negara memiliki sebab akibat langsung dengan manusia, karena
manusia adalah pendiri Negara itu sendiri.

1) Hubungan Agama dan Negara dalam pandangan non Islam


a. Faham teokrasi
Menurut faham teoraksi, hubungan agama dan digambarkan sebagai dua
hal yang tidak dapat di pisahkan Negara menyatu dengan agama, karna
pemerintahan menurut paham ini di jalankan berdasarkan firman-firman tuhan,
segala tata kehidupan dalam masyrakat, bangsa, dan Negara dilakukkan atas titah
tuhan dengan demikian, usrusan kenegaraan atau politik dalam faham teokrasi
juga diyakini juga sebagi manisfestasi firman tuhan. 6

5M. Faishal Aminudin, Politik Mantan Serdadu (Surabaya : Universitas Airlangga : 2019) Hlm. 26-
27
6 Trianto dan Titik triwulan Tutik, Falsafah Negara dan Pendidikan

Kewarganegaraan, Jakarta, Prestasi Pustaka Publisiher, 2007, h. 164.

7
Dalam perkembangan, faham teokrasi kebagi kedalam dua bagian yakni:
pertama, teokrasi langsung bahwa pemerintahan di yakini sebagai otoritas tuhan
secara langsung pula adanya Negara didunia ini adalah atas kehendak tuhan, dan
oleh karna itu yang memerintah adalah tuhan pula kedua teokrasi tidak langsung,
bahwa dalam pemerintahan yang memerintah bukannlah tuhan sendiri melainkan
raja atau kepala negar yang memiliki otoritas atas nama tuhan system dan norma-
norma dalam Negara di rumuskan dalam firman-firman tuhan7
b. Faham sekuler
Faham sekuler yang memisahkan dan membedakan antara agama dan
Negara.negara adalah urusan manusia dengan manusia lain atau urusan dunia.
Sedangkan agama adalah hubungan manusia dengan tuhan dalam Negara sekuler
system dan norma hukum positif di pisahkan dengan nilai dan norma agama
norma hukum di tentukan atas kesepakatan manusia dan tidak didasrkan agama
atau firman-firman tuhan meskipun norma-norma tersebut bertentangan dengan
norma-norma agama namun demikian Negara sekuler membebaskan warga
negarnya untuk memeluk agama apa saja yang mereka yakini dan Negara tidak
interfensif dalam agama.
c. Faham komunisme
Faham komunisme memandang hakikat hubungan Negara dan agama
berdasarkan pada filosofi materialism idialektis dan materialism faham ini
menimbulkan faham atheis faham yang di pelopori oleh karl marx ini,
memandang agama sebagai candu masyarakat menurutnya, ditentukan oleh
8
dirinya sendiri sementara dianggap sebagai suatu kesadaran diri sebelum
menemukan dirinya sendiri kehidupan manusia adalah dunia manusia itu sendiri
yang kemudian menghasilkan masyarakat Negara sedangkan agama di pandang
sebagai realisasi fantastic makhluk manusia dan agama merupakan keluhan
makhluk tertindas oleh sebab itu harus di tekan bahkan di larang nilai yang

7 Dalam sejarah raja di Negeri Belanda di yakini pengemban Tugas suci yaitu
kekuasaan yang merupakan amanat suci (mission sacr) dari Tuhan untuk
memakmurkan rakyatnya. Politik seperti inilah yang di terapkan oleh pemerintah
belanda ketika menjajah indonesia
8 Louis Leahy, Manusia, Sebuah Misteri Sintesa filosofis tentang Mahluk

Paradoksal, Jakarta. Gramedia 1989.h.15

8
tertinggi dalam Negara adalah materi karna manusia sendiri pada hakikatnya
adalah materi.
2) Hubungan Agama dan Negara dalam pandangan Islam
Dalam Islam hubungan agama dan Negara menjadi perdebatan yang cukup
panjang di antara para pakar Islam hingga kini bahkan menurut Azyumardi azra,
perdebatan itu telah berlangsung sejak hamper satu abad, dan berlangsung hingga
dewasa ini. Lebih lanjut azyumardi mengatakan bahwa ketegangan perdebatan ini
di ilhami oleh hubungan yang agak canggung antara Islam sebagai agama dan
Negara dalam lintasan historis Islam, hubungan agama dengan Negara dan system
politic menunjukan fakta yang sangat beragama banyak para ulama tradisionalnya
yang beragumentasi bahwa Islam merupakan system kepercayaan dimana agama
memiliki hubungan erat dengan politik Islam memberikan pandangan dunia dan
makna hidup bagi manusia termasuk bidang politik dari sudut pandang ini maka
pada dasarnya dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama dan politik
argumentasi dengatn dikaitkan dengan posisi Nabi Muhammad saw di madinah
yang membangun system pemerintahan dalam sebuah Negara kota city (city stste)
di madinah, rosullah berperan sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala
agama menyikapi realitas empric tersebut, Ibnu Taimiyah mengatakan, bahwa
posisi nabi pada saat itu adalah sebagai rosul yang bertugas menyampaikan ajaran
(Alkitab), bukan sebagai penguasa. Kalaupiun pemerintahan itu hanyalah sebuah
alat untuk menyampaikan agama, dan kekuasaan bukanlah agama dengan kata
lain politik hanyalah sebagai alat bagi agama bukan suatu ekstensi dari agama.

9
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Militer adalah strategi asal mulanya merupakan Seni Militer (Art of
Military), yaitu bagaimana menerapkan keterampilan pengerahan militer dalam
suatu peperangan atau pertempuran. Melalui berbagi kajian terhadap berbagai
pengalaman perang pada masa lalu, akhirnya menjadi Ilmu Militer (Military
Science), dan berlanjut menjadi Ilmu dan Seni Perang (Science and Art of War).
Menjadi Ilmu dan Seni Perang, karena disadari bahwa pengerahan sumber budaya
militer tersebut tidak cukup hanya berdasarkan keterampilan yang didapat dari
pengalaman saja atau “Seni”, namun juga berdasarkan kepada teori-teori dari hasil
kajian yang dilakukan selama ini. Perkembangan penamaan tersebut, yaitu mulai
dari “Strategi “, seni perang, dan menjadi Ilmu dan seni perang bila dirunut tidak
terlepas dari pembahasan kelembagaan di negara-negara Barat, terutama di
Amerika Serikat (AS) dan negara-negara di Eropa, termasuk di Indonesia yang
pada zaman kolonial Belanda dahulu disebut dengan Departemen van Orloog atau
Departemen Perang.

Dalam politik Indonesia menepati ruang interaksi studio hubungan sipil-


militer, partai politik, dan demokratisasi. Studi-studi yang menganggap refomasi
sebagai akhir dari spektrum politik otoritarianisme agama di mana sebelumnya
kelompok-kelompok radikal terus dipandang sebagai ancaman. Sebaliknya, akhir
otoritarianisme sering dipengaruhi oleh militer untuk membela kepentingan
mereka yang lebih sering dari pada tidak sipil. Beberapa karya penting mewakili
penjelasan ini. Studi yang berfokus pada hubungan sipil-militer selama masa
kepresidenan Abdurrahman Wahid ditemukan dalam karya-karya Bhakti dkk
(199) dan Anwar et al. (2002). Studi mereka menyimpulkan bahwa militer masih
tertarik untuk mempertahankan pengaruh politik mereka dalam prosedur
demokratis meskipun telah memutuskan untuk “melepaskan diri dari politik
praktis dan untuk fokus pada peningkatan kemampuan perangnya, terutama yang
terkait dengan pertahanan eksternal “ (Bradford, 2005:19) Studi-studi tentang
hubungan sipil-militer pada periode awal transisi menggemakan temuan serupa.

10
Transisi tidak diragukan lagi memengaruhi kepemimpinan militer, dan intervensi
para pemimpin politik ke lembaga militer pada tahap awal sangat penting
(Callahan, 1999). Singh(2009) berpendapat bahwa upaya mengembalikan militer
ke barak mungkin tidak memberikan hasil yang diharapkan jika administrasi sipil
masih menghadapi masalah besar dalam mengendalikan keamanan domestik
sementara situasi sosial dan politik masih tidak stabil. Mengenai hal ini, Indonesia
memiliki situasi yang lebih dinamis dibandingkan dengan Thailand, misalnya,
mengingat faktor penting dari pembentukan aliansi bari yang diprakarsai oleh
militer yang dilengkapi dengan kekuatan sosial dan politik mereka (Hexiduk,
2011).

Negara dan agama merupakan persoalan yang banyak menimbulkan


perdebatan (discourse) yang terus berkelanjutan di kalangan para ahli. Hal ini di
sebabkan perbedaan pandangan dalam menerjemahkan agama sebagai bagian dari
Negara, negara sendiri secara umum diartikan sebagi persekutuan hidup bersama
sebagai penjelmaan sifat kodrati manusia sebagai makhlik individu dan makhluk
social.Oleh karena itu, sifat dasar manusia tersebut merupakan sifat dasar Negara
pula, sehingga Negara sebagi manifestasi kodrat manusia secara horizontal dalam
hubungan manusia dengan manusia lain untuk mencapai tujuan bersama dengan
demikian, Negara memiliki sebab akibat langsung dengan manusia, karena
manusia adalah pendiri Negara itu sendiri.

B. SARAN
Di dalam makalah yang telah kami buat ini tentulah jauh dari kata
sempurna hal ini disebabkan karena terbatasnya serta wawasan yang kami miliki.
Belajar dari ketidak sempurnaan dan kekurangan kami mencoba untuk
memperbaikinya agar sempurna sesuai dengan kaidah-kaidah penulisan makalah.
Maka dari itu kami selaku penulis dari makalah ini minta maaf apabila terdapat
kata, tulisan dan ejaan yang mungkin tidak dapat dinalar. kami juga mengharap
kritikan yang disertai dengan saran sebagai bahan pertimbangan saya untuk
memperbaikinya.

11
DAFTAR PUSTAKA
Aminudin, M. (2019). politik mantan serdadu . hlm. 26-27.
Budiyono, Hubungan Negara Dan Agama Dalam Negara pancasila. Diakses dari
https://jurnal.fh.unila.ac.id/index.php/fiat/article/view/305/265#:~:text=Hu
bungan%20agama%20dan%20negara%20adalah,sedangkan%20negara%2
0menjamin%20kehidupan%20keagamaan

Leahy, L. (1989). sebuah misteri sintesa tentang mahluk paradoksa. hlm.15.


Syahid. (2008). hubungan sipil-militer di era transisi demokrasi. hlm.9.
Trianto . (2007). falsafat negara dan pendidikan kewarganeragaan. hlm.164.
Usman, R. (2019). Hukum Pencatatan Sipil. Hlm.1-2.

12

Anda mungkin juga menyukai